Anda di halaman 1dari 12

TUGAS HUKUM PERDATA

INTERNASIONAL

NAMA : LALITA TAN


NPM : 010116055
KELAS : EKSTENSI

Soal
 Penjelasan Lex Fori
 Penjelasan Lex Resitae, dll
 Mereview Kasus yang menyangkut perkawinan
 Mereview kasus yang menyangkut jual beli Internasional
 Mereview kasus yang menyangkut adopsi
Teori Kualifikasi Lex Fori
Tokoh-tokohnya adalah : Franz Kahn (Jerman) dan Bartin (Prancis). Baik F Kahn maupun Bartin
bertitik tolak dari anggapan bahwa : Kualifikasi harus dilakukan berdasarkan hukum dari
pengadilan yang mengadili perkara (Lex Fori), sebab kualifikasi adalah bagian dari hukum intern
forum.
Franz Kahn lebih lanjut beranggapan bahwa kualifikasi dilakukan berdasarkan Lex Fori karena
alasan-alasan :
a. Kesederhanaan (simplicity), sebab bila kualifikasi dilakukan berdasarkan Lex Fori maka
pengertian/ batasan tentang hukum yang digunakan adalah pengertian-pengertian yang telah
dikenal oleh hakim.
b. Kepastian (certainty ), sebab orang-orang yang berkepentingan dalam suatu perkara akan telah
mengetahui terlebih dahulu sebagai peristiwa hukum apa suatu peristiwa hukum akan
dikualifikasikan oleh hakim, beserta segala konsekuensinya.

Bartin menambahkan pandangannya sebagai berikut : Kualifikasi harus dilakukan berdasarkan


Lex Fori karena sebenarnya seorang hakim telah disumpah untuk menegakkan hukumnya sendiri
dan bukan sistem hukum asing manapun.
Menurut Bartin, seorang hakim memberlakukan suatu sistem hukum asing hanyalah sebagai
wujud dari kesukarelaan forum untuk membatasi kedaulatan lex fori. Pembatasan inipun hanya
dapat dilakukan setelah pengertian /konsep-konsep hukum asing yang bersangkutan
dikualifikasikan berdasarkan lex fori terlebih dahulu. Demikian pula, dalam hal Hakim
menghadapi konsep-konsep hukum asing yang tidak dikenal pada Lex Fori, maka ia harus
menerapkan konsep-konsep hukumnya sendiri yang setara dengan konsep hukum asing itu. Tia
Aristutia, SH., MH Disusun oleh Tia Aristutia, SH., MH 13
Para penganut teori ini umumnya sependapat bahwa terhadap kewajiban kualifikasi berdasarkan
Lex Fori terdapat perkecualian-perkecualian, yaitu :
- Bila persoalan menyangkut hakekat suatu benda bergerak atau benda tetap, maka kualifikasi
harus dilakukan berdasarkan Lex Situs (hukum dari tempat di mana benda berada )
- Dalam hal perkara menyangkut penentuan tempat pembuatan kontrak atau masalah hukum
yang berlaku atas suatu kontrak yang dibuat melalui korespondensi, maka kualifikasi harus
dilakukan berdasarkan Lex Loci Contractus (hukum yang seharusnya berlaku adalah hukum dari
tempat pembuatan kontrak ).

Kebaikan dari teori ini adalah :


Kaidah-kaidah hukum Lex Fori paling dikenal oleh Hakim, sehingga perkara lebih mudah
diselesaikan.
Kelemahan dari teori ini :
Adakalanya menimbulkan ketidakadilan, sebab kualifikasi dijalankan dengan menggunakan
ukuran-ukuran yang tidak selalu sesuai dengan sistem hukum asing yang seharusnya
diberlakukan, atau bahkan dengan ukuran-ukuran yang tidak dikenal oleh sistem hukum asing
tersebut.
Kasus 2
Contoh kasus penggunaan Kualifikasi Lex Fori
Perkara “OGDEN vs OGDEN (1908)”
Kasus Posisi :
- Philip warga negara Prancis, berdomisili di Prancis, dan berusia 19 tahun.
- Philip menikah dengan Sarah yang berkewarganegaraan Inggris
- Pernikahan Philip dan Sarah dilangsungkan dan diresmikan di Inggris (Tahun 1898)
- Philip menikah dengan Sarah tanpa izin orang tua Philip. Izin orang tua ini diwajibkan oleh
hukum Prancis (Pasal 148 CC Prancis)
- Tahun 1901, Philip pulang dan mengajukan pembatalan pernikahan di Prancis dengan alasan
pernikahan tanpa izin orang tua.
- Permohonan tersebut dikabulkan Pengadilan Prancis dan Philip kemudian menikah dengan
seorang wanita Prancis di Prancis.
- Sarah menggugat Philip di Inggris karena Philip dianggap melakukan perzinahan dan
meninggalkan istrinya terlantar. Gugatan ditolak karena alasan yurisdiksi.
- Sarah yang sudah merasa tidak terikat dengan Philip, menikah kembali dengan Ogden (warga
negara Inggris). Perkawinan Sarah dan Ogden dilangsungkan di Inggris tahun 1904.
- Tahun 1906, Ogden menganggap bahwa Sarah masih terikat perkawinan dengan Philip karena
berdasarkan hukum Inggris perkawinan Sarah belum dianggap batal karena keputusan
Pengadilan Prancis tidak diakui di Inggris.
Tia Aristutia, SH., MH Disusun oleh Tia Aristutia, SH., MH 14

- Ogden yang mengetahui Sarah masih terikat perkawinan dengan Philip mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan dengan Sarah, dengan dasar hukum bahwa istrinya telah
berpoligami (berpoliandry)
- Permohonan diajukan di Pengadilan Inggris.

Proses Penyelesaian Sengketa :


(Coba anda tentukan sendiri titik-titik taut yang relevan sebagai titik taut primer maupun
sekunder dalam perkara ini )
Dalam menyelesaikan perkara ini, yang harus diputuskan terlebih dahulu adalah :
Apakah perkawinan Philip dan Sarah dianggap sah atau tidak ? Dalam kaitan ini titik-titik taut
yang ada menunjuk ke arah hukum Inggris sebagai lex locus celebrationis karena pernikahan
Philip dan Sarah dilangsungkan di Inggris, serta menunjuk ke hukum Prancis sebagai lex patriae
karena Philip warga negara Prancis dan lex domicilii karena Philip berdomisili di Prancis.
Dalam hal ini Kaidah HPI Inggris menyatakan bahwa :
a. Persyaratan Esensial dari suatu perkawinan, termasuk ke mampuan hukum seorang pria untuk
menikah (legal capacity to marry) harus ditentukan berdasarkan lex domicilii (Dalam hal ini
adalah hukum Prancis).
b. Persyaratan Formal suatu perkawinan harus diatur oleh Lec Loci Celebrationis (dalam hal ini
adalah hukum Inggris)

Sementara itu, bila pasal 148 Code Civil Prancis diperhatikan, maka dapat dikatakan bahwa
ketentuan tentang kewajiban yang tercantum di dalamnya harus dianggap sebagai persyaratan
esensial bagi suatu perkawinan.
Pasal 148 CC menyatakan : “ Seorang anak laki-laki yang belum berusia 25 tahun tidak dapat
menikah bila tidak ada ijin dari orang tuanya”.
Jadi bagi hukum Prancis (Lex Domicilii Philip) tidak adanya ijin orang tua seharusnya
menyebabkan batalnya perkawinan antara Philip dan Sarah.
Tetapi kenyataannya Hakim Inggris memutuskan bahwa :
- Perkawinan antara Philip dan Sarah dinyatakan tetap sah, sebab “ijin orang tua” berdasarkan
hukum Inggris (Lex Fori) dianggap sebagai persyaratan formal saja, dan secara yuridik
perkawinan itu tetap dianggap sah karena dianggap telah memenuhi ketentuan/persyaratan
esensial hukum Inggris (sebagai Lex Loci Celebrationis).
- Karena itu pula, pernikahan antara Sarah dan Ogden dianggap tidak sah (karena dianggap
polygamous) dan harus dinyatakan batal.
- Permohonan Ogden dikabulkan Pengadilan Inggris.
Tia Aristutia, SH., MH Disusun oleh Tia Aristutia, SH., MH 15
Dari cara berpikir Hakim Inggris itu tampak bahwa ia mengkualifikasikan “ijin orang tua”
berdasarkan hukumnya sendiri saja (lex fori). Jadi ketentuan pasal 148 CC (sebagai Lex Causae )
dikualifikasikan berdasarkan lex fori.

Asas-asas HPI
1. Lex Rei Sitae ( Lex Situs ): hukum yang berlaku atas suatu benda adalah hukum dari tempat
dimana benda itu terletak atau berada→ bias benda bergerak, berwujud, atau tak berwujud.

2. Lex Loci Contractus: terhadap perjanjian yang bersifat HPI berlaku kaidah hukum dari tempat
pembuatan perjanjian/ tempat dimana perjanjian ditandatangani.

3. Lex Loci Solutionis: hukum yang berlaku adalah tempat dimana isi perjanjian dilaksanakan.

4. Lex Loci Celebrationis: hukum yang berlaku bagi sebuah perkawinan adalah sesuai dengan
hukum tempat perkawinan itu dilangsungkan.

5. Lex Domicile: hukum yang berlaku adalah tempat seseorang berkediaman tetap/ permanent
home.
6. Lex Patriae: hukum yang berlaku adalah dari tempat seseorang berkewarganegaraan.
7. Lex Loci Forum: hukum yang berlaku adalah tempat perbuatan resmi dilakukan. Perbuatan
resmi adalah pendaftaran tanah, kapal dan gugatan perkara itu diajukan dan perbuatan hukum
yang diajukan.
8.Lex Loci delicti commisi tator:Hukum dari tempat dimana perbuatan melanggar hukum
dilakukan

9. Asas choice of law ( pilihan hukum ): hukum yang berlaku adalah hukum yang dipilih
berdasarkan para pihak.
Kasus yang menyangkut perkawinan

A. Kasus posisi

Dunia infotainment Indonesia kembali dihebohkan dengan berita mengenai gugatan


pembatalan pernikahan,yang diajukan olehseorang warga negara Jerman, bernama Ludwig Franz
Willibald Maria Joseph Leonard Erbgraf Von Waldburg Wolfegg Waldsee yang lahir di
Ravensburg, Jerman, kepada presenter Jessica Iskandar seorang yang berkewarganegaraan
Indonesia. Pernikahan Ludwig dan Jessica diketahui dilaksanakan di Gereja Yesus Sejati, Jakarta
Pusat, Indonesia danbelum genap berjalan satu tahun. Diketahui setelah pernikahan tersebut
Jessica menetap di California, Amerika Serikat dan telah melahirkan seorang anak disana.

Kronologis kasus dapat digambarkan sebagai berikut:


1. Peristiwa ini dimulai saat Henry yang merupakan adalah kakak Jessica Iskandar
mendatangi Disdukcapil DKI Jakarta dengan membawa persyaratan untuk pencatatan
perkawinan secara sipil pada tanggal 17 Desember 2013.

2. Selain surat pengantar pernikahan dari kelurahan, Henry juga membawa surat pemberkatan
dari Gereja Yesus Sejati di Jl. Samahudi, Jakarta Pusat. Dari surat tersebut, terdapat
keterangan bahwa Jessica dan Ludwig telah menjalani pemberkatan pada 11 Desember
2013, oleh pendeta Simone Jonathan.

3. Pengajuan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan verifikasi formal oleh pihak


Disdukcapil. Kemudian diumumkan pada 19 Desember 2013, bahwa Jessica dan Ludwig
akan menjalani pencatatan pernikahan di Dinas Catatan Sipil Jakarta Selatan. Atas surat
tersebut, pihak Disdukcapil DKI telah mengeluarkan akta nikah untuk Jessica Iskandar.

4. Di kawasan Epicentrum, Kuning, Jakarta Selatan pencatatan dilakukan pada 8 Januari


2014. Sebelumnya, pihak terkait memastikan bahwa tidak ada pihak yang keberatan
dengan pencatatan tersebut.

5. Setelah pencatatan tersebut, diketahui bahwa Jessica pergi keluar negeri dan menetap di
California, Amerika Serikat. Kemudian disana Jessica juga dikabarkan bahwa telah
melahirkan seorang anak laki-laki.
6. Namun pada tanggal 2 Juni 2014, pihak Gereja Yesus Sejati mengirimkan surat pernyataan
kepada Disdukcapil bahwa gereja tersebut ternyata tidak pernah melakukan pemberkatan
terhadap Jessica dan Ludwig. Nama pendeta yang memberkati mereka yaitu Simone
Jonathan juga dinyatakan fiktif oleh pihak gereja, karena tidak ada daftar pendeta dengan
nama tersebut yang tercatat dalam gereja itu.

7. Kemudian pada tanggal 13 Oktober 2014, ternyata Ludwig mengajukan gugatan


pembatalan pernikahan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, karena merasa tidak pernah
menikah dengan Jessica.

8. Dari pihak Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta pun juga sudah
mengkonfirmasi bahwa mereka sempat terkecoh dengan surat bodong yang menyatakan
bahwa Jessica dan Ludwig telah menikah di Gereja Yesus Sejati pada bulan Desember 2013
lalu.

B. Analisis

Kasus gugatan pembatalan pernikahan yang diajukan oleh Ludwig kepada Jessica tersebut
adalah termasuk ke dalam kasus Hukum Perdata Internasional, karena terdapat unsur asing berupa
faktor personal yaitu status kewarganegaraan dimana Ludwig adalah seorang warga negara Jerman
sedangkan Jessica adalah warga Indonesia. Pernikahan mereka dilakukan di Indonesia. Dimana
fokus kasus ini adalah tentang perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak Jessica yakni
berupa pembuatan akta nikah berdasarkan bukti-bukti surat palsu.

1. Titik Taut Primer

Yang menjadi titik taut primer dalam kasus ini ialah soal kewarganegaraan. Yaitu
Ludwig adalah seorang warga negara Jerman sedangkan Jessica adalah seorang warga
negara Indonesia.

2. Titik Taut Sekunder

Yang menjadi titik taut sekunder kasus ini ialah hukum tempat dilaksanakannya
perbuatan melawan hukum/lex loci delicti commisi (pernikahan dianggap tidak pernah
terjadi). Karena pembuatan akta pernikahan dibuat di Disdukcapil Indonesia.
3. Kualifikasi

Kategori yuridis terhadap fakta yang ditemukan, menjadikan kasus ini masuk dalam
kualifikasi perbuatan melawan hukum. Karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak
Jessica yaitu berupa memalsukan bukti-bukti surat untuk pembuatan akta nikah.
Sedangkan para subyek hukum yang bersengketa masing-masing tunduk pada sistem
hukum yang berbeda. Yaitu Ludwig selaku penggugat adalah warga negara jerman dan
tunduk pada hukum Jerman, sedangkan Jessica adalah warga negara Indonesia dan tunduk
pada hukum Indonesia.

4. Lex fori

Karena perbuatan hukum itu dilakukan di Indonesia, maka lex fori-nya ialah hukum
Indonesia yang akan digunakan untuk mengadili perkara dan menentukan lex causae.
Berdasarkan prinsip HPI “the basis of presence” pasal 25 UU Perkawinan dan pasal 118
ayat (1) HIR dan berdasarkan prinsip kewilayahan dan kedaulatan teritorial merupakan
kewenangan pengadilan indonesia, dikarenakan tergugat dalam perkara tersebut tinggal
didaerah wilayah hukum Indonesia.

5. Lex causae

Berdasarkan lex fori, yaitu hukum indonesia berdasarkan pasal 18 AB jika berkaitan
dengan suatu perbuatan hukum maka diatur berdasarkan tempat dilaksanakannya
perbuatan hukum itu. Maka dalam kasus ini seperti yang sudah diterangkan diatas, karena
perbuatan hukum dilakukan di Indonesia maka lex causae/hukum sebenarnya yang dipakai
untuk mengadili kasus ini juga menggunakan hukum Indonesia.

6. Kewenangan mengadili

Pengadilan yang berhak untuk mengadili kasus ini adalah Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan, Indonesia, sesuai dengan lex fori. Jadi gugatan pembatalan pernikahan dan
pembatalan akta yang dibuat Dinas Dukcapil DKI Jakarta yang diajukan oleh Ludwig
selaku penggugat adalah benar diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Namun karena yang diinginkan penggugat bukan hanya membatalkan perkawinan saja
tetapi juga ingin membatalkan akta yang dibuat Dinas Dukcapil DKI Jakarta, maka proses
pembatalan akta dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara terlebih dahulu. Lalu setelah
itu pembatalan pernikahannya baru dilakukan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Kasus yang menyangkut Jual Beli Internasional


Kasus IPB dan Amerika
IPB melakukan perjanjian untuk mengirim 800 kera ke Amerika, Kera tersebut hanya akan diambil
anaknya saja dan babonnya akan dikembalikan ke Indonesia. Harga perekor disepakati sebesar 80
(delapan puluh) juta dan pihak Amerika Serikat hanya membutuhkan anaknya saja dan harus beranak di
Amerika serikat. Ketika posisi pesawat masih di Swiss, seekor monyet stress dan lepas,melahirkan
anaknya. Karena induknya telah dilumpuhkan dan mati, maka dokter hewan IPB menyuntik mati anak
monyet tersebut karena pertimbangan rasa kasihan . Lawyer Amerika serikat menuntut IPB atas dasar
perlindungan satwa dan dianggap tak memenuhi prestasi dengan sempurna serta membunuh seekor
anak monyet. Disatu sisi, Kera di Indonesia tidak lebih sebagai hama, sedangkan bagi Amerika serikat
merupakan satwa yang harus mendapat perlindungan.

Fakta-faktanya :
IPB melakukan perjanjian dengan Amerika untuk mengirim 800 kera ke Amerika, kera tersebut
hanya akan diambil anaknya saja dan harga perekornya 80 juta.
Amerika hanya membutuhkan anaknya saja dan harus beranak di Amerika Serikat.
Ketika posisi pesawat di Swiss, seekor monyet stress dan lepas, melahirkan anaknya, dan
induknya telah dilumpuhkan dan mati.
Dokter hewan IPB menyuntik mati anak monyet atas dasar rasa kasihan.
Lawyer Ameika menuntut IPB atas dasar perlindungan satwa dan dianggap tidak memenuhi
prestasi, serta membunuh seekor anak monyet.
Anak monyet bagi Amerika merupakan satwa yang dilindungi.

Titik Taut Primer :


Titik taut primer adalah faktor-faktor dan keadaan-keadaan yang memperlihatkan bahwa kita
berhadapan dengan peristiwa hukum perdata Internasional. Atau faktor-faktor dan keadaan-
keadaan yang memperlihatkan bahwa suatu hubungan atau peristiwa adalah peristiwa hukum
perdata Internasional.
Dalam kasus ini titik taut primernya adalah kewarganegaraan dari para pihak. Dimana pihak
penggugat yaitu Lawyer berkewarganegaraan Amerika Serikat, sedangkan pihak tergugat yaitu
dokter hewan IPB berkewarganegaraan Indonesia.

Titik Taut Sekunder :


Titik taut sekunder adalah faktor-faktor dan keadaan-keadaan yang menentukan hukum Negara
mana yang harus berlaku dalam suatu peristiwa hukum perdata internasional.
Dalam kasus ini titik taut sekundernya karena dari perjanjian antara IPB dan Amerika Serikat
tidak ada pilihan hukum atau pilihan forum yang diatur secara tegas dalam perjanjiannya, maka
titik taut sekundernya ada lebih dari satu yaitu :
Lex Loci Contractus (hukum tempat dilangsungkannya perjanjian).
Lex Loci Solutionis (hukum tempat dilaksanakannya perjanjian).
Lex Loci Delicti Commisi (hukum tempat perbuatan melawan hukum dilakukan).
The Most Characteristic Connection (pihak yang lebih menonjol dalam kontrak).

Hukum Yang Berlaku :


Berdasarkan Lex Loci Contractus,maka hukum yang berlaku adalah hukum perdata Indonesia
karena perjanjian dibuat di Indonesia.
Berdasarkan Lex Loci Solutionis, maka hukum yang berlaku adalah hukum Amerika Serikat
karena perjanjian dilaksanakan di Amerika Serikat yaitu, anak monyet yang diperjanjikan harus
beranak di Amerika Serikat.
Berdasarkan Lex Loci Delicti Commisi, maka hukum yang berlaku adalah hukum Swiss, karena
perbuatan melawan hukum berupa penyuntikan mati anak monyet yang diperjanjikan dilakukan
ketika pesawat berada diatas wilayah Negara Swiss.
Berdasarkan The Most Characteristic Connection, maka hukum yang berlaku adalah hukum
perdata Indonesia, karena pihak yang paling menonjol adalah IPB (Indonesia) sebagai penjual
kera, karena IPB yang harus menyerahkan kera,merawat dan menjaga kera dengan baik sampai
nanti kera diserahkan kepada pihak AmerikaSerikat. Dan dalam perjanjian jual-beli pihak yang
paling menonjol atau dominan adalah pihak penjual dalam hal ini adalah IPB.
Kasus yang menyangkut Adopsi
Contoh Kasus

Kasus Erwin/Tristan Dowse


Banyak kasus penjualan anak berkedok adopsi. Erwin, bocah asli Tegal, diadopsi pasangan
suami isteri Irlandia Joseph Dowse-Lala. Nama Erwin pun diubah menjadi Tristan Dowse
setelah bocah itu berhasil mendapatkan kewarganegaraan Irlandia. Tetapi belakangan, Tristan
ditelantarkan seiring hamilnya Lala. Bahkan Joseph berusaha membatalkan status
kewarganegaraan Irlandia bagi bocah yang ‘dibeli’ dari sindikat perdagangan bayi di Ciputat
Tangerang itu.
Tristan adalah salah contoh adopsi orang asing, walaupun dalam praktek terjadi jual beli.
Nyatanya, adopsi itu disahkan PN Jakarta Selatan. Diyakini ada banyak kasus sejenis terjadi
meskipun belum terungkap ke permukaan.
Mahkamah Agung pun tidak menutup mata dan telinga terhadap hal itu. MA menengarai masih
ada hakim yang melenceng dari ketentuan aturan adopsi, terutama oleh orang asing. Dulu, aturan
yang dipakai adalah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 2 Tahun 1979, yang
disempurnakan lewat SEMA No. 6 Tahun 1983.
Isu adopsi oleh orang asing kembali mencuat pasca bencana tsunami dan gempa di Nanggroe
Aceh Darussalam. Untuk mengantisipasi jangan sampai terjadi penetapan palsu dari pengadilan,
akhirnya MA kembali menebitkan SEMA No. 3 Tahun 2005. Salah satu hal baru yang diatur
dalam SEMA 2005 adalah kewajiban PN melaporkan salinan penetapan pengangkatan anak ke
MA selain kepada Dephukham, Depsos, Deplu, Depkes, Kejaksaan dan Kepolisian.
Mahkamah Agung juga memberikan tiga arahan yang harus diperhatikan hakim sebelum
memutus penetapan adopsi anak. Arahan itu juga tercantum dalam Undang-Undang No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pertama, adopsi hanya bisa dilakukan demi kepentingan terbaik anak. Prinsip ini pulalah yang
dianut UU Kewarganegaraan yang terbit 2006.
Kedua, calon orang tua angkat harus seagama dengan calon anak angkat. Bila asal usul anak
tidak diketahui, maka disesuaikan dengan mayoritas pendudukan setempat. Menurut M. Joni,
aturan ini mencegah terjadinya pengangkatan anak yang berbeda agama. Sehingga perbenturan
kewenangan antara PA dan PN tidak akan terjadi.
Ketiga, pengangkatan anak oleh orang asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir
(ultimum remedium). Kalaupun upaya adopsi itu berhasil, Pasal 40 UU Perlindungan Anak
masih mewajibkan orang tua angkat memberitahukan asal usul dan orang tua kandung kepada si
anak kelak. (Amb dari berbagai sumber).
Pengangkatan anak oleh orang asing memang relatif rumit. Tengok saja peristiwa yang belum
lama ini dialami oleh aktris Madonna. Upaya Madonna mengangkat David Banda, seorang anak
di Malawi, mendapat hambatan. UU Malawi rupanya tak membenarkan adopsi oleh WNA.
Meskipun sang anak akhirnya ikut keluarga Madonna, kasus ini menunjukkan bahwa proses
adopsi oleh orang asing tidak semudah yang dibayangkan. Itu sebabnya, dalam beberapa kasus,
calon orang tua angkat lebih memilih jalan pintas
KASUS II
Adopsi Anak Internasional di Luar Indonesia
Madonna Gagal Mengadopsi Anak
Peristiwa kesulitan dalam proses adopsi anak dialami oleh Madonna, ketika gagal mengadopsi
gadis tiga tahun asal Malawi bernama Mercy. Permohonan itu ditolak karena peraturan tempat
tinggal. Persyaratan hukum Malawi mengatur calon orang tua harus menjadi penduduk di negara
tersebut sekitar 18 hingga 24 bulan.
Sebelumnya pada tahun 2006 peraturan tempat tinggal Malawi diabaikan oleh Madonna saat dia
diijinkan membawa anak adopsi pertamanya David Banda ke London sebelum proses adopsinya
selesai tahun 2008. Dalam pembacaan keputusan kasus adopsi kedua ini, hakim juga
mengemukakan kekhawatiran soal potensi dampak pengabulan permohonan terhadap hak asasi
anak yang akan diadopsi.
Hakim mencatat panti asuhan yang ditempati Chifundo James (nama asli Mercy) merupakan
salah salah satu rumah yatim piatu paling bagus di malawi dan tidak lagi hidup dalam
kemiskinan.
Dalam dokumen permohonan adopsi yang diajukan ke pengadilan, Madonna mengatakan dia
“bisa dan mampu memberi Chifundo James kesejahteraan dan menjadikannya anggota
keluarga”.
Sebelumnya sudah banyak artis yang mengadopsi anak dari luar negeri seperti Angelina Jolie,
Mia Farrow, Julie Andrews dan Meg Ryan. Para selebriti ini lebih kepincut pada bayi-bayi asing,
alih-alih pada anak-anak negeri sendiri. Merekalah yang ikut menyumbang pada pertumbuhan
jumlah adopsi internasional yang meningkat tiga kali sejak tahun 1992.
Fakta statistik itu boleh dibilang sangat ironis, sebab bertolak belakang dengan prinsip
permintaan dan penawaran. Seperti dilansir Dave Thomas Foundation, saat ini sedikitnya tercatat
129 ribu anak-anak Amerika yang menunggu diadopsi. Tahun lalu, 79 ribu anak-anak sudah
disetujui diadopsi, tapi cuma 51 orang yang mulus prosesnya. Sisanya, belum jelas rimbanya.
Para calon orangtua yang mencari anak angkat ke luar negeri itu berpikir, ribuan anak-anak calon
adopsi di dalam negeri kondisinya tidak memuaskan. Belum lagi soal biaya yang dianggap lebih
mahal, serta waktu yang bertele-tele.
Berdasarkan catatan majalah Adoptive Families, perkiraan biaya untuk mengadopsi anak-anak
asal China berkisar antara 20 sampai 25 ribu dollar. Sementara anak-anak asal Guatemala sekitar
25 hingga 30 ribu dollar. Mengadopsi anak-anak Rusia biayanya antara 30 sampai 40 ribu dollar.
Bandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk mengadopsi anak-anak Amerika. Seperti
disebutkan oleh Lembaga Adopsi Nasional (NCA), biayanya sekitar delapan sampai 40 ribu
dollar. Harga rata-ratanya bisa 15 sampai 25 ribu dollar. Jadi, jauh lebih murah.
Selain itu prosesnya pun tak kalah cepat. Menurut data American Adoptions, adopsi anak dari
luar negeri butuh waktu 10 sampai 12 bulan, sedangkan mengangkat anak dari dalam negeri
perlu tempo satu hingga 28 bulan. Sesuai peraturan yang baru, proses adopsi anak-anak asal
China dan Guatemala bahkan bisa jauh lebih lama.
Masih banyak faktor lain yang menyebabkan munculnya keengganan calon orangtua potensial
Amerika mengangkat anak dari negeri sendiri. Salah satunya adalah kekhawatiran munculnya
gugatan balik dari orangtua biologis di kemudian hari.
Mengadopsi anak dari negeri tetangga pun, belum tentu bebas dari campur tangan orangtua
kandung bocah-bocah bersangkutan. Madonna sendiri pernah mengalaminya, ketika ia
mengangkat David Banda asal Malawi sebagai anak angkatnya. Ketika itu, ayah David sempat
protes meski akhirnya gagal.
Jadi seperti yang telah dijelaskan di atas mengenai Konvensi Hak-Hak Anak menurut Dewan
Umum PBB bahwa tidak semua negara di dunia mengakui adanya adopsi, bagi negara yang
mengakui adanya perbuatan hukum adopsi, hal tersebut hanya dilakukan atas kepentingan
terbaik anak, dan kemudian hanya pengawasan otoritas yang kompeten dan perlindungan
keamanan bagi anak.

Anda mungkin juga menyukai