Anda di halaman 1dari 27

Optimalisasi Peran Aktif Masyarakat

dalam Mendukung Aparatur Penegak Hukum


Berdasarkan Perspektif Teori Hukum

MAKALAH
Diajukan untuk Melengkapi Ujian Tengah Semester 2015-2016
Mata Kuliah: Teori Hukum
Dosen: DR. Edy Faishal Muttaqin, S.H., S.SOS., M.H
Nurlis Effendi
NIM: 74115100
Kelas: MIH (1B)

Fakultas Hukum/Program Pascasarjana Magister Hukum


Universitas Batam
2015
Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif
Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

Latar Belakang
Kalau mau melihat kondisi satu negara, maka lihatlah lalu lintasnya. Kalau negara
itu benar melaksanakan pembangunan fisik dan manusianya yang tertata dan juga
penegakkan hukum yang baik, maka lalu lintas negara tersebut pasti tertata baik.
Kalimat itu sederhana saja, namun sering digunakan pengamat atau pakar hukum
ketika menjelaskan kondisi hukum di Indonesia kepada wartawan yang mewawancari
mereka. Misalnya, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ganjar
Bondan Laksamana. Ia mengutip kalimat itu saat menjelaskan persoalan lalu-lintas
kepada poskotanews.com, media onlinenya koran Pos Kota terbitan Jakarta, pada 12
September 2013.
Konteksnya adalah kecelakaan yang dialami Abdul Qadir Jaelani yang
mengemudikan mobil saat berusia 13 tahun. Ia memacu kencang mobil yang
dikendarainya di jalan Tol Jagorawi (Jakarta Timur) mengarah ke Pondok Indah, Jakarta
Selatan. Ia kehilangan kendali, hingga menabrak pembatas jalan dan mobilnya melayang
menabrak dua mobil lainnya di Kilometer 8. Kecelakaan ini mengakibatkan tujuh orang
tewas.
Abdul Qadir Jaelani memang diadili, hakim membebaskannya dari tuntutan
hukuman. Sebab belum cukup umur untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Pengamatan majelis, ia masih dapat dibina untuk memperbaiki kesalahannya.
Pertimbangan lain mengacu pada UU No 3 Tahun 1997 tentang Perlindungan Anak.
Abdul Qadir Jaelani menjadi sorotan media lantaran ia putranya Ahmad Dhani,
seorang musisi papan atas di Indonesia. Namun bukan persoalan itu yang menjadi
sorotan pengamat hukum. Kasus kecelakaan anak pesohor dianggap hanyalah sebagai
pemantik saja. Sebab, kasus-kasus serupa sudah jamak di Indonesia.
Bahkan, di Jakarta sebagai pusat Ibukota Republik Indonesia memiliki kondisi
lalulintas yang sungguh semrawut. Mulai dari parkir sembarang, melintas di jalur sesuka
hati si pengemudi. Jika belum membahayakan jiwanya atau hartanya, si pengemudi belum
akan mematuhi aturan lalulintas yang terpampang di setiap sudut jalan. Itu belum lagi
sekelompok pejabat dan orang-orang kaya yang mengendarai motor gede, mereka
menerabas berbagai aturan lalu lintas dan dikawal pula oleh aparat kepolisian.
Itulah sebabnya, Ganjar Bondan Laksamana, menyimpulkan bahwa

Indonesia

memiliki managemen transportasi yang buruk, kesadaran hukum yang buruk dan
Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif
Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

kemauan aparat hukum yang buruk dalam menegakkan hukum. Dalam kasus Abdul Qadir
Jaelani, sangat jelas terlihat sikap orang tua yang tidak mengawasi anaknya sehingga
anak pun menjadi melanggar hukum.
Lemahnya kesadaran hukum di Indonesia, bukan saja yang dilakukan anak-anak
yang memang seharusnya ada pengawasan dari orang tua bahkan menteri pun
melanggar aturan. Misalnya, ketika Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, Dahlan
Iskan, mengemudikan mobil yang belum laik jalan dan juga menggunakan plat bernomor
palsu, hingga terjadi pula kecelakaan.
Persoalan yang lebih sederhana lagi adalah tentang sampah. Di setiap daerah di
Indonesia ini hampir menyeluruh menyerukan kebersihan, mulai dari tingkat pemerintahan
di ibukota, sampai ke provinsi-provinsi dan juga kabupaten/kota hampir bisa dipastikan
semuanya memiliki peraturan daerah tentang kebersihan. Bahkan dikuatkan dengan
satuan kerja, misalnya ada dinas kebersihan. Tak hanya itu, tempat-tempat sampah juga
disediakan di berbagai sudut kota, bahkan setiap provinsi atau kabupaten/kota yang
bersih mendapat apresiasi anugerah Adipura. Namun tetap saja pelanggaran terjadi
secara masif.
Itu baru masalah-masalah yang elementer dalam keseharian masyarakat, kita
belum masuk ke tatataran permainan para elit di negeri ini dalam mengangkangi hukum.
Dimulai dari hal-hal kecil seperti pelayanan publik yang bernuansa transaksional di
pemerintahan, palu-palu hakim yang berdentam aneh bunyinya saat mengadili pejabat
atau pengusaha, hingga terungkapnya skandal papa minta saham sebagai isyarat main
mata untuk menerabas hukum antara pengusaha asing (penanaman modal asing di PT
Freeport) dengan para elit di negeri ini, bahkan menyeret nama Ketua DPR-RI, Setya
Novanto
Artinya, fenomema yang terjadi di Indonesia menunjukkan kecenderungan
masyarakat yang tidak peduli dengan hukum, kecuali itu membahayakan jiwa atau barang
miliknya, sebangun dengan mental aparat yang tak menjalankan kewenangan
sebagaimana mestinya, kecuali jika itu menguntungkannya secara pribadi yang ukurannya
adalah materi.
Sehingga dari sini muncullah ungkapan-ungkapan satir di tengah masyarakat
seperti misalnya KUHP yang diplesetkan dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana
menjadi Kasih Uang Habis Perkara, dan UUD dari Undang-undang Dasar menjadi Ujungujungnya Duit.
Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif
Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

Jika melihat kondisi penegakan hukum dan juga kesadaran hukum masyarakat di
Indonesia yang begitu merosot, kita perlu membuka kembali lembaran-lembaran Undangundang Dasar 1945 yang menjadi dasar hukum paling tinggi di Indonesia. Ternyata di
dalamnya ada konsepsi-konsepsi ideal untuk sebuah negara yang ideal.
Di dalam UUD 1945 itulah disebut bahwa Negara Indonesia menganut paham
kedaulatan raktyat yang berdasarkan Pancasila.

Konsepsi dasar ini tertera pada

pembukaan Undang Undang Dasar 1945 yang menyebutkan, bahwa negara ini berdiri
untuk kesejahteraan umum. Kemudian juga bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadai dan keadilan sosial.
Selanjutnya, disebutkan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Paham itu tertuang dalam Undang-undang Dasar yang mengandung pengertian
bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum yang demokrasi, sekaligus demokrasi
yang berdasarkan hukum. Pada tataran dasar negara, jelas tergambarkan bahwa
kedaulatan rakyat menjadi pokok berasalnya supremasi hukum dan kedaulatan hukum.
Soal ini pun sangat jelas disebutkan pada Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan, di Pasal
1 (satu) disebutkan, (1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk
Republik, (2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undangundang Dasar, (3) Negara Indonesia adalah negara hukum.
Secara singkat bisa diuraikan, menurut UUD 1945, alur berlangsungnya kehidupan
kenegaraan di Indonesia ini tertata berdasarkan pemisahan kekuasaan, yaitu kekuasaan
membentuk undang-undang (legislatif), kekuasaan menjalankan undang-undang
(eksekutif) dan kekuasaan mengadili (yudikatif). Masing-masing kekuasaan ini
menjalankan amanah rakyat secara merdeka.
Tiga pilar negara itu disebut sebagai lembaga tinggi negara, adapun lembaga
tertinggi negara adalah MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), hanya lembaga inilah
yang berwenang menetapkan

atau mengubah UUD 1945, dan juga memberhentikan

presiden dan atau wakilnya dalam masa jabatannya.


Dari tatanan kenegaraan itulah mengalir berbagai produk hukum di dalam negara
ini, mulai dari hukum publik hingga ke hukum privat. Melalui perangkatnya, hukum
Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif
Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

mengatur hiruk pikuk negeri ini. Jika merujuk pada UUD 1945, maka semuanya sudah
tertata dengan rapi, terstruk dengan baik, bahkan membuka peluang untuk
memperbaikinya agar lebih baik lagi.
Masyarakat juga diberi peluang yang seluas-luasnya untuk berpartisipasi dalam
pengelolaan negara, diberi peran dalam proses supremasi hukum agar berjalan dengan
baik di sini. Itu terang terdapat pada Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, yaitu setiap
orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Di sini
diatur hak sebagai manusia secara detail yang tertuang dari pasal 28A hingga pasal 28J.
Untuk melihat konteks pembahasan dalam makalah yang berjudul Optimalisasi
Peran Aktif Masyarakat dalam Mendukung Aparatur Penegak Hukum Berdasarkan
Perspektif Teori Hukum ini, juga terang terdapat dalam Pasal 28E (ayat 3) yang berbunyi
setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Jika kita terjemahkan dalam konteks pembahasan makalah ini, maka pasal ini menjadi
rujukan dasar bahwa setiap orang berhak mengeluarkan pendapatnya dalam segala hal di
negeri ini, termasuk terlibat dalam mengkoreksi penyelewenangan-penyelewengan yang
terjadi dalam penegakan hukum yang tidak sesuai dengan jiwa negeri ini.
Namun semua itu bisa dilaksanakan dengan tata krama, norma-norma serta
kaedah-kaedah yang melingkupi hidup dan kehidupan manusia juga, sehingga tidak
menimbulkan kekacauan di atas kekacauan.
Itulah sebabnya, kemerdekaan individu ini dikunci dengan Pasal 28J (2), yaitu
dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis.
***

Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif


Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

Permasalahan
Di negara Indonesia kini dalam gambaran media massa telah terjadi dalam suatu
kondisi yang bertolak belakang antara harapan dan kenyataan. Negara ini berdiri dengan
cita-cita memberikan kebahagiaan bagi seluruh rakyatnya, namun dalam perjalanannya
terjadi kekacauan dalam menjalankan aturan, baik itu yang dilakukan anggota masyarakat
maupun aparat penyelenggara negara.
Pada satu frame, sebagian masyarakat dan sebagian aparat, bersama-sama
mengaduk-aduk peraturan sesuai dengan kepentingan yang melingkupi mereka masingmasing. Boleh dikata inilah sebuah kolaborasi nafsu untuk meraih secara total
kesejahteraan, kesenangan atau kebahagiaan tanpa memperhatikan ada orang yang
sengsara akibat dari perbuatan mereka. Situasi seperti ini telah menempatkan si kaya, si
penguasa, dan si preman, pada posisi di tampuk kesenangannya.
Lalu, apakah itu pertanda sudah terjadi pergeseran dari keinginan publik maupun
penyelenggara negara dalam meraih hidup dan kehidupan yang ideal di Indonesia.
Sehingga terjadi suatu situasi yang kontradiksi atau sebuah situasi yang berlawanan
dengan intuisi. Kegiatan suap menyuap mulai terbiasa, dan transaksi hukum pada
pelanggaran lalulintas menjadi lumrah, bahkan seolah-olah tindakan itulah yang benar.
Wujud negara menjadi paradoks. Kondisi ini sangat berbahaya bagi kehidupan dalam
sebuah negara di dalam cahaya kebenarannya yang mulai remang-remang.
Jadi dalam situasi begini, timbul pertanyaan apa sebetulnya yang menjadi sebab
kekacauan itu? Mengapa penerapan hukum dan penegakan aturan-aturan menjadi
abnormal? Pertanyaan lainnya, siapa yang memulai kesalahan yang masif ini? Bagaimana
pula mengakhirinya? Lebih jauh lagi, jika pembahasannya adalah Optimalisasi Peran Aktif
Masyarakat dalam Mendukung Aparatur Penegak Hukum Berdasarkan Perspektif Teori
Hukum, maka bagaimana formulasinya?
Laksana penyakit yang sudah akut, saat proses penyembuhan selalu saja ada rasa
sakit yang mendahuluinya, setidak-tidaknya tidak ada obat yang membuat nyaman untuk
terapi kesehatan. Kita butuh formulasi membangkitkan gairah semangat masyarakat agar
berperan aktif dalam mendukung aparat penegak hukum, walau itu pahit, sehingga negara
menempuh jalur yang benar untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan sejati bagi
rakyatnya.
***
Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif
Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

Pembahasan
Mata Rantai
Hukum tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Hukum bisa menjadi
barometer perkembangan masyarakat dan juga membentuk kepribadian masyarakat,
sebaliknya masyarakat bisa juga membuat hukum berubah bentuknya. Bahkan berbagai
bentuk dan jenis atau kategori hukum itu juga lahir dari imajinasi yang tumbuh dalam
masyarakat, karena hukum itu adalah sesuatu yang abstrak maka kemudian dirasionalkan
dalam bentuk kaedah-kaedah untuk mengatur perilaku manusia itu sendiri.
Misalnya perilaku antarmanusia dalam masyarakat, antara manusia dan makhluk
lain (contohnya perlindungan hewan), serta manusia dan alam sekitarnya (kebersihan,
dan hutan lindung). Bahkan, di era digital sekarang ini, hubungan sosial pun ikut masuk ke
dalam teknoogi informasi ini. Karena itu muncul aturan-aturan baru yang mengatur
perilaku manusia dalam interaksinya melalui internet, seperti perbuatan-perbuatan yang
melanggar susila, penghinaan, dan penipuan di dunia maya.
Masyarakat itu berarti manusia dalam bentuk jamak, sekawanan manusia yang
berada dalam satu kawasan tetap dan saling berinteraksi, atau terjalin jaringan hubungan
antar entitas-entitas, jadi sebuah komunitas yang terdependen. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), masyarakat adalah sejumlah manusia dalam arti seluasluasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka anggap sama. Singkat kata,
istilah masyarakat itu mengacu pada sekelompok manusia yang hidup bersama dalam
satu komunitas yang teratur.
Manusia adalah makhluk yang paling unik yang ada di bumi ini. Selain tubuh yang
membutuhkan makan seperti hewan-hewan lainnya, ia memiliki tabiat untuk berinteraksi
satu sama lain, seperti bersahabat, saling mencinta, dan juga berbagi berkasih-sayang,
itulah yang disebut zoon politicon (makhluk sosial) oleh filsuf Yunani, Aristoteles (384 SM
322 SM). Menurut istilah filsuf Skotlandia, John Adam Smith (1723-1790), maka manusia
adalah homo homini socius, yaitu manusia adalah sahabat bagi manusia lainnya. Perilaku
itulah salah satu pembeda manusia dengan hewan.
Setelah berada di dalam satu kelompok masyarakat, maka lahirlah tabiat-tabiat
manusia dalam bentuk yang justru menimbulkan pergesekan kepentingan di dalam
masyakat itu sendiri. Di antaranya menurut Adam Smith pelopor ekonomi modern
menyebutkan manusia sebagai makhluk ekonomi (homo economicus), makhluk yang
Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif
Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

cenderung tidak pernah merasa puas dengan apa yang diperolehnya dan selalu berusaha
secara terus menerus dalam memenuhi kebutuhannya.
Proses pemenuhan hajat hidup inilah yang menjadi simpul masalah bagi sebagian
manusia yang hidup di tengah masyarakat, ada di antaranya yang sulit mengendalikan diri
dalam mengikuti hawa nafsu, sehingga berbuat apa saja untuk memenuhinya, bahkan
termasuk membunuh. Bahkan, kebutuhan manusia tak hanya soal materi, di antaranya
ada juga yang memiliki kecenderungan manusia yang ingin mendominasi perkumpulan
(masyarakat) itu, seperti status sosial, harga diri, harkat dan martabat. Sehingga terjadi
gesekan antar sesama.
Thomas Hobbes dalam karyanya berjudul De Cive (1951) menyebutkan homo
homini lupus, yang berarti manusia yang satu menjadi serigala bagi manusia lainnnya.
Bahkan jauh sebelum kelahiran Thomas Hobbes, istilah ini sudah ada di masa filsuf Titus
Maccius Plautus dalam karyanya berjudul Asinaria (195 SM) yaitu lupus est homo homini.
Istilah tersebut juga dapat diterjemahkan sebagai manusia adalah serigalanya manusai
yang diinterpretasi berarti manusia sering menikam sesama manusia lainnya.
Singkat kata, akhirnya manusia menginsafi butuh sandaran kuat untuk melindungi
dirinya dari ancaman kepentingan manusia yang lain. Dari sinilah kemudian lahir normanorma, maupun kaedah-kaedah, yang kemudian berkembang menjadi hukum yang hidup
di dalam masyarakat itu sendiri.
Pada prinsipnya, manusia membutuhkan hukum untuk mengendalikan manusia lain
yang dikhawatirkan akan merongrong dirinya. Seorang filsuf dari Jerman Friedrich Karl
von Savigny (21 Februari 1779 - 25 Oktober 1861) menyatakan bahwa hukum itu tidak
dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat.
Walaupun secara tersirat soal hukum ini memang sudah jelas, sangat terasakan
bahwa itu ada, namun sebetulnya secara defenisi yang jelas sangat sulit mencari
sandaran yang pasti dari para ilmuan. Prof Dr H.R. Otje Salman S., SH., dalam bukunya
Teori Hukum, mengatakan sejak Plato sampai Hart, dari Aristoteles hingga Dworkin,
bahkan orang-orang Skandinavia dan semua ahli hukum lain mencoba menjawab
pertanyaan apa hukum itu? Sulit untuk dihitung, berapa banyak literatur yang coba
memecahkan persoalan ini.
Secara dogmatik, maka hukum itu akan berwujud dalam bentuk kita undangundang. Di dalamnya adalah segala sesuatu pengaturan tentang perlaku manusia di
dalam masyarakat, baik antar individu maupun individu dengan publik, atau antara publik
Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif
Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

yang satu dengan publik yang lain. Berisi perintah dan larangan yang dibuat oleh lembaga
resmi yang berwenang, sifatnya mengikat dan mengandung unsur memaksa.
Kendati demikian, tetap saja hukum itu wajib memiliki kekuatan yang menjadi dasar
pengikatnya sehingga orang harus taat pada hukum. Prof Dr Lili Rasjidi SH SSos LLM
dalam bukunya Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum mengetengahkan empat teori
menyangkut soal ini, yaitu teori kedaulatan tuhan (teokrasi), teori perjanjian masyarakat,
teori kedaulatan negara, dan teori kedaulatan hukum.
Pada teori kedaulatan Tuhan terbagi dua jenis. Pertama yang bersifat langsung,
hukum dibuat oleh raja-raja yang menjelmakan dirinya sebagai Tuhan di dunia, contohnya
seperti dipraktekan oleh raja-raja Firaun di Mesir di masa lalu. Kedua adalah anggapan
raja-raja adalah wakil Tuhan di dunia.
Kemudian pada teori perjanjian masyarakat, para pendasar teori ini Hugo de
Groot, Thomas Hobbes, John Locke, Jean Jacques Rousseau dan Immanuel Kant
berpendapat orang taat dan tunduk pada hukum oleh karena berjanji untuk menaatinya.
Hukum dianggap kehendak bersama, atau suatu hasil konsensus (perjanjian) dari
segenap anggota masyarakat.
Berikutnya adalah teori kedaulatan negara yang berpendapat bahwa hukum itu
ditaati disebabkan negara menghendakinya. Adapun teori kedaulatan hukum menurut
Prof. Mr. H. Krabbe dalam bukunya Die Lehre der Rechssouveranitat (1906), hukum
mengikat bukan disebabkan oleh negara, melainkan karena perumusan dari kesadaran
hukum rakyat. Berlakunya hukum itu karena nilai batinnya, yaitu yang menjelma di dalam
hukum itu. Kesadaran hukum yang dimaksud berpangkal pada perasaan hukum setiap
individu, yaitu perasaan bagaimana seharusnya hukum itu.
Memang empat teori ini berbeda-beda karakternya, namun satu tujuan pokoknya
adalah bagaimana menjawab pertanyaan agar hukum itu bisa dipatuhi anggota
masyarakat. Kelihatannya, kunci utamanya adalah pada posisi negara. Adalah negara
yang mampu menjalankan kewajiban itu. Sebab negara memiliki organ-organnya yang
mampu menjalankan hukum.
Di samping teori-teori hukum, ada lagi beberapa jenis aliran hukum yang ada di
bumi ini. Diantaranya ada aliran hukum alam, aliran hukum positif, aliran utilitarianisme,
mazhab sejarah, sociological jurisprudence, dan pragmatic legal realisme.

Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif


Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

Setiap negara juga berbeda-beda dalam menerapkan teori hukum yang biasanya
sejalan dengan aliran hukum yang dianutnya, misalnya Brunei Darussalam menerapkan
teori kedaulatan tuhan melalui penerapan hukum-hukum Islam (Syariat Islam) sejak 1 Mei
2015. Artinya pada hukum yang berlaku di Brunei adalah aliran hukum alam yang
didalamnya ada ada aturan yang bersumber dari Tuhan, dan yang bersumber dari rasion
manusia.
Sebagian negara menerapkan hukum yang tanpa unsur ketuhanan dalam
aturannya, ini adalah apa yang kita kenal dengan hukum positif yang akarnya berasal dari
paham filsafat positivisme dari silfus Prancis, Auguste Comte. Hukum yang berlaku di
Indonesia sangat besar pengaru dari hukum positif, walaupun mencoba membuka ruang
untuk hukum adat yang lebih kuat pengaruh aliran hukum alam.
Setiap negara, termasuk Indonesia, dalam menerapkan hukum yang sudah
dianggap sah berdasarkan asas-asas legalitaskenegaraan di tengah-tengah
rakyatnya memiliki organ-organ hukum yang disebut sebagai aparat penegak hukum.
Unsur-unsurnya mulai dari polisi, jaksa, hingga hakim. Aparat penegak hukum inilah yang
segari-hari besentuhan dengan masyarakat dalam menegakkan aturan yang sudah
diundangkan.
Untuk masuk dalam struktur penegak hukum itupun disyarakatkan sejumlah kriteria,
intinya harus memiliki kemampuan intelektual, dan standar moral yang baik, dalam artikata
sosok manusia yang tak memiliki keburukan yang menyertainya. Tujuannya tentu saja,
agar nuansa kebaikan yang ada pada dirinya membuat masyarakat menghormati
keberadaannya, pada akhirnya mau mengikuti aturan-aturan hukum yang berlaku.
Intinya seperti apa yang pernah disebutkan ahli hukum dari Belanda, Profesor BM
Taverne (1874-1944), Geef me goede rechter, goede rechter commissarisen, goede
officieren van justitien, goede politie ambtenaren, en ik zal met een slecht wetboeken van
strafprocessrecht het geode beruken (Berikan aku hakim, jaksa, polisi dan advokat yang
baik, niscaya aku akan berantas kejahatan meski tanpa undang-undang sekalipun).
Itu menunjukkan penegakan hukum bukan undang-undang yang menentukan,
melainkan sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh manusianya. Dinamika penegakan
hukum di Indonesia memperlihatkan kebenaran pernyataan Taverne. Warna penegakan
hukum banyak ditentukan komitmen dan sosok pribadi orang yang menjadi polisi, jaksa,
hakim dan advokat.

Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif


Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

10

Pemahaman yang Salah


Adalah seorang etnolog berkebangsaan Skotlandia yang pertamakali
menggunakan kata Indonesia sebagai sinonim dari Kepulauan India. Dialah James
Richardson Logan (1819-1869) yang juga dikenal sebagai seorang pengacara di masa itu.
Ia adalah murid, Goerge Earl etnolog berkebangsaan Inggris yang pada tahun 1850
mengusulkan istilah Indunesia dan Malayunesia untuk penduduk "Kepulauan Hindia atau
Kepulauan Melayu.
Kata Indonesia ini sendiri berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu Indos yang berarti
Hindia dan nesos yang berarti pulau, yaitu wilayah Hindia kepulauan, atau kepulauan
yang berada di Hindi. Kendati demikian, Belanda lebih suka dengan istilah Kepulauan
Melayu (Maleische Archipel); Hindia Timur Belanda (Nederlandsch Oost Indi), atau
Hindia (Indi); Timur (de Oost); dan bahkan Insulinde (istilah ini diperkenalkan pada 1860
dalam novel Max Havelaar (1859).
Sedangkan orang-orang Kepulauan India lebih suka menggunakan Indonesia.
Terutama dari lingkungan akademik yang menempuh pendidikan di luar Balanda. Seperti
Adolf Bastian dari Universitas Berlin memasyarakatkan nama ini melalui buku Indonesien
oder die Inseln des Malayischen Archipels, 18841894. Lalu ada Suwardi Suryaningrat (Ki
Hajar Dewantara), ketika mendirikan kantor berita di Belanda yang bernama Indonesisch
Pers Bureau pada 1913.
Itulah sebabnya, setelah menjadi negara tersendiri, nama yang dipakai adalah
Indonesia. Lengkapnya Republik Indonesia. Ini adalah negara kepulauan yang terbesar di
dunia. Di atas luasnya yang mencapai 1.919.000 km terdapat 13.466 pulau yang bertabur
di punggung lautnya. Di situlah rakyatnya yang penduduk 255 juta jiwaperkiraan Badan
Pusat Statistik Indonesia bermukim dalam berbagai wilayah yang disebut provinsi.
Tepatnya, Indonesia berdiri pada 17 Agustus 1945, setelah 350 tahun berada dalam
tangan kekuasaan negeri Belanda.
Berlayar dari negeri Belanda pada April 1595, kapal yang dipimpin Cornelis de
Houtman ini berlabuh di Banten saat dipimpin raja Maulana Muhammad (15801605).
Tiga tahun berselang, datang lagi rombongan kedua dari Belanda yang dikomandoi Jacob
van Neck dan Van Waerwyck, dengan delapan kapalnya. Lalu mereka mendirikan
Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), yaitu perkumpulan dagang India Timur, pada
20 Maret 1605. Kantor dagang ini dibuka di Banten, dipimpin Fancois Wittlert.

Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif


Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

11

Dalam menjalankan misi dagangnya, pemerintah Belanda memberikan hak-hak


istimewa bagi VOC yang bisa bertindak seperti sebuah negara. Hak-hak istimewa yang
tercantum dalam Oktrooi (Piagam/Charta) tanggal 20 Maret 1602 meliputi hak monopoli
untuk berdagang dan berlayar di wilayah sebelah timur Tanjung Harapan dan sebelah
barat Selat Magelhaens serta menguasai perdagangan untuk kepentingan sendiri.
Kemudian ada hak kedaulatan (soevereiniteit) sehingga dapat bertindak layaknya suatu
negara, yang antara lain berwenang memelihara angkatan perang, memaklumkan perang
dan mengadakan perdamaian, merebut dan menduduki daerah-daerah asing di luar
Belanda, memerintah daerah-daerah tersebut, menetapkan/mengeluarkan mata-uang
sendiri, dan memungut pajak.
Kewenangan yang sangat luas itulah yang kemudian digunakan VOC untuk
mencengkram berbagai negara yang ada di wilayah Indonesia dan menerapkan hukum
sesuai dengan apa yang mereka pahami. Perilaku pengurus VOC yang korup, akhirnya
dibubarkan pada 1799. Kekuasaan di Indonesia langsung dikendalikan Kerjaan Belanda
tetap dengan penerapan hukum dari merka, mesikpun Balanda sendiri pada masa itu
masih kebingunan dalam menentukan hukum-hukum yang berlaku di tempatnya sendiri.
Masalahnya Kerajaan Belanda juga baru terbebas dari penjajahan Prancis pada 1815.
Artinya, Belanda masuk ke Indonesia pun sebetulnya ketika negara itu masih dalam
penjajahan Perancis.
Terletak di Eropa Barat, Perancis adalah negara yang berasal dari kedigdayaan
Romawi yang menjadi salah satu kekuatan terbesar dunia pada pertengahan abad
ke-17-19. Dari sini banyak melahirkan filsuf-filsuf ternama, termasuk salah satunya adalah
Auguste Comte penganut paham filsafat positivisme yang kemudian banyak
mempengaruhi jiwa hukum di seluruh penjuru dunia. Sebenarnya, kelahiran aliran ini
bersumber dari rasa muak Comte pada model monarchi absolut di negaranya, dia melihat
bagaimana ajaran kristen justru menjadi pembenar kepentingan kekuasaan. Memang
akhirnya pada abad 19 itu terjadilah revolusi dan Perancis yang semula monarchi absolut
menjadi negara dalam bentuk republik.
Perancis menggunakan sebuah sistem hukum sipil; yang berarti, hukum berasal
terutama dari peraturan tertulis dan hakim tidak membuat hukum. Hukum Perancis terbagi
menjadi dua bagian utama: hukum pribadi dan hukum umum. Perancis tidak mengakui
hukum agama, ataupun pengakuan keyakinan religius atau moralitas sebagai motivasi
untuk penetapan larangan. Hukum hanya dapat digunakan pada masa depan dan bukan
Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif
Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

12

masa lalu (hukum ex post facto dilarang); dan harus dilaksanakan, hukum harus secara
resmi diterbitkan dalam Journal Officiel de la Rpublique Franaise.
Model hukum seperti itu pula yang berlaku di Belanda sebagai negara jajahan
Perancis (1806-1813) sehingga akibat itu disana berlaku pula Code Prancis. Bahkan
setelah merdeka pada 1813, kodifikasi hukum perdata Belanda banyak meniru Code Civil
Prancis, yang artinya banyak meresepsi hukum Romawi, kemudian negara-negara yang
sumber hukumnya dari Romawi ini disebut Eropa Kontinental.
Itulah sebabnya, Belanda menerapkan ajaran Eropa Kontinental ini di kerajaan
yang telah ditaklukkannya di Indonesia. Sebab, mereka menganggap di wilayah Indonesia
tak ada aturan hukum. Namun, akibatnya terjadi resistensi dan penolakan alamiah dari
Indonesia. Sebab, sebelum dijajah Belanda, berbagai kerajaan di Indonesia sudah
menerapkan hukum berdasarkan keyakinan masing-masing. Ini terbangun sejak awal
mula ada manusia di negeri ini.
Seperti pandangan von Savigny yang berpangkal kepada bahwa di dunia ini
terdapat bermacam-macam bangsa yang pada tiap-tiap bangsa tersebut mempunyai
suatu volkgeist - jiwa rakyat. Percerminan dari adanya jiwa yang berbeda ini, menurut von
Savigny, tampak pula pada hukum yang sudah barang tentu berbeda pula pada setiap
tempat dan waktu.
Untuk mengetahui sumber-sumber hukum yang hidup di Indonesia, akhirnya
dikirimlah para pakar dari Belanda. Singkat kata, pembahasan soal ini juga menangkap
perkembagan sejarahnya Indonesia yang kemudian menjadi panduan untuk menggali
apa-apa saja yang hidup dalam kehidupan di negeri ini. Bahkan juga dilengkapi dengan
kerja mesin antroplogi. Terutama menyangkut simbol, sistem kepercayaan, folklore, tradisi
besar, tradisi kecil, enkulturasi, inkulturasi, primitif, dan agraris.
Meminjam kacamata antropologi, maka akan nampak sosok manusia purba yang
ada di wilayah negeri ini (sebelum menjadi negara Indonesia), yaitu Meganthropus
Paleojavanicus, Pithecanthropus Erectus, Pithecanthropus Soloensis, Pithecanthropus
Mojokertensis, Homo Soloensis, dan Homo Wajakensis. Manusia-manusia purba itu ada
yang telah menghuni tanah negeri ini sejak ribuan hingga jutaan tahun lalu.
Para penemu, misalnya Eugene Dubois di Trinil (penemu Pithecanthropus
Erectuspada dan Homo Wajakensis pada tahun 1891), G.H.R.Von Koenigswald dan F
Weidenreich (penemu Homo Soloensis pada 1921-1934 dan Meganthropus
Paleojavanicus pada 1936-1941), hanya menjelaskan kondisi fisik dan sejumlah peralatan
Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif
Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

13

yang sangat sederhana seperti batu yang menyerupai kapak genggam untuk berburu
makanannya. Diduga fosil-fosil itu identik dengan bangsa Melanesia dan Austronesia.
Dari sejumlah penelitian antropolog itu, hanya pada manusia purba Toala di yang
ditemukan perkembangan kebudayaan. Pada gua-gua di Lamoncong, Sulawesi Selatan,
yang dipergunakan sebagai tempat tinggal ditemukan lukisan lukisan, misalnya cap
tangan dan lukisan babi hutan yang dicat. Pada tingkat ini, berarti manusia Toala sudah
mengalami peningkatan daya yang bergerak dari raga ke rasa yang paling mendasar,
namun belum mencapai tahap rasio.
Lalu catatan sejarah melengkapinya dengan berbagai kerajaan yang menghiasi
punggung nusantara ini. Hukum yang berlaku berbeda-beda menurut karakter kerajaan
masing-masing. Umumnya dikenal dengan bentuk adat Melayu Polinesia.

Mulai abad

ke-4 kerajaan yang terdata dalam berbagai literatur di masa itu lebih merujuk kepada
ajaran agama Hindu dan Budha, terutama di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan. Salah satu
kerajaan tertua di masa itu adalah Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur, di Pulau Jawa ada
Kerajaan Tarumanegara, dan Sriwijaya di Sumatera. Bahkan di Aceh yang terkenal
dengan kerajaan Islam juga berawal dari sebuah kerajaan Hindu yang bernama Lamuri.
Babak berikutnya adalah datangnya pedagang-pedagang Arab dan Persia melalui
Gujarat, India, kemudian membawa agama Islam. Selain itu pelaut-pelaut Tiongkok yang
dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho (Zheng He) yang beragama Islam, juga pernah
menyinggahi wilayah ini pada awal abad ke-15. Para pedagang-pedagang ini
menyebarkan agama Islam. Samudera Pasai yang berdiri pada 1267, merupakan
kerajaan Islam pertama di Indonesia.
Dari sini dapat dilihat, pergaulan sosial yang terjadi adalah berdasarkan kaedahkaedah agama. Hukum yang hidup pun bergeser disebabkan pengaruh agama Hindu,
agama Islam, agama Kristen hukum. Menurut seorang pelopor kajian Filsafat Indonesia,
Prof Mr M Nasroen, hukum adat itu sanggup menyesuaikan diri dengan zaman. Ia
mencontohkan kedatangan agama Islam ke Minangkabau adalah menyempurnakan adat
Minangkabau yang telah ada. Sehingga akhirnya ketentuan-ketentuan agama itu menjadi
unsur hukum adat, karena telah diresepsi oleh hukum adat.
Itu pula sebabnya, timbul ungkapan-ungkapan lama yang mencerminkan sebuah
pedoman hidup dan kehidupan di sesuatu daerah. Misalnya di Aceh, ada ungkapan Adat
bak Poteu Meureuhom, Hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, reusam bak
Laksamana. Po Teumeureuhom adalah lambang pemegang kekuasaan, sedangkan
Syiah Kuala, lambang hukum syariat atau agama dari ulama. Qanun (perundangOptimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif
Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

14

undangan) yang benilai agama dan adat dari badan legeslasi. Reusam merupakan
tatanan protokuler atau seremonial adat istiadat dari ahli-ahli atau pemangku adat.
Pengembangan nilai-nilai tatanan ini mengacu kepada sumber asas yaitu, hukum ngon
Adat, lagee zat ngon Sifeut , yaitu hukum dan adat seperti zat dan sifatnya.
Inilah yang disebut oleh seorangh ahli sastra timur dari Belanda, Prof Snouck
Hurgrounje, dan Prof Mr Cornelis van Vollenhoven (guru besar Universitas Leiden di
Belanda) sebagai hukum adat (1894). Mereka inilah yang meneliti hukum yang hidup di
Indonesia sebelum Belanda datang. Bahkan, van Vollenhoven membagi 19 lingkungan
hukum adat, yaitu; Aceh, Tanah Gayo-Alas-Batak,Tanah Minangkabau, Mentawai (Orang
Pagai), Sumatera Selatan, Tanah Melayu, Bangka dan Belitung, Kalimantan, Gorontalo,
Tanah Toraja, Sulawesi Selatan, Kepulauan Ternate, Maluku Ambon, Irian, Kepulauan
Timor, Bali dan Lombok, Jawa Pusat-Jawa Timur-Madura, Daerah Kerajaan (Surakarta,
Yogyakarta), Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten).
Adapun soal penegakan hukum adat sangat dipengaruhi oleh keberadaan
pemimpin setempat. Selain itu, disebutkan juga tentang unsur-unsur yang mempengaruhi
hukum adat ini berdasarkan agama (Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya),
Kerajaan (seperti Sriwijaya, Airlangga, Majapahit) dan masuknya bangsa-bangsa Arab,
China, Eropa.
Itulah sebabnya, pada 1929, perundang-undangan di Hindia Belanda secara resmi
mempergunakan istilah ini dalam Indische Staatsregeling (Peraturan Hukum Negeri
Belanda), semacam Undang Undang Dasar Hindia Belanda, pada pasal 134 ayat (2) yang
berlaku pada tahun 1929.
Di situ disebutkan tiga kategori hukum yang berlaku di daerah jajahan Indonesia,
yaitu hukum yang berlaku bagi orang-orang Eropa dan yang dipersamakan dengan
mereka, hukum yang berlaku bagi orang-orang timur asing, dan yang ketiga hukum yang
berlaku bagi orang-orang Indonesia asli. Jadi, kategori ketiga itulah yang disebut hukum
adat, yaitu hukum yang berlaku bagi penduduk asli Indonesia, sebelum kedatangan
orang-orang asing.
Namun dalam praktiknya, banyak yang tak bisa berjalan. Ini disebabkan
ketidakpahaman petinggi-petinggi Belanda yang berkuasa di Indonesia dalam
menerapkan hukum adat. Prof Nasroen dalam karyanya berjudul Filsafat Indonesia (1967)
menegaskan keberbedaan Filsafat Indonesia dengan Filsafat Barat (Yunani-Kuno) dan
Filsafat Timur, bahwa Filsafat Indonesia adalah suatu filsafat khas yang tidak Barat dan
Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif
Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

15

tidak Timur, yang amat jelas termanifestasi dalam ajaran filosofis mupakat, pantunpantun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, gotong-royong, dan kekeluargaan.
Pada prinsipnya, penjajahan adalah sebuah ketidakadilan, sehingga hukum apapun
yang diberlakukan tetap digunakan untuk kepentingan negeri si penjajah. Untuk
membungkam kebebasan, salah satu alat hukum yang digunakan adalah haatzaai
artikelen yaitu pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia
(Wetboek van Strafrecht voor Indonesie, Koninklijk Besluit van 15 October 1915 Nr. 33,
Staatsblad 1915 -732, jis 1917-497, 1917-645 in werking getreden op 1 Januari 1918)
tentang penyebaran kebencian sebagai akibat dari penghinaan terhadap Martabat
Kerajaan.
Begitu pula yang terjadi di Indonesia saat penjajahan Belanda, dan juga jaman
penjajahan Jepang. Kondisi seperti ini terus terjadi hingga Indonesia merdeka pada 17
Agustus 1945, dan juga masa Orde Baru.

Supremasi Hukum
Begitu Soekarno-Hatta (Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta)
memplokamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, maka sejak
itulah negeri ini bergelut dengan dirinya sendiri. Di satu sisi harapan untuk bahagia dan
sejahtera membuncah pada jiwa-jiwa yang terjajah ratusan tahun ini, di sisi lain
pemerintahan masih belum terbentuk dengan sempurna, belum lagi percikan-percikan api
politik dalam negeri dan luar negeri yang terus bergerak liar.
Langkah penegakan hukum di Indonesia berjalan dengan bongkar pasang aturan
yang menjadi rujukan aturan di bawahnya. Dimulai dengan penetapan UUD 1945, yang
ditandai dengan dekolonisasi dan nasionalisasi hukum. Namun secara kesiapan, masih
terlalu muda untuk sebuah penilaian. Masa ini, dominasi para sarjana justru datangnya
juga dari negeri Belanda yang pemahaman hukumnya juga sama dengn kompeni.
Akhirnya, sebagian peraturan hukum peninggalan Belanda masih digunakan,
misalnya Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana. Hukum adat masih terdapat dalam pasal 131 Indische Staatsregeling (Peraturan
Hukum Negeri Belanda), karena dalam UUD 45 tidak ada ketentuan mengenai hukum
adat, dan oleh sebab pasal II UUD 45 aturan peralihan berbunyi segala badan negara
Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif
Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

16

dan peraturan yang masih ada langsung berlaku selama belum diadakan yang baru
menurut Undang-undang dasar ini. Adapun bentuk negara adalah Republik Indonesia
Serikat.
Kemudian dasar negara berubah menjadi UUD Sementara 1950 untuk menjadikan
Indonesia sebagai Negara Kesatua Republik Indonesia. Periode ini sudah ada perubahan
yang signifikan dari segi aturan, yaitu telah mengakui hak asasi manusia. Sebaliknya tidak
ada pembaharuan hukum maupun tata peradilan, malah kebingungan apakah akan tetap
mempertahuankan hukum dan peradilan adat atau mengkodifikasi dan mengunifikasinya
menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan
internasional.

Lalu terjadilah unifikasi peradilan. Diterbitkan Undang-Undang Nomor 9

Tahun 1950 tentang Mahkamah Agung dan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tentang
Susunan dan Kekuasaan Pengadilan. Lalu dihapus seluruh badan-badan dan mekanisme
pengadilan atau penyelesaian sengketa di luar pengadilan negara.
Sejak 17 Agustus 1950, roda negara berpotar dengan poros UUDS 50 yang
menganut sistem kabinet parlementer. UUDS 1950 ditetapkan berdasarkan UndangUndang Nomor 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik
Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, dalam
Sidang Pertama Babak ke-3 Rapat ke-71 DPR RIS pada 14 Agustus 1950 di Jakarta.
Konstitusi ini dinamakan sementara, karena bersifat tidak permanen, menunggu
terpilihnya Konstituante hasil pemilihan umum yang akan menyusun konstitusi baru.
Pemilihan Umum 1955 berhasil memilih Konstituante secara demokratis, namun
Konstituante gagal membentuk konstitusi baru sampai berlarut-larut.
Bahkan selama sembilan tahun berlakunya UUDS, terjadi pergantian perdana
menteri sampai tujuh kali, yang berarti kabinet berubah-ubah sampai tujuh kali juga. Ini
berarti, negara Indonesia selama 9 tahun itu hanya diwarnai konflik kepentingan politik .
Misalnya, Kabinet Nasir (1950-1951) yang tumbang lantaran pembentukan DPRD yang
dinilai terlalu banyak menguntung Masyumi. Kabinat Sukirman-Suwirjo (1951-1952), yang
diserang oleh kelompoknya sendiri akibat kebijakan politik luar negeri yang dinilai terlalu
condong ke Barat atau pro-Amerika Serikat. Pada masa Kabinet Wilopo (1952-1953)
sudah mulai muncul gerakan-gerakan kedaerahan dan benih-benih perpecahan yang
akan menggangu stabilitas politik Indonesia. Wilopo terjungkal saat menyelesaikan
sengketa tanah perusahaan asing di Sumatera Utara, kebijakannya ditentang oleh wakilwakil partai oposisi di DPR.
Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif
Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

17

Lalu Kabinet Ali Sastroamidjojo (1953-1955), tensi pemberontakan meningkat.


Munculnya DI/TII di Jawa Barat, Daud Beureuh di Aceh, dan Kahar Muzakar di Sulawesi
Selatan. Kabinet Ali-Wongsonegoro jatuh sebab perselisihan TNI-AD dan pemerintah
tentang tata cara pengangkatan Kepala Staf TNI-AD. Kemudian Kabinet Burhanuddin
Harahap (1955-1956), dilaksanakan pemilihan umum pertama di Indonesia. Kabinet ini
menyerahkan mandatnya setelah DPR hasil pemilihan umum terbentuk pada bulan Maret
1956. Kemudian kabinet kembali ke Ali Sastroamidjojo untuk kedua kalinya (1956-1957),
lalu beralih ke Kabinet Djuanda (1957-1959).
Tujuh kabinet berganti, amanat UUDS tak juga terlaksanakan, akhirnya terbitlah
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang mengakhiri masa parlementer dan kembali ke UUD 1945,
jadilah Indonesia dengan negara Demokrasi Terpimpin. Selanjutnya, pengembangan
hukum yang bernuansa untuk kepentingan rakyat sedikit demi sedikit terpinggirkan, yang
lebih dominan adalah kebijakan-kebijakan untuk kestabilan politik dan kekuasaan.
Bahkan, Soekarno menerbitkan Penetapan Presiden RI No 11/1963 tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi. Subversi ini adalah satu upaya pemberontakan dalam
merobohkan struktur kekuasaan termasuk negara. Langkah ini dianggap sebagai
kemunduran dalam perkembangan hukum dan demokrasi di Indonesia.
Persoalan ini terus berlanjut hingga peralihan kekuasaan dari Presiden Soekarno
ke Soeharto pun berlangsung tidak demokratis, artinya rakyat tidak terlibat dalam
keputusan politik ini. Artinya, hak demokrasi seperti yang tertera dalam UUD 1945 tak
berjalan dengan baik, walau sandarannya adalah kondisi negara yang sedang genting
lantaran pemberontakan Partai Komunis Indonesia yang terkenal dengan istilah Gerakan
30 September 1965.
Diawali dengan dikeluarkannya sepucuk surat bernama Surat Perintah 11 Maret
1966. Orde Baru pun berlangsung dari tahun 1966 hingga 1998. Selama rentang waktu 32
tahun itulah Presiden Soeharto berkuasa. Mengawali pemerintahan dengan slogan
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 "secara murni dan konsekuen, namun
pemerintahan Orde Baru sangat trauma dengan kondisi pemerintahan Orde Lama,
sehingga langkah-langkah yang dilakukan juga lebih kental pada politik mempertahankan
kekuasaan, dalam bahasa resmi adalah menjaga kestabilan nasional.
Bahkan, Orde Baru menaikkan status Penetapan Presiden No.11/PNPS/1963
menjadi UU No.11/PNPS/1963 tanggal 5 Juli 1969, padahal Penpres No.11 tahun 1963
semula telah dicabut lewat Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia/Komando Operasi Tertinggi No.36/KOTI/1964 tentang Pembentukan
Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif
Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

18

Komando Operasi Penanggulangan Kegiatan Subversi tanggal 6 Juli 1964, khususnya


pada Pasal 12. Pasal ini menegaskan semua penetapan/keputusan yang telah
dikeluarkan mengenai pemberantasan subversi, dengan dikeluarkannya keputusan ini,
dinyatakan tidak berlaku"--tentulah keputusan ini termasuk Penpres No.11/1963.
Undang-undang Subversi itulah yang kemudian menjadi sentral pemerintahan di
masa Orde Baru. Ini adalah sebuah undang-undang yang sangat berlawanan dengan
UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan. Bahkan rakyat yang bertindak mengkritisi atau menyalurkan
aspirasi pun bisa dianggap memutarbalikkan, merongrong, atau menyelewengkan ideologi
negara Pancasila atau haluan negara. Atau, hal itu dikategorikan sebagai menggulingkan,
merusak, atau merongrong kekuasaan negara atau kewibawaan pemerintah yang sah
atau aparatur negara. Bahkan, bisa dianggap "menyebarkan rasa permusuhan atau
menimbulkan permusuhan, perpecahan, pertentangan, kekacauan, kegoncangan, atau
kegelisahan di antara kalangan penduduk atau masyarakat yang bersifat luas...." Padahal,
memperingatkan itu seharusnya dianggap positif dan merupakan kewajiban kita semua.
Dalam agama, hal ini bisa termasuk amar makruf nahi mungkar.
Hasilnya, setiap ada tokoh maupun aktivis yang menuntut perubahan dan kritis
terhadap pemerintahan, jawabannya adalah pintu penjara yang terbuka lebar. Misalnya
(alm) HR Darsono, Abdulqadir Djaelani, AM Fatwa, Sri Bintang Pamungkas, Mochtar
Pakpahan, dan Budiman Sudjatmiko. Mahasiswa yang menyebar stiker "Tolak Pemilu
1997", bisa dikenai UU Anti Subversi.
Undang-undang seperti itu tentu secara langsung menutup pintu bagi rakyat untuk
ikut berpartisipasi untuk penegakan hukum di Indonesia. Apalagi untuk menjalankan UU
Subversi juga menggunakan kekuatan militer.

Intinya, UU Anti Subversi pun menjadi

momok bagi pejuang demokrasi. Ini dikenal dengan peran ganda ABRI yang diistilahkan
Dwi Fungsi ABRI. Pada masa Orde Baru, ABRI menjadi institusi paling penting di
Indonesia. Selain menjadi angkatan bersenjata, ABRI juga memegang fungsi politik,
menjadikannya organisasi politik terbesar di negara.
Itu belum lagi terbitnya Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pers yang telah kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 21
Tahun 1982 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967 UU No 11 tahun 1966. Kunci yang paling penting
dalam undang-undang ini adalah setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh
Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif
Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

19

perusahaan pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang
dikeluarkan oleh Pemerintah.
Ketentuan SIUPP diatur dengan Permenpen No.01/198. Menteri Penerangan
mempunyai kuasa penuh dalam pencabutan SIUPP apabila penerbitan pers dirasa tidak
sesuai dg ketentuan yg ada. Ketentuan SIUPP itulah yang menjadi alat membungkam
pers yang kritis. Pemerintahan Orde Baru menutup beberapa media dengan UU ini, di
antaranya adalah Majalah Tempo, Editor, dan Detik. Media-media itu dianggap terlalu
tajam mengkritik pemerintahan.
Undang-undang Subversi dan Undang-undang Pokok Pers adalah dua aturan yang
bisa mencerminkan bagaimana pemerintahan Orde Baru berjalan. Pemerintahan
berlangsung represif. Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah
Orde Baru justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan.
Selain itu, pemerintahan Orde Baru juga menundukkan lembaga-lembaga hukum di
bawah eksekutif. Pengendalian sistem pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis,
termasuk dalam pemikiran hukum.
Pada 1998, pemerintahan Orde Baru berakhir dengan catatan di bidang hukum

adalah semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme, pelanggaran HAM kepada masyarakat


non pribumi (terutama masyarakat Tionghoa), kritik dibungkam dan oposisi diharamkan,
kebebasan pers sangat terbatas, penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan,
menurunnya kualitas birokrasi Indonesia yang terjangkit penyakit Asal Bapak Senang.
Berakhirnya era Orde Baru ternyata tak lantas menyingkirkan budaya-budaya yang
buruk dalam pemerintahan, misalnya soal korupsi dan penyakit laporan Asal Bapak
Senang ini masih terus berlanjut. Hanya saja di masa Orde Reformasi, demokrasi menjadi
lebih hidup dengan disingkirkannya UU Subversi walau sebetulnya soal ini masih hidup
sebab telah dipindahkan ke dalam Pasal 107 A, B, C, D, E, dan F dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana. Sedangkan UU Pokok Pers dicabut, kemudian berganti dengan
UU Pers yang menjamin kemerdekaan pers. Perubahan mendasar lainnya adalah
terselenggaranya pemilihan umum yang demokratis. Rakyat langsung memilih presiden,
gubenur, hingga bupati/walikota, begitu juga dengan pemilihan umum legislatif.
Artinya ada sejumlah perbaikan perundang-undangan dan kelembagaan negara.
Terjadi pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan, pembaruan sistem hukum dan hak
asasi manusia, pembaruan sistem ekonomi. Yang paling menarik di era reformasi adalah

Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif


Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

20

lahirnya lembaga antikorupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi. Cuku banyak pejabat
dan anggota DPR terjerat di sini.
Kendati demikian, perkara korupsi, kolusi dan nepotisme masih kokoh. Selain itu,
kemampuan perangkat hukum pun dinilai belum memadai untuk dapat menjerat para
pelaku semacam itu. Aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah
advokat) dilihat masih belum mampu mengartikulasikan tuntutan permbaruan hukum.
Persoalan ini hingga kini belum selesai, padahal reformasi sudah berlangsung 17 tahun,
dan sudah dilalui oleh enam presiden, yaitu BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati
Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan kini Joko Widodo.
Kebebasan pers dan media publik juga terjadi di era raformasi. Sehingga lahir
begitu banyak media. Bahkan kini ada dua jenis media, yaitu yang konvensional (televisi,
koran, dan radio) dan media internet. Hingga tahun 2014, Jumlah netizen (pengguna
internet) bertambah pesat menjadi 83.7 juta orang atau terbanyak keenam di dunia. Di era
sekarang, kemajuan teknologi informasi juga sedang booming. Sehingga publik bisa
mengakses berbagai berbagai informasi dari internet.
Bahkan partisipasi publik dalam penegakan hukum juga masuk melalui media yang
menggunakan teknologi informasi. Berbagai media sosial tersedia, mulai dari facebook
hingga twitter. Dari sinilah, publik sekarang mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah
yang menyimpang. Namun, kondisi kerusakan akut selama ratusan tahun (mulai dari
penjajahan Belanda hingga ke pemerintahan masa lalu) tentu tak gampang
membangunnya kembali.
Itulah sebabnya, menurut survei dari Lembaga Survei Indonesia masih
menempatkan dari sekian agenda reformasi yang paling menyedihkan adalah kegagalan
di bidang reformasi hukum khususnya dalam penegakan hukum. Diseebutkan, tingkat
kepercayaan

masyarakat terhadap penegakan hukum di negri ini

dari hari ke hari

grafiknya terus mengalami penurunan. Tingkat ketidak puasan masyarakat terhadap


penegakan hukum di negri ini semakin meningkat, menempatkan tingkat ketidak
percayaan publik terhadap penegakan hukum berada pada angka 56 persen dan hanya
29,8 persen yang menyatakan puas. Jika dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya
hanya 22,6 persen yang mengatakan penegakan hukum di era pemerintahan sekarang ini
lebih baik dari pemerintahan sebelumnya.
Kenaikan yang cukup signifikan Januari 2010, 37,4 persen, Oktober 2010 41,2,
September 2011, 50,3 persen, Oktober 2012, 50,3
sungguh

mengejutkan yaitu

dan

yang terakhir April 2013,

56,0 persen. Dan yang paling mencengangkan ternyata

Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif


Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

21

masyarakat di desa justru tingkat ketidakpuasannya mencapai pada angka 61,1 persen
sementara di kota mencapai 48,6 persen.
Survei dari Indonesia Legal Rountble (ILR) juga hasilnya hampir sama. Kondisi itu
dinilai akibat masih diabaikannya lima prinsip dalam mewujudkan supremasi hukum.
Disebutkan dalam buku "Indeks Negara Hukum Indonesia Tahun 2013, prinsip pertama,
pemerintahan yang berdasarkan hukum dan sistem pengawasan yang efektif dan
keseimbangan legislatif dan eksekutif. Tetapi, kenyataannya yang menjadi masalah
mendasar dari prinsip ini adalah tidak adanya pengawasan yang efektif, baik oleh
parlemen, pengadilan, pengawasan internal pemerintah maupun komisi negara
independen.
Prinsip kedua adalah peraturan yang jelas, pasti dan jaminan partisipasi publik
dalam pembentukan peraturan, namun yang terjadi banyak masalah yang berhubungan
dengan kejelasan materi peraturan yang dinilai multitafsir. Soal inilah yang pernah
dipermasalahkan oleh Menteri Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Ia
meminta menghapus penggunaan sejumlah kosa kata bersayap, alias yang tidak konkret
dan susah terukur. Ternyata kata-kata bersayap ini adalah sumber korupsi.
Karena memangkas kata-kata bersayap itulah Susi mempu memangkas dana
siluman mencapai Rp 200 miliar untuk anggaran 2016. Akhirnya Presiden Republik
Indonesia Joko Widodo (Jokowi) meminta kepada Kementerian dan Lembaga untuk
menghilangkan program pemerintah yang tidak jelas dan memiliki kalimat bersayap serta
tidak konkrit dalam pengelolaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2016.
Kemudian masuk ke prinsip ketiga yang disampaikan ILR, kekuasaan kehakiman
yang merujuk pada independensi kekuasaan kehakiman dan akuntabilitas kekuasaan
kehakiman, namun independensi hakim masih bermasalah, terutama masih rentan
terhadap suap.
Prinsip keempat, akses terhadap keadilan yang terbagi dalam ketersediaan aturan,
proses dan pemulihan hak warga negara. Tetapi ILR masih menemukan proses peradilan
di Indonesia yang bermasalah karena tidak adanya jaminan atau pengaturan dalam
larangan dari suap dan pungutan liar. Prinsip kelima adalah tentang penghormatan,
perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM).

Secara umum komitmen

negara dalam menjamin HAM di tataran regulasi konstitusi serta perundang-undangan


cukup memadai. Tetapi untuk jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan masih ada
distorsi dalam bentuk peraturan daerah.
Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif
Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

22

Kendati survei-survei menunjukkan angka yang belum membaik dalam citra


penegakan hukum Indonesia, namun bagaimana pun kini telah lahir sebuah era baru yang
tetap perlu diapresiasi. Masyarakat Indonesia telah bisa menggunakan berbagai sarana
untuk memantau kinerja pemerintahnya, dan ini tentu saja berefek pada penegakan
hukum. Bahkan saat ini adalah masa paling bebas dan demokrasi di Indonesia.
Bahwa memang benar muncul berbagai penyimpangan yang dilakukan aparat
penegak hukum yang bisa terbuka lebar saat ini, namun itu juga bisa dilihat dari sudut
arus informasi yang kini begitu terbuka, sesuatu yang tidak akan terjadi di masa lalu,
apalagi di era Orde Baru. Di sinilah masyarakat bisa berperan aktif dalam membantu
aparat penegak hukum agar terjaminnya supremasi hukum. Berbagai media yang kini
sangat maju bisa dimanfaatkan untuk menunjang masyarakat dalam upaya memperbaiki
hukum di Indonesia. Hanya saja, para aparat penegak hukum dari mulai polisi, jaksa,
hingga hakim masih antipati dengan kritik.
Namun demikian, perkembangan ini tetap ada yang perlu diperhatikan yaitu jangan
sampai beralihnya realitas ke simulacra. Jika dulu kebenaran adalah milik penguasa, kini
bisa beralih kebenaran menjadi milik media, dan ini bisa bias bahkan sangat mungkin
seuatu yang muncul media yang dianggap sebagai kenyataan, ternyata tidak sesuai
dengan realitas.
Dalam Buku Prof Otje Salman S SH berjudul Teori Hukum (2004, 136-137),
mengutip buku seorang pemikir paling berpengaruh era post-modern, Jean Baudriliard
berjudul Simulation (New York, Semiotex(e), 1983). Di situ dituliskan, dalam wacana
Baudriliard, dominasi teknologi telah menghasilkan segala sesuatu menjadi mungkin, yaitu
terciptanya secara kumulatif realitas citraan/artificial, yang disebutnya hyperreality, yaitu
suatu situasi di mana realitas telah digantikan oleh sesuatu yang tidak real sebagaimana
dinyatakan olehnya, masa kini merupakan masa di mana realitas asli digantikan oleh
simulacra, dan manusia terjebak dalam apa yang disebut hiperealitas, realitas yang
melampaui citra aslinya, keaslian dan dunia kultural lenyap secara tiba-tiba.
Disebutkan, orang lebih percaya pada televisi daripada kejadian sebenarnya,
percaya kepada koran daripada faktanya, percaya pada film daripada kondisi kulturalnya.
Pendek kata, realistis telah tersingkir dan tereduksi dari posisinya.
Menurut Prof Otje, apabila kita menelaah lebih kritis pada gagasan Hyperrealitas
Baudrillard, maka itu sebuah sinonim dan proses dari suatu struktur hukum perlahanlahan diperkosa dan dicabut atau dalam bahasa lain dipreteli. Hukum akan
memperlihatkan suatu wujud yang abjek. Hukum muncul dalam bentuk keputusan yang
Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif
Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

23

ditandai keserakahan dan muslihat birokrasi, turbulensi dan noise. Dalam wilayah ekstrem
hukum adalah libido kekejaman, ekstasi kejahatan, dan semangat kegilaan (madness),
yang ditukangi oleh parasit hukum (birokrat), guna melakukan manuver-manuver yaitu
membuat simulacra hukum, dengan menciptakan huruf dan kalimat yang tersusun rapi
dalam sebuah teks undang-undang dan sejenisnya.
Artinya kondisi yang tergambarkan oleh berbagai media di era sekarang ini juga
harus benar-benar dilihat secara jeli, kritis, dan sedikit skeptis. Kebenaran itu bisa jadi
adalah simulacra.
***

Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif


Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

24

Kesimpulan dan Saran


Dari uraian sebelumnya sudah tergambar dengan jelas urut-urutan kondisi
perkembangan hukum di Indonesia mulai dari zaman batu hingga ke abad modern
sekarang ini. Ada satu simpul penting, bahwa hukum selalu berada dalam kungkungan
politik dan kekuasaan. Hukum sering menjadi tukang stempel kekuasaan, bahkan menjadi
alat politik untuk tujuan politik juga.
Jika semula hukum berjalan jujur untuk kepentingan penguasa di masa
pemerintahan kerajaan-kerajaan yang tersebar di seluruh negeri. Kemudian masuk era
agama yang begitu banyak di Indonesia, mulai dari Hindu, Budha, Kristen, hingga agama
Islam. Di sini hukum berjalan menurut kitab-kitab suci, walaupun ada juga kepentingan
raja yang menumpanginya.
Lalu masuk era penjajahan, di sini juga menonjol kepentingan ekonomi.
Kepentingan ekonomi ini yang kemudian membalikkan tujuan hukum menjadi pembenar
upaya pemerintahan Hindia Belanda yang berkuasa di negeri ini. Korupsi mulai merajalela
di zaman ini. Bahkan, Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), yaitu perkumpulan
dagang India Timur, yang masuk ke Indonesia berselubung dagang yang kemudian
menjadi peletak batu pertama cengraman Belanda untuk menjajah Indonesia, juga
meninggalkan budaya korupsi yang berurat berakar di negeri ini.
Selain itu, adalah pembungkaman kebebasan berekspresi juga dilakukan, yaitu
melalui haatzaai artikelen adalah pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Indonesiatentang penyebaran kebencian sebagai akibat dari penghinaan terhadap
Martabat Kerajaan.
Era kemerdekaan yang semula menjadi harapan untuk hidup sejahtera, bahagia,
dan demokrasi, ternyata juga menjadi awal kekisruhan politik model baru di Indonesia.
Kekisruhan politik yang tiada henti, juga menghambat kebebasan berekpresi terjadi
melalui UU Subversi dan UU Pokok Pers. Peralihan ke Orde baru juga terjadi
pemerintahan yang represif, menghambat kebebasan pers, dan juga tumbuhnya budaya
korupsi, kolusi, dan nepotisme dengan makin subur.
Kini zaman berganti menjadi era reformasi. Pemerintahan membuka saluran
kebebasan berekpresi yang luas, kehidupan demokrasi yang makin baik, dan keterlibatan
masyarakat dalam segala bidang kehidupan bernegara juga terbuka. Ditambah lagi
dukungan dari era teknologi informasi yang begitu luar biasa. Namun, di bidang hukum
Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif
Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

25

masih tertinggal. Budaya peninggalan pemerintahan sebelumnya masih belum bisa


tercerabut.
Keterlibatan masyarakat dalam segala lini kehidupan bernegara adalah sebuah
peluang yang baik untuk perbaikan yang lebih menjanjikan sebuah kebahagian bernegara
yang sejahtera. Di sini dibutuhkan penyadaran dari aparat penegak hukum untuk melihat
sisi baik dari kepedulian masyarakat pada penegakan hukum. Kekritisan masyarakat
haruslah dianggap sebagai bentuk dukungan untuk aparat penegak hukum dalam
menegakkan supremasi hukum di negeri ini.
Pemerintah perlu memanfaatkan teknologi informasi untuk menjaring pendapat
publik dalam perbaikan kehidupan bernegara yang lebih baik, terutama dalam penegakan
hukum. Sebab, jika ini dilakukan dengan sendirinya akan meningkatkan wibawa hukum di
negeri ini, sehingga akan berefek pada pemerintah yang bersih dan berkarakter sebab
mendapat dukungan penuh dari rakyatnya.
Pemerintah perlu menciptakaan keterbukaan informasi yang jujur, sehingga faktafakta yang sampai ke masyarakat akan menjadi lebih kuat dan meyakinkan. Ini perlu
dilakukan agar efek simulacra tidak terjadi di tengah-tengah rakyat Indonesia, sebab jika
informasi tersumbat akan terjadi efek simulacra ini.
Sebab, menurut Friedrich Karl von Savigny, hukum sangat bergantung atau
bersumber pada jiwa rakyat dan yang menjadi isi hukum itu ditentukan oleh pergaulan
manusia dari masa ke masa. Hukum berkembang dari suatu masyarakat yang sederhana
yang pencerminannya tampak dalam tingkah laku setiap individu kepada masyarakat yang
modern dan kompleks di mana kesadaran hukum rakyat itu tampak pada apa yang
diucapkan oleh ahli hukumnya.
***

Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif


Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

26

Daftar Pustaka
Abdul Hakim, Atang, Filsafat Umum dari Metodologi Sampai Teeofilosofi, Pustaka
Setia Bandung, Bandung, 2008.
Arifin, Syamsul, Pengantar Hukum Indonesia, Citapustaka Media - Fakultas Hukum
Universitas Medan Area, Medan, 2015.
Arifin, Syamsul, Pengantar Filsafat Hukum, Ciptapustaka Media, Medan, 2014.
Mertokusumo, Sudikno, Teori Hukum (Edisi Revisi), Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, 2014.
Lubis, Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV Mandar Maju, Bandung, 1994.
poskotanews.com, Kasus Dul Gambaran Carut Marutnya Indonesia, Jakarta, 12
September 2013.
Rasjidi, Lili, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
2010.
Rasjidi, Lili, Pengantar Filsafat Hukum, CV Mandar Maju, Bandung, 2002.
Salman S, Otje, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka
Kembali), PT Refika Aditama, Bandung, 2013.
Soekanto, Soerjono, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers (PT
RajaGrafindo Persada), Jakarta, 2012.
sindonews.com, Larang Kata Bersayap di Proyek Pemerintahan Jokowi Sindir Susi,
Jakarta, 14 Desember 2015.
wikipedia.org, Indonesia.
sindonews.com, Kepercayaan Publik Terhadap Penegak Hukum Masih Rendah,
Jakarta, 19 September 2014.

***

Optimalisasi Peran Masyarakat dalam Mendukung Aparat Penegak Hukum Positif


Nurlis Effendi - MIH Universtas Batam

27

Anda mungkin juga menyukai