Anda di halaman 1dari 17

https://e-kampushukum.blogspot.com/2016/05/sejarah-tata-hukum-di-indonesia.

html

Pengertian Tata Hukum Indonesia


Tata hukum adalah suatu susunan hukum yang asal muasalnya berasal dari istilah recht orde
(Belanda). Susunan hukum itu terdiri atas aturan-aturan hukum yang tertata sedemikian rupa
sehingga orang mudah menemukannya. Dengan demikian Tata tata hukum Indonesia adalah
tata hukum yang ditetapkan oleh pemerintah negara Indonesia.

Sejarah Tata Hukum Indonesia dapat di kelompokkan menjadi dua periode,


meliputi :

I. Periode sebelum kemerdekaan dan,


II. Periode setelah kemerdekaan.

I. Periode Pertama : Tata Hukum Sebelum Kemerdekaan (Sebelum 17 agustus


1945)
o Masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) (1602-1799)
o Masa Besluiten Regerings (1814-1855)
o Masa Regerings Reglement/RR (1855-1926)
o Masa Indische Straatsregeling (1926-1942)
o Masa Jepang (Osamu Seirei) (1942-1945)
II. Periode Kedua : Tata Hukum Setelah kemerdekaan (Setelah 17 agustus 1945)
o Masa UUD 1945 (17 Agustus 1945-26 Desember 1949)
o Masa Konstitusi RIS (27 Desember 1949-16 Agustus 1950)
o Masa UUD Sementara 1950 (17 Agustus 1950-4 Juli 1959)
o Masa Kembali Kepada UUD 1945 (5 Juli 1959-13 Oktober 1999)
o Masa Amandemen (21 Oktober 1999-Sekarang)

Masa VOC :
Sebelum kedatangan orang-orang Belanda pada tahun 1596 di Nusantara,
hukum yang berlaku pada umumnya adalah hukum yang tidak tertulis atau
dikenal dengan sebutan hukum adat.

 Hukum Adat
 Hukum Belanda

VOC Dan Pemberlakuan Hukum Belanda


Masuknya hukum Belanda diawali dengan diberikannya hak octrooi kepada
VOC oleh Staten Generaal, yaitu badan federatif tertinggi negara-negara
Belanda. Dengan hak istimewa tersebut, VOC mulai mendominasi dengan
melakukan monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang,
mengadakan perdamaian, dan mencetak uang.
Berlakunya peraturan VOC secara langsung tidaklah menghapus kaedah
hukum adat yang berlaku. Untuk kepentingan orang pribumi, VOC tetap
memberlakukan hukum adat, akan tetapi dengan melakukan campur tangan di
jenjang peradilan adat.[2] Campurtangan tersebut dilandasi dengan alasan-
alasan, bahwa :

 Sistem hukum pada hukum adat, tidak memadai untuk memaksakan rakyat
menaati peraturan-peraturan;
 Hukum adat kalanya tidak mampu menyelesaikan suatu perkara, karena
persoalan alat-alat bukti;
 adanya tindakan-tindakan tertentu yang menurut hukum adat bukan
merupakan kejahatan, sedangkan menurut hukum positif merupakan tindakan
pidana yang harus diberikan suatu sanksi.[3]

III. Besluiten Regerings


Setelah dilaksanakannya Convention of London antara Inggris dan Belanda
pada tanggal 13 Agustus 1814 di london, penguasaan atas wilayah nusantara
diberikan kepada Belanda oleh Inggris. Menurut pasal 36 Nederlands
Gronwet tahun 1814 (UUD Negeri Belandad 1814) menyarankan bahwa raja
yang berdaulat, secara mutlak mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah-
daerah jajahan dan harta milik negara di bagian-bagian lain.

Dalam rangka melaksanakan pemerintahan di Nederlands Indie (Hindia


Belanda), raja mengangkat Komisaris Jenderal yang terdiri atas Elout, Buyskes,
dan Vander Capellen. Para Komisaris Jenderal itu tidak membuat peraturan
baru untuk mengatur pemerintahannya, dan tetap memberlakukan undang-
undang dan peraturan-peraturan yang berlaku pada masa Inggris berkuasa di
Indonesia, yakni mengenai landrente dan usaha pertanian dan susunan
pengadilan buatan Raffles.

Untuk memenuhi kekosongan kas negara Belanda sebagai akibat dari


pendudukan Prancis tahun 1810-1814, Gubernur Jederal Du Bus de Gesignes
memperlakukan politik agraria dengan cara mempekerjakan para terpidana
pribumi yang dikenal dengan dwangs arbeid (kerja paksa) berdasarkan
pada Staatsblad 1828 Nomor 16, yang dibagi atas dua golongan, yaitu :

1. yang dipidana kerja rantai


2. yang dipidana kerja paksa

Dipidana kerja rantai, ditempatkan dalam suatu tuchtplaats dan akan


dipekerjakan pada openbare werker di Batavia dan Surabaya. Adapun yang
dipidana kerja paksa, baik yang diupah maupun tidak, ditempatkan dalam
suatu werkplaast dan akan dipekerjakan pada land bouweta blissementen yang
dibuat oleh pemerintah.

