Buku Ajar ini adalah sebagai salah satu penuntun dalam mengenalkan kepada peserta didik
terhadap kajian Politik Hukum Indonesia dalam dinamika perkembangannya. Segala materi
yang terangkum di dalamnya diakumulasi dari berbagai pandangan para pakar hukum yang
turut memberikan sumbangsih pemikiran tentang laju eksistensi hukum tanah air. Refleksi
teoritis mengenai Politik Hukum dicoba disepadankan dengan realita implementasi penerapan
Politik Hukum secara praktis pada dinamika di lapangan.
Sebagaimana upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) di bidangnya yang
tengah terus menerus digalakkan, seiring dengan itu keberadaan Buku Ajar ini nantinya juga
harus mampu relevan keberlakuannya dalam menjembatani kebutuhan belajar peserta didik.
Oleh karena itu untuk penyempurnaan Buku Ajar ini, ke depannya berbagai macam kritik dan
saran sangat penulis harapkan untuk pembangunan khasanah wawasan dan kedalaman materi
Buku Ajar Politik Hukum.
PENDAHULUAN
Pergerakan dan perkembangan masyarakat merupakan seni kehidupan yang dapat
dinikmati sepanjang masa. Riak dan desah nafas masyarakat senantiasa menghadirkan nuansa
tersendiri bagi insan-insan yang hidup di dalamnya. Di dalam masyarakat, lembaga hukum
merupakan satu diantara banyak institusi yang ada dan difungsikan bagi penciptaan ketertiban
umat manusia. Hukum merupakan suatu kaidah dalam masyarakat yang membingkai tingkah
laku masyarakat dalam hubungannya dengan sesama. Ditinjau dari kelahiran hukum dalam
masyarakat nampaknya kata Ubisosiates ibi ius yang berarti dimana ada masyarakat di sana
ada hukum. Hal ini mencerminkan bahwa hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat,
maka ada alasan pula untuk mengatakan bahwa sumber hukum adalah masyarakat. Tetapi hal
ini masih memerlukan penjelasan lebih lanjut , yang dimaksud masyarakat disini adalah
hubungan individu dengan individu dan individu dengan masyarakat dalam kehidupan bersama
(bermasyarakat). Inipun masih belum selesai. Sumber hukum sebenarnya adalah kesadaran
masyarakat tentang apa yang dirasakan adil dalam mengatur hidup kemasyarakatan yang aman
dan damai. Oleh, von Savigny (1779-1861), bahwa hukum itu ditentukan secara historis :
hukum tumbuh dari kesadaran hukum bangsa di suatu tempat dan pada waktu tertentu ( Das
Recht Wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem Volke).
Jadi, sumber hukum tersebut harus mengalir aturan-aturan hidup (kaidah-kaidah hidup)
yang adil dan sesuai dengan perasaan atau kesadaran masyarakat yang dapat menciptakan
suasana damai dan teratur karena kepentingan mereka diperhatikan atau dilindungi. Hukum
sebagai suatu lembaga kemasyarakatan (social institution), berdiri berdampingan dengan
lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya dan saling pengaruh mempengaruhi.
Hal ini demikian adanya, sebab melihat realita sosial yang terjadi di lapangan, kalau
diamati dari perspektif Hukum Positif Indonesia, dalam artian hukum yang dipelajari dan
dijadikan objek ilmu pengetahuan ternyata prosedur pelaksanaan hukum pra reformasi masih
ditentukan oleh dominasi Politik Pembangunan Nasional yang dilaksanakan oleh pemerintah
yang sarat mengutamakan kepentingan pemerintah. Bukan sebaliknya perduli terhadap
kepentingan rakyat banyak. Pada masa reformasi cara-cara seperti ini sudah mulai ditentang
karena dianggap bersifat konservatif akan tetapi dalam pengimplementasiannya masih terjadi
kelemahan akibat bangsa Indonesia belum mampu memformat mentalitet perangkat hukum
yang responsif di dalam menerapkan hukum yang betul-betul populis dan mendasarkan diri
pada kepastiaan, kemanfaatan dan keadilan yang bersumber dari masyarakat. Terutama di
negara berkembang seperti di Indonesia, faktor pejabat hukum tersebut penting oleh karena
merekalah yang merupakan Pattern Setting Group. Hal ini dapat tercapai bila legal and
political aspirations integrated, access enlarged by integration of legal and social advocacy.
Langkah seperti ini, merupakan langkah bijak bagi kita untuk menjadikan hukum itu
betul-betul mengakomodir kepentingan rakyat ke depannya. Sehingga sebagai foundasi dasar,
kita menjadikan pedoman segala bentuk kekurangan tidak lain dan tidak bukan yakni ujung-
ujungnya bertujuan untuk mengungkap permasalahan yang selama ini menjadi hambatan bagi
mereka yang mendambakan suatu perubahan dan sudah pasti disesuaikan dengan dinamika
perkembangan masyarakat. Perubahan pada diri hukum ini sesungguhnya berfungsi
menjembatani keinginan-keinginan manusia agar tidak timbul perilaku yang anarkhis, destruktif,
kondisi chaos, yang sangat melelahkan masyarakat kita, terutama masyarakat kelas bawah atau
grass root. Perubahan terjadi pada hukum di dalam masyarakat adalah persoalan
kemasyarakatan , persoalan sosiologis, yang tidak dapat steril dari kekuasaan politik, keinginan
pribadi, faktor ekonomi dan sebagainya. Hukum sebagai kendali atau kontrol sosial dalam
pembentukan hukum di dalam masyarakat.
Asumsi dasar yang dipergunakan dalam kajian ini, adalah hukum merupakan produk
politik sehinggga setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh imbangan
atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Asumsi ini dipilih berdasarkan kenyataan bahwa
setiap produk hukum merupakan keputusan politik sehingga sebagai kristalisasi dari pemikiran
politik yang saling berinteraksi di kalangan para politisi. Meskipun dari sudut das sollen ada
pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, kajian ini melihat sudut das
sein atau empiriknya bahwa hukumlah yang pada kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi
politik yang melatar belakanginya. Menurut Mahfud, persoalan yang perlu dikaji di Indonesia
diantara konfigurasi politik dan produk hukum mana yang lebih diutamakan mengingat kondisi
Indonesia masih dalam keadaan transisi? Namun sudah sewajarnyalah karena pada masa
transisi ini ketertiban dan keamanan yang menjadi orientasi utama. Sehingga konfigurasi
politiknya lebih memperoleh apresiasi yang tinggi yang penjustifikasiannya cenderung dari
penguasa yang bersifat otoriter. Akan tetapi perlu diingat keotoriteran penguasa sifatnya hanya
sementara, sehingga setelah masa transisi dapat dipulihkan barulah akan mengarah pada
hukum yang responsif yang mengarah pada Pembangunan Peraturan Perundang-undangan.
Akibatnya, hukum sering dikesampingkan demi kepentingan politik, terutama bila negara
disibukkan oleh pembenahan politik secara mendasar seperti menjaga status quo dan
stabilitas.Pemerintahan demikian diistilahkan dengan pemerintahan yang Heavy Executive.
Dengan demikian, dapat dipahami jika terjadi kecenderungan bahwa hukum diproduk dalam
rangka memfasilitasi dan mendukung politik. Adagium Actonian (Lord Acton) yang masyhur
mengatakan, power tend to corrupt, absolutely power tend to corrupt, yang seharusnya dikenal
sebagai praktik masa lalu karena hukum belum ada, penguasa masih sangat kuat-otoriter,
justru di masa kini dijadikan pembenar. Artinya siapa yang berkuasa maka dia akan
mendapatkan peluang untuk berkorupsi sebesar kekuasaannya itu sendiri. Akibatnya, segala
peraturan dan produk hukum yang dinilai tidak dapat mewujudkan stabilitas politik dan
pertumbuhan ekonomi harus diubah atau dihapuskan. Dengan demikian, sebagai produk politik,
hukum dapat dijadikan penguasa. Dalam kenyataan, kegiatan legislatif (pembuatan UU)
memang lebih banyak memuat keputusan-keputusan politik dari pada menjalankan pekerjaan-
pekerjaan hukum yang sesungguhnya sehingga lembaga legislatif lebih dekat dengan politik
daripada hukum.
