Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

HUKUM PIDANA DI INDONESIA

MATA KULIAH : PENGANTAR HUKUM INDONESIA


DOSEN PENGAMPU : Syofiaty Lubis, S.H., M.H.

Di Susun Oleh
Kelompok 2 :

Alya Azzahra Dian (2006200325)


Nasya Azani Yusuf (2006200323)
Sevina Rezika Hsb (2006200340)
Olivia Habibah (2006200343)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA


TAHUN AJARAN 2020/2021
Kata Pengantar
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah ke khadirat Allah SWT,karena atas perkenannya
tugas ini dapat diselesaikan sesuai denganwaktu yang telah direncanakan. Tidak lupa kepada Nabi
besar Muhammad SAW Keluargnya serta para sahabatnya dan umatnya yangsetia sampai akhir
zaman.
Tugas ini, merupakan Mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum tentangpenyusunan Makalah mengenai
Hukum Perdata Indonesia. Dalam penyusunan tugas ini, penulis banyak mendapatkan petunjuk
serta pelajaran yang bermanfaat bagi penulis. Tugas yang sederhan ini jauhdari sempurna, penulis
mengharapkan kritik atau saran dari pembacaguna untuk memperbaiki kekurangan kekurangan
tugas ini.
Demikian Makalah ini disusun dengan harapan. Mudah-mudahanguna dan manfaat bagi kita
semua khususnya insan pencipta duniapendidikan dan penulis sangat selalu berharap mudah
mudahan allah selalu meridhoi kita semua.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................. i


DAFTAR ISI .......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ................................................................ 1


1.2. Rumusan Masalah ........................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Hukum Pidana ........................................................... 2


2.2. Pengertian Hukum Pidana ............................................. 2
2.3. sejarah Hukum Pidana .................................................... 3
2.4. keadaan Hukum Pidana di Indonesia .............................. 5

BAB III PENUTUP

3.1. Kesimpulan .................................................................... 12


3.2. Saran ............................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................13
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hukum Pidana merupakan bagian dari ranah hukum publik. Hukum Pidana di Indonesia diatur
secara umum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan peninggalan
zaman penjajahan Belanda. KUHP merupakan lex generalis bagi pengaturan hukum pidana di
Indonesia, dimana asas-asas umum termuat dan menjadi dasar bagi semua ketentuan pidana yang
diatur di luar KUHP. Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional mengamanatkan
asas setiap warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Hal ini tidak
terbukti dengan adanya ketidakseimbangan antara perlindungan hukum antara perlindungan
korban kejahatan dengan pelaku kejahatan karena masih sedikitnya hak-hak korban kejahatan
diatur pada perundang-undangan nasional.
Segala aktivitas manusia dalam segala aspek kehidupan sosial, politik, dan ekonomi dapat menjadi
sebab terjadinya kejahatan. Kejahatan akan selalu hadir dalam kehidupan ataupun lingkungan
sekitar, sehingga diperlukan upaya untuk menanganinya. Dengan upaya penanggulangan
kejahatan, diharapkan dapat menekan baik dari kualitas maupun kuantitasnya hingga pada titik
yang paling rendah sesuai dengan keadaannya.
Upaya untuk menekan kejahatan secara garis besar dapat dilalui dengan 2 (dua) cara yaitu, upaya
penal (hukum pidana) dan non penal (di luar hukum pidana). Penanggulangan kejahatan melalui
jalur penal, lebih menitik beratkan pada sifat represif (merupakan tindakan yang diambil setelah
kejahatan terjadi). Pada upaya non penal menitik beratkan pada sifat preventif (menciptakan
kebijaksanaan sebelum terjadinya tindak pidana)

1.2.RUMUSAN MASALAH
a.Apa Pengertian Hukum ?
b.Apa Pengertian Hukum Pidana ?
c.Apa contoh Kasus Hukum Pidana ?

