Ajie Ramdan
Pusat Studi Kebijakan Kriminal Fakultas Hukum UNPAD
Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung
Email: ajie.ramdan@unpad.ac.id
Abstrak
Putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016 menyatakan bahwa Pasal 263 ayat (1) KUHAP secara bersyarat
bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat
dalam norma a quo. Oleh karena itu yang berhak melakukan peninjauan kembali adalah terpidana
dan ahli warisnya. Jaksa Penuntut Umum tidak berwenang melakukan Peninjauan Kembali. Hal
ini menimbulkan permasalahan baru bagi Jaksa Penuntut Umum yang mewakili negara dan juga
korban. Penulis menganalisa Perlindungan Korban Kejahatan Untuk Mengajukan Peninjauan
Kembali Pasca Putusan MK tersebut. Dalam praktik Putusan Peninjauan Kembali Nomor: 55 K/
Pid/1996 yang menjadi yurisprudensi Mahkamah Agung merupakan pembaharuan hukum. Dengan
adanya Putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016 telah mengesampingkan yurisprudensi yang merupakan
pembaharuan hukum dan tentunya tidak menjamin hak korban kejahatan dalam mengajukan
Peninjauan Kembali yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum.
Kata Kunci: Perlindungan, Korban Kejahatan, Peninjauan Kembali, Jaksa Penuntut Umum
Abstract
The verdict of The Indonesian Constitutional Court Number 33/PUU-XIV/2016 stated that Article 263
paragraph (1) of the Criminal Code Procedures (KUHAP) conditionally contrary to the Indonesian
Constitution 1945, unless it interpreted differently, and not against legal norms (a quo). Therefore,
the parties whose rights to submit a judicial review are the convict and heir. The public prosecutor
has no right and authority to do a judicial review. It leads a new problem to the public prosecutors
who represent state and victims. The writer analyzes the protection of victim of crime to submit
a judicial review post that verdict. In practice of the judicial review Number: 55 K/PID/1996 that
become a jurisprudence for the Indonesian Constitutional Court is a Legal renewal. With that verdict
has put a jurisprudence aside which is a legal renewal and certainly, it does not guarantee the rights
of victim crime to request a judicial review represented by public prosecutors.
Keywords: protection, victim of crime, judicial review, public prosecutor
181
JIKH Vol. 11 No. 2 Juli 2017: 181 - 192
1. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding,
Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta:Sinar Grafika, 2010), hlm.615-616.
2. Ibid, hlm. 616
3. Parman Soeparman, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Bagi
Korban Kejahatan, (Bandung:Refika Aditama, 2007), hlm.89-91.
182
Kewenangan Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan Kembali……(Ajie Ramdan)
pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) dalam Peraturan MA Nomor 1 Tahun 1969 dan Surat
perkara pidana.3 Edaran tersebut dicabut, dan menentukan
Saat ini Mahkamah Konstitusi telah bahwa permohonan peninjauan kembali
menafsirkan dalam Putusan No. 33/PUU- mengenai perkara perdata dapat diajukan
XIV/2016 bahwa Pasal 263 ayat (1) KUHAP request civiel, dengan bercermin kepada
secara bersyarat bertentangan dengan UUD Reglement op de Burgerlijke rechtsvordering,
1945 sepanjang dimaknai lain selain yang sedangkan mengenai perkara pidana tidak
secara eksplisit tersurat dalam norma a quo. dapat diajukan karena belum ada undang-
Jaksa Penuntut Umum tidak perbolehkan undangnya.4
melakukan Peninjauan Kembali. Putusan MK Pasca terjadinya kasus Karta dan
tersebut mengesampingkan yurisprudensi Sengkon yang menjadi pusat perhatian
Mahkamah Agung tentang kewenangan masyarakat, Mahkamah Agung setelah
jaksa mengajukan peninjauan kembali dalam mengadakan rapat kerja dengan DPR
perkara pidana untuk mewakili negara dan tanggal 19 November 1980, memberanikan
juga korban. diri mengeluarkan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 1980 yang mengatur
PEMBAHASAN kemungkinan mengajukan permohonan
peninjauan kembali putusan yang telah
Pengaturan Peninjauan Kembali Sebelum memperoleh kekuatan hukum tetap baik
Adanya KUHAP perkara perdata maupun pidana. Mengenai
Sebelum KUHAP, tidak ada undang- perkara pidana, diatur dalam Pasal 9, yang
undang mengatur pelaksanaan peninjauan mengatakan bahwa Mahkamah Agung dapat
kembali putusan pengadilan yang telah meninjau kembali suatu putusan pidana yang
memperoleh kekuatan hukum tetap. Undang- telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang
Undang tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman mengandung pemidanaan, dengan alasan:5
pada Pasal 21 hanya menyebut kemungkinan 1. Apabila dalam putusan-putusan yang
peninjauan kembali itu, tetapi pelaksanaannya berlainan terdapat keadaan yang
sesuai dengan ketentuan undang-undang. dinyatakan terbukti, akan tetapi satu
Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan sama lain bertentangan;
MA Nomor 1 Tahun 1969 yang memungkinkan 2. Apabila terdapat sesuatu keadaan,
diajukan permohonan peninjauan kembali sehingga menimbulkan persangkaan
putusan pengadilan yang telah memperoleh yang kuat, apabila keadaan itu diketahui
kekuatan hukum tetap. Surat Edaran pada waktu sidang masih berlangsung,
Mahkamah Agung tersebut Nomor 18 Tahun putusan yang akan dijatuhkan
1969, menunda berlakunya Peraturan mengandung pembebasan terpidana
Mahkamah Agung tersebut dengan alasan dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan
masih diperlukan peraturan lebih lanjut hukum atas dasar bahwa perbuatan yang
akan dijatuhkan itu tidak dapat dipidana,
misalnya mengenai biaya perkara yang
pernyataan tidak diterimanya tuntutan
memerlukan persetujuan Menteri Keuangan.
jaksa untuk menyerahkan perkara ke
Kemudian dengan Peraturan MA Nomor 1
persidangan pengadilan atau penerapan
Tahun 1971 tanggal 30 November 1971, ketentuan-ketentuan pidana lain yang
lebih ringan.
3. Parman Soeparman, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Bagi
Korban Kejahatan, (Bandung:Refika Aditama, 2007), hlm.89-91.
4. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Edisi Revisi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 299.
5. Ibid
183
JIKH Vol. 11 No. 2 Juli 2017: 181 - 192
Dibandingkan dengan Pasal 263 ayat (2) Mahkamah Agung menolak permintaan
KUHAP, maka terlihat keduanya hampir sama. peninjauan kembali dengan menetapkan
Ketentuan dalam KUHAP ini mengatakan bahwa putusan yang dimintakan
permintaan peninjauan kembali dilakukan peninjauan kembali itu tetap berlaku
atas dasar:6 disertai dasar pertimbangannya.
a. Apabila terdapat keadaan baru yang 2. Apabila Mahkamah Agung membenarkan
menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika alasan pemohon, Mahkamah Agung
keadaan itu sudah diketahui pada waktu membatalkan putusan yang dimintakan
sidang masih berlangsung, hasilnya akan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan
berupa putusan bebas atau putusan putusan yang dapat berupa putusan
lepas dari segala tuntutan hukum atau bebas, putusan lepas dari segala
tuntutan penuntut umum tidak dapat tuntutan hukum, putusan tidak dapat
diterima atau terhadap perkara itu menerima tuntutan penuntut umum,
diterapkan ketentuan pidana yang lebih putusan dengan menetapkan ketentuan
ringan; pidana yang lebih ringan.
b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat Proses Penegakan Hukum Acara Pidana
pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, Setelah Adanya KUHAP
akan tetapi hal-hal atau keadaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
sebagai dasar dan alasan putusan yang (KUHP) belum secara tegas merumuskan
dinyatakan telah terbukti itu, ternyata
ketentuan yang secara konkret atau langsung
telah bertentangan satu dengan yang
memberikan perlindungan hukum terhadap
lain;
korban, misalnya dalam hal penjatuhan pidana
c. Apabila putusan itu dengan jelas
wajib dipertimbangkan pengaruh tindak
memperlihatkan suatu kekhilafan hakim
pidana terhadap korban atau keluarga korban.
atau suatu kekeliruan yang nyata.
Apabila dibandingkan dengan Kitab Undang-
Kemudian, Pasal 273 ayat (3) KUHAP Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
tersebut mengatakan bahwa atas dasar sudah memulai adanya perlindungan korban
alasan yang sama sebagaimana tersebut pada secara individu, hak korban menurut KUHAP
ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan diatur dalam Pasal 98-101 KUHAP. Dalam
yang telah memperoleh kekuatan hukum pasal ini diatur mengenai satu-satunya
tetap dapat diajukan permintaan peninjauan mekanisme ganti kerugian yang dijalankan
kembali apabila dalam putusan itu suatu oleh korban (Pasal 98 KUHAP), dalam hal
perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan ini penggabungan perkara gugatan ganti
terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu kerugian.7 Perlindungan korban dalam
pemidanaan. Pasal 266 ayat (2) KUHAP konteks ini berarti tetap menempatkan
ditentukan bahwa dalam hal Mahkamah kepentingan korban sebagai salah satu
Agung berpendapat bahwa permintaan bagian mutlak yang dipertimbangkan dalam
peninjauan kembali dapat diterima untuk proses penyelesaian perkara pidana.
diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut: Dengan berlakunya KUHAP, maka korban
a. Apabila Mahkamah Agung tidak memungkinkan untuk mengawasi suatu
membenarkan alasan pemohon. perkara yang menempatkan dirinya sebagai
184
Kewenangan Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan Kembali……(Ajie Ramdan)
185
JIKH Vol. 11 No. 2 Juli 2017: 181 - 192
hak korban untuk mengajukan praperadilan kurang memuaskan karena terlalu formalistis
terhadap penghentian penyidikan maupun yuridis dan kurang tanggap terhadap dinamika
penuntutan sebagaimana dikenal dalam masyarakat. Sebenarnya kekurangan
hukum positif Indonesia. Dari aspek tersebut, tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab
idealnya dalam menentukan penuntutan pengadilan, karena prosedur hukum memberi
kepada pelaku kejahatan perlu disertakan peluang bagi berlarutnya proses pengadilan
korban untuk memberikan pendapatnya. dengan segala upaya hukum yang ditempuh
Demikian pula halnya dalam menilai putusan pada pihak yang kurang bertanggung jawab.
pengadilan apakah telah sesuai dengan rasa Pada hakikatnya, walaupun secara tersirat
keadilan atau belum, dimintakan pendapat adanya upaya hukum yang dapat dilakukan
korban. Dengan syarat pendapat tersebut oleh korban kejahatan, dalam praktiknya
telah diterima oleh jaksa penuntut umum relatif telah dilakukan. Khusus terhadap upaya
dalam waktu yang lebih pendek dari batas hukum Peninjauan Kembali, dalam praktiknya
akhir mengajukan permohonan banding. telah dilakukan baik oleh saksi korban, pihak
Upaya perlindungan terhadap korban dapat ketiga yang berkepentingan, penasihat
juga dilakukan melalui penyederhanaan hukum maupun oleh jaksa penuntut umum.14
dalam proses peradilan pidana. Menurut Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
hukum positif di Indonesia ada tiga tingkat Kekuasaan Kehakiman yang mengubah
yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 juga tidak
dan peradilan tingkat kasasi. Kemudian ada jauh berbeda yaitu bersifat formalistis yuridis
upaya hukum luar biasa yaitu kasasi demi dan tidak memperhatikan kepentingan korban.
kepentingan hukum dan Peninjauan Kembali Menurut Putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016
terhadap putusan pengadilan yang telah bagian 3.11 melarang Jaksa Penuntut Umum
memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht melakukan Upaya Peninjauan Kembali:
van gewijsde).13 Upaya Peninjauan Kembali dilandasi
Dari perspektif perlindungan kepada filosofi pengembalian hak dan keadilan
pelaku, proses di atas memang sangat seseorang yang meyakini dirinya
menguntungkan guna memperoleh pengujian mendapat perlakuan yang tidak
terhadap putusan pengadilan yang lebih berkeadilan yang dilakukan oleh negara
rendah, akan tetapi dipandang dari sudut berdasarkan putusan hakim, oleh karena
itu hukum positif yang berlaku di Indonesia
perlindungan korban, proses peradilan
memberikan hak kepada terpidana atau
demikian merupakan waktu tunggu yang
ahli warisnya untuk mengajukan upaya
sangat melelahkan, terkait dengan beban
hukum luar biasa yang dinamakan
psikologis yang dialami sebagai akibat tindak dengan Peninjauan Kembali. Dengan
pidana dimaksud. Pelaksanaan peradilan kata lain, lembaga Peninjauan Kembali
di Indonesia dahulu berdasarkan ketentuan ditujukan untuk kepentingan terpidana
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang guna melakukan upaya hukum luar
Kekuasaan Kehakiman masih kurang biasa, bukan kepentingan negara
memuaskan. Hal ini disebabkan karena terlalu maupun kepentingan korban, sebagai
lamban dan memakan waktu lama guna upaya hukum luar biasa yang dilakukan
penyelesaian perkara sampai suatu putusan oleh terpidana, maka subjek yang berhak
berkekuatan hukum tetap, putusan pengadilan mengajukan Peninjauan Kembali adalah
hanya terpidana ataupun ahli warisnya,
186
Kewenangan Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan Kembali……(Ajie Ramdan)
sedangkan objek dari pengajuan hakim ketua sidang atas permintaan korban
Peninjauan Kembali adalah putusan yang yang diajukan dalam tenggang waktu yang
menyatakan perbuatan yang didakwakan sudah ditentukan. Putusan mengenai ganti
dinyatakan terbukti dan dijatuhi pidana, kerugian memperoleh kekuatan hukum
oleh karena itu sebagai sebuah konsep tetap, apabila putusan pidana juga mendapat
upaya hukum bagi kepentingan terpidana
kekuatan hukum tetap. Apabila pihak
yang merasa tidak puas terhadap
korban tidak memakai mekanisme KUHAP
putusan yang telah memperoleh
maka ketentuan dari aturan hukum acara
kekuatan hukum tetap, maka putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian
hukum tidaklah termasuk ke dalam objek sepanjang KUHAP tidak mengatur secara
pengajuan Peninjauan Kembali, karena lain. Dengan diterimanya jaksa penuntut
putusan bebas atau lepas dari segala umum mengajukan upaya Peninjauan
tuntutan hukum pastilah menguntungkan Kembali adalah sebuah terobosan hukum
terpidana; pranata Peninjauan Kembali untuk melindungi korban kejahatan.16
diadopsi semata-mata untuk kepentingan Penafsiran yang dilakukan Mahkamah
terpidana atau ahli warisnya dan hal Agung dalam kasus Dr. Muchtar Pakpahan,
tersebut merupakan esensi dari lembaga
S.H., adalah:17
Peninjauan Kembali. Apabila esensi ini
ditiadakan maka lembaga Peninjauan 1. Pasal 244 KUHAP menegaskan
Kembali akan kehilangan maknanya putusan bebas yang tegas tidak dapat
atau menjadi tidak berarti; dimintakan kasasi. Namun melalui
penafsiran terhadap Pasal 244 KUHAP
Perlindungan hukum kepada setiap telah diciptakan aturan hukum baru
warga negara yang menjadi korban selama berupa putusan bebas murni tidak dapat
ini didasarkan pada KUHP sebagai sumber dimintakan kasasi dan penafsiran ini lalu
hukum materiil, dengan menggunakan KUHAP menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah
sebagai hukum acara. Di dalam KUHAP Agung.
lebih banyak diatur mengenai tersangka 2. Pasal 21 Undang-Undang Nomor 14
daripada mengenai korban. Kedudukan Tahun 1970 dimana ketentuan pasal
korban dalam KUHAP tampaknya belum ini ditafsirkan bahwa di dalam perkara
optimal dibandingkan dengan kedudukan pidana, selalu terdapat dua pihak yang
pelaku. Dengan adanya Putusan MK No. 33/ berkepentingan yaitu terdakwa dan
PUU-XIV/2016 mempertegas bahwa Jaksa kejaksaan yang mewakili kepentingan
umum (negara). Oleh karena itu pihak
Penuntut Umum tidak bisa lagi mewakili
yang berkepentingan yang disebut dalam
korban dalam mengajukan upaya hukum
Pasal 21 UU 14/1970 ditafsirkan adalah
Peninjauan Kembali.15 kejaksaan yang tentunya juga berhak
Hak korban menurut KUHAP diatur dalam memohon pemeriksaan peninjauan
Pasal 98-101 KUHAP. Dalam pasal ini diatur kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
mengenai satu-satunya mekanisme ganti 3. Pasal 263 ayat (3) KUHAP menurut
kerugian yang dijalankan oleh korban (Pasal penafsiran Majelis Mahkamah Agung RI,
98 KUHAP) yang disebut penggabungan maka ditujukan kepada jaksa oleh karena
perkara gugatan ganti kerugian. jaksa penuntut umum adalah pihak yang
Penggabungan perkara ini, dilakukan melalui paling berkepentingan agar keputusan
187
JIKH Vol. 11 No. 2 Juli 2017: 181 - 192
hakim diubah, sehingga putusan yang dari Majelis Peninjauan Kembali Mahkmah
berisi pernyataan kesalahan terdakwa Agung RI secara formal mengenai alasan
tapi tidak diikuti pemidanaan dapat diubah jaksa penuntut umum mengajukan,
dengan diikuti dengan pemidanaan mengizinkan, dan menerima Peninjauan
terhadap terdakwa. Kembali, berdasarkan atas pertimbangan
188
Kewenangan Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan Kembali……(Ajie Ramdan)
19. Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan dalam
Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Bandung: Alumni, 2007), hlm.146
20. Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002), hlm.
66.
21. C. Djisman Samosir, Segenggam Tentang Hukum Acara Pidana, (Bandung: Nuansa Aulia, 2013), hlm.176-177.
189
JIKH Vol. 11 No. 2 Juli 2017: 181 - 192
22. Mudzakkir,“Kedudukan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana”, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 14, Nomor 1, Maret
2011, hlm. 33
23. Ibid, hlm. 34-35.
190
Kewenangan Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan Kembali……(Ajie Ramdan)
191
JIKH Vol. 11 No. 2 Juli 2017: 181 - 192
DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan
Pidana Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme, Bandung: Putra bardin,
1996.
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Edisi
Revisi, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Mudzakkir.,“Kedudukan Korban Dalam Sistem
Peradilan Pidana”. Jurnal Ilmu Hukum,
Volume 14, Nomor 1, Maret 2011.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan
Pidana, Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 2002.
Rukmini, Mien, Perlindungan HAM Melalui
Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas
Persamaan Kedudukan Dalam Hukum
Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia,
Bandung: Alumni, 2007.
Samosir, C. Djisman, Segenggam Tentang
Hukum Acara Pidana, Bandung: Nuansa
Aulia, 2013.
Soeparman, Parman, Pengaturan Hak
Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan
Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi
Korban Kejahatan, Bandung:Refika
Aditama, 2007.
Sunarso, Siswanto, Viktimologi Dalam Sistem
Peradilan Pidana, Jakarta: Sinar Grafika,
2015.
Yahya Harahap, M., Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan,
Banding, Kasasi dan Peninjauan
Kembali, Jakarta:Sinar Grafika, 2010.
192