Berdasarkan kenyataan sejarah di atas dapat dijelaskan bahwa tata hukum


pada masa Busleiten Regerings (BR) terdiri atas peraturan tertulis yang
dikodifikasikan, dan yang tidak dikodifikasikan, serta peraturan tidak tertulis
(hukum adat) yang khusus berlaku bagi orang bukan golongan Eropa.

IV. Regerings Reglement /RR


Di negeri Belanda terjadi perubahan Grond Wet (UUD) pada tahun 1848
sebagai akibat dari pertentangan Staten General (Parlemen) dan raja yang
berakhir dengan kemenangan Parlemen dalam bidang mengelola kehidupan
bernegara.
Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dengan parlemen untuk
mengatur pemerintahan daerah jajahan di Indonesia adalah Regerings
Reglement (RR). RR ini berbentuk undang-undang yang diundangkan
melalui Staatsblad 1855 Nomor 2 yang isinya terdiri atas 8 bab dan 130 pasal
yang mengatur tentang pemerintahan di Hindia Belanda, sehingga RR ini
dianggap sebagai undang-undang dasar pemerintahan jajahan Belanda.
Politik hukum pemerintahan Belanda yang mengatur tentang tata hukum
dicantumkan dalam pasal 75 RR dan asasnya sama sebagaimana termuat dalam
Pasal 11 AB.
Golongan penduduk dalam pasal 75 RR itu diubah dari dua golongan menjadi
tiga golongan, yaitu golongan Eropa, golongan Timur Asing dan golongan
Bumiputera (pribumi).
Pada masa berlakunya RR telah berhasil diundangkan kitab-kitab hukum, yaitu
:

1. Kitab hukum pidana untuk golongan Eropa melalui Staadsblad 1866 Nomor
55 sebagai hasil saduran dari Code Penal yang berlaku di Belanda pada waktu
itu;
2. Algement Politie Strafreglement sebagai tambahan kitab hukum pidana untuk
golongan Eropa tahun 1872 Nomor 85 yang isinya hampir sama dengan Kitab
Hukum Pidana Eropa tahun 1866;
3. Politie Stafreglement bagi orang bukan eropa melalui Staatsblad1872 Nomor
111;
4. Wetboek van Strafrecht diundangkan pada tahun 1915
dengan Staatsblad 1915 Nomor 732 di Hindia Belanda dalam suatu kodifikasi
yang berlaku bagi semua golongan penduduk mulai tanggal 1 Januari 1918.
Masa Indische Straatsregeling (1926-1942);

Pada tanggal 23 Juni 1925 Regerings Reglement (RR) diubah menjadi Indische
Staatsregeling (IS) atau peraturan ketatanegaraan Hindia Belanda yang
termuat dalam Staatsblad (1925) Nomor 415 yang mulai berlaku pada tanggal
1 Januari 1926. Pada masa berlakunya IS tata hukum yang berlaku di Hindia
Belanda adalah pertama-tama yang tertulis dan yang tidak tertulis (Hukum
adat) dan sifatnya masih pluralistis khususnya hukum perdata. Hal ini tampak
pada ketentuan pasal 131 IS yang juga menjelaskan bahwa pemerintah Hindia
Belanda membuka kemungkinan adanya usaha untuk unifikasi hukum bagi
ketiga golongan penduduk Hindia Belanda, yaitu Eropa, Timur Asing dan
Bumiputra (Pribumi) yang ditetapkan dalam Pasal 163 IS.

Dalam penyelenggaraan peradilan, di samping susunan peradilan yang telah


disebutkan di atas juga melaksanakan peradilan lain, yaitu :

1. Pengadilan Swapraja
2. Pengadilan Agama
3. Pengadilan Militer

Berdasarkan Pasal 163 jo. Pasal 131 IS. Maka golongan penduduk dan sistem
hukumnya dapat dilihat dalam matrik di bawah ini.
Golongan Lingkup Sistem Hukum

Eropa  Belanda  Hukum Perdata


 Bukan Belanda tetapi dari Aturan yang berlaku adalah BW
Eropa (Burgerlijk wet boek) dan WvK
 Jepang (Wetboek van Koophandel)
 Lain-lain yang hukum  Hukum Pidana
keluarganya sama dengan Aturan yang berlaku adalah WvS
Belanda, Amerika, Australia (Wetboek van Strafrecht)
dan lainnya  Hukum Acara
 Keturunan dari keempat Acara Perdata menggunakan
golongan di atas (Reglement of de Burgerlijke) dan
Acara Pidana (Reglement of Straf
vor dering)

Timur Asing  Cina  Khusus untuk cina hanya berlaku


hukum perdata (BW dan WvK)
 Bukan Cina (India, Arab)  Untuk warga negara Timur asing
bukan Cina :
o Hukum Perdata
Berlaku hukum adat mereka
(kecuali yang tunduk pada hukum
Eropa)
o Hukum Pidana
Berlaku WvS (Wetboek van
Strafrecht)
o Hukum Acara
Tidak diatur sehingga dapat
mengikuti golongan Eropa
terkadang pribumi

Bumiputera  Indonesia asli  Hukum Perdata


 Keturunan lain yang sudah Aturan yang digunakan adalah
lama menetap di Indonesia Hukum Adat, BW, WvK untuk
sehingga sudah melebur ke beberapa pengecualian
dalam Indonesia asli  Hukum Pidana
aturan yang digunakan adalah
WvS (Wetboek van Strafrecht)
 Hukum Acara
untuk acara perdata aturan yang
digunakan adalah IR (Inlands
Reglement). Sedangkan acara
pidana menggunakan HIR
(Herziene Inlands Reglement)

 Masa Jepang (Osamu Seirei) (1942-1945): Pada masa pendudukan Jepang


pelaksanaan tata pemerintahan di Indonesia berpedoman undang-undang
yang disebut Gun Sirei, melalui Osamu Sirei.

Osamu Sirei itu mengatur segala hal yang diperlukan untuk melaksanakan
pemerintahan, melalui peraturan pelaksana yang disebut Osamu Kanrei.
Peraturan Osamu Seirei berlaku secara umum. Osamu Kanrei sebagai peraturan
pelaksana, isinya juga mengatur hal-hal yang diperlukan untuk menjaga
keamanan dan ketertiban umum.
Berdasarkan Pasal 3 Osamu Seirei tersebut, jelaslah, bahwa hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum Balatentara Jepang
datang ke Indonesia masih tetap berlaku. Dengan demikian, Pasal 131 IS
sebagai pasal politik hukum dan Pasal 163 IS yang mengatur pembagian
golongan penduduk masih tetap berlaku.
Gun Sirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur susunan lembaga peradilan yang
terdiri atas :

1. Tihoo Hooin, berasal dari Landraad (Pengadilan Negeri)


2. Keizai Hooin, berasal dari landgerecht (Hakim Kepolisian)
3. Ken Hooin, berasan dari Regenschap Gerecht (Pengadilan Kabupaten)
4. Gun Hooin, berasal dari District Gerecht (Pengadilan Kewedanaan)
5. Kokyoo Kooto Hooin, berasal dari Hof voor Islami etische Zaken(Mahkamah
Islam Tinggi)
6. Sooyo Hooin, berasal dari Priesteraad (Rapat Agama)
7. Gunsei Kensatu Kyoko, terdiri atas Tihoo Kensatu Kyoko (Kejaksaan
Pengadilan Negeri), berasal dari Paket voor de Landraaden

Masa Setelah Kemerdekaan :

Setelah bangsa Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, saat itu bangsa
Indonesia telah mengambil sikap untuk menentukan nasib sendiri, mengatur
dan menyusun negaranya serta menetapkan tata hukumnya, sehingga pada
tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkanlah Undang-Undang Dasar yang supel dan
elastik dengan sebutan Undang-Undang Dasar 1945.
Bentuk tata hukum dan politik hukum yang akan berlaku masa itu dapat dilihat
pada Pasal 1 dan 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Pasal 1
yang berbunyi :
Segala peraturan peundang-undangan yang telah ada masih tetap berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar Ini
Pasal 2 menyebutkan :
Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk
melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang
baru menurut Undang-Undang Dasar ini

Masa Konstitusi RIS ( 27 Des 1949 – 16 Aug 1950)


Setelah disepakatinya konferensi meja bundar pada tahun 1949, berlakulah
Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS), dan tata hukum yang berlaku
pada waktu itu adalah tata hukum yang terdiri atas peraturan yang dinyatakan
berlaku pada masa 1945-1949 dan produk peraturan baru yang dihasilkan
yang dihasilkan oleh pemerintah Negara Republik Indonesia Serikat selama
kurun waktu 27 Desember 1949 sampai dengan 16 Agustus 1950.
Hal tersebut telah ditentukan dalam Pasal 192 KRIS yang berbunyi :
Peraturan-peraturan, undang-undang, dan ketentuan tata usaha yang sudah
ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku tetap berlaku tidak berubah sebagai
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan RIS sendiri, selama dan sekadar
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau
atas kuasa konstitusi ini.
Masa UUD Sementara ( 17 Aug 1950 – 4 Juli 1959)
Pada tanggal 17 Agustus 1950 bangsa Indonesia kembali ke negara kesatuan,
dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku sampai tanggal
4 Juli 1959. Tata hukum yang berlaku pada masa ini adalah tata hukum yang
terdiri dari semua peraturan yang dinyatakan berlaku berdasarkan Pasal 142
UUDS 1950, dan ditambah dengan peraturan baru yang dibentuk oleh
pemerintah negara selama kurun waktu dari 17 Agustus 1950 sampai dengan
4 Juli 1959.

Masa Kembali ke UUD 1945 (5 Juli – 13 Okt 1999)


Setelah keluarnya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959, Undang-Undang
Dasar Sementara (UUDS) 1950 tidak berlaku lagi, dan kembali berlaku UUD
1945 sampai sekarang.
Pada tahun 1966 diterbitkan Tap MPR terkait tata urutan (hierarki)
perundang-undangan. Hierarki perundang-undangan yang diatur berdasarkan
Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 jo. Ketetapan MPR Nomor
V/MPR/1973 dan TAP No. IX/MPR/1978. Hierarki perundang-undangan yang
dimaksud adalah diurutkan sebagai berikut.

1. Undang-Undang Dasar 1945.


2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
4. Peraturan Pemerintah (PP).
5. Keputusan Presiden (Keppres).
6. Peraturan Pelaksana lainnya seperti :
a. Peraturan Menteri;
b. Instruksi Menteri;
c. dan lain-lain.

Tata urutan tersebut mengandung konsekuensi bahwa peraturan perundang-


undangan yang urutannya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

B. Tujuan Mempelajari Tata Hukum Indonesia


Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tentang tujuan dari belajar hukum itu ialah:
a. Ingin mengetahui peraturan‐peraturan hukum yang berlaku saat ini di suatu wilayah
negara atau hukum positif atau Ius Constitutum.
b. Ingin mengetahui perbuatan‐perbuatan mana yang menurut hukum, dan
perbuatanperbuatan
mana yang melanggar hukum.
c. Ingin mengetahui kedudukan seseorang dalam masyarakat atau hak dan
kewajibannya.
d. Ingin mengetahui sanksi‐sanksi apa yang diderita oleh seseorang bila orang tersebut
melanggar peraturan yang berlaku.
Samidjo, mengatakan bahwa tujuan mempelajari tata hukum Indonesiaadalah mempelajari
hukum yang mencakup seluruh lapangan hukum yang berlaku di Indonesia, baik itu hukum
yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. (Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia

C. Hukum yang berlaku pada Masa Hindia Belanda


Jenis-jenis Hukum atau peraturan perundang-undangan pada zaman pemerintahan Hindia
Belanda antara lain :
1 Reglemen op de Rechterlijke (R.O) atau peraturan organisasi pengadilan.
2 Alegemene Bepalingen Van Wetgeving (A.B) atau ketentuan umum tentang Perundang-
undangan.
3 Burgerlijk Weboek (B.W) dan Wetboek van Koophandel (W.v.K).
4 Reglemen of de Burgerlijk Rechsvordering (R.V) atau peraturan tentang acara perdata (A.P).
5 Wetboek van Straafrecht (W.v.S) atau KUHP ,diundangkan tanggal 1 Januari 1915
berdasarkan Stb.1915-732 berlaku untuk semuaa golongan penduduk Hindia Belanda.
6 Herziene Indonesische Reglement (HIR) = Reglemen Indonesia diperbaharui (RIB).HIR atau
RIB ini berisi hukum acara perdata dan pidana untuk Jawa dan Madura.
7 Rechts Reglement Buitengewesten untuk daerah luar Jawa dan madura diatur dalam
Stb.927-227 pada tanggal 1 juli 1927.

Empat buah Kitab Undang-undang (kodifikasi) yakni : R.O ,A.B ,B.W, W.v.K berlakunya di
Hindia Belanda (Indonesia sekarang) pada tanggal 30 April 1847 berdasarkan Stb.1847-23.
Kitab-kitab hukum tersebut berlakunya di Hindia Belanda (Indonesia) didasarkan atas “asas
konkordansi” atau azas keselarasan, artinya hukum yang berlaku di negara lain (Belanda)
diberlakukan sama di tempat lain (Hindi Belanda).

Azas Konkordansi (Concordantie beginsel) ini diatur dalam pasal 131 ayat (2) Indische
Staatsregeling (I.S).maksud azas konkordansi tersebut adalah bahwa terhadap orang eropa
yang berada di Hindia Belanda (Indonesia) diberlakukan hukum perdata asalnya yaitu hukum
perdata yang berlaku di negeri Belanda.
Berdasarkan pasal 131 ayat (2) I.S tersebut,maka hukum yang berlaku bagi orang-orang
Belanda dan orang-orang yang disamakan dengan golongan penduduk Belanda di Indonesia
harus diberlakukan sama dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda.jadi tidak ada
perbedaan atau diskriminasi pemberlakuan hukum antara penduduk di negeri Belanda
dengan penduduk di Hindia Belanda (Indonesia).
Hukum perdata (B.W) dan hukum dagang (W.v.K) yang mulai berlaku di Indonesia pada
tanggal 1 Mei 1848,sedangkan hukum pidana (W.v.S) mulai berlaku di Hindia Belanda pada
tanggal 1 Januari 1918 dan berlaku untuk umum,dan untuk semua golongan penduduk Hindia
Belanda.
Berlainan dengan hukum pidana (W.v.S) yang di Hindia Belanda diberlakukan terhadap semua
golongan penduduk (secara umum),tetapi untuk hukum perdata barat (B.W dan W.v.K) tidak
demikian.berlakunya didasarkan pada perbedaan (macam-macam golongan penduduk
Hindia Belanda).
Mengenai pembagian golongan penduduk Hindia Belanda (saat itu) dan macam-macam
hukum (perdata dan dagang) yang berlaku untuk masing-masing golongan penduduk diatur
dalam pasal 131 dan pasal 163 Indische Staatsregeling (I.S).

Pasal 131 I.S berasal dari pasal 75 R.R lama (Stb.1855-2).R.R singkatan
dari Reglement op het Beleid der Regering van Nederlands
Indie disingkat Regeringsreglemen, (R.R = Peraturan pemerintah).

R.R lama itu kemudian akhirnya diubah menjadi Indische Staatsregeling (I.S)
Stb.1925-415 dan 416 pada tanggal 23 Juni 1925 yang mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 1926 menurut Stb.1925-577.

Pasal 131 I.S merupakan dasar berlakunya B.W dan W.v.K. di Hindia Belanda
I.S merupakan pedoman politik hukum pemerintah Belanda untuk
memberlakukan hukum-hukum Belanda di Hidia Belanda.

Pasal 131 I.S terdiri dari 6 ayat yang menyatakan :

1. Ayat 1 : Hukum perdata,hukum dagang dan hukum pidana begitu


pula hukum acara perdata dan hukum acara pidana harus diatur
dalam bentuk Undang-undang atau Ordonansi.
2. Ayat 2 : sub a).Terhadap golongan eropa harus diberlakukan
perundang-undangan yang berlaku di negara Belanda dalam bidang
hukum perdata dan hukum dagang bilamana masyarakat
menghendaki. sub b)Terhadap orang Indonesia asli (pribumi) dan
timur asing dapat diberlakukan terhadap hukum eropa dalam
bidang hukum perdata dan hukum dagang bilamana masyarakat
menghendaki.
3. Ayat 3 : Untuk hukum acara perdata dan acara pidana berlaku
ketentuan yang sama seperti mengenai hukum pidana.
4. Ayat 4 : Orang Indonesia asli (pribumi) dan tiimur
asing,diperbolehkan menundukkan diri (Onderwerpen) kepada
hukum eropa baik sebagian atau keseluruhan.ketentuan dan
akibatnya diatur dengan Undang-undang atau Ordonansi.
5. Ayat 5 : Di daerah-daerah yang berlaku hukum adat,berdasarkan
pasal ini dinyatakan tidak berlakunya Ordonansi.
6. Ayat 6 : Hukum adat yang masih berlaku terhadap orang Indonesia
asli (pribumi) dan timur asing masih tetap berlaku selama belum
diatur dalam Undang-undang atau ordonansi.

Politik Hukum Nasional Indonesia

1. Pengertian Politik Hukum Nasional

Politik hukum nasional adalah kebijakan dasar penyelenggara


negara (Republik Indonesia) dalam bidang hukum yang akan,
sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang
berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-
citakan.
Karakteristik politik hukum nasional adalah lebijakan atau arah
yang akan dituju oleh politik hukum nasional dalam masalah
pembangunan hukum nasional. sebagi bentuk dari kristalisasi
kehendak-kehendak rakyat. Untuk itu kita perlu untuk menengok
kembali rumusan politik hukum nasional yang terdapat dalam
GBHN. Pada butir ke-2 TAP MPR No IV/MPR/1999 tentang Garis-
garis Besar Haluan Negara tentang arah kebijakan bidang hukum
dikatakan :

1. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadau


dengan mengakui menghormati hukum agama dan hukum adat
serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan
hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakasilan gender
dan ketidak sesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui
program legislasi.

Berdasarkan kutipan diatas ada beberapa kesimpulan yang dapat


ditarik :
1) sistem hukum naisonal yang dibentuk hendaknya bersifat
menyeluruh dan terpadu
2) sistem hukum nasional yang dibentuk tetap mengakui dan
menghormati eksistensi hukum dan agama adat melakukan
pembaharuan terhadap warisan hukum kolonial dan hukum
nasional yang diskriminatif dan tidak sesuai dengan tujuan
reformasi.

2. Fakta membuktikan bahwa kendati tidak menyebutkan politik


hukum kodifikasi dan unifikasi, pemerintah tetap berupaya
melakukan kebijakan tersebut. hanya saja, seiring dengan
perkembangan sosial-politik dan kesadaran hukum masyarakat,
kebijakan tentang unifikasi hukum mengalami tantangan dari
banyak pihak. setelah menerima kritik yang bertubi-tubi dan
mengalami puncaknya ketika disahkan pemberlakuan peradilan
ISLAM, mahkamah Syar’iyah, di Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam tampaknya ada kecenderungan kuat. Indonesia tidak
lagi menganut politik hukum unifikasi, tetapi telah beralih ke
pluralisme hukum, berbeda debga politik unifikasi yang cenderung
diitinggalkan, politik hukum kodifikasi masi tetap dilakukan.

2. Politik Hukum pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda / Jaman


Kolonial

Buku CST. Kansil hal. 125-127 ( dari yg

3. Politik HUkum Masa Penjajahan Jepang

Jepang adalah sebuah negara yang terletak di Asia Timur. Tiga setengah tahun menjajah
Indonesia merupakan hal yang tak terlupakan bagi Indonesia, karena selama masa
penjajahannya rakyat Indonesia merasa teramat sengsara. Melakukan kerja paksa atau biasa
disebut romusha merupakan hal yang dapat kita lihat di seluruh penjuru negeri. Dengan
sistem paksanya, kediktatorannya membuat Indonesia terkekang bak kalung rantai yang
menjerat leher. Tetapi, masa-masa tersebut adalah sebuah kenyataan sejarah yang tidak
bisa diubah.

Seperti yang kita ketahui bahwa pada tahun 1940-an, ketika berkecamuk Perang Dunia II,
negara Jepang adalah salah satu peserta yang cukup diperhitungkan di dunia terutama
setelah kemenangannya melawan Rusia. Demi memperoleh kemenangan dalam perang
akbar ini, Jepang berusaha mengumpulkan sumber daya manusia dan sumber daya bahan
baku perang dengan cara menginvasi dan ekspansi. Salah satu negara yang berhasil diduduki
Jepang pada masa tersebut adalah Indonesia. Dengan perang sebagai latar belakangnya,
Jepang yang dituntut untuk mengumpulkan sumber daya dalam waktu sesingkat mungkin
dan sebanyak mungkin, memberlakukan sistem “militerisme” dalam masa pendudukannya
di Indonesia. Hal ini bisa terlihat dari pemerintahan yang dipimpin oleh
seorang gunseikanbu yang memerintah seperti dalam dunia tentara dimana
bila gunseikanbu memutuskan “a” maka sampai rakyat jelata di tingkat RT pun harus
mengikuti keputusan “a”. Kebijakan-kebijakan gunseikanbu ini termaktub dalam undang-
undang yang disebut Osamu Shirei
Demi meraih tujuannya dan dalam proses pengejawantahan Osamu Shirei, Jepang
melakukan berbagai propaganda kepada rakyat, antara lain melalui gerakan 3A, Kebijakan
penghapusan Bahasa belanda dan pengembangan Bahasa Indonesia, dan lain-lain. Selain
itu, untuk menyiasati pengendalian pemerintahan di nusantara yang luas digunakanlah
siasat indirect ruler system, dimana Jepang mempergunakan orang-orang yang
dulunya pangreh praja pada masa Belanda sebagai kepanjangan tangan. Jepang pun
menerapkan sistem tonari gumi untuk memobilisasi masa.

Bila kita menengok sedikit lebih ke belakang, maka akan kita temukan bahwa pada masa
penjajahan Belanda sistem birokrasi dibuat seefisien mungkin,disediakan sekolah bagi
pribumi, lembaga hukum khusus bagi pribumi, dan tersedianya Voolkstrad (lembaga
perwakilan bagi pribumi). Semua sistem ini mengarah pada pembagian penduduk menjadi 3
strata : warga Eropa, warga Timur Tengah, dan pribumi. Saat Jepang datang, Semua
perbedaan strata ini langsung dihapuskan. Pemerintah Jepang juga merubah sistem
perundang-undangan dan peradilan.

Perubahan dalam perundang-undangan adalah:

1) Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang
setara, diberlakukan juga untuk seluruh warga. Hal ini memperlihatkan kalau Jepang tidak
meninggikan orang-orang Eropa maupun Timur Tengah.

2) Beberapa peraturan militer disisipkan dalam peraturan perundang-undangan pidana


yang berlaku. Hal ini terkait dengan mendesaknya kebutuhan untuk memperoleh pasokan
sumber daya demi peperangan

Sementara perubahan dalam peradilan adalah :

1) Penghapusan dualisme/pluralisme tata peradilan. Jepang menyamakan peradilan bagi


semua warga tanpa membedakan apakah dia orang pribumi ataukah orang kulit putih.

2) Unifikasi kejaksaan. Atau dalam bahasa lain penyatuan kejaksaan. Kejaksaan yang pada
masa Belanda dipisahkan antara kejaksaan bagi orang Eropa dangan kejaksaan pribumi,
maka pada masa Jepang dijadikan satu dan disamaratakan.

3) Penghapusan pembedaan polisi kota dan pedesaan/lapangan

4) Pembentukan lembaga pendidikan hukum

5) Pengisian secara massif jabatan-jabatan administrasi pemerintahan dan hukum dengan


orang-orang pribumi. Hal ini terkait dengan kurangnya personil Jepang jika dibandingkan
dengan nusantara yang sangat luas, sehingga orang-orang Jepang hanya memegang pucuk-
pucuk kekuasaan sedang yang dibawahnya diisi oleh orang-orang pribumi.

Pada masa penjajahan Jepang, rakyat Indonesia belajar lebih mendalam tentang kemiliteran
dan sisa kemiliteran saat itu masih tetap bisa dilihat hingga sekarang.
E. SUMBER- SUMBER HUKUM

Sumber hukum adalah “segala sesuatu yang menimbulakan aturan-aturan hukum


dan aturan-aturan tersebut memiliki sifat memaksa dan kalau dilanggar akan ada
akibat hukumnya atau yang sering kita sebut sanksi”. Perlu diketahui sumber
hukum dapat dibagi menjadi dua yaitu sumber hukum materil dan dan sumber
hukum formal:

Sumber hukum materil adalah suatu keyakinan atau perasaan hukum individu dan
pendapat umum yang menentukan isi hukum, dengan demikian keyakinan dan
perasaan hukum individu serta pendapat umum merupakan faktor-faktor
pembentukan hukum.
Adapun sumber-sumber hukum formil tersebut dijelaskan secara sederhana sebagai
berikut:
1. UNDANG-UNDANG
adalah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat,
diadakan dan dipelihara oleh negara. Contohnya : Undang - Undang Nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen.

2. KEBIASAAN (KONVENSI)
adalah semua tindakan atau peraturan yang ditaati karena adanya keyakinan bahwa
tindakan atau peraturan itu berlaku sebagai hukum dan dilaksanakan berulang-ulang.
Terdapat kata kunci disini yaitu "Keyakinan" dan dilaksanakan "berulang-ulang", jadi tidak
sembarang kebiasaan dapat menjadi sumber hukum formil.
Keyakinan disini memiliki dua arti, yaitu:
Keyakinan dalam arti materil : adalah tindakan atau peraturan tersebut memuat hukum
yang baik.
Keyakinan dalam arti formil : adalah tindakan atau peraturan tersebut harus diikuti dengan
taat dan baik tanjpa peduli apapun isinya.

Berulang-ulang : kebiasaan ini harus dilakukan berulang-ulang sehingga diikuti oleh orang
lain dan akhirnya menjadi suatu sumber hukum.

3. YURISPRUDENSI
adalah keputusan hakim atau putusan pengadilan terdahulu yang dapat dipakai sebagai
pedoman oleh hakim berikutnya dalam memutuskan suatu perkara.
Hal ini adalah karena hakim juga berperan sebagai :
1) Pembentuk Undang-Undang
2) Pengundang-undang

Berdasarkan Pasal 21 A.B. hakim memiliki tugas :


1) Menerima Perkara;
2) Memeriksa Perkara, dan;
3) Memutuskan Perkara
yaitu semua perkara yang diberikan kepadanya dan tidak boleh menolak setiap perkara
yang diberikan atau diembankan kepadanya.
Jadi hakim harus bersifat "Recht Finding".

4. TRAKTAT
adalah perjanjian antar negara. perjanjian antar negara ini kemudian menjadi sumber
hukum dalam negara dengan syarat:
1) Penetapan isi perjanjian oleh negara-negara peserta,
2) Persetujuan perjanjian tersebut oleh negara-negara peserta,
3) Ratifikasi atau dimasukkan kedalam peraturan perundang-undangan negara peserta
dengan disahkan sebagai undang-undang di masing-masing negara peserta,
4) Pengumuman oleh negara peserta kepada rakyatnya, misalnya jika di Indonesia
dengan meletakkannya di Lembaran Negara dan diumumkan melalui Berita Negara.

5. DOKTRIN
adalah Pendapat Ahli Hukum yang ternama yang mempunyai pengaruh dalam
pengambilan keputusan oleh hakim.
Doktrin ini bisa saja berasal dari buku-buku atau karya para ahli hukum tersebut.

F. JENIS JENIS LAPANGAN HUKUM

Berdasarkan klasifikasi lapangan-lapangan hukum secara tradisional yang sudah dikenal


dibanyak tata hukum (hukum positif) di negara-negara Eropa yang menganut sistem hukum
kontinental (civil law sistem) termasuk juga di negara Belanda dan jajahannya (Hindia
Belanda/Indonesia) dikenal adanya lapangan-lapangan hukum sebagai berikut:

1.Lapangan hukum Publik, antara lain meliputi:

 Hukum Pidana (material) atau (ius poenale/strafrecht/ criminal law) adalah


keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang
dapat dipidana karena melanggar peraturan pidana. Dengan kata lain adalah
keseluruhan peraturan atau norma hukum yang berisi perintah dan larangan, dan
barang siapa yang melanggarnya dapat dijatuhi sanksi pidana;
 Hukum Tata Negara (material) atau (Staatsrecht/Vervassungsrecht atau
Constitutional law/droit constitutionel) adalah keseluruhan peraturan atau norma
hukum yang mengatur tentang dasar dan tujuan negara, bentuk negara, bentuk
pemerintahan, sistem pemerintahan dan pembagian tugas kekuasaan organisasi
negara serta kewenangannya. Singkatnya HTN (material) mengatur
tentang kewajiban dan kewenangan lembaga-lembaga negara yang diatur dalam
konstitusi suatu negara dalam hubungan dengan warganegara dan Hak Asasi
Manusia;
 Hukum Tata Usaha Negara (material) atau (Administratief recht/verwaltungsrecht
atau droit administratif/ administrative law) adalah keseluruhan peraturan atau
norma hukum yang mengatur tentang tatacara atau prosedur aparatur negara dalam
melaksanakan tugas kewajiban penyelenggaraan pemerintahan dalam hubungannya
dengan pelayanan terhadap masyarakat;
 Hukum Internasional (Internationaal recht/internationaal public
recht atau International law/droit international) adalah
keseluruhan peraturan atau norma hukum dan asas-asas hukum
yang mengatur hubungan antara negara dan atau lembaga
internasional;

 Hukum Acara (hukum formal) atau (Proces recht atau Proces
law) adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang
mengatur bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan
hukum material yang dilanggar;

 Hukum Acara Pidana (hukum pidana formal/straf proces recht)
adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang
mengatur prosedur tindakan aparat pelaksana atau penegak
hukum karena diduga terjadi pelanggaran undang-
undang/peraturan pidana. Dengan kata lain adalah keseluruhan
peraturan hukum yang mengatur tentang cara melaksanakan
dan mempertahanan hukum pidana material yang dilanggar;

 Hukum Acara Tata Usaha Negara (HTUN Formal/administratief
proces recht) adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum
yang mengatur tentang cara bagaimana menyelesaikan
sengketa tata usaha negara antara perseorangan atau badan
pribadi dengan pejabat tata usaha negara akibat dilanggarnya
peraturan tata usaha negara; atau hukum yang mengatur tata
cara bersengketa di peradilan tata usaha negara.

 Hukum Acara Tata Negara (HTN formal/ Proces constitusional
law/costitutioneel proces recht) adalah keseluruhan peraturan
atau norma hukum yang mengatur prosedur atau cara untuk
melaksanakan dan mempertahankan HTN material
(konstitusi) bilamanana dilanggar. Hukum Acara Tata Negara di
Indonesia dikenal dengan Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang
mengatur tata cara orang atau badan perdata/publik
mempertahankan dan melaksanakan hak-haknya di Mahkamah
Konstitusi; atau hukum yang mengatur tata cara bersengketa
di Mahkamah Konstitusi.

2.Lapangan Hukum Privat, antara lain meliputi:

 Hukum Perdata (Privaatrecht/Burgerlijk recht atau Private


law), adalah keseluruhan peraturan atau norma
hukum yang mengatur hubungan hukum antara
perseorangan dan atau badan yang mengutamakan
kepentingan pribadi atau individu. Dengan kata lain, hukum
perdata adalah keseluruhan peraturan hukum yang
mengatur hubungan antara kepentingan perseorangan
yang satu dengan kepentingan perseorangan yang lain;

 Hukum Dagang (Handelsrecht atau Kommercial law),
adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang
mengatur hubungan antara perseorangan dan atau badan
di lapangan perdagangan atau bisnis. Hukum dagang ini
merupakan bagian dari hukum privat dalam arti luas;

 Hukum Perdata Internasional (Internationaal Privaatrecht
atau International private law), adalah keseluruhan
peraturan atau norma hukum dan/atau asas-asas
hukum yang mengatur hubungan hukum antara
perseorangan dan/ atau badan pribadi yang mengandung
unsur asing dan mengutamakan kepentingan individu;

 Hukum Acara Perdata (Hukum Perdata Formal/Burgerlijk
Procesrechts) adalah keseluruhan peraturan atau norma
hukum yang mengatur tata cara orang atau badan pribadi
mempertahankan dan melaksanakan hak-haknya di
perdilan perdata; atau keseluruhan peraturan atau hukum
yang mengatur tata cara bersengketa di peradilan perdata
karena adanya pelanggaran hukum perdata material;
 Hukum Acara Peradilan Agama adalah keseluruhan
peraturan atau norma hukum yang mengatur tata cara
orang atau badan perdata mempertahankan dan
melaksanakan hak-haknya di peradilan agama; atau
keseluruhan peraturan atau hukum yang mengatur tata
cara bersengketa di peradilan agama.

Anda mungkin juga menyukai