1.3. Tujuan Penulisan


a.utuk Mengetahui Apa yang dimaksud dengan Hukum Pidana.
b.Untuk mengetaui arti Pengertian Hukum terlebih dahulu.
Bab II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum


Hukum adalah sistem peraturan yang diakui oleh suatu negara atau komunitas tertentu sebagai
pengatur tindakan para anggotanya dan yang dapat ditegakkan dengan pengenaan hukuman.
Dalam Kamus Cambridge, hukum adalah aturan, biasanya dibuat oleh pemerintah, yang digunakan
untuk mengatur cara perilaku masyarakat. Hukum diartikan sebagai sistem aturan negara,
kelompok, atau bidang kegiatan tertentu. Hukum juga berarti aturan umum yang menyatakan apa
yang selalu terjadi ketika ada kondisi yang sama.
2.2 Pengertian Hukum Pidana.
Pengertian dari istilah Hukum Pidana berasal dari Belanda yaitu Straafrecht, straafdalam arti
Bahasa Indonesia adalah Sanksi, Pidana, Hukuman.rechtdalam arti Bahasa Indonesia adalah
Hukum. Menurut pakar Hukum dari Eropa yaitu Pompe, menyatakan bahwa Hukum Pidana adalah
keseluruhan aturan ketentuan Hukum mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan
aturan pidananya.
Definisi Menurut para Ahli
Menurut Moeljatno mengatakan bahwa, Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhanhukum
yang berlaku disuatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan
disertai ancaman atausanksi yang berupapidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan
tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar lar
angan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang
yang disangka telah melanggar larangan tersebut.21 Kemudian pengertian istilah pidana menurut
Simons digolongkan
pengertian istilah pidana menurut pendapat dari Satochid Kartanegara bahwa Hukum Pidana dapat
dipandang dari beberapa sudut, yaitu:
1. Hukum Pidana dalam arti Objektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan-
larangan terhadap pelanggarannya diancam dengan hukuman.
2. Hukum Pidana dalam arti Subjektif, yaitu sejumlah peraturan yang mengatur hak Negara untuk
menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang.

2.3 Sejara Hukum Pidana yang diIndonesia

A. ZAMAN VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie)


Pada masa ini selain hukum-hukum adat pidana yang berlaku bagi kaum pribumi di Indonesia,
penguasa VOC mulai memberlakukan plakat-plakat yang berisi hukum pidana. Tahun 1642, Joan
Maetsuycker mantan Hof van Justitie di Batavia yang mendapat tugas dari Gubernur Jenderal van
Diemen merampungkan suatu himpunan plakat-plakat yang dinamakan Statuten van Batavia,
kemudian pada tahun 1650 himpunan ini disahkan oleh Heeren Zeventien. Menurut Utrecht,
hukum yang berlaku di daerah yang dikuasai oleh VOC, ialah :
Hukum statuta yang termuat di dalam Statuten van Batavia
Hukum Belanda Kuno Asas-asas Hukum Romawi
Hubungan hukum Belanda kuno ialah sebagai pelengkap jika statuta tidak dapat menyelesaikan
masalah, hukum Belanda kuno diaplikasikan. Sedangkan hukum Romawi berlaku untuk mengatur
kedudukan hukum budak (Slaven Recht)
Statuta Betawi itu berlaku bagi daerah Betawi dan sekitarnya, Tetapi ini merupakan teori saja
karena pada prakteknya orang pribumi tetap tinduk pada hukum adat. Di daerah lainnya pun tetap
berlaku hukum adat pidana. Campur tangan VOC hanya dalam masalah pidana yang berkaitan
dengan kepentingan dagangnya. Di daerah Cirebon berlaku Papakem Cirebon yang mendapat
pengaruh VOC.

Pada tahun1848 dibentuk lagi intermaire strafbepalingen, barulah pada tahun 1866 muncul
kodifikasi yang sistematis. Mulai tanggal 10 Februari 1866 berlakulah dua KUHP di Indonesia :

Het Wetbook van Starftrecht voor Europeanen (Stbl. 1866 No. 55) yang berlaku bagi golongan
Eropa mulai 1 Januari 1867. Kemudian dengan Ordonansi tanggal 6 Mei 1872 berlaku KUHP
untuk golongan Bumiputera dan Timur Asing.
Het Wetbook van Starftrecht voor Inlands en daarmede gelijkgestelde (Stbl. 1872 No. 85) mulai
berlaku 1 Januari 1873.
B. Zaman Hindia Belanda

Berdasarkan sejaragh dari tahun 1811 sampai 1814 Indonesia pernah dibawah kepemimpinan
Inggris. Berdasarkan Konvensi London 13 Agustus 1814, maka bekas koloni Belanda
dikembalikan kepada Belanda lagi. Dengan Regerings Reglement 1815 dengan tambahan
(Supletoire Instructie 23 September 1815)maka hukum dasar colonial tercipta. Agar tidak terjadi
kesenjangan peraturan, maka dikeluarkan proklamasi 19 Agustus 1816 , Stbl.1816 No. 5 yang
mengatakan bahwa untuk sementara waktu semua peraturan bekas pemerintahan Inggris tetap
dipertahankan. Untuk orang pribumi hukum adat pidana masih diakui asalkan tidak bertentangan
dengan undang-undang dari pemerintah.

Kepada bangasa Indonesia ditetapkan pidana berupa kerja paksa di perkebunan yang didasarkan
pada Stbl. 1828 No. 16, mereka dibagi atas dua golongan, yaitu:

Yang dipidana kerja rantai


Yang dipidana kerja paksa
Yang terdiri atas yang diberi upah dan yang tidak diberi upah[6]. Tetapi dalam prakteknya pidana
kerja paksa dikenakan dengan tiga cara:

Kerja paksa dengan dirantai dan pembuangan


Kerja paksa dengan dirantai tetapi tidak dibuang
Kerja pakasa tanpa rantai tetapi dibuang
KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa tersebut pada dasarnya adalah salinan Code Penal yang
berlaku di Negeri Belanda tetapi berbeda dari sumbernya tersebut, yang berlaku di Indonesia
terdiri atas 2 buku, sedangkan Code Penal terdiri atas 4 buku. KUHP yang berlaku bagi golongan
bumiputera juga saduran dari KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa, tetapi diberi sanksi yang
lebih berat sampai pada KUHP 1918 pun, pidananya lebih berat daripada KUHP Belanda 1886.
Oleh karena itu perlu ditinjau secara sekilas lintas perkembangan kodifikasi di Negeri Belanda.

Pertama kali ada kodifikasi di bidang hukum pidana terjadi sejak adanya Crimineel Wetbook voor
het koninglijk Holland 1809. Kitab undang-undang 1809 memuat ciri modern di dalamnya,
menurut vos, yakni:

Pemberian kebebasan yang besar kepada hakim di dalam pemeberian pidana.


Ketentuan-ketentuan khusus untuk penjahat remaja.
Penghapuaan perampasan umum.
Akan tetapi kodifikasi ini berumur singkat karena masuknya Code Penal Perancis ke Belandatahun
1811.Belanda terus berusaha untuk mengadakan perubahan juga usaha untuk menciptakan KUHP
nasional, tetapi tidak berhasil, kecuali perubahan sebagian.Dengan KB tanggal 28 September 1870
duibentuklah panitia negara yang menyelesaikan rancangan pada tahun 1875.Pada tahun 1879
Menteri Smidt mengirim rancangan tersebut ke Tweede Kamer. Diperdebatkan dalam Staten
Generaal dengan Menteri Moddermanyang sebelumnya adalah anggota panitia negara. Pada
tanggal 3 maret 1881 lahirlah KUHP Belanda yang baru dan berlaku mulai tanggal 1 september
1886. Setelah KUHP baru muncul, barulah KUHP Hindia Belanda, yaitu 1866 dan 1872 yang
banyak persamaan dengan Code Penal Perancis diganti dan disesuaikan dengan KUHP baru,

Berdasarkan asas konkordansi KUHP Belanda harus diberlakukan pula di daerah jajahan seperti
Hindia Belanda. Semula direncanakan tetap ada dua KUHP, masing-masing untuk golongan Eropa
dan Bumiputera. Setelah selesai kedua rancangan tersebut Menteri jajahan Belanda Mr. Idenburg
berpendapat sebaiknya hanya ada satu KUHP di Hindia Belanda. Sesuai usul Mr. Idenburg maka
dibentuklah komisi yang menyelesaikan tugasnya tahun 1913dengan KB tanggal 15 oktober 1915
dan diundangkan pada September 1915nomor 732 lahirlah Wesboek van straftrecht voor
Nederlandsch Indie untuk seluruh golongan penduduk dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1918.
Peralihan dari masa dualisme, yaitu dua macam WvKuntuk dua golongan penduduk menurut
Jonkers lebih bersifat formil daripada materiel.

