Anda di halaman 1dari 5

Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama

Dalam hukum acara peradilan agama terdapat asasasas dalam proses ber acaranya, yang
meliputi sebagai berikut :
1. Bebas Merdeka Kekuasaan Kehakiman

Asas bebas merdeka adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggrakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggranya
Negara Hukum Republik Indonesia. Pada dasarnya asas kebebasan hakim dan peradilan yang
digariskan dalam UU No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas UU No. 7 than 1989 tentang
peradlan agama adalah merujuk pada pasal 24 UUD 1945 dan jo. Pasal 1 Undang-undang No.4
tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.

Dalam penjelasan Pasal 1 UU No. 4 tahun 2004 ini disebutkan bahwa, “Kekuasaan
kehakiman yang merdeka ini mengandung pengertian didalamnya kekuasaan kehakiman yang
bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan,
direktiva atau rekomedasi yang datang dari pihak ekstra yudisial kecuali dalamhal yang
diizinkan undang-undang “

2. Pelaksana Kekuasaan Kehakiman

Asas sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, maksudnya penyelenggara kekuasaan


kehakiman dilakukan oleh mahkamah agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi. Semua peradilan
diseluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan
undang-undang. Dengan demikian, peradilan negara menerapkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila.

3. Ketuhanan

Asas Ketuhanan, maksudnya peradilan agama dalam menerapkan hukumnya selalu


berpedoman pada sumber hukum agama islam sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan
harus dimulai dengan kalimat basmalah yang diikuti dengan irah-irah atau kalimat “Demi
keadilan berdasarkan ketuhanan yang maha esa”.

4. Asas Personalita Keislaman


Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan peradilan agama ,
hanya mereka yang mengaku pemeluk agama Islam, penganut agama lain di luar Islam atau
yang non islam, tidak tunduk dan tidak dapat dipaksa tunduk kepada lingkungan Peradilan
Agama .

Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989 :


Peradilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan
yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu.
Penjelasan Umum dari pasal 2 :

Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat pertama untuk memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam dibidang
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah berdasarkan hukum Islam

Asas personalita keislaman :

 Pihak-pihak yang bersengketa harus sama-sama pemeluk agama Islam.


 Perkara perdata yang dipersengketakan terbatas mengenai perkara di bidang
perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah.
 Hubungan hukum yang melandasai keperdataan tertentu tersebut berdasarkan hukum
Islam, oleh karena itu cara penyelesaiannya pun berdasarkan hukum Islam.

Surat Ketua Mahkamah Agung RI tanggal 31 Agustus 1983 yang isi pokoknya :

“bahwa yang dipergunakan sebagai ukuran untuk menentukan berwenang tidaknya


Pengadilan Agama adalah HUKUM YANG BERLAKU WAKTU PERNIKAHAN
DILANGSUNGKAN “ Berarti seseorang yang melangsungkan perkawinannya secara Islam,
perkaranya tetap wewenang PA walaupun salah satu pihak tidak beragama Islam lagi.”

Patokan untuk meletakkan personalita keislaman bagaimana ?

a. Patokan Umum, yaitu:

- Dia mengaku beragama Islam


- KTPnya tertulis beragama Islam
- Sensus penduduk, SIM, Pasport, surat keterangan lain
- Kesaksian seseorang

b. Patokan saat terjadi, ditentukan oleh 2 ( dua ) syarat :

1. Pada saat terjadi hubungan hukum kedua belah pihak sama-sama beragama Islam
2. Hubungan ikatan hukum yang mereka lakukan berdasarkan hukum Islam

Yurisprudensi MARI No. 726 K/Sip/1976 tanggal 15 Februari 1977 yang secara normative
menegaskan :

“Setiap penyelesaian sengketa perkawinan (perceraian) ditentukan berdasar hubungan hukum


pada saat perkawinan berlangsung, bukan berdasarkan agama yang dianut pada saat sengketa
terjadi, begitu juga sebaliknya.”

5. Asas Fleksibilitas

Asas Fleksibilitas, yaitu pemeriksaan perkara dilingkungan peradilan agama harus


dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Adapun asas yang diatur dalam pasal 57
(3) UU No. 7 tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-undang No.3 tahun 2006 tentang
peradilan agama jo pasal 4 (2) UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman.
Untuk itu, pengadilan agama wajib membantu kedua pihak berperkara dan berusaha
menjelaskan dan mengtasi segala hambatan yang dihadapi para pihak tersebut.

Sederhana, maksudnya acara yang jelas, mudah dipahami, dan tidak berbelit-belit serta
tidak terjebak pada formalitas yang tidak penting dalam persidangan. Apabila terjebak pada
formalitas yang berbelit-belit, akan menimbulkan berbagai penafsiran.

Cepat, maksudnya dalam melakukan pemerisaan, hakim harus cerdas dalam


menginventaris persoalan yang sedang diajukan dan mengindentifikasi persoalan tersebut.
Kemudian, hakim mengambil intisari pokok dari persoalan yang selanjutnya digali lebih dalam
melalui alat-alat bukti yang ada. Dengan demikian, jika segala sesuatunya sudah diketahui oleh
majelis hakim, tidak ada acara lain, kecuali majelis hakim harus secepatnya mengambil putusan
untuk dibacakan dimuka persidangan yang terbuka untuk umum.

6. Persidangan Terbuka Untuk Umum


Pasal 59 UU No. 7 Tahun 1989
Secara harfiah : setiap pemeriksaan sidang di PA siapa saja yang ingin berkunjung menghadiri,
menyaksikan dan mendengar jalannya persidangan tidak boleh dihalangi dan dilarang.

Menurut ketentuan Pasal 17 UU No. 14 tahun 1970, bahwa sidang pemeriksaan perkara
perdata harus dilaksanakan dalam sidang terbuka untuk umum. Tujuan Dari asas ini adalah
untuk menghadiri terjadinya penyimpangan proses pemeriksaan, seperti berat sebelah, hakim
bertindak sewenang-wenang. Dengan demikian sidang untuk terbuka untuk umum ini
diharapkan agar dapat menjamin adanya social control atau tugas yang dilaksanakan oleh
hakim, sehingga hakim dapat mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair serta tidak
memihak, untuk memberikan edukasi dan prepensi pada masyarakat tentang suatu peristiwa,
masyarakat dapat menilai mana yang baik dan mana yang buruk.

Pengecualian dari asas ini adalah pada perkara-perkara tertentu yang menurut sifatnya
rahasia/privat antara lain terhadap sengketa perceraian, perkara anak dan sebagainya.
Meskipun sidang terbuka untuk umum khusus untuk rapat permusyawaratan hakim bersifat
rahasia, sehingga masyaraat umum tidak bisa menyaksikannya.

7. Non-Ekstra yudisial
Asas non -ekstra yudisial adalah segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak
lain diluar kekuasaan kehakiman diarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam
UUD RI tahun 1945. Dengan demikian , setiap orang yang dengan sengaja melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dapat dipadana.

8. Asas Legalitas
Pasal 58 (1) UU No. 7 Tahun 1989 jo. Pasal 5 (1) UU No. 4 Tahun 2004,
Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Equality
before the Law )
Asas legalitas maksudnya peradilan agama mengadili menurt hukum dengan tidak
membeda-bedakan orang. Asas ini diatur dalam pasal 3 ayat 2, pasal 5 ayat 2, pasal 6 ayat 1
UU No.4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 2 UU No.3 tahun 2006 tentang
Peradilan Agama.

Asas legalitas dapat dimaknai sebagai hak perlindungan hukum sekaligus hak persamaan
hukum. Oleh sebab itu, semua tindakan yang dilakukan dalam rangka menjalankan fungsi dan
kewenangan peradilan harus berdasarkan hukum yang berlaku dan yang mengaturnya, mulai
tindakan pemanggilan, penyitaan, pemeriksaan dipersidangan, putusan yang dijatuhkan dan
eksekusi putusan, semuanya harus berdasarkan atas hukum atau perundang-undangan yang
berlaku, bukan menurut atau atas dasar selera hakim.

Hukum Acara Peradilan Agama bersifat “Lex Specialis” , sesuai dengan yang dijelaskan
dalam pasal 54 UU No. 7 tahun 1989 yang menyatakan bahwa, “Hukum acara yang berlaku
pada pengadilan, pada lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang
berada pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur khusus
dalam undang-undang ini”.

Berdasarkan Pasal 54 tersebut berlaku asas Lex Specialis derogate lex generalis yang
berarti disamping hukum acara yang berlaku pada pengadilan dilingkungan pengadilan agama,
berlaku pula hukum acara yang berlaku pada pada pengadilan dalam lingkungan peradilan
umum, tetapi secara khusus berlaku hukum acara yang hanya dimiliki oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama.

Berdasarkan ketentuan Pasal 54 UU No. 7 tahun 1989, hukum acara yang berlaku
diperadilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku dilingkungan peradilan umum,
kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang tersebut. Oleh karena itu,
ketentuan-ketentuan umum yang berlaku dalam hukum acara peradilan agama. Dengan
demikian, hubungan hukum acara peradilan agama dengan hukum acara perdata adalah sumber
hukumnya dan ketentuan yang berlaku swbagian besar adalah sama.

9. Asas Wajib Mendamaikan


Karena dalam Putusan pasti ada pihak yang dikalahkan dan dimenangkan. Karena
proses litigasi adalah menang dan kalah atau winning or loosing sedangkan proses damai
adalah win-win solution. Tapi sering dalam praktek , hakim sering menodai dengan bentuk
pemaksaan dan memakai filsafat belah bamboo.
Sampai dimana peran hakim mendamaikan pihak-pihak yang berperkara ? Perannya terbatas
sampai anjuran, nasihat penjelasan dan memberi bantuan dalam perumusan sepanjang hal itu
diminta oleh kedua belah pihak. Hasil akhir perdamaian harus benar-benar kesepakatan
kehendak bebas dari kedua belah pihak. ( pasal 1320 BW )

Dalam kesepakatan tidak boleh ada cacat yang mengandung

- Kekhilafan ( Dwaling )
- Paksaan ( Dwang )
- Penipuan ( Bedrog )
Perdamaian dampaknya dalam proses perceraian, bukan hanya keutuhan perkawinan
saja yang dapat diselamatkan, sekaligus dapat diselamatkan kelanjutan pemeliharaan dan
pembinaan anak- anak secara normal.

- Kerukunan antara keluarga kedua belah pihak dapat berlanjut


- Harta bersama dalam perkawinan dapat lestari menopang kehidupan rumah tangga
- Suami istri dapat terhindar dari gangguan pergaulan social kemasyarakatan
- Mental dan pertumbuhan kejiwaan anak-nak terhindar dari perasaan terasing dan rendah
diri dalam pergaulan hidup

Mendamaikan dalam proses perceraian merupakan kegiatan terpuji dan lebih


diutamakan dibanding dengan upaya mendamaikan persengketaan di bidang lain. Hakim harus
lebih mengetahui faktor yang melatar belakangi persengketaan.
Asas kewajiban mendamakan diatur dalam pasal 65 dan 82 UU No. 7 Tahun 1989. Pasal 39
UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 31 PP No. 9 Tahun a975 yang berbunyi :

(1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua belah pihak

(2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap siding
pemeriksaan.

Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974;


Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Dalam perkara perceraian karena perselisihan maka hakim wajib mendamaikan secara
optimal, sedangkan dengan alasan lain seperti dengan alasan zina, cacat badan atau jiwa yang
berakibat tidak dapat menjalankan / melaksanakan kewajiban sifat upaya mendamaikan tetap
merupakan fungsi, tapi tidak dituntut upaya optimal.
Mendamaikan bukanlagi merupakan kewajiban hukum, tapi sudah merupakan kewajiban
moral.

Anda mungkin juga menyukai