Anda di halaman 1dari 33

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................... 2


DAFTAR ISI.......................................................................................................................3
BAB I ................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN ............................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ....................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................. 5
1.3 Tujuan Makalah ..................................................................................................... 5
BAB II ................................................................................................................................. 6
PEMBAHASAN .................................................................................................................. 6
2.1 Pengertian Psikologi .............................................................................................. 6
2.2 Pengertian Hukum ............................................................................................... 12
2.3 Pengertian Psikologi Hukum ............................................................................... 12
2.4 Ruang Lingkup Psikologi Hukum ...................................................................... 17
2.5 Penerapan Psikologi dalam Hukum ..................................................................... 22
2.6 Faktor faktor Psikologis yang mempengaruhi tindak Pidana .............................. 23
2.7 Manfaat Ilmu Psikologi Hukum .......................................................................... 23
2.8 Peran Psikologi dalam Hukum ............................................................................ 27
2.9 Contoh Studi Kasus ............................................................................................. 32
BAB III .............................................................................................................................. 34
Penutup .............................................................................................................................. 34
3.1 Kesimpulan .......................................................................................................... 34
3.2 Saran .................................................................................................................... 35
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 36

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam perkembangan masyarakat fenomena-fenomena yang terjadi kian


semakin rumit. Dan hukum hadir dan memiliki fungsi sebagai pengaturan
yang berisi peraturan (baik tertulis atau tidak tertulis) yang memberikan
petunjuk kepada masyarakat tentang mana yang baik dan buruk.

Setiap perilaku dan tindakan yang dilakukan oleh manusia pasti di latar
belakangi oleh berbagai faktor, termasuk faktor psikologis.psikologi sering
diartikan dengan ilmu pengetahuan tentang jiwa atau ilmu pengetahuan
tentang perilaku manusia “Human Behaviour” maka dalam kaitannya dengan
studi hukum. Ia akan melihat hukum sebagai salah satu dari pencerminan
perilaku manusia.

Kemudian demi terlaksananya tatanan kehidupan masyarakat yang lebih


baik, maka ilmu hukum butuh berbagai cabang ilmu lainnya untuk
menyempurnakan ilmu ini agar lebih berguna bagi masyarakat. Pada bahasan
kali ini kami akan membahas tentang perpaduan ilmu psikologi dan perannya
dalam membantu ilmu hukum.

Adapun munculnya Psikologi hukum yang adalah suatu cabang


pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari jiwa

4
manusia. Ilmu pengetahuan ini mempelajari perilaku atau sikap tindakan
hukum yang mungkin merupakan perwujudan dari gejala–gejala kejiwaan
tertentu, dan juga landasan kejiwaan dari perilaku atau sikap tindakan tersebut.

Dengan harapan ilmu psikologi dapat memberikan peran yang berarti bagi
penyelidikan dan penegakan hukum di Indonesia. Serta besar sumbangsihnya
dalam kemajuan ilmu hukum.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa itu Ilmu Psikologi ?


2. Apa itu Ilmu Hukum ?
3. Apa itu Ilmu Psikologi Hukum ?
4. Apa saja Ruang lingkup Psikologi ?
5. Bagaimana Penerapan Ilmu Psikologi dalam Hukum ?
6. Factor-faktor apa saja kah yang mempengaruhi tindak pidana ?
7. Apa manfaat Psikologi dalam Hukum?
8. Bagaimana peran Psikologi dalam Hukum?
9. Bagaimana contoh kasus dari Psikologi Hukum ?

1.3 Tujuan Makalah


Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi dan pengetahuan tentang
pengertian psikologi hukum serta peran dan manfaatnya bagi masyarakat.
Agar para mahasiswa dapat mengerti apa itu Psikologi Hukum dan bagaimana
perannya dalam proses penegakan dan penyelidikan hukum.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Psikologi


Psikologi apabila ditinjau dari segi ilmu bahasa berasal dari kata “Psycho” dan
“Logos”.
Psycho sering diartikan jiwa dan Logos yang berarti ilmu (ilmu pengetahuan).
Dengan demikian, psikologi sering diartikan dengan ilmu pengetahuan tentang
jiwa atau ilmu pengetahuan tentang perilaku manusia “Human Behaviour” maka
dalam kaitannya dengan studi hukum. Ia akan melihat hukum sebagai salah satu
dari pencerminan perilaku manusia. 1

Psikologi apabila ditinjau dari segi ilmu bahasa berasal dari kata psycho,
dan logos. Psychosering diartikan jiwa dan logos yang berarti ilmu (ilmu
pengetahuan). Dengan demikian, psikologi sering diartikan dengan ilmu
pengetahuan tentang jiwa (ilmu jiwa).

Hukum dibentuk oleh jiwa manusia, baik putusan pengadilan maupun perundang-
undangan merupakan hasil jiwa manusia. Oleh karena itu, psikologi merupakan
karakteristik hukum yang tidak dapat dipisahkan dari hukum itu sendiri. Dalam
hal ini Purnadi Purbacaraka, Soerjono Soekanto memberikan definisi psikologi
hukum, yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai
perwujudan dari pada perkembangan jiwa manusia. (Ishaq,2009,241)

1 R. Soeroso, S.H. PENGANTAR ILMU HUKUM. Hlm 317

6
Pengenalan psikologi pertama kali sebagai ilmu pengetahuan yang otonom dan
berdiri sendiri terjadi pada akhir abad ke- 19, yang pada waktu itu masih menjadi
cabang ilmu pengetahuan filsafat dan psikologi juga sering menjadi sudut kajian
sosiologi. Dalam perjalanan sejarah yang singkat psikologi telah didefenisikan
dalam berbagai cara, para ahli psikologi terdahulu mendefenisikan psikologi
sebagai “studi kegiatan mental”.
Kata psikologi sering disebut ilmu jiwa, berasal dari bahasa Yunani psyche
artinya jiwa dan logos berarti ilmu. Dengan demikan psikologi dapat diartikan
sebagai ilmu yang mempelajari kejiwaan atau ilmu yang mempelajari tingkah laku
manusia, atau sebab tingkah laku manusia yang dilatarbelakangi oleh kondisi
jiwa seseorang atau secara singkat dapat diartikan sebagai studi mengenai proses
perilaku dan proses mental.

Menurut Rita Atkinson (1983: 19) Pendefenisian psikologi juga dilatarbelakangi


oleh perkembangan sejarah dalam aliran psikologi, hal ini dapat dilihat melalui
perubahan defenisi mengenai psikologi seperti berikut ini:

Wilhelm Wunt (1892), psikologi bertugas menyelidiki apa yang kita


sebut pengalaman dalam sensasi dan perasaan kita sendiri, pikiran serta kehendak
kita yang bertolak belakang dengan setiap obyek pengalaman luar yang
melahirkan pokok permasalahan ilmu alam.

William James (1980), psikologi adalah ilmu mengenai kehidupan mental,


termasuk fenomena dan kondisi-kondisinya. Fenomena adalah apa yang kita sebut
sebagai perasaan, keinginan, kognisi, berpikir logis, keputusan-keputusan dan
sebagainya.

James Angell (1910), psikologi adalah semua kesadaran di mana saja, normal atau
abnormal, manusia atau binatang yang dicoba untuk dijelaskan pokok
permasalahannya.

7
John B Watson (1919), psikologi merupakan bagian dari ilmu alam yang
menekankan perilaku manusia, perbuatan dan ucapannya baik yang dipelajari
maupun yang tidak sebagai pokok masalah.

Kurt Koffka (1925), psikologi adalah studi ilmiah mengenai perilaku makhluk
hidup dalam hubungan mereka dengan dunia luar.

Arthur Gates (1931), psikologi adalah salah satu bidang yang mencoba
menunjukan, menerangkan, dan menggolongkan berbagai macam kegiatan yang
sanggup dilakukan oleh binatang, manusia, atau lainnya.

Norman Munn (1951), psikologi sebagai “ilmu mengenai perilaku” tetapi hal yang
menarik, pengertian perilaku yang telah mengalami perkembangan, sehingga
sekarang ikut menangani hal yang pada masa lampau disebut pengalaman.

Kennet Clark dan George Milter (1970), psikologi adalah studi ilmiah mengenai
perilaku, lingkupnya mencakup berbagai proses perilaku yang dapat diamati,
seperti gerak tangan, cara berbicara, dan perubahan kejiwaan dan proses yang
hanya dapat diartikan sebagai pikiran dan mimpi.Richard Mayer (1981), psikologi
merupakan analisis ilmiah mengenai proses mental dan struktur daya ingat untuk
memahami perilaku manusia.

Berdasarkan defenisi di atas, mempelajari psikologi berarti mengenal manusia


dalam arti memahami, menguraikan dan memaparkan manusia sebagai individu
dan sosial serta berbagai macam tingkah laku dan kepribadian manusia, juga
seluruh aspek-aspeknya. Psyche (jiwa) adalah kekuatan hidup atau sebabnya
hidup (anima).

Dari pengertian-pengertian psikologi yang telah disebutkan di atas, penulis


berpendapat antara psikologi dan hukum dari sudut kajiannya adalah keduanya
mengkaji gejala-gejala sosial, hal ini jika menilik kembali pengertian hukum
secara empirik. Keduanya memfokuskan diri pada perilaku manusia, yang
berusaha menyelesaikan masalah serta memperbaiki kondisi manusia. Craig

8
Haney menyatakan “bahwa psikologi bersifat deskriptif dan hukum bersifat
perskriptif” (Haney: 1981 dalam Kapardis: 1999). Artinya psikologi menjelaskan
tentang bagaimana orang berperilaku secara aktual, hukum menjelaskan
bagaimana orang seharusnya berperilaku, tujuan utama ilmu psikologi adalah
memberikan penjelasan yang lengkap dan akurat mengenai perilaku manusia,
tujuan utama hukum adalah mengatur perilaku manusia. Dalam arti yang agak
lebih idealistis, ilmu psikologi menurut Constanzo (2006: 12) “terutama tertarik
untuk menemukan kebenaran sedangkan sistem hukum terutama tertarik untuk
memberikan keadilan”.

Berdasarkan keterkaitan kedua terminologi tersebut maka psikologi hukum dapat


diartikan sebagai studi psikologi yang mempelajari ketidakmampuan individu
untuk melakukan penyesuaian terhadap norma hukum yang berlaku atau tidak
berhasilnya mengatasi tekanan-tekanan yang dideritamya. Dalam kondisi yang
demikianlah maka diperlukan studi psikologi terhadap hukum yang disebut
psikologi hukum. Menurut Soerjono Soekanto (1983:2) “psikologi hukum adalah
studi hukum yang akan berusaha menyoroti hukum sebagai suatu perwujudan dari
gejala-gejala kejiwaan tertentu, dan juga landasan kejiwaan dari perilaku atau
sikap tindak tersebut”.

Di bawah ini dikutip beberapa defenisi psikologi hukum yang terdapat dalam
berbagai literatur, yaitu:

Sebagai suatu pencerminan dari perilaku manusia (human behaviour). (Sorjono


Soekanto,1989; R. Ridwan Syahrai,1999; Bernard Arief Sidharta, 2000;
Soedjono Dirdjosuwiryo,2001; Sudarsono, 2001; Soeroso, 2004; Munir Fuady,
2006).

Sebagai bentuk pelayanan psikologi yang dilakukan dalam hukum meliputi


Psycho-Legal Issue, pendampingan di pengadilan dan prilaku kriminal (The
Commite On Etnical Guidelines For Forensic Psychology dalam Rahayu: 2003,
hal. 3)

9
Meliputi legal issue; penelitian dalam kesaksian, penelitian dari pengambilan
keputusan yuri dan hakim, begitu pula di dalam kriminologi untuk menentukan
sebab-sebab, langkah-langkah preventif, kurasif, perilaku kriminal dan
pendampingan di pengadilan yang dilakukan oleh para ahli di dalam pengadilan
(Blackburn: 1996)

Meliputi aspek perilaku manusia dalam proses hukum, seperti ingatan saksi,
pengambilan keputusan hukum oleh yuri, dan pelaku kriminal (Curt R.
Bartol:1983)

Suatu pendekatan yang menekankan determinan-determinan manusia dari hukum,


termasuk dari perundang-undangan dan putusan hakim, yang lebih menekankan
individu sebagai unit analisisnya. Perhatian utama dari kajian psikologi hukum
yaitu lebih tertuju pada proses penegakan hukum (saksi mata, tersangka/terdakwa,
korban kriminal, jaksa penuntut umum, pengacara hakim dan terpidana) (Rahayu:
2003)

Psikologi hukum adalah suatu kajian tentang sifat, fungsi, dan perilaku hukum
dari pengalaman mental dari individu dalam hubungannya dengan berbagai
fenomena hukum (pengertian ini didasarkan pada defenisi psikologi sosial oleh
Edward E. Jones: 1996)

Cabang metode studi hukum yang masih muda, yang lahir karena kebutuhan dan
tuntutan akan kehadiran psikologi dalam studi hukum, terutama sekali bagi
praktik penegakan hukum, termasuk untuk kepentingan pemeriksaan di muka
sidang pengadilan. (Ishaq: 2008, 241).

Cabang ilmu hukum (pengembanan hukum teoritis/sistem hukum eksternal; sudut


pandang hukum sebagai pengamat) yang bertujuan untuk memahami hukum dari
sudut pandang psikologi dengan menggunakan pendekatan/sudut pandang
psikoanalisis, psikologi humanistik dan psikologi perilaku (empirik). (Meuwissen
dalam Sidharta: 2008)

10
psychology and law is a relatively young field of scholarhip. Connceptualized
broadly, the field encompases diverse approaches to psychology. Each of major
psychologycal subdivisions has contributed to research on legal isues: cognitive
(e.g. eyewitnes testimony), developmental (e.g., children testimony), social (e.g.,
jury behavior), clinical (e.g, assesment of competence), biological (e.g, the
polygraph), and industrial organizational psychology (e.g, sexual harassment in
the workplace). (Encyclopedia of Psychology & Law: 2008)

legal psychology involves empirical, psychology research of the law, legal


institution, and people who come into contant with the law. Legal psychologist
typically take basic social and cogniive theories and principles and apply them to
issues in the legal system such as eyewitness memory, jury decision-making,
investigations, and interviewing. The term ” legal psychology” has only recently
come into usage, primarily as a way to differentiate the exprimental focos of legal
psycholgy from the clinically-oriented forensic psychology. (Wikipedia, The Free
Encyclopedia).

2.2 Pengertian Hukum


Hukum adalah peraturan-peraturan bersifat memaksa yang dibuat oleh badan-
badan resmi yang berwajib, yang menentukan tingkah laku manusia dalam
lingkungan masyarakat, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat
diambilnya tindakan hukuman.
(J.C.T. simorangkir dan Woerjono Sastropranoto)

J.C.T. simorangkir dan Woerjono Sastropranoto melihat hukum dari segi


formal atau landasan yuridis terbentuknya hukum sebagai aturan-aturan yang
dibuat oleh suatu lembaga negara (badan-badan resmi) yang memiliki otoritas
dalam memberikan sanksi atau tindakan hukuman terhadap pelanggar hukum.
Soedjono Dirdjosisworo merangkum pengertian Ilmu hukum adalah karya
manusia yang berusaha mencari kebenaran, tentang sesuatu yang memilki ciri-ciri,
sistematis, logis, empiris, metodis, umum, dan akumulatif. Sebagai ilmu

11
pengetahuan ilmu hukum dengan ciri-cirinya berupaya mempelajari sistematika
hukum dan kaidah-kaidah, seperti rumusan kaidah, sebab terbentuknya dan
sebagainya, sedemikian rupa sehingga hukum dapat dipelajari dengan sebaik-
baiknya. Semakin berkembang suatu masyarakat akan semakin menuntut
perkembangan ilmu hukum, sehingga secara obyektif mampu menjelaskan
keadaan hukum pada setiap saat demi berperanya hukum sebagai sarana untuk
ketertiban, keadilan dan pendorong terciptanya kesejahteraan.
Hukum dibentuk oleh jiwa manusia, baik putusan pengadilan maupun
perundang-undangan merupakan hasil jiwa manusia. Oleh karena itu, psikologi
merupakan karakteristik hukum yang tidak dapat dipisahkan dari hukum itu
sendiri. 2

2.3 Pengertian Psikologi Hukum


Psikologi Hukum adalah suatu cabang pengetahuan yang mempelajari hukum
sebagai suatu perwujudan dari jiwa manusia. Ilmu pengetahuan ini mempelajari
perilaku atau sikap tindakan hukum yang mungkin merupakan perwujudan dari
gejala – gejala kejiwaan tertentu, dan juga landasan kejiwaan dari perilaku atau
sikap tindakan tersebut.
Psikologi hukum dapat diartikan sebagai studi psikologi yang mempelajari
ketidakmampuan individu untuk melakukan penyesuaian terhadap norma hukum
yang berlaku atau tidak berhasilnya mengatasi tekanan-tekanan yang dideritanya.
▪ Pengertian Psikologi Hukum menurut para ahli yang di ungkapkan sebagai
berikut :

1. Menurut Soerjono Soekanto (1983:2)


Psikologi hukum adalah studi hukum yang akan berusaha menyoroti hukum
sebagai suatu perwujudan dari gejala-gejala kejiwaan tertentu, dan juga landasan
kejiwaan dari perilaku atau sikap tindak tersebut.
2. Menurut Achmad Ali (2002: 274)

2 H . Riduan Syahrani, S.H. , RANGKUMAN INTISARI ILMU HUKUM. Hlm 227-228.

12
Karena hukum dibentuk oleh jiwa manusia seperti putusan pengadilan dan
peraturan perundang-undangan, menandakan bahwa psikologi merupakan
krakteristik hukum yang tidak dapat dipisahkan dari hukum itu sendiri. Aliran
pemikiran hukum historis.
3. G. Puchta, murid Friedrich Carl Von Savigny (1779 - 1861)
Menamai hukum volkgeist yaitu hukum merupakan pencerminan dari jiwa
rakyat”.

4. Menurut Edward E. Jones: 1996


Psikologi hukum adalah suatu kajian tentang sifat, fungsi, dan perilaku hukum
dari pengalaman mental dari individu dalam hubungannya dengan berbagai
fenomena hukum.

5. Menurut Purnadi Purbacaraka


Psikologi hukum, yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari hukum
sebagai perwujudan dari pada perkembangan jiwa manusia. (Ishaq,2009,241)

Meskipun psikologi hukum usia nya relative masih sangat muda, tetapi
kebutuhan akan cabang ilmu pengetahuan ini sangat dirasakan. Misal nya dalam
bidang penegakan hukum. Psikologi hukum dapat menelaah faktor – faktor
psikologi apakah yang mendorong seseorang untuk mematuhi kaidah hukum
(berperilaku normal) dan meneliti faktor – faktor apakah yang mendorong
seseorang dalam melanggar kaidah hukum (berperilaku abnormal). Walaupun
faktor lingkungan ada pengaruh nya, tetapi tinjauan utama adalah factor pribadi.
Sedangkan faktor lingkungan sosial secara analitis menjadi ruang lingkup dari
sosiologi hukum. Dan faktor lingkungan sosial budaya, terutama menjadi ruang
lingkup penelitian dari antropologi budaya.
Pengungkapan faktor – faktor psikologis mengapa seseorang melakukan
pelanggran hukum, mempunyai arti penting dalam penegakan hukum pidana di
pengadilan. Dalam hukum pidana misalnya dibedakan ancaman terhadap
seseorang yang menghilangkan jiwa orang lain dengan segaja dan tidak disengaja,

13
yang direncanakan dan tidak direncanakan, yang dilakukan oleh orang yang sehat
akal pikiran nya dan yang dilakuan oleh orang yang gila.
Soerjono soekanto, dalam bukunya beberapa catatan tentang psikologi hukum
menyudutkan secara terperinci penting nya psikologi hukum bagi penegakan
hukum, yaitu sebagai berikut:
1. Untuk memberikan isi atau penafsiran yang tepat pada kaidah hukum serta
pengertianya misal nya seperti pengertian itikad baik, itikad buruk, tidak dapat
menjalankan kewajiban sebagai suami atau istri, mempertanggungjawabkan
perbuatan dan seterusnya.
2. Untuk menerapkan hukum dengan mempertimbangkan keadaan psikologi
pelaku.
3. Untuk lebih menyerasikan ketertiban dan ketentraman yang menjadi tujuan
utama dari hukum.
4. Untuk sebanyak mungkin menghindarkan penggunaan kekerasan dala
penegakan hukum.
5. Untuk memantapkan pelaksanaan fungsi penegakan hukum dengan cara lebih
mengenal diri atau lingkungan nya.
6. Untuk menentukan batas – batas penggunaan hukum sebagai sarana
pemeliharaan dan penciptaan kedamaian. 3

Psikologi hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari


hukum sebagai suatu perwujudan daripada jiwa manusia. Ilmu pengetahuan ini
mempelajari perikelakuan atau sikap tindak hukum yang meungkin merupakan
perwujudan dari gejala-gejala kejiwaaan tertentu, dan juga landasan kejiwaan dari
perikelakuan atau sikap tindak tersebut.
Soerjono Soekanto, Beberapa Catatan tentang Psikologi Hukum, h.9
Salah satu segi yang menonjol pada hukum, terutama sekali pada hukum
modern, adalah penggunaannya secara sadar sebagai alat untuk mencapai tujuan-
tujuan yang dikehendaki. Dengan demikian, sadar atau tidak, hukum telah

3 H . Riduan Syahrani, S.H. , RANGKUMAN INTISARI ILMU HUKUM. Hal 227-228.

14
memasuki bidang yang menggarap tingkah laku manusia. Apakah proses yang
demikian ini tidak juga mengandung arti, bahwa hukum telah memasuki bidang
psikologi, khususnya psikologi sosial? Hukum pidata, misalnya, merupakan
bidang hukum yang cukup sering berurusan dengan psikologi ini, sadar ataupun
tidak. Bahwa dengan pidana diharapkan bahwa kejahatan bisa dicegah,
merupakan salah satu contoh yang jelas mengenai hubungan antara hukum dan
psikologi tersebut.
Leon Petrazyki (1867-1931), seorang ahli filsafat hukum, menggarap unsur
psikologi dalam hukum dengan mendudukkannya sebagai unsur yang utama.
Sarjana tersebut berpendapat, bahwa fenomena-fenomena hukum itu terdiri dari
proses-proses psikis yang uik, yang dapat dilihat dengan menggunakan metode
introspeksi (Bodenheimer, 1974 : 107). Apabila kita mempersoalkan tentang hak-
hak kita serta hak-hak orang lain dan melakukan perbuatan sesuai dengan ini,
maka itu semua bukan karena hak-hak itu dicantumkan dalam peraturan-
peraturan, melainkan semata-mata karena keyakinan kita sendiri, bahwa kita harus
berbuat seperti itu, demikian Petrazicky. Ia memandang hak-hak dan kewajiban-
kewajiban sebagai “Phantasmata”, yang hanya ada dalam pikiran kita, tetapi yang
mempunyai arti sosial penting, oleh karena ia menciptakan “pengalaman
imperatif-atributif” yang mempengaruhi tingkah laku mereka yang merasa terikat
olehnya (Curzon, 1979 : 218).
Penulis Jerome Frank, dalam bukunya “Law and the Modern Mind” (1930),
Frank kemudian menjadi terkenal, bahwa ada suatu karya klasik dalam ilmu
hukum umum.
Frank menyerang anggapan dan pandangan kebanyakan orang tentang
hukum dan dalam bukunya yang disebut dimuka, ia mulai dengan mengupas apa
yang disebutnya sebagai “mitos dasar” dalam hukum (Frank, 1963 : 3). Frank,
yang sendirinya adalah seorang hakim, melihat bahwa hukum itu tidak akan
pernah bisa memuaskan keinginan kita untuk memberikan kepastian. Dan Frank
mengharapkan bakan kepastian yang bahwa hukum akan bisa memberikan
kepastian hukum yang berlebihan, adalah suatu perbuatan yang keliru dan tidak
perlu.

15
Tetapi, yang justru merisaukan Frank adalah persoalan, mengapa orang
sampai menghendaki dan mengharapkan kepastian hukum yang berlebihan itu.
Dalam usahanya untuk menjawab pertanyaan tersebut, Frank mulai memasuki
bidang psikologi. Penjelasan yang diberikan Frank, 1963 : 20 – 21) :
1. Dorongan keinginan seperti pada bayi untuk mendapatkan keadaan
damai seperti sebelum dilahirkan. Sebaliknya adalah ketakutan kepada
hal-hal yang tidak diketahui, kepada kesempatan dan perubahan
sebagai faktor-faktor yang penting dalam kehidupan seorang anak.
2. Faktor-faktor ini mewujudkan dirinya sendiri kedalam cita rasa
kekanak-kanakan yang mendambakan kedamaian sempurna,
kesenangan, perlindungan terhadap bahaya-bahaya yang tidak
diketahui. Si anak secara tidak realistis akan merindukan dunia yang
teguh dan penuh kepastian dan bisa dikontrol.
3. Si anak mendapatkan kepuasan akan kerinduannya itu, pada umumnya
melalui kepercayaannya dan penyandaran dirinya kepada sang ayah
yang tidak ada bandingannya, yang serba bisa dan yang selalu berhasil.
4. Sekalipun orang menjadi semakin dewasa, kebanyakan orang pada
waktu-waktu tertentu menjadi korban dari keinginan-keinginan
kekanak-kanakan tersebut diatas, baik dalam situasi aman, apalagi
dalam bahaya, dalam keadaan yang penuh ancaman, seorang ingin
melarikan diri kepada ayahnya. “Kebergantungan kepada ayah” yang
semula merupakan sarana untuk melakukan adaptasi, pada akhirnya
berubah menjadi tujuan sendiri.
5. Hukum bisa dengan mudah dibuat sebagai sesuatu yang memainkan
peranan penting dalam usaha untuk mendapatkan kembali sang ayah.
Sebab, secara fungsional, tampaknya hukum mirip dengan sang ayah
sebagai hakim.
6. Ayah sebagai Hakim dari si anak tidak pernah gagal. Keputusan-
keputusan dan perintah-perintahnya dianggap menciptakan ketertiban
dari keadaan yang kacau serta konflik-konflik pandangan mengenai
tingkah laku yang baik. Hukum tampak sebagai mutlak pasti dan dapat

16
diramalkan. Orang yang menjadi dewasa, pada saat mereka ingin
menangkap kembali suasana kepuasaan dunia anak-anak, tanpa
menyadari sepenuhnya akan motivasi dibelakangnya, mencari
kewibawaan (authoritaveness), kapasitas dan prediktabilitas dalam
sistem-sistem hukum. Anak ini percaya, bahwa sang ayah telah
meletakkan itu semua didalam hukum.
7. Dari sinilah munculnya mitos hukum, bahwa hukum itu adalah bisa
dibuat tidak bergetar, pasti dan mapan.

2.4 Ruang Lingkup Psikologi Hukum

a. Psikologi Umum, menguraikan dan menyelidiki kegiatan psikis pada manusia


dewasa yang normal, termasuk kegiatan pengamatan, pemikiran, intelegensi,
perasaan, kehendak, motif-motif dan attitude.
b. Psikologi Khusus, menguraikan dan menyelidiki segi-segi khusus pada
kegiatan psikis manusia, segi-segi khusus ini antara lain:
• Psikologi Perkembangan (psikologi genetic), menguraikan perkembangan
kegiatan psiko manusia sejak kecil sampai dewasa dan selanjutnya
psikologi perkembangan ini terbagi-bagi kedalam: psikologi anak,
psikologi pemuda, psikologi orang dewasa, dan psikologi orang tua.
• Psikologi Kepribadian dan tipologi, menguraikan struktur kepribadian
manusia sebagai suatu keseluruhan, serta mengenai jenis-jenis atau tipe-
tipe kepribadian.
• Psikologi Sosial, menguraikan kegiatan-kegiatan dalam hubungannya
dengan situasi sosial, seperti situasi kelompok dan situasi masa.
• Psikologi Pendidikan, menguraikan dan menyelidiki kegiatan-kegitan
manusia dalam situasi pendidikan, dan situasi belajar.
• Psikologi Diferensial dan psikodiagnostik, menguraikan perbedaan-
perbedaan antar individu dalam kecakapan-kecakapan, intelegensi, ciri-ciri

17
kepribadian dan mengenai cara-cara untuk menentukan perbedaan
tersebut.

Psikologi hukum sebagai cabang ilmu yang baru yang melihat kaitan antara
jiwa manusia disatu pihak dengan hukum di lain pihak terbagi dalam beberapa
ruang lingkup antara lain:
Menurut Soedjono, ruang lingkup psikologi hukum (1983:40) sebagai berikut:

a. Segi psikologi tentang terbentuknya norma atau kaidah hukum.


b. Kepatuhan atau ketaatan terhadap kaedah hukum.
c. Perilaku menyimpang.
d. Psikologi dalam hukum pidana dan pengawasan perilaku.
Demikianpun Soerjono Soekanto (1979: 11) membagi ruang lingkup psikologi
hukum yaitu:
a. Dasar-dasar kejiwaan dan fungsi pelanggaran terhadap kaidah hukum.
b. Dasar-dasar kejiwaan dan fungsi pola-pola peyelesaian pelanggaran kaidah
hukum.
c. Akibat-akibat dari pola penyelesaian sengketa tertentu.
Orientasi lapangan psikologi tersebut diatas, sebagai ilmu sosial, tentunya akan
melakukan pengujian (hipotesa) dalam lapangan ilmu hukum khususnya dalam
penegakan hukum (law enforcement). Melalui sintesa dari riset psikologi juga
akan melahirkan ruang lingkup psikologi hukum.

Psikologi hukum sebagai cabang ilmu yang baru yang melihat kaitan antara jiwa
manusia disatu pihak dengan hukum di lain pihak terbagi dalam beberapa ruang
lingkup antara lain:

Menurut Soedjono, ruang lingkup psikologi hukum (1983:40) sebagai berikut:

1. Segi psikologi tentang terbentuknya norma atau kaidah hukum.


2. Kepatuhan atau ketaatan terhadap kaedah hukum.
3. Perilaku menyimpang.

18
4. Psikologi dalam hukum pidana dan pengawasan perilaku.

Demikianpun Soerjono Soekanto (1979: 11) membagi ruang lingkup psikologi


hukum yaitu:

1. Dasar-dasar kejiwaan dan fungsi pelanggaran terhadap kaidah hukum.


2. Dasar-dasar kejiwaan dan fungsi pola-pola peyelesaian pelanggaran kaidah
hukum.
3. Akibat-akibat dari pola penyelesaian sengketa tertentu.

Pada negara yang memiliki sistem hukum common law seperti Amerika, juga
membagi penerapan psikologi dalam hukum. Kelimpahan penerapan psikologi
dalam hukum (Blackburn 1996, 6; Curt R. Bartol 1983, 20 -21; David S. Clark,
2007; Stephenson, 2007; ) dibedakan dari sudut pandang apa yang diistilahkan:

1. Psikologi dalam hukum (psychology in law), mengacu kepenerapan-


penerapan spesifik dari psikologi di dalam hukum seperti tugas psikolog
menjadi saksi ahli, kehandalan kesaksian saksi mata, kondisi mental
terdakwa, dan memberikan rekomendasi hak penentuan perwalian anak,
dan menentukan realibitas kesaksian saksi mata.
2. Psikologi dan hukum (psychology and law), meliputi psyco-legal
research yaitu penelitian individu yang terlibat di dalam hukum, seperti
kajian terhadap perilaku pengacara, yuri, dan hakim.
3. Psikologi hukum (psychology of law), mengacu pada riset psikologi
mengapa orang-orang mematuhi atau tidak mematuhi Undang-undang
tertentu, perkembangan moral, dan persepsi dan sikap publik terhadap
berbagai sanksi pidana, seperti apakah hukuman mati dapat mempengaruhi
penurunan kejahatan.
4. Psikologi forensik (forensic psychology), suatu cabang psikologi untuk
penyiapan informasi bagi pengadilan (psikologi di dalam pengadilan).
5. criminal psychology (psikologi hukum pidana), sumbangan psikologi
hukum yang menggambarkan dinamika interpersonal dan kelompok dari

19
pembuatan putusan pada suatu tahapan kunci di dalam proses mendakwa
seseorang mulai dari waktu penetapannya sebagai tersangka hingga pada
momen penjatuhan pidana
6. Neuroscience and law, suatu kajian baru tentang keunikan pentingnya
pengaruh otak dan syaraf bagi perilaku manusia, masyarakat , dan hukum.
Kajiannya meliputi wawasan baru tentang isu-isu pertanggungjawaban,
meningkatkan kemampuan untuk membaca pikiran, prediksi yang lebih
baik terhadap perilaku yang akan datang, dan prospek terhadap
peningkatan kemampuan otak manusia.

Selanjutnya Constanzo (1994:3); encyclopedia of psychology & law, volume 1


(2008: xiii) melakukan pendekatan psikologi terhadap hukum melalui bidang ilmu
psikologi. Beberapa contohnya adalah:

1. Psikologi perkembangan, menyusul terjadinya perceraian, pengaturan hak


asuh anak seperti apa yang akan mendukung perkembangan kesehatan
anak? dapatkah seorang anak yang melakukan tindakan pembunuhan
benar-benar memahami sifat dan kondisi tindakannya?.
2. Psikologi sosial, bagaimana polisi yang melaksanakan interogasi
menggunakan prinsip-prinsip koersi dan persuasi untuk membuat
tersangka mengakui tindak kejahatannya? Apakah dinamika kelompok di
dalam tim juri mempengaruhi keputusan yang mereka ambil?
3. Psikologi klinis, bagaimana cara memutuskan bahwa seseorang yang
menderita gangguan jiwa cukup kompeten untuk menghadapi proses
persidangan? Mungkinkah memperediksi bahwa seseorang yang menderita
gangguan jiwa kelak akan menjadi orang yang berbahaya?
4. Psikologi kognitif, seberapa akuratkah kesaksian para saksi mata? dalam
kondisi seperti apa saksi mata mampu mengingat kembali apa yang pernah
mereka lihat? Apakah para juri memahami instruksi tim juri dengan cara
yang sama seperti yang diinginkan oleh para pengacara dan hakim?

20
Ruang lingkup psikologi hukum sebagaimana yang tertera di atas merupakan
suatu tanda dari suatu perkembangan di lapangan studi psikologi. Dalam
hubungan dengan perkembangan di bidang psikologi, psikologi hukum tergolong
psikologi khusus, yaitu psikologi yang menyelidiki dan mempelajari segi-segi
kekhususan dari aktifitas psikis manusia.

Berdasarkan hal tersebut menurut Ishaq (2008:241) dalam psikologi hukum akan
dipelajari sikap tindak/ perikelakuan yang terdiri atas:

1. Sikap tindak perikelakuan hukum yang normal, yang menyebabkan


seorang akan mematuhi hukum.
2. Sikap tindak/perikelakuan yang abnormal, yang menyebabkan seorang
melanggar hukum, meskipun dalam keadaan tertentu dapat
dikesampingkan.

Masalah normal dan abnormal merupakan suatu gerak antara dua kutub yang
ekstrim. Kedua kutub yang ekstrim tersebut adalah keadaan normal dan keadaan
abnormal. Penyimpangan terhadap kedaan normal dalam keadaan tertentu masih
dapat diterima, tetapi hal itu sudah menuju pada penyelewengan, maka
kecenderungan kaedah abnormalitas semakin kuat, secara skematis perosesnya
adalah sebagai berikut:

Pada titik normal, seseorang mematuhi kaidah hukum dan dalam keadaan
tertentu dapat disimpangi. Psikologi hukum di satu pihak, yaitu menelaah faktor-
faktor psikologis yang mendorong orang untuk mematuhi kaidah hukum, dilain
pihak juga meneliti faktor-faktor yang mungkin mendorong orang untuk
melanggar kaedah hukum (Soerjono Soekanto 1989:17-18).

2.5 Penerapan Psikologi dalam Hukum

a. Psikologi dalam Hukum (Psychology in Law), mengacu kepenerapan-


penerapan spesifik dari psikologi di dalam hukum seperti tugas psikolog
menjadi saksi ahli, kehandalan kesaksian saksi mata, kondisi mental

21
terdakwa, dan memberikan rekomendasi hak penentuan perwalian anak,
dan menentukan realibitas kesaksian saksi mata.
b. Psikologi dan Hukum (Psychology and Law), meliputi psyco-legal research
yaitu penelitian individu yang terlibat di dalam hukum, seperti kajian
terhadap perilaku pengacara, yuri, dan hakim.
c. Psikologi Hukum (psychology of law), mengacu pada riset psikologi
mengapa orang-orang mematuhi atau tidak mematuhi Undang-undang
tertentu, perkembangan moral, dan persepsi dan sikap publik terhadap
berbagai sanksi pidana, seperti apakah hukuman mati dapat mempengaruhi
penurunan kejahatan.
d. Psikologi Forensik (Forensic Psychology), suatu cabang psikologi untuk
penyiapan informasi bagi pengadilan (psikologi di dalam pengadilan).
e. Psikologi Hukum Pidana (Criminal Psychology), sumbangan psikologi
hukum yang menggambarkan dinamika interpersonal dan kelompok dari
pembuatan putusan pada suatu tahapan kunci di dalam proses mendakwa
seseorang mulai dari waktu penetapannya sebagai tersangka hingga pada
momen penjatuhan pidana
f. Neuroscience and law, suatu kajian baru tentang keunikan pentingnya
pengaruh otak dan syaraf bagi perilaku manusia, masyarakat , dan hukum.
Kajiannya meliputi wawasan baru tentang isu-isu pertanggungjawaban,
meningkatkan kemampuan untuk membaca pikiran, prediksi yang lebih
baik terhadap perilaku yang akan datang, dan prospek terhadap
peningkatan kemampuan otak manusia.

2.6 Faktor faktor Psikologis yang mempengaruhi tindak Pidana


Sebagaimana telah di kemukakan, kejahatan merupakan problem bagi
manusia karena meskipun telah ditetapkan sanksi yang berat kejahatan masih
saja terjadi. Hal ini merupakan permasalahan yang belum dapat dipecahkan
sampai sekarang.
Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan yaitu;
1. Faktor Personal,

22
Termasuk di dalamnya faktor biologis (umur, jenis kelamin, keadaan
mental dan lain-lain) dan psikologis (agresivitas, kecerobohan, dan
keteransingan),
2. Faktor Situasional,
Seperti situasi konflik, faktor tempat dan waktu. 4

2.7 Manfaat Ilmu Psikologi Hukum


Psikolog Sebagai Saksi Ahli Dalam Kasus Pidana
Saksi ahli adalah seseorang yang hadir dalam pengadilan. Tetapi informasi
yang dimiliki oleh seorang saksi ahli berbeda dari saksi mata, dimana saksi ahli
tidak memberikan informasi berdasarkan penglihatan perkara, melainkan
informasi yang berhubungan dengan wilayah sekitar masalah tersebut. Hanya
saksi ahli yang dapat memberikan informasi sebagai bukti yang berdasarkan
pendapat. Beberapa persoalan yang biasa menjadi pokok dalam bukti seperti
tingkat fungsi intelektual tersangka dan implikasinya terhadap proses persidangan,
kerentanan saksi dalam proses interogasi yang bisa saja menyebabkan pengakuan
terpaksa dan kemugkinan resiko seseorang kembali melakukan tindakan kejahatan
tersebut. Persoalan-persoalan yang dikemukakan oleh saksi ahli tidak bisa secara
langsung menentukan tersangka salah atau tidak tetapi masih memiliki implikasi
dimana; prosedur normal pengadilan mungkin perlu dimodifikasi untuk
mengakomodasi kemampuan kognitif tersangka; bukti pengakuan yang
dinyatakan mungkin tidak dapat diterima; pengakuan yang dinyatakan mungkin
menjadi tidak reliable; kalimat yang dijatuhkan pada narapidana mungkin perlu
direfleksikan dengan tingkat resiko kembalinya perilaku.

Saksi ahli dapat memberikan pendapatnya sebagai bukti, tetapi testimoni yang
diberikan saksi ahli harus berhubungan dengan persoalan yang tidak bisa dilihat
tanpa pengetahuan seorang ahli, seperti; bukti teori psikologi, hasil tes psikometri

23
atau hasil eksperimen. Kewajiban psikolog sebagai saksi ahli harus menyediakan
pendapat objektif pada perkara yang tidak bisa dilihat selain seorang ahli. 5

Menurut Costanzo (2006) peran psikologi dalam hukum sangat luas dan
beragam. Ia memberikan tiga peran.

• Pertama, psikolog sebagai penasehat. Para psikolog sering kali digunakan


sebagai penasehat hakim atau pengacara dalam proses persidangan.
Psikolog diminta memberikan masukan apakah seorang terdakwa atau
saksi layak dimintai keterangan dalam proses persidangan.
• Kedua, psikolog sebagai evaluator. Sebagai seorang ilmuwan, psikolog
dituntut mampu melakukan evaluasi terhadap suatu program.
• Ketiga, Psikolog sebagai pembaharu. Psikolog diharapkan lebih memiliki
peran penting dalam sistem hukum. Psikolog diharapkan menjadi
pembaharu atau reformis dalam sistem hukum. Psikolog diharapkan
mampu mengaplikasi ilmu pengetahuannya ke dalam tataran aplikatif,
sehingga sistem hukum, mulai dari proses penangkapan, persidangan,
pembinaan, dan penghukuman berlandaskan kajian-kajian ilmiah
(psikologis),
Ketika seorang saksi mata memberi keterangan, baik di tahap
penyelidikan, penyidikan maupun di persidangan pengadilan, maka
Psikologi Hukum akan sangat banyak membantu menilai keakuratan
kesaksian tersebut.

Psikolog Sebagai Saksi Ahli Dalam Kasus Pidana Saksi ahli adalah seseorang
yang hadir dalam pengadilan. Tetapi informasi yang dimiliki oleh seorang saksi
ahli berbeda dari saksi mata, dimana saksi ahli tidak memberikan informasi
berdasarkan penglihatan perkara, melainkan informasi yang berhubungan dengan
wilayah sekitar masalah tersebut. Hanya saksi ahli yang dapat memberikan
informasi sebagai bukti yang berdasarkan pendapat. Beberapa persoalan yang

24
biasa menjadi pokok dalam bukti seperti tingkat fungsi intelektual tersangka dan
implikasinya terhadap proses persidangan, kerentanan saksi dalam proses
interogasi yang bisa saja menyebabkan pengakuan terpaksa dan kemugkinan
resiko seseorang kembali melakukan tindakan kejahatan tersebut. Persoalan-
persoalan yang dikemukakan oleh saksi ahli tidak bisa secara langsung
menentukan tersangka salah atau tidak tetapi masih memiliki implikasi dimana;
prosedur normal pengadilan mungkin perlu dimodifikasi untuk mengakomodasi
kemampuan kognitif tersangka; bukti pengakuan yang dinyatakan mungkin tidak
dapat diterima; pengakuan yang dinyatakan mungkin menjadi tidak reliable;
kalimat yang dijatuhkan pada narapidana mungkin perlu direfleksikan dengan
tingkat resiko kembalinya perilaku. Saksi ahli dapat memberikan pendapatnya
sebagai bukti, tetapi testimoni yang diberikan saksi ahli harus berhubungan
dengan persoalan yang tidak bisa dilihat tanpa pengetahuan seorang ahli, seperti;
bukti teori psikologi, hasil tes psikometri atau hasil eksperimen. Kewajiban
psikolog sebagai saksi ahli harus menyediakan pendapat objektif pada perkara
yang tidak bisa dilihat selain seorang ahli. 5 Menurut Costanzo 2006 peran
psikologi dalam hukum sangat luas dan beragam. Ia memberikan tiga peran.
Pertama, psikolog sebagai penasehat. Para psikolog sering kali digunakan sebagai
penasehat hakim atau pengacara dalam proses persidangan. Psikolog diminta
memberikan masukan apakah seorang terdakwa atau saksi layak dimintai
keterangan dalam proses persidangan. Kedua, psikolog sebagai evaluator. Sebagai
seorang ilmuwan, psikolog dituntut mampu melakukan evaluasi terhadap suatu
program. Ketiga, Psikolog sebagai pembaharu. Psikolog diharapkan lebih
memiliki peran penting dalam sistem hukum. Psikolog diharapkan menjadi
pembaharu atau reformis dalam sistem hukum. Psikolog diharapkan mampu
mengaplikasi ilmu pengetahuannya ke dalam tataran aplikatif, sehingga sistem
hukum, mulai dari proses penangkapan, persidangan, pembinaan, dan
penghukuman berlandaskan kajian-kajian ilmiah psikologis, Ketika seorang
saksi mata memberi keterangan, baik di tahap penyelidikan, penyidikan maupun
di persidangan pengadilan, maka Psikologi Hukum akan sangat banyak membantu
menilai keakuratan kesaksian tersebut.

25
2.8 Peran Psikologi dalam Hukum
Secara umum peran psikologi dibagi dua area, yaitu Kelimuwan dan Aplikatif.
Pada tataran keilmuwan, psikologi berperan dalam proses pengembangan hukum
berdasarkan riset-riset psikologi. Sementara pada tataran aplikatif, psikologi
berperan dalam intervensi psikologis yang dapat membantu proses 6 hukum.
Friedman (dalam Lumbuun, 2008) mengatakan bahwa terdapat tiga aspek dalam
sistem hukum. Pertama, Struktur, yang berkaitan lembaga yang membuat dan
menegakan hukum, termasuk DPR, kepolisian, kejaksaan, hakim dan para
advokat.
Kedua, Subtansi, yang menyangkut dari materi hukum baik yang tertulis atau
yang tidak tertulis. Ketiga Budaya Hukum, yaitu sikap orang terhadap hukum dan
sistem hukum yang meliputi kepercayaan, nilai, pikiran dan harapan.

Di Indonesia peran Psikologi dalam Hukum sudah mulai terlihat semenjak


hadirnya Asosiasi Himpunan Psikologi Forensik pada tahun 2007. Peran psikologi
forensik dibutuhkan untuk membantu mengungkapkan kasus-kasus kriminal yang
menimpa masyarakat. Psikolog forensik dapat membantu aparat penegak hukum
memberi gambaran utuh kepribadian si pelaku dan korban

Peran Psikologi dalam Proses Hukum

Area Peran
Polisi Membantu polisi dalam melakukan penyidikan
pada korban,saksi dan pelaku
Kejaksaan Membantu jaksa dalam memahami kondisi
psikologis pelaku,korban dan memberikan
perlatihan tentang gaya bertanya kepada saksi.
Pengadilan Sebagai saksi ahli dalam persidangan
Lembaga Kemasyarakatan Asesmen dan intervensi psikologi pada narapidana

26
Seperti telah diuraikan bahwa psikologi secara langsung dan tidak langsung
berkaitan proses penegakan hukum. Sebagai suatu ilmu yang mempelajari
perilaku dan proses mental manusia, psikologi memiliki peran penting dalam
penegakan hukum di Indonesia. Peran psikologi terutama pada aparat penegak
hukum (polisi, jaksa, hakim, petugas lapas) dan pihak-pihak yang terlibat (saksi,
pelaku dan korban). Selain itu, psikologi juga berperan pada sistem hukum dan
warga yang terkena cakupan hukum.
Ada beberapa peran psikologi dalam penegakan hukum di Indonesia, yaitu;
Pertama, Psikologi berperan dalam memperkuat aparat penegak hukum dalam
menegakkan hukum. misalnya bagaimana peranan intervensi psikologis dalam
meningkatkan perfomance polisi. Hasil penelitian Arnetz dkk., (2009)
menunjukkan bahwa hasil pelatihan resiliensi dapat meningkatkan performance
polisi. Selain aparat penegak hukum, yang tidak kalah penting adalah keluarga
aparat penegak hukum.
Kedua, Psikologi berperan dalam menjelaskan kondisi psikologis pelaku,
korban dan saksi sehingga aparat penegak hukum dapat mengambil keputusan
dengan tepat.
Ketiga, Psikologi berperan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat dalam
mematuhi hukum yang berlaku. Misalkan, psikologi dapat membantu polisi dalam
membentuk masyarakat sadar dan taat aturan melalui kegiatan seminar dan
aktifitas yang berbasiskan masyarakat.
Jika dilihat dari proses tahapan penegakan hukum, psikologi berperan dalam
empat tahap;
1. Pencegahan (deterrent)
2. Penanganan (pengungkapan dan penyidikan)
3. Pemindanaan
4. Pemenjaraan.

27
Pada Tahap Pencegahan, psikologi dapat membantu aparat penegak hukum
memberikan sosialisasi dan pengatahuan ilmiah kepada masyarakat bagaimana
cara mencegah tindakan kriminal. Misalkan, psikologi memberikan informasi
mengenali pola perilaku kriminal, dengan pemahaman tersebut diharapkan
msyarakat mampu mencegah perilaku kriminal.

Pada Tahap Penanganan, yaitu ketika tindak kriminal telah terjadi, psikologi
dapat membantu polisi dalam mengidentifikasi pelaku dan motif pelaku sehingga
polisi dapat mengungkap pelaku kejahatan. Misalkan dengan teknik criminal 11
profiling dan geographical profiling.

Criminal profiling merupakan salah cara atau teknik investigasi untuk


mengambarkan profil pelaku kriminal, dari segi demografi (umur, tinggi, suku),
psikologis (motif, kepribadian), modus operandi, dan setting tempat kejadian
(scene).

Geographical profiling Merupakan suatu teknik investigasi yang menekan


pengenalan terhadap karakteristik daerah, pola tempat, seting kejadian tindakan
kriminal, yang bertujuan untuk memprediksi tempat tindakan krminal dan tempat
tinggal pelaku kriminal sehingga pelaku mudah ditemukan (kemp & Van, 2007)

Pada Tahap Pemindanaan, psikologi memberikan penjelasan mengenai kondisi


psikologis pelaku kejahatan sehingga hakim memberikan hukuman
(pemindanaan) sesuai dengan alat bukti dan mempertimbangkan motif/kondisi
psikologis pelaku kejahatan.

Menurut Muladi dalam (Rizanizarli, 2004) tujuan pemindanaan adalah


memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan tindak pidana.

Ada dua teori yang terkait dengan tujuan pemindanaan yaitu :

Pertama, Teori Retributif (balas dendam), teori ini mengatakan bahwa setiap
orang harus bertanggung jawab atas perilakunya, akibatnya orang tersebut harus
menerima hukuman yang setimpal.

28
Kedua, Teori relatif (tujuan), teori ini bertujuan untuk mencegah orang melakukan
perbuatan jahat.

Hukum merupakan aturan atau adat yang dikukuhkan oleh penguasa atau
pemerintah. Setiap Negara mempunyai hukum yang diorientasikan dengan
budaya, etnis, dan ras, yang finalnya nanti disepakati oleh kekuatan undang-
undang pemerintahan. Proses hukum melaksanakan undang-undang yang
berpasal-pasal, begitu juga dengan para psikolog yang juga mempunyai kode-
kode etik dalam membantu proses hukum. Peran dari seorang praktisi hukum
adalah sebagai penegak keadilan untuk membantu masyarakat yang prilakunya
telah melanggar aturan pemerintah. Membantu bukan seperti yang salah di
benarkan dan benar disalahkan akan tetapi meluruskan proses hukum
sebagaimana aturan, kode etik, dan undang-undang pemerintahan. Di Negara
Amerika Serikat proses hukum tidak hanya di tegak dan di perankan oleh seorang
yang lulus dari perguruan tinggi jurusan hukum, namun mahasiswa yang lulus
sebagai psikologi forensik itupun sudah mempunyai hak dan kewajiban dalam
memberantas orang-orang yang terdakwa, tersangka, dan terpidana.

Proses hukum di perankan oleh korban, pelaku, aparat, dan saksi yang hal tersebut
sudah menjadi bagian-bagian dari hukum pidana dan hukum perdata. Hukum hal
yang harus kita pahami dan memahami proses-prosesnya karena kita sebagai
manusia tidak pernah skip dengan undang-undang pemerintah sebagai negara
yang mempunyai etika. Di setiap pelanggaran proses hukumlah yang beranjak,
dan di setiap proses hukumlah psikolog forensik mempunyai peran serta hak
dalam membantu, namun sebagai gelar yang praktisi bukan yang sebagai seorang
ilmuwan. Psikolog forensik di Indonesia masih masuk dalam kategori psikologi
klinis, sehingga ketika ada masalah tentang hukum psikolog dapat mengasesment
korban ataupun pelaku.

Banyak peran sebagai seorang psikolog di Indonesia dalam membantu proses


hukum, yaitu dengan aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga

29
pengembangan masyarakat. Seperti terjadinya banyaknya kasus-kasus pada akhir-
akhir ini seperti pelecehan seksual, pembunuhan, dan lain sebagainya. Kasus-
kasus seperti itu juga perlu penanganan dari seorang psikolog untuk mengasesmen
pelaku dan korban dalam hal ke-abnormalitasnya. Yakni mereka perlu di lihat dari
beberapa aspeknya, seperti kepribadiannya, kognitif, klinis, perkembangan, dan
sosialnya, karena setiap pelaku dan korban pasti mempunyai latar belakang yang
bisa menyebabkan mereka melakukan hal-hal yang tidak sewajarnya. Bisa jadi
pelaku mempunyai gangguan pedofilia, psikopat, ataupun retardasi mental
sehingga bisa melakukan kejahatan-kejahatan, maka peran psikolog bertanggung
jawab mengidentifikasi dan mengasesmen pelaku dan korban untuk melakukan
konseling, bagaimana supaya mereka tidak terjerat hukum yang berlapis. Semisal
pelakunya adalah anak kecil ketika melakukan pelecehan seksual, itu merupakan
suatu yang tidak sewajarnya. Nah, apakah logis sebagai pengadilan menjudge
mereka dengan hukuman yang berlapis, karena hal itu sudah tidak melindungi
anak kecil yang masih dalam tahap perkembangan yang belum matang. Dalam hal
ini sebagai seorang psikolog melakukan tindakan-tindakan untuk melindungi dan
menagsesment anak tersebut.

Di dalam proses hukum terdapat banyak undang-undang, kode etik, dan etika
untuk menitikbelakangi dalam pencapaian permasalahan-permasalahan yang
bertujuan menyelesaikannya dengan secara adil dan bijaksana. Kebijaksanaan
dalam proses hukum adalah menyeimbangkan antara aparat-aparat dengan
psikolog yang mana mereka saling membantu antara titik kelemahannya dan
kelebihannya. Sehingga permasalahan tersebut bisa di judge dengan faktual tanpa
menduga-duga yang masih belum kepastiannya, dan tidak salah menjudge
seseorang yang belum tentu juga salah.

2.9 Contoh Studi Kasus

Pemerintah Kota Sukabumi menetapkan kasus kekerasan seksual yang


dilakukan oleh Andri Sobari alias Emon, 24 tahun, tersangka kasus sodomi
puluhan anak, sebagai kejadian luar biasa (KLB). Pasalnya, korban dalam kasus

30
sodomi yang terjadi di wilayah Kota Sukabumi ini banyak dan berlangsung dalam
kurun waktu tidak terlalu lama.

"Karena banyaknya korban pencabulan dan sodomi ini, saya tetapkan peristiwa
ini menjadi KLB," kata Wali Kota Sukabumi H. Muhammad Muraz saat ditemui
di aula utama Pemerintah Kota Sukabumi, Senin, 5 Mei 2014.

Ia mengatakan, setelah Kota Sukabumi ditetapkan menjadi KLB, pihaknya


langsung memberikan pelayanan satu atap terhadap semua yang menjadi korban
tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh Emon. "Kami membuka pelayanan
satu atap dalam penanganan kasus ini," katanya. (Baca:Pemuda di Sukabumi,
Emon, Sodomi 47 Bocah)

Menurut dia, pemerintah Sukabumi pun telah mengeluarkan Surat Keputusan


Wali Kota Nomor 92 Tanggal 2 Mei 2014 tentang Pencegahan dan Penanganan
Dampak Kekerasan Seksual terhadap Anak di Kota Sukabumi. "SK Ini dibuat
khusus setelah munculnya korban kekerasan seksual dan pencabulan yang terjadi
di wilayah Kota Sukabumi," katanya.

"Kami pun tidak menyangka kasus yang banyak dan mencuat bagai fenomena
gunung es ini terjadi di Sukabumi dengan korban anak mencapai puluhan," kata
Wali Kota.

Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel, menyebut, tersangka kasus


dugaan sodomi terhadap ratusan anak di Sukabumi, Jawa Barat, AS alias Emon,
tidak bisa digolongkan seorang paedofilia. Menurutnya, aksi Emon hanya
tergolong tindakan kekerasan seksual kepada anak.

“Perilaku Emon kepada anak-anak diduga karena konpensasi akibat perasaan


takut, kebencian dan kemarahan tersangka. Karena informasinya, Emon pernah
beberapa kali menjadi korban kekerasan seksual,” kata Reza kepada wartawan,
Kamis, (8/5/2014).

31
Dia menjelaskan, kekerasan seksual kepada anak berbeda dengan paedofilia.
Paedofilia adalah ketertarikan seksual seorang dewasa terhadap anak-anak.
Disebabkan beberapa faktor, seperti kecenderungan memiliki rasa ketertarikan
yang berlebih kepada anak.

“Tapi kalau kekerasan seksual kepada anak, biasanya si pelaku memiliki alat
kelamin yang tidak sempurna, sehingga tidak mempunyai kesempatan atau pilihan
untuk melampiaskan secara umum hasrat seksualnya seperti kepada pekerja seks
komersial,” katanya.

Karena itu, ujar Reza, perilaku menyimpang Emon lebih kepada pelampiasan
kepada anak-anak yang menjadi objek penggantinya.“Jadi bisa dikatakan perilaku
tersangka itu terdorong karena faktor situasi. Dan yang paling kuat ada rasa balas
dendam karena si Emon pernah menjadi korban kekerasa seksual sebelumnya,”
katanya.

“Kenapa saya menyebut Emon bukan seorang pedofilia, karena dari pantauan
saya tersangka merasa malu, jijik dan marah yang ditandakan dengan cara Emon
mengumpulkan nama-nama anak dalam bukunya sebagai rasa kemenangan
dirinya yang telah berhasil mendominasi aksi balas dendamnya tersebut,”
lajutnya. Reza menduga bahwa Emon melakukan kekerasan seksual terhadap anak
karena mereka lemah dan mudah dieksploitasi, serta dibungkam.

Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan Kota Sukabumi, Ritanenny,


mengatakan pihaknya belum bisa menyimpulkan apakah Emon seorang pedofilia
atau bukan. Untuk menetapkan seseorang sebagai pedofilia harus menempuh
penelitian yang cukup panjang, melalui proses uji psikologi dan psikitris.“Maka
dari itu, berkaca kepada kasus Emon yang telah melakukan pelecehan seksual dan
sodomi kepada anak-anak pihaknya akan melakukan penelitian terlebih dahulu
dan mencari rekam jejak Emon semasa kecilnya,” kata Rita. 6

32
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan

Seperti yang sudah dipaparkan diatas bahwa psikologi adalah cabang ilmu
tentang kejiwaan manusia. Dan hukum yang berisi peraturan yang mengatur
manusia-manusia dalam masyarakat. Dan kedua ilmu ini, psikologi dan hukum
memiliki keterkaitan dan menyatu dalam cabang ilmu psikologi hukum dan
memberikan manfaat kepada masyarakat. Psikologi hukum adalah suatu cabang
pengetahuan yang mempelajari hukum sebagai suatu perwujudan dari jiwa
manusia. Ilmu pengetahuan ini mempelajari perilaku atau sikap tindakan hukum
yang mungkin merupakan perwujudan dari gejala – gejala kejiwaan tertentu, dan
juga landasan kejiwaan dari perilaku atau sikap tindakan tersebut.

Setiap tindakan manusia, dalam hal ini tindakan kriminal yang dilakukan oleh
tersangka bisa jadi di latar belakangi oleh faktor psikologis. Dan ilmu psikologi
hukum hadir dan memiliki andil dalam proses penyelidikan dan penegakan ilmu
hukum. Peran psikologi dalam hukum memberikan manfaat yang besar dalam
perkembangan ilmu hukum, serta memberikan banyak manfaat dalam penuntasan
kasus-kasus hukum sesuai prespektif psikologi.

33
3.2 Saran

Demikianlah definisi Psikologi Hukum yang penulis paparkan menurut beberapa


pakar hukum. Penulis menyadari akan masih banyak nya kesalahan penulisan, dan
kekurangsempurnaan materi. Maka dari itu penulis dengan senang hati membuka
kesempatan bagi para pembaca untuk memberikan saran dan atau kritikan untuk
dijadikan motivasi dan perbaikan bagi penulis untuk karya-karya tulisan yang
mungkin akan penulis buat lagi dimasa yang akan datang, sehingga penulis dapat
menghasilkan karya tulis yang lebih baik dari sebelumnya. Penulis juga
mengucapkan terima kasih atas dosen pembimbing mata kuliah Bahasa Indonesia
Bapak Soleh Ibrahim, M.Pd.. Yang telah memberi kesempatan bagi penulis untuk
dapat membuat makalah ini sebagai salah satu tugasnya.

34
DAFTAR PUSTAKA

R. Soeroso, S.H. PENGANTAR ILMU HUKUM. Hlm 317

H . Riduan Syahrani, S.H. , RANGKUMAN INTISARI ILMU HUKUM. Hlm


227-228

http://raypratama.blogspot.com/2012/02/faktor-faktor-penyebab-kejahatan.html
diakses pada 16 juni 2014

http://psikologiforensik.com/2012/06/15/memori-dan-kesaksian-di-peradilan/
diakses ada 16 juni 2014

http://suara.com/news/2014/05/09/075736/psikolog-forensik-sebut-emon-bukan-
pedofilia/ diakses pada 16 juni 2014

http://hrd-rkp1986.blogspot.com/2010/08/psikologi-dan-hukum.html

35

Anda mungkin juga menyukai