Anda di halaman 1dari 27

WARISAN

MADRASAH ALIYAH NEGERI 7 JAKARTA

GURU PEMBIMBING :
Riadi Jannah Siregar M.Pd
DISUSUN OLEH :
Fauzan Perdana Ilham ( XI MIPA 3)
1

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kita haturkan kepada Allah SWT sebab karena limpahan rahmat serta
anugerah dari-Nya kami mampu untuk menyelesaikan makalah kami dengan judul
“Warisan”.

Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi agung kita, yaitu
Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan Allah SWT untuk kita semua,
yang merupakan sebuah pentunjuk yang paling benar yakni Syariah agama Islam yang
sempurna dan merupakan satu-satunya karunia paling besar bagi seluruh alam semesta.

Selanjutnya dengan rendah hati kami meminta kritik dan saran dari pembaca untuk
makalah ini supaya selanjutnya dapat kami revisi kembali. Karena kami sangat menyadari,
bahwa makalah yang telah kami buat ini masih memiliki banyak kekurangan.

Kami ucapkan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada setiap pihak yang telah
mendukung serta membantu kami selama proses penyelesaian makalah ini hingga
rampungnya makalah ini.

Demikianlah yang dapat kami haturkan, kami berharap supaya makalah yang telah kami
buat ini mampu memberikan manfaat kepada setiap pembacanya.

Jakarta, Maret 2020

Penyusun
2

Daftar Isi

Kata Pengantar 1
Daftar isi 2
A. PENGERTIAN WARISAN DAN DASAR HUKUMYA 3
B. TUJUAN ILMU MAWARIS 4
C. SUMBER HUKUM ILMU WARIS 4
D. KEDUDUKAN ILMU MEWARIS 6
E. SEBAB WARIS MEWARIS 6
F. HALANGAN WARIS MEWARISI 7
G. MACAM-MACAM AHLI WARIS DAN BAGIAN-BAGIANNYA 7
H. CARA PEMBAGIAN WARISAN 13
I. ‘Aul 13
J. Radd 14
K. Gharawain 15
L. Musytarikah 16
M. Akdariyah 17
N. Kewarisan Kakek Bersama Saudara 18
O. Kewarisan Anak Dalam Kandungan 19
P. Kewarisan Khuntsa Musykil 20
Q. Kewarisan Mati Bersama 20
R. Kewarisan Mafqud 21
S. Munasakhah 23
T. Hikmah Mewaris 24
PENUTUP 25
DAFTAR PUSTAKA 26
3

A. PENGERTIAN WARISAN DAN DASAR HUKUMYA

Kata mawaris merupakan bentuk jamak dari mirast (irts, wirts,wiratsah dan turats, yang dimaknai
dengan mauruts) merupakan harta pusaka peninggalan orang yang meninggal yang diwariskan
kepada para keluarga yang menjadi ahli warisnya. Orang yang meninggalkan harta pusaka tersebut
dinamakan muwarits. Sedang yang berhak menerima pusaka disebut warist.
Muhammad Ali ash-Shabuni mengatakan bahwa mawarits adalah: “Pindahnya hak milik orang yang
meninggal dunia kepada para ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalnya itu berupa
harta bergerak dan tidak bergerak atau hak-hak menurut hukum syara‟.
Waris adalah berbagai aturan tentang perpindahan hak milik seseorang yang telah meninggal dunia
kepada ahli warisnya. Dalam istilah lain, waris disebut juga dengan fara‟idh artinya bagian tertentu
yang dibagi menurut agama Islam kepada semua yang berhak menerimanya.
Sedangkan faraidh, merupakan bentuk jamak dari faraidhah. Kata iniderivative dari fardhu. Fardhu
dalam istilah ulama‟ mawaris adalah bagian tertentu bagi para ahli waris yang telah ditetapkan
oleh syara‟ seperti setengah (nisyfu), seperempat (rubu‟), sepertiga (tsuluts), seperenam dan lain-
lain.
Kajian masalah-masalah waris didalam hukum Islam, merupakan salah satu materi pembahasan
ilmu fiqih yang terpenting. Karena itulah para ahli fiqih telah mengkaji masalah-masalah yang
berkaitan dengan warisan, dan menulis karya-karya mengenai masalah-masalah waris ini, dan
menjadikannya suatu ilmu yang berdiri sendiri dan menamakannya ilmu fiqih mawaris dalam
istilah lain dinamakan juga ilmu faraidh.
Para ulama ahli faraidh banyak yang memberikan definisi tentang ilmu faraidh atau fiqih mawaris.
Walaupun definisi-definisinya secara redaksi berbeda, namun mempunyai pengertian yang sama:
Hasby Ash-Shiddieqy mendefinisikan sebagai berikut:
Artinya: “Ilmu yang mempelajari tentang siapa yang mendapatkan waris dan siapa yang tidak
mendapatkannya, kadar yang diterima oleh tiap-tiap ahli waris, dan cara pembagiannya”.
Jadi, faraidh dalam istilah mawaris dikhususkan kepada suatu bagian ahli waris yang telah
ditentukan besar kecilnya oleh syara‟. Ini sebagaimana definisi ilmu faraidh yang dita‟rifkan oleh
faradhiyun:
Artinya: “Ilmu yang berhubungan dengan pembagian harta pusaka, dan mengetahui tentang cara
perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan mengetahui tentang
bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan (tirkah) untuk setiap pewaris hak pusaka.
Secara singkat ilmu faraidh dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari
tentang ketentuan-ketentuan harta pusaka bagi ahli waris.
Kompilasi Hukum Islam pasal 171 ayat a, dinyatakan bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang
mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan
siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Dari definisi-definisi di atas dapatlah dipahami bahwa ilmu faraid atau fiqh mawaris adalah ilmu
yang membicarakan hal pemindahan harta peninggalan dari seseorang yang meningal dunia
4

kepada yang masih hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkannya, orang-orang yang berhak
menerima harta peninggalan tersebut, bagian masing-masing ahli waris, maupun cara penyelesaian
pembagian harta peninggalan itu.

B. TUJUAN ILMU MAWARIS


Tujuan ilmu mawaris adalah membagi harta warisan sesuai dengan ketentuan Nash (Al-Qur’an dan
Sunnah) sesuai dengan keadilan sosial dan tugas serta tanggung jawab masing-nasing ahli waris.

C. SUMBER HUKUM ILMU WARIS


Adapun sumber hukum ilmu mawaris adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasul bukan bersumber
kepada pendapat seseorang yang terlepas dari jiwa Al-Qur’an maupun Sunnah Rasul. Bangunan
hukum kewarisan Islam memiliki dasar yang kuat, yaitu ayat-ayat al-Qur‟an, juga didasarkan
kepada sunah Rasullah SAW. Yaitu sebagai berikut surat an-Nisa‟:7 yang berbunyi:

Artinya : Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu, bapak dan kerabatnya, dan
bagi orang wanita ada hak dan bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya baik
sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (Q.S. alNisa: 7).
Dalam tafsir Al-Misbah dijelaskan bahwa ayat tersebut menerangkan hak yang harus ditunaikan
dan yang dalam kenyataannya sering diabaikan, yaitu hak-hak waris. Atau dengan kata lain ayat
tersebut menekankan bahwa bagi laki-laki dewasa atau anak-anak yang ditinggal mati orang tua
dan kerabatnya, ada hak berupa bagian tertentu yang ditentukan oleh Allah SWT.
5

Dalam ayat yang lain juga disebutkan:

Artinya:” Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. yaitu :
bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia
memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika
yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah
dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di
antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(Q.S. an-Nisa‟: 11).
Surat an-Nisa‟ ayat 12:
6

Artinya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu,
jika mereka tidak mempunyai anak. jika Isteriisterimu itu mempunyai anak, Maka kamu mendapat
seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)
seduah dibayar hutangnya. para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika
kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai anak, Maka para isteri memperoleh
seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan)
sesudah dibayar hutanghutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-
laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari
kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudarasaudara seibu itu lebih dari seorang,
Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya
atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
mengetahui lagi Maha Penyantun”. (Q.S. an-Nisa‟ :12).
Di dalam al-sunnah dapat dijumpai hadits riwayat Muttafaq 'alaih atau yang diriwayatkan oleh al-
Bukhari dan Muslim:
Artinya: “Dari Ibnu Abbas berkata: Nabi Saw telah bersabda: “Berikanlah bagian-bagian tertentu
kepada orang yang berhak. Dan sisanya untuk orang laki-laki yang lebih utama (dekat
kekerabatannya).” (H.R. Muslim).
Dalam kitab Fath al-Bari, Ahmad ibnu Ali ibn Hajr al-„Asyqalani menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan ‫ انفرائض‬disini adalah bagianbagiam waris yangtelah ditentukan al-Qur‟an yakni 1/2, 1/4,
1/8, 2/3, 1/3, dan 1/6. Sedangkan yang dimaksud dengan ‫ تاههها‬adalah orang-orang yang berhak
menerima waris sebagaimana yang telah dinash oleh al-Qur‟an.

D. KEDUDUKAN ILMU MEWARIS


Harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia seringkali menimbulkan sengketa dan
pertengkaran dalam sebuah keluarga, dimana akhirnya memutuskan hubungan silaturahmi atau
tali persaudaraan dalam keluarga. 
Padahal memutuskan tali persaudaraan adalah hal yang diharamkan dalam Islam. Putusnya tali
persaudaraan disebabkan karena masing-masing ahli waris pada dasarnya ingin mendapatkan
bagian yang banyak bahkan jika perlu mendapatkan seluruh harta waris sedangkan ahli waris
lainnya tidak perlu mendapatkan bagian. Untuk menghindari hal semacam itu, maka Allah SWT
menurunkan ketentuan dan aturan dalam mengatur pembagian harta warisan dengan aturan yang
sudah pasti. 
Bukti bahwa masalah warisan adalah masalah yang sangat penting adalah adanya ayat-ayat Al-
Qur'an yang menjelaskan bagian-bagian masing-masing ahli waris dengan jelas. Semua
kebijaksanaan dalam hal ini adalah berasal dari Allah SWT, karena sering kali manusia tidak dapat
mengetahui hakikat sesuatu dan hanya Allah sajalah yang mengetahui.
7

E. SEBAB WARIS MEWARIS


Tidak semua orang dapat waris mewarisi terhadap yang lain. Tetapi karena sebab-sebab
tertentu yang di atur oleh syari’at islam. Maka seseorang dengan orang lain dapat waris mewarisi
Adapun sebab-sebab seseorang dapat mewarisi orang yang meninggal itu adalah karena:
1.pertalian darah atau nasab (nasab haqiqi)
2.perkawinan yang sah(persemendaan)
3.karena pemerdekaan/wala’(nasab hukmi)
Yang dimaksud dengan pertalian darah (nasab haqiqi)adalah orang yang akan mewarisi itu
ada hubungan darah dengan si mayat misalnya ayah, ibu,cucu,saudara dan sebagainya.
Sedangkan yang di maksud dengan perkawinan yang sah adalah perkawinan yang di lakukan
dengan memenuhi segala syarat hukum perkawinan yang di atur dalam agama islam. Dengan
adanya perkawinan itu maka seorang istri atau suami yang sebelumnya tidak ada hak waris
mewarisi menjadi dapat waris mewarisi di antara keduanya.
Adapun yang di maksud dengan wala’ atau pemerdekaan adalah bila seseorang
memerdekakan seorang hamba sahaya maka meskipun antara mereka tidak ada hubungan darah
mereka dapat saling mewarisi.bukan nasab yang sebenarnya kalau seseorang tidak mempunyai ahli
waris,maka harta peninggalanya di serahkan kepada bait al-mal untuk kepentingan umat islam.
Sebab-sebab mewaris di zaman arab sebelum islam:
a. Hubungan darah
Mawaris disini berlaku hanya bagi anak laki-laki yang sanggup mengendarai kuda ,memerangi
musuh dan tidak berlaku bagi wanita serta anak kecil walaupun laki-laki karena mereka tidak
sanggup berperang.
b.Hubungan sebaga anak angkat
anak angkat mendapat hak sebagai anak dalam hal mewaris dan lainnya
c.Hubungan berdasarkan sumpah dan janji.
Apabila ada dua orang bersumpah dan berjanji satu sama lain untuk menjadi saudara dan saling
mewarisi, jadilah mereka saling mewaris .dan apabila salah seorang diantara mereka meninggal
maka yang masih hidup akan menjadi ahli waris atas harta peninggalannya.
Sebab-sebab mewaris sesudah datangnya islam:
a.Hubungan darah
hubungan darah ini tidak terbatas pada laki-laki yang bias berperang saja, tapi berlaku bagi semua
yang mempunyai hubungan darah.
b.Tidak di perlakukan lagi hubungan sebagai anak angkat
8

F. HALANGAN WARIS MEWARISI


Waris mewarisi dapat gugur atau batal karena hal-hal tertentu
Adapun hal-hal yang dapat membatalkan atau menjadi penghalang seseorang untuk waris mewarisi
adalah karena:
a.Membunuh
yang di maksud dengan membunuh adalah seseorang membunuh ahli warisnya dengan cara
yang tidak di benarkan oleh hukum
b.Murtad
yang di maksud dengan murtad adalah bila seseorang pindah agama atau keluar dari agama
islam.
c.Kafir atau berbeda agama
yang di maksud kafir adalah orang yang memeluk agama selain agama islam. Ketentuan
dalam islam mengatakan bahwa dua orang berbeda agama tidak dapat saling mewarisi .
d.Berstatus hamba sahaya
yang dimaksud dengan hamba sahaya tidak dapat mewarisi adalah jika seorang budak
meninggal dunia maka ayahnya atau ahli warisnya tidak dapat menerima bagian harta peninggalan
budak itu karena harta budak itu adalah milik tuhan .

G. MACAM-MACAM AHLI WARIS DAN BAGIAN-BAGIANNYA


Menurut Kompilasi Hukum Islam, ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia
mempunyai hubungan darah dan hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam,
meninggalkan ahli waris dan harta memberi mudharat kepada waris itu ialah tindakan-tindakan
seperti:
A).mewasiatkan lebih dari sepertiga harta pusaka.
B). berwasiat dengan maksud mengurangi harta warisan. sekalipun kurang dari sepertiga bila ada
niat mengurangi hak waris, juga tidak diperbolehkan.
Dengan demikian, yang dimaksud ahli waris adalah mereka yang jelas-jelas mempunyai hak waris
ketika pewarisnya meninggal dunia, tidak halangan untuk mewarisi (tidak ada mawani‟ al-irts).
Secara umum hukum Islam membagi ahli waris menjadi dua macam, yaitu:
1. Ahli waris nasabiyah, yaitu ahli waris yang hubungan kekeluargaannya timbul karena adanya
hubungan darah.
2. Ahli waris sababiyah, yaitu hubungan kewarisan yang timbul karena sebab tertentu, yaitu:
- Perkawinan yang sah (al-musaharah)
- Memerdekakan hamba sahaya (al-wala‟) atau karena perjanjian tolong menolong.
9

Apabila dilihat dari bagian-bagian yang diterima, dapat dibedakan kepada:


1. Ahli waris ashab al-furud, yaitu ahli waris yang menerima bagian yang telah ditentukan besar
kecilnya, seperti 1/2, 1/3, atau 1/6.
2. Ahli waris „ashabah, yaitu ahli waris yang menerima bagian sisa setelah harta dibagikan kepada
ahli waris ashab al-furu‟.
3. Ahli Waris zawi al-arham yaitu ahli waris karena hubungan darah tetapi menurut ketentuan Al-
Qur'an tidak berhak menerima warisan.
Apabila dilihat dari hubungan kekerabatan (jauh-dekat)nya sehingga yang dekat lebih berhak
menerima warisan daripada yang jauh dapat dibedakan.
1. Ahli waris hijab, yaitu ahli waris yang dekat yang dapat menghalangi yang jauh, atau karena garis
keturunannya menyebabkannya menghalangi orang lain.
2. Ahli waris mahjub, yaitu ahli waris yang terhalang oleh ahli waris yang dekat hubungan
kekerabatannya. Ahli waris ini dapat menerima warisan, jika yang menghalanginya tidak ada.
Jumlah keseluruhan ahli waris yang secara hukum berhak menerima warisan, baik ahli waris
nasabiyah atau sababiyah, ada 17 orang, terdiri dari 10 orang laki-laki dan 7 orang perempuan.
Apabila dirinci seluruhnya ada 25 orang, 15 orang laki-laki dan 10 orang perempuan. Agar lebih
mudah dipahami, uraian selanjutnya digunakan jumlah ahli waris 25 orang.
1. Ahli Waris Nasabiyah
Ahli waris nasabiyah adalah ahli waris yang mendapatkan harta warisan disebabkan karena nasab
atau keturunan. Jika para ahli waris perempuan dan laki-laki semua masih hidup jumlahnya ada 25
orang. Sepuluh ahli waris perempuan dan lima belas ahli waris laki-laki. Jika ahli waris laki-laki
semuanya ada, maka urut-urutannya adalah sebagai berikut:
a) Anak
b) Cucu
c) Ayah
d) Kakek
e) Saudara sekandung
f) Saudara seayah
g) Saudara seibu
h) Anak saudara laki-laki sekandung
i) Anak saudara laki-laki seayah
j) Paman kandung
k) Paman seayah
l) Anak paman kandung
10

m) Anak paman seayah


n) Suami
o) Orang yang memerdekakan dengan hak Wala’.
Sedangkan jika ahli waris perempuan semuanya ada, urutannya adalah sebagai berikut:
a. Anak
b. Cucu
c. Ibu
d. Ibu dari ibu
e. Ibu dari ayah
f. Saudara kandung
g. Saudara seayah
h. Saudara seibu
i. Ibu
j. Orang yang memerdekakan dengan hak wala‟.
Apabila seluruh ahli waris yang berjumlah 25 orang (laki-laki dan perempuan) semua ada, maka
hanya 5 orang saja yang berhak mendapat bagian, mereka yaitu:
a) Suami atau Istri
b) Anak laki-laki
c) Anak perempuan
d) Ayah dan
e) Ibu
2. Ahli Waris Sababiyah
Ahli waris sababiyah adalah ahli waris yang berhubungan pewarisnya timbul karena sebab-sebab
tertentu, yaitu:
a. Sebab perkawinan, yaitu suami atau isteri
b. Sebab memerdekakan hamba sahaya
Sebagai ahli warisan sababiyah, mereka dapat menerima warisan apabila perkawinan suami-isteri
tersebut sah. Begitu juga hubungan yang timbul sebab memerdekakan hamba sahaya, hendaknya
dapat dibuktikan menurut hukum yang berlaku.
3. Al-Furudh Al-Muqaddarah dan Macam-macamnya
11

Kata al-furudh adalah bentuk jamak dari kata fardh artinya bagian (ketentuan). Al-Muqaddarah
artinya ditentukan. Jadi al-furudh al muqaddarah maksudnya adalah bagian-bagian yang telah
ditentukan besar kecilnya di dalam Al-Qur'an. Bagian-bagian itulah yang akan diterima oleh ahli
waris menurut jauh-dekatnya hubungan kekerabatan. Macam-macam al-furudh al-muqaddarah
yang diatur di dalam AlQur'an ada 6, yaitu:
a. Setengah/separoh (1/2 = al-fisf)
b. Sepertiga (1/3 = al-sulus)
c. Seperempat (1/4 = al-rubu‟)
d. Seperenam (1/6 = al-sudus)
e. Seperdelapan (1/8 = al-sumun)
f. Dua pertiga (2/3 = al-sulusan „alsulusain)

4. Ahli Waris Ashab al-Furudh dan Hak-haknya


Pada penjelasan dibawah ini tidak dipisahkan lagi antara ahli waris nasabiyah dan sababiyah.
Pertimbangannya mereka sama-sama sebagai ashab al-furudh. Pada umumnya ahli waris ashab al-
furudh adalah perempuan, sementara ahli waris laki-laki yang menerima bagian tertentu adalah
bapak, atau kakek, dan suami. Selain itu, menerima bagian sisa („ashabah).
Adapun hak-hak yang diterima ahli waris ashab al-furudh adalah:
a. Anak perempuan, berhak menerima bagian:
- 1/2 jika sendirian tidak bersama anak laki-laki,
- 2/3 jika dua orang atau lebih tidak bersama anak laki-laki
b. Cucu perempuan garis laki-laki, berhak menerima:
- 1/2 jika sendirian, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak mahjub(terhalang).
- 2/3 jika dua orang atau lebih, tidak bersama cucu laki-laki dan tidak mahjub.
- 1/6 sebagai pelengkap 2/3 jika bersama seorang anak perempuan, tidak ada cucu laki-laki dan
tidak mahjub. Jika anak perempuan dua orang atau lebih ia tidak mendapatkan bagian.
c. Ibu, berhak menerima bagian:
- 1/3 jika tidak ada anak atau cucu (far‟u waris) atau saudara dua orang atau lebih.
- 1/6 jika ada far‟u waris atau bersama dua orang saudara atau lebih.
- 1/3 Sisa, dalam masalah Gharrawain, yaitu apabila ahli waris terdiri dari: suami/isteri, ibu dan
ayah.
d. Ayah berhak menerima bagian:
12