C. Zaman Pendudukan Jepang


WvSI tetap berlaku pada zaman pendudukan Jepang, hal ini didasarkan pada undang-undang
(Osamu Serei) No. 1 Tahun 1942 yang mulai berlaku tanggal 7 Maret 1942 sebagai peraturan
peralihan Jawa Madura. Jadi hanya pasal-pasal yang menyangkut pemerintah Belanda, misalnya
penyebutan Raja/Ratu yang tidak berlaku lagi. Peraturan ini juga dikeluarkan di daerah selain Jawa
dan Madura.
Dibanding dengan hukum pidana materiel, maka hukum acara pidana lebih banyak berubah,
karena terjadi unifikasi acara dan susunan pengadilan. Ini diatur dalam Osamu Serei No.3 tahun
1942 tanggal 20 September 1942.
D. Zaman Kemerdekaan
Keadaan pada zaman pendudukan Jepang dipertahankan sesudah proklamasi kemedekaan. Pasal
II Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku tanggal 18 Agustus 1945. Untuk memperkuat aturan
peralihan tersebut, maka Presiden mengeluarkan peraturan tanggal 10 Oktober 1945 yang
dinamakan Peraturan No.2. Barulah dengan UU no. 1 Tahun 1946 diadakan perubahan yang
mendasar atas WvSI. Ditentukan dalam UU No.1 Tahun 1946 tersebut bahwa hukum pidana yang
berlaku mulai tahun 1946 ialah hukum pidana yang berlaku tanggal 8 Maret 1942 dengan pelbagai
perubahan dan penambahan yang disesuakan dengan keadaan Negara Republik Indonesia dengan
nama Wetbook van Strafrecht voor NederlandschIndie diubah menjadi Wetbook van Strafrecht
yang dapat disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Tentulah harus diingat bahwa teks asli Wetbook van Strafrecht sampai kini masih dalam bahasa
Belanda , kecuali penambahan-penambhan kemudian sesudah tahun 1946 itu yang teksnya sudah
tentu dalam bahasa Indonesia. Jadi apa yang sering dipegang oleh pelaksana hukum adalah
terjemahan dalam bahasa Indonesia, yang corak ragamnya tergantung pada selera penerjemah.
Sebagai sejarah perlu diingat bahwa Belanda pada tahun 1945 sampai 1949 kembali ke Indonesia
menduduki beberapa wilayah. Untuk wilayah yang diduduki Belanda itu de facto tidak
diberlakukan UU no.1 tahun 1946, kecuali untuk wilayah Sumatera yang diduduki Belanda
sesudah Agresi Militer 1, ditetapkan bahwa peraturan lama masih tetap berlaku (Peraturan RI).
Untuk daerah yang diduduki Belanda tersebut diberlakukan Wetbook van Straftrecht voor
Nederlandsch Indie yang diubah namanya menjadi Wetbook van Strafrecht voor
Indonesieberdasarkan ordonansi tanggal 21 September 1948 Stbl 1948 No.224 mulai berlaku
tanggal 22 September 1948 dan semua kata Nederlandsch Indie di dalam WvS diganti dengan
Indonesie. Kalau pemerintah Republik Indonesia mengubah Wetbook vab Strafrecht Maka
Belanda juga melakukan perubahan-perubahan di dalam Wetbook van Strafrecht voor Indonesie.
Dengan adanya penambahan dan perubahan , maka jumlah pasal dalam WvSI berakhir dengan
pasal 570, sedangkan KUHP hanya 569. Dengan adanya du macam WvS yang berlaku di dua
wilayah yang berbeda ditambah perubahan dan penambahan yang berbeda pula menimbulkan
kerancuan dalam penerapannya. Terlebih dengan perubahan wilayah akibat Agresi Militer I,
menambah wilayah kedudukan Belanda, yang dengan perjanjian Renville 17 januari 1948 disebut
daerah terra Neerlandica.
Dengan Berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 untuk seluruh Indonesia berdasarkan UU No. 73 Tahun
1958, maka hilanglah dualisme berlakunya dua macam hukum pidana di Indonesia.

E. Rancangan KUHP Baru


Keinginan untuk mengadakan kodifikasi KUHP Nasional yang disusun oleh putera Indonesia
sendiri yang sumbernya digali dari bumi Indonesia dengan memperhatikan perkembnagan dunia
modern di bidang hukum pidana sudah lama dicetuskan. Usaha nyata menuju tercapainya
keinginan tersebut antara lain dapat dikemukakan usaha Basaruddin SH dan Iskandar Situmorang
SH yang menyusun Rancangan Buku I KUHP Tahun 1971 dan Buku II KUHP Tahun 1976.
Kemudian sejak tahun 1979 telah dibentuk Tim Pengkajian Hukum Pidana, yang diberikan tugas
menyusun Rancangan KUHP baru oleh Pemerintah (Menteri Kehakiman dalam hal ini Badan
Pembinaan Hukum Nasional). Pada tahun ini disusunlah materi-materi yang diperlukan. Tahun
1980-1981 mulailah disusun Rancangan Buku I yang antara lain juga memakai KUHP lamadan
Rancangan Basaruddin dab rekan sebagai bahan perbandingan. Tahun 1981-1982 konsep
Rancangan Buku I telah diselesaikan dalam arti masih kasar. Pada Tahun 1982 diadakanlah
Lokakarya di BABINKUMNAS membahas rancangan tersebut. Sesudah itu, terus-menerus tim
berkumpul untuk memperhalus rumusan Rancangan Buku I tersebut dan menyususn Rancangan
Buku II sampai Tahun 1985, dan pada tahun ini juga diadakan Lokakarya di tempata yang sama
guna membahas Buku II.
Pada Tahun 1986 diadakan Lokakarya Khusus mengenai sanksi pidana di tempat yang sama. Dan
terakhir Lokakarya mengenai delik komputer dan delik terhadap penyelenggaraan peradilan.
Perbedaan yang mencolok antara Rancangan dan KUHP (lama) ialah rancangan hanya terdiri atas
dua buku sedangkan KUHP (lama) yang sama dengan WvS Belanda terdiri atas tiga buku. Dengan
sendirinya perbedaan antara delik kejahatan dan delik pelanggaran di dalam Rancangan telah
ditiadakan.

2.4.Keadaan Hukum Pidana saat ini DiIndnesia

Kajian dan pemikiran baru hukum pidana saat ini makin perlu guna mengantisipasi perkembangan
masyarakat. Bahkan, dalam perkembangannya, ternyata arus dari persoalan-persoalan itu
menggema dan menghantam teori-teori yang telah diajarkan kepada pembelajar hukum
sebelumnya. Dengan kondisi seperti sekarang ini, tampaknya
Adapun fungsi hukum pidana berguna melindungi kepentingan hukum. Dalam hal ini, yang
dilindungi tidak hanya kepentingan individu, tetapi juga kepentingan masyarakat dan kepentingan
negara.

Selanjutnya, perlu memetakan hukum pidana. Dalam hal ini yang menjadi titik sentral adalah
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946. Undang-undang ini sesuai dengan politik hukum yang
digariskan oleh piagam persetujuan yang menghendaki peraturan Republik Indonesialah yang
harus diberlakukan untuk Indonesia.

Undang-undang tersebut tampaknya perlu dilihat dalam "bestek" waktu itu yang belum dapat
melakukan pembentukan undang-undang hukum pidana baru. Hal ini perlu menyesuaikan dengan
peraturan-peraturan hukum pidana dengan keadaan yang timbul sesudah proklamasi kemerdekaan.

Sebagai bangsa merdeka, sudah semestinya kita juga ingin berbuat dan berpikir merdeka, termasuk
dalam membuat regulasi dan mempraktikkan insitusi negara yang telah direncanakan sebagai suatu
negara yang berdasarkan hukum.

Suatu kenyataan bahwa kondisi kekinian dalam aktivitas kehidupan di dalam masyarakat telah
berubah. Perubahan-perubahan ini terkadang telah begitu jauh melampaui nilai-nilai yang berbeda
dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat sebelumnya.

Pada kenyataannya, perkembangan masyarakat ini menimbulkan dampak positif maupun negatif
jika tidak mengantisipasinya dan menyesuaikan dengan zamannya.

Masalahnya, jika terlalu lama tidak adanya penyesuaian, timbullah kelalaian dalam merombak dan
memperbarui regulasi. Inilah yang pada akhirnya menimbulkan suara-suara yang meragukan
dasar-dasar yang telah digariskan dalam hukum pidana positif maupun meragukan pengaruh
keilmuan hukum pidana baik dalam penerapan hukum pidana itu sendiri yang hidup di atas dasar-
dasar tersebut.perlu memberikan definisi operasional hukum pidana dan fungsi hukum pidana.

2.5 Sistematika Hukum Pidana

Buku I tentang Aturan Umum (Pasal 1 – Pasal 103)


Buku II tentang Kejahatan (Pasal 104 – Pasal 488)
Buku III tentang Pelanggaran (Pasal 499 – Pasal 569)

2.6.Contoh contoh kasus Hukum Pidana

1. Pelajar Pembunuh Begal Terancam Penjara Seumur Hidup.


Beberapa waktu lalu, masyarakat dihebohkan dengan kasus pembunuhan terhadap begal motor.
Lantaran pelaku yang merupakan seorang siswa SMA berinisial ZA (16), menusuk pelaku begal
yang menghadangnya di pinggiran kebun tebu hingga meninggal dunia di lokasi kejadian.
Awalnya ZA dan kekasihnya berpacaran di lokasi kejadian Minggu (8/9) pukul 19.00 WIB.
Mereka diadang empat orang yang memaksa menyerahkan handphone dan sepeda motor. Atas
kasus tersebut ZA ditetapkan sebagai tersangka. ZA pun sudah menjalankan persidangan, dalam
sidang dakwaan dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU), ZA dikenakan dengan pasal 340 KUHP,
338 KUHP, 351 KUHP (3) dan UU darurat pasal 2 (1) dengan ancaman hukuman penjara seumur
hidup. Dakwaan itu dibacakan JPU dalam sidang digelar tertutup di Pengadilan Negeri Kepanjen
pada Selasa (14/1).
2. Pendi, Pembunuh Istri dan Anak di Tangerang Divonis 20 Tahun Penjara.
Muhtar Effendi alias Pendi (62), terdakwa kasus pembunuhan istri dan kedua anaknya, divonis 20
tahun penjara dalam sidang putusan yang digelar di Pengadilan Negeri Tangerang, Rabu
(25/7/2018).
Hakim Ketua Gatot menyatakan, Pendi terbukti bersalah melanggar Pasal 340 KUHP tentang
Pembunuhan Berencana dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
"Menyatakan, terdakwa terbukti melakukan perilaku tindak pidana dengan sengaja dan berencana
terlebih dahulu sehingga merampas nyawa orang lain. Menjatuhkan terdakwa dengan pidana 20
tahun," kata Gatot, saat membacakan putusan di Ruang Sidang 4, PN Tangerang, Rabu.
Vonis ini sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), yang menuntut Pendi dengan pidana
20 tahun penjara.
3. Kasus Penganiayaan, Bahar Smith Dituntut 6 Tahun Penjara.
Jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Cibinong Bogor menuntut Bahar bin Smith hukuman pidana 6
tahun penjara dalam kasus penganiayaan terhadap anak.
Jaksa meyakini Bahar terbukti melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap dua remaja yakni
CAJ (18) dan MKU (17).
"Menuntut majelis hakim menjatuhkan pidana enam tahun pidana penjara kepada terdakwa habib
Bahar bin Smith," kata jaksa saat membacakan surat tuntutan dalam sidang yang digelar
Pengadilan Negeri (PN) Bandung di Gedung Perpustakaan dan Arsip, Kamis (13/6).
Selain itu, jaksa juga menuntut Bahar hukuman denda Rp50 juta yang apabila tidak dibayarkan
diganti kurungan tiga bulan penjara.
Dalam pembacaan tuntutan, jaksa meyakini Bahar terbukti bersalah sesuai pasal Pasal 333 ayat (2)
KUHPidana dan atau Pasal 170 ayat (2) dan Pasal 80 ayat (2) Jo Pasal 76 C Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. "Menyatakan HB Assyaid Bahar terbukti sah dan meyakinkan bersalah
bersama-sama dengan sengaja dan melawan hukum merampas mengakibatkan luka berat dan
terang-terangan melakukan kekerasan terhadap orang dan kekerasan terhadap anak," kata jaksa.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Jadi Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa
yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat
dijatuhkan terhadap yang melakukannya.

SARAN
Hukum pidana Indonesia harus berkembang, karena masyarakat Indonesia pun telah berkembang.
Hanya dengan penjatuhan pidana pokok yang diatur dalam pokok yang diatur dalam Pasal 10
KUHP saja kurang cukup karena hanya unsur pembalasan yang menjadi tujuan pemidanaan.
Dengan pemikiran konsekualis dan pendekatan keadilan restoratif serta dimuatnya pidana kerja
sosial dalam Rancangan KUHP sebagai alternatif jenis pemidanaan yang mengantikan pidana
penjara jangka pendek diharapkan masyarakat Indonesia mendapatkan edukasi dan pembinaan
atas konsekuensi yang akan mereka dapat bila melakukan tindak pidana.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai