html
Masa VOC :
Sebelum kedatangan orang-orang Belanda pada tahun 1596 di Nusantara,
hukum yang berlaku pada umumnya adalah hukum yang tidak tertulis atau
dikenal dengan sebutan hukum adat.
Hukum Adat
Hukum Belanda
Sistem hukum pada hukum adat, tidak memadai untuk memaksakan rakyat
menaati peraturan-peraturan;
Hukum adat kalanya tidak mampu menyelesaikan suatu perkara, karena
persoalan alat-alat bukti;
adanya tindakan-tindakan tertentu yang menurut hukum adat bukan
merupakan kejahatan, sedangkan menurut hukum positif merupakan tindakan
pidana yang harus diberikan suatu sanksi.[3]
1. Kitab hukum pidana untuk golongan Eropa melalui Staadsblad 1866 Nomor
55 sebagai hasil saduran dari Code Penal yang berlaku di Belanda pada waktu
itu;
2. Algement Politie Strafreglement sebagai tambahan kitab hukum pidana untuk
golongan Eropa tahun 1872 Nomor 85 yang isinya hampir sama dengan Kitab
Hukum Pidana Eropa tahun 1866;
3. Politie Stafreglement bagi orang bukan eropa melalui Staatsblad1872 Nomor
111;
4. Wetboek van Strafrecht diundangkan pada tahun 1915
dengan Staatsblad 1915 Nomor 732 di Hindia Belanda dalam suatu kodifikasi
yang berlaku bagi semua golongan penduduk mulai tanggal 1 Januari 1918.
Masa Indische Straatsregeling (1926-1942);
Pada tanggal 23 Juni 1925 Regerings Reglement (RR) diubah menjadi Indische
Staatsregeling (IS) atau peraturan ketatanegaraan Hindia Belanda yang
termuat dalam Staatsblad (1925) Nomor 415 yang mulai berlaku pada tanggal
1 Januari 1926. Pada masa berlakunya IS tata hukum yang berlaku di Hindia
Belanda adalah pertama-tama yang tertulis dan yang tidak tertulis (Hukum
adat) dan sifatnya masih pluralistis khususnya hukum perdata. Hal ini tampak
pada ketentuan pasal 131 IS yang juga menjelaskan bahwa pemerintah Hindia
Belanda membuka kemungkinan adanya usaha untuk unifikasi hukum bagi
ketiga golongan penduduk Hindia Belanda, yaitu Eropa, Timur Asing dan
Bumiputra (Pribumi) yang ditetapkan dalam Pasal 163 IS.
1. Pengadilan Swapraja
2. Pengadilan Agama
3. Pengadilan Militer
Berdasarkan Pasal 163 jo. Pasal 131 IS. Maka golongan penduduk dan sistem
hukumnya dapat dilihat dalam matrik di bawah ini.
Golongan Lingkup Sistem Hukum
Osamu Sirei itu mengatur segala hal yang diperlukan untuk melaksanakan
pemerintahan, melalui peraturan pelaksana yang disebut Osamu Kanrei.
Peraturan Osamu Seirei berlaku secara umum. Osamu Kanrei sebagai peraturan
pelaksana, isinya juga mengatur hal-hal yang diperlukan untuk menjaga
keamanan dan ketertiban umum.
Berdasarkan Pasal 3 Osamu Seirei tersebut, jelaslah, bahwa hukum dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum Balatentara Jepang
datang ke Indonesia masih tetap berlaku. Dengan demikian, Pasal 131 IS
sebagai pasal politik hukum dan Pasal 163 IS yang mengatur pembagian
golongan penduduk masih tetap berlaku.
Gun Sirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur susunan lembaga peradilan yang
terdiri atas :
Setelah bangsa Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, saat itu bangsa
Indonesia telah mengambil sikap untuk menentukan nasib sendiri, mengatur
dan menyusun negaranya serta menetapkan tata hukumnya, sehingga pada
tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkanlah Undang-Undang Dasar yang supel dan
elastik dengan sebutan Undang-Undang Dasar 1945.
Bentuk tata hukum dan politik hukum yang akan berlaku masa itu dapat dilihat
pada Pasal 1 dan 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Pasal 1
yang berbunyi :
Segala peraturan peundang-undangan yang telah ada masih tetap berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar Ini
Pasal 2 menyebutkan :
Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk
melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar dan belum diadakan yang
baru menurut Undang-Undang Dasar ini
Empat buah Kitab Undang-undang (kodifikasi) yakni : R.O ,A.B ,B.W, W.v.K berlakunya di
Hindia Belanda (Indonesia sekarang) pada tanggal 30 April 1847 berdasarkan Stb.1847-23.
