Anda di halaman 1dari 11

Bermen Tobacco Case secara Singkat

 Kasus ini dimulai ketika Pemerintah RI mengambil alih Perusahaan Tembakau milik
Belanda yang berlokasi di Indonesia, dengan menggunakan dalih ingin melakukan
Nasionalisasi demi Kepentingan Nasional.
 Tindakan Nasionalisasi Indonesia ini sebenarnya adalah MELANGGAR HUKUM
INTERNASIONAL, yang mana memberikan perlindungan kepada hak/milik orang
asing. Kalaupun diambil alih, Indonesia harus memberikan Ganti rugi yang
PROMPT, EFFECTIVE, dan ADEQUATE
 Dengan menggunakan dalih kondisi negara yang baru Merdeka dan berkembang
serta ada kepentingan untuk membangung struktur ekonominya, Indonesia hanya
memberikan ganti ruginya berupa pembagian dari penjualan hasil perkebunan
tembakau.
 Ganti rugi yang diberikan Indonesia tersebut tidak sesuai dengan Hukum
Internasional yang harus PROMPT, EFFECTIVE, dan ADEQUATE. Ganti Rugi
yang tidak sesuai inilah yang dianggap sebagai salah satu Pelanggaran Hukum
Internasional (Dalil Baru)
 Tindakan Nasionalisasi yang dilakukan Indonesia tersebut, akhirnya digugat oleh
Belanda ke Pengadilan Bremen.
 Pengadilan Bremen akhirnya mengeluarkan suatu Putusan yang isinya adalah bahwa
Pengadilan tidak dapat mencampuri sah tidaknya tindakan Nasionalisasi Indonesia
tersebut, yang mana secara tidak langsung Putusan ini membenarkan tindakan
Nasionalisasi yang telah dilakukan Indonesia
 Putusan Pengadilan Bremen ini pun akhirnya diperkuat (setelah Belanda melakukan
Banding) oleh Putusan Pengadilan Tinggi Bremen
 Putusan ini pun akhirnya diterima oleh Masyarakat Internasional dan menimbulkan
Yurisprudensi Internasional bahwa kepentingan Hukum Internasional dapat
dilanggar oleh kepentingan Hukum Nasional suatu Negara dengan suatu alasan yang
kuat.
Perekonomian Indonesia Pasca Kemerdekaan

Walaupun Indonesia telah diakui kemerdekaan dan kedaulatan politik sebagai negara independen dalam
KMB 1949, akan tetapi sektor perekonomian Indonesia masih berada di bawah bayang-bayang
perusahaan milik Belanda. Isi KMB 1949 secara jelas menegaskan banyaknya keuntungan yang
didapatkan oleh pemodal swasta Belanda, dan hal tersebut secara terpaksa harus diterima mengingat
kondisi ekonomi Indonesia pada saau itu masih belum memiliki kondisi yang kuat. Hasil KMB di bidang
ekonomi dituangkan dalam Kesepakatan Ekonomi Keuangan (Financial-Economic Agreement) dijabarkan
oleh Boediono (2016: 67) sebagai berikut: (1) perusahaan-perusahaan Belanda diperbolehkan beroperasi
kembali seperti sebelum perang, termasuk kebebasan untuk mentransfer keuntungannya; (2) Indonesia
menanggung biaya pembayaran uang pemerintah Hindia Belanda (dalam dan luar negeri) sebesar USD
1,13 miliar; (3) Untuk kebijakan tertentu (misalnya: nasionalisasi); Indonesia perlu berkonsultasi atau dan
meminta persetujuan pemerintah Belanda; (4) Indonesia menanggung biaya 17.000 karyawan eks
Belanda yang berada di Indonesia selama 2 tahun dan menampung 26.000 tentara eks KNIL. Heuristik:
Jurnal Pendidikan Sejarah, 2 (2) (2022), 55-64 Vol. 2, No. 2, Agustus 2022

Pada awal 1950 kondisi perekonomian Indonesia bisa dikatakan buruk. Hal ini disebabkan adanya
kekosongan kas negara sebagai dampak dari perang kemerdekaan. Criksetra: Jurnal Pendidikan Sejarah,
Vol. 10, (2): 98-113, Agustus 2021.

Perkembangan ekonomi pasca pengakuan kedaulatan tidak memiliki perbedaan yang signifikan dari
periode kolonial Hindia-Belanda yang dapat diartikan bahwa perusahaan Belanda masih memegang
sebagian besar sektor perekonomian yang penting, sedangkan pengusaha bumiputera hanya memegang
kendali industri kecil dalam ruang lingkup yang kecil pula. Hingga sekitar tahun 1957- 1958, sebesar 80%
dari banyaknya hasil perkebunan Indonesia dikirim ke Eropa dengan melibatkan agen pedagang-
pedangang Belanda di kota Amsterdam, sebab perkebunan-perkebunan besar di Indonesia yang
sebelumnya dijalankan oleh Belanda memiliki kantor pusat dan cabang yang bertempat di Belanda yang
bertugas mendistribusikan hasil produksi (Kanumoyoso, 2001).

Dapat dilihat, perekonomian Indonesia pasca kemerdekaan masih didominasi oleh aktifitas ekonomi
asing. Pemerintah Indonesia yang tengah berupaya mewujudkan sistem ekonomi nasional yang mandiri
mendapatkan kendala selama modal asing masih beroperasi dan mendominasi aktifitas ekonomi di
Indonesia. Salah satu solusi yang saat itu dianggap jitu untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan
melakukan nasionalisasi berbagai perusahaan asing yang masih beroperasi.

Latar Belakang Indonesia Melaksanakan Nasionalisasi Perusahaan Belanda

Latar belakang utama Indonesia melakukan nasionalisasi adalah kondisi uang kas negara yang kosong.
Bisa dikatakan, alasan utama Indonesia melakukan nasionalisasi adalh mencari dana untuk menjalankan
roda perekonomian dan pemerintahan.

Selain itu, nasionalisasi perusahaan asing merupakan upaya untuk mencapai kedaulatan ekonomi dan
mengurangi dominasi modal asing dalam perekonomian negara. Nasionalisasi perusahaan Belanda
diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada pengusaha bumiputra untuk berkembang dan
berkontribusi dalam mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Tentu saja pasca kemerdekaan
Indonesia ingin membangun perekonomian yang mandiri dan tidak tergantung pada modal asing
ditambah sentimen masyarakat terutama kelompok buruh, yang ingin memiliki kontrol penuh atas
sumber daya ekonomi negara dan mengembangkan pengusaha-pengusaha lokal yang dapat bersaing
secara global.

Tindakan nasionalisasi merupakan suatu hal yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk memperoleh
kedaulatan ekonomi. Kaum nasionalis Indonesia beranggapan bahwa revolusi nasional belum tuntas
selama mereka belum mengubah warisan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional yang dimiliki dan
dikuasai oleh bangsa sendiri. Golay et. al., Underdevelopment and Economic Nationalism in South East
Asia, (Ithaca: Cornell University Press, 1969)

Dasar Hukum Nasionalisasi Perusahaan Asing


Cara Indonesia menasionalisasikan Perusahaan Asing adalah dengan membuat dasar hukum
nasionalisasi Perusahaan asing di Indonesia adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 86 Tahun
1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda.

Pasal-Pasal yang terdapat pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 1958 Tentang
Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda di antaranya adalah

Pasal 1.

Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia yang akan ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik yang penuh dan
bebas Negara Republik Indonesia.

Pasal 2.

(1) Kepada pemilik-pemilik perusahaan-perusahaan tersebut dalam pasal 1 di atas diberi ganti-kerugian
yang besarnya ditetapkan oleh sebuah Panitya yang anggota-anggotanya ditunjuk oleh Pemerintah.

(2) Atas keputusan Panitya tersebut pada ayat 1 di atas maka baik pemilik perusahaan maupun
Pemerintah dapat meminta pemeriksaan banding kepada Mahkamah Agung yang akan memberi
keputusan terakhir menurut acara pemeriksaan banding di hadapannya antara pemilik perusahaan dan
Negara Republik Indonesia sebagai pihak yang bersangkutan.

(3) Pembayaran ganti-kerugian seperti termaksud di atas selanjutnya akan diatur dalam Undang-undang
tersendiri.

Pasal 3.

(1) Ketentuan-ketentuan tersebut dalam "Onteigeningsordonnantie (Stb. 1920 No. 574)" untuk
nasionalisasi ini tidak berlaku.

2) Ketentuan-ketentuan pokok tentang pelaksanaan serta akibat-akibat lebih lanjut daripada penyataan
seperti termaksud dalam pasal 1 di atas, akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 4.

(1) Peraturan Pemerintah seperti termaksud dalam pasal 3 ayat (2) di atas, dapat mengancamkan
hukuman penjara selama-lamanya empat tahun dan/atau hukuman denda setinggi-tingginya satu juta-
rupiah atas pelanggaran aturan-aturannya.
(2) Segala tindak pidana seperti termaksud dalam ayat (1) pasal ini adalah kejahatan.

(3) Mereka yang disangka atau didakwa melakukan kejahatan seperti termaksud dalam ayat (1) diatas,
dapat ditahan menurut cara yang dilakukan terhadap tersangka-tersangka atau terdakwa-terdakwa yang

melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara selamalamanya lima tahun atau lebih.

(4) Semua peraturan tentang hukum acara pidana mengenai penahanan sementara dilakukan terhadap
mereka yang dimaksudkan dalam ayat (3) di atas.

Pasal 5.

Setiap perjanjian atau perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah seperti termaksud dalam pasal 3 ayat (2) di atas adalah batal karena hukum.

Pasal 6.

Undang-undang ini dapat disebut "Undang-undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda".

Pasal 7.

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan dan mempunyai daya surut sampai tanggal 3
Desember 1957.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan-


Perusahaan Milik Belanda yang dijelaskan di atas, disahkan di Jakarta pada tanggal 27 Desember 1958.
Presiden Republik Indonesia oleh presiden Indonesia Bapak Ir. Soekarno.

Penjelasan pasal demi pasal pada undnag-udang di atas di antaranya adalah

Pasal 1.

Bersamaan dengan berlakunya Undang-undang ini oleh Peraturan Pemerintah akan ditunjuk obyek mana
yang dikenakan nasionalisasi. Dasar penunjukan adalah kepentingan Negara menurut kebijaksanaan
Pemerintah, Dalam melakukan penunjukan tersebut Pemerintah senantiasa berpedoman, pada
pelindungan hak c.q. kepentingan dari pihak ketiga yang bersangkutan dengan perusahaan yang
dikenakan nasionalisasi. Di luar pencabutan hak milik ini tetap berlaku penguasaan c.q. pengawasan
selama dianggap perlu dalam keadaan bahaya ex Peraturan Pemerintah No.23 tahun 1958 (Lembaran-
Negara 39/1958).

Pasal 2.

Ayat (1), (2) dan (3), Pihak-pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan agar ditentukan
jumlah ganti kerugian dengan acara (procedure) yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Cara pembayaran jumlah ganti kerugian yang telah ditentukan akan diatur dengan Undang-undang.

Pasal 3.

Peraturan dalam "onteigeningsordonnantie 1920" tidak berlaku dalam penjelasan nasionalisasi menurut
Undang-undang ini. Maka untuk menghindarkan salah faham dinyatakan dengan tegas dalam ayat (1).
Peraturan Pemerintah yang akan mengandung ketentuan-ketentuan pokok tentang pelaksanaan serta
akibat selanjutnya adalah yang akan mengatur pokok-pokok tentang kedudukan modal bukan Belanda
kedudukan/pegawai perusahaan bekas milik Belanda dan lain-lain.

Pasal 4.

Sementara ketentuan yang bersifat penting dalam Peraturan Pemerintah pelaksanaan Undang-undang
ini akan dapat terjamin kekuatan hukumnya dengan mempergunakan sanksi pidana; sesuai dengan
ketentuan dalam pasal 98 Undang-undang Dasar Sementara maka ditetapkan batas-batas untuk
ancaman pidana itu.

Pasal 5.

Disamping sanksi pidana perlu pula diadakan sanksi perdata yang bersifat batalnya karena hukum dari
setiap perbuatan perdata c.q. perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah pelaksana Undang-undang ini.

Pasal 6 dan 7.

Cukup jelas

Pelaksanaan Nasionalisasi Dasar pelaksanaan nasionalisasi aset Belanda penulis ambil dari data primer
berupa Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik
Belanda (Undang-Undang, 1958). Dalam pasal 1 dijelaskan “Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang
berada di wilayah Republik Indonesia yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dikenakan
nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik yang penuh dan bebas Negara Republik Indonesia”.

Secara rinci tentang perusahaan milik Belanda yang dikenakan nasionalisai termuat pada Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 1959 dalam Pasal 1 (Peraturan Pemerintah, 1959). Isi dari PP tersebut
diantaranya: a) Perusahaan yang untuk seluruhnya atau sebagian merupakan milik perseorangan warga
negara Belanda dan bertempat-kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia, b) Perusahaan milik
sesuatu badan hukum yang seluruhnya atau sebagian modal perseroannya atau modal pendiriannya
berasal dari perseorangan warga negara Belanda dan badan hukum itu bertempat-kedudukan dalam
wilayah Republik Indonesia, c) Perusahaan yang letaknya dalam wilayah Republik Indonesia dan untuk
seluruhnya atau sebagian merupakan milik perseorangan warga negara Belanda yang bertempat
kediaman di luar wilayah Republik Indonesia, d) Perusahaan yang letaknya dalam wilayah Republik
Indonesia dan merupakan milik sesuatu badan hukum yang bertempatkedudukan dalam wilayah Negara
Kerajaan Belanda.

Teknis pelaksanaan nasionalisasi perusahaan Belanda diatur pada Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun
1959 tentang pembentukan Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (Peraturan Pemerintah, 1959a).

Bidang-Bidang Usaha Perusahaan Asing yang Dinasionalisasi Oleh Indonesia

Pertama perusahaan Belanda yang dinasionalisasi adalah pertanian atau perkebunan. Mengacu pada
Peraturan Pemerintah (1959b) daftar perusahaan pertanian atau perkebunan yang dinasionalisasi
meliputi perkebunan tembakau berjumlah 38 yang tersebar di seluruh wilayah Sumatra dan Jawa.
Perkebunan karet, teh, kopi, tebu termasuk pabrik gula, kelapa, kelapa sawit, kapok, cengkeh berjumlah
sekitar 205. Pada 1960 pemerintah melanjutkan nasionalisasi terhadap 22 perusahaan yang sebagian
besar merupakan perkebunan pala. Semua perusahaan tadi berada di bawah Perusahaan Perkebunan
Negara (PPN) Baru. PPN Baru dibentuk pada Desember 1957 (Dick, 2002: 183). Dalam perkembangannya
PPN Baru kemudian dilebur dengan PPN Lama. Penggabungan PPN Baru dan PPN Lama melahirkan
Badan Pimpinan Umum Perusahaan Perkebunan Negara (BPU-PPN) yang dibagi berdasarkan komoditas:
karet, gula, tembakau, dan aneka tanaman. Pada 1967 perusahaan pertanian/perkebunan dikelompokan
menjadi perseroan terbatas (Persero) dengan nama PT Perkebunan I sampai IX. PTP dikelompokkan
kembali melalui penggabungan dan pemisahaan yang kini dikenal dengan PT Perkebunan Nusantara
(PTPN I sampai XIV) (Isnaeni, 2016: 1).

Kedua bidang perdagangan, dasar yang digunakan dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah (1959c).
Isnaeni (2016: 1) menyebutkan bahwa pemerintah menasionalisasi sekitar 30 perusahaan dagang
Belanda beserta cabang-cabangnya. Perusahaan yang dinasionalisasi diantaranya yang disebut sebagai
The Big Five (Boorsumij, Internatio, Jacobson van den Berg, Lindeteves Stokvis, dan Geowehry). Seluruh
perusahaan perdagangan tersebut dilebur ke dalam PT Negara yang dibentuk BUD. PT Negara kemudian
berubah nama menjadi Bhakti yang terdiri dari sembilan perusahaan yaitu: PT Budi Bhakti (Borsumij),
Aneka Bhakti (Internatio), PT Fadjar Bhakti (Jacobson van den Berg), PT Tulus Bhakti (Lindeteves) dan PT
Marga Bhakti (Geo Wehry), PT Djaja Bhakti (Usindo), PT Tri Bhakti (CTC), PT Sedjati Bhakti (Jajasan Bahan
Penting), dan PT Sinar Bhakti (Java Steel Stokvis). Dalam perkembangannya The Big Five dimerger
menjadi tiga BUMN Niaga: PT Tjipta Niaga (Persero), PT Dharma Niaga (Persero), dan PT Pantja Niaga
(Persero). Ketiga perusahaan tersebut kemudian dimerger lagi menjadi PT Perusahaan Perdagangan
Indonesia (Persero), yang juga dikenal sebagai Indonesia Trading Company (ITC).

Ketiga bidang perindustrian dan tambang. Pemerintah menasionalisasi sebanyak 177 perusahaan yang
terdiri dari industri mesin atau listrik (47), industri kimia (21), industri grafika (18) dan industri umum
(91), kesemuanya bernaung di bawah BAPPIT. Dasar yang digunakan adalah Peraturan Pemerintah
Nomor 50 Tahun 1959 tentang Penentuan Perusahaan Perindustrian/Pertambangan Milik Belanda Yang
Dikenakan Nasionalisasi (Peraturan Pemerintah, 1959d). Salah satu nasionalisasi penting yang dilakukan
adalah terhadap PT Percetakan Kebayoran Lama. Pada 1971 perusahaan tersebut dimerger dengan Arta
Yasa (perusahaan negara pembuat uang logam). Sehingga terbentuklah Perusahaan Umum Percetakan
Uang Republik Indonesia (Peruri). Di bidang pertambangan perusahaan yang dinasionalisasi adalah NIAM
(Nederlandsche Indische Ardolie Maatcshappij) perusahaan patungan pemerintah Indonesia dan BPM.
Pada 1959 NIAM berganti menjadi PT Permindo (Pertambangan Minyak Indonesia). Pemerintaha juga
menasionalisasi tambang minyak Sumatra Utara dan mengubahnya menjadi PT Permina (Perusahaan
Minyak Nasional). Selain Permina, pemerintah juga mendirikan Perusahaan Negara Pertambangan
Minyak Indonesia (Pertamin) yang menggarap ladang minyak di Jambi, Ogan (Sumatra Selatan) dan
Bunyu (Kalimantan Timur). Pada 1968 Permina dan Pertamin dilebur menjadi Pertamina (Isnaeni, 2016:
1)

Keempat bidang perbankan. Tindakan nasionalisasi pertama adalah nasionalisasi De Javasche Bank pada
tahun 1953 menjadi Bank Indonesia (Dick, 2002:183). Nasionalisasi perbankkan di Jakarta melibatkan
Serikat Buruh Bank Seluruh Indonesia (SBBSI). Tiga bank besar yang dinasionalisasi yaitu Nederlandse
Handel Maatschappij (Factorij), Nederlandse Handelsbank (NHB) dan Escompto. NHB dinasionalisasi
menjadi Bank Umum Negara (BUNEG) yang kemudian menjadi Bank Bumi Daya. Escompto
dinasionalisasi menjadi Bank Dagang Negara. Nederlandsche Handelmaatschappij NV (Factorij)
dinasionalisasi dan dilebur bersama Bank Rakyat Indonesia dan Bank Tani Nelayan menjadi Bank
Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN). Tetapi pada 1968 BKTN dipecah menjadi dua bank yaitu BRI dan Bank
Exim (Bank Expor Impor Indonesia). Pada Juli 1999, Bank Exim, Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara,
dan Bank Pembangunan Indonesia dilebur menjadi Bank Mandiri (Isnaeni, 2016: 1)

Kelima bidang listrik dan gas. ANIEM (Algeemene Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij)
merupakan anak perusahaan dari NV Maintz & Co. ANIEM menguasai 50 persen listrik di Indonesia dan
resmi dinasionalisasi pada tanggal 1 November 1954. Proses nasionalisasi perusahaan berlanjut pada
1957. Perusahaan yang dinasionalisasi tersebar dari ujung barat sampai timur Indonesia, secara rinci
nama-nama tersebut dapat dilihat di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1959 Tentang
Penentuan Perusahaan Listrik Dan atau Gas Milik Belanda Yang Dikenakan Nasionalisasi (Peraturan
Pemerintah, 1959e). Sembilan perusahaan listrik dan gas bersama anak perusahaannya dinasionalisasi
dan berada di bawah Penguasa Perusahaan Peralihan Listrik dan Gas (P3LG). Pada perkembangannya
(P3LG) dibubarkan dan digantikan Dewan Direksi Perusahaan Listrik Negara (DDPLN). Beroperasinya
DDPLN tidak berlangsung lama. Pada bulan Maret 1961 pemerintah mendirikan Badan Pimpinan Umum
Perusahaan Listrik Negara (BPU-PLN). Gas dimasukan dalam Satuan Eksploitasi XIV PLN. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1965 pemerintah membubarkan BPU-PLN dan memisahkan PLN
dan Perusahaan Gas Negara (PGN) (Isnaeni, 2016: 1).

Keenam bidang transportasi. Latar belakang adanya nasionalisasi disebabkan adanya kekhawatiran
terhadap pelayaran dimonopoli perusahaan asing. Pemerintah memiliki usul untuk membentuk
perusahaan pelayaran dengan sistem patungan dengan Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM)
perusahaan pelayaran Belanda. Jalan perundingan yang ditempuh mengalami kebuntuan. Penyebabnya
adalah pemerintah ingin pembagian sahamnya sebesar 51:49 sementara KPM menginginkan 50:50.
Berangkat dari tidak ditemukanya kesepakatan tersebut, pemerintah memiliki inisiatif mendirikan
Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) pada 28 April 1952 dengan modal swasta Rp 200 juta. Sampai tahun
1954 Pelni memiliki 42 kapal tetapi sekitar 90% pelayaran antar pulau masih dalam penguasaan KPM
(Isnaeni, 2016: 1). Upaya nasionalisasi dilakukan oleh serikat buruh KBKI pada 3 Desember 1957 dengan
menguasi kantor pusat KPM di Jakarta. Sejumlah 34 kapal milik KPM berhasil dikuasai oleh para buruh.
Berselang tiga hari melalui menteri perhubungan disetujui untuk mengambil alih KPM. Tetapi upaya
untuk pengambilalihan secara menyeluruh aset KPM belum dapat terlaksana. Hal ini karena staf kantor
pusat KPM memberikan pengumuman kepada seluruh kapten dan awak kapal KPM untuk
menyelamatkan kapal-kapal dari upaya pengambilalihan. Bahkan, kapal-kapal KPM yang berhasil diambil
alih harus dikembalikan setelah perusahaan asuransi Lloyds di London tempat KPM mengasuransikan
kapalkapalnya mengancam menuntut ganti rugi pemerintah Indonesia sebesar Nf117 juta.
Konsekuensinya KPM dilarang beroperasi di wilayah perairan Indonesia (Isnaeni, 2016: 1). Upaya
nasionalisasi kemudian mengarah kepada delapan perusahaan maritim milik Belanda beserta anak
cabangnya yakni perusahaan galangan kapal dan dok serta kapal uap. Perusahaan tersebut diantaranya
Nederland Indonesische Steenkolen Handel Maatschappij (NISHM) Tanjung Priok, Nederlands
Indonesische Scheepvaart Establisementen (NISE) Tanjung Priok, Droogdok Maatschappij Tanjung Priok,
Vereenigde Prauwen Veeren (VPV), Jakarta, Radio Holland, Droogdok Maatschappij Surabaja,
Industrieele Maatschappij Palembang (IMP) dan Dock-Works Semarang, dua kapal uap dan prau
Semarangsche Stoomboot en Prauwen Veer (SSPV) dan Semarang Veer dimerger dengan Dock Works
Semarang menjadi Perusahaan Angkutan Air dan Dok Negara Semarang. Sementara untuk perusahaan
kereta api yang dinasionalisasi berjumlah 11 lalu bertambah satu lagi perusahaan kereta api dan telepon
yaitu NV Deli Spoorweg-Maatschappij. Perusahaan tersebut ditetapkan sebagai Perusahaan Negara
Kereta Api. Dalam perkembangannya mengalami perubahan status dan saat ini bernama PT Kereta Api
Indonesia (Persero) (Dick, 2002: 183).

Ketujuh bidang konstruksi, asuransi dan farmasi. Pemerintah menasionalisasi perusahaan-perusahaan


kontraktor beserta cabang-cabangnya. Perusahaan-perusahaan tersebut kemudian menjadi BUMN yang
bergerak pada bidang konstruksi seperti Adhi Karya, Waskita Karya, Wijaya Karya, Yodya Karya, Hutama
Karya, dan Amarta Karya. Sementara nasionalisasi di bidang asuransi sejumlah 9 perusahaan. Dalam
perkembangannya penggabungan dan perubahan nama saat ini perusahaan asuransi negara yang paling
dikenal adalah Jasa Raharja dan Jiwasraya. Begitu pula dengan tujuh perusahaan farmasi yang
dinasionalisasi. Setelah dimerger menjadi tiga perusahaan farmasi BUMN yaitu Bio Farma, Indofarma,
dan Kimia Farma (Isnaeni, 2016: 1).

(SIIMPULIN JADI BERAPA PERUSAHAAN BELAND AYANG DINASIONALISASI PER BIDANG)

BERMEN TOBACCO CASE

Kronologi

Perkara nasionalisasi Tembakau Bremen diawali dengan nasionalisasi yang dilakukan oleh Pemerintah
Republik Indonesia terhadap perkebunanperkebunan Belanda di Indonesia berdasarkan hukum positif
yang ada. NV Vereningde Deli Maatschappijen dan NV Senembah Maatschappij merupakan perusahaan
Belanda yang bergerak di sektor perkebunan yang saat itu dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia.
Setelah Pemerintah Indonesia menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, kemudian Pemerintah
Indonesia mengirim hasil panen tembakau tahun 1958 melalui PPN-Baru kepada Deutsch Indonesische
Tabakhandelsgesellschaft m.b.H dengan tiga unit kapal untuk dijual di pasar tembakau Bremen yang
merupakan pasar tembakau internasional terbesar, pada tahun 1959.

Tembakau tersebut berasal dari bekas perkebunan NV Vereningde Deli Maatschappijen (sebanyak 3871
bal tembakau) dan bekas perkebunan NV Senembah Maatschappij (sebanyak 1318 bal tembakau). Ketika
tembakau tersebut sampai di pasar tembakau Bremen, pihak NV Vereningde Deli Maatschappijen dan
NV Senembah Maatschappijen menganggap tembakau tersebut sebagai milik mereka dan mengajukan
sitaan di hadapan Landgericht Bremen (Pengadilan Negeri Bremen).

Perkara nasionalisasi Tembakau Bremen yang disidangkan di hadapan Landgericht Bremen (Pengadilan
Negeri Bremen) lalu di hadapan Oberlandesgericht Bremen (Pengadilan Tinggi Bremen) merupakan
akibat dari tindakan nasionalisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Persoalan yang dihadapi
adalah apakah nasionalisasi atas milik Belanda yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah
bertentangan dengan ketertiban umum di Jerman (Barat). Hak milik dijunjung tinggi dalam sistem hukum
Jerman (Barat) serta dikenal ketentuan bahwa nasionalisasi hanya sah adanya jika disertai dengan ganti
kerugian Pemerintah Indonesia belum memberikan ganti kerugian kepada penggugat saat perkara ini
diajukan di Pengadilan Negeri Bremen. Para pengusaha Belanda mengklaim tembakau mereka kembali di
hadapan pengadilan Bremen dan mengemukakan bahwa tindakan nasionalisasi yang dilakukan di
Kemudian tembakau tersebut diekspor oleh PPN-Baru ke Jerman (Barat) dengan dibawa oleh tiga unit
kapal untuk dijual di pasar tembakau Bremen. NV Vereningde Deli Maatschappijen dan NV Senembah
Maatshappijen sebagai pemilik lama merasa tembakau tersebut adalah milik mereka karena telah
dipanen sebelum nasionalisasi dilakukan, Indonesia harus dianggap tidak berlaku karena bertentangan
dengan ketertiban umum (vorbehaltklausel) dari hukum perdata internasional Jerman (Barat). Oleh
pengadilan Jerman (Barat) dianggap bahwa masalah ketertiban umum tidak dapat dipergunakan karena
ketentuan Republik Indonesia dianggap tidak bertentangan dengan ketertiban umum di Jerman (Barat)
karena tidak dipenuhinya syarat inlandsbeziehungen (hubungan dengan keadaan dalam negeri sendiri).
Tindakan nasionalisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah untuk menekan Belanda agar
menyerahkan Irian Barat kepada Republik Indonesia. Putusan hakim Jerman (Barat) di Oberlandesgericht
Bremen (Pengadilan Tinggi Bremen) menyatakan bahwa hukum positif Republik Indonesia yang
mengatur mengenai nasionalisasi pada saat itu tidak bersifat “barbarisch” serta juga tidak melanggar
ketertiban umum Jerman (Barat) sehingga perkara ini dimenangkan oleh Republik Indonesia.

Sudargo Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia Buku Keempat, (Jakarta: Alumni, 1973)

Para Pihak Pada kasus Tobacco Bremen

Pemerintah Indonesia yang diwakili oleh PPN-Baru dan Deutsch Indonesische Tabakhandelsgesellschaft
m.b.H. melawan pemilik terdahulu dari NV Vereningde Deli Maatschappijen dan NV Senembah
Maatschappij yang telah dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1958.

kenapa harus menjual ke Bremen?

Karena Bremen merupakan pasar besar komoditas tembakau pada saat itu

Ada berapa besar kapalnya?

Tembakau tersebut diekspor oleh PPN-Baru ke Jerman (Barat) dengan dibawa oleh tiga unit kapal untuk
dijual di pasar tembakau Bremen.

berapa nilai komunitas yg di bawa kapal cari datanya,

bagaimana belanda tau ada kapal indonesia yang bersandar di pelabuhan di bremen,

Proses Peradilan

Apa dasar gugatan belanda

Hull Formula.

Hull formula adalah suatu prinsip yang dikenalkan oleh Nota Cordon Hull, dan memiliki definisi sebagai
suatu prinsip yang menjadi dasar, terutama terkait dengan suatu tindakan ekspropriasi terhadap hak
milik pribadi, terlepas dari ada tidaknya prinsip yang mengatur mengenai pemberian ganti kerugian,
maka tindakan ekspropriasi tersebut harus disertai dengan pemberian ganti kerugian yang memadai,
dapat diuangkan, dan seketika. Pengambil alihan aset warga negara asing dengan tanpa adanya
pemberian ganti kerugian tidak dapat disebut sebagai suatu tindakan ekspropriasi, tetapi adalah suatu
tindakan konfiskasi.
Mar Rubio, “Oil and Economy in Mexico, 1900-1930s”, EconPapers: Economics and Business Journal, No.
690 (2003)

Pada kasus Bremen dan Tobacco ini, Belanda menganggap tindakan Indonesia yang menasionlaisasi
Perusahaan milik belanda sebagai Tindakan konfiskasi, karena dari pihak Indonesia tidak melakukan ganti
rugi sesuai dengan prinsip hull formula.

Definisi antara ke tiga prinsip tersebut adalah

- prompt (pemberian ganti kerugian tidak seharusnya terlambat atau terlalu lama sehingga warga
asing yang mengalami kerugian akibat adanya suatu tindakan nasionalisasi dapat langsung
menikmati pembayaran tersebut),
- adequate (pemberian ganti kerugian yang sama besarnya dengan nilai kepemilikan pada saat
diambil alih beserta bunganya),
- effective (pihak yang menerima pembayaran ganti kerugian harus dapat memanfaatkannya,
misalnya dengan menggunakan pemberian ganti kerugian yang diterimanya maka pemilik
perusahaan yang perusahaannya telah dinasionalisasi dapat mendirikan perusahaan pengganti
yang baru).
David H. Ott, Public International Law in the Modern Law, (London: Pittman Publishing, 1987)

Pihak Belanda dalam hal ini De Verenigde Deli Maatschapijen menganggap bahwa nasionalisasi oleh
pihak Indonesia tidak sah. Mereka menganggap Indonesia tidak akan melakukan ganti rugi seperti apa
yang telah direncanakan, sehingga apa yang Indonesia lakukan sekarang hanyalah upaya memperkaya
pihaknya dengan sumber daya milik Belanda. Mereka menganggap ganti rugi yang dilakukan Indonesia
tidak memenuhi unsur prompt, effective, dan adequate.

Dasar pembelaan Indonesia

Dalam pembelaannya, pihak Indonesia atas nama Tembakau Jerman-


Indonesia( Deutsch- Indonesia Tabaks Handels G.m.b.H) menyatakan bahwa nasionalisasi
perusahaanBelanda tersebut merupakan sebuah tindakan negara yang berdaulat.
Pengambilalihan perusahaan ini dimaksudkan oleh pihak Indonesia adalah untuk mengubah struktur
perekonomian yang masih dalam bentuk kolonial ke dalam bentuk nasional.

Keputusan Pengadilan Bermen

Keputusan Pengadilan Negeri Bremen yakni, pengadilan tidak mencampuri sah atau tidaknya tindakan
ambil alih dan nasionalisasi pemerintah Indonesia saat itu, yang secara tidaklangsung dapat diartikan
sebagai pembenaran tindakan terhadap perusahaan dan perkebunan milik Belanda tersebut (keputusan
Landsgericht Bremen tanggal 21 April 1959).

Banding yang diajukan oleh pihak Belanda akhirnya diputuskan oleh Pengadilan Tinggi Bremen
(Oberlandesgericht Bremen) yang menetapkan bahwa, pengadilan tidakmempersoalkan keabsahan
tindakan nasionalisasi pemerintah Indonesia, yang secara tidaklangsung menyatakan tindakan
nasionalisasi pemerintah Indonesia atas perkebunan Belandaadalah sah (keputusan oberlandesgericht
Bremen, tanggal 21 Agustus 1959)
Ganti rugi Indonesia terhadap kasus ini

- Promptness: Pemerintah Indonesia hanya berjanji untuk memberikan ganti kerugian di


kemudian hari kepada para pemilik perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi pada
tahun 1957. Menteri luar negeri Indonesia, pemberian ganti kerugian ditunda hingga
diselesaikannya permasalahan antara Republik Indonesia dengan Kerajaan Belanda mengenai
Irian Barat. Pembicaraan mengenai pemberian ganti kerugian baru dimulai pada tahun 1963
setelah Irian Barat menjadi bagian dari Republik Indonesia.
- Adequateness: Pemerintah Indonesia hanya memberikan janji untuk memberikan ganti kerugian
di kemudian hari tanpa menyinggung besarnya biaya pemberian ganti kerugian.
- Effectiveness: Pemerintah Indonesia tidak memberikan penjelasan dalam bentuk apa pemberian
ganti kerugian akan diberikan. Keberadaan suatu pemberian ganti kerugian tersebut masih
berupa janji pada saat pemerintah melakukan suatu tindakan nasionalisasi.

Anda mungkin juga menyukai