Anda di halaman 1dari 170

HUKUM PIDANA

By: ANSHARI, S.H., M.H.


• Biasanya pengertian hukum pidana itu terbagi
2 yaitu hukum pidana materiel dan hukum
pidana formil atau hukum acara pidana.
• Hukum pidana materiel yaitu berisi isi atau
substansi hukum pidana itu. Hukum pidana
bermakna abstrak atau dalam keadaan diam.
Sedangkan hukum pidana formil bersifat nyata
atau konkret, bergerak (dijalankan) atau
berada dalam suatu proses .
• Hazewingkel-Suringa menyatakan bahwa Ius
poenale (hukum pidana materiel) adalah
sejumlah peraturan hukum yang mengandung
larangan dan perintah atau keharusan yang
terhadap pelanggarannya diancam dengan
pidana (sanksi hukum) bagi barang siapa yang
membuatnya.
• Menurut Pompe, Hukum Pidana adalah keseluruhan
peraturan hukum yang menentukan perbuatan-
perbuatan apa yang diancam dengan pidana dan di
mana pidana itu menjelma. Menurut Pompe, unsur
hukum pidana itu ada 2, yaitu Pertama berupa
peraturan hukum yang menentukan perbuatan apa
yang diancam dengan pidana, dan yang Kedua
peraturan hukum tentang pidana, berat dan jenisnya,
dan kemudian cara menerapkannya.
• Menurut Dr. Wirjono prodjodikoro, Hukum Pidana
adalah peraturan hukum mengenai pidana.
• Menurut Moeljatno, Hukum Pidana adalah bagian dari
hukum yang mengadakan dasar dan aturan-aturan untuk
menentukan:
• Perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang dengan disertai ancaman sanksi berupa suatu pidana
tertentu dan barang siapa yang melanggar larangan tersebut
• Kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar
larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan
• Dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
Pengertian Hukum Pidana
Prof. Moeljatno

• Hukum Pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yg berlaku di suatu


negara, yg mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :
1) menentukan perbuatan-perbuatan mana yg tidak boleh dilakukan, yg
dilarang, dg disertai ancaman atau sanksi berupa pidana tertentu bagi
barangsiapa melanggar larangan tsb;  Criminal Act
2) menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yg telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yg telah diancamkan ;  Criminal Liability/ Criminal
Responsibility
1) dan 2) = Substantive Criminal Law / Hukum Pidana Materiil
3) menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tsb.  Criminal Procedure/ Hukum Acara Pidana
Jadi secara konseptual hukum pidana
Perbuatan Pidana Pertanggungjawab Sanksi pidana
an pidana
Hukum pidana Hukum Pidana Hukum
materil (criminal Formil (criminal Pelaksanaan
act) responsibility atau Pidana (criminal
criminal liability sanction)
KUHP KUHAP UU Pelaksanaan
Pidana Mati
Hukum Pidana UU Pokok UU Pelaksanaan
Khusus Kehakiman Pidana Penjara
Delik-delik di luar UU Pokok UUPelaksanaan
KUHP Kejaksaan Pidana Denda
• Konsep Hukum Pidana
A. Criminal Act
B. Criminal Responsibility/ Criminal Liability
C. Criminal Sanction
• Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan
diancamkan pidana bagi pelakunya meskipun ada juga
perbuatan yang dilarang tapi tidak diancamkan pidana.
• Pertanggung jawaban Pidana (criminal lability), Unsur kedua
dalam hukum Pidana adalah berkenaan dengan
pertanggungjawaban pidana, hal ini berarti dalam hal
terjadinya suatu perbuatan yang dilarang dan diancam
pidana, maka perlu diatur kepada siapa perbuatan tersebut
harus dimintakan pertanggungjawaban, guna menerima
/menjatuhkan pidana yang diancamkan.
• Konsep Ketiga adalah, Pidana atau sanksi pidana, Pidana
sebagai sanksi yang diancam dalam hukum pidana
mempunyai ciri yang agak lain jika dibandingkan dengan
sanksi pada hukum perdata maupun sanksi dalam hukum
administrasi negara. Secara konvensional, maka sanksi dalam
hukum pidana yang disebut dengan “Pidana” adalah “rasa
sakit “ atau “Pain” atau “nestapa”. Konsep ini dikenal sebagai
“Punishment”.
• Kedudukan Hukum Pidana

Pembagian hukum privat dan hukum publik sebenarnya


didasarkan pada kepentingan yang diatur oleh hukum
tersebut.
Secara konvensional disebutkan bahwa hukum privat adalah
hukum yang mengatur kepentingan pribadi, atau hubungan
antar pribadi. Sedangkan Hukum publik adalah hukum yang
mengatur kepentingan publik, atau hubungan antar orang
dengan negara, kelompok dengan negara. Persoalannya
adalah berkenaan dengan batas-batas kepentingan pribadi
atau hubungan pribadi itu.
Hampir semua ahli hukum pidana seperti van Hamel, Simons,
Pompe, van Hattum, van Bemmelen, dan Hazewingkel-Suringa
menyatakan bahwa hukum pidana itu termasuk hukum publik.
HUKUM
PUBLIK PRIVAT
-Hukum Pidana - Hukum Perdata
-HTN - Hukum Dagang
-HAN
Perbedaan
-Kep.Umum -Kep.Perorangan
-Mempert.Alat Negara -Mempert.orang
yg berkepentingan
-Ada Hirarki antara -Kedudukan sejajar
negara dan penduduk
Pembagian Hukum Pidana
• Hukum Pidana Materiil • Hukum Pidana Formil
(Hukum Pidana) (Hukum Acara Pidana)
HUKUM PIDANA (MENURUT SIFATNYA )

*Hukum Pidana Umum ( Ius Commune):


- KUHP
*Hukum Pidana Khusus (Ius Speciale) :
-Hukum Pidana Militer
-Hukum Pidana Fiskal
-dsb.nya
Ilmu Bantu Hukum Pidana
• Hukum Pidana merupakan ilmu pengetahuan hukum. Seperti juga tiap-
tiap Ilmu Pengetahuan lain, demikian pula Ilmu Hukum Pidana ini
mempunyai ilmu-ilmu bantu, diantaranya :
- Kriminologi : 0byek studinya --> kejahatan, penjahat, reaksi masyarakat
terhadap kejahatan & penjahat
-Etiologi kriminal: usaha secara ilmiah utk mencari sebab2 kejahatan
-Penologi: sejarah lahirnya hukuman, arti, manfaat, perkembangannya
-Sosiologi Hukum (pidana): analisis ilmiah kondisi2 mempengaruhi Hk Pid.
- Victimologi :-Jenis-jenis korban
-Hak dan Kewajiban korban
-Peranan Korban
-Pertanggungjawaban korban
- Kriminalistik :-IP.tentang Lacak
-Toksikologi Forensik
• Dari berbagai ilmu pengetahuan yang ada ilmu pengetahuan kriminologi
memberi bantuan yang terbesar dan bahkan merupakan dasar dari hukum
pidana. Ilmu pengetahuan kriminologi sangat membantu Hukum Pidana
dalam kriminilasisai dan dekriminalisasi Hukum Pidana, penjatuhan dan
perkembangan hukuman serta kebijakan-kebijakan dalam menanggulangi
kejahatan melalui hukum pidana.
• Ilmu-ilmu hukum pidana sistematik:
a. Hukum pidana – hukum pidana materiel
b. Hukum acara pidana – hukum pidana formil
• Ilmu hukum pidana berdasarkan pengalaman:
a. Kriminologi – ilmu pengetahuan tentang perbuatan jahat dan
kejahatan
b. Kriminalistik: ajaran tentang pengusutan
c. Psikiatri forensik dan psikologi forensik
d. Sosiologi hukum pidana – ilmu tentang hukum pidana sebagai
gejala masyarakat, yang menangani bekerjanya pelaksanaan
hukum pidana dalam arti yang luas di dalam masyarakat
e. Viktimologi – ilmu yang mempelajari tentang korban.
SUBJEK DAN OBJEK HUKUM PIDANA
-Subjek Hukum Pidana :
- Orang
- Badan Hukum
-Objek Hukum Pidana :
Aturan-aturan Hukum Pidana
SUMBER-SUMBER HUKUM PIDANA DI
INDONESIA
• KUHP (beserta UU yang
merubah &
menambahnya)
• UU Pidana di luar KUHP
• Ketentuan Pidana
dalam Peraturan
perundang-undangan
non-pidana
KUHP
• Buku I : Ketentuan Umum (ps 1 – ps 103)

Pasal 103  Ketentuan-ketentuan dalam Bab I


sampai Bab VIII buku I juga berlaku bagi
perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan
perundang-undangan lainnya diancam dengan
pidana, kecuali jika oleh undang-undang
ditentukan lain

• Buku II : Kejahatan (ps 104 – 488)

• Buku III : Pelanggaran (ps 489 – 569)


KUHP dan Sejarahnya
• Andi Hamzah • Utrecht
- Jaman VOC -Jaman VOC
- Jaman Hindia Belanda -Jaman Daendels
- Jaman Jepang -Jaman Raffles
- Jaman Kemerdekaan -Jaman Komisaris
Jenderal
-Tahun 1848-1918
-KUHP tahun 1915 -
sekarang
Jaman VOC
• Statuten van Batavia
• Hk. Belanda kuno
• Asas2 Hk. Romawi

• Di daerah lainnya berlaku


Hukum Adat
• mis. Pepakem Cirebon
Jaman Hindia Belanda
• Dualisme dalam H. Pidana
1. Putusan Raja Belanda 10/2/1866 (S.1866 no.55) -->
Orang Eropa
2. Ordonnantie 6 Mei 1872 (S.1872) --> Orang Indonesia &
Timur Asing
• Unifikasi :
Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch - Indie
- Putusan Raja Belanda 15/10/1915 Berlaku 1/1/1918
disertai
- Putusan Raja Belanda 4/5/1917 (S.1917 no. 497) : mengatur
peralihan dari H. Pidana lama --> H. Pidana baru.
Jaman Jepang
• WvSI masih berlaku
• Osamu Serei (UU) No. 1
Tahun 1942, berlaku
7/3/1942
• H. Pidana formil yang
mengalami banyak
perubahan
Jaman Kemerdekaan (1)

• UUD 1945 Ps. II Aturan


Peralihan
Segala Badan Negara dan
Peraturan yang ada masih
berlaku selama belum
diadakan yang baru
menurut UUD ini
Jaman Kemerdekaan (2)
• UU No. 1 Tahun 1946 : Penegasan tentang Hukum Pidana
yang berlaku di Indonesia
• Berlaku di Jawa-Madura (26/2/1946)
• PP No. 8 Tahun 1946 : Berlaku di Sumatera
• UU No. 73 Tahun 1958 : “ Undang-undang tentang
menyatakan berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana untuk seluruh wilayah RI dan
mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana”
SEJARAH HUKUM PIDANA DI
INDONESIA
• Sebelum Belanda datang ke Indonesia kita belum
mengenal hukum pidana tertulis yang ada hukum
pidana yang tidak tertulis yaitu Hukum Adat.
• Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
yang sekarang berlaku merupakan induk
peraturan hukum pidana positif merupakan
bawaan dari penjajah Belanda yang nama aslinya
adalah WvS (Wet Boek van strafrecht). WvS ini
adalah merupakan turunan dari WvS Nederland .
• Di Negeri Belanda sendiri selesai disusun pada
tahun 1881 dan diundangkan pada tahun 1886
• Sebelum disahkan Belanda dijajah oleh
Prancis dan yang berlaku adalah “Code Penal”
Prancis. Pada tahun 1830 Nederland
memperoleh kembali kemerdekaannya
ternyata Code Penal masih tetap berlaku di
negeri Belanda.
1. Zaman VOC
• Disamping hukum adat pidana yang berlaku bagi
penduduk asli Indonesia bagi penguasa VOC mula-mula
diberlakukan plakat-plakat yang berisi hukum pidana.
Yang kemudian tahun 1942 plakat-plakat tersebut
dihimpun dan diberi nama Statuten van Batavia. Yang
pada tahun 1950 disahkan.
• Menurut Utrecht, hukum yang berlaku di daerah yang
dikuasai oleh VOC adalah:
1. hukum statuta yang termuat dalam Statuten van
Batavia
2. hukum Belanda kuno
3. asas-asas hukum Romawi
• Juga berlaku Statuta Betawi yang berlaku bagi
daerah Betawi dan sekitarnya.
• Pada 10 Februari 1866 berlaku dua KUHP di
Indonesia, yaitu:
1. Het Wetboek van Strafrecht voor European
2.Het Wetbooek van Strafrecht voor Inlands en
daarmede gelijkgestelde.
2. Zaman Hindia Belanda
• Pada 19 Agustrus 1816 dikeluarkan Stbl. 1816
Nomor 5 yang menyatakan bahwa untuk
sementara waktu semua peraturan-peraturan
bekas pemerintah Inggris tetap
dipertahankan. Pada umumnya masih berlaku
juga Statuta Betawi dan hukum adat asal tidak
bertentangan.
• KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa
adalah salinan dari Code Penal yang berlaku di
Nederland tetapi berbeda dari sumbernya
tersebut, yang berlaku di Indonesia terdiri
hanya atas 2 buku sedangkan Code Penal
terdiri atas 4 buku.
3. Zaman Pendudukan Jepang
• WvS tetap berlaku pada zaman pendudukan
Jepang, didasarkan pada Undang-Undang
(Osamu Serei) Nomor 1 Tahun 1942.
4. Zaman Kemerdekaan
• Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku
pada tanggal 18 Agustus 1945 mengatakan
bahwa “Segala badan Negara dan peraturan
yang masih ada masih langsung berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini”
Batas-Batas Berlakunya Hukum
Pidana
Asas Legalitas
• Pasal 1 KUHP.
(1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana,
kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada
sebelumnya.
(2) Jika ada perubahan dalam perundang-
undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka
terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang
paling menguntungkan .
Mengandung beberapa makna bahwa;
• 1. tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan ketentuan
pidana menurut uu
• 2. tidak ada penerapan uu pidana berdasarkan analogi
• 3. Tidak dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan
• 4. Tidak boleh ada perumusan delik yang kurang jelas
• 5. Tidak ada kekuatan surut dari ketentuan pidana
• 6. Tidak ada pidana lain kecuali yang ditentukan uu
• 7.Penuntutan pidana hanya menurut cara yang
ditentukan uu
• jadi perbuatan itu harus ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan pidana
sebagai perbuatan yang pelakunya dapat
dijatuhi pidana
• perundang-undangan itu harus sudah ada
sebelum perbuatan itu dilakukan.
ASAS YG TERCAKUP DLM PASAL 1 (1) KUHP

• Nullum delictum, nulla poena sine praevia


lege poenali :
• Tiada delik, tiada hukuman tanpa suatu
peraturan yg terlebih dahulu menyebut
perbuatan yang bersangkutan sebagai suatu
delik dan yang memuat suatu hukuman yg
dapat dijatuhkan atas delik itu (asas legalitas)
ASAS LARANGAN BERLAKU SURUT
• Undang-undang pidana berjalan ke depan dan
tidak ke belakang :

X --------- UU Pidana -------------


Larangan berlaku surut (dan pengecualiannya) dalam
berbagai ketentuan

Nasional
• Ps 28i UUD 1945
• Ps 18 (2) dan Ps 18 (3) UU No. 39 Tahun 1999
• Ps 43 UU No. 26 Tahun 2000
• Perpu 1/2002 & 2/2002  UU 15/2003 ; UU 16/2003

Internasional
• Ps 15 (1) dan (2) ICCPR
• Ps 22, 23, dan 24 ICC
Ruang Lingkup Hukum Pidana
• Ruang lingkup Hukum Pidana (KUHP), meliputi
tempat terjadinya delik (Locus Delicti) dan
waktu terjadinya delik (Tempus Delicti).
• Tempat terjadinya perbuatan pidana (Locus
Delicti) perlu diketahui untuk :
1. Menentukan apakah hukum pidana
Indonesia berlaku terhadap perbuatan
pidana tersebut atau tidak. Ini berhubungan
dengan Pasal 2-8 KUHP.
2. Menentukan kejaksaan dan pengadilan mana
yang harus mengurus perkaranya. Ini
berhubungan dengan kompetensi relatif.
Ada 3 (tiga) Teori yang dikenal di dalam menentukan Locus Delicti :
• Teori Perbuatan Materiil (Leer van de lichamelijke daad)
Menurut teori ini maka yang menjadi locus delicti ialah tempat
dimana pembuat melakukan segala perbuatan yang kemudian
dapat mengakibatkan delik yang bersangkutan.
• Teori alat yang dipergunakan (Leer van het Instrument)
Menurut teori ini bahwa delik dilakukan di tempat dimana alat yang
dipergunakan itu menyelesaikannya. Dengan lain perkataan yang
menjadi locus delicti ialah tempat dimana ada alat yang
dipergunakan.
• Teori akibat (Leer van het gevolg)
Menurut teori ini yang menjadi locus delicti ialah tempat akibat dari
perbuatan itu terjadi.
Mengetahui waktu terjadinya delik (Tempus Delicti)
adalah penting berhubungan dengan :
• Pasal 1 KUHP : Apakah perbuatan yang bersangkut-
paut pada waktu itu sudah dilarang dan diancam
dengan pidana?
• Pasal 44 KUHP : Apakah terdakwa ketika itu mampu
bertanggung jawab?
• Pasal 45 KUHP : Apakah terdakwa ketika melakukan
perbuatan sudah 16 tahun atau belum.
• Pasal 79 KUHP (verjaring atau daluwarsa). Dihitung
mulai hari setelah perbuatan pidana terjadi.
Berlakunya Hukum Pidana menurut
Tempat (LOCUS DELICTI)
Dalam KUHP Pasal 2 – 9 KUHP
Ada beberapa asas :
1.Asas Teritorial
2.Asas Personal atau Asas Nasional Aktif
3.Asas Perlindungan atau Asas Nasional Pasif
4.Asas Universal
Asas2 Berlakunya Hukum Pidana (1)

• Asas Teritorialitas/ wilayah :


Ps 2 --> Ps 3 KUHP --> Ps 95 KUHP , UU No 4/1976
• Asas Nasionalitas Pasif/ perlindungan : Ps 4 :1,2 dan 4 -->
Ps 8 KUHP , UU No. 4/1976 , Ps 3 UU No. 7/ drt/ 1955 Lihat
Ps 16 UU 31/1999
• Asas Personalitas/ Nasionalitas Aktif :
Ps 5 KUHP --> Ps 7 KUHP --> Ps 92 KUHP
• Asas Universalitas :
Ps 4 :2 , Ps 4 sub 4 , Ps 1 UU 4/ 1976
“melakukan kejahatan ttg mata uang, uang kertas negara
atau uang kertas Bank”
Lanjutan……
AZAS TERRITORIAL :
Menurut asas ini berlakunya uu suatu negara semata-
mata digantungkan pada tempat dimana tindak pidana
atau perbuatan pidana dilakukan, dan tempat tersebut
harus terletak dalam teritori atau wilayah negara yang
bersangkutan.
Pasal 2 KUHP
“Aturan Pidana dalam perundang-undangan Indonesia
berlaku bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak
pidana di wilayah Indonesia”

Jadi, Menekankan pada Tempat terjadinya delik. Berlaku


untuk Setiap orang : WNI maupun WNA
Azas Personal (Nasional Aktif)
Menurut asas ini ketentuan hukum pidana
berlaku bagi setiap WNI yang melakukan tindak
pidana di luar Indonesia
Diatur dalam Pasal 5 KUHP
“Peraturan hukum pidana Indonesia berlaku
bagi setiap WNI yang melakukan tindak pidana
baik dalam negeri maupun di luar negeri”

Jadi, Peraturan pidana mengikuti orangnya, yaitu


WNI
Lanjutan….
Pasal 5 KUHP berisi ketentuan tersebut tetapi
dengan pembatasan tertentu yaitu jika yang
dilakukan adalah perbuatan yang diatur di dalam:
a. Bab I dan II KUHP yaitu kejahatan terhadap
keamanan negara dan kejahatan terhadap
martabat Presiden dan wakil presiden (Pasal
104-139)
b. Pasal 160,161,240,279,450-451 KUHP
c. Tindak Pidana yg menurut UU Indonesia
dianggap sebagai kejahatan yg di negeri tempat
TP dilakukan itu diancam pidana
Azas Perlindungan (Nasional Pasif)
Menurut asas ini peraturan hukum Indonesia berfungsi melindungi
kepentingan hukum terhadap gangguan setiap orang di luar Indonesia
terhadap kepentingan hukum Indonesia
Dengan kata lain Peraturan Hk pidana Indonesia berlaku terhadap
tindak pidana yg menyerang kepentingan hukum negara Indonesia,
baik itu dilakukan oleh WNI atau bukan, yg dilakukan di luar Indonesia.
Diatur dalam Pasal 3 KUHP.
• Pasal 3
• Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku
bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak
pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.
Kejahatan tsb dpt dibagi dalam 5 kategori :
1. Kejahatan2 terhadap keamanan negara dan martabat presiden
(Pasal 4 Ke 1 KUHP)
2. Kejahatan2 ttg materai atau merk yg dikeluarkan oleh pemerintah
Indonesia (Pasal 4 ke 2 KUHP)
Lanjutan…..

3. Pemalsuan surat-surat hutang dan sertifikat2


hutang atas beban Indonesia, daerah atau
sebagian daerah (Pasal 4 Ke 3)
4. Kejahatan jabatan yg tercantum dalam titel
XXVIII buku ke II yg dilakukan oleh pegawai
negeri Indonesia di luar Indonseia
5. Kejahatan pelayaran yg tercantum dalam titel
XXIX buku ke 2
Azas Universal
Menurut asas ini hukum pidana suatu
negara yang menganutnya dapat
diperlakukan terhadap siapa saja yang
melakukan pelanggaran terhadap
kepentingan dari seluruh dunia.
“Peraturan2 hukum pidana Indonesia berlaku
thd tindak pidana baik dilakukan di dalam
negeri ataupun di luar negeri, baik dilakukan
oleh WNI maupun WNA”

