STUDI FIQIH
RUANG LINGKUP HUKUM ISLAM
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah.
KELOMPOK 2
SRI WAHYUNINGSIH
NIM : 18.2300.024
MUH. FAJAR
NIM : 18.2300.021
NIM : 18.2300.016
Artinya :
“Bagi laki-laki ada hak bagian harta peninggalan ibu bapak dan
karib kerabat; dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta
peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut
bagian yang telah ditetapkan.”
a. Rukun Waris.
i. Pewaris: orang yang meninggal dunia, baik secara hakiki ataupun
melalui putusan Hakim.
ii. Ahli waris: orang yang berhak menerima harta pewaris
dikarenakan
adanya ikatan nasab, perkawinan, atau memerdekakan budak.
iii. Harta warisan: yaitu segala jenis harta yang ditinggalkan si
mayyit
b. Syarat-syarat Mewarisi.
i. Meninggalnya pewaris, baik secara hakiki atau secara hukum.
ii. Adanya ahli waris yang masih hidup secara hakiki pada waktu
pewaris meninggal dunia.
iii. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian
masing-masing
3. Muamalat
Menurut Muhammad Yusuf Musa yang dikutip Abdul Madjid
muamalah adalah peraturan-peraturan Allah yang harus diikuti dan ditaati
dalam hidup bermasyarakat untuk menjaga kepentingan manusia‖.
Muamalah merupakan segala peraturan yang diciptakan Allah untuk
mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam hidup dan
kehidupan‖. Jadi, dapat dipahami bahwa muamalah dalam arti luas yaitu
aturan-aturan (hukum-hukum) Allah untuk mengatur manusia dalam
kaitannya dengan urusan duniawi dalam pergaulan sosial.
Ada beberapa prinsip yang menjadi acuan dan pedoman secara
umum untuk kegiatan mumalat ini. Prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Muamalah Adalah Urusan Duniawi
Dalam muamalat semua boleh kecuali yang dilarang. Muamalat
atau hubungan dan pergaulan antara sesama manusia di bidang harta
benda merupakan urusan duniawi, dan pengaturannya diserahkan oleh
manusia itu sendiri. Oleh karena itu, semua bentuk akad dan berbagai
cara transaksi yang dibuat oleh manusia hukumnya sah dan dibolehkan.
Asal tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan umum yang ada
dalam syara.
b. Muamalat Harus Didasarkan Kepada Persetujuan dan Kerelaan Kedua
Belah Pihak.
Persetujuan dan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan
transaksi merupakan asas yang sangat penting untuk keabsahan setiap
akad. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan
janganlah kamu membunuh dirimu33; Sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu (QS. An-Nisa(4):29)
c. Adat Kebiasaan Dijadikan Dasar Hukum
Dalam masalah Muamalat, adat kebiasaan bisa dijadikan dasar
hukum, dengan syarat adat tersebut diakui dan tidak bertentangan
dengan ketentuanketentuan umum yang ada dalam syara'. Sesuatu yang
oleh orang muslim dipandang baik maka di sisi Allah juga dianggap
baik.
d. Tidak Boleh Merugikan Diri Sendiri dan Orang Lain
Setiap transaksi dan hubungan perdata (muamalat) dalam Islam tidak
boleh menimbulkan kerugian kepada diri sendiri dan orang lain hal ini
didasarkan pada hadis Nabi Shallallahu alaihi wasallam yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah addaruquthni dan lain-lain dari Abi Sa'id
al-khudri bahwa Rasulullah bersabda:
ل ضر ر و ال ضرار
Artinya:
“Janganlah merugikan diri sendiri dan janganlah merugikan orang
lain”
4. Jinayat
Istilah Jinayah (hukum pidana) secar etimonologis berasal dari
bahasa جنىyang berarti melakukan dosa. Sedangkan secara terminologis
jinayah didefinisikan dengan semua perbuatan yang dilarang dan
mengandung kemadaratan terhadap jiwa atau terhadap selain jiwa, dan
wajib dijatuhi hukum qishash atau membayar denda.16 Jadi fiqih jinayah
adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan
criminal yang dilakukan oleh orang-orang mukalaf sebagai hasil dari
pemahaman atas dalil-dalil hukum yang terperinci dari Alqur’an dan
hadist.
Jinayat secara garis besar dibedakan menjadi dua kategori, yaitu
sebagai berikut:
a. Jinayat terhadapa jiwa, yaitu pelanggaran terhadap seseorang dengan
menghilangkan nyawa, baik sengaja maupun tidak sengaja.
b. Jinayat terhadap organ tubuh, yaitu pelanggaran terhadap seseorang
dengan merusak salah satu organ tubuhnya, atau melukai salah satu
badannya, baik sengaja maupun tidak sengaja
Tujuan disyari’atkan Fiqih Jinayah adalah dalam rangka untuk
memelihara akal, jiwa, harta dan keturunan. Dan ruang lingkup jinayah
meliputi pencurian, perzinahan, homoseksual, menuduh seseorang berzina,
minum khamar, membunuh atau melukai orang lain, merusak harta orang
dan melakukan gerakan kekacauan dan lain sebagainya. Dikalangan para
fuqaha’ perkataan jinayah berarti perbuatanperbuatan yang terlarang
menurut syara’. Selain itu terdapat fuqaha’yang membatasi istilah jinayah
kepada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan
qishash tidak termasuk perbuatan-perbuatan yang diancam dengan
hukuman ta’zir. Istilah ini yang sepadan dengan istilah jinayah adalah
jarimah, yaitu larangan – larangan syara’ yang diancam oleh Allah dengan
hukuman had dan ta’zir.
5. Al-Ahkam Al-Sultoniyyah
Al-Ahkam Al-Sultoniyyah (hukum ketatanegaraan) membicarakan
soal hubungan dengan kepala negara, pemerintah dan sebagainya. Ibnu
Kencana Syafi’i berkesimpulan bahwa Hukum Tata Negara adalah aturan
susunan serta tata cara yang berlaku dalam suatu kelompok keluarga,
organisasi ke-wilayahan dan kedaerahan yang memiliki kekuasaan,
kewenangan yang absah serta kepemimpinan pemerintahan yang ber-
daulat, guna mewujudkan kesejahteraan, keamanan, ketertiban, dan
kelangsungan hidup orang banyak (bangsa) dalam mencapai tujuan serta
cita-cita bersama.
Dari pengertian yang dikemukakan di atas, maka dapat ditarik
suatu kesimpulan bahwa tata negara adalah segala sesuatu yang mengenai
peraturan-peraturan, sifat, dan bentuk pemerintahan suatu negara.
Ibnu Taimiyah, salah seorang pelopor pembaharuan dalam Islam
dan seorang penganjur ijtihad dalam rangka kembali kepada Alquran dan
sunah, dalam teori kenegaraannya lebih mefokuskan pada peran syari’ah
dalam negara. Beliau memahami apapun bentuk pemerintahan dalam
Islam ia semata-mata alat syari’ah.12 Dengan demikian, beliau lebih
menekankan pada supermasi hukum Islam ketimbang bentuk
pemerintahan yang formal.
Begitu pula cara menentukan pemimpin umat atau kepala negara
tidak terdapat petunjuk dalam Alquran maupun hadis nabi, selain petunjuk
yang sifatnya sangat umum agar umat Islam mencari penyelesaian dalam
masalah-masalah yang menyangkut kepentingan bersama melalui
musyawarah, tanpa adanya pola yang baku tentang bagaimana
musyawarah itu harus diselenggarakan. Itulah salah satu sebab utama
mengapa dalam masa empat al-Khulafa al-Rasyidin itu ditentukan melalui
musyawarah, tetapi pola musyawarah yang ditempuhnya beraneka ragam
Abu Bakar menjadi khalifah yang pertama melalui pemilihan
dalam satu musyawarah terbuka, terutama oleh lima tokoh yang mewakili
semua unsur utama dari masyarakat Islam pada waktu itu. Umar bin
Khattab diangkat sebagai khalifah kedua melalui penunjukan Abu Bakar
setelah mengadakan konsultasi tertutup dengan beberapa sahabat senior
dan tidak melalui pemilihan terbuka. Usman bin Affan dingkat melalui
pemilihan dalam satu pertemuan terbuka oleh dewan formatur yang
ditunjuk oleh Khalifah Usman berdasarkan pertimbangan kualitas pribadi
masing-masing. Ali bin Abi Thalib diangkat melalui pemilihan dan
pertemuan terbuka, tetapi dalam suasana kacau sehingga keabsahan
pengangkatan Ali13 Keempat khalifah itu senantiasa melestarikan tradisi
musyawarah dalam mengelola urusan negara dan menyelesai-kan masalah-
masalah kemasyarakatan.
Sebagaimana yang telah dikemuka-kan di atas bahwa manusia itu
sebagai makhluk sosial dan sekaligus sebagai khalifah Allah di bumi ini.
Makna khalifah dilihat dari segi hukum Allah adalah sebagai pengemban
amanah Allah. Dalam hal ini, Allah telah melimpahkan suatu tugas kepada
manusia untuk mengatur dan mengelola bumi ini dengan sebaik-baiknya
menurut ketentuan-ketentuan yang ia gariskan.Apabila manusia berkuasa
di muka bumi, maka kekuasaan itu diperolehnya sebagai suatu
pendelegasian kewenangan dari Allah swt., karena Allah swt. adalah
sumber dari segala kekuasaan. Alquran menegaskan bahwa Allah swt.
sebagai pemilik kekuasaan yang Dia dapat limpahkan kepada siapa saja
yang Dia kehendaki, demikian pula Dia mampu merenggut kekuasaan dari
siapa saja yang Dia kehendaki.14 Dengan demikian, ke-kuasaan yang
dimiliki manusia hanyalah sekedar amanah dari Allah swt Yang Maha
Kuasa
6. Siyar
Siyar yang dapat diartikan sebagai hukum internasional Islam.
Berdasarkan pelacakan historis, istilah Siyar merupakan hasil pemikiran
dari Abu Hanifah (Imam Hanafi) yang kemudian dilanjutkan oleh
muridnya yaitu Abu Yusuf dan Shaybani. Imam Hanafi memberi
pengertian Siyar sebagai seperangkat aturan dan prinsip yang mengatur
hubungan hubungan eksternal umat muslim dengan non-muslim.
Secara etimologi, Siyar merupakan bentuk jamak dari kata Sira
yang berarti perilaku, praktik, jalan hidup dan tingkah laku. Sedangkan
Sira sendiri berarti kondisi atau situasi. Berdasarkan asal kata tersebut
maka Siyar dapat diartikan sebagai perilaku seseorang untuk berperilaku
baik yang kemudian artinya meluas tidak hanya meliputi perbuatan namun
juga kondisi/situasi.
Sumber hukum dalam hukum internasional Islam (Siyar) tentu saja
berbeda dengan sumber hukum yang digunakan di atas. Dalam hukum
internasional Islam, sumber hukumnya merujuk pada empat sumber
hukum dalam hukum Islam, yaitu Al Quran, Sunnah, Ijma, Qiyas. Islam
sebagai sumber hukum internasional material, dengan demikian dapat
dilakukan melalui proses ijtihad. Hal inilah yang telah dilakukan oleh
Wahbah Zuhaili dengan mencoba membuat daftar prinsip-prinsip dalam
hukum Islam yang pada dasarnya selaras dengan hukum internasional.
Upaya yang dilakukan dalam dari segi materiil juga bisa
perlakukan sama dalam hal sebagai sumber hukum formil dalam hukum
internasional. Melalui penerimaan-penerimaan hukum Islam dalam sumber
hukum formil merupakan bukti bahwa prinsip-prinsip hukum Islam telah
diterima oleh masyarakat internasional.Tugas maha penting tentu saja
dengan memasukkan prinsip-prinsip hukum Islam ke dalam perjanjian-
perjanjian internasional.
7. Mukhasamat.
Mukhasamat (hukum acara) merupakan hukum yang mengatur
tentang peradilan, kehakiman,dan hukum acara. Menurut Wirjono
Prodjodikoro, beliau mengistilahkan hukum acara perdata merupakan
rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus
bertindak terhadap dan dimuka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan
itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya
peraturan-peraturan hukum perdata.
Sedangkan R Subekti, berpendapat bahwa hukum acara itu
mengabdi kepada hukum materiil, maka dengan sendirinya setiap
perkembangan dalam hukum materiil itu sebaik selalu diikuti dengan
sesuai hukum acaranya.
Untuk menerapkan hukum acara dengan baik maka perlu diketahui
asas-asasnya. Asas-asas hukum peradilan agama ialah sebagai berikut:
a. Asas Personalitas KeIslaman
Asas pertama yakni asas personalitas keIslaman yang tunduk
dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan Peradilan
Agama, hanya mereka yang mengaku dirinya pemeluk agama Islam
Penganut agama lain diluar Islam atau yang non Islam, tidak tunduk
dan dapat dipaksakan tunduk kepada kekuasaan lingkungan peradilan
agama.
b. Peradilan bebas dari campur tangan pihak-pihak diluar kekuasaan
kehakiman.
Kebebasan dalam melaksanakan wewenang judiciel menurut
UU No. 14 tahun 1970 yang diubah menjadi UU No. 4 tahun 2004
tidak mutlak sifatnya, karena tugas daripada hakim adalah untuk
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dengan jalan
menafsirkan hukum dan mencari dasar hukum serta asas-asas yang
menjadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan
kepadanya, sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan
bangsa dan rakyat Indonesia.
c. Hakim bersifat Menunggu
Asas daripada hukum acara pada umumnya, termasuk hukum
acara perdata, ialah bahwa pelaksanaannya yaitu bersifat inisiatif untuk
mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang
berkepentingan. Jadi apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu
perkara atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak, sepenuhnya
diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Kalau tidak ada
tuntutan hak atau penuntutan, maka ada hakim.
d. Hakim bersifat Pasif
Ruang lingkup pokok sengketa ditentukan oleh para pihak
bukan oleh hakim. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 118 ayat (1)
HIR, pasal 142 ayat (1) R.Bg. Hakim hanya membantu para pencari
keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk
dapat tercapainya peradilan. Sebaliknya hakim harus aktif dalam
memimpin jalannya pesidangan, membantu kedua pihak dalam
menemukan kebenaran, tetapi dalam memeriksa perkara perdata hakim
harus bersifat tut wuri. Hakim terikat pada peristiwa yang diajukan
oleh para pihak.
e. Sifatnya terbukanya persidangan
Apabila putusan dinyatakan dalam sidang yang tidak dinyatakan
terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai
kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut
hukum. Di dalam praktek meskipun hakim tidak menyatakan
persidangan terbuka untuk umum, tetapi kalau didalam berita acara
dicatat bahwa persidangan dinyatakan terbuka untuk umum, maka
putusan yang dujatuhkan tetap sah. Secara formil asas ini tujuan asas
ini sebagai sosial kontrol. Asas terbukanya persidangan tidak
mempuyai arti bagi acara yang berlangsung secara tertulis.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Hukum menurut bahasa diambil dari kata hakama berarti ketetapan
atau keputusan. Hukum menurut istilah adalah seperangat peraturan
berdasaran wahyu Allah dan sunnah Rasul mengenai tingkahlaku orang
mukallaf yang diakui dan diyakini. Hukum menurut fuqaha yaitu sifat/adzar
dan hitab Allah.
Hukum Islam tidak membedakan dengan tajam antara hukum perdata
dengan hukum publik. Yang dimaksud dengan ruang lingkup hukum Islam
atau bidang-bidang hukum yang menjadi bagian dari hukum Islam. Hukum
Islam berbeda dengan hukum barat yang membagi hukum
menjadi hukum privat (perdata) dan hukum publik. Ini disebabkan karena
menurut hukum Islam pada hukum perdata terdapat segi-segi publik dan pada
hukum publik ada segi-segi perdatanya. Ruang lingkup hukum Islam
diklasifikasi ke dalam dua kelompok besar yaitu :
1. Hukum Perdata Islam
a. Munakahat (Perkawinan), perkawinan berasal dari kata kawin yang
menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan
digunakan untuk bersetubuh (wathi’). Kata kawin sendiri sering
dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus), juga untuk arti akad
nikah. Perkawinan disebut juga pernikahan, dalam bahasa Indonesia
pernikahan berasal dari kata nikah yang menurut bahasa artinya
membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan
kelamin atau bersetubuh.
b. Wirasah, hukum waris dalam Islam merupakan subsistem hukum
keluarga Islam (al-ahwal al-shakhsiyyah). Secara bahasa, waris dalam
hukum Islam dapat diartikan sebagai berpindahnya sesuatu dari
seseorang kepada orang lain atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
c. Muamalah (hukum benda dan hukum perjanjian) mengatur mengatur
masalah tentang hak atas kebendaan, tata hubungan soal jual beli,
sewa menyewa, dan pinjam meminjam.
2. Hukum Publik Islam
a. Jinayah (hukum pidana) yang memuat aturan menegenai perbuatan-
perbuatan yang diancamdengan hukuman baik jarima huduh
(perbuatan pidana yang telah ditentukan bentukdan batas
hukumannya dalam al-Quran dan sunnah nabi) maupun Jarimah
Ta’zir (perbuatan pidana yang bentuk ancaman dan hukumnya
ditentukan oleh pengguna sebagai pelajaran bagi pelakunya).
b. Al-Ahkam Al-Sulthaniyah (hukum ketatanegaraan HAN dan HTN)
membicarakan hal-hal yang mengenai kepala negara, pemerintahan,
tentara dan pajak.
c. Siyar (Hukum Interasional), yang mengatur urusan perang dan damai,
tata hubungan pemeluk agama, dan negara lain.
d. Mukhasamat (Hukum Acara) yang mengatur soal peradilan, kehaman
dan norma acara.
DAFTAR PUSTAKA