-1/6 jika ada anak laki-laki atau cucu laki-laki 1/6 + sisa, jika bersama anak perempuan atau cucu
perempuan garis laki-laki. Jika ayah bersama ibu:
- Masing-masing 1/6 jika ada anak, cucu atau saudara dua orang atau lebih.
- 1/3 untuk ibu, ayah menerima sisanya, jika tidak ada anak, cucu atau saudara dua orang lebih.
- Ibu menerima 1/3 sisa, bapak sisanya setelah diambil untuk suami atau isteri.
e. Nenek, jika tidak mahjub berhak menerima bagian:
- 1/6 jika seorang 1/6 dibagi rata, apabila nenek lebih dari seorang dan sederajat kedudukannya.
f. Kakek, jika tidak mahjub, berhak menerima bagian:
- 1/6 jika bersama anak laki-laki atau cucu laki-laki 1/6 + sisa, jika bersama anak atau cucu
perempuan tanpa ada anak laki-laki. 1/6 atau muqasamah (bagi rata) dengan saudara sekandung
atau seayah, setelah diambil untuk ahli waris lain.
- 1/3 atau muqasamah bersama saudara sekandung atau seayah, jika tidakada ahli waris lain.
g. Saudara perempuan sekandung, jika tidak mahjub, berhak menerima bagian:
- 1/2 jika seorang, dan tidak bersama saudara laki-laki sekandung.
- 2/3 dua orang atau lebih, tidak bersama saudara laki-laki sekandung.
h. Saudara perempuan seayah, jika tidak mahjub, berhak menerima bagian:
- 2/3 seorang diri dan tidak bersama saudara laki-laki seayah.
- 2/3 dua orang atau lebih tidak bersama saudara laki seayah.
- 1/6 jika bersama dengan saudara perempuan sekandung seorang, sebagai pelengkap 2/3.
i. Saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan kedudukannya sama.
Apabila tidak mahjub, saudara seibu berhak menerima bagian:
- 1/6 jika seorang diri 1/3 dua orang atau lebih bergabung menerima 1/3dengan saudara
sekandung, ketika bersama-sama dengan ahli waris sunni dan ibu (musyarakah)
j. Suami, berhak menerima bagian:
- 1/2 jika tidak mempunyai anak atau cucu.
- 1/4 jika bersama dengan anak atau cucu.
k. Isteri, berhak menerima bagian:
- 1/4 jika tidak mempunyai anak atau cucu.
- 1/8 jika bersama anak atau cucu.
5. Ahli Waris ‘Ashabah dan Macam-macamnya
13

Ashabah adalah bagian sisa setelah diambil oleh ahli waris ashab alfurudh. Sebagai penerima
bagian sisa, ahli waris ashabah, terkadang menerima bagian banyak (seluruh harta warisan),
terkadang menerima sedikit, tetapi terkadang tidak menerima bagian sama sekali, karena habis
diambil ahli waris ashab al-furudh.
Adapun macam-macam ahli waris „ashabah ada tiga macam, yaitu:
a. Ashabah bin nafsi, yaitu ahli waris yang karena kedudukan dirinya sendiri berhak menerima
bagian ashabah. Ahli waris kelompok ini semuanya laki-laki, kecuali mu‟tiqah (perempuan yang
memerdekakan sahaya), yaitu:
1) Anak laki-laki
2) Cucu kali-laki dari garis laki-laki
3) Ayah
4) Kakek (dari garis bapak)
5) Saudara laki-laki sekandung
6) Saudara laki-laki seayah
7) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
8) Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
9) Paman sekandung
10) Paman seayah
11) Anak laki-laki paman sekandung
12) Anak laki-laki paman seayah
13) Mu‟tiq dan atau Mu‟tiqah (anak laki atau perempuan memerdekakan hamba sahaya)
b. Ashabah bi al-Ghair, yaitu ahli waris yang menerima sisa karena bersama-sama dengan ahli waris
lain yang menerima bagian sisa. Apabila ahli waris penerima sisa tidak ada, maka ia tetap
menerima bagian tertentu (tidak menerima ‟ashabah). Ahli waris „ashabah bi alghair tersebut
adalah:
1) Anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki.
2) Cucu perempuan garis laki-laki, bersama dengan cucu laki-laki garis laki-laki.
3) Saudara perempuan sekandung bersama dengan saudara laki-laki sekandung.
4) Saudara perempuan seayah bersama dengan saudara laki-laki seayah.
c. Ashabah ma’al-Ghair, ialah ahli waris yang menrima bagian ashabah karena bersama ahli waris
lain bukan penerima bagian ashabah. Apabila ahli waris tidak ada, maka ia menerima bagian
tertentu. Ashabah ma‘alGhair ini diterima ahli waris:
1) Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih) karena bersama dengan anak perempuan
(seorang atau lebih) atau bersama dengan cucu perempuan garis laki-laki (seorang atau lebih).
14

2) Saudara perempuan seayah (seorang atau lebih) bersama dengan anak atau cucu perempuan
(seorang atau lebih).
Misalnya seorang meninggal, ahli warisnya terdiri dari seorang anak perempuan, seorang cucu
perempuan garis laki-laki, dan dua orang saudara perempuan seayah.

H. CARA PEMBAGIAN WARISAN


langkah-langkah dalam menghitung pembagian warisan:
1. Tentukan ahli waris yang ada dan berhak menerima warisan
2. Tentukan bagian masing-masing ahli waris, contoh istri 1/4, Ibu 1/6, anak laki-laki sisa
(ashabah) dan seterusnya.
3. Tentukan Asal Masalah, contoh dari penyebut 4 dan 6 Asal Masalahnya 24
4. Tentukan Siham masing-masing ahli waris, contoh istri 24 x 1/4 = 6 dan seterusnya

a) ‘Aul
‘Aul menurut bahasa berarti menyimpang dan condong. Allah Swt berfirman:

َ ِ‫ ٰ َذل‬...
‫ك أَ ْدن َٰى أَاَّل تَعُولُوا‬
“ Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”
Menurut istilah fuqaha, aul berarti kelebihan saham ashabul furuf dari besarnya asal masalah dan
ada penyusutan dalam kadar penerimaan mereka.
Jumhur ulama menetapkan masalah ‘aul terjadi karena tidak ada ketentuan dalam nash yang
mengatur tentang mendahulukan ashabul furudh yang satu atas yang lain. Begitu juga karena tidak
ada ketentuan yang membedakan mereka, karena harta warisan terdapat kelebihan atau
kekurangan. Apabila ada ahli waris yang didahulukan dan mengorbankan ahli waris yang lain,
berarti memakai baru. Kemudian Rasulullah Saw bersabda: “Berikanlah bagian-bagian tertentu
kepada yang berhak menerimanya”.
Contoh Kasus: Seorang istri meninggal dan meninggalkan ahli waris:

AW Contoh Kasus: Seorang istri meninggal dan meninggalkan ahli waris:

AW Bagian AM=6 ‘Aul=8


Suami ½ 3 3
Ibu 1/6 1 1
Saudara Pr seibu ½ 3 3
Saudara Pr 1/6 1 1
sebapak
6/8 8/8
Dalam kasus ini terlihat bahwa penyebut lebih kecil dari pembilang (6/8), kemudian ahli waris
berkurang dari bagian harta yang didapat, yaitu:
15

Suami harusnya 3/6 akan tetapi menjadi 3/8


Ibu harusnya 1/6 akan tetapi menjadi 1/8
Saudara Pr seibu 3/6 akan tetapi menjadi 3/8
Saudara Pr sebapak 1/6 akan tetapi menjadi 1/8
Namun demikian pengurangan pendapatan masing-masing ahli waris tersebut tetap proporsional,
sehingga dipandang lebih adil daripada jika dikerjakan seperti biasa, sebab jika seperti itu akan ada
ahli waris yang dirugikan dan yang diuntungkan.
Keterangan :
1. Suami mendapat 1/2 bagian karena tidak ada anak dan cucu
2. Ibu mendapat 1/6 bagian karena saudara lebih dari 1 orang (>1)
3. 1 saudara pr seibu sebapak mendapat 1/2 karena hanya 1 orang
4. 1 saudara pr sebapak mendapat 1/6 karena mewaris bersama dengan 1 orang sudara
perempuan seibu sebapak.

b) Radd
Radd berarti mengembalikan sisa harta warisan kepada ashabul furudh menurut bagian yang
ditentukan mereka ketka tidak adanya ashib nasabi. Rasulullah Saw bersabda:
“Berikanlah bagian-bagian yang ditentukan (faraidh) kepada pemegang haknya, maka sisanya
adalah untuk orang laki-laki yang lebih utama” (Muttafaqun ‘alaih).
Menurut istilah para fuqaha, rad berarti memberikan sisa dari bagian-bagian yang ditentukan
ashabul furud al-nasabiyah kepada mereka menurut furudh mereka ketika tidak ada ahli waris lain
yang berhak menerimanya.
Ada beberapa pendapat mengenai radd:
1. Pendapat Zaid bin Tsabit : tidak ada rad bagi siapapun diantara ahli waris. Sisa harta harus
diserahkan kepada Baitul Mal, kecuali ada ahli waris ashabah.
2. Pendapat Umar, Ali dan Jumhur Sahabat dengan jalan rahim, sedangkan suami/istri hanya
sebab perkawinan.
3. Pendapat Utsman: semua ahli waris termasuk suami/istri berhak atas rad, mengingat
suami/istri juga terkurangi haknya dalam masalah ‘aul.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris
dzawil furudh menunjukan bawha angka pembilang lebih kecil dari angka penyebut, sedangkan
tidak ada ahli waris ashabah maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan dengan cara radd
yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedangkan sisanya dibagikan berimbang kepada
mereka.
16

Contoh Kasus: Seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris saudara Pr sekandung,
saudara pr seayah dan saudara pr seibu. Dengan cara:

         Jika tidak diselesaikan dengan cara radd


Ahli Waris Bag. AM (6) HW Rp. 30.000.000,- Penerimaan
Saudara pr 1/2 3 3/6 x 30.000.000 Rp.15.000.000
sekandung
Saudara pr seayah 1/6 1 1/6 x 30.000.000 Rp. 5.000.000
Saudara pr seibu 1/6 1 1/6 x 30.000.000 Rp. 5.000.000
5 Jumlah Rp. 25.000.000,-
Jadi ada kelebihan harta sebanyak Rp. 5.000.000,-
         Jika diselesaikan dengan cara radd
Ahli Waris Bag. AM (6- HW Rp. 30.000.000,- Penerimaan
5)
Saudara pr 1/2 3 3/5 x 30.000.000 Rp.18.000.000
sekandung
Saudara pr sebapak 1/6 1 1/5 x 30.000.000 Rp. 6.000.000
Saudara pr seayah 1/6 1 1/5 x 30.000.000 Rp. 6.000.000
5 Jumlah Rp. 30.000.000,-

Jadi harta lebihan dibagi lagi dengan ketiga saudara tersebut.

c) Gharawain
Gharawain adalah masalah ibu yang lebih besar mendapat bagian harta daripada ayah.
Masalah gharawain terjadi dalam dua macam kasus kewarisan yang ahli warisnya terdiri dari:
1. Suami, ibu dan ayah
2. Istri, ibu dan ayah
Sebagian fuqaha berpendapat bahwa gharrawain berasal dari mashdar garrar (tipuan). Karena
dalam masalah tersebut terjadi penipuan kepada ibu. Sekalipun ibu disebut mendapatkan 1/3,
sebenarnya ibu hanya diberi bagian 1/6 atau 1/4. Penyebutan 1/3 hanya sebagai penghormatan
terhadap Al-Qur'an yang menyebutkan demikian. Kedua masalah ini sering juga disebut
‘umariyatain, karena yang mula-mula memutuskan cara penyelesaian kedua kasus ini adalah
Khalifah Umar bin Khattab dan diterima oleh mayoritas sahabat dan diikuti oleh jumhur ulama.
Alasan yang dikemukakan jumhur ulama adalah bahwa ibu dan ayah jika bersama-sama mewarisi
dengan tidak ada ahli waris yang lain, maka ibu menerima bagian 1/3 dan ayah sebagai ashabah.
Karena itu cara demikian wajib diberlakukan manakala terdapat sisa. Mereka memandang sebagai
suatu hal yang menyalahi prinsip apabila bagian yang diterima ibu lebih besar daripada bagian
yang diterima ayah.
17

Prinsip dasarnya adalah bahwa ibu menerima 1/3 dan ayah 2/3, dengan kata lain bagian lak-laki
adalah dua kali lipat bagian perempuan. Keadaan ini tetap berlaku manakala ibu dan ayah bersama-
sama dengan ahli waris suami atau istri. Jadi setelah bagian suami atau istri diberikan maka ibu
menerima 1/3 dan ayah sisanya.

Contoh kasus:
Ahli Waris Bagian Asal Masalah (6)
Suami ½ 3
Ibu 1/3 2
Ayah Ashabah 1
6/6

Cara penyelesaian di atas berdasarkan petunjuk Al-Qur'an dan sunnah tidak ada masalah dalam
penyelesaiannya. Akan tetapi saat dilakukan perbandingan antara bagian yang diterima ayah dan
ibu, dapat dirasakan adanya kejanggalan, yaitu ibu menerima bagian dua kali lipat dari bagian yang
diterima ayah. Padahal ketika ahli warisnya hanya terdiri dari ibu dan ayah, ibu mendapatkan 1/3
dan ayah sebagai ashabah mendapatkan sisanya yaitu 2/3, bagian ayah dua kali bagian ibu. Untuk
mengatasi masalah ini, Umar memahami bagian ibu yang 1/3 bukan dari dari keseluruhan harta,
tetapi dari sisa harta setelah diberikan kepada suami. Maka penyelesaiannya menurut Umar adalah:

Ahli Waris Bagian Asal Masalah (6)


Suami ½ 3 (sisa 3)
Ibu 1/3 dari sisa 1/3x3= 1
Ayah Ashabah 2
6/6

Hasil akhirnya sama dengan saat ahli waris hanya terdiri dari ayah dan ibu, yakni bagian ayah dua
kali bagian ibu. Hanya saja bagian ibu berubah dari 1/3 menjadi 1/6. Alasan yang dikemukan untuk
mentakwil 1/3 bagian ibu menjadi 1/3 sisa adalah untuk menghindari lebih besarnya hak ibu
ketimbang hak ayah.

d) Musytarikah
Masalah musyarrakah (musytarikah) terjadi ketika saudara kandung yang diposisikan sebagai
ashabah tidak mendapatkan warisan karena harta warisan telah habis dibagikan kepada semua ahli
waris dzawil furudh, di antaranya terdapat saudara atau saudari seibu. Musyarrakah tidak akan
terjadi jika masih ada sisa harta yang dapat diberikan pada ashabah.
18

Masalah musyarrakah dapat terjadi jika ahli warisnya terdiri dari suami yang mendapatkan ½
ketika pewaris tidak meninggalkan anak atau cucu, pemilik bagian 1/6 yaitu ibu atau nenek, dua
saudara/i seibu atau lebih yang mendapatkan 1/3, dan saudara kandung saja atau bersama saudari
kandung kandung. Jika sandara/i seibu hanya seorang tidak terjadi musyarrakah karena masih
tersisa 1/6 harta warisan. Jika saudari kandung sendirian atau lebih tanpa saudara kandung maka
akan mendapatkan bagian tertentu yaitu ½ atau 2/3 sehingga masalahnya akan di-’aul-kan.
Demikan pula jika kedudukan suami digantikan isteri tidak akan terjadi musyarrakah karena masih
ada ¼ sisa harta.
Contoh kasus: Ahli waris terdiri dari

Ahli Waris Bagian Asal Masalah (6)


Suami ½ 3
Ibu 1/6 1
2 saudara seibu 1/3 2
2 saudara Ashabah -
kandung

Dari segi pembagian warisan sebenarnya tidak ada masalah. Masalahnya di sini terdapat keganjilan.
Yaitu 2 saudara seibu yang diikat dengan pewaris hanya melalui satu jalur ibu mendapatkan
warisan sementara saudara kandung yang diikat dengan dua jalur, yakni jalur ayah dan ibu, tidak
mendapatkan warisan. Kasus seperti ini nampaknya tidak terjadi pada masa Nabi SAW dan
Khalifah Abu Bakar, baru terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab.
Umar bin Khattab mendapatkan laporan kasus ini dua kali. Pada kasus pertama Umar
menyelesaikan apa adanya seperti ilustrasi di atas. Kemudian masalah itu diajukan kepadanya
sekali lagi. Di antara mereka ada yang pintar berdebat dan berkata: "Amirul Mukminin, anggaplah
ayah kami itu keledai (himar), bukankah kami dengan saudara seibu berasal dari satu ibu?"
Argumen ini diterima oleh Umar kemudian beliau memutuskan agar semua saudara/i bersekutu
mendapatkan 1/3 itu, bagi rata tanpa mempertimbangkan jenis kelamin. Keputusan Umar ini
didukung oleh Zaid bin Tsabit dan sekelompok sahabat. Pendapat ini diiikuti oleh Mazhab
Malikiyah dan Syafi'iyah.

e) Akdariyah
Istilah al-akdariyah muncul karena masalah ini berkaitan dengan salah seorang wanita dari bani
Akdar. Sedangkan sebagian ulama mengatakan bahwa penyebutan masalah ini dengan istilah al-
akdariyah yang artinya 'kotor' atau 'mengotori' disebabkan masalah ini cukup mengotori mazhab
Zaid bin Tsabit. Dia pernah menghadapi masalah waris dan memvonisnya dengan melakukan
sesuatu yang bertentangan (menyimpang) dari kaidah-kaidah faraid yang masyhur.
Permasalahannya seperti berikut: bila seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami, ibu,
kakek, dan seorang saudara kandung perempuan. Apabila berpegang pada kaidah yang telah
disepakati seluruh fuqaha termasuk di dalamnya Zaid bin Tsabit sendiri, maka pembagiannya
adalah dengan menggugurkan hak saudara kandung perempuan. Sebab, suami mendapat 1/2
19

bagian, ibu mendapat 1/3 bagian, dan sisanya hanya 1/6 yang tidak lain sebagai bagian kakek yang
tidak mungkin digugurkan karena merupakan haknya secara fardh. Oleh sebab itu, sudah
semestinya bagian saudara kandung perempuan digugurkan karena tidak ada sisa harta waris.
Akan tetapi, dalam kasus ini Zaid bin Tsabit Ra memvonis dengan menyalahi kaidah yang ada.
Contoh kasus: Masalahnya adalah dari enam (6)

Ahli Waris Bagian Asal Masalah (6)


Suami ½ 3
Ibu 1/3 2
Kakek 1/6 1
Saudara pr Kandung Mahjub -

Setelah ditashih masalahnya naik dari enam (6) menjadi dua puluh tujuh (27)

Ahli Waris Bagian Asal Masalah menjadi 27


Suami ½ 9
Ibu 1/3 6
Kakek 1/6 8
Saudara pr Kandung Mahjub 4

Dalam hal ini Imam Malik dan Imam Syafi'i mengikuti apa yang pernah dilakukan Zaid bin Tsabit,
sehingga menjadikannya sebagai keputusan ijtihad dalam fiqih kedua imam tersebut. Dalam
masalah al-akdariyah, sosok ahli waris mutlak tidak dapat diubah. Bila ada salah satu yang diubah,
maka berarti telah keluar dari hukum tersebut.

f) Kewarisan Kakek Bersama Saudara


Kakek disini ialah kakek yang sahih, yang nasabnya tidak tercampuri pewaris jenis wanita,
misalnya ayah dari bapak dan seterusnya. Sedangkan kakek yang berasal garis wanita disebut
sebagai kakek yang rusak nasabnya, misalnya ayahnya ibu, atau ayah dari ibunya ayah. Hal ini
didasarkan sesuai dengan kaidah yang ada di dalam faraid: "bilamana unsur wanita masuk ke
dalam nasab laki-laki, maka kakek menjadi rusak nasabnya. Namun bila tidak termasuki unsur
wanita, itulah kakek yang sahih”. Mayoritas sahabat sangat berhati-hati dalam memvonis masalah
ini, bahkan mereka cenderung sangat takut untuk memberi fatwa yang berkenaan dengan masalah
ini. Ibnu Mas'ud r.a. dalam hal ini pernah mengatakan: "Bertanyalah kalian kepada kami tentang
masalah yang sangat pelik sekalipun, namun janganlah kalian tanyakan kepadaku tentang masalah
warisan kakak yang sahih dengan saudara."
Ada lima keadaan yang lebih menguntungkan kakek bila menggunakan cara pembagian.
Kelima keadaan tersebut sebagai berikut:
Kakek mendapat 2/3 jika dengan saudara kandung perempuan
Kakek mendapat ½ jika dengan dua orang saudara kandung perempuan.
20

Kakek mendapat 2/5 jika dengan tiga orang saudara kandung perempuan.
Kakek mendapat ½ jika dengan saudara kandung laki-laki.
Kakek mendapat 2/5 jika dengan saudara kandung laki-laki dan saudara kandung perempuan.
Contoh kasus: seseorang wafat dan meninggalkan ahli waris
Masalahnya 12 dan naik menjadi 36

Ahli waris Bagian Asal masalah 12 menjadi 36

Ibu 1/6 6
Kakek 1/3 sisa dari ibu 10

Saudara pr kandung ½ 18

2 Saudara laki-laki Ashabah 2


seayah

Apabila pewaris hanya meninggalkan kerabat seperti kakek dan saudara-saudara laki-
laki/perempuan seibu saja, maka seluruh warisan merupakan bagian kakek. Sebab, seperti yang
telah disepakati seluruh imam mujtahid, kakek dapat menggugurkan hak waris saudara seibu. Dan
hak waris saudara seibu hanyalah bila pewaris sebagai kalalah, yakni tidak mempunyai pokok
(ayah dan seterusnya) dan tidak pula mempunyai cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
Di samping itu, hal lain yang telah menjadi ijma' seluruh fuqaha ialah bahwa hak waris dari
keturunan para saudara kandung ataupun seayah menjadi gugur karena adanya kakek. Misalnya,
bila seseorang meninggal dan hanya meninggalkan kakek serta anak saudaranya, maka seluruh
warisannya menjadi hak kakek.

g) Kewarisan Anak Dalam Kandungan


Orang yang mengandung sering disebut dengan al-hamlu ( hamil) dalam bahasa Arab merupakan
bentuk masdar dari kata hamalat. Dan tercantum dalam Q.S Al-Ahqof ayat 15:

َ ‫ص ْينَا اإْل ِ ْنسَانَ بِ َوالِ َد ْي ِه إِحْ َسانًا ۖ َح َملَ ْتهُ أُ ُّمهُ ُكرْ هًا َو َو‬
‫ض َع ْتهُ ُكرْ هًا‬ َّ ‫َو َو‬
“kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibubapaknya, ibunya
yang mengandung dengan susah payah, dan melahirkan dengan susah payah pula”.
Menurut istilah para fuqoha, yaitu janin yang dikandung dalam perut ibu baik laki-laki maupun
perempuan.
Pada dasarnya apabila seseorang meninggal dunia dan diantara ahli warisnya terdapat anak yang
masih dalam kandungan atau istri yang sedang menjalankan masa dan dalam keadaan
mengandung, maka anak yang dalam kandungan itu tidak memperoleh warisan bil fi’li, karena
hidupnya ketika muwaris meninggal tidak dapat dipastikan.
21

Karena salah satu syarat dalam mewarisi yang harus dipenuhi oleh ahli waris adalah
keberadaannya (hidup) ketika pewaris wafat. Dengan demikian bagi anak yang masih
dalamkandungan ibunya belum dapat ditentukan hak waris yang diterimanya, karena belum dapat
diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi itu akan lahir selamat atau tidak, laki-laki atau
perempuan, satu atau kembar.
Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan kita dihadapkan pada ikhtiyat menyangkut kemaslahatan
demi terpelihara hak anak, maka bagiannya di mawqufkan sampai dia lahir karena ada
kemungkinan bahwa dia telah hidup ketika muwarisnya meninggal. Untuk merealisasikan hak
kewarisan ini, diperlukan syarat-syarat berikut :
1) Ketika Muwaris meninggal, anak itu telah berwujud dalam rahim ibunya
2) Bayi yang ada dalam kandungan dilahirkan dalam keadaan hidup.
Sistem perhitungan untuk anak yang dalam kandungan:
1. Mempresentasikan pembagian tentang anak laki-laki ,maka para ashabul furudh yangtidak
terhijab dengan keberadaannya dapat mengambil saham yang telah di tentukantanpa menunggu
kelahirannya.
2. Apabila bayi yang terlahir seorang perempuan maka bayi tersebut hanya mengambil bagiannya
hanya sebagai seorang anak perempuan, lalu harta selebihnya diberikankepada yang berhak ,baik
secara ulang perhitungan atau cara lainnya sesuai denganaturan waris seperti seorang anak
perempuan yang terlahir tidak dapat menghijabsaudara laki-laki kandung pewaris,sebaliknya jika
seorang laki-laki akan dapatmenghijab saudara tersebut.
3. Kematian bayi dalam kandungan berakibat tidak memperoleh hak waris baginya,maka harta
taksiran yang telah diperhitungkan untuknya di berikan kepada yang berhak sesuai dengan aturan
hukum waris.
4. Apabila bayi yang terlahir hidup, walaupun dalam waktu yang tidak lama, tetapi dapat dibuktikan
secara yuris/hukum maka sistem perhitungan waris tetap memberikan hak waris untuknya sesuai
dengan jenis kelamin dan keberadaan dirinya (seperti dia tetap hidup), kemudian harta tersebut
(saham untuknya) diberikan kepada ahli waris yang berhak atas dirinya,bukan lagi kepada pewaris
(mayit) pertama dalam perhitungan

h) Kewarisan Khuntsa Musykil


Istilah Khuntsa berasal dari bahasa Arab khanatsa yang berarti lunak atau melunak. Menurut istilah
(terminologi) Sayid Sabiq dalam Kitab Fiqh Al-Sunnah mengatakan: “Khuntsa adalah orang yang
tidak jelas keadaan dirinya dan tidak diketahui apakah dia laki-laki atau perempuan, karena dia
memiliki alat kelamin laki-laki dan perempuan sekaligus, atau karena dia sama sekali tidak
memiliki kelamin baik laki-laki maupun perempuan.”
Pembagian warisan untuk seorang khuntsa ghairu muskil (jelas diketahui) dilihat dari statusnya
setelah melalui beberapa cara dengan melihat pertama kali keluarnya air seni dan juga dilihat dari
tanda-tanda kedewasaannya. Pembagian warisan seorang khuntsa musykil (sulit diketahui) para
ulama berbeda pendapat, menurut mazhab Hanafi khuntsa diberikan bagian terkecil dari dua
22

perkiraan laki-laki dan perempuan, menurut mazhab Syafi’i khuntsa diberikan bagian terkecil dari
bagian laki-laki dan perempuan lalu sisa harta nya ditangguhkan sampai status khuntsa jelas,
menurut mazhab Maliki khuntsa mendapat kedua bagian terkecil dari perkiraan laki-laki dan
perempuan yang kemudian jumlah dari perkiraan tersebut dibagi setengah.

i) Kewarisan Mati Bersama


Yang dimaksud dengan orang yang mengalami kematian bersama adalah orang-orang yang dapat
saling waris-mewarisi (memiliki hubungan kerabat), dimana mereka mengalami kecelakaan dalam
satu waktu bersamaan, bisa disebabkan karena bencana alam, kebakaran, tabrakan kendaraan
ataupun hal-hal lainnya. Kaidah yang berlaku dalam pembagian hak waris untuk orang yang
mengalami kematian bersama adalah dengan cara menentukan mana di antara mereka yang lebih
dahulu pertama kali dan yang meninggal kemudian. Hal ini bisa diketahui dengan cara bertanya
kepada orang yang menyaksikan, atau adanya salah seorang atau lebih dari mereka yang selamat
dari bencana tersebut yang menyaksikan siapa yang paling dulu meninggal, lalu siapa yang hidup
kemudian walaupun hidupnya itu hanya sesaat saja. Jika memang keadaannya demikian,
pembagian waris akan lebih mudah dilaksanakan, yakni dengan memberikan hak waris kepada
orang yang meninggal kemudian. Setelah orang kedua (yang meninggal kemudian) meninggal,
maka kepemilikan harta waris tadi berpindah kepada ahli warisnya yang berhak dan begitulah
seterusnya.
Menurut imam Hanafi, Maliki dan Hanbali jika diketahui bahwa mereka meninggal sekaligus, maka
mereka tidak dapat saling waris-mewarisi, karena syarat menerima warisan adalah ahli waris
dalam keadaan hidup ketika si pemilik harta meninggal, baik meninggal yang hakiki ataupun yang
dihukumkan sudah meninggal. Begitu pula jika kita tidak mengetahui bagaimana kematian itu
terjadi apakah ia berurutan atau sekaligus, atau bisa jadi kita mengetahui bahwa mereka
meninggal secara beruntun, hanya saja tidak diketahui dengan jelas siapa yang lebih dahulu.
Sedangkan menurut Imam Syafi’i jika kita atau saksi lupa urutan siapa yang meninggal pertama dan
siapa yang meninggal kemudian hingga yang meninggal paling terakhir, maka perkara seperti ini
harus ditunda dahulu hingga teringat atau saling berdamai. Sedangkan menurut madzhab Imam
Ahmad, apabila antara ahli waris berselisih pendapat siapa yang lebih dahulu meninggal sementara
masing-masing tidak memiliki bukti, maka mereka harus saling bersumpah seterusnya mereka
tidak lagi saling mewarisi karena tidak ada faktor yang dapat menguatkan. Apabila tidak ada
perbedaan pendapat di kalangan ahli waris, maka masing-masing ahli waris mendapat bagian dari
harta yang ditinggalkan tidak termasuk harta yang diterimanya sebagai warisan, hal itu demi
mencegah terjadinya mata rantai yang tidak diketahui ujung pangkalnya.

j) Kewarisan Mafqud
Kata mafqud dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar Faqada yang berarti hilangMenurut
para Faradhiyun mafqud itu diartikan dengan orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat
tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak diketahui tentang hidup dan matinya. Selain itu,
ada yang mengartikan mafqud sebagai orang yang tidak ada kabarnya, dan tidak diketahui apakah
ia masih hidup atau sudan meninggal. Dalam pembahasan ulama fikih, penentuan status bagi
mafqud, apakah ia masih hidup atau telah wafat amatlah penting, karena menyangkut beberapa hak
dan kewajiban dari si mafqud tersebut serta hak dan kewajiban keluarganya sendiri.
23

Para ulama fikih telah sepakat bahwa yang berhak untuk menetapkan status bagi orang
hilang tersebut adalah hakim, baik untuk menetapkan bahwa orang hilang telah wafat atau belum.
Ada dua macam pertimbangan hukum yang dapat digunakan dalam mencari kejelasan status
hukum bagi si mafqud yaitu:
Berdasarkan bukti-bukti yang otentik yang dibenarkan oleh syariat, yang dapat menetapkan suatu
ketetapan hukum, sebagaimana dalam kaidah “yang tetap berdasarkan bukti bagaikan yang tetap
berdasarkan kenyataan”.
Berdasarkan tenggang waktu lamanya si mafqud pergi atau berdasarkan kadaluwarsa.
Para ahli waris yang telah meninggal dunia sebelum adanya penetapan hakim tidak mewarisi
karena tidak terpenuhinya syarat kewarisan, yaitu meninggalnya si pewaris baik secara hakikatnya
(mati hakiki) maupun mati secara hukum. Oleh karena itu, harta warisan yang sudah dibagi dan
ketika si mafqud hadir kembali sudah melampaui empat tahun, maka ia tidak bisa meminta kembali
harta warisan yang sudah dibagikan. Apabila si mafqud hadir sebelum empat tahun, maka ia dapat
memintakan kembali harta yang belum dipakai oleh ahli warisnya yang merupakan harta warisan.

k) Munasakhah
Al-munasakhat dalam bahasa Arab berarti 'memindahkan' dan 'menghilangkan', misalnya dalam
kalimat nasakhtu al-kitaba yang bermakna 'saya menukil (memindahkan) kepada lembaran lain';
nasakhat asy-syamsu ash-zhilla yang berarti 'sinar matahari menghilangkan bayang-bayang'.
Sedangkan pengertian al-munasakhat menurut istilah ulama faraid ialah meninggalnya sebagian
ahli waris sebelum pembagian harta waris sehingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya
yang lain. Bila salah seorang ahli waris meninggal, sedangkan ia belum menerima hak warisnya
(karena memang belum dibagikan), maka hak warisnya berpindah kepada ahli warisnya.
Karenanya di sini akan timbul suatu masalah yang oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan
sebutan al-jami'ah. Ada 3 keadaan yang menyebabkan munasakhah, yaitu :
1. Apabila pewaris mayit kedua itu adalah mereka yang menjadi pewaris mayit pertama.
Dalam keadaan ini masalahnya tidak berubah dan cara pewarisan mereka juga tidak berubah.
Misalnya : seorang laki-laki mati meninggalkan 5 orang anak laki-laki, kemudian salah seorang dari
mereka mati meninggalkan saudara-saudaranya yang lain dan tiada pewaris baginya selain mereka,
maka warisan dalam keadaan ini dibagi antara orang-orang yang tersisa. Anak laki-laki mayit
dianggap seakan-akan tidak berasal dari mayit itu. Maka warisan dibagikan kepada 4 anak laki-laki
yang tersisa.
2. Bilamana para pewaris kedua adalah juga pewaris mayit pertama disertai perbedaan nisbah
mereka kepada mayit. Misalnya : seorang laki-laki mempunyai 2 orang isteri dan ia meninggalkan 1
anak lelaki dari isteri pertama dan 3 anak perempuan dari isteri kedua. Kemudian orang itu wafat
meninggalkan isteri dan anak-anaknya. Kemudian salah satu putrinya wafat sebelum dilakukan
pembagian harta dan meninggalkan orang-orang tersebut. Maka para pewaris dalam hal ini adalah
sisa pewaris mayit pertama, hanya saja anak lelaki dalam masalah pertama terhadap anak
perempuan yang mati telah menjadi saudara lelaki seayah dan 2 anak perempuan menjadi 2
saudara perempuan kandung. Oleh karena itu, pembagiannya di sini berubah dalam keadaan
seperti ini harus ada tindakan baru dan pengeluaran masalah yang bernama “Al-Jaami’ah”, yaitu
yang menggabungkan 2 masalah.
24

3. Bilamana para pewaris mayit kedua lain dari pewaris mayit pertama atau sebagian mereka
mewarisi dari 2 jalur, yaitu dari jalur mayit pertama dan dari jalur mayit kedua.
Dalam keadaan ini haruslah dikeluarkan “Al-Jaami’ah” karena pembagiannya berbeda terhadap
para pewaris.

l) Hikmah Mewaris
Adapun 3 hikmah mawaris ini adalah sebagai berikut:
1. Terwujud ketentraman dalam hidup serta keharmonisan dalam keluarga terjaga
sebab keadilan ditegakkan melalui syariat islam.
2. Mencegah munculnya konflik dan pertikaian di antara ahli waris.
3. Menjalankan ketetapan dari Allah SWT sehingga mendapat berkah kebaikan dari
pembagian harta waris tersebut.
4. Mawaris dengan berdasar pada syariat Allah SWT adalah bentuk ketaatan dan
kepatuhan pada Allah SWT yang diganjar dengan kemuliaan di sisi-Nya.
5. Menambah ketakwaan pada Allah SWT.
25

PENUTUP

Kesimpulan

Harta warisan adalah harta yang dalam istilah fara’id dinamakan Tirkah (peninggalan) merupakan
sesuatu atau harta kekayaan oleh yang meninggal, baik berupa uang atau materi lainya yang
dibenarkan oleh syariat islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya.dan dalam pelaksanaanya
atau apa-apa yang yang ditinggalkan oleh yang meninggal harus diartikan sedemikian luas sehingga
mencakup hal-hal yang ada pada bagianya. Kebendaan dan sifat-sifatnya yang mempunyai nilai
kebendaan. hak-hak kebendaan dan hak-hak yang bukan kebendaan dan benda-benda yang
bersangkutan dengan hak orang lain.
Pentingnya pembagian warisan untuk orang-orang yang ditinggalkan dengan seadil-adilnya sudah
diatur dalam Islam, mencegah terjadinya konflik antar ahli waris dan menghindari perpecahan
ukhuwah persaudaraan antar sesama keluarga yang masih hidup. Pembagian tersebut sudah di
atur dalam al-quran dan al hadist Namun ada beberapa ketentuan yang di sepakati dengan ijma’
dengan seadil-adilnya.
26

DAFTAR PUSTAKA

https://www.academia.edu/28797460/Makalah_fiqih_warisan
http://lenydoank-oke.blogspot.com/2013/01/makalah-warisan.html
http://eristiana-kumpulantugaskuliah.blogspot.com/2016/06/normal-0-false-false-false-en-us-
x-none_59.html
https://sayyidahchalimah07.wordpress.com/2014/06/22/makalah-hukum-waris/
http://repository.unpas.ac.id/29753/2/F.%20BAB%20I.pdf

Anda mungkin juga menyukai