Pasal 9 KUHP menyatakan bahwa berlakunya


Pasal 2-7 dan 8 KUHP dibatasi oleh
pengecualian yang diakui dalam hukum
internasional.
Asas2 Berlakunya H. Pidana : Pengecualian (2)
• Ps 9 KUHP : Hukum publik internasional
membatasi berlakunya Ps 2,3,4,5, 7, dan 8
KUHP
• Termasuk yg memiliki imunitas h.pidana :
Sesuai perjanjian Wina 18/4/1961
• Yg memiliki imunitas :
1) Kepala-kepala negara & keluarganya (sec.
resmi, bukan incognito/singgah)
2) Duta negara asing & keluarganya -->
konsul : tergantung traktat antar negara.
3) Anak buah kapal perang asing : termasuk
awak kapal terbang militer
4) Pasukan negara sahabat yg berada di
wilayah negara atas persetujuan negara
Teori Menentukan Locus Delicti
1.Teori Perbuatan Materiil (Tempat perbuatan jasmani
yg dilakukan Si pembuat untuk mewujudkan
Perb.Pidana)
2.Teori Instrumen (Tempat bekerjanya alat yang
dipergunakan Si Pembuat)
3.Teori Akibat (Tempat dimana menimbulkan akibat
kejahatan)
4.Teori Beberapa Tempat (Tempat apabila kejahatan itu
dilakukan di beberapa tempat)
Kegunaan Mengetahui TEMPAT dan
WAKTU
A.Tempat :
1.Untuk menentukan berlakunya Hukum Pidana dari
Suatu Negara
2.Untuk menentukan Wewenang Mengadili
B.Waktu :
1.Untuk menentukan berlakunya Hukum Pidana
2.Untuk menentukan saat berlakunya UU
3.Dalam Kaitannya pada Pasal 45 KUHP
Kepentingan Nasional Yang Memerlukan
Perlindungan
1.Keamanan negara dan kepala negara
2.Mata uang, segel, merk-merk
3.Surat-surat utang atau sertifikat utang
4.Perampokan kapal (Bajak Laut)
Pengecualian Pasal 2-5, 7 dan 8 dalamPasal 9 :
1.Kep.Negara beserta Kel.dari Neg.Sahabat
2.Duta Negara Asing beserta keluarga
3.ABK Perang asing yg berkunj.disuatu negara, sekalipun ada di
luar kapal
4.Tentara Negara Asing yg ada di dalam Wilayah negara dgn
persetujuan negara itu
PENAFSIRAN HUKUM
MACAM-MACAM PENAFSIRAN DAN
PENJELASAN UMUMNYA
• Macam-macam Penafsiran dan penjelasan umumnya
• Penafsiran hukum sangat penting di dalam mengoperasionalkan hukum,
khususnya hukum pidana. Hukum hanya akan menjadi barang mati bila tidak diberi
arti yang tepat dalam pelaksanaaannya. Adalah kenyataan pula bahwa hukum
diopersionalkan oleh manusia untuk manusia.
• Aparat penegak hukum mempunyai kewajiban untuk menafsirkan perundangan
yang ada dalam menyelesaikan suatu kasus yang terjadi di dalam masyarakat.
Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu juga disepkati teknik serta cara dan
metode yang dapat digunakan aparat peneggak hukum, agar dalam menjalankan
perundangan hukum pidana dapat sesuai dengan maksud dan tujuan diadakannya
aturan tersebut.
• Di pihak lain penafsiran yang tepat juga menjadi alat control bagi para pencari
keadilan untuk menjaga agar tidak terjadi kesewenangan dari aparat penegak
hukum dalam mengoperasionalkan peraturan hukum pidana.
• Penafsiran hukum diperlukan agar dapat menjamin tercapainya suatu kepastian
hukum di dalam masyarakat. Kepastian hukum menjadi kunci keberhasilan
penegakan hukum pidana di dalam masyarakat dan pencapaian tujuan hukum
pidana.
 Penafsiran secara gramatikal, adalah penafsiran yang didasarkan hukum
tata bahasa sehari-hari. Hal ini dilakukan apabila ada suatu istilah yang
kurang terang atau kurang jelas dapat ditafsirkan menurut tata bahasa
sehari-hari.
 Penafsiran secara autentik, adalah penafsiran yang diberikan oleh
undang-undang itu sendiri. Dalam Bab X Pasal 86 sampai Pasal 101 KUHP
dicantumkan penafsiran autentik.
 Penafsiran secara sistematis, adalah penafsiran yang menghubungkan
dengan bagian dari suatu undang-undang itu dengan bagian lain dari
undang-undang itu juga.
 Penafsiran menurut sejarah undang-undang, adalah penafsiran dengan
melihat kepada berkas-berkas atau bahan-bahan waktu undang-undang
itu dibuat.
 Penafsiran menurut sejarah hukum, adalah penafsiran dengan melihat
kepada sejarah hukum. Misalnya dengan melihat hukum yang pernah
berlaku.
Penafsiran ekstensif, adalah penafsiran dengan
memperluas arti dari suatu istilah yang
sebenarnya.
Penafsiran analogis, adalah penafsiran suatu
istilah berdasarkan ketentuan yang belum diatur
oleh undang-undang, tetapi mempunyai asas
yang sama dengan sesuatu hal yang telah diatur
dalam undang-undang.
Penafsiran secara teeologis, adalah penafsiran
yang didasarkan kepada tujuan daripada undang-
undang itu.
 Penafsiran mempertentangkan/ redenering acontario, adalah
penafsiran secara menemukan kebalikan dari pengertian suatu
istilah yang sedang dihadapi. Misalnya kebalikan dari ungkapan
tiada pidana tanpa kesalahan adalah pidana hanya dijatuhkan
kepada seseorang yang padanya terdapat kesalahan. Contoh lainnya
adalah dilarang melakukan suatu tindakan tertentu, kebalikannya
adalah jika seseorang melakukan tindakan yang tidak dilarang, tidak
tunduk pada ketentuan larangan tersebut.
 Penafsiran mempersempit/restrictieve interpretative, adalah
penafsiran yang mempersempit pengertian suatu istilah, misalnya:
Undang-undang dalam arti luas semua produk perundang-
undangan seperti UUD, Undang-undang, Perpu, Peraturan
Pemerintah, dan sebagainya, sedang undang-undang dalam arti
sempit hanya undang-undang yang dibuat pemerintah bersama
DPR.
Penafsiran Vs Analogi
• Penafsiran • Analogi
Menjalankan kaidah Menjalankan suatu
yang oleh undang- kaidah untuk
undang tidak menyelesaikan suatu
dinyatakan dengan perkara yang tidak
tegas disinggung oleh kaidah
itu, tetapi yang
mengandung kesamaan
dengan perkara yang
disinggung kaidah
tersebut
KAUSALITAS
• Dalam delik materiil terdapat akibat tertentu
yang dilarang. Seperti dalam pembunuhan pasal
338 KUHP. Misalnya : A menembak musuhnya
yaitu B hingga mati. Untuk dapat menuntut A,
maka harus dibuktikan bahwa karena
penembakan A itu timbul akibat yang dilarang
yaitu matinya si B, atau bahwa penembakan A
itulah yang menjadi sebab matinya si B.
• Jadi apabila hubungan sebab akibat ini sudah
dapat ditentukan, maka seseorang dapat dituntut
dan dipertanggungjawabkan.
• Tujuannya adalah
1. Untuk mengetahui dan menentukan
hubungan antara sebab dan akibat yang
terjadi yang berarti menentukan ada atau
tidaknya suatu tindakan yang dapat dipidana
2. Untuk dapat menentukan siapa yang harus
mempertanggungjawabkan suatu akibat
tertentu yang berupa tindak pidana.
Teori-teori ajaran kausalitas
• Teori Conditio sine quanon
• Teori Adequat
• Teori Die wirksamste Bedingung
• Teori Objective /Teori Nachtragliche
prognose
• Teori Relevansi
1. Teori Conditio Sine Quanon
• Ajaran Von Bury. Disebut juga Teori Syarat.
• Teori ini juga dinamakan teori ekuivalensi, yaitu karena menurut
pendiriannya, tiap-tiap syarat adalah sama nilainya (equivalent).
• Suatu kejadian yang merupakan akibat biasanya ditimbulkan oleh
beberapa peristiwa atau faktor yang satu sama lainnya merupakan
suatu rangkaian yang berhubungan.
• Dikatakan bahwa setiap peristiwa atau faktor yang merupakan
syarat untuk timbulnya suatu akibat dianggap sebagai sebab dari
akibat itu.
• Adanya rentetan kejadian sebagai sebab-sebab dari akibat-akibat
(hubungan kausal).
• Rangkaian syarat yang turut menimbulkan akibat
harus dipandang sama dan tidak dapat
dihilangkan dari rangkaian proses terjadinya
akibat. Rangkaian syarat itulah yang
memungkinkan terjadinya akibat, karenanya
penghapusan satu syarat dari rangkaian tersebut
akan menggoyahkan rangkaian syarat secara
keseluruhan sehingga akibat tidak terjadi.
• Artinya tanpa syarat itu, akibat tersebut tak akan
timbul.
Jadi, Tiap masalah yang merupakan syarat
untuk timbulnya sesuatu akibat, adalah sebab
daripada akibat
2. Teori Adequat
• Ajaran Von Kries, Rumeling, Traeger.
• Tidak menyoal tindakan mana atau kejadian
mana yang in concreto memberikan pengaruh
(fisik atau psikis) paling menentukan.
• Perbuatan yang harus dianggap sebagai sebab
daripada akibat yang timbul adalah perbuatan
yang seimbang dengan akibat.
3. Teori Die wirksamste Bedingung
• Sebab dari suatu akibat adalah peristiwa yang paling
besar pengaruhnya kepada timbulnya akibat itu.
• Teori ini mencari syarat manakah yang dalam keadaan
tertentu yang paling banyak berperan untuk terjadinya
akibat (meist wirksame) diantara rangkaian syarat-
syarat yang tidak dapat dihilangkan untuk timbulnya
akibat. Jadi, teori ini mencari syarat yang paling
berpengaruh diantara syarat-syarat lain yang diberi
nilai..
• Kelemahan dalam teori die wirksamste
Bedingung berhubungan adanya kesulitan
dalam dua hal (a) dalam hal kriteria untuk
menentukan faktor mana yang mempunyai
pengaruh yang paling kuat , dan (b) dalam hal
faktor yang dinilai paling kuat itu lebih dari
satu dan sama kuat pengarunya terhadap
akibat yang timbul
4. Teori Objective /Teori Nachtragliche
prognose
• Menurut teori ini, sebuah syarat dapat
disimpulkan sebagai akibat manakala
peristiwa yang mengandung kausalitas telah
terjadi dan secara konkrit terdapat sebab yang
seimbang dengan akibat
Nachtragliche Prognose
• Ajaran Rumeling.
• Bahwa yang menjadi sebab atau akibat adalah
faktor objektif yang diramalkan dari rangkaian
faktor-faktor yang berkaitan dengan
terwujudnya delik setelah delik itu terjadi.
6. Teori Relevansi
• Menurut teori ini dalam menentukan hubungan
sebab akibat tidak mengadakan pembedaan
antara syarat dengan sebab, melainkan dimulai
dengan menafsirkan rumusan tindak pidana yang
memuat akibat yang dilarang itu dicoba
menemukan perbuatan manakah kiranya yang
dimaksud pada waktu undang-undang itu dibuat.
Jadi, pemilihan dari syarat-syarat yang relevan itu
berdasarkan kepada apa yang dirumuskan dalam
undang-undang.
PERBUATAN PIDANA
• Istilah
• Definisi
• Cara Merumuskan Tindak Pidana
• Subjek Tindak Pidana
• Unsur-Unsur Tindak Pidana
Tindak Pidana
Istilah
• Tindak pidana
• Perbuatan pidana
• Peristiwa pidana
• Strafbaar feit
• Delict / Delik
• Criminal act
Tindak Pidana
Definisi
 Simons : “kelakuan yg diancam dg pidana, yg bersifat
melawan hukum yg berhubungan dg kesalahan & dilakukan
oleh orang yg mampu bertanggung jawab”