Sementara itu, dalam buku yang berjudul Law and Society in Transition : Toward
Responsive Law, Nonet dan Zelznick mengemukakan tiga tipe tatanan hukum yang hingga
derajat tertentu mengungkapkan perkembangan (evolusi) tatanan hukum dalam masyarakat
yang sudah terorganisasi secara politik dalam bentuk negara. Tiga tipe tatanan hukum itu
adalah Tatanan Hukum Represif, Tatanan Otonomius dan Tatanan Hukum Responsif. Tatanan
Hukum Represif, yang mendahului dua tatanan lainnya, muncul atau diperlukan untuk
menyelesaikan berbagai masalah fundamental dalam mendirikan tatanan politik yang
merupakan prasyarat bagi sistem hukum dan sistem politik mencapai sasaran-sasaran yang
tinggi. Tatanan Hukum Represif. Tatanan Hukum Responsif bertumpu pada constitutional
cornerstones tahap Rule of Law yang dihasilkan Tatanan Hukum Otonomius.
Ini berarti bahwa perubahan strategi dalam hukum di Indonesia senantiasa terjadi sesuai
dengan konfigurasi politik dan produk hukum yang dikembangkan. Berkaitan erat dengan
tujuan yang hendak dicapai oleh penerapan hukum dalam kerangka upaya untuk
merealisasikan tujuan nasional yang tidak lain adalah merupakan tujuan negara itu sendiri. Oleh
karenanya, karena merupakan perantara untuk mencapai tujuan nasional pada Alenia IV sesuai
dengan legal policy, jadi hukum diarahkan untuk mencapai tujuan nasional. Bukan sebagai
instrument atau sarana penguasa untuk menguatkan keinginan penguasa sehingga bersifat
ortodok atau otoriter dengan kata lain bersifat konvensional. Akan tetapi nilai terpenting yang
perlu diakomodir di sini adalah hukum yang orientasinya mengarah pada cita hukum
(Rechtidee) yang meliputi : (1).mengarahkan pada hukum positif, (2).menilai apakah hukum
positif itu mewujudkan keadilan ?. Karena pemerintah bukan berasal dari langit tetapi dari
masyarakat sendiri (ulil amri min kum) maka masyarakat boleh memprotes pemerintahnya
apabila melakukan dekadensi.
Sebagaimana kita telah ketahui bersama, bahwa upaya penegakan merupakan salah satu
usaha untuk menciptakan tata tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu
merupakan usaha penegakan maupun merupakan usaha pemberantasan atau pemindahan oleh
terjadinya pelanggaran hukum, atau dengan kata lain baik secara preventif maupun represif.
Apabila Undang-undang yang menjadi dasar hukum bagi gerak langkah serta tindakan dari para
penegak hukum kurang sesuai dengan dasar falsafah negara dan pandangan hidup bangsa kita,
maka harus barang tentu penegakan hukum tidak akan mencapai sasarannya. Dalam
menegakkan hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu : Idee Desrechts,
meliputi : kepastian hukum (Rechtssicicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit dan keadilan
(Gerectigkeit).
Upaya pembaruan tatanan hukum itu haruslah tetap menjadikan Pancasila sebagai
paradigmanya, sebab Pancasila yang berkedudukan sebagai dasar, idiologi, cita hukum, dan
norma fundamental negara harus dijadikan oreintasi ke arah, sumber nilai-nilai, dan karenanya
juga kerangka kerangka berpikir dalam setiap upaya pembaruan hukum. Tidak efektifnya
hukum dalam memainkan fungsi dan perannya di Indonesia saat ini bukan disebabkan oleh
penyimpangan paradigma Pancasila sebagai paradigma tetapi sebaliknya disebabkan oleh
penyimpangan dari paradigma Pancasila itu. Di dalam kenyataannya memang tidak ada
kesimpulan dari hasil studi di mana pun yang merekomendasikan perubahan atau penggantian
Pancasila sebagai modus vivendi dengan berbagai kedudukan tersebut. Hal yang banyak
muncul justru tuntutan agar kehidupan hukum ditata kembali sesuai dengan nilai-nilai tersebut
dapat menyentuh UUD 1945 sebagai hukum dasar dan semua peraturan perundang-undangan
yang ada di bawahnya.
Jadi, eksistensi politik hukum sekarang tidak lagi berorientasi pada pembangunan hukum
sebab akan mengarah pada pembangunan ekonomi yang bersifat konservatif / otoriter. Hal ini
memungkinkan tatanan hukum kita menyesuaikan diri pada tatanan masyarakat yang berubah,
menjadi tujuan pengaturan hukum. Untuk itu, keberadaan hukum sekarang difokuskan pada
pembangunan peraturan perundang-undangan seperti yang nampak dalam UU No.10 tahun
2004. Aspek-aspek filosofis dari hukum seperti, kepastian hukum (legal certainty), nilai
kemanfaatan (utility) dan keadilan (justice) menjadi bagian penting dari roh norma hukum
yang ada, baik dalam UUD 1945, peraturan perundang-undangan, dan aturan lain yang sejenis.
Mencari model penyusunan peraturan perundang-undangan yang demokratis, diharapkan dapat
menghasilkan kondisi hukum yang responsif.
Bidang-bidang apa yang perlu diatur dalam kehidupan masyarakat yang sedang
membangun, dapat dibedakan ke dalam :30
Bidang kehidupan yang bersifat pribadi yang erat berhubungan dengan kehidupan budaya
dan spiritual masyarakat (= sensitive), dan ;
Bidang kehidupan yang bersifat netral dari sudut budaya dan spiritual keagamaan.
Menurut paham dari beberapa kajian literatur, sebenarnya merupakan suatu keuntungan
bagi konstitusi di Indonesia mengingat posisinya termasuk bidang kehidupan yang netral,
sehingga dari segi sosiologi pelaksanaannya tidak akan banyak mendapat rintangan/hambatan.
Tinggal itikad baik yang harus tertanam pada para politisi yang memegang kekuasaan dan para
penyelenggara negara yang melaksanakannya.
Mengingat cakupan konstitusi Indonesia sangat luas dalam berbagai kehidupan masyarakat
sehingga akan memasuki lapangan-lapangan hukum lainnya, maka kodifikasi sektoral31
merupakan jalan keluar yang dapat dipertimbangkan dalam usaha mengembangkan konstitusi
sesuai dengan Pola Pembinaan Hukum Nasional diatas.
Perlindungan sebelum tindakan terjadi (preventif) dapat dibuat dan berwujud suatu
kewajiban terhadap administrasi untuk memperhatikan asas-asas hukum dan asas-asas
pemerintahan umum yang baik, sedangkan perlindungan hukum setelah terjadi melalui
tindakan yang terukur atau repressive terukur agar keseimbangan tatanan masyarakat yang
semula terganggu harus dikembalikan seperti semula (restutio in entegrum) yang diberikan
dengan bentuk pemilihan kepada keadaan semula melalui peradilan administrasi atau peradilan
umum dalam hal bertindak secara berkeadilan.
Akhirnya kita kembali pada pernyataan Penjelasan UUD 1945, pelaksanaan negara hukum
Pancasila akan bergantung juga kepada semangat dan iktikad yang baik dari para
penyelenggara Negara dan para politisi. Dengan kata lain sebaik apapun sistem dan konstitusi
yang dibuat tapi tidak dilandasi kemauan dan iktikad yang baik dari para penyelenggara Negara
dan para politisi maka konstitusi dan aturan perundang-undangan yang telah dibuat hanyalah
dogmatika semata dalam formalitas hukum.
Oleh karena itu, bahwasannya untuk memantapkan kajian dan pemahaman peserta didik
mengenai mata kuliah politik hukum sangatlah penting di belajarkan di Jurusan PPKn dalam
kerangka upaya mengarahkan peserta didik dalam pembangunan dan pembinaan hukum yang
melibatkan partisipasi segenap peserta didik sebagai insan warga negara yang kapasitasnya
adalah merupakan subjek sekaligus objek pembangunan hukum sehingga format politik
hukum/pembangunan hukum nasional tidak hanya dipetakan oleh kalangan top down tapi
kalangan updown juga dibukakan peluang untuk dilibatkan dengan memberikan kontribusi
terutama dalam 4 poin penting yang harus diperhatikan kalau berbicara tentang hukum seperti:
1).Law Making Process,2).Legal Product of Norms,3).Law Implementation/Application dan
4).Law Enforcement.
Politik Hukum sebagai satu mata kuliah yang berdiri sendiri masih relatif asing di
lingkungan fakultas Hukum di Indonesia. Hingga sekarang pada Strata Satu (S1), Politik Hukum
belum diajarkan sebagai mata kuliah yang berdiri sendiri, dan biasanya diberikan atau diajarkan
secara sepintas saja sebagai bagian kecil dari mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum dan
Pengantar Tata Hukum/Sistem Hukum Indonesia, atau mata kuliah lain dengan topik
pembangunan hukum ataupun pembinaan hukum. Politik Hukum sebagai mata kuliah yang
berdiri sendiri dan wajib, baru diberikan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum (S2)
Program Pascasarjana yang sekarang ini marak didirikan baik oleh Perguruan Tinggi Negeri
(PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Indonesia.
Jurusan PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan), memiliki bidang kajian aspek
seperti Politik, Hukum dan Nilai dan melihat tiga aspek tersebut Politik Hukum bisa masuk ke
dalam tiga ranah tadi. Sehingga Politik Hukum menjadi mata kuliah yang turut memberikan
warna bagi perkembangan laju eksistensi pembangunan tata hukum nasional di Indonesia.
Pembagian Tugas:
Daftar Pustaka:
Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional oleh Artidjo Alkosar,S.H.
KERANGKA KONSEPSIONAL
Rechtspolitiek;
ETIMOLOGI
Politik Hukum adalah Pernyataan Kehendak Pemerintah (arti luas) mengenai ARAH
KEBIJAKAN dalam pembangunan bidang hukum (di Indonesia).
Politik Hukum ada kemungkinannya merupakan terjemahan dari Politik Hukum Belanda yang
memakai terjemahan Rechtspolitiek sehingga para Sarjana Hukum Indonesia melakukan
pengkajian dengan mengadakan studi banding ke negeri Belanda untuk mendalami politik
hukum secara lebih lanjut di negeri asalnya. Langkah ini diawali oleh Universitas Gadjah Mada
dengan penerjunan dan pengiriman beberapa Sarjana Hukum yang salah satunya adalah
Almarhum Pro.Sugeng Istanto ikut berpatisipasi di dalamnya perkembangan lebih lanjut diikui
oleh Universitas-Universitas terkemuka lainnya di Indonesia seperti UI, UNPAD, UNDIP, UNAIR
dan UNBRAW.
Berdasarkan latar historis tersebut, dalam penanaman pemahaman tentang Politik Hukum
ada beberapa Pakar dari Sarjana Belanda yang memberikan definisi Politik Hukum, diantaranya
yaitu:
Menurut Bellefroid, Politik Hukum adalah bagian dari ilmu hukum yang mengkaji perubahan
hukum yang berlaku (Ius Constitutum) menjadi hukum yang seharusnya dilakukan (Ius
Constituendum) untuk dapat memenuhi tuntutan baru kehidupan masyarakat.
Lemaire berpendapat bahwa politik hukum termasuk kajian hukum yang terkait dengan ilmu
pengetahuan hukum positif.Lemaire berpendapat bahwa:
Mathews menyatakan bahwa intisari Politik adalah act of choice. Sejajar dengan Mathews
itu Kelsen mengutarakan bahwa Politik mempunyai dua arti, yakni:
Politik sebagai etik adalah menentukan tujuan kehidupan masyarakat yang harus
dipejuangkan;
Politik sebagai teknik adalah memilih dan menentukan cara dan prasarana untuk
mencapai tujuan kehidupan bermasyarakat yang telah dipilih dan ditentukan oleh politik
sebagai etik tersebut.
Jadi, politik menurut Kelsen, yakni perbuatan memilih. Namun pengertian Kelsen lebih rinci
karena menunjuk sasaran pilihannya, yakni tujuan yang hendak dicapai dan sarana untuk
mencapai tujuan tersebut. Apabila dihubungkan dengan kehidupan bernegara, tindakan memilih
dalam kehidupan bernegara menurut Kelsen, dianaranya:
Tujuan dari sesuatu itu apa?,yakni ada tujuan untuk membentuk pemerintahan;
Cara dan sarana untuk mencapai tujuan itu bagaimana?, yaitu dengan cara menetapkan
ketentuan yang menjadi pedoman secara konstitusional dan sarananya itu adalah UUD
1945
Menurut Thomas Dye mengatakan Politik Hukum merupakan public policy itu mengkaji apa
pun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan (whatever
government choice to do or not to do).
Dengan diilhami oleh pandangan dari Thomas Dye, Prof.Dr.Fx Sugeng Istanto,S.H.
memberikan pandangan bahwa Politik Hukum adalah bagian dari ilmu hukum yang
mengkaji/menelaah kebijakan pemerintah dalam menetapkan hukum yang berlaku.
Berdasarkan pengertian Politik Hukum dari Bellefroid dan pengertian dua istilah di atas, yakni
politik dan hukum, dapatlah kiranya disimpulkan bahwa politik hukum adalah bagian dari ilmu
hukum yang menelaah perubahan hukum yang berlaku dengan memilih dan menentukan
ketentuan hukum tentang tujuan tersebut dalam memenuhi perubahan kehidupan masyarakat.
Adalah bagian dari politik hukum yang mengkaji isi kebijakan pemerintah yang ditetapkan
dalam hukum yang berlaku.
Adalah bagian dari politik hukum yang mengkaji proses penetapan kebijakan pemerintah
dalam hukum yang berlaku.
Adalah bagian dari politik hukum yang mengkaji isi kebijakan pemerintah yang ditetapkan
dalam hukum yang berlaku.
Pengertian Thomas Dye tentang Public Policy
Adalah apa pun yang diperbuat atau tidak diperbuat oleh pemerintah (whatever govement
choice to do or not to do).
Hubungan antara pengertian Thomas Dye tentang Public Policy dengan pengertian Politik
Hukum Material
Adalah bahwa pengertian Thomas Dye tentang Public Policy (whatever govement choice to
do or not to do) adalah isi kebijakan pemerintah yang dikaji oleh politik hukum material.
Adalah bagian dari politik hukum yang mengkaji proses penetapan kebijakan pemerintah
dalam hukum yang berlaku.
Adalah bagian dari ilmu hukum yang mengkaji Ius Constitutum menjadi Ius Constituendum.
Adalah bahwa perubahan Ius Constitutum menjadi Ius Constituendum adalah proses
penetapan kebijakan yang dikaji oleh politik hukum formal.
Politik hukum dalam arti formal adalah bagian dari ilmu politik hukum yang mengkaji proses
penetapan kebijaksanaan pemerintah dalam menetapkan hukum yang berlaku.
Keterangan:
Ius Constitutum yang berlaku pada masa itu adalah Pasal 1 ayat (1) IS
Berdasarkan pengertian Politik Hukum dalam arti formal, maka kebijakan the founding
father dalam menetapkan perubahan Pasal 1 ayat (1) IS menjadi ketentuan Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945 melalui 8 langkah Politik hukum dalam memilih Ius Constituendum,diantaranya:
Menetapkan filter untuk memilih salah satu alternatif pemecahan masalah yang
ditentukan;
Dogmatik Hukum, yakni bagian ilmu pengetahuan hukum yang menelaah isi hukum yang
belaku berdasarkan asas hukum yang berlaku dan sistem hukum yang dianut;
Sejarah Hukum, bagian dari ilmu pengetahuan hukum yang menelaah ketentuan hukum
masa lalu yang mempengaruhi penetapan hukum yang berlaku sekarang;
Politik Hukum, ilmu pengetahuan hukum yang menelaah perubahan yang harus dilakukan
dalam hukum yang berlaku agar dapat memenuhi tuntutan kehidupan masyarakat. Dengan
demikian Politik Hukum MEMBAHAS ARAH PERKEMBANGAN SUATU TATA HUKUM; POLITIK
HUKUM MEMBANGUN Ius Constituendum dari Ius Constitutum (yang berkembang dari
stelsel hukum masa lalu);
Teori Hukum, bagian dari ilmu pengetahuan hukum yang menelaah hukum terlepas dari
kekhususan waktu dan tempat tertentu; Teori Hukum Umum mencari pengertian hukum,
kewajiban hukum, person hukum, obyek hukum dan hubungan hukum.
Kalau ilmu politik mempelajari politik maka ilmu hukum mempelajari hukum. Menurut
Logeman:
Ilmu pengetahuan hukum mengambil objeknya hanya fakta-fakta yang bermakna hukum,
yaitu keputusan. Berhadapan dengan ilmu-ilmu ini (maksudnya sosiologi, sejarah dan ilmu
politik) tentang kenyataan hukum, terdapatlah ilmu pengetahuan tentang hukum positif sebagai
suatu ilmu pengetahuan tentang norma-norma.
Uraian Logeman di atas belum memberikan pengertian yang lengkap bagi kita mengenai
ilmu hukum itu. Rumusan yang lebih lengkap diberikan Utrecht, yaitu sebagai berikut:
Pelajaran hukum umum yang juga terkenal dengan nama ilmu hukum sistematis
(systematische rechtswetenschap) atau nama ilmu hukum dogmatis (dogmatische
rechtswetenschap rechtswetenschap) berusaha memberi suatu lukisan sistematis tentang
hukum positif sebagai gejala umum dalam masyarakat. Pelajaran hukum umum juga mencari
kausalitas antara masing-masing gejala umum dalam masyarakat. Pelajaran hukum umum tidak
puas melukis saja, pelajaran hukum umum juga mencari kausalitas antara masing-masing
gejala hukum. Pelajaran hukum umum mencari dasar (grondslagen) sesuatu tatatertib hukum
positif, yaitu mencari sistem yang menjadi dasar tata tertib hukum positif itu, maka pelajaran
hukum umum membuat, mengadakan konstruksi, pengertian-pengertian hukum
(rechtsbegrippen) seperti subyek hukum, obyek hukum,hukum dan hak, peristiwa
hukum,perbuatan hukum dan sebagainya. Pengertian-pengertian hukum tersebut adalah
alat-alat pembantu yang teknis (technische hulp middelen) yang perlu dibuat agar suapaya kita
dapat mengerti sistem hukum positif maupun hukum pada umumnya. Pelajaran hukum umum
tidak hanya memungkinkan kita melihat sistem materiil yang menjadi dasar tata tertib hukum
yang berlaku (geldende rechts orde) tetapi juga memungkinkan kita melihat dasar sistem dari
hukum pada umumnya (recht in het algemeen).
Pengertian yang diberikan oleh Utrecht ini menjelaskan kepada kita apa yang menjadi obyek
studi ilmu hukum itu seperti obyek hukum, subyek hukum, peristiwa hukum, perbuatan hukum,
dan hak yang akan menjadi materi muatan hukum yang dilukiskan dalam suatu sistem hukum.
Jadi tinjauannya sangat normatif, karena itu disebut ilmu hukum sistematis dan dogmatis. Jadi,
tidak berlebihan bila Miriam Budiardjo menyebutkan:
Ilmu hukum sifatnya normatif dan selalu mencoba mencari unsure keadilan. Aliran ini kuat
sekali dalam kupasan-kupasan mengenai negara hukum (rechtsstaat) yang menekankan bahwa
perasaan keadilan (sense of justice) merupakan basis dari keseluruhan sistem norma yang
mendasari negara. Sistem hukum adalah dasar legal dari negara, seluruh struktur dan fungsi
negara ditetapkan oleh hukum.
Dalam negara hukum seperti ini, menurut Padmo Wahjono25 akan terdapat suatu pola
sebagai berikut :
Hak asasi merupakan hak yang melekat pada manusia sebagai bawaan kondrat yang
diciptakan dan diberikan Tuhan, dan bukan diberikan oleh bunyi suatu konstitusi. Namun harus
diingat bahwa hak-hak asasi manusia dalam negara hukum Pancasila tidaklah bersifat mutlak
seperti di negara-negara liberal atau barat, akan tetapi dibatasi oleh kewajiban (asasi) yang
berakar pada kehidupan bangsa Indonesia yaitu dalam bentuk fungsi sosial, kepentingan umum
dan hak asasi orang lain yang berpola pada semangat gotong royong dan kerja sama. Disinilah
perbedaan pokok jaminan hak asasi dalam negara hukum Pancasila dengan negara hukum
liberal. Terdapat adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban atau antara kepentingan
individu sebagai manifestasi dari hak asasi dengan kepentingan umum sebagai wujud hak
masyarakat keseluruhan. Porsi kepentingan individu dengan kepentingan umum (negara) tidak
boleh berat sebelah. Dalam hal ini kiranya asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan
dapat dijadikan patokan.
Prinsip selanjutnya yang terkandung dalam UUD 1945 adalah bentuk negara kesatuan. Ide
mengenai prinsip ini dapat kita baca pada alinea IV pembukaan, Pasal 1 (1) dan Penjelasan
UUD 1945. Prinsip negara kesatuan mengandung pengertian bahwa negara akan melindungi
dan meliputi segenap bangsa Indonesia, tanpa membedakan agama, suku, bahasa, kebudayaan
dan sebagainya. Dengan kata lain mengatasi segala perbedaan di atas, bahkan perbedaan-
perbedaan tersebut justru akan memperkaya dan modal untuk mengokohkan persatuan.
Dengan diterimanya asas tunggal Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan
organisasi kemasyarakatan (UU No. 8 Tahun 1985) maka perbedaan ideologi yang pada jaman
Orde Lama menimbulkan perpecahan bangsa sejauh mungkin dapat dihindarkan.
Dalam konsep negara kesatuan Indonesia ini mengandung cita-cita hukum nasional (Rechts
Idee) dan cita-cita moral bangsa berdasarkan Pancasila. Bentuk negara yang paling cocok untuk
mewujudkan cita-cita hukum dan cita-cita moral tersebut tidak lain adalah negara kesatuan.26
Ilmu hukum sebagai Ilmu Sui Generis dilihat dari sifat khas yang dimiliki oleh ilmu hukum
yang meliputi 4 hal, yaitu: karakter normatif ilmu hukum, terminologi ilmu hukum, jenis ilmu
hukum dan lapisan ilmu hukum. Jadi, ilmu hukum memiliki karakter yang khas. Cirri khas ilmu
hukum adalah sifatnya yang normatif.
Paradigma Politik Hukum
Sebelum masuk pada pembahasan tentang bagaiman membuat hukum dan menjaganya
melalui politik hukum, perhatian perlu ditujukan dulu pada gambaran kerangka dasar politik
hukum nasional.
Jika hukum diartikan sebagai alat untuk meraih cita-cita dan mencapai tujuan, maka politik
hukum diartikan sebagai arah yang harus ditempuh dalam pembuatan dan penegakan hukum
guna mencapai cita-cita dan tujuan bangsa. Dengan kata lain, politik hukum adalah upaya
menjadikan hukum sebagai proses pencapaian cita-cita dan tujuan. Dengan arti yang demikian,
maka politik hukum nasional harus berpijak pada kerangka dasar sebagai berikut:
Politik hukum nasional harus selalu mengarah pada cita-cita bangsa yakni masyarakat yang
adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Politik hukum nasional harus ditujukan untuk mencapai tujuan negara yakni:
Politik hukum nasional harus dipandu oleh nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara yakni:
Berbasis moral agama.
Agak mirip dengan butir 3, jika dikaitkan dengan cita hukum negara Indonesia, politik
hukum nasional harus dipandu oleh keharusan untuk:
Melindungi semua unsure bangsa demi integrasi atau kutuan bangsa yang mencakup
idiologi dan teritori.
Untuk meraih cita dan mencapai tujuan dengan landasan dan panduan tersebut maka
sistem hukum nasional yang harus dibangun adalah sistem hukum Pancasila, yakni sistem
hukum yang mengambil atau memadukan berbagai nilai kepentingan, nilai sosial, dan
konsep keadilan ke dalam satu ikatan hukum prismatik dengan mengambil unsur-unsur
baiknya. Sistem hukum yang demikian, minimal, mempertemukan unsur-unsur baik dari tiga
sistem nilai dan meletakkannya dalam hubungan keseimbangan, yaitu:
Keseimbangan antara hukum sebagai alat untuk memajukan dan hukum sebagai cermin
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Keseimbangan antara negara agama dan negara sekuler (theo demokratis) atau religious
nation state.