Anda di halaman 1dari 7

Ujian Tengah Semester

Hukum Pidana

1. Jelaskan kaiatan antara hukum pidan dengan kriminologi!

Secara teorik kedua disiplin ilmu tersebut dapat dikaitkan karena hasil
analisis kriminologi banyak manfaatnya dalam kerangka proses penyidikan atas
terjadinya suatu kejahatan yang bersifat individual, akan tetapi secara praktek
sangat terbatas sekali keterkaitan dan pengaruhnya.
H. Bianchi mengatakan keterkaitan kriminologi dan hukum pidana, bahwa
kriminologi sebagai metascience dari hukum pidana. Kriminologi suatu ilmu yang
lebih luas dari pada hukum pidana, di mana pengertian-pengertiannya dapat
digunakan untuk memperjelas konsep-konsep dan masalah-masalah yang terdapat
dalam hukum pidana. Jelasnya bahwa metascience diatas bukan hanya pelengkap
terhadap hukum pidana bahkan merupakan disiplin yang utama dari padanya.
Karena kejahatan tidak hanya meliputi aspek yuridis dan sisiologi, melainkan pula
meliputi kejahatan dalam arti agama dan moral.
Kriminologi adalah suatu ilmu empiris yang ada kaitannya dengan kaidah
hukum. Ilmu tersebut meneliti tentang kejahatan serta proses-proses formal dan
informal dari kriminalisasi maupun dekriminalisasi. Kecuali itu dipelajari juga
keadaan dan golongan-golongan yang menjadi penjahat serta yang menjadi
korban kejahatan, sebab-sebab kejahatan, reaksi-reaksi formal dan informal
terhadap kejahatan maupun pihak-pihak lain yang ada kaitannya dengan proses
kejahatan. Dalam kaitannya dengan dogmatik hukum pidana, maka kriminologi
memberikan kontribusinya dalam menentukan ruang lingkup kejahatan atau
perilaku yang dapat dihukum. Dengan demikian maka hukum pidana bukanlah
merupakan suatu silogisme dari pencegahan, akan tetapi merupakan suatu
jawaban terhadap adanya kejahatan.

2. Uraikan secara singkat sejarah mengapa terjadi dualisme hukum pidana di


Indonesia semenjak Belanda datang kembali setelah Jepang kalah pada tahun
1945?

Jonkers dalam bukunya “Het Nederlandsch-Indische Strafstelsel” yang


diterbitkan pada tahun 1940 menuliskan pada kalimat pertama mengatakan De
Nederlander, die over wijdezeeen en oceanen baan koos naar de koloniale
gebieden, nam zijn eigenrecht mee (orang-orang Belanda yang dengan melewati
lautan dan samudra luas memiliki jalan untuk menetap di tanah-tanah jajahannya,
membawa hukumnya sendiri untuk berlaku baginya.
Sejarah hukum pidana Indonesia secara umum tidak dapat dilepaskan dari
keberadaan masyarakat Indonesia, masyarakat Indonesia yang terbagi dalam
banyak kerajaan, masyarakat Indonesia di bawah jajahan Belanda dan masyarakat
Indonesia setelah masa kemerdekaan. Hukum pidana modern Indonesia dimulai
pada masa masuknya bangsa Belanda di Indonesia, adapun hukum yang ada dan
berkembang sebelum itu atau setelahnya, yang hidup dimasyarakat tanpa
pengakuan pemeritah Belanda dikenal dengan hukum adat. Pada masa penjajahan
Belanda pemerintah Belanda berusaha melakukan kodifikasi hukum di Indonesia,
dimulai tahun 1830 dan berakhir pada tahun 1840, namun kodifikasi hukum ini
tidak termasuk dalam lapangan hukum pidana.
Dalam hukum pidana kemudian diberlakukan interimaire strafbepalingen.
Pasal 1 ketentuan ini menentukan hukum pidana yang sudah ada sebelum tahun
1848 tetap berlaku dan mengalami sedikit perubahan dalam sistem hukumnya.
Walaupun sudah ada interimaire strafbepalingen, pemerintah Belanda tetap
berusaha menciptakan kodifikasi dan unifikasi dalam lapangan hukum pidana,
usaha ini akhirnya membuahkan hasil dengan diundangkannya koninklijk besluitn
10 Februari 1866. wetboek van strafrech voor nederlansch indie (wetboek voor de
europeanen) dikonkordinasikan dengan Code Penal Perancis yang sedang berlaku
di Belanda. Inilah yang kemudian menjadi Wetboek van Strafrecht atau dapat
disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku sampai saat ini
dengan perubahan-perubahan yang dilakukan oleh pemerintah Republik
Indonesia.
Zaman Indonesia merdeka untuk menghindari kekosongan hukum
berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 semua perundang-undangan
yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru. Untuk mengisi
kekosongan hukum pada masa tersebut maka diundangkanlah Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1946 tentang berlakunya hukum pidana yang berlaku di Jawa dan
Madura (berdasarkan Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 1946 diberlakukan juga
untuk daerah Sumatra) dan dikukuhkan dengan Undang-Undang Nomor 73 Tahun
1958 untuk diberlakukan untuk seluruh daerah Indonesia untuk menghapus
dualsme hukum pidana Indonesia. Dengan demikian hukum pidana yang berlaku
di Indonesia sekarang ialah KUHP sebagaimana ditetapkan berdasarkan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 beserta
perubahan-perubahannya antara lain dalam Undang-Undang 1 Tahun 1960
tentang perubahan KUHP, Undang-Undang Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang
Beberapa Perubahan dalam KUHP, Undang-Undang Nomor 18 Prp. Tahun 1960
tentang Perubahan Jumlah Maksimum Pidana Denda Dalam KUHP, Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Penambahan KetentuanKetentuan Mengenai
Pembajakan Udara pada Bab XXIX Buku ke II KUHP.

3. Jelaskan secara ringkas pengertian azas legalitas dan dasar hukum dalam KUHP!

Asas legalitas adalah suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan
memberi batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini juga
melindungi dari penyalahgunaan wewenang hakim, menjamin keamanan individu
dengan informasi yang boleh dan dilarang. Setiap orang harus diberi peringatan
sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan ilegal dan hukumannya. Jadi
berdasarkan asas ini, tidak satu perbuatan boleh dianggap melanggar hukum oleh
hakim jika belum dinyatakan secara jelas oleh suatu hukum pidana dan selama
perbuatan itu belum dilakukan.
Dengan demikian, perbuatan seseorang yang cakap tidak mungkin
dikatakan dilarang, selama belum ada ketentuan yang melarangnya, dan ia
mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatan itu atau meninggalkannya,
sehingga ada nash yang melarangnya. Ini berarti hukum pidana tidak dapat
berlaku ke belakang terhadap suatu perbuatan yang belum ada ketentuan
aturannya, karena itu hukum pidana harus berjalan ke depan.
Pada awalnya asas legalitas berhubungan dengan teori Von Feurbach, yang
disebut dengan teori Vom Psycologischen Zwang. Teori ini berarti anjuran agar
dalam penentuan tindakan-tindakan yang dilarang, tidak hanya tercantum macam-
macam tindakannya, tetapi jenis pidana yang dijatuhkan.
Asas legalitas berlaku dalam ranah hukum pidana dan terkenal dengan
adagium legendaris Von Feuerbach yang berbunyi nullum delictum nulla poena sine
praevia lege poenali. Secara bebas, adagium tersebut dapat diartikan menjadi
“tidak ada tindak pidana (delik), tidak ada hukuman tanpa (didasari) peraturan
yang mendahuluinya”. Secara umum, Von Feuerbach membagi adagium tersebut
menjadi tiga bagian, yaitu:
1) Tidak ada hukuman, kalau tak ada ketentuan Undang-undang (Nulla poena
sine lege);
2) Tidak ada hukuman, kalau tak ada perbuatan pidana (Nulla poena sine
crimine);
3) Tidak ada perbuatan pidana, kalau tidak ada hukuman yang berdasarkan
Undang-undang (Nullum crimen sine poena legali).
Adagium tersebut merupakan dasar dari asas bahwa ketentuan pidana tidak
dapat berlaku surut (asas non-retroaktif) karena suatu delik hanya dapat dianggap
sebagai kejahatan apabila telah ada aturan sebelumnya yang melarang delik untuk
dilakukan, bukan sesudah delik tersebut dilakukan.
Eddy O.S. Hiariej (2012) memberikan makna dalam adagium tersebut, sebagai
asas yang memiliki dua fungsi: (i) Fungsi melindungi yang berarti Undang-Undang
pidana melindungi rakyat terhadap kekuasaan Negara yang sewenang-wenang; (ii)
Fungsi instrumentasi, yaitu dalam batas-batas yang ditentukan Undang-Undang,
pelaksanaan kekuasaan oleh Negara tegas-tegas diperbolehkan. Fungsi melindungi
lebih pada hukum pidana materil (hukum pidana) yang mengacu pada frasa
pertama (nulla poena sine lege) dan kedua (nulla poena sine crimine), sementara
fungsi instrumentalis lebih pada hukum pidana formil (hukum acara pidana) yang
mengacu pada frasa ketiga (nullum crimen sine poena legali).
Satu dan lain dalam perkara-perkara pidana, untuk pemecahan kasus-kasus
perbuatan pidana, penting untuk diketahui; empat makna asas legalitas yang
dikemukakan oleh Jeschek dan Weigend (Machteld Boot: 2001) diantaranya:
1) Terhadap ketentuan pidana, tidak boleh berlaku surut (nonretroaktif/nullum
crimen nulla poena sine lege praevia/lex praevia);
2) Ketentuan pidana harus tertulis dan tidak boleh dipidana berdasarkan
hukum kebiasaan (nullum crimen nulla poena sine lege scripta/lex scripta);
3) Rumusan ketentuan pidana harus jelas (nullum crimen nulla poena sine lege
certa/lex certa);
4) Ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat dan larangan analogi
(nullum crimen poena sine lege stricta/lex stricta).
Berdasarkan keempat makna asas legalitas di atas, menjadi dasar dalam
menganggap, kemudian membuktikan sejelas-jelasnya, dari setiap orang yang
telah melakukan perbuatan pidana, sehingga patut mempertanggungjawabkan
perbuatannya itu.
Dasar Hukum KUHP
KUHP atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai perbuatan pidana secara materiil di Indonesia.
KUHP yang sekarang diberlakukan adalah KUHP yang bersumber dari hukum
kolonial Belanda, yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indië.
Pengesahannya dilakukan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 dan mulai
berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. Setelah kemerdekaan, KUHP tetap
diberlakukan disertai penyelarasan kondisi berupa pencabutan pasal-pasal yang
tidak lagi relevan. Hal ini berdasarkan pada Ketentuan Peralihan Pasal II UUD 1945
yang menyatakan bahwa: "Segala badan negara dan peraturan yang masih ada
langsung diberlakukan selama belum diadakan yang baru menurut Undang-
Undang Dasar ini." Ketentuan tersebutlah yang kemudian menjadi dasar hukum
pemberlakuan semua peraturan perundang-undangan pada masa kolonial pada
masa kemerdekaan.
Untuk menegaskan kembali pemberlakuan hukum pidana pada masa kolonial
tersebut, pada tanggal 26 Februari 1946, pemerintah kemudian mengeluarkan
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Undang-
undang inilah yang kemudian dijadikan dasar hukum perubahan Wetboek van
Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS), yang
kemudian dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Meskipun
demikian, dalam Pasal XVII UU Nomor 1 Tahun 1946 juga terdapat ketentuan yang
menyatakan bahwa: “Undang-undang ini mulai berlaku buat pulau Jawa dan
Madura pada hari diumumkannya dan buat daerah lain pada hari yang akan
ditetapkan oleh Presiden.” Dengan demikian, pemberlakuan Wetboek van
Strafrecht voor Netherlands Indie menjadi Wetboek van Strafrecht hanya terbatas
pada wilayah jawa dan Madura. Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana di seluruh wilayah Republik Indonesia baru dilakukan pada tanggal 20
September 1958, dengan diundangkannya UU No. 73 Tahun 1958 tentang
Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia
tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan
Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sebagaimana yang dinyatakan
dalam Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1958 yang berbunyi: “Undang-Undang No. 1 tahun
1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku
untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.” Jadi, per tanggal 1 Januari 2013, KUHP
tersebut sudah berlaku selama 95 (sembilan puluh lima) tahun.
Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diberlakukan secara
nasional tidak berarti bahwa upaya untuk membuat sistem hukum pidana yang
baru terhenti. Upaya melakukan pembaruan hukum pidana terus berjalan
semenjak tahun 1958 dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional
sebagai upaya untuk membentuk KUHP Nasional yang baru. Seminar Hukum
Nasional I yang diadakan pada tahun 1963 telah menghasilkan berbagai resolusi
yang antara lain adanya desakan untuk menyelesaikan KUHP Nasional dalam waktu
yang sesingkat-singkatnya. Sebenarnya sudah beberapa kali ada usaha perbaikan
KUHP dengan pembuatan Rancangan KUHP. Rancangan tersebut antara lain:
1. Konsep Rancangan Buku I KUHP tahun 1968.
2. Konsep Rancangan Buku I KUHP tahun 1971.
3. Konsep Tim Harris, Basaroeddin, dan Situmorang tahun 1981.
4. Konsep RKUHP tahun 1981/1982 yan diketuai oleh Prof. Soedarto.
5. Konsep RKUHP tahun 1982/1983.
6. Konsep RKUHP tahun 1982/1983 yang mengalami perbaikan.
7. Konsep RKUHP tahun 1982/1983 yang merupakan hasil penyempurnaan tim
sampai 27 April 1987 dan disempurnakan lagi sampai pada November 1987.
8. Konsep RKUHP tah mhun 1991/1992 yan diketuai oleh Prof. Marjono
Reksodiputro.

4. Sebutkan tiga cara perumusan norma dan sanksi dalam undang-undang dan
berikan contoh konkritnya?

Cara merumuskan norma dalam hukum pidana ada tiga, yaitu:


a. Menentukan unsur-unsur dari suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan.
Cara ini paling sering digunakan dalam undang-undang, misalnya Pasal 224
KUHP yang tidak memenuhi panggilan yang berwenang, Pasal 281 KUHP
tentang pelanggaran kesusilaan;
b. Menyebutkan nama atau kualifikasi dari tindakan yang dilakukan, contoh :
Pasal 351 KUHP yang hanya menyebut “penganiayaan” saja.
c. Menyebutkan unsur-unsur dan kualifikasinya sekaligus, contoh : Pasal 362
KUHP yang selain menyebut unsur-unsur juga menyebut kualifikasi delik yaitu
“pencurian”.

Cara merumuskan sanksi pada umumnya ada dua, yaitu :


a. Pada tiap-tiap pasal atau juga ayat-ayat dari suatu pasal yang berisikan norma
langsung diikuti dengan suatu sanksi, misalnya pasal-pasal dalam KUHP.
b. Pada pasal-pasal awal hanya ditentukan norma-normanya saja tanpa diikuti
secara langsung dengan suatu sanksi. Sanksi dicantumkan pada pasal-pasal
akhir. Misalnya Undang-Undang Lalu Lintas, Undang-Undang Kesehatan dsb.

5. Hal-hal apa sajakah yang dapat menyebabkan gugurnya kewenangan menuntut


pidana?

Alasan hapusnya kewenangan menuntut :


a. Tidak adanya pengaduan
b. Ne Bis in Idem
c. Matinya tersangka/Terdakwa
d. Daluwarsa
e. Afkoop
Alasan hapusnya kewenangan menuntu dalam KUHP :
1. Tidak ada pengaduan pada delik aduan;
2. Ne bis in idem/ asas double jeopardy;
3. Matinya terdakwa;
4. Daluwarsa;
5. Telah adanya pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk
pelanggaran yang hanya diancam denda saja (afkoop);
Alasan-alasan di atas berasal dari KUHP. Selain alasan-alasan di atas, terdapat
alasan hapusnya kewenangan menuntut di luar KUHP, yaitu pemberian abolisi
atau amnesti.
Alasan hapusnya kewenangan menuntu dalam KUHP :
1. Tidak adanya pengaduan pada aduan:
▪ Diatur dalam pasal 72 -75 KUHP
▪ Pihak yang berhak mengadu :

Pasal 72 Pasal 73
ybs belum 16 th/belum cukup umur/di Ybs meninggal dunia, yang berhak
bawah pengampuan, yang berhak mengadukan:
mengadukan: a. Orang tuanya
a. Oleh walinya yg sah dalam b. Anaknya, atau
perkara perdata, atau oleh : c. Suami/istrinya (kecuali yang
b. Wali pengawas/pengampu bersangkutan tidak
c. Istrinya menghendaki).
d. Keluarga sedarah garis lurus
e. Keluarga sedarah garis
menyimpang sampai derajat ke-
3

Ketentuan pengaduan yang sifatnya khusus:


a. Delik Perzinahan (Pasal 284 KUHP):
• Yang berhak mengadu hanya suami atau istri yang tercemar.
• Penarikan kembali aduan bisa dilakukan sewaktu-waktu, selama
persidangan belum dimulai.
b. Delik Melarikan wanita (Pasal 332 KUHP):
Yang berhak mengadu :
• Jika belum cukup umur, oleh wanita ybs, atau orang yang harus memberi
izin bila wanita itu kawin.
• Jika sudah cukup umur, oleh wanita ybs, atau suaminya.

2. Ne Bis in Idem :
• Diatur dalam Pasal 76 KUHP
• Artinya : tidak atau jangan dua kali yang sama.
• Dalam sistem common law, dikenal sebagai asas double jeopardy.

Dasar pikiran asas ini :


• Untuk menjaga martabat pengadilan.
• Untuk rasa kepastian bagi terdakwa yang telah mendapat keputusan.

3. Matinya tersangka/terdakwa :
Dasar hukum: Pasal 77 KUHP
KUHP berpendirian bahwa yang dapat menjadi subjek hukum hanyalah orang dan
pertanggungjawaban bersifat pribadi.
4. Daluwarsa Penuntutan:
Tidak bisa dituntut apabila perbuatan telah lewat tenggang waktu
Pasal 78 ayat (1) KUHP :
• Untuk semua pelanggaran dan kejahatan percetakan : sesudah 1 tahun
• Untuk kejahatan yang diancam denda, kurungan atau penjara maksimum 3
th : sesudah 6 th.
• Untuk kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari 3 th : sesudah 12
th
• Untuk kejahatan yang diancam pidana mati atau seumur hidup : sesudah
18 th

5. Afkoop (pembayaran denda damai):


Afkoop : apabila denda dibayarkan, maka perkara tidak dilanjutkan ke penuntutan
Pasal 82 ayat (1) KUHP : Kewenangan menuntut pelanggaran yang diancam
dengan pidana denda saja menjadi hapus, kalau dengan suka rela dibayar
maksimum denda dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah
dimulai, atas kuasa pejabat yang ditunjuk untuk itu oleh aturan-aturan umum, dan
dalam waktu yang ditetapkan olehnya.

Alasan hapusnya kewenangan menuntut diluar KUHP:

1. Amnesti dan Abolisi


UU No. 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi
Amnesti: menghapuskan semua akibat hukum pidana seseorang
Abolisi: menghapuskan penuntutan

Anda mungkin juga menyukai