 Van Hamel : “kelakuan manusia yg dirumuskan dalam


UU, melawan hukum, yg patut dipidana & dilakukan dg
kesalahan”

 Vos : “suatu kelakuan manusia yg oleh per UU an diberi


pidana; jadi suatu kelakuan manusia yg pada umumnya
dilarang & diancam dengan pidana”
Aliran Monistis
• Tidak memisahkan antara perbuatan dan
pertanggungjawaban

• Dalam rumusan tindak pidana sekaligus


tercakup unsur perbuatan/akibat dan
unsur kesalahan/pertanggungjawaban
Aliran Dualistis
• Memisahkan secara tegas antara
perbuatan (pidana) dan
pertanggungjawaban pidana

• Dalam rumusan tindak pidana hanya


tercantum unsur perbuatan/akibat
tanpa unsur kesalahan
TINDAK PIDANA:

Pada dasarnya ada 3 cara merumuskan Tindak Pidana

• Disebutkan unsur-unsurnya &


disebut kualifikasinya (namanya)
--> mis, Ps 362 KUHP

• disebutkan kualifikasinya tanpa


disebut unsur-unsurnya --> mis.
Ps 184, Ps 297, Ps 351

• disebutkan unsur-unsurnya, tidak


disebut kualifikasinya --> mis. Ps
167, Ps 209, Ps 322
Subjek Tindak Pidana
Manusia (natuurlijk persoon) Korporasi
adanya kebutuhan untuk memidana
korporasi:

a) Cara merumuskan
• R-KUHP, UU Hk. Pidana Khusus dan
“Barangsiapa ….” UU non H. Pidana, korporasi:
b) Hukuman : mati, penjara, - Badan Hukum
kurungan (Ps 10 KUHP), - Bukan badan hukum
hanya dapat dikenakan pada UU TPE, UU Pemberantasan T.P.
manusia Korupsi, UU Pencucian Uang ,UU
Pemberantasan TP Terorisme
c) Pertanggungjawaban pidana
• Badan Usaha (UU ITE: 11/2008)
disandarkan pada kesalahan,
• Badan Publik (UU KIP: No. 14/2008)
yang hanya mungkin dimiliki
oleh manusia (orang)
Unsur-Unsur Tindak Pidana
• Unsur2 dalam perumusan • Unsur2 di luar perumusan
A. Unsur Obyektif
- perbuatan (aktif/pasif) atau
- melawan hukum (materil)
akibat
- melawan hukum - Kesalahan dalam arti materiil
dapat dipersalahkan (dicela)
B. Unsur Subyektif sehingga dapat
-Manusia (pelaku) dipertanggungjawabkan
- kesalahan : (verwijtbaarheid)
(a) kesengajaan; atau
(b) kealpaan
C. Keadaan
D. Syarat tambahan untuk
pemidanaan
Apa gunanya unsur (tertulis) ?
Secara umum:
• Untuk memberikan ciri/kekhasan antara satu
delik dgn delik lainnya
• Untuk pembeda suatu delik dgn delik2 yang
lain
• Untuk dibuktikan di persidangan oleh JPU
Tindak Pidana
Unsur-unsur (van Bemmelen)

• Di dalam perumusan (bagian)


• dimuat dalam surat dakwaan • Di luar perumusan (unsur) :
• semua syarat yg dimuat dalam rumusan delik syarat dapat dipidana
merupakan bagian-bagian, sebanyak itu pula, yang 1. Melawan hukum (materil)
apabila dipenuhi membuat tingkah laku menjadi
tindakan yang melawan hukum 2. Dapat dipersalahkan (dicela)
1. Tingkah laku/akibat yang dilarang /diharuskan sehingga dapat
(Bagian Obyektif) dipertanggungjawabkan
2. Bagian yang terkait dengan bagian obyektif:
melawan hukum
3. Manusia/pelaku (Bagian subyektif) Umumnya dianggap ada/terpenuhi
4. Bagian yang terkait dengan pelaku: kesalahan sehingga tdk perlu dibuktikan,
(kesengajaan atau kealpaan) kecuali ada alasan yang kuat
5. Keadaan (keterangan mengenai bagian obyektif atau bahwa unsur/syarat tsb perlu
bagian subyektif) dibuktikan bhw unsur tsb tdk
6. Syarat tambahan untuk pemidanaan ada/tdk terpenuhi  akan
4. Bagian yg dapat memperberat/memperingan dibahas lbh lanjut di materi
pidana
dasar penghapus pidana.
Contoh unsur2 dalam rumusan tindak
pidana
Pasal 362 KUHP Pasal 338 KUHP
• barangsiapa • barangsiapa
• mengambil
• dengan sengaja
• barang
- yg sebagian/ seluruhnya • menghilangkan nyawa
kepunyaan orang lain orang lain
• dengan maksud memiliki
• secara melawan hukum
Contoh unsur dalam rumusan tindak pidana

Pasal 285 Pasal 359


• barangsiapa • barangsiapa
• dengan kekerasan atau • karena kealpaannya
• ancaman kekerasan • menyebabkan orang
• memaksa lain mati
• seorang wanita
• bersetubuh dengan dia
• di luar perkawinan
• Penggolongan Tindak Pidana
• Jenis Delik
Tindak Pidana
Pembagian Tindak Pidana (Jenis Delik)

• Delik Kejahatan & Delik pelanggaran


• Delik Materiil & Delik Formil
• Delik Komisi & Delik Omisi
• Delik Dolus & Delik Culpa
• Delik Biasa & Delik Aduan
• Delik yg Berdiri sendiri & Delik Berlanjut
• Delik Selesai & Delik yg diteruskan
• Delik Tunggal & Delik Berangkai
• Delik Sederhana & Delik Berkualifikasi; Delik Berprivilege
• Delik Politik & Delik Komun (umum)
• Delik Propia & Delik Komun (umum)

• Pembagian delik menurut kepentingan yg dilindungi :


Lihat judul-judul bab pada Buku II dan Buku III KUHP
Jenis Delik
Kejahatan Pelanggaran
(misdrijf) (overtreding)
 dlm. MvT : sebelum ada UU
 dlm MvT : baru dianggap
sudah dianggap tidak baik
tidak baik setelah ada UU
(recht-delicten)
(wet delicten)
 Hazewinkel-Suringa : tidak
ada perbedaan kualitatif,
hanya perbedaan kuantitatif  Perbedaan dg kejahatan:
a) Percobaan : tidak dipidana
a) Percobaan : dipidana
b) Membantu : tidak dipidana
b) Membantu : dipidana
c) Daluwarsa : lebih pendek
c) Daluwarsa : lebih panjang
d) Delik aduan : tidak ada
d) Delik aduan : ada
e) Aturan ttg Gabungan berbeda
e) Aturan ttg Gabungan berbeda
 KUHP : Buku III
 KUHP : Buku II
Jenis Delik
 D. Materiil : Yang  D. Formil : yang dirumuskan
dirumuskan akibatnya bentuk perbuatannya --> Ps 362,
 Ps 338, 368, Ps 187, dll Ps 263, dll
Perhatikan dgn seksama
unsur2 dalam pasal dlm
menentukan delik materiil dan
delik formil, krn sering terjadi
kerancuan. Secara sekilas spt
delik formil tp ternyata delik
materiil atau sebaliknya  D. Omisi : melakukan delik dg
perbuatan pasif
 a) D. Omisi murni : melanggar
perintah dg tidak berbuat, mis. Ps
 D. Komisi : melanggar 164, Ps 224 KUHP
larangan dg perbuatan aktif b) D. Omisi tak murni : melanggar
larangan dg tidak berbuat, mis Ps
194 KUHP

 D. Dolus : delik dilakukan dg  D. Culpa : Delik dilakukan dg


sengaja, mis. Ps 338, Ps 310, kealpaan, mis. Ps205, Ps 359
Ps 368
Delik Pro Parte Dolus Pro Parte Culpa

• Delik yang dalam perumusannya sekaligus


mencantumkan unsur kesengajaan dan unsur
kealpaan
Contoh: Ps 287, Ps480
Jenis Delik
Delik Biasa (bukan aduan) Delik Aduan
• penuntutannya tidak • penuntutannya
memerlukan pengaduan, memerlukan pengaduan,
mis. Ps 340, Ps 285 mis. Ps 310, Ps 284, Ps 367
(2)

• Cukup dengan laporan dari • Harus ada pengaduan dari


setiap orang yang melihat/ korban atau orang
mengetahui tindak pidana tertentu yang ditetapkan
tsb., tidak harus dengan UU
pengaduan dari korban atau
orang2 tertentu
Delik Aduan
• Ada 2 jenis:
1. Delik Aduan Absolut
2. Delik Aduan Relatif

Ad.1. Delik Aduan Absolut:


Delik yang pada hakekatnya/mutlak memerlukan pengaduan
untuk penuntutannya
Mis. Ps. 284, Ps.351
2. Delik Aduan Relatif:
Delik yang pada dasarnya merupakan delik biasa (bukan delik
aduan), tetapi karena ada hubungan tertentu antara pelaku
dan korban, maka berubah jenisnya menjadi delik aduan
Mis. Ps.367 ayat (2)
Delik Berdiri Sendiri Delik Berlanjut

• Terdiri atas satu delik yang • Terdiri atas dua atau lebih
berdiri sendiri delik, yang karena kaitannya
yang erat mengakibatkan
dikenakan satu sanksi
kepada terdakwa

• Untuk pemidanaannya tidak • Untuk pemidanaannya


perlu menggunakan menggunakan ketentuan
ketentuan tentang tentang gabungan TP, yaitu
gabungan TP; tinggal Pasal 64 KUHP
melihat berapa ancaman
pidana dari Pasal yang
dilanggar
Delik Berlanjut
• Masih menjadi perdebatan apakah delik berlanjut
(voortgezette delict) sama dengan perbuatan berlanjut
(voortgezette handeling)
• Sebagian sarjana (termasuk Utrecht) menyamakan
voortgezette delict dengan voortgezette handeling) dan
untuk pemidanaannya memakai ketentuan Pasal 64
KUHP, dengan syarat:
• Perbuatan –perbuatan timbul dari 1 kehendak
• Perbuatannya harus sejenis
• Tenggang waktu antara 1 perbuatan dengan perbuatan
yang lain, tidak terlalu lama
Delik Selesai Delik Berlangsung terus
• Satu atau beberapa • satu atau beberapa
perbuatan tertentu perbuatan yang
yang selesai dalam melangsungkan suatu
suatu waktu tertentu keadaan yang dilarang
yang singkat
• Mis: Pasal 221, Pasal
• Mis: Pasal 362, Pasal 261, Pasal 333
338
Delik Tunggal Delik Berangkai
• Delik di mana untuk dapat
• Delik di mana untuk dipidananya si pelaku maka
dapat dipidananya si ybs. harus melakukan
pelaku maka ybs. cukup perbuatan tersebut
melakukan perbuatan beberapa kali (berulang-
tersebut sebanyak satu ulang, berturut-turut)
kali • Karena harus dilakukan
berulang-ulang: bisa berupa
• Mis: Pasal 362, Pasal 338 pencaharian atau kebiasaan
(sebagai unsur yang
menentukan untuk
dipidananya pelaku)
• Mis: Pasal 296, Pasal 481
Delik Pokok/sederhana • Delik Berkualifikasi
• Delik yang dalam Delik pokok yang ditambah
perumusannya dengan unsur yang
mencantumkan unsur2 memperberat pemidanaan
pokok yang menentukan mis: Pasal 351 ayat (2), Pasal
pemidanaannya 363, Pasal 365 ayat (4)
Pasal 362, Pasal 351 ayat
(1) • Delik Berprevilege
Delik pokok yang ditambah
dengan unsur yang meringan
pemidanaan
Mis: Pasal 308. Pasal 364
Delik Politik Delik Komuna (bukan delik politik)
• Delik yang mengandung • Delik yang tidak
unsur politik mengandung unsur
Mis: Makar untuk politik
menggulingkan Mis: pembunuhan orang
pemerintah (Pasal 107), biasa (Pasal 338),
makar untuk membunuh Pencurian mobil (Pasal
kepala negara (Pasal 104) 362)
Delik Komuna
Delik Propria

• Delik yang hanya dapat • Delik yang dapat


dilakukan oleh orang2 dilakukan oleh setiap
tertentu (subjeknya orang
adalah orang-orang • Cirinya: Subjeknya
tertentu) adalah “barang siapa“
• Mis: Pasal 308, Pasal • Mis: Delik Pencurian
346, Pasal 449 (Pasal 362), Delik
Pembunuhan (Pasal
338)
Pembagian dan Jenis Perbuatan
Pidana
Tindak pidana dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu,
yaitu sebagai berikut :
• Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan
(misdrijven) dimuat dalam buku II dan pelanggaran
(overtredingen) di muat dalam buku III
• Menurut cara merumuskannya, dibidakan antara tindak
pidana formil (formeel delicten) dan tindak pidana materil
(materieele delicten).
• Delik Formal = Merumuskan perbuatan apa yang dilarang. Contoh pasal 359; barang
siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara selama-
lamanya 5 tahun atau kurungan selama-lamanya 1 tahun.
• Delik materil = merumuskan perbuatan yang dilarang itu adalah akibat dari
perbuatan (akibat hukum). Contoh pasal 351 tentang penganiayaan (2). Jika
perbuatan itu mengakibatkan luka berat, maka sipelaku dihukum penjara selama-
lamanya 5 tahun.
• Berdasarkan bentuk kesalahannya, dibedakan antara tindak
pidana sengaja (dolus delicten) Mis.Ps.338, 362 dan tindak
pidana dengan tidak sengaja (culpa delicten) Mis.359, 188.
• Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara
tindakan aktif/positif dan dapat disebut tindak pidana
komisi (delicta commissions) dan tindak pidana
pasif/negatif, disebut juga tindak pidana omisi (delicta
omissionis)
a. Delict commisionis : Pelanggaran thd suatu larangan,
yaitu berbuat sesuatu yg dilarang (Mis.Ps.338, 362)
b. Delict Ommisionis: Delik pel.Thd suatu perintah atau tdk
mel.yg diperintahkan (Mis.Ps.522 : tdk menghadap sbg
saksi, Ps. 531 : tdk menolong org yg memerlukan
pertlgan.
• Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, maka dapat dibedakan antara
tindak pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau
berlangsung lama/berlangsung terus
• Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan tindak
pidana khusus
• Dilihat dari subjek hukumnya, dapat dibedakan antara lain antara tindak pidana
communia (delicta communia, yang dapat dilakukan oleh siapa saja) dan tindak
pidana propia (hanya dapat dilakukan oleh orang yang memilki kualifikasi tertentu)
• Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka dibedakan
antara tindak pidana biasa (gewone delicten) dan tindak pidana aduan (klacht
delicten) .

a. klacht Delicten (delik aduan): Delik baru dilakukan penuntutannya setelah


adanya pengaduan terlebih dahulu (Mis. 310, 285)
b. gewone Delicten (Delik biasa): Delik yang penuntutannya tidak perlu adanya
pengaduan terlebih dahulu+ (mis.Ps.338, 362)

• Berdasarkan berat ringannya pidana yang diancamkan, maka dapat dibedakan


antara tindak pidana bentuk pokok (eenvoudige delicten), tindak pidana yang
diperberat (gequalificeerde delicten) dan tindak pidana diperingan (gepriviligieerde
delicten)
• Delik Tunggal dan delik berganda
a. Zelfstandge Delict (delik tunggal):Delik yg
cukup dilakukan dg satu kali perbuatan
(Mis.480)
b. Voorgezit Delict (delik berganda): Delik baru
merupakan delik apabila dilakukan beberapa
kali perbuatan (Mis.481)
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
• Pertanggungjawaban pidana menjurus pada
pemidanaan pelaku, jika telah melakukan
suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-
unsurnya yang telah ditentukan dalam
undang-undang.
• Menurut Romli Atmasasmita,
pertanggungjawaban pidana (criminal liability)
diartikan sebagai suatu kewajiban hukum pidana
untuk memberikan pembalasan yang akan
diterima pelaku terkait karena orang lain yang
dirugikan.
• Pertanggungjawaban pidana menurut Roeslan
Saleh, menyangkut pengenaan pidana karena
sesuatu perbuatan yang bertentangan dengan
hukum pidana.
Pertanggungjawaban pidana (criminal
responsibility atau criminal liability) berarti
dalam hal terjadinya suatu perbuatan yang
dilarang dan diancam pidana, maka perlu
diatur kepada siapa perbuatan tersebut
harus dimintakan pertanggungjawaban,
guna menerima /menjatuhkan pidana yang
diancamkan.
• Pertanggung jawaban adalah bagaimana kita harus
bertanggung jawab dalam hukum pidana atau bagaimana
meminta pertanggung jawaban / tanggung jawab terhadap
orang / pelaku dalam hukum pidana.
• Kemampuan bertanggungjawab tersebut memperlihatkan
kesalahan dari pelaku yang berbentuk kesengajaan atau
kealpaan.
• Pertanggung jawaban adalah kewajiban hukum setiap
subjek hukum tertentu
• Subyek hukum itu adalah manusia dan badan hukum.
• Jadi pertanggung jawaban tadi bisa dimintakan kepada
manusia atau badan hukum karena manusia dan badan
hukum itu melakukan perbuatan pidana maka akibatnya
harus dibebankan kepada manusia atau badan hukum yang
melakukannya (dia punya hak unuk melaksanakan sesuatu ).
Kenapa manusia atau badan hukum itu harus bertanggung
jawab? orang yang melakukan sesuatu dalam hal ini tindak
pidana harus bertanggungjawab atas perbuatan tersebut.
Akan tetapi tidak semua dapat dimintai pertanggung
jawaban misalnya : orang gila.
Kenapa seseorang yang melakukan perbuatan pidana harus
dimintai pertanggung jawaban pidana ? karena orang
tersebut mampu menilai perbuatan itu baik atau buruk.
Kalau dia tidak mampu menilai perbuatan itu baik atau
buruk maka dia tidak bisa dimintai pertanggungjawaban
pidana.
Kemampuan untuk menilai perbuatan tersebut baik atau
buruk disebut kemampuan bertanggung jawab atau dengan
kata lain perbuatan bertanggung jawab timbul kalau orang
tersebut mampu menilai perbuatan tersebut baik dan buruk
• Dilihat dari sudut kemampuan
bertanggungjawab, maka hanya seseorang
yang ‘mampu bertanggungjawab’ yang dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana.
• Kemampuan bertanggungjawab didasarkan
pada keadaan dan kemampuan ‘jiwa’.
• Dikatakan seseorang mampu bertanggungjawab bilamana pada
umumnya:
a. Keadaan jiwanya
• Tidak terganggu oleh penyakit terus menerus atau sementara
• Tidak cacat dalam pertumbuhan
• Tidak terganggu karena hypnotisme, pengaruh bawah sadar, dll.
Dengan kata lain orang tersebut harus dalam keadaan sadar
b. Kemampuan jiwanya
• Dapat menginsyafi hakikat dari tindakannya
• Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah
akan dilaksanakan atau tidak
• Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut.
Seseorang dikatakan tidak mempunyai kemampuan
bertanggungjawab apabila:
1. Keadaan batin/jiwa yang sakit
2. Keadaan jiwa/batin seseorang terlalu muda
sehingga psikisnya belum baik
3. Kurang baiknya fungsi batin karena ada gangguan
sehingga tidak bekerja sebagaimana mestinya.
KEMAMPUAN BERTANGGUNGJAWAB
Kemampuan bertanggungjawab harus ada:
1.Kemampuan untuk membedakan antara yang baik
dan yang buruk; yang sesuai hukum dan yang
melawan hukum, (Faktor akal=INTELEKTUAL FACTOR)
2.Kemampuan untuk menentukan kehendaknya
menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya
perbuatan tadi, (faktor perasaan atau
kehendak=VOLITIONAL FACTOR).
TIDAK MAMPU BERTANGGUNG JAWAB SEBAGIAN
Dlm praktek ada bbrp jenis penyakit jiwa, sehingga
penderitanya disebut tidak mampu bertanggung jawab
sebagian.
Misalnya :
a. Kleptomanie, yaitu penyakit jiwa yg berupa dorongan
kuat dan tak tertahan untuk mengambil brg milik org
lain, tetapi tdk sadar bhw perbuatannya terlarang.
Biasanya brg yg diambil adalah brg yg tdk ada nilainya
sama sekali bgnya. Dlm keadaan biasa jiwanya sehat
Lanjutan……

b. pyromanie
Yaitu penyakit jiwa yg berupa kesukaan untuk
melakukan pembakaran tanpa alasan sama
sekali
c. Claustrophobie
Yaitu penyakit jiwa yg berupa ketakutan
untuk berada di ruang yg sempit
Lanjutan…..

Dalam keadaan2 tsb di atas, mereka yg


dihinggapi penyakit tsb tdk dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, yg
ada hubungannya dengan penyakit tsb.
Jika penyakit dan perbuatannya tdk ada
hubungannya, maka mereka tetap dapat
dipidana.
Tidak semua orang dapat dimintai pertanggung jawaban
pidana. Seseorang itu dimintai pertanggung jawaban
apabila ada kesalahan.
Kesalahan adalah kemampuan untuk menilai baik dan
buruk mana yang tercela dan tidak tercela (mampu
membedakan baik dan buruk). Sifat tercelanya
perbuatan ini secara subjektif adalah kesalahan, “tidak
ada pidana tanpa ada kesalahan” Green straft
zonder scheud ( tindak pidana tanpa ada kesalahan ).
Jadi masalah pertanggung jawaban pidana tersebut
adalah akibat dari perbuatan pidana seseorang yang
dibebankan kepada pelaku.
B. Asas Mens Rea (Actus non facit reum Nisi Men Sit Rea) atau Asas Kesalahan
Unsur pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan.
Dimana unsur-unsur dari kesalahan:
1. Mampu bertanggungjawab
2. Adanya kesengajaan atau kesalahan
3. Tidak ada alasan pemaaf
Kesalahan dalam arti yang seluas luasnya adalah hubungan bathin antara si
pembuat terhadap perbuatan yang dicelakan kepada si pembuat. Hubungan bathin
ini biasa disebut sangaja (dolus) atau alpa (culpa). Dolus (sengaja) dapat dimengerti
sebagai berbuat dengan hendak dan maksud (atau dengan menghendaki dan
mengetahui :willens en wetens) untuk memenuhi unsur –unsur delik sebagimana
ditemukan dalam perumusan kejahatan, sedangkan culpa adalah tidak atau kurang
diperhitungkannya oleh pembuat kemungkinan munculnya akibat fatal yang tidak
dikehendaki oleh pembuat undang-undang padahal hal itu (agak) mudah
dilakukanya
Menurut asas ini seseorang dapat dipidana harus dipenuhi dua syarat:
• Ada perbuatan lahiriah yang terlarang (Actus Reus)
• Ada sikap bathin jahat/tercela (Mens Rea)

Actus Reus tidak hanya menunjuk pada suatu perbuatan (an act), tetapi
mengandung arti Yang lebih luas, yaitu :
1. Perbuatan dari si terdakwa
2. Hasil atau akibat dari perbuatannya itu
3. Keadaan-keadaan yang tercantum dalam perumusan tindak pidana.

Adapun yang termasuk Mens Rea (sikap bathin yang jahat), yaitu :
• Intention (kesengajaan)
• Recklessness (kesemberonoan)
• Negligence (kealpaan/kurang hati-hati)
• Bentuk-bentuk Kesalahan
 KESENGAJAAN
Ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih berat apabila dilakukan dengan sengaja apabila
dilakukan dengan kealpaan.
Arti: Melaksanakan sesuatu perbuatan yang didorong oleh suatu keinginan untuk berbuat
atau bertindak.

Kehendak dapat ditujukan terhadap :


1.Perbuatan yang dilarang,(kesengajaan formil);
2.Akibat yang dilarang oleh Undang-undang, (kesengajaan materil);
3.Masalah-masalah yang merupakan unsur suatu delik(kesengajaan materiil).

Kesengajaan menurut memori penjelasan (memorie van Toelichting) artinya menghendaki


dan menginsyafi terjadinya suatu tindakan beserta akibatnya.
Atau dengan kata lain adalah suatu kehendak atau keinginan untuk melaksanakan suatu
tindakan yang didorong oleh pemenuhan nafsu.
Atau dengan kata lain apabila seseorang melakukan perbuatan dengan mengetahui dan
menghendakinya.

Dalam dolus sebab itu terkandung elemen volitief (kehendak) dan intelektual (pengetahuan)
volonte’et connaissance, tindakan dengan sengaja selalu willens (dikehendaki) dan wetens
(disadari atau diketahui). .
Seseorang yang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan tiga corak
sikap bathin. Yang menunjukkan tingkatan atau bentuk dari kesengajaan.
1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet oogmerk)
Artinya terjadinya suatu tindakan atau akibat tertentu adalah betul-betul sebagai
perwujudan dari maksud atau tujuan dan pengetahuan si pelaku. Perbuatan si
pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang. Kalau akibat ini
tidak akan ada, maka ia tidak akan berbuat demikian. Ia menghendaki perbuatan
beserta akibatnya.

2. Kesengajaan dengan kesadaran pasti atau keharusan, Kesengajaan dengan sadar


kepastian
Yaitu seberapa jauh pengetahuan atau kesadaran pelaku tentang tindakan dan
akibat yang merupakan salah satu unsur dari suatu delik yang telah terjadi.
dalam hal ini perbuatan mempunyai 2 akibat : a). Akibat yang memang dituju
sipembuat, b). Akibat yang tidak diinginkan tetapi merupakan suatu keharusan
untuk mencapai tujuan dan akibat ini pasti terjadi.

3. Kesadaran dengan menyadari kemungkinan , Kesengajaan dengan sadar


kemungkinan (dolus eventualis)
Yaitu sejauh mana pengetahuan atau kesadaran pelaku tentang tindakan dan
akibat terlarang yang mungkin akan terjadi. Dalam hal ini ada keadaan tertentu
yang semula mungkin terjadi kem.udian benar-benar terjadi
TEORI-TEORI KESENGAJAAN
1. TEORI KEHENDAK
kesengajaan adalah kehendak untuk
mewujudkan unsur-unsur delik dalam
rumusan undang-undang.
2. TEORI PENGETAHUAN
sengaja berarti membayangkan akan
timbulnya akibat perbuatannya. Org tidak dpt
menghendaki akibat, melainkan hanya dapat
membayangkan.
Istilah yang digunakan dalam KUHP untuk menyatakan:
• Kesengajaan, dengan sengaja, sengaja
Ex: P187, P281, P304, P333, P354, P372
• Yang diketahuinya
Ex: P204
• Sedang diketahuinya
Ex: P110 ayat 2 ke 3, P275, P250
• Sudah tahu
Ex: P438 ayat 1
• Dapat mengetahui
Ex: P164, P464
• Telah dikenalnya
Ex: P245, P247
• Telah diketahuinya
Ex: P282
• Bertentangan dengan pengetahuannya
Ex: 311
• Pengurangan hak secara curang
Ex: 397
• Dengan tujuan yang nyata
Ex: 310
 KEALPAAN
Akibat ini timbul karena ia alpa, ia sembrono, ia teledor, ia berbuat kurang hati-hati
atau kurang penduga-duga.
Di dalam undang-undang tidak ditentukan apa arti dari kealpaan. Dari ilmu pengetahuan
hukum pidana diketahui bahwa inti, sifat-sifat atau cirinya adalah:
• Sengaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karena menggunakan
ingatan/otaknya secara salah, seