Anda di halaman 1dari 12

Kewenangan Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan Kembali……(Ajie Ramdan)

KEWENANGAN PENUNTUT UMUM MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI


PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI No. 33/PUU-XIV/2016
(Authority of The Public Prosecutor to Propose A Judicial Review Post A
Verdict of The Indonesian Constitutional Court Number 33/PUU-XIV/2016)

Ajie Ramdan
Pusat Studi Kebijakan Kriminal Fakultas Hukum UNPAD
Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung
Email: ajie.ramdan@unpad.ac.id

Tulisan Diterima: 3 Mei 2017; Direvisi: 15 Juni 2017;


Disetujui Diterbitkan: 16 Juni 2017

Abstrak
Putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016 menyatakan bahwa Pasal 263 ayat (1) KUHAP secara bersyarat
bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit tersurat
dalam norma a quo. Oleh karena itu yang berhak melakukan peninjauan kembali adalah terpidana
dan ahli warisnya. Jaksa Penuntut Umum tidak berwenang melakukan Peninjauan Kembali. Hal
ini menimbulkan permasalahan baru bagi Jaksa Penuntut Umum yang mewakili negara dan juga
korban. Penulis menganalisa Perlindungan Korban Kejahatan Untuk Mengajukan Peninjauan
Kembali Pasca Putusan MK tersebut. Dalam praktik Putusan Peninjauan Kembali Nomor: 55 K/
Pid/1996 yang menjadi yurisprudensi Mahkamah Agung merupakan pembaharuan hukum. Dengan
adanya Putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016 telah mengesampingkan yurisprudensi yang merupakan
pembaharuan hukum dan tentunya tidak menjamin hak korban kejahatan dalam mengajukan
Peninjauan Kembali yang diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum.
Kata Kunci: Perlindungan, Korban Kejahatan, Peninjauan Kembali, Jaksa Penuntut Umum

Abstract
The verdict of The Indonesian Constitutional Court Number 33/PUU-XIV/2016 stated that Article 263
paragraph (1) of the Criminal Code Procedures (KUHAP) conditionally contrary to the Indonesian
Constitution 1945, unless it interpreted differently, and not against legal norms (a quo). Therefore,
the parties whose rights to submit a judicial review are the convict and heir. The public prosecutor
has no right and authority to do a judicial review. It leads a new problem to the public prosecutors
who represent state and victims. The writer analyzes the protection of victim of crime to submit
a judicial review post that verdict. In practice of the judicial review Number: 55 K/PID/1996 that
become a jurisprudence for the Indonesian Constitutional Court is a Legal renewal. With that verdict
has put a jurisprudence aside which is a legal renewal and certainly, it does not guarantee the rights
of victim crime to request a judicial review represented by public prosecutors.
Keywords: protection, victim of crime, judicial review, public prosecutor

181
JIKH Vol. 11 No. 2 Juli 2017: 181 - 192

PENDAHULUAN hukum, undang-undang telah membuka


kesempatan kepada Jaksa Agung untuk
Putusan pengadilan yang telah membela kepentingan umum, seandainya
memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali penuntut umum berpendapat suatu putusan
putusan bebas atau lepas dari segala pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tuntutan hukum, terpidana atau ahli waris tetap merugikan kepentingan umum atau
dapat mengajukan permintaan peninjauan bertentangan dengan tujuan penegakan
kembali kepada Mahkamah Agung. Upaya hukum, kebenaran, dan keadilan undang-
hukum peninjauan kembali tidak dapat undang telah membuka upaya hukum bagi
diajukan terhadap putusan bebas (vrijspraak) Jaksa Agung untuk mengajukan permintaan
atau putusan lepas dari segala tuntutan kasasi demi kepentingan hukum.
hukum (onslag rects vervolging). Tujuan Untuk pertama kalinya Mahkamah
upaya peninjauan kembali adalah sebagai Agung menerima Peninjauan Kembali dari
upaya yang memberi kesempatan kepada Jaksa melalui Putusan Peninjauan Kembali
terpidana untuk membela kepentingannya, Nomor:55K/Pid/1996tanggal25Oktober1996,
agar dia terlepas dari kekeliruan pemidanaan mengabulkan Peninjauan Kembali dari jaksa
ataupun telah dilepaskan dari segala tuntutan penuntut umum dan menyatakan terdakwa Dr.
hukum, tidak ada lagi alasan dan urgensi Muchtar Pakpahan, S.H., MA terbukti secara
untuk meninjau kembali putusan yang sah dan meyakinkan bersalah melakukan
menguntungkan dirinya. Tidak mungkin perbuatan menghasut di muka umum dengan
orang yang sudah diputus bebas atau dilepas lisan dan tulisan supaya melakukan sesuatu
dari segala tuntutan hukum masih ingin lagi tindak pidana tidak menuruti perintah yang
dijatuhi pidana.1 sah yang diberikan menurut undang-undang
Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang dan tidak menuruti ketentuan undang-undang
No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang- yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) serta menyiarkan tulisan dimuka umum
menegaskan orang yang berhak mengajukan yang menghasut supaya melakukan tindak
peninjauan kembali, yaitu terpidana, atau ahli pidana tidak menuruti perintah yang sah yang
warisnya.2Jaksa penuntut umum tidak berhak diberikan menurut undang-undang serta tidak
mengajukan permintaan peninjauan kembali. menuruti ketentuan undang-undang dengan
Alasan undang-undang tidak memberi hak maksud isi tulisan yang menghasut diketahui
kepada penuntut umum karena upaya hukum oleh umum. Pertimbangan Mahkamah Agung
ini bertujuan untuk melindungi kepentingan dalam menghadapi problema yuridis hukum
terpidana. Untuk kepentingan terpidana acara pidana dimana tidak diatur secara
undang-undang membuka kemungkinan tegas dalam KUHAP, maka Mahkamah
untuk meninjau kembali putusan yang telah Agung melalui putusan dalam perkara ini
memperoleh kekuatan hukum tetap, karena berkeinginan menciptakan hukum acara
itu selayaknya hanya diberikan kepada pidana sendiri guna menampung kekurangan
terpidana atau ahli warisnya. Lagipula pengaturan mengenai hak atau wewenang
sisi lain upaya hukum luar biasa ini yakni jaksa untuk mengajukan permohonan
pada upaya kasasi demi kepentingan

1. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding,
Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta:Sinar Grafika, 2010), hlm.615-616.
2. Ibid, hlm. 616
3. Parman Soeparman, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Bagi
Korban Kejahatan, (Bandung:Refika Aditama, 2007), hlm.89-91.

182
Kewenangan Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan Kembali……(Ajie Ramdan)

pemeriksaan Peninjauan Kembali (PK) dalam Peraturan MA Nomor 1 Tahun 1969 dan Surat
perkara pidana.3 Edaran tersebut dicabut, dan menentukan
Saat ini Mahkamah Konstitusi telah bahwa permohonan peninjauan kembali
menafsirkan dalam Putusan No. 33/PUU- mengenai perkara perdata dapat diajukan
XIV/2016 bahwa Pasal 263 ayat (1) KUHAP request civiel, dengan bercermin kepada
secara bersyarat bertentangan dengan UUD Reglement op de Burgerlijke rechtsvordering,
1945 sepanjang dimaknai lain selain yang sedangkan mengenai perkara pidana tidak
secara eksplisit tersurat dalam norma a quo. dapat diajukan karena belum ada undang-
Jaksa Penuntut Umum tidak perbolehkan undangnya.4
melakukan Peninjauan Kembali. Putusan MK Pasca terjadinya kasus Karta dan
tersebut mengesampingkan yurisprudensi Sengkon yang menjadi pusat perhatian
Mahkamah Agung tentang kewenangan masyarakat, Mahkamah Agung setelah
jaksa mengajukan peninjauan kembali dalam mengadakan rapat kerja dengan DPR
perkara pidana untuk mewakili negara dan tanggal 19 November 1980, memberanikan
juga korban. diri mengeluarkan Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 1980 yang mengatur
PEMBAHASAN kemungkinan mengajukan permohonan
peninjauan kembali putusan yang telah
Pengaturan Peninjauan Kembali Sebelum memperoleh kekuatan hukum tetap baik
Adanya KUHAP perkara perdata maupun pidana. Mengenai
Sebelum KUHAP, tidak ada undang- perkara pidana, diatur dalam Pasal 9, yang
undang mengatur pelaksanaan peninjauan mengatakan bahwa Mahkamah Agung dapat
kembali putusan pengadilan yang telah meninjau kembali suatu putusan pidana yang
memperoleh kekuatan hukum tetap. Undang- telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang
Undang tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman mengandung pemidanaan, dengan alasan:5
pada Pasal 21 hanya menyebut kemungkinan 1. Apabila dalam putusan-putusan yang
peninjauan kembali itu, tetapi pelaksanaannya berlainan terdapat keadaan yang
sesuai dengan ketentuan undang-undang. dinyatakan terbukti, akan tetapi satu
Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan sama lain bertentangan;
MA Nomor 1 Tahun 1969 yang memungkinkan 2. Apabila terdapat sesuatu keadaan,
diajukan permohonan peninjauan kembali sehingga menimbulkan persangkaan
putusan pengadilan yang telah memperoleh yang kuat, apabila keadaan itu diketahui
kekuatan hukum tetap. Surat Edaran pada waktu sidang masih berlangsung,
Mahkamah Agung tersebut Nomor 18 Tahun putusan yang akan dijatuhkan
1969, menunda berlakunya Peraturan mengandung pembebasan terpidana
Mahkamah Agung tersebut dengan alasan dari tuduhan, pelepasan dari tuntutan
masih diperlukan peraturan lebih lanjut hukum atas dasar bahwa perbuatan yang
akan dijatuhkan itu tidak dapat dipidana,
misalnya mengenai biaya perkara yang
pernyataan tidak diterimanya tuntutan
memerlukan persetujuan Menteri Keuangan.
jaksa untuk menyerahkan perkara ke
Kemudian dengan Peraturan MA Nomor 1
persidangan pengadilan atau penerapan
Tahun 1971 tanggal 30 November 1971, ketentuan-ketentuan pidana lain yang
lebih ringan.
3. Parman Soeparman, Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana Bagi
Korban Kejahatan, (Bandung:Refika Aditama, 2007), hlm.89-91.
4. Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Edisi Revisi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 299.
5. Ibid

183
JIKH Vol. 11 No. 2 Juli 2017: 181 - 192

Dibandingkan dengan Pasal 263 ayat (2) Mahkamah Agung menolak permintaan
KUHAP, maka terlihat keduanya hampir sama. peninjauan kembali dengan menetapkan
Ketentuan dalam KUHAP ini mengatakan bahwa putusan yang dimintakan
permintaan peninjauan kembali dilakukan peninjauan kembali itu tetap berlaku
atas dasar:6 disertai dasar pertimbangannya.
a. Apabila terdapat keadaan baru yang 2. Apabila Mahkamah Agung membenarkan
menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika alasan pemohon, Mahkamah Agung
keadaan itu sudah diketahui pada waktu membatalkan putusan yang dimintakan
sidang masih berlangsung, hasilnya akan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan
berupa putusan bebas atau putusan putusan yang dapat berupa putusan
lepas dari segala tuntutan hukum atau bebas, putusan lepas dari segala
tuntutan penuntut umum tidak dapat tuntutan hukum, putusan tidak dapat
diterima atau terhadap perkara itu menerima tuntutan penuntut umum,
diterapkan ketentuan pidana yang lebih putusan dengan menetapkan ketentuan
ringan; pidana yang lebih ringan.
b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat Proses Penegakan Hukum Acara Pidana
pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, Setelah Adanya KUHAP
akan tetapi hal-hal atau keadaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
sebagai dasar dan alasan putusan yang (KUHP) belum secara tegas merumuskan
dinyatakan telah terbukti itu, ternyata
ketentuan yang secara konkret atau langsung
telah bertentangan satu dengan yang
memberikan perlindungan hukum terhadap
lain;
korban, misalnya dalam hal penjatuhan pidana
c. Apabila putusan itu dengan jelas
wajib dipertimbangkan pengaruh tindak
memperlihatkan suatu kekhilafan hakim
pidana terhadap korban atau keluarga korban.
atau suatu kekeliruan yang nyata.
Apabila dibandingkan dengan Kitab Undang-
Kemudian, Pasal 273 ayat (3) KUHAP Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
tersebut mengatakan bahwa atas dasar sudah memulai adanya perlindungan korban
alasan yang sama sebagaimana tersebut pada secara individu, hak korban menurut KUHAP
ayat (2) terhadap suatu putusan pengadilan diatur dalam Pasal 98-101 KUHAP. Dalam
yang telah memperoleh kekuatan hukum pasal ini diatur mengenai satu-satunya
tetap dapat diajukan permintaan peninjauan mekanisme ganti kerugian yang dijalankan
kembali apabila dalam putusan itu suatu oleh korban (Pasal 98 KUHAP), dalam hal
perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan ini penggabungan perkara gugatan ganti
terbukti akan tetapi tidak diikuti oleh suatu kerugian.7 Perlindungan korban dalam
pemidanaan. Pasal 266 ayat (2) KUHAP konteks ini berarti tetap menempatkan
ditentukan bahwa dalam hal Mahkamah kepentingan korban sebagai salah satu
Agung berpendapat bahwa permintaan bagian mutlak yang dipertimbangkan dalam
peninjauan kembali dapat diterima untuk proses penyelesaian perkara pidana.
diperiksa, berlaku ketentuan sebagai berikut: Dengan berlakunya KUHAP, maka korban
a. Apabila Mahkamah Agung tidak memungkinkan untuk mengawasi suatu
membenarkan alasan pemohon. perkara yang menempatkan dirinya sebagai

6. Ibid, hlm. 300.


7. Siswanto Sunarso, Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 49-50.

184
Kewenangan Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan Kembali……(Ajie Ramdan)

korban. Korban dimaksud dapat melakukan penderitaannya sesuai dengan kemampuan


upaya praperadilan, jika suatu perkara memberi kompensasi pelaku tindak pidana,
dihentikan penyidikan atau penuntutannya. menolak kompensasi untuk kepentingan
Hal tersebut merupakan salah satu bentuk pelaku tindak pidana mendapat kompensasi
perlindungan, karena diberikannya hak untuk ahli warisnya bila si korban meninggal
mengawasi ini dapat memberi jaminan bahwa dunia karena tindakan tersebut, mendapat
perkara pidana dimaksud dapat diselesaikan pembinaan dan rehabilitasi, mendapatkan
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. kembali hak miliknya, mendapatkan
Selain itu KUHAP juga memberi peluang perlindungan dari ancaman pihak pembuat
kepada korban untuk mengajukan gugatan korban bila melapor dan menjadi saksi,
ganti kerugian yang digabungkan dengan mendapat bantuan penasihat hukum dan
perkara pidana bersangkutan sebagaimana berhak menggunakan upaya hukum (recht
ketentuan Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 middelen)
KUHAP. Dalam hal ini konkretnya merupakan Sedangkan, terhadap aspek ini, JE.
awal diperhatikannya korban dalam proses Sahetapy juga menentukan hak-hak korban
pidana. Seorang korban dari suatu kejahatan yaitu: mendapat pelayanan (bantuan,
dapat dihadirkan dalam proses pemeriksaan restitusi, kompensasi), menolak pelayanan
perkara pidana dengan dua fungsi yang untuk ahli warisnya, mendapatkan kembali
berbeda. Di satu sisi kehadiran korban hak miliknya, menolak menjadi saksi apabila
berfungsi sebagai saksi, baik dalam tahap tidak ada perlindungan terhadap dirinya,
penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan mendapat perlindungan terhadap ancaman
di persidangan pengadilan. Di sisi lain fungsi pihak pelaku apabila pelapor menjadi saksi,
korban adalah mengajukan gugatan ganti mendapat informasi mengenai permasalahan
kerugian atas penderitaan dan kerugian yang yang dihadapinya, dapat melangsungkan
dialami sebagai akibat kejahatan.8 pekerjaannya, mendapat pelayanan yang
Korban semakin jauh dari sistem layak sebelum persidangan, selama
peradilan pidana yang oleh Stephen persidangan dan setelah persidangan,
Schafer dikatakan sebagai Cinderella dari mendapat bantuan penasihat hukum dan
hukum pidana. Selain Stephen Schafer menggunakan upaya hukum.11
maka Robert Reiff juga berasumsi tentang Kelemahan pemikiran dan pandangan
kurangnya perhatian korban dalam proses KUHAP saat ini tampak terlalu menitikberatkan
pidana. Menurut Reiff hukum pidana hanya perlindungan atas hak dan kepentingan
mereduksi apa yang dilakukan penjahat, tersangka, tertuduh, dan terdakwa, akan
tidak seorang pun bertanya apa yang dapat tetapi sangat kurang memperhatikan efisiensi
dilakukan korban dan menangkap penjahat mekanisme penyelesaian perkara pidana itu
untuk membantu korban kejahatan.9 sendiri oleh aparat yustisi dan kepentingan
Dalam kajian teoritik melalui pandangan korban tindak pidana atau korban
doktrin dari Arif Gosita disebutkan bahwa penyalahgunaan kekuasaan aparat penegak
adanya hak-hak korban yaitu:10korban hukum.12Dalam kaitan hak-hak prosedural
berhak mendapatkan kompensasi atas korban kejahatan, dapat mengacu pada

8. Parman Soeparman, op.cit., hlm. 73-74.


9. Ibid, hlm. 82.
10. Ibid, hlm. 82-83.
11. Ibid, hlm. 83.
12. Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Bandung: Putra
bardin, 1996), hlm.45.

185
JIKH Vol. 11 No. 2 Juli 2017: 181 - 192

hak korban untuk mengajukan praperadilan kurang memuaskan karena terlalu formalistis
terhadap penghentian penyidikan maupun yuridis dan kurang tanggap terhadap dinamika
penuntutan sebagaimana dikenal dalam masyarakat. Sebenarnya kekurangan
hukum positif Indonesia. Dari aspek tersebut, tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab
idealnya dalam menentukan penuntutan pengadilan, karena prosedur hukum memberi
kepada pelaku kejahatan perlu disertakan peluang bagi berlarutnya proses pengadilan
korban untuk memberikan pendapatnya. dengan segala upaya hukum yang ditempuh
Demikian pula halnya dalam menilai putusan pada pihak yang kurang bertanggung jawab.
pengadilan apakah telah sesuai dengan rasa Pada hakikatnya, walaupun secara tersirat
keadilan atau belum, dimintakan pendapat adanya upaya hukum yang dapat dilakukan
korban. Dengan syarat pendapat tersebut oleh korban kejahatan, dalam praktiknya
telah diterima oleh jaksa penuntut umum relatif telah dilakukan. Khusus terhadap upaya
dalam waktu yang lebih pendek dari batas hukum Peninjauan Kembali, dalam praktiknya
akhir mengajukan permohonan banding. telah dilakukan baik oleh saksi korban, pihak
Upaya perlindungan terhadap korban dapat ketiga yang berkepentingan, penasihat
juga dilakukan melalui penyederhanaan hukum maupun oleh jaksa penuntut umum.14
dalam proses peradilan pidana. Menurut Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
hukum positif di Indonesia ada tiga tingkat Kekuasaan Kehakiman yang mengubah
yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 juga tidak
dan peradilan tingkat kasasi. Kemudian ada jauh berbeda yaitu bersifat formalistis yuridis
upaya hukum luar biasa yaitu kasasi demi dan tidak memperhatikan kepentingan korban.
kepentingan hukum dan Peninjauan Kembali Menurut Putusan MK No. 33/PUU-XIV/2016
terhadap putusan pengadilan yang telah bagian 3.11 melarang Jaksa Penuntut Umum
memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht melakukan Upaya Peninjauan Kembali:
van gewijsde).13 Upaya Peninjauan Kembali dilandasi
Dari perspektif perlindungan kepada filosofi pengembalian hak dan keadilan
pelaku, proses di atas memang sangat seseorang yang meyakini dirinya
menguntungkan guna memperoleh pengujian mendapat perlakuan yang tidak
terhadap putusan pengadilan yang lebih berkeadilan yang dilakukan oleh negara
rendah, akan tetapi dipandang dari sudut berdasarkan putusan hakim, oleh karena
itu hukum positif yang berlaku di Indonesia
perlindungan korban, proses peradilan
memberikan hak kepada terpidana atau
demikian merupakan waktu tunggu yang
ahli warisnya untuk mengajukan upaya
sangat melelahkan, terkait dengan beban
hukum luar biasa yang dinamakan
psikologis yang dialami sebagai akibat tindak dengan Peninjauan Kembali. Dengan
pidana dimaksud. Pelaksanaan peradilan kata lain, lembaga Peninjauan Kembali
di Indonesia dahulu berdasarkan ketentuan ditujukan untuk kepentingan terpidana
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang guna melakukan upaya hukum luar
Kekuasaan Kehakiman masih kurang biasa, bukan kepentingan negara
memuaskan. Hal ini disebabkan karena terlalu maupun kepentingan korban, sebagai
lamban dan memakan waktu lama guna upaya hukum luar biasa yang dilakukan
penyelesaian perkara sampai suatu putusan oleh terpidana, maka subjek yang berhak
berkekuatan hukum tetap, putusan pengadilan mengajukan Peninjauan Kembali adalah
hanya terpidana ataupun ahli warisnya,

13. Parman Soeparman,op.cit, hlm. 84.


14. Ibid, hlm. 84-86.

186
Kewenangan Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan Kembali……(Ajie Ramdan)

sedangkan objek dari pengajuan hakim ketua sidang atas permintaan korban
Peninjauan Kembali adalah putusan yang yang diajukan dalam tenggang waktu yang
menyatakan perbuatan yang didakwakan sudah ditentukan. Putusan mengenai ganti
dinyatakan terbukti dan dijatuhi pidana, kerugian memperoleh kekuatan hukum
oleh karena itu sebagai sebuah konsep tetap, apabila putusan pidana juga mendapat
upaya hukum bagi kepentingan terpidana
kekuatan hukum tetap. Apabila pihak
yang merasa tidak puas terhadap
korban tidak memakai mekanisme KUHAP
putusan yang telah memperoleh
maka ketentuan dari aturan hukum acara
kekuatan hukum tetap, maka putusan
bebas atau lepas dari segala tuntutan perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian
hukum tidaklah termasuk ke dalam objek sepanjang KUHAP tidak mengatur secara
pengajuan Peninjauan Kembali, karena lain. Dengan diterimanya jaksa penuntut
putusan bebas atau lepas dari segala umum mengajukan upaya Peninjauan
tuntutan hukum pastilah menguntungkan Kembali adalah sebuah terobosan hukum
terpidana; pranata Peninjauan Kembali untuk melindungi korban kejahatan.16
diadopsi semata-mata untuk kepentingan Penafsiran yang dilakukan Mahkamah
terpidana atau ahli warisnya dan hal Agung dalam kasus Dr. Muchtar Pakpahan,
tersebut merupakan esensi dari lembaga
S.H., adalah:17
Peninjauan Kembali. Apabila esensi ini
ditiadakan maka lembaga Peninjauan 1. Pasal 244 KUHAP menegaskan
Kembali akan kehilangan maknanya putusan bebas yang tegas tidak dapat
atau menjadi tidak berarti; dimintakan kasasi. Namun melalui
penafsiran terhadap Pasal 244 KUHAP
Perlindungan hukum kepada setiap telah diciptakan aturan hukum baru
warga negara yang menjadi korban selama berupa putusan bebas murni tidak dapat
ini didasarkan pada KUHP sebagai sumber dimintakan kasasi dan penafsiran ini lalu
hukum materiil, dengan menggunakan KUHAP menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah
sebagai hukum acara. Di dalam KUHAP Agung.
lebih banyak diatur mengenai tersangka 2. Pasal 21 Undang-Undang Nomor 14
daripada mengenai korban. Kedudukan Tahun 1970 dimana ketentuan pasal
korban dalam KUHAP tampaknya belum ini ditafsirkan bahwa di dalam perkara
optimal dibandingkan dengan kedudukan pidana, selalu terdapat dua pihak yang
pelaku. Dengan adanya Putusan MK No. 33/ berkepentingan yaitu terdakwa dan
PUU-XIV/2016 mempertegas bahwa Jaksa kejaksaan yang mewakili kepentingan
umum (negara). Oleh karena itu pihak
Penuntut Umum tidak bisa lagi mewakili
yang berkepentingan yang disebut dalam
korban dalam mengajukan upaya hukum
Pasal 21 UU 14/1970 ditafsirkan adalah
Peninjauan Kembali.15 kejaksaan yang tentunya juga berhak
Hak korban menurut KUHAP diatur dalam memohon pemeriksaan peninjauan
Pasal 98-101 KUHAP. Dalam pasal ini diatur kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
mengenai satu-satunya mekanisme ganti 3. Pasal 263 ayat (3) KUHAP menurut
kerugian yang dijalankan oleh korban (Pasal penafsiran Majelis Mahkamah Agung RI,
98 KUHAP) yang disebut penggabungan maka ditujukan kepada jaksa oleh karena
perkara gugatan ganti kerugian. jaksa penuntut umum adalah pihak yang
Penggabungan perkara ini, dilakukan melalui paling berkepentingan agar keputusan

15. Ibid, hlm. 77-78.


16. Ibid, hlm. 73-74.
17. Ibid, hlm.89-91.

187
JIKH Vol. 11 No. 2 Juli 2017: 181 - 192

hakim diubah, sehingga putusan yang dari Majelis Peninjauan Kembali Mahkmah
berisi pernyataan kesalahan terdakwa Agung RI secara formal mengenai alasan
tapi tidak diikuti pemidanaan dapat diubah jaksa penuntut umum mengajukan,
dengan diikuti dengan pemidanaan mengizinkan, dan menerima Peninjauan
terhadap terdakwa. Kembali, berdasarkan atas pertimbangan

penerapan asas keseimbangan hak


1. Pasal 263 ayat (1) KUHAP tidak secara
asasi antara kepentingan perseorangan
tegas melarang jaksa penuntut umum
(termohon PK) dan kepentingan umum,
mengajukan upaya hukum mengajukan
bangsa dan negara juga kepentingan
Peninjauan Kembali. Logikanya tidak
umum yang diwakili kejaksaan dapat pula
mungkin terpidana/ahli warisnya akan
melakukan peninjauan kembali (PK).
mengajukan Peninjauan Kembali atas
5. Mahkamah Agung sebagai badan putusan vrijspraak dan onslag van alle
peradilan tertinggi di negara Republik rectsvervolging. Dalam konteks ini maka
Indonesia bertugas untuk membina yang berkepentingan adalah jaksa
dan menjaga agar semua hukum dan penuntut umum atas dasar ketentuan
undang-undang diterapkan secara tepat Pasal 263 ayat (2) KUHAP.
dan adil. Oleh karena itu Mahkamah 2. Konsekuensi logis dari aspek demikian,
Agung akan mengisi kekosongan dalam maka Pasal 263 ayat (3) KUHAP juga
hukum acara pidana tentang masalah tidak mungkin dimanfaatkan oleh
Peninjauan Kembali putusan kasasi terpidana atau ahli warisnya sebab akan
perkara pidana yang ternyata ada hal-hal merugikan yang bersangkutan, sehingga
yang belum diatur oleh KUHAP dengan logis bila jaksa penuntut umum diberikan
cara menciptakan hukum acara sendiri hak untuk mengajukan peninjauan
(yurisprudensi) demi adanya kepastian kembali.
hukum.
3. Meskipun hukum acara tidak menganut
6. Berdasarkan argumentasi yuridis asas stare decisis atau the binding force
tersebut, Mahkamah Agung berpendirian of precedent, namun demi memelihara
bahwa secara formal permohonan keseragaman putusan Mahkamah
kejaksaan untuk Peninjauan Kembali Agung (consistency in court decision),
(PK) terhadap putusan kasasi Mahkamah maka Majelis Mahkamah Agung dalam
Agung Nomor 395 K/Pid/1995 tanggal peninjauan kembali kasus The Gandhi
29 September 1995 dapat diterima oleh Memorial School cenderung untuk
Mahkamah Agung RI sehingga dapat mengikuti putusan Peninjauan Kembali
diperiksa kembali. Mahkamah Agung Nomor: 55 PK/
Contoh kasus selanjutnya The Gandhi Pid/1996 terdakwa Dr. Muchtar Pakpahan,
Memorial School pada dasarnya, secara S.H., MA. Yang logika hukumnya dapat
formal jika jaksa penuntut umum melakukan dipertanggungjawabkan secara hukum
Peninjauan Kembali dibenarkan oleh Majelis (reasonable).
Peninjauan Kembali Mahkamah Agung RI Mien Rukmini berpendapat tentang
karena mengacu dan sependapat dengan putusan Peninjauan Kembali Mahkamah
Putusan Mahkamah Agung No. 55 K/Pid/1996 Agung Nomor: 55 PK/Pid/1996 terdakwa
tanggal 25 Oktober atas Peninjauan Kembali Dr. Muchtar Pakpahan, S.H., MA adalah
pada kasus Dr. Muchtar Pakpahan, S.H., M.A. penyalahgunaan ketentuan dari KUHAP
Argumentasi yuridis dan dasar pertimbangan tersebut merupakan suatu jalan pintas

18. Ibid, hlm. 92-93.

188
Kewenangan Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan Kembali……(Ajie Ramdan)

yang melanggar kepastian hukum. Adanya memutuskan Pollycarpus tidak bersalah


kepentingan pihak tertentu yang berkaitan melakukan pembunuhan berencana. Hanya
dengan keadaan politik pada saat itu, dikatakan Pollycarpus Budihari Priyanto
sehingga mengabaikan unsur kepastian melakukan pemalsuan surat dan untuk itu
hukum dan keadilan.19 Pada sisi yang lain dijatuhi pidana 2 (dua) tahun penjara. Terhadap
putusan Peninjauan Kembali Mahkamah putusan Mahkamah Agung tersebut Jaksa
Agung Nomor: 55 PK/Pid/1996 tersebut Penuntut Umum mengajukan peninjauan
bisa dikatakan telah mengedepankan kembali dan Mahkamah Agung menyatakan
perlindungan hukum terhadap korban Peninjauan Kembali dari Jaksa Penuntut
kejahatan. Berdasarkan argumen kontrak Umum diterima kemudian dalam putusan
sosial (social contract argument) dan argumen Mahkamah Agung Saudara Pollycarpus
solidaritas sosial (social solidarity argument). Budihari Priyanto dinyatakan bersalah karena
Pertama mengatakan bahwa negara boleh turut melakukan pembunuhan berencana dan
dikatakan memonopoli seluruh reaksi sosial pemalsuan surat dan untuk itu dijatuhi pidana
terhadap kejahatan dan melarang tindakan- penjara 20 (dua puluh) tahun pada tanggal 25
tindakan yang bersifat pribadi. Apabila terjadi Januari 2008.21
kejahatan dan membawa korban, maka Lawrence W. Friedman memberikan
negara juga harus bertanggung jawab untuk konsep sistem meliputi tiga elemen sistem
memperhatikan kebutuhan para korban hukum, yaitu elemen struktural (structure),
tersebut. Kedua, negara harus menjaga warga substansi (substance), budaya hukum
negaranya dalam memenuhi kebutuhannya (legal culture), dan menambahkan elemen
atau apabila warga negaranya mengalami keempat yaitu dampak (impact). Relevansi
kesukaran, melalui kerja sama dalam dengan kajian posisi hukum korban
masyarakat berdasar atau menggunakan kejahatan dalam sistem peradilan, seperti
sarana-sarana yang disediakan oleh negara.20 diuraikan sebelumnya, akan dikaji dari dua
Dalam praktik putusan Peninjauan aspek, yaitu aspek substansi hukum pidana
Kembali Mahkamah Agung Nomor: 55 PK/ yakni peraturan perundang-undangan
Pid/1996 terulang kembali pada tahun 2004. hukum pidana (materiil dan formil) dan
Peninjauan kembali Jaksa Penuntut Umum lembaga peradilan (sistem peradilanpidana)
oleh Mahkamah Agung yaitu kasus saudara sebagai elemen struktur. Kajian sistem
Pollycarpus Budihari Priyanto yang didakwa peradilan pidana dipahami sebagai proses
melakukan pembunuhan berencana terhadap pengambilan keputusan dalam hukum pidana
almarhum Munir. Pengadilan Negeri Jakarta yakni penerapan hukum pidana(law in book)
Pusat menjatuhkan pidana penjara 14 (empat terhadap tersangka atau pelanggar hukum
belas) tahun bagi Pollycarpus Budihari pidana (law in action). Elemen substantif
Priyanto, Pengadilan Tinggi menguatkan dari suatu sistem hukum pidana memiliki
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat empat elemen yaitu adanya nilai yang
tersebut, dan Pollycarpus mengajukan kasasi mendasari sistem hukum (philosophic), asas-
ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung asas hukum (legal principles), norma atau

19. Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Persamaan Kedudukan dalam
Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Bandung: Alumni, 2007), hlm.146
20. Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2002), hlm.
66.
21. C. Djisman Samosir, Segenggam Tentang Hukum Acara Pidana, (Bandung: Nuansa Aulia, 2013), hlm.176-177.

189
JIKH Vol. 11 No. 2 Juli 2017: 181 - 192

peraturan perundang-undangan (legal rules), menerima Peninjauan Kembali yang


dan masyarakat hukum sebagai pendukung diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah
sistem hukum tersebut (legal society).22 bagian dari pembaharuan hukum yang tidak
Roeslan Saleh menyatakan bahwa mengubah makna substantif dari Pasal 244,
peraturan hukum positif hanya mempunyai Pasal 263 ayat (1) KUHAP, Pasal 21 Undang-
arti hukum jika dikaitkan dengan asas Undang Nomor 14 Tahun 1970. Oleh karena
hukum. Jadi, norma hukum memiliki arti itu Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut
keberlakuannya secara yuridik atau memiliki Umum adalah hal yang dibolehkan untuk
validitas yuridik jika dikaitkan asas-asas mewakili kepentingan korban. Putusan MK No.
hukum. Dalam kaitannya dengan nilai dalam 33/PUU-XIV/2016 telah mengesampingkan
sistem substantif hukum, Soerjono Soekanto Yurisprudensi yang merupakan pembaharuan
berpendapat bahwa hukum merupakan hukum dan tentunya tidak menjamin hak
konkretisasi dari sistem nilai yang berlaku korban kejahatan dalam mengajukan
dalam masyarakat. Suatu keadaan yang Peninjauan Kembali yang diwakili oleh Jaksa
dicita-citakan adalah adanya kesesuaian Penuntut Umum.
antara hukum dengan sistem nilai tersebut.
Konsekuensinya, perubahan pada nilai akan PENUTUP
diikuti dengan perubahan hukum yang berada
di bawahnya, sedangkan perubahan yang Kesimpulan
terjadi di bagian bawah belum tentu diikuti Penafsiran Mahkamah Agung dalam
oleh pergeseran nilai yang mendasarinya. kasus Dr. Muchtar Pakpahan, S.H., yang
Oleh karena itu, pembaruan hukum tidak akhirnya menjadi Yurisprudensi untuk
identik dengan mengganti aturan hukum menerima Peninjauan Kembali yang
yang lama dengan aturan hukum yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah
baru, karena perubahan hukum yang tidak bagian dari pembaharuan hukum yang tidak
mengubah makna substantif dari hukum yang mengubah makna substantif dari Pasal 244,
bersangkutan tidak berarti suatu perubahan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, Pasal 21 Undang-
atau pembaruan hukum, melainkan hanya Undang Nomor 14 Tahun 1970. Oleh karena
mengganti rumusan kata-kata yang lama itu Putusan MK No. 33/PUUXIV/2016 telah
dengan rumusan kata-kata yang baru yang mengesampingkan Yurisprudensi Mahkamah
lebih baik atau mungkin nilai ubahan itu Agung yang merupakan pembaharuan
relatif kecil yang tidak menyentuh lapisan hukum tentang Peninjauan Kembali oleh
atasnya. Pembaruan hukum yang membawa Jaksa Penuntut Umum untuk mewakili korban
konsekuensi perubahan hukum adalah kejahatan dan tidak menjamin hak korban
perubahan aspek nilai yang mendasari suatu kejahatan untuk mengajukan upaya hukum
sistem hukum dan membawa pengaruh Peninjauan Kembali.
kepada aspek substantif lainnya yang secara
Saran
herarkhi berkedudukan berada di bawahnya.23
Putusan MK No. 33/PUUXIV/2016 bersifat
Penafsiran Mahkamah Agung dalam
final dan mengikat. Oleh karena itu, diperlukan
kasus Dr. Muchtar Pakpahan, S.H., yang
revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara
akhirnya menjadi Yurisprudensi untuk
Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang No. 48

22. Mudzakkir,“Kedudukan Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana”, Jurnal Ilmu Hukum, Volume 14, Nomor 1, Maret
2011, hlm. 33
23. Ibid, hlm. 34-35.

190
Kewenangan Penuntut Umum Mengajukan Peninjauan Kembali……(Ajie Ramdan)

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman


yaitu korban tindak pidana diperbolehkan
mengajukan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung.

191
JIKH Vol. 11 No. 2 Juli 2017: 181 - 192

DAFTAR PUSTAKA
Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan
Pidana Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme, Bandung: Putra bardin,
1996.
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Edisi
Revisi, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Mudzakkir.,“Kedudukan Korban Dalam Sistem
Peradilan Pidana”. Jurnal Ilmu Hukum,
Volume 14, Nomor 1, Maret 2011.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan
Pidana, Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 2002.
Rukmini, Mien, Perlindungan HAM Melalui
Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas
Persamaan Kedudukan Dalam Hukum
Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia,
Bandung: Alumni, 2007.
Samosir, C. Djisman, Segenggam Tentang
Hukum Acara Pidana, Bandung: Nuansa
Aulia, 2013.
Soeparman, Parman, Pengaturan Hak
Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan
Kembali Dalam Perkara Pidana Bagi
Korban Kejahatan, Bandung:Refika
Aditama, 2007.
Sunarso, Siswanto, Viktimologi Dalam Sistem
Peradilan Pidana, Jakarta: Sinar Grafika,
2015.
Yahya Harahap, M., Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan,
Banding, Kasasi dan Peninjauan
Kembali, Jakarta:Sinar Grafika, 2010.

192

Anda mungkin juga menyukai