Kitab-kitab hukum tersebut berlakunya di Hindia Belanda (Indonesia) didasarkan atas “asas
konkordansi” atau azas keselarasan, artinya hukum yang berlaku di negara lain (Belanda)
diberlakukan sama di tempat lain (Hindi Belanda).
Azas Konkordansi (Concordantie beginsel) ini diatur dalam pasal 131 ayat (2) Indische
Staatsregeling (I.S).maksud azas konkordansi tersebut adalah bahwa terhadap orang eropa
yang berada di Hindia Belanda (Indonesia) diberlakukan hukum perdata asalnya yaitu hukum
perdata yang berlaku di negeri Belanda.
Berdasarkan pasal 131 ayat (2) I.S tersebut,maka hukum yang berlaku bagi orang-orang
Belanda dan orang-orang yang disamakan dengan golongan penduduk Belanda di Indonesia
harus diberlakukan sama dengan hukum yang berlaku di negeri Belanda.jadi tidak ada
perbedaan atau diskriminasi pemberlakuan hukum antara penduduk di negeri Belanda
dengan penduduk di Hindia Belanda (Indonesia).
Hukum perdata (B.W) dan hukum dagang (W.v.K) yang mulai berlaku di Indonesia pada
tanggal 1 Mei 1848,sedangkan hukum pidana (W.v.S) mulai berlaku di Hindia Belanda pada
tanggal 1 Januari 1918 dan berlaku untuk umum,dan untuk semua golongan penduduk Hindia
Belanda.
Berlainan dengan hukum pidana (W.v.S) yang di Hindia Belanda diberlakukan terhadap semua
golongan penduduk (secara umum),tetapi untuk hukum perdata barat (B.W dan W.v.K) tidak
demikian.berlakunya didasarkan pada perbedaan (macam-macam golongan penduduk
Hindia Belanda).
Mengenai pembagian golongan penduduk Hindia Belanda (saat itu) dan macam-macam
hukum (perdata dan dagang) yang berlaku untuk masing-masing golongan penduduk diatur
dalam pasal 131 dan pasal 163 Indische Staatsregeling (I.S).
Pasal 131 I.S berasal dari pasal 75 R.R lama (Stb.1855-2).R.R singkatan
dari Reglement op het Beleid der Regering van Nederlands
Indie disingkat Regeringsreglemen, (R.R = Peraturan pemerintah).
R.R lama itu kemudian akhirnya diubah menjadi Indische Staatsregeling (I.S)
Stb.1925-415 dan 416 pada tanggal 23 Juni 1925 yang mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 1926 menurut Stb.1925-577.
Pasal 131 I.S merupakan dasar berlakunya B.W dan W.v.K. di Hindia Belanda
I.S merupakan pedoman politik hukum pemerintah Belanda untuk
memberlakukan hukum-hukum Belanda di Hidia Belanda.
Jepang adalah sebuah negara yang terletak di Asia Timur. Tiga setengah tahun menjajah
Indonesia merupakan hal yang tak terlupakan bagi Indonesia, karena selama masa
penjajahannya rakyat Indonesia merasa teramat sengsara. Melakukan kerja paksa atau biasa
disebut romusha merupakan hal yang dapat kita lihat di seluruh penjuru negeri. Dengan
sistem paksanya, kediktatorannya membuat Indonesia terkekang bak kalung rantai yang
menjerat leher. Tetapi, masa-masa tersebut adalah sebuah kenyataan sejarah yang tidak
bisa diubah.
Seperti yang kita ketahui bahwa pada tahun 1940-an, ketika berkecamuk Perang Dunia II,
negara Jepang adalah salah satu peserta yang cukup diperhitungkan di dunia terutama
setelah kemenangannya melawan Rusia. Demi memperoleh kemenangan dalam perang
akbar ini, Jepang berusaha mengumpulkan sumber daya manusia dan sumber daya bahan
baku perang dengan cara menginvasi dan ekspansi. Salah satu negara yang berhasil diduduki
Jepang pada masa tersebut adalah Indonesia. Dengan perang sebagai latar belakangnya,
Jepang yang dituntut untuk mengumpulkan sumber daya dalam waktu sesingkat mungkin
dan sebanyak mungkin, memberlakukan sistem “militerisme” dalam masa pendudukannya
di Indonesia. Hal ini bisa terlihat dari pemerintahan yang dipimpin oleh
seorang gunseikanbu yang memerintah seperti dalam dunia tentara dimana
bila gunseikanbu memutuskan “a” maka sampai rakyat jelata di tingkat RT pun harus
mengikuti keputusan “a”. Kebijakan-kebijakan gunseikanbu ini termaktub dalam undang-
undang yang disebut Osamu Shirei
Demi meraih tujuannya dan dalam proses pengejawantahan Osamu Shirei, Jepang
melakukan berbagai propaganda kepada rakyat, antara lain melalui gerakan 3A, Kebijakan
penghapusan Bahasa belanda dan pengembangan Bahasa Indonesia, dan lain-lain. Selain
itu, untuk menyiasati pengendalian pemerintahan di nusantara yang luas digunakanlah
siasat indirect ruler system, dimana Jepang mempergunakan orang-orang yang
dulunya pangreh praja pada masa Belanda sebagai kepanjangan tangan. Jepang pun
menerapkan sistem tonari gumi untuk memobilisasi masa.
Bila kita menengok sedikit lebih ke belakang, maka akan kita temukan bahwa pada masa
penjajahan Belanda sistem birokrasi dibuat seefisien mungkin,disediakan sekolah bagi
pribumi, lembaga hukum khusus bagi pribumi, dan tersedianya Voolkstrad (lembaga
perwakilan bagi pribumi). Semua sistem ini mengarah pada pembagian penduduk menjadi 3
strata : warga Eropa, warga Timur Tengah, dan pribumi. Saat Jepang datang, Semua
perbedaan strata ini langsung dihapuskan. Pemerintah Jepang juga merubah sistem
perundang-undangan dan peradilan.
1) Kitab UU Hukum Perdata, yang semula hanya berlaku untuk golongan Eropa dan yang
setara, diberlakukan juga untuk seluruh warga. Hal ini memperlihatkan kalau Jepang tidak
meninggikan orang-orang Eropa maupun Timur Tengah.
2) Unifikasi kejaksaan. Atau dalam bahasa lain penyatuan kejaksaan. Kejaksaan yang pada
masa Belanda dipisahkan antara kejaksaan bagi orang Eropa dangan kejaksaan pribumi,
maka pada masa Jepang dijadikan satu dan disamaratakan.
Pada masa penjajahan Jepang, rakyat Indonesia belajar lebih mendalam tentang kemiliteran
dan sisa kemiliteran saat itu masih tetap bisa dilihat hingga sekarang.
E. SUMBER- SUMBER HUKUM
Sumber hukum materil adalah suatu keyakinan atau perasaan hukum individu dan
pendapat umum yang menentukan isi hukum, dengan demikian keyakinan dan
perasaan hukum individu serta pendapat umum merupakan faktor-faktor
pembentukan hukum.
Adapun sumber-sumber hukum formil tersebut dijelaskan secara sederhana sebagai
berikut:
1. UNDANG-UNDANG
adalah suatu peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat,
diadakan dan dipelihara oleh negara. Contohnya : Undang - Undang Nomor 8 tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen.
2. KEBIASAAN (KONVENSI)
adalah semua tindakan atau peraturan yang ditaati karena adanya keyakinan bahwa
tindakan atau peraturan itu berlaku sebagai hukum dan dilaksanakan berulang-ulang.
Terdapat kata kunci disini yaitu "Keyakinan" dan dilaksanakan "berulang-ulang", jadi tidak
sembarang kebiasaan dapat menjadi sumber hukum formil.
Keyakinan disini memiliki dua arti, yaitu:
Keyakinan dalam arti materil : adalah tindakan atau peraturan tersebut memuat hukum
yang baik.
Keyakinan dalam arti formil : adalah tindakan atau peraturan tersebut harus diikuti dengan
taat dan baik tanjpa peduli apapun isinya.
Berulang-ulang : kebiasaan ini harus dilakukan berulang-ulang sehingga diikuti oleh orang
lain dan akhirnya menjadi suatu sumber hukum.
3. YURISPRUDENSI
adalah keputusan hakim atau putusan pengadilan terdahulu yang dapat dipakai sebagai
pedoman oleh hakim berikutnya dalam memutuskan suatu perkara.
Hal ini adalah karena hakim juga berperan sebagai :
1) Pembentuk Undang-Undang
2) Pengundang-undang
4. TRAKTAT
adalah perjanjian antar negara. perjanjian antar negara ini kemudian menjadi sumber
hukum dalam negara dengan syarat:
1) Penetapan isi perjanjian oleh negara-negara peserta,
2) Persetujuan perjanjian tersebut oleh negara-negara peserta,
3) Ratifikasi atau dimasukkan kedalam peraturan perundang-undangan negara peserta
dengan disahkan sebagai undang-undang di masing-masing negara peserta,
4) Pengumuman oleh negara peserta kepada rakyatnya, misalnya jika di Indonesia
dengan meletakkannya di Lembaran Negara dan diumumkan melalui Berita Negara.
5. DOKTRIN
adalah Pendapat Ahli Hukum yang ternama yang mempunyai pengaruh dalam
pengambilan keputusan oleh hakim.
Doktrin ini bisa saja berasal dari buku-buku atau karya para ahli hukum tersebut.