Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

STUDI FIQIH
RUANG LINGKUP HUKUM ISLAM
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah.

KELOMPOK 2

SRI WAHYUNINGSIH

NIM : 18.2300.024

MUH. FAJAR

NIM : 18.2300.021

DWIKY PRAMUDYA ALFAYED

NIM : 18.2300.016

PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM PAREPARE


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Bagi setiap Muslim, segala apa yang dilakukan dalam kehidupannya
harus sesuai dengan kehendak Allah SWT sebagai realitas dari keimanan
kepada-Nya. Kehendak atau titah Allah yang berhubungan dengan perbuatan
manusia di kalangan ahli ushul di sebut “hukum syara”, sedangkan bagi
kalangan ahli fiqh, “hukum syara” adalah pengaruh titah Allah terhadap
perbuatan manusia tersebut.
Seluruh kehendak Allah tentang perbuatan manusia itu pada dasarnya
terdapat dalam al-Qur’an dan penjelasan-Nya dalam sunnah Nabi. Tidak ada
yang luput satu pun dari al-Qur’an. Namun al-Qur’an itu bukanlah kitab
hukum dalam pengertian ahli fiqh karena di dalamnya hanya terkandung titah
dalam bentuk suruhan dan larangan atau hanya mengandung norma hukum.
Menurut Amir Syarifuddin sebagaimana yang dikutip oleh Kutbuddin
Aibak, hukum Islam adalah seperangkat peraturan wahyu Allah dan Sunnah
Rasul tentang tingkah laku manusia mukala yang diakui dan diyakini berlaku
mengikat untuk semua yang beragama Islam.
Definisi hukum Islam adalah syari‟at yang berarti aturan yang
diadakan oleh Allah untuk umatnya yang dibawa oleh seorang Nabi saw.,
baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (akidah) maupun hukum-
hukum yang berhubungan dengan amaliyah (perbuatan) yang dilakukan oleh
seluruh umat muslim.
Dalam bahasa yang lain, fqh sebagai produk intelektual pada masa
dan dalam konteks tertentu yang bersifat dinamis kini berubah menjadi
stagnan serta kaku.1Memang ortodoksi fqh sedikit demi sedikit mulai
mencair. Namun belumlah menjadi trend yang mainstream. Perlawanan
terhadap pembuka jalan ijthad bergentayangan disana-sini. Upaya
pembaruaan pemaknaan dan penafsiran terhadap ajaran agama (Al-Quran dan
Hadits) terus mendapatkan tekanan. Salah satu ciri menonjol produk
“mujadid baru” adalah selalu mengorientasikan pada kemaslahatan umat.
Orientasi ini meniscayakan perkembangan zaman menjadi
rujukan pentng dalam mamahami dan menafsirkan ajaran Allah. Lebih dari
itu, prinsip ini membalik logika fqh klasik bahwa “agama bagi Tuhan”
kepada logika keumatan: “agama bagi manusia”. Oleh karena itu, pintu ijthad
dan penakwilan terhadap ayat-ayat Al-Quran tidak akan pernah tertutup.
Dasar dan kerangkanya hukum islam ditetapkan oleh Allah SWT,
tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan benda
dalam masyarakat, tetapi juga hubungan-hubungan lainya, karena manusia
yang hidup dalam masyarakat itu mempunya berbagai hubungan. Interaksi
manusia dengan manusia dalam berbagai tata hubngan itu diatur oleh
seperangkat ukuran tingkah laku yang di dalam bahasa Arab disebut hukm
jamaknya ahkam.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari hukum islam?
2. Apa yang dimaksud ruang lingkup hukum islam?
3. Apa yang dimaksud dari setiap ruang lingkup hukum islam?
C . TUJUAN PEMBAHASAN
1. Untuk mengetahui perngertian hukum islam
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud ruang lingkup hukum islam
3. Untuk mengetahui maksud dari setiap ruang lingkup hukum islam
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN HUKUM ISLAM
Hukum menurut bahasa diambil dari kata hakama berarti ketetapan
atau keputusan. Hukum menurut istilah adalah seperangat peraturan
berdasaran wahyu Allah dan sunnah Rasul mengenai tingkahlaku orang
mukallaf yang diakui dan diyakini. Hukum menurut fuqaha yaitu sifat/adzar
dan hitab Allah. Menurut istilah ahli ushul fiqih hukum berarti firman
pembuat syara’ yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf
baik berupa tuntuta, perintah, larangan maupun berupa sebab adanya yang
lain atau menjadikan sesuatu sebagai syarat atau penghalang bagi suatu
hukum. Hukum bermaksuduntuk dipatuhi (Ta’abbud) yang tujuannya dari
beribadah adalah untuk memelihara agama olehsetiap mukallaf.
Tujuan disyariatkanhukum islam objek pembahasannya adalah
hikmah dan illat ditetapkan suau hukum. Tujuan disyariatkannya hukum
islam adalah untuk maslahat seluruh manusia untuk menghindari mafsadad
agar manusia bahagiah duniadan akhirat.ada lima pokok unsur maslahah
sebagai tujuan hukum syara’ yaitu memelihara agama, memelihara jiwa,
memelihara akal, nemeihara keturunan dan memelihara harta. Tujuan tersebut
dikelompokkan menjadi tiga yaitu Daruriat (primer), Hajiat (sekunder), dan
Tahsiniyah (tersier).
Untuk memelihara agama maka dibutuhkan ketentuan hukum yang
mengatur tentang ibadah. Untuk memelihara jiwa dibutuhkan aturan hukum
tentang hudud, untuk memelihara akal dibutuhkan ketentuan hukum ibadhah
ghoiru mahdhoh (pendidikan), ketentuan hukum makan dan minum yang
halal dan haram, untuk memelihara keturunan dibutuhkan aturan hukum yang
mengatur perkawinan,dan untuk memelihara harta dan hak milik dibutuhkan
aturan hukum yang mengatur tentang mu’amalah. Dan untuk mengatur
jalannya hukum maka dibutuhkan aturan hukum jinayah.
B. DEFINISI RUANG LINGKUP HUKUM ISLAM
Hukum Islam tidak membedakan dengan tajam antara hukum perdata
dengan hukum publik. Yang dimaksud dengan ruang lingkup hukum Islam
atau bidang-bidang hukum yang menjadi bagian dari hukum Islam. Hukum
Islam berbeda dengan hukum barat yang membagi hukum
menjadi hukum privat (perdata) dan hukum publik. Ini disebabkan karena
menurut hukum Islam pada hukum perdata terdapat segi-segi publik dan pada
hukum publik ada segi-segi perdatanya. Ruang lingkup hukum Islam
diklasifikasi ke dalam dua kelompok besar, yaitu hukum yang berkaitan
dengan persoalan ibadah, contohnya iman, sholat zakat, puasa dan haji, dan
hukum yang berkaitan dengan persoalan kemasyarakatan. Itulah sebabnya
dalam hukum islam yang berkaitan dengan kemasyarakatan misalnya: (1)
Munakahat (2) Wirasah (3) Muamalat dalam arti khusus (4) Jinayat (5) Al-
ahkam al-sultoniyyah (6) Siyar (7) Mukhasamat.
Sedangkan para ulama membagi ruang lingkup Hukum Islam (fiqh)
menjadi dua yaitu :
1. Ahkam Al-Ibadat
Ahkam al-Ibadat yaitu ketentuan-ketentuan atau hukum yang
mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Ahkam Al-Ibadat ini
dibedakan kepada Ibadat Mahdlah dan Ibadat Ghair Mahdlah.
2. Ahkam Al-Mu’amalat
Ahkam Al-Mu’amalat, yaitu ketentuan ketentuan atau hukum
yang mengatur hubungan antar manusia (makhluk), yang terdiri dari:
a. Ahkam Al-Ahwal Al-Syahsiyat (Hukum orang dan keluarga), yaitu
hukum tentang orang (subyek umum) dan hukum keluarga, seperti
hukum perkawinan.
b. Ahkam Al-Madaniyat (Hukum Benda), yaitu hukum yang
mengatur masalah yang berkaitan dengan benda, seperti jual-beli,
sewa-menyewa, pinjam-meminjam, penyelesaian harta warisan atau
hukum warisan.
c. Al-Ahkam Al-Jinayat (Hukum Pidana Islam), yaitu hukum yang
berhubungan dengan perbuatan yang dilarang atau tindak pidana
(delict, jarimah) dan ancaman atau sanksi hukuman bagi yang
melanggarnya (uqubat).
d. Al-Ahkam Al-Qadla wa Al-Marafa’at (Hukum acara), yaitu hukum
yang berkaitan dengan acara di peradilan (hukum formil), umpama
aturan yang berkaitan dengan alat-alat butti, seperti saksi, pengakuan
dan sumpah.
e. Ahkam Al-Dusturiyah (Hukum Tata Negara dan Perundang-
undangan), yaitu hukum yang berkaitan dengan masalah politik,
seperti mengenai pengaturan dasar dan system Negara.
C. RUANG LINGKUP HUKUM ISLAM
1. Munakahat (Perkawinan)
Perkawinan berasal dari kata kawin yang menurut bahasa artinya
mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk bersetubuh
(wathi’). Kata kawin sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan
(coitus), juga untuk arti akad nikah. Perkawinan disebut juga pernikahan,
dalam bahasa Indonesia pernikahan berasal dari kata nikah yang menurut
bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan
hubungan kelamin atau bersetubuh.
Pernikahan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’ untuk
membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan
menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki. Dalam
kompilasi hukum Islam, pengertian pernikahan dinyatakan dalam pasal 2,
sebagai berikut: Pernikahan menurut hukum Islam adalah pernikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
a. Syarat dan Rukun Pernikahan
Dalam suatu acara pernikahan rukun dan syaratnya tidak boleh
tertinggal. Rukun itu adalah bagian dari hakikat pernikahan itu sendiri,
rukun pernikahan antara lain: calon suami, calon istri, wali nikah, dua
orang saksi, serta ijab dan qabul.
Adapun syarat-syarat pernikahan pada garis besarnya syarat-
syarat sahnya :
i. Calon mempelai perempuannya halal dinikah oleh laki-laki yang
ingin menjadinya istri. Jadi, perempuannya itu bukan merupakan
orang yang haram dinikahi, baik karena haram dinikahi untuk
sementara maupun selama-lamanya.
ii. Beragama islam bagi laki-laki
iii. Wali nikah jelas alur keturunannya.
iv. Akad nikahnya dihadiri para saksi dan tidak adanya unsur
paksaan
2. Wirasah
Hukum waris dalam Islam merupakan subsistem hukum keluarga
Islam (al-ahwal al-shakhsiyyah). Secara bahasa, waris dalam hukum Islam
dapat diartikan sebagai berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang
lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Dasar dan sumber hukum
kewarisan Islam diatur dalam al-Qur’an, yaitu QS. al-Nisa’ (4) ayat: 7, 8,
10, 11, 12, 13, 33, 176, QS. al-Anfal (8): 75; hadith-hadith Nabi SAW, dan
ijma’.
‫للرجال نصيب مما ترك الوالدان واألقربون وللنساء نصيب مما ترك الوالدان‬
‫واألقربون مما قل منه أو آثر نصيبا مفروضا‬

Artinya :
“Bagi laki-laki ada hak bagian harta peninggalan ibu bapak dan
karib kerabat; dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bagian yang telah ditetapkan.”
a. Rukun Waris.
i. Pewaris: orang yang meninggal dunia, baik secara hakiki ataupun
melalui putusan Hakim.
ii. Ahli waris: orang yang berhak menerima harta pewaris
dikarenakan
adanya ikatan nasab, perkawinan, atau memerdekakan budak.
iii. Harta warisan: yaitu segala jenis harta yang ditinggalkan si
mayyit
b. Syarat-syarat Mewarisi.
i. Meninggalnya pewaris, baik secara hakiki atau secara hukum.
ii. Adanya ahli waris yang masih hidup secara hakiki pada waktu
pewaris meninggal dunia.
iii. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian
masing-masing
3. Muamalat
Menurut Muhammad Yusuf Musa yang dikutip Abdul Madjid
muamalah adalah peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati
dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia‖.
Muamalah merupakan segala peraturan yang diciptakan Allah untuk
mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan
kehidupan‖. Jadi, dapat dipahami bahwa muamalah dalam arti luas yaitu
aturan-aturan (hukum-hukum) Allah untuk mengatur manusia dalam
kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan sosial.
Ada beberapa prinsip yang menjadi acuan dan pedoman secara
umum untuk kegiatan mumalat ini. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Muamalah Adalah Urusan Duniawi
Dalam muamalat semua boleh kecuali yang dilarang. Muamalat
atau hubungan dan pergaulan antara sesama manusia di bidang harta
benda merupakan urusan duniawi, dan pengaturannya diserahkan oleh
manusia itu sendiri. Oleh karena itu, semua bentuk akad dan berbagai
cara transaksi yang dibuat oleh manusia hukumnya sah dan dibolehkan.
Asal tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan umum yang ada
dalam syara.
b. Muamalat Harus Didasarkan Kepada Persetujuan dan Kerelaan Kedua
Belah Pihak.
Persetujuan dan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan
transaksi merupakan asas yang sangat penting untuk keabsahan setiap
akad. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan
janganlah kamu membunuh dirimu33; Sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu (QS. An-Nisa(4):29)
c. Adat Kebiasaan Dijadikan Dasar Hukum
Dalam masalah Muamalat, adat kebiasaan bisa dijadikan dasar
hukum, dengan syarat adat tersebut diakui dan tidak bertentangan
dengan ketentuanketentuan umum yang ada dalam syara'. Sesuatu yang
oleh orang muslim dipandang baik maka di sisi Allah juga dianggap
baik.
d. Tidak Boleh Merugikan Diri Sendiri dan Orang Lain
Setiap transaksi dan hubungan perdata (muamalat) dalam Islam tidak
boleh menimbulkan kerugian kepada diri sendiri dan orang lain hal ini
didasarkan pada hadis Nabi Shallallahu alaihi wasallam yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah addaruquthni dan lain-lain dari Abi Sa'id
al-khudri bahwa Rasulullah bersabda:
‫ل ضر ر و ال ضرار‬
Artinya:
“Janganlah merugikan diri sendiri dan janganlah merugikan orang
lain”
4. Jinayat
Istilah Jinayah (hukum pidana) secar etimonologis berasal dari
bahasa ‫ جنى‬yang berarti melakukan dosa. Sedangkan secara terminologis
jinayah didefinisikan dengan semua perbuatan yang dilarang dan
mengandung kemadaratan terhadap jiwa atau terhadap selain jiwa, dan
wajib dijatuhi hukum qishash atau membayar denda.16 Jadi fiqih jinayah
adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan
criminal yang dilakukan oleh orang-orang mukalaf sebagai hasil dari
pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Alqur’an dan
hadist.
Jinayat secara garis besar dibedakan menjadi dua kategori, yaitu
sebagai berikut:
a. Jinayat terhadapa jiwa, yaitu pelanggaran terhadap seseorang dengan
menghilangkan nyawa, baik sengaja maupun tidak sengaja.
b. Jinayat terhadap organ tubuh, yaitu pelanggaran terhadap seseorang
dengan merusak salah satu organ tubuhnya, atau melukai salah satu
badannya, baik sengaja maupun tidak sengaja
Tujuan disyari’atkan Fiqih Jinayah adalah dalam rangka untuk
memelihara akal, jiwa, harta dan keturunan. Dan ruang lingkup jinayah
meliputi pencurian, perzinahan, homoseksual, menuduh seseorang berzina,
minum khamar, membunuh atau melukai orang lain, merusak harta orang
dan melakukan gerakan kekacauan dan lain sebagainya. Dikalangan para
fuqaha’ perkataan jinayah berarti perbuatanperbuatan yang terlarang
menurut syara’. Selain itu terdapat fuqaha’yang membatasi istilah jinayah
kepada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan
qishash tidak termasuk perbuatan-perbuatan yang diancam dengan
hukuman ta’zir. Istilah ini yang sepadan dengan istilah jinayah adalah
jarimah, yaitu larangan – larangan syara’ yang diancam oleh Allah dengan
hukuman had dan ta’zir.
5. Al-Ahkam Al-Sultoniyyah
Al-Ahkam Al-Sultoniyyah (hukum ketatanegaraan) membicarakan
soal hubungan dengan kepala negara, pemerintah dan sebagainya. Ibnu
Kencana Syafi’i berkesimpulan bahwa Hukum Tata Negara adalah aturan
susunan serta tata cara yang berlaku dalam suatu kelompok keluarga,
organisasi ke-wilayahan dan kedaerahan yang memiliki kekuasaan,
kewenangan yang absah serta kepemimpinan pemerintahan yang ber-
daulat, guna mewujudkan kesejahteraan, keamanan, ketertiban, dan
kelangsungan hidup orang banyak (bangsa) dalam mencapai tujuan serta
cita-cita bersama.
Dari pengertian yang dikemukakan di atas, maka dapat ditarik
suatu kesimpulan bahwa tata negara adalah segala sesuatu yang mengenai
peraturan-peraturan, sifat, dan bentuk pemerintahan suatu negara.
Ibnu Taimiyah, salah seorang pelopor pembaharuan dalam Islam
dan seorang penganjur ijtihad dalam rangka kembali kepada Alquran dan
sunah, dalam teori kenegaraannya lebih mefokuskan pada peran syari’ah
dalam negara. Beliau memahami apapun bentuk pemerintahan dalam
Islam ia semata-mata alat syari’ah.12 Dengan demikian, beliau lebih
menekankan pada supermasi hukum Islam ketimbang bentuk
pemerintahan yang formal.
Begitu pula cara menentukan pemimpin umat atau kepala negara
tidak terdapat petunjuk dalam Alquran maupun hadis nabi, selain petunjuk
yang sifatnya sangat umum agar umat Islam mencari penyelesaian dalam
masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama melalui
musyawarah, tanpa adanya pola yang baku tentang bagaimana
musyawarah itu harus diselenggarakan. Itulah salah satu sebab utama
mengapa dalam masa empat al-Khulafa al-Rasyidin itu ditentukan melalui
musyawarah, tetapi pola musyawarah yang ditempuhnya beraneka ragam
Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama melalui pemilihan
dalam satu musyawarah terbuka, terutama oleh lima tokoh yang mewakili
semua unsur utama dari masyarakat Islam pada waktu itu. Umar bin
Khattab diangkat sebagai khalifah kedua melalui penunjukan Abu Bakar
setelah mengadakan konsultasi tertutup dengan beberapa sahabat senior
dan tidak melalui pemilihan terbuka. Usman bin Affan dingkat melalui
pemilihan dalam satu pertemuan terbuka oleh dewan formatur yang
ditunjuk oleh Khalifah Usman berdasarkan pertimbangan kualitas pribadi
masing-masing. Ali bin Abi Thalib diangkat melalui pemilihan dan
pertemuan terbuka, tetapi dalam suasana kacau sehingga keabsahan
pengangkatan Ali13 Keempat khalifah itu senantiasa melestarikan tradisi
musyawarah dalam mengelola urusan negara dan menyelesai-kan masalah-
masalah kemasyarakatan.
Sebagaimana yang telah dikemuka-kan di atas bahwa manusia itu
sebagai makhluk sosial dan sekaligus sebagai khalifah Allah di bumi ini.
Makna khalifah dilihat dari segi hukum Allah adalah sebagai pengemban
amanah Allah. Dalam hal ini, Allah telah melimpahkan suatu tugas kepada
manusia untuk mengatur dan mengelola bumi ini dengan sebaik-baiknya
menurut ketentuan-ketentuan yang ia gariskan.Apabila manusia berkuasa
di muka bumi, maka kekuasaan itu diperolehnya sebagai suatu
pendelegasian kewenangan dari Allah swt., karena Allah swt. adalah
sumber dari segala kekuasaan. Alquran menegaskan bahwa Allah swt.
sebagai pemilik kekuasaan yang Dia dapat limpahkan kepada siapa saja
yang Dia kehendaki, demikian pula Dia mampu merenggut kekuasaan dari
siapa saja yang Dia kehendaki.14 Dengan demikian, ke-kuasaan yang
dimiliki manusia hanyalah sekedar amanah dari Allah swt Yang Maha
Kuasa
6. Siyar
Siyar yang dapat diartikan sebagai hukum internasional Islam.
Berdasarkan pelacakan historis, istilah Siyar merupakan hasil pemikiran
dari Abu Hanifah (Imam Hanafi) yang kemudian dilanjutkan oleh
muridnya yaitu Abu Yusuf dan Shaybani. Imam Hanafi memberi
pengertian Siyar sebagai seperangkat aturan dan prinsip yang mengatur
hubungan hubungan eksternal umat muslim dengan non-muslim.
Secara etimologi, Siyar merupakan bentuk jamak dari kata Sira
yang berarti perilaku, praktik, jalan hidup dan tingkah laku. Sedangkan
Sira sendiri berarti kondisi atau situasi. Berdasarkan asal kata tersebut
maka Siyar dapat diartikan sebagai perilaku seseorang untuk berperilaku
baik yang kemudian artinya meluas tidak hanya meliputi perbuatan namun
juga kondisi/situasi.
Sumber hukum dalam hukum internasional Islam (Siyar) tentu saja
berbeda dengan sumber hukum yang digunakan di atas. Dalam hukum
internasional Islam, sumber hukumnya merujuk pada empat sumber
hukum dalam hukum Islam, yaitu Al Quran, Sunnah, Ijma, Qiyas. Islam
sebagai sumber hukum internasional material, dengan demikian dapat
dilakukan melalui proses ijtihad. Hal inilah yang telah dilakukan oleh
Wahbah Zuhaili dengan mencoba membuat daftar prinsip-prinsip dalam
hukum Islam yang pada dasarnya selaras dengan hukum internasional.
Upaya yang dilakukan dalam dari segi materiil juga bisa
perlakukan sama dalam hal sebagai sumber hukum formil dalam hukum
internasional. Melalui penerimaan-penerimaan hukum Islam dalam sumber
hukum formil merupakan bukti bahwa prinsip-prinsip hukum Islam telah
diterima oleh masyarakat internasional.Tugas maha penting tentu saja
dengan memasukkan prinsip-prinsip hukum Islam ke dalam perjanjian-
perjanjian internasional.
7. Mukhasamat.
Mukhasamat (hukum acara) merupakan hukum yang mengatur
tentang peradilan, kehakiman,dan hukum acara. Menurut Wirjono
Prodjodikoro, beliau mengistilahkan hukum acara perdata merupakan
rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus
bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan
itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya
peraturan-peraturan hukum perdata.
Sedangkan R Subekti, berpendapat bahwa hukum acara itu
mengabdi kepada hukum materiil, maka dengan sendirinya setiap
perkembangan dalam hukum materiil itu sebaik selalu diikuti dengan
sesuai hukum acaranya.
Untuk menerapkan hukum acara dengan baik maka perlu diketahui
asas-asasnya. Asas-asas hukum peradilan agama ialah sebagai berikut:
a. Asas Personalitas KeIslaman
Asas pertama yakni asas personalitas keIslaman yang tunduk
dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan Peradilan
Agama, hanya mereka yang mengaku dirinya pemeluk agama Islam
Penganut agama lain diluar Islam atau yang non Islam, tidak tunduk
dan dapat dipaksakan tunduk kepada kekuasaan lingkungan peradilan
agama.
b. Peradilan bebas dari campur tangan pihak-pihak diluar kekuasaan
kehakiman.
Kebebasan dalam melaksanakan wewenang judiciel menurut
UU No. 14 tahun 1970 yang diubah menjadi UU No. 4 tahun 2004
tidak mutlak sifatnya, karena tugas daripada hakim adalah untuk
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dengan jalan
menafsirkan hukum dan mencari dasar hukum serta asas-asas yang
menjadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan
kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan
bangsa dan rakyat Indonesia.
c. Hakim bersifat Menunggu
Asas daripada hukum acara pada umumnya, termasuk hukum
acara perdata, ialah bahwa pelaksanaannya yaitu bersifat inisiatif untuk
mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang
berkepentingan. Jadi apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu
perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak, sepenuhnya
diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Kalau tidak ada
tuntutan hak atau penuntutan, maka ada hakim.
d. Hakim bersifat Pasif
Ruang lingkup pokok sengketa ditentukan oleh para pihak
bukan oleh hakim. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 118 ayat (1)
HIR, pasal 142 ayat (1) R.Bg. Hakim hanya membantu para pencari
keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk
dapat tercapainya peradilan. Sebaliknya hakim harus aktif dalam
memimpin jalannya pesidangan, membantu kedua pihak dalam
menemukan kebenaran, tetapi dalam memeriksa perkara perdata hakim
harus bersifat tut wuri. Hakim terikat pada peristiwa yang diajukan
oleh para pihak.
e. Sifatnya terbukanya persidangan
Apabila putusan dinyatakan dalam sidang yang tidak dinyatakan
terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai
kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut
hukum. Di dalam praktek meskipun hakim tidak menyatakan
persidangan terbuka untuk umum, tetapi kalau didalam berita acara
dicatat bahwa persidangan dinyatakan terbuka untuk umum, maka
putusan yang dujatuhkan tetap sah. Secara formil asas ini tujuan asas
ini sebagai sosial kontrol. Asas terbukanya persidangan tidak
mempuyai arti bagi acara yang berlangsung secara tertulis.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hukum menurut bahasa diambil dari kata hakama berarti ketetapan
atau keputusan. Hukum menurut istilah adalah seperangat peraturan
berdasaran wahyu Allah dan sunnah Rasul mengenai tingkahlaku orang
mukallaf yang diakui dan diyakini. Hukum menurut fuqaha yaitu sifat/adzar
dan hitab Allah.
Hukum Islam tidak membedakan dengan tajam antara hukum perdata
dengan hukum publik. Yang dimaksud dengan ruang lingkup hukum Islam
atau bidang-bidang hukum yang menjadi bagian dari hukum Islam. Hukum
Islam berbeda dengan hukum barat yang membagi hukum
menjadi hukum privat (perdata) dan hukum publik. Ini disebabkan karena
menurut hukum Islam pada hukum perdata terdapat segi-segi publik dan pada
hukum publik ada segi-segi perdatanya. Ruang lingkup hukum Islam
diklasifikasi ke dalam dua kelompok besar yaitu :
1. Hukum Perdata Islam
a. Munakahat (Perkawinan), perkawinan berasal dari kata kawin yang
menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan
digunakan untuk bersetubuh (wathi’). Kata kawin sendiri sering
dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad
nikah. Perkawinan disebut juga pernikahan, dalam bahasa Indonesia
pernikahan berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya
membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan
kelamin atau bersetubuh.
b. Wirasah, hukum waris dalam Islam merupakan subsistem hukum
keluarga Islam (al-ahwal al-shakhsiyyah). Secara bahasa, waris dalam
hukum Islam dapat diartikan sebagai berpindahnya sesuatu dari
seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
c. Muamalah (hukum benda dan hukum perjanjian) mengatur mengatur
masalah tentang hak atas kebendaan, tata hubungan soal jual beli,
sewa menyewa, dan pinjam meminjam.
2. Hukum Publik Islam
a. Jinayah (hukum pidana) yang memuat aturan menegenai perbuatan-
perbuatan yang diancamdengan hukuman baik jarima huduh
(perbuatan pidana yang telah ditentukan bentukdan batas
hukumannya dalam al-Quran dan sunnah nabi) maupun Jarimah
Ta’zir (perbuatan pidana yang bentuk ancaman dan hukumnya
ditentukan oleh pengguna sebagai pelajaran bagi pelakunya).
b. Al-Ahkam Al-Sulthaniyah (hukum ketatanegaraan HAN dan HTN)
membicarakan hal-hal yang mengenai kepala negara, pemerintahan,
tentara dan pajak.
c. Siyar (Hukum Interasional), yang mengatur urusan perang dan damai,
tata hubungan pemeluk agama, dan negara lain.
d. Mukhasamat (Hukum Acara) yang mengatur soal peradilan, kehaman
dan norma acara.
DAFTAR PUSTAKA

Ghazaly, Abdurrahman. Fiqh Munakahat. seri buku daras

Hafsah, Pembelajaran Fiqih

Irfan, Nurul. Masyrofah. Fiqih Jinayah.

Wahab, Muhammad Abdul. Fiqih Muamalah.


LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai