Anda di halaman 1dari 60

1

BAB I PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang Masalah Sejarah historis Hak Azasi Manusia sebagaimana yang saat ini dikenal (baik yang dicantumkan dalam pelbagai piagam maupun dalam Undang-Undang Dasar), memiliki riwayat perjuangan panjang. Bahkan sejak abad ke 13 perjuangan untuk mengukuhkan gagasan Hak Azasi Manusia ini sudah dimulai. Segera setelah ditanda tangani nya Magna Charta pada tahun 1215 oleh Raja John Lackland, maka seringkali peristiwa ini dicatat sebagai permulaan da ri sejarah perjuangan Hak-hak Azasi Manusia, sekalipun sesungguhnya piagam ini belum merupakan perlindungan terhadap hak-hak azasi

sebagaimana yang dikenal dewasa ini. Sebab yang dimuat dalam Magna Charta tak lebih dari jaminan perlindungan terhadap kaum bangsawan dan Gereja, tetapi dilihat dari segi perjuangan hak-hak azasi manusia (walaupun khusus untuk bangsawan dan Gereja) Magna Charta dapatlah dicatat sebagai yang pertama dan bukan sebagai permulaan dari sejarah hak-hak azasi manusia seperti yang dikenal sekarang.

Perkembangan selanjutnya dari hak -hak azasi manusia adalah dengan ditanda tanganinya Petition of Rights pada tahun 1628 oleh Raja Charles I. Kalau pada tahun 1215 raja berhadapan dengan bangsawan dan gereja,yang mendorong lahirnya Magna Charta, naka pada tahun 1628 tersebut Raja berhadapan dengan Parlemen yang terdiri dari utusan rakyat (The House of Cummons). Kenyataan ini memperlihatkan bahwa perjuangan hak-hak azasi manusia memiliki korelasi yang erat sekali dengan perkembangan demokrasi. Sebab bagaimanapun juga perjuangan hak -hak azasi manusia pada akhirnya berkaitan erat dengan soal jauh dekatnya rakyat dengan gagasan Demokrasi. Atau dapat juga dikatakan dengan gigih atau tidak ngalah The house of common memperjuangkan hak azasi manusia ini. Bukankah hal ini menyangkut problema pengembangan gagasan demokrasi. Sementara itu perjuangan yang lebih nyata dari hak-hak azasi manusia ialah dengan ditanda tanganinya Bill of Rights oleh Raja Willem III pada tahun 1689 sebagai hasil dari Glorius Revolution. Dikatakan sebagai hasil dari Glorius Revolution, bukan saja karena peristiwa itu merupakan kemenangan parlemen atas raja. Akan Seperti diketahui oleh selain John Locke merupakan peletak dasar

dari teori Trias Politika Montesqiueu,ia bersama dengan Thomas Perbedaannya adalah, jika teori Thomas Hobbes menghasilkan konstitusionil. Sedangkan John Locke berpendapat sebaliknya. Bagi Locke tidakalah secara absolut manusia harus menerahkan hak -hak individunya. Sebab yang diserahkan hanyalah hak -hak yang

berkaitan dengan perjanjian negara semata, sedangkan sisanya haruslah tetap berada pada diri masing-masing individu. Lebih lanjut John Locke melihat proses perjanjian masyarakat ini berjalan dalam dua instansi. Dalam instansi yang pertama adalah perjanjian antar individu dengan individu lainnya yang ditujukan bagi adanya masyarakat politik dan negara. Instansi pertama ini dinamakan oleh John Locke sebagai PACTUM ONIONIS. Berdasarkan sebuah anggapan bahwa : Men by nature are all free, equal, and independent, no one can be put out of this estate, and subjected to the political power another, without his own content, whick orther men to join and unite into a community for their comfor table, stafe and peaceable, living one amongst another .

Dalam instansi berikutnya yang disebutkannya sebagai pactum Subjectionis Locke melihat bahwa pada dasarnya setiap persetujuan antar individu tadi (Pactum Unionis) terbentuk atas dasar suara mayoritas. Dan karena setiap individu selalu memiliki hak -hak yang tak tertanggalkan yakni Life, liberty serta estate, maka adalah logis jika tugas negara adalah memberikan perlindungan k epada masingmasing individu. Dasar pemikiran filsafat John Locke inilah yang kemudian hari dijadikan landasan yang bagi pengakuan terlihat hak -hak dalam asasi manusia. of

Sebagaimana

kemudian

Declaration

independence Amerika Serikat yang pada tanggal 4 juli 1776 telah disetujui oleh congres yang memiliki 13 negara baru yang bersatu. Kalimat kedua dari Delecration of Independence tersebut

membuktikan adanya pengaruh dari pemikiran John Locke We hold these truth to be selfevident, that all men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unlianable Rights, that among these are life, Liberty and the pursuit of happines, That to secure these rights, Goverments are instituted among Men, deriving their just powers from the consent of the governed .

Kalau di Amerika Serikat perjuangan hak-hak azasi manusia itu adalah karena rakyat Amerika Serikat yang berasal dari Eropa sebagai emigran merasa tertindas oleh pemerintahan Inggris, yang pada waktu itu merupakan jajahan Inggris, maka lain halnya dengan Perancis. Pada abad ke 17 dan ke 18 di Perancis berkembanglah pemerintahan raja yang absolut. Sebagai reaksi terhadap absolutisme ini, Montesquieu menemukan teorinya yang terkenal sebagai Trias Politica dalam bukunya L esprit des lois . Dia berpendapat bahwa kekuasaan negara dibagi dalam tiga bagian yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ketiga bagian tersebut harus dipisahkan baik darin organ maupun dari fungsinya, untuk mencegah bertumpuknya semua kekuasaan ditangan satu orang. Dengan terpisahnya tiga kekuasaan negara dalam tiga badan yang mempunyai tugas masing -masing dan tidak boleh saling mencampuri tugas yang lain, maka dapatlah dicegah terjadinya pemerintahan yang absolut. J.J. Rousseu melalui bukunya Le Contract Social menghendaki adanya suatu demokrasi, dimana kedaulaatan ada ditangan rakyat. Dipengaruhi oleh pemikiran dari kedua sarjana tersebut diatas, serta pernyataan tidak puas dari kaum borjuis dan rakyat kecil, maka

Raja Luis XVI memanggil Etats Generaux untuk bersidang pada tahun 1789. Akan tetapi kemudian utusan kaum borjuis menyatakan dirinya sebagai Assemble Nationale yaitu Dewan Perwakilan Rakyat yang mewakili seluruh bangsa Prancis dan pada tanggal 20 Juni 1789 mereka bersumpah untuk tidak akan bubar sebelum Prancis mempunyai konstitusi. Selanjutnya Assemble Nationale tersebut menyatakan dirinya sebagai Badan Konstituante. Pada tanggal 26 Agustus 1789 ditetapkanlah Pernyataan Hak-hak Azasi Manusia dan Warga Negara (Declaration des droit I homme et du citoyen). Dan pada tanggal 13 September 1789 lahirlah Konstitusi Prancis yang pertama. Pernyataan Hak-hak Azasi Manusia dan warga negara itu banyak dipengaruhi oleh Declaration of independence Amerika Serikat, berkat jasa seorang warga negara Perancis yang bernama La Fayette yang ikut berperang di Amerika Serikat. Setelah rakyat Amerika menang ditanda tangani Declaration of Independence, maka La Fayette kembali ke Prancis dengan membawa copy dari declaration tersebut. Pada waktu Prancis menyusun Declaration des droit de I hommeet du citoyen, Declaration of Independence Amerika Serikat itu banyak ditiru oleh negara -negara Eropa lainnya.

Kejadian lainnya ya ng penting yang terjadi dalam perkembangan hak-hak azasi manusia adalah kemenangan demokrasi atas

pemerintahan diktator dan facist, yaitu dengan kemenangan Sekutu pada Perang Dunia ke II atas Jepang dan Jerman serta Italia. Pada waktu itu pemerintahan Jerman, Italia dan Jepang tidak menginjak injaknya. Setelah Perang Dunia ke II berakhir dengan kemenangan di pihak sekutu maka melalui Perserikatan Bangsa -Bangsa disepakatilah suatu Universal Declaration of Human Right di Paris pada tahun 1948, dengan perbandingan suara sebagai berikut, 48 setuju dan 8 blanko. Walaupun Universal Declaration of Human Right tersebut tidak mengikat bagi negara-negara yang ikut menandatanganinya, namun diharapkan agar negara anggota Perserikatan Bangsa -Bangsa tersebut mencantumkannya dalam Undang -Undang Dasarnya atau perundangan lainnya, sehingga berlakulah dalam negara tersebut. Salah satu Undang-Undang Dasar yang secara lengkap mengambil oper universal declaration of human right tersebut adalah

UndangUndang Dasar Sementara republik Indonesia tahun 1950. Bahwa Universal declaration of human right ini jauh lebih lengkap dari Declaration of Independence dan declaration des droit de I homme et du citoyen adalah jelas, namun tidak dapat dipungkiri

bahwa, pengaruh kedua Declaration tersebut tidak sedikit. Hampir dapat dikatakan bahwa, kedua Declaration tersebut adalah peletak dasar dari universal of human right. Namun demikian dikukuhkannya naskah Universal Declaration of Human Right ini, ternyata tidak cukup mampu untuk mencabut akar-akar penindasan disementara negara. Maka tidaklah

mengherankan apabila kemudian PBB berihtiar untuk mencari beberapa landasan yuridis, dengan maksud agar naskah tersebut dapat mengikat seluruh negara di dunia. Sekalipun landasan yuridis tersebut membutuhkan waktu tak kurang dari delapan belas tahun lamanya, namun PBB berhasil juga melahirkan Covenant on Economic, social and cultural Rights (Perjanjian tentang hak-hak ekonomi, sosial dan Budaya); serta covenant on civil and political rights (Perjanjian tentang hak-hak sipil dan politik). Kedua covenant tersebut diatas dapatlah dipandang sebagai peraturan pelaksanaan atas naskah pokoknya yaitu Declaration of Human Rights. Sehingga secara yuridis meratifikasikan kedua

covenant ini, bukan saja menyebabkan negara yang meratifisirnya menjadi terikat secara hukum, akan tetapi juga merupakan

sumbangan terhadap dunia atas perjuangan hak-hak azasi manusia. Apalagi bila diingat bahwa kedua covenant tersebut di atas b aru dapat berlaku dan mengikat secara yuridis segera setalah

diratifikasikan oleh sedikit-dikitnya 35 buah negara anggota PBB. Pada bab-bab terdahulu telah dibicarakan bahwa, pada saat saat akan berakhir Perang Dunia ke II, oleh Pemerintah Bala Tentara Jepang dibentuklah suatu badan yang semula bertugas hanya menyelidiki sejauh mana kemungkinan Indonesia merdeka, tapi kemudian menjadi bada yang menyusun Rancangan Undang -Undang Dasar, yaitu Badan penyidik Usaha -Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Untuk penyusunan Rancangan Undang-Undang Dasar

dibentuklah suatu Panitia Perancang Undang -Undang Dasar yang diketuai oleh Ir. Soekarno. Yang selanjutnya membentuk Panitia Kecil yang diketahui oleh Prof. Soepomo. Para penyusun Rancangan Undang-Undang Dasar itu

sependapat bahwa, Undang-Undang Dasar yang hendak mereka susun tersebut harus berdasarkan kekeluargaan, yaitu suatu azas yang sama sekali bertentangan dengan faham liberalisme dan individualisme.

10

Dalam Rancangan Undang-Undang Dasar yang disusun oleh Panitia Kecil tersebut sama sekali tidak memuat mengenai hak-hak azasi manusia. Hal ini menimbulkan pertnyaan dari para anggota. Mengenai masalah hak-hak asasi manusiaini anggota Soekarno antara lain berkata : Saja minta dan menangisi kepada tuan -tuan dan njonja-njonja, buanglah sama sekali paham individualisme itu. Djanganlah dimasukkan dalam Undang -Undang Dasar kita jang dinamakan Rights of the Citizen jang diandjurkan olejh Republik Perancis itu adanja. Kita menghendaki keadilan sosisal. Buat apa gronwet menuliskan. Bahwa, manusia bukan sadja mempunjai kemerdekaan suara, kemerdekaan hak memberi suara, mengadakan persidangan dan berapat, djika misalnja tidak ada sosiale rechtvaardighid jang demikian itu? Buat apa kita membikin grondwet, apa guna grondwet itu kalau ia tidak dapat mengisi perut orang jang mati kelaparan. Grondwet jang berisi droit de I homme et du citoyen itu, tidak bisa menghilangkan kelaparannjaorang jang miskin jang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu, djikalau kita betul -betuk hendak mendasarkan negara kita kepada faham kekeluargaan, faham tolong menolong, faham gotong royong dan keadilan sosial enjahkanlah

11

tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme dari padanja . Hampir tidak berbeda dengan pendapat anggota Ir. S oekarno diatas, anggota Soepomo berpendapat : Tadi dengan pandjang lebar sudah diterangkan oleh anggota Soekarno bahwa, dalam pembukaan itu kita telah menolak aliran pikiran perseorangan. Kita menerima akan mengandjurkan aliran pikiran kekeluargaan. Oleh karena itu Undang-Undang Dasar kita tidak lain dari pada pengandung sistim kekeluargaan. Tidak bisa kita memasukkan dalam Undang-Undang Dasar beberapa pasal-pasal tentang bentuk menurut aliran-aliran jang bertentangan. Misalnja dalam Undang-Undang Dasar kitatidak bisa memasukkan pasal-pasal jang tidak berdasarkan aliran kekeluargaan, meskipun sebelumnja kita ingin sekali memasukkan, dikemudian hari mungkin, umpamanja negara bertindak sewenang-wenang. Akan tetapi djikalau hal itu kita masukkan, sebetulnya pa da hakekatnja perseoranga, Undang-Undang dengan Dasar itu berdasar atas sifat Dasar

demikian

sistim

Undang-Undang

bertentangan dengan konstruksinja, hal sebagai konstruksi hukum

12

tidak baik, djikalau ada kedjadian bahwa Pemerintah bertindak sewenang-wenang . Dengan demikian jelaslah bahwa bagi Prof. Soepomo model yang dianggapnya paling cocok adalah model integralistik. Yakni Sistim pemerintahan di desa-desa yang dicirikan dengan kesatuan hidup dan kesatuan kawula gusti . Dalam model ini, nyatalah bahwa kehidupan antar manusia dan individu dipandang sebagai sebuah kesatuan yang saling berkaitan. Oleh karena itu no dualism of state and individual, no conflicht bertween the state organization , sehingga there is no need to guarantee the fundamental rights and liberties (Grund and freihetis rechte) of the individual againt the state . Dari pemahaman tersebut di atas maka landasan filosofisdi dalam membentuk Undang-Undang Dasar 1945 ternyata membawa pengaruh khususnya bagi pasal-pasal Hak Asasi Manusia, sebab landasan filosofis yang digunakan sama sekali tidak membutuhkan adanya nyaminan maupun terhadap hak -hak asasi manusia maupun terhadap kemerdekaan individu. Anggota Hatta, walaupun menyetujui prinsif kekelargaan, dan menentang individualisme dan liberalism e, namun dalam rangka

13

mencegah jangan samapai timbul negara kekuasaan, memandang perlu untuk memasukkan pasal-pasal tertentu tentang hak-hak azasi manusia ke dalam Undang-Undang Dasar, dengan mengatakan sebagai berikut : Sebab itu ada baiknja dalam salah satu fasal, misalnja fasal jang mengenai warga negara, disebutkan djuga disebelah hak jang sudah diberikan kepada misalnja tiap-tiap warga negara djangan takut mengeluarkan suaranja. Jang perlu disebutkan disini hak untuk berkumpul dan bersidang atau menju rat dan lain-lain. Formuleringnja atau redaksinja boleh kita serahkan kepada Panitia Kecil. Tetapi tanggungan ini perlu untuk mendjaga, suu[aja negara kita tidak mendjadi negara kekuasaan, sebab kita mendasarkan negara kita atas kedaulatan rakjat . Demikian pula dengan anggota Yamin, yang pendapatnya hampir sama dengan pendapat Hatta, dan bahkan menginginkan tidak hanya satu pasal saja, tetapi lebih luas dari itu. Supaja aturan kemerdekaan warga negara dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar seluas-luasnja. Saja menolak segala alasaalsan jang dimadjukan untuk tidak memasukkanja dan seterusnja dapatlah saja memadjukan, beberapa alasan pula, selain dari pada

14

jang dimadjukan oleh anggota jang terhormat Drs. Moh. Hatta tadi. Segala constitution lama dan baru diatas dunia berisi perlindungan aturan dasar itu, misalnja Undang-Undang Dasar Dai Nippon, Republik Filipina dan Republik Tiongkok. Aturan dasar tidaklah berhubungan dengan liberalisme, melainkan semata -mata suatu keharusan perlindungan kemerdekaan jang harus diakui dalam Undang-Undang Dasar . Adanya perbedaan pendapat tersebut di ataslah yang

menyebabkan Undang-Undang Dasar 1945 yang sekarang hanya memuat 7 pasal saja tentang hak-hak azasi manusia. Jadi kelirulah anggapan, bahwa terlalu sedikitnya pasal -pasal yang berbicara langsung tentang hak-hak azasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebabkan Undang-Undang Dasar itu disusun sebelum adanya Universal Declaration of Human Right. Sebenarnya pada waktu itu telah ada beberapa Piagam yang memuat tentang ha k-hak azasi manusia, antara lain Declaration of Independence dan Declaration des droit de I homme et du citoyen, yang dapat dijadikan bahan untuk penyusunan pasal-pasal tentang hak azasi manusia

yang lebih lengkap dari apa yang ada sekarang dalam Undang Undang Dasar 1845.

15

Kurang lebih 20 tahun kemudian, di saat Republik Indonesia bernaung di bawah Undang-Undang Dasar 1945 yang telah memuat beberapa pasal yang pokok tentang hak -hak azasi manusia, kekhawatiran dari anggota Moh. Hatta yang pernah diucapkan da lam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan tersebut menjadi kenyataan yaitu pada saat Pemerintah Orde Lama hampir -hampir tidak menghargai hak-hak azasi manusia warga negaranya. Dengan 7 pasal saja yang berbicara mengenai hak -hak azasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945, Prof. Muhammad Yamin kemudian memberi komentar : Bahwa pada waktu Undang-Undang Dasar 1945 dirantjangkan Pembukaanja mendjamin demokrasi, tetapi pasalnja bentji kepada kemerdekaan diri dan menentang liberalisme dan demokrasi revolusioner. Akibat pendirian ini jaitu hak-hak azasi tidaklah dikaui seluruhnja, melainkan diambil satu dua sadja jang kira -kira sesuai dengan suasana politik dan sosial pada tahun 1945, jang dipengaruhi oleh peperangan antara facisme melawan demokrasi. Wakt u merantjang konstitusi 1945 maka hak -hak azasi jang lebih luas memang dimadjukan, tetapi usul itu kandas atas alasan, bahwa pada tidak disukai

16

Patut untuk diketahui bahwa Muhammad Yamin sendiri tidak ikut dalam Paniti Kecil yang menyusun Rancangan Undang-Undang Dasar 1945. Dari penjelasan di atas, teranglah bahwa pada saat Undang Undang Dasar 1945 disusun, beberapa anggota Panitia berpendapat, bahwa hak-hak azasi manusia adalah suatu yang besumber kepada individualisme dan liberalisme, sehingga bertentangan dengan azas kekeluargaan. Timbul pertanyaan, apakah memang demikian halnya? Dari penjelaan sejarah hak -hak azasi dapatlah dibuktikan, bahwa yang melahirkan hak -hak azasi itu bukanlah liberalisme atau individualisme, tetapi absolutisme. Jadi hak -hak azasi itu timbul sebagai akibat tindakan sewenang -wenang dai penguasa. Atau dengan perkataan lain, hak -hak azasi itu timbul sebagai akibat adanya pertentangan antara penguasa dan rakyat yang merasa tertindas. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya pia gam-piagam tentang hak-hak azasi. Lahirnya Pelition of Right maupun Bill of Right di Inggris adalah akibat kemenangan rakyat atas raja, sehingga raja tidak lagi dapat berbuat sewenang-wenang. Demikian pula lahirnya Declaration of Independence di Amerika Serikat, disebabkan adanya pertentangan antara rakyat Amerika di satu pihak yang merasa

17

tertindas dengan Pemerintah Inggris yang menjajah. Hampir tidak berbeda juga lahirnya Declaration des droit de I homme et du citoyen , sebagai hasil perjuangan rakyat yan g menentang kekuasaan Raja yang absolut. Dengan demikian dapatlah dibayangkan, bahwa seandainya tidak ada Pemerintah facisme yang menginjak -injak hak azasi manusia, maka Universal Declaration of Human Right tidak akan pernah ada. Oleh karena itu maka persoalan hak-hak azasi adalah persoalan antara individu yang memegang kekuasaan dan individu yang tidak mempunyai kekuasaan. Persoalan hak -hak azasi adalah persoalan yang dilahirkan oleh ketegangan antara yang berkuasa dengan yang dikuasai, antara yang memerin tah dan yang diperintah. Karena timbulnya peperangan antara Pemerintah dan rakyat Indonesia melawan Belanda yang menginginkan kembali menjajah Indonesia, dan berdasarkan kepada perlindungan yang dihasilkan antara kedua fihak yang sedang berperang itu, maka berdirilah Negara Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949 dengan Undang-Undang Dasar RIS tehun 1949. Karena itu UndangUndang Dasar 1945 hanya berlaku di negara bagian Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar 1949ini memuat hak-hak azasi jauh

18

lebih lengkap dari Undang-Undang Dasar 1945, dan sebagian besar diantaranya diambil dari Universal Declaration of Human Right. Usia Negara Republik Indonesia Serikat ini hanyalah sementara, karena enam bulan kemudian ia dirobah menjadi Negara Republik Indonesia yang berbentuk kesatuan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia. Republik Indonesia ini bukanlah negara baru, tetapi lanjutan dari Republik Indonesia Serikat dan lanjutan dari Republik Indonesia yang diproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 1 7 Agustus 1945. Undang-Undang Dasar Sementara (1950) adalah Undang-Undang Dasra yang berlaku di negara Republik Indonesia sejak tanggal 17 Agustus 1950. Undang-Undang Dasar ini memuat hak-hak azasi dari pasal 7 sampai pasal 35. Sama seperti halnya dangan U ndang-Undang Dasar 1949, maka Undang-Undang Dasar ini mengambil oper hak -hak azasi dari Universal Declaration of Human Right. Undang-Undang Dasar 1950 dengan sistim pemerintahannya yang parlementer tidak berlaku lagi sejak tanggal 5 Juli 1959. Mulai saat itu berlakulah kembali Undang-Undang Dasar 1945 ini ternyata tidak lagi bernilai normatif melainkan semantic, karena sebagian besar rakyat tidak lagi merasa mendapat perlindungan hak -hak azasinya dari Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan demokrasi itu

19

sendiri hampir hilang di bumi Indoesia. Jangan berbicara tentang melengkapi ketentuan hak -hak azasi, atau menyusun UndangUndang organik tentang hak-hak azasi tersebut. Melaksanakan yang tertulis dalam Undang-Undang Dasar 1945 saja sudah tidak mungkin, karena Undang-Undang Dasar tidak lagi dilaksanakan secara murni dan konsekwen. Dengan rahmat Allah Yang Maha Esa lahirlah Pemerintah Orde Baru sesudah Oktober 1965. Pemerintah ini menyadari, bahwa penyelewengan telah terjadi terhadap Undang-Undang Dasar 194, karena itu timbul tekadnya untuk melaksanakan Undang -Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen terutama dalam bidang hak-hak azasi. Berpedoman kepada pengalaman di masa Orde Lama yang kurang mengindahkan sama sekali akan hak azasi warga negaranya, maka Pemerintah Orde Baru melaui Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara ke IV menetapkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XIV/MPRS/1966 yang memerintahkan antara lain penyusunan hak -hak azasi manusia. Dari pemerintah Ketetapan tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat sendiri menyadari ketidak

lengkapan Undang-Undang Dasar 1945 dalam hal hak-hak azasi.

20

Berdasarkan Ketetapan tersebut dibentuklah panitia-panitia Ad Hoc yang tidak hanya menyusun tentang perincian hak-hak azasi Panitia Ad Hoc IV-, tetapi juga panitia Ad Hoc II yang menyusun pembagian kekuasaan diantara lembaga -lembaga negara menurut sistim Undang-Undang Dasar 1945, dan panitia Ad Hoc III yang menyusun tentang pelengkap penjelasan Undang -Undang Dasar 1945. Khusus mengenai panitia Ad Hoc IV dalam melaksanakan tugasnya pertama-tama dengan mengundang para sarjana,

cendekiawan dan tokoh masyarakat untuk memberikan ceramah tentang hak-hak azasi manusia. Berdasarkan bahan-bahan yang sudah ada dan bahan-bahan ceramah tersebut Panitia menyusun suatu Piagam tentang Hak -hak Azasi dan Hak-hak serta kewajiban Warga Negara. Dengan keputusan Pim[inan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara tanggal 6 Maret 1967 No. 24/B/1967 diterimalah dengan baik hasil kerja Pnitia Ad Hoc IV serta III dan II sebagai bahan pokok untuk disebar luaskan guna penyempurnaan lebih lanjut. Pada tanggal 12 Maret 1967 diputuskanlah bahwa, Panitia Ad Hoc II, III dan IV kemudian dirobah menjadi Panitia Ad Hoc B, dan diperpanjang

21

masa kerjanya selama 6 bulan, sejak dikeluarkannya Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. 7/MPRS/1967. Setelah ada tanggapan dari masyarakat, maka Panitia Ad Hoc B mengadakan penyempurnaan atas Piagam tersebut. Hanya sangat disayanagakan, bahwa hasil karya Panitia tersebut tidak menjadi kenyataan, karena pada sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara ke V tahun 1968, anggotaanggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara tidak mencapai kata sepakat untuk menuangkannya dalam suatu ketetapan. Dengan diadakannya pemilihan umum tahun 1971, maka tanggal 1 Oktober 1972 dilantiklah anggota Majelis Permusyawara tan Rakyat hasil pemilihan umum yang mengadakan sidangnya pada Bulan Maret 1973. Ternyata Majelis Permusyawaratan Rakyat hasil pemilihan umumpun tidak hendak melanjutkan hasil kerja panitia Ad Hoc B Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara tersebut. Dan tidak pula membentuk Panitia yang sama yang bertugas menyusun suatu Piagam hak-hak azasi. Mungkin wakil-wakil rakyat di Majelis Permusyawaratan Rakyat berpendapat, bahwa masalah hak -hak azasi cukuplah sudah dengan apa yang diatur dalam Undang -Undang Dasar 1945 yang 7 pasal itu saja. Bahkan kemudian ternyata Majelis

22

Permusyawaratan Rakyat melalui ketetapannya No. V/MPR/1973 menyatakan tidak berlaku lagi dan dicabut Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.XIV/MPRS/1966. Dengan demikian hasil karya Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara itu hanya tinggal sejarah saja. Salah satu kemajuan dari Pemerintah Orde Baru hasil Pemilihan Umum adalah bahwa, salah satu hak azasi yang diperintahkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 melalui pasal 28 untuk diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang, yaitu tentang kebebasan berserikat, telah diatur dalam Undang-Undang mengenai Golongan Karya dan Partai Permusyawaratan Rakyat Sementara hal yang sama telah pula diperintahkan melalui ketetapannya No. XXII/MPRS/1966, agar Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat menyusun Undang-Undang tentang kepartaian, keormasan, dan kekayaannya yang menuju kepada penyederhanaan. Hanya sayang sekali bahwa, Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong tidak berhasil

merumuskannya. Baru kemudian Dewan Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum yang dapat menyusunnya. Ad 1. Bentuk Hukum

23

Dalam rangka membicarakan hak -hak azasi, maka persoalan lain yang dapat timbul bahkan juga merupakan hal yang penting adalah bentuk hukum dari hak -hak azasi tersbut. Pertanyaan yang timbul adalah, apakah ia akan ditempatkan dalam satu Piagam yang terpisah dari Undang-Undang Dasar, ataukah ia dimasukkan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945, ataukah cukup dituangkan dalam sautu UndangUndang biasa saja? Apabila hak-hak azasi itu ditempatkan dalam suatu Piagam, dan Piagam ini medahului Undang -Undang Dasar seperti halnya dengan Declaration of Independence Amerika Serikat dan Declaration des droit de I Homme et du citoyen di Prancis, maka ia akan mempunyai kedud ukan yang lebih tinggi dari Undang-Undang Dasar. Piagam tersebut akan bersifat subyektif yang harus di hormati oleh negara, dan tidak akan terpengaruh dengan adanya perobahan terhadap Undang Undang Dasar negara tersebut. Seandainya hak-hak azasi itu tempatkan dalam

pasal=pasal Undang-Undang Dasar, maka kemungkinan besar pasal-pasal tentang hak-hak azasi itu akan berobah pula

24

apabila terjadi perobahan terhadap Undang-Undang Dasar itu. Jadi kemungkinan dirobahnya hak -hak azasi itu sama dengan pasal-pasal lainnya dalam Undang-Undang Dasar itu. Menempatkan hak-hak azasi itu dalam Undang-Undang biasa, jelas tidak menjamin kepastian bahwa ia tidak akan berobah. Kemungkinan dirobah lebih besar dari hak -hak azasi yang ditempatkan dalan pasal-pasal Undang-Undang Dasar. Berdasarkan hal tersebut, bagaimanakah halnya dengan hak-hak azasi di Indonesia saat ini? Kemungkinan

menempatkan hak-hak azasi dalam suatu Piagam yang terpisah dari Undang-Undang Dasar adalah tidak mungkin, karena saat ini tidak ada beberapa pasal dalam Undang -Undang Dasar 1945 yang langsung berbicara mengenai hak -hak azasi. Kemungkinan hak-hak azasi itu ditempatkan dalam suatu Piagam seperti Declaration of Independence yaitu penyusunan hak-hak azasi dalam suatu dalam Piagamnya ditetapkan dengan ketetapan maka nilainya berada di bawah Undang-Undang Dasar, namun kemungkinan ia dirobah setiap saat tidak ada, sebab Majelis Permusyawarata Rakyat tidak bersidang setiap saat.

25

Kemungkinan kedua adalah menempatkan hak -hak azasi itu dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar. Hal ini

sebenarnya sudah ada dalam Undang-Undang Dasar 1945. Kemungkinan untuk menambah selalu terbuka melalui pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945, dan Undang-Undang Dasar 1945 sendiri membuka pintu untuk penambaha n tersebut dengan disebutkannya kata dan sebagainya dalam pasal 28. Ini

berarti bahwa Undang-Undang Dasar 1945 tidak menganut sifat yang limitatif dalam hal hak-hak azasi. Hanya masalahnya kapankah kemungkinan itu terjadi, adalah sebenanrnya sudah menyangkut masalah politis, bukan persoalan hukum tata negara lagi. Suatu Undang-Undang dapat merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Dasar dan ini disebut Undang-Undang Organik. Dapat pula suatu Undang-Undang merupakan pelaksanaan dari ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Disamping itu dapat pula Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat mengatur sesuatu denga Undang-Undang, walaupun hal tersebut tidak diperintahkan oleh Undang -Undang Dasar atau ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

26

Melihat kenyataan bahwa Undang-Undang dasar 1945 telah mengatur beberapa pasal tentang hak -hak azasi, maka Undang-Undang dapat merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari pasal-pasal tersebut. Bahkan berdasarkan pasal 28 dengan kata-kata dan sebagainya . Presiden dan Dewan Per wakilan Rakyat dapat saja menyusun hak-hak azasi lebih banyak dan lengkap dari apa yang telah diatur dalam Undang -Undang Dasar 1945. Bahkan seandainya Majelis Permusyawaratan Rakyat berhasil menyusun suatu Piagam tentang hak -hak azasi, maka untuk pelaksanaannya diperlukan pula Undang-Undang. Namun demikian, sebagai bentuk peraturan yang dibuat oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat, maka Undang Undang tersebut setiap saat dapat dirobah atau diganti, sehingga tidak ada jaminan bahwa Undang -Undang itu akan berlaku untuk jangka waktu agak lama. Karenanya mengatur seluruh hak-hak azasi dalam suatu Undang-Undang adalah kurang tepat. Tetapi melaksanakan pasal -pasal tentang hakhak azasi dalam Undang-Undang dasar 1945 atau dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tengtu saja harus dengan Undang-Undang.

27

Bentuk hukum apa yang hendak dipilih bukanlah merupakan masalah yang pokok yang penting adalah bagaimana agar hak-hak azasi itu benar-benar dilaksanakan. Bagaimana caranya agar rakyat benar -benar merasa dirinya terlindung, bagaimana agar hukum acara betul -betul dapat menjamin hak-hak rakyat. Bagaimana mencegah agar jangan sampai penguasa melakukan tindakan sewenang-wenang. Jadi yang penting adalah bagaimana merealisasikan pasal-pasal tentang hak-hak azasi itu dalam peraktek kehidupan sehari hari. Ad 2. Hak-Hak Azasi dalam Undang-Undang Dasar 1945. Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa Undang-Undang Dasar 1945 terdiri dari 3 bagian yang mempunyai kedudukan yang sama, yaitu pembukaan, batang tubuh terdiri dari pasal 37, empat Aturan Peralihan dan dua Aturan Tambahan serta penjelasan. a. Dalam Pembukaan Sesungguhnya Pembukaan Undang-Undang dasar 1945 banyak menyebutkan tentang hak -hak azasi. Sejak alinea pertama samapi dengan alinea terakhir memuat hak -

28

hak azasi. Alinea pertama pada hakekatnya adalah merupakan pengakuan akan adanya kebebasan untuk merdeka (freedom to be free). Pengakuan akan

prikemanusiaan adalah inti sari dari hak -hak azasi manusia. Dalam alinea kedua disebutkan Indonesia sebagai negara yang adil. Atas sifat adil jelas menunjukkan kepada salah satu tujuan dari negara hukum untuk mencapai atau mendekati keadilan. Apabila prinsip negara ini betul -betul dijalankan, maka dengan sendirinya hak -hak azasi manusia akan terlaksana dengan baik. Dari alinea ketiga dapat disimpulkan bahwa rakyat Indonesia menyatakan

kemerdekaannya

supaya

terjelmah kehidupan bangsa

Indonesia yang bebas. Hal ini adalah salah satu dari pengakuan dan yang bebas. Hal ini adalah salah satu dari pengakuan dan perlindungan hak -hak azasi yang

mengandung persamaan dalam bentuk politik. Sedangkan alinea ke empat menunjukkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak azasi dalam segala bidang yaitu politik, hukum, soaial, kulturil, dan ekonomi. Hanya sangat disayangkan bahwa, pengatu ran lebih lanjut dalam batang

29

tubuh Undang-Undang Dasar 1945 tidak begitu banyak, karena perbedaan pendapat dari pada penyusunnya. b. Dalam Batang Tubuh. Undang-Undang Dasar 1945 mengatur hak -hak azasi manusia dalam 7 pasal, yaitu pasal-pasal yang langsung berbicara mengenai hak-hak azasi. Ke tujuh pasal tersebut adalah pasal 27 tentang persamaan dalam hukum dan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan, pasal 28 tentang kebebasan berserikat, berkumpul danmengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan, pasal 29 tentang kemerdekaan untuk memeluk agama, pasal 31 tentang hak untuk mendapat pengajaran, pasal 32 perlindungan yang bersifat kulturil, pasal 33 tentang hak-hak ekonomi, pasal 34 tentang kesejahteraan sosial. Walaupun hanya tujuh pasal, namun ke tujuh pasal tersebut adalah hal-hal yang pokok. Dan ini sesuai dengan sifat Undang-Undang Dasar 1845 yang hanya mengatur halhal yang pokok saja. Karena Undang -Undang Dasar 1845 hanya mengatur hal-hal yang pokok, maka adalah

merupakan suatu keharusan adanya Undang -Undang yang

30

melaksanakannya. Tanpa ini pasal-pasal itu akan merupakan selogan-selogan saja yang belum dapat dilaksanakan. Umpanya pasal 28 tentang kebebasan berserikat,

berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan tulisan dan lisan. Ketiga hak-hak azasi ini adalah hak-hak yang sangat penting dalam suatu negara demokrasi. Kebebasan

berserikat tidak akan ada artinya kalau tidak ada kebebasan untuk mengeluarkan pendapat. Undang -Undang Dasar sendiri menyebutkan, bahwa hal tersebut harus diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat baru dapat menyusun Undang -Undang No, 3 tahun 1975 sebagai pelaksanaan dari pasal 28 khususnya mengenai kebebasan berserikat. Sedangkan kebebasan yang lainnya samapi sekarang belum ada pegangan yang jelas, sehingga sering menimbulkan berbagai penafsiran. Apakah yang dimaksud dengan kebebasan berserikat? Kebebasan berserikat atau freedom of association adalah kebebasan untuk mendirikan partai politik. Pengakuan terhadap partai tersebut oleh pemerintah tida k boleh

31

dikaitkan dengan program partai tersebut yang akan mendukung pemerintah atau tidak. Jadi partai tersebut bebas untuk menentukan sikapnya apakah ia akan beroposisi kepada Pemerintah atau akan menjadi

pendukung yang setia. Dan adalah bertentangan dengan hak-hak azasi melarang berdirinya partai politik baru, kecuali bagi partai politik yang menghancurkan sifat demokratis negara itu sendiri. Bagi Pemerintah semua partai adalah sama, baik besar maupun kecil. Tidak boleh pemerintah bersikap membeda-bedakan yang ada, walaupun partai tersebut adalah partai oposisi. Kehidupan partai tidak akan cerah manakala tidak ada kebebasan untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Partisipasi partai dan rakyat terhadap kegiatan pemerintah tergantung banyak sej auh manakah kedua kebebasan tersebut ada pada rakyat. Kedua keebasan ini pulalah yang menjadi dasar dari academic freedom. Pasal 27 ayat (1) menyebutkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum. Prinsip persamaan di dalam hukum ini hamp ir sama dengan prinsip

32

equality before the law. Yang berarti bahwa tidak ada perbedaan warga terbuka bagi setiap warga negara yang memenuhi persyaratan untuk itu. Sedangkan pasal 27 ayat (2) menghendaki bahwa warga negara berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Karenanya adalah kewajiban pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja baru dwnga syarat-sarat yang layak bagi kemanusian. Dalam hubungan manusia denagn Tuhannya, pasal 29 ayat (2) menyebutkan bahwa negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya. Kata penduduk disini berarti bahwa bagi setiap orang yang berdomisili di Indonesia apakah ia warga negara atau orang asing, diberikan kebebasan beribadat menurut agamanhya. Namun ayat ini harus ditafsirkan sehubungan dengan ayat (1) dari pasal 29 yang menyatakan bahwa negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi kebebasan tersebut adalah dalam hubungannya dengan agama yang mempercayai ke - Esaan Tuhan.

33

Seperti telah dijelasan dimuka bahwa dengan pasal pasal 31, 32, 33, dan 34 dijaminlah hak-hal terhadap pengajaran, perlindungan kulturil, ekonomi dan

kesejahteraan soaial. Dengan demikian berdasarkan uraian terhadap paal-pasal 27, 28 dan 29 diatas, maka sebenarnya walaupun Undang-Undang Dasar 1945 hanya mengatur 7 pasal tentang hak-hak azasi, yaitu bidang-bidang sosial, kebudayaan, politik, dan ekonomi. Masalahnya sekarang adalah bagaimanakah

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat supaya segera menyusun Undang-Undang pelaksanaannya. 1. Bagaimana Penegakan Hak Azasi Manusia di Indonesia 2. apa kewajiban azasi dan hak azasi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Theo Huijbers (1995) membedakan antar dua jenis hak yang terdapat pada manusia : (a) Hak Manusia (Human Rights)

34

(b) Hak Undang-Undang (Legal Rights) Kedua jenis hak tersebut dibahas satu demi satu dalam uraian berikut ini. Hak Manusia Hal manusia adalah hak yang dianggap melekat pada setiap manusia, sebab berkaitan dengan realitas hidup manusia sendiri. Hak tersebut dinamakan Hak Manusia sebab manusia harus dinilai menurut martabatnya. Hak manusia tidak dapat direbut atau dicabut karena sudah ada sejak manusia itu ada, tidak bergantung dari persetujuan orang, merupakan bagian dari eksistensi manusia di dunia. Jadi hak manusia mempunyai sifat dasar, azasi, sehingga disebut juga hak azasi manusia. (Human Rights). Hak azasi manusia mendasari seluruh organisasi hidup bersama, dan menjadi asas Undang-Undang. Makna hak azasi manusia menjadi jelas ketika pengakuan hak tersebut dipandang sebagai bagian humanisasi hidup yang telah mulai digalang sejak manusia menyadari tempat dan tugasnya di dunia ini. Sejarah humanisasi hidup pertama-tama di bidang moral, kemudian juga di bidang soasial politik melalui hukum. Prinsip-prinsip pengakuan

35

manusia sebagai subjek hukum mulai dirumuskan sebagai bagian integral tata hukum, pertama kali di Inggris, kemudian disusul oleh negara-negara lain. Di antara rumusan terpenting hak azasi manusiabadalah : (a) Magna Charta : manusia berhak menghadap pengadilan (1215) (b) The Virgina Bill of Rights : manusia berhak atas life, liberty, the pursuit of happiness (1791) (c) Declaration des droits de I homme et du citoyen : manusia berhak atas egaite, fraternite, liberte (1791) Hak azasi manusia dibagi menjadi hak azasi individual dan sosial. Hak azasi yang melekat pribadi manusia individual adalah hak hidup dan perkembangan hidup, yaitu : (a) Kebebasan batin; (b) Kebebasan beragama; (c) Kebebasan hidup pribadi (privacy); (d) Nama baik; (e) Melakukan pernikahan; (f) Emansipasi wanita Hak azasi yang melekat pada pribadi manusia sebagai mahluk sosial terdiri atas hak ekonomi, sosial, dan kultural. Hak

36

azasi ini menyangkut hak untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup, yaitu pangan, sandang, perumahan, kesehatan, kerja, pendidikan. Di negara sosialis, hak -hak sosial lebih diutamakan dari pada hak-hak individual. Sebaliknya di negara leberalis, setiap manusia individual lebih bebas memperjuangkan hak -haknya. Manusia makhluk ciptaan Tuhan memp unyai beberapa kebutuhan dasar, yaitu kebutuhan ekonomi, kebutuhan pesikhis, kebutuhan biologis, dan kebutuhan pekerjaan. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut secara seimbang membahagiakan dan inilah tujuan hidup manusia. Untuk mencapai kebahagiaan it u manusia harus mempunyai kemauan dan kemampuan kerja keras yang didukung oleh keahlian dan kerja sama dengan manusia lain. Sebagai makhluk sosial , manusia memerlukan hubungan dengan manusia lain. Dalam hubungan tersebut, setiap manusia berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma moral sebagai acuan perilakunya. Nilai-nilai dan norma-norma moral ini merupaka sistem nilai yang kemudian dijelmakan ke dalam norma -norma sosial yang menjadi cermin setiap perbuatan bermasyarakat yang disebut hukum kebiasaan.

37

Dalam hubungan dengan manusia lain itu, manusia yang memenuhi apa yang seharusnya dilakukan (kewajiban) dan memperoleh apa yang seharusnya didapati (hak) sesuai dengan hukum kebiasaan. Setiap manusia mempunyai hak -hak yang diperolehnya sejak lahir (hak azasi), dan hak-hak yang diperoleh karena diberikan oleh Undang -Undang. Namun karena manusia mempunyai kelemahan, seperti berbuat khilaf, keliru maka tidak mustahil suatu ketika terjadi penyimpangan atau pelanggaran norma-norma sosial yang menimbulkan keadaan tida k tertib, tidak stabil yang perlu dipulihkan kembali. Untuk memulihkan ketertiban dan menciptakan kestabilan diperlukan sarana pendukung, yaitu organisasi masyarakat. Dalam bidang hukum organisasi masyarakat itu dapat berupa organisasi profesi hukum yang berpedoman pada kode etik. Dalam bidang kenegaraan, organisasi masyarakat itu berupa negara yang berpedoman pada hukum positif. Hukum positif merupakan bentuk konkret dari sistem nilai yang hidup masyarakat.

38

BAB III PEMBAHASAN


3.1. Hak Azasi Manusia HAM di Indonesia berawal ari konsep tentang kebebasan (freedom) yang diapresiasi ke dalam istilah Kemerdekaan

sebagaimana tertuang dalam alinea ke I Pembukaan UUD 1945, Kemerdekaan yang demikian itu didasarkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk Tuha n pemiliki substansi azasi yang tidak dapat dihilangkan (non -derogable) begitu saja dan oleh siapa saja karena sifat transendental yang melekat padanya. Dari itu kemudian setiap orang memiliki hak sebagai

pemberian Tuhan untuk hidup di muka bumi baik dal am bentuk hak-hak sipil atau politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sifat transendental sebagai ciri konsep HAM di Indonesia dapat dilihat pula dalam peraturan perundang -undangan kemudian yakin dalam definisi HAM Bab I Ketentuan Umum Pasal I ayat (1) dari UU No. 39/1999 serta UU No. 26/2000 tentang Peradilan HAM yang berbunyi : Hak Azasi Manusia

adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan

39

manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan seterusnya HAM dalam konsep awal ini tidak jauh berbeda dengan apa yang tertuang dalam Magna Charta, The Declaration of Independence-nya Amerika, atau yang timbul di Perancis, yang kemudian melahirkan persepakatan universal PBB dalam Universal Declaraation of Human Rights (UDHR) pada tahun 1948. Berdasarkan universitas konsep dalam Alinea I tersebut, maka konsep HAM di Indonesia masuk kategori HAM pada generasi Pertama yang ditandai timbulnya Covenant on Civil and Politics Rights (ICCPR). Kemerdekaan yang direbut dari penjajahan, oleh bangsa Indonesia dimaksudkan sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan, kemakmuran dan kesejahteraan bangsa. Berpijak pada cita-cita bangsa sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, tidak berlebihan bahwa Indonesia dalam perspektif HAM memiliki cita untuk mengaktualisasikan bahwa rakyat atau anak bangsa memiliki hak dan untuk mendapatkan kehidupan yang layak baik dalam aspek ekonomi, sosial, dan budaya. Dengan asumsi dasar universitas pula tidak berlebihan jika International

40

konsep yang demikian memenuhi pula makna HAM pada generasi kedua yang mengandalkan lahirnya International Covenant on Economic, Social, And Culture Rights (ICESCR) Adanya unsur dalam konsep HAM Indonesia yang memiliki kesamaan dengan dua kovena n ICCPR serta ICESCR memberi arti bahwa substansi HAM Indonesia itu identik dengan substansi dari apa yang dikenal sebagai The International Bill of Human Rights. Dewan PBB (United Nations) menetapkan The Internatonal Bill of human Rights itu terdiri atas 5 (lima) ketentuan masing-masing : (1) Universal Declaration of Human Rights, (2) International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights; (3) International Covenant on Civil and Political Rights; (4) Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights; (5) Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty. Konsep HAM Indonesia memiliki unsur dasar berupa kebebasan (freedom) sebagaimana tertuan g dalam alinea kedua. Tetapi kebebasan itu masih tampak samar. And The

41

moment of rejoicing has arrived in the struggle of the Indonesian freedom movement to guide the people of Indonesian safely and well to the threshold of independence of the state of Indonesian, which shall be free, united, sovereign, just and prosperous lebih ditekankan pada aspek semangat nasionalitas Indonesia sebagai salah satu bangsa di dunia yang bebas dai penjajahan. Terhadap kepentingan individu (dalam pengertian hak warga negara maupun kedudukan penduduk) aspek HAM pada awalnya dipandang cukup diletakkan dalam 6 pasal saja dari batang tubuh UUD 1945 yakni pasal 27, 28, 29, 30, 31, dan pasal 34. Penempatan yang tidak pada pembukaan tidaklah berarti hak-hak individual itu tidak diutamakan melainkan suatu maksud bahwa hak individual itu merupakan turunan dari norma kebebasan yang ada pada pembukaan UUD 1945. Hal penting yang dapat dipahami dari kebebasan yang termuat dalam Alinea kedua itu adalah semangat nasionalis ke Indonesia-an, yang terus memasuki kerangka perlindungan kebangsaan dalam konteks memelihara ke -bhinneka tunggal ikaan. Indonesia melindungi sifat-sifat hakikat manusia dengan

42

Tuhan dan pula melindungi eksistensi budaya karena dipandang bernilai bagi bangsa seperti ada dan kebudayaan masyarakat. Terhadap pengaruh luar sebagai dampak universalitas, Pembukaan UUD 1945 baik alinea 1 maupun alinea 2 telah cukup memberikan kerangka penting bagi negara untuk menentukan bagaimana konsep HAM di Indonesia yaitu aspek perlindungan individual (individual protection) dan aspek perlindungan negara. Perlindungan individual mengandung makna bahwa konsep hak azasi individu bangsa Indonesia harus dipelihara dalam kerangka kenegaraan yang tidak lain merupakan kewajiban negara untuk melindungi segenap rakyatnya. Negara Indonesia, dan bukan negara asing yang mempunyai kewajiban untuk memberikan kebebasan individual untuk berlaku baik sebagai makhluk Tuhan maupun sebagai warga negara. Segala hak dan kewajiban dan individu telah disepakati dalam kontrak sosial yang secara bersama-sama berupaya mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana tercermin dalam alinea ke empat UUD 1945.

43

Aspek perlindungan negara mencakup pengertian bahwa indonesia sebagai bagian dari dunia memiliki hak untuk melindungi bangsa dan negaranya dari segala bentuk

penjajahan, baik penjajahan dari fisik maupun non -fisik berupa pemaksaan ideologi luar untuk diterapkan di Indonesia, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Indonesia sebuah negara di mata dunia haruslah sejajar dengan negara-negara lainnya. Dalam kerangka konsep perlindungan negara termasuk pula di dalamnya masalah lingkungan dan teritorial yang harus dipelihara. Hal ini sebenarnya secara tidak langsung menjadi bagian penting dalam HAM jika dikai tkan dengan perkembangan HAM generasi keempat. Untuk hal tersebut, Indonesia

memberikan perhatian dan pandangan pentingnya pandangan hidup melalui UU No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup serta yang terbaru UU No. 23 1997 pada pokok yang sama. 3.2.. Penegakan HAM di Indonesia. Signifikansi inplementasi instrumen yang memuat tentang HAM dapat diukur dengan cara melihat seberapa potensial

44

pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan yang terjadi di tanah air. Dua sudut penting yang perlu dikemukakan dalam hal ini adalah (1) seberapa jauh aspek perlindungan (protektif) yang diberikan kepada warga negara dari berbagai tekanan dan pelanggaran kemanusiaan dan (2) sejauh mana kegagalan dalam suatu peradilan HAM untuk mengadili berba gai kasus HAM sebagai dampak kekebalan hukum (impunity). Untuk bagian pertama, beberapa catatan resmi dari beberapa lembaga patut diperhatikan misalnya : 3.2.1. Laporan Komnas HAM Tahun 2001 Dari 1. 990 pengaduan yang diterima Komnas HAM pada tahun 2001, jenis pelanggaran HAM yang diduga terjadi adalah ; Pelanggaran HAM a. Pengaduan merupakan pelanggaran terhadap hak memperoleh keadilan terdiri atas : 1. Hak perlindungan hukum seperti penangkapan, penahanan, penghilangan secara paksa, dan lain -lain sebanyak 983 pengaduan,

45

2. Hak atas keadilan dalam proses hukum sebanyak 76 pengaduan, b. Pengaduan merupakan pelanggaran terhadap hak atas kesejahteraan terdiri atas : 1. hak milik sebanyak 417 pengaduan, 2. Hak atas pekerjaan sebanyak 372 pengaduan, 3. Jaminan sosial sebanyak 3 pengaduan, c. Pengaduan hak untuk hidup sebanyak 40 pengaduan d. Lain-lain sebanyak 69 pengaduan. Dari penjelasan tersebut terlihat jelas bahwa pelanggaran yang dominan terdapat pada pengaduan pelanggaran terhadap perolehan keadilan dan

kesejahteraan. Walaupun hal ini baru merupakan suatu bentuk pengaduan, setidaknya dapat dilihat sebagai perkiraan awal bahwa terdapat potensi pelanggaran HAM yang beraspek keadilan dan kesejahteraan. Aceh sebagai wilayah yang diasumsikan rawan terjadi pelanggaran HAM pada tahun 2001 secara pengaduan menempati urutan kecil. Tetapi tabel berikut

46

cukup jelas bahwa Aceh memiliki potensi ya ng besar untuk itu sebagaimana tabel di bawah ini : Laporan kantor Perwakilan Komnas HAM Aceh Klasifikasi Pengaduan Pelanggaran HAM a. Penangkapan dan penahanan sewenang -wenang (Arbitrary arrest and detention) atau penahanan illegal (Illegal Detention) 28 kasus b. Penghilangan secara paksa (Efforced or involuntary Dessappearances) 28 kasus c. Penyiksaan dan pembuatan kejam lainnya (Tortured and Orther Cruel) atau perlakuan di yang tidak

berprokemanusiaan,

termasuk

dalamnya

penembakan di luar prosedur yang m engakibat luka, luka berat atau cacat 24 kasus d. Pembunuhan di luar proses pengadilan (Extrajudicial, summary or abritary Arrest executions) atau hukuman mati di luar proses hukum (Extrajudicial execution) 38 kasus e. Perkosaan dan bentuk kekerasan seksual yang setara 1 kasus

47

f. lain-lain yang berhubungan dengan HAM dan bukan termasuk pelanggaran HAM berat 6 kasus g. Pemusnahan (termasuk di dalam pembakaran hak milik pribadi dan fasilitas publik, dan pengambil alihan) 6 kasus h. Penganiayaan berlatar belak ang ras, etnis, paham, politik, budaya dan jenis kelamin kosong i. Di luar kewenangan Komnas HAM 6 kasus. Rekapitulasi Keseluruhan Jumlah/Korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM (per 1 Januari s/d 31 November 2001) a. Tewas 1542 korban b. Luka-luka 1017 korban c. Di tahan, hilang, diculik 817 korban 3.2.2. Catatan Akhir Tahun 2003 Komnas HAM Terdapat dua aspek menarik dalam catatan akhir tahun Komnas HAM, masing-masing aspek perlindungan, penegakan dan pemenuhan HAM Terhadap aspek perlindungan, Komnas HAM

membuat catatan sebagai berikut :

48

Selama 2003 telah terjadi tindak terorisme berupa peledakan bom di berbagai tempat di Indonesia, yang terakhir justru terjadi pada saat masyarakat setempat bersiap-siap menyambut Hari Natal, yakni yang terjadi di Poso pada 23 Desember yang lalu . Digunakannya praktik-praktik kekerasan dan

penganiayaan yang dilakukan oleh aparat keamanan seperti penembakan terhadap para petani Bulukumba, penembakan terhadap tersangka tindak pidana k riminal, kekerasan dalam kasus penggusuran, penggunaan

kekerasanpenembakan sewenang -wenang dalam operasi keamanan seperti di Aceh dan Papua, serta berbagai bentuk kekerasan lainnya yang dilakukan aparat

keamanan telah mengakibatkan tidak terlindungnya hak atas rasa aman dan hak untuk bebas dari penyiksaan. Selain itu, munculnya berbagai tindak kekerasan

penduduk sipil juga terjadi di daerah-daerah dimana terjadi konflik, baik vertikal maupun horizontal juga mengakibatkan terjadinya berbagai bentuk pelanggar an Hak Azasi Manusia. Peristiwa ini menunjukkan belum cukup terlindunginya salah satu hak azasi penduduk, yakni hak atas rasa aman.

49

Aksi

kekerasan

terhadap

wartawan

dalam

menjalankan profesi jurnalistiknya baik yang dilakukan oleh aparat keamanan maupun pi hak-pihak yang tidak puas terhadap hasil pemberitaan, mengakibatkan

terjadinya pelaggaran hak azasi manusia. Peristiwa yang baru saja terjadi yaitu tewasnya wartawan RCTI sdr. Ersa Siregar merupakan salah satu contoh tidak terlindunginya wartawan dalam menjalankan ntugas. Gagalnya perundingan damai antara pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka, yang kemudian disusul dengan diterapkannya darurat Militer di Aceh, mengakibatkan terjadinya berbagai bentuk

pelanggaranhak azasi manusia yang dilakukan ol eh kedua belah pihak. Kalau kondisi tersebut masih berlanjut dan konflik bersenjata internal berlanjut, selain telah

menyebabkan terlanggarnya hak hidup sebagai nonderogable rights berdasar pasal 4 dan pasal 9 Undang Undang No. 39 tahun 1999, juga telah m enyebabkan tidak terpanuhinya perlindungan berbagai hak -hak azasi

manusia lainnya, antara lain hak mengembangkan diri

50

(pasal 12), hak untuk memperoleh informasi (pasal 14), hak atas kesejahteraan (pasal 37), hak atas kebebasan pribadi (pasal 23), hak atas rasa aman (pasal 29, 30, 31, 33, 34, 35), hak turut serta dalam pemerintahan (pasal 44), hak-hak perempuan (pasal 49 ayat (3)), dan hak anak (pasal 63, pasal 66). Komnas HAM khawatir jika konflik bersenjata di Aceh tidak dapat segera diselesaikan, maka penyelenggaraan PEMILU 2004, sebagai salah satu sarana pemenuhan hak azasi manusia, yakni hak turut serta dalam pemerintahan berdasar pasal 43 dan 44 UU Nomor 39/1999 akan sangat terganggu. Tindakan penggusuran yang terjadi di berbagai tempat di Jakarta menunjukkan tidak terlindunginya hak bertempat tinggal para korban karena penggusuran itu dilakukan tanpa penyediaan tempat lain untuk bertempat tinggal sebagai penggantinya. Maraknya kasusu-kasus tenaga Kerja Indonesia yang mengalami penderitaan sebagai akibat korban penyiksaan oleh majikan, perkosaan maupun tindakan keji dan tidak manusiawi lainnya juga menambah catatan

51

kelam tidak seriusnya Pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan terhadap para Tenaga Kerja Indonesia. Perlindungan golongan tertentu terhadap praktek diskriminasi belum cukup diberikan, antara lain masih disyaratkannya Surat Bukti Kewarga Negaraan Indonesia (SBKRI) untuk warga negara keturunan Tionghoa untuk dapat melaksanakan kegiatan tertentu, meskipun

persyaratan demikian secara resmi telah dicabut. Terhadap aspek penegakan, Komnas HAM

membuat catatan sebagai berikut : Telah selesai diperiksa dan diputusnya di tingkat pertama perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi pada tahun 1999 sebagai perkembangan berarti dalam perkembangan penegakan HAM selama 2003. Perkembangan positif lainnya adalah telah dimulainya pengadilan pemeriksaan atas perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi dalam peristiwa Tanjung Periok 1984 dan telah dipersiapkannya proses pemeriksaan perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi dalam peristiwa di Abepura pada tahun 2001.

Tetap tercatat sebagai perkembangan negatif dalam upaya penegakan HAM adalah terhentinya proses pemeriksaan kasus Trisakti 1998, Semanggi 1998

52

( Semanggi I ), dan Semanggi 1999 ( Semanggi II ) di tingkat penyidikan karena DPR tanpa menunggu hasil penyidikan Komnas HAM telah memutuskan tidak terdapatnya pelanggaran HAM yang berat dalam

peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II tersebut sehingga DPR menganggak tidak m empunyai alasan untuk mengusulkan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Hal ini tidak mendukung pelaksanaan fungsi Komnas

HAMsebagai lembaga penyelidik kasus tersebut, serta mengecewakan para korban, dan semua pihak yang mendambakan ditegakkannya hukum dan ke adilan di negeri ini. Upaya penegakan HAM yang dilakukan oleh Komnas HAM dalam 2003 ini dapat dicatat, antara lain, dilakukan dan diselesaikannya penyidikan proyustisia peristiwa Mei 1998 yang simpulan dan laporan

lengkapnya sudah diserahkan kepada Jaksa A gung sebagai penyidik. Dugaan terjadinya pelanggaran HAM yang berat juga terdapat dalam peristiwa di Wasior 2001 dan

53

Wamena 2003. Hasil penyelidikan dan pemeriksaandalam rangka pemantuan menurut UU 39/1999 yang dilakukan oleh Komnas HAM menunjukkan adanya indikasi

terjadinya pelanggaran HAM yang berat dalam kedua peristiwa tersebut. Berhubungan dengan itu Komnas HAM memutuskan pembentukan tim ad hoc untuk melakukan penyelidikan proyustisia menurut UU 26/2000, yang diharapkan segera bekerja dalam waktu deka t. Upaya penegakan HAM selama 2003 tidak

senantiasa berjalan mulus karena tidak selalu ditunjang oleh kalangan yang seharusnya mendukung upaya ini. Hal demikian ternyata dari penolakan sejumlah pejabat dan mantan pejabat untuk memenuhi panggilan Komnas H AM guna dimintai keterangannya dalam rangka penyelidikan proyustisia peristiewa Mei 1998. Terhadap mencatat : Belum berhasilnya Pemerintah mengatasi krisis ekonomi moneter yang berlangsung sejak 1997 telah mengakibatkan tidak terpenuhi hak ekonomi, sosial, dan/atau budaya bagi sebagian besar bangsa ini, terutama yang menyangkut hak atas kesejahteraan. Tetap tingginya jumlah penganggur, aspek pemenuhan, komnas HAM

54

sulitnya memperoleh lapangan kerja, tingginya biaya pendidikan yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak atas pendidikan sebagian besar anak bangsa atas haknya atas pendidikan, tetap kurangnya perhatian yang diberikan kepada penderita cacat serta golongan rentan lainnya. Tidak terpenuhinya hak sipil atau hak politik sebagian bangsa ini juga masih berlangsung selama 2003. Dapat dicatat, antara lain,tetap belum teratasinya kesulitan bagi pemeluk agama atau penganut

kepercayaan di luar agama yang diakuin oleh Pemerintah untuk melangsungkan perkawinan. Tidak terpenuhi hak pemerintahan, masih tetap diderita oleh sebagian warga bangsa ini selama 2003, antara lain dalam bentuk diingkarinya oleh peraturan perundang -undangan yang terkait atas hak warga negara untuk dipilih sebagai anggota badan-badan legislatif. Dari catatan resmi Komnas HAM ini dapat disimpulkan bahwa penegakan HAM sepanjang tahun 2003 masih penuh dengan berbagai kendala. Fenomena kekuatan politis masih menjadi hambatan dalam

penegakan HAM terutama yang menyangkut kasus -kasus yang melibatkan militer.

55

3.2.3. Laporan Lembaga ELSAM Tahun 2003 Dalam tajuk Melemahnya Daya Penegakan Hak Azasi Manusia : Hutang, Kemiskinan, dan Kekerasan , ELSAM memuat beberapa poin laporan pentng yang terdiri atas (1) Gambaran Umum; (2) Pemisahan TNI-Polri yang gagal : Melemahkan Upaya PenegakanHAM; (3) Penylidikan Pelanggaran Hak Azasi Manusia, suatu evaluasi terhadap Fungsi Penyelidikan Komisi Nasional HAM (4) Macetnya Peradilan Indonesia (5) Menuju Suatu Krisis Permanen :Buruknya Hak Atas Pangan, Perumahan, Pendidikan dan Kesehatan ; dan (6) Kesimpulan dan Rekomendasi. Dalam Gambaran Umum terdapat hal yang patut dicermati antara lain : Pengaruhnya pada penegakan Hak Azasi Manusia adalah bahwa sekalipun Hak Azasi Manusia diakui serta normatif, namun tidak terdapat mekanisme yang efektif memastikan sanksi bagi pelanggaran Hak Azasi Manusia, selain pengadilan Hak Azasi Manusia Ad Hoc, yang efektif dan diterima semua pihak. Seberapapun besarnya kehendak politik untuk melakukan tindakan justice akan terganjal oleh rantai kokoh berokrasi otoritarian. Bahkan yang sebaliknya justru dapat terjadi, tindakan justice dikendalikan oleh kepentingan politik singkat .

56

3.3. Kewajiban Azasi VS Hak Azasi Pembangunan hukum menunjuk kepada upaya penguatan penguatan secara menyeluruh yang di dalamnya terdapat makna revisi, baik yang menyangkut revisi konsep (conceptual revision) maupun revisi prosedural (procedural concept). Yang utama dalam hal ini tidak lain adalah revisi pada tataran konsep. Mengacu pada konsep dasar tentang HAM yang mengandung tiga elemen penting : Tanggung J awab, Kewajiban dan Hak sebagaimana telah disinggung pada Bab sebelumnya, maka ada dua poin yang patut dikaji ulang yakni permasalahan hak dan kewajiban. Perlunya persoalan konsep kesetaraan kewajiban dan hak itu mendapat perhatian serius karena terdapat kecenderungan dalam suatu konflik, hak selalu mendapat tempat teratas. Artinya terdapat kecenderungan mengutamakan hak saja dan mengesampingkan suatu hal yang tak kala azasinya pula yakni kewajiban. 3.3.1. Kewajiban dan Hak dalam Dimensi F ilosofis Mempertemukan dua hal -Kewajiban dan Hakmenimbulkan memandang kewajiban itu berada pada

57

suatu kesatuan sebagai suatu asumsi sedangkan yang lainnya memandang permasalahan kewajiban ini ada pada bagian lain. Asumsi pertama mengandung konsekwensi bahwa permasalahan hak intinya lebih utama dari permasalahan kewajiban azasi. Hak dalam pandangan ini lebih

diutamakan mengingat ia sebagai karuniaNya, melekat dala tiap kehidupan individu dan tidak dapat dihilangkan begitu saja. Apa yang dimaksud hak disini menjadi kelebihan khusus manusia yang tidak dapat diganggu gugat. Kewajiban dalam konteks ini timbul implikasi hak, yakni lebih diarahkan kepada upaya pemenuhan (support) tuntutan hak yang bersifat azasi demikian itu. Kewajiban dalam hal ini adalah ide dan sek aligus ideoliogi untuk mewujudkan hal lain yakni salah satunya berupa hak. Prof. Louis Henkin menulis dan dalam konteks ini memiliki kesamaan bahwa : The idea of human rights, however, is a particular idea in moral, legal, and political philosophy, and a particular political ideology .

58

Peran dan fungsi kewajiban mendorong

(to

accelerate) eksistensi hak sebagai mekanisme yang secara epistemologis dimaksudkan untuk memperoleh fenomena pertanggung jawab (responsibility) terhadap hak yang hakikat itu. Dalam praktik kehidupan hukum, orang yang tidak melakukan kewajiban memelihara hak yang hakikat itu, misalnya menghilangkan nyawa seseorang akan dituntuk pertanggungan jawab secara hukum misalnya melalui tuntutan pidana pasal 338, 340 KUHP dan pasal lainnya. Asumsi kedua justru berbeda jauh. Hak dalam pandangan ini timbul sebagai alasan rational untuk utama untuk melihat tatanan hak dengan berbagai implikasinya

59

BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan Terdapat pergeseran pola pelanggaran HAM dari semula hanya masalah kekerasan atas kebebasan yang

Bersuara

dalam aspek hak-hak sipil, politik menuju ke aspek hak -hak sosial-ekonomi-budaya. Tingkat konflik yang timbul dari aspek sosial-ekonomi-budaya ini jauh lebih krusial karena menyangkut masalah Priuk Nasi mesyarakat yang berada dalam situasi dan kondisi yang tertekan oleh kesulitan ekonomi. Keterlibatan aparat dala banyak kasus pembebasan tanah yang dilakukan untuk dan atas nama pembngunan hanyalah bagian yang terlibat di dalam mata rantai suatu kebijakan hukum yang masih memerlukan kajian banyak hal, baik secara konsep maupun prosedural. Revitalisasi tentang Hak Azasi Manusia di Indonesia harus dilakukan dengan konsep dan prosedural yang benar pula. Budaya nasional harus menjadi patokan penting untuk mengejar tingkat tingkat pertumbuhan dalam bidang ekonomi. Mengejar

60

angka tinggi dalam pertumbuhan ekonomi dengan melupakan akar budaya yang ada merupakan kelemahan pembangunan yang pada akhir melemahkan makna pembangunan hukum di bidang HAM. Revitalisasi juga harus kembali mengkaji konsep kewajiban azasi dan hak azasi sebab di dalam keduanya bersemayam suatu pertanggung jawab yang hakiki.

Anda mungkin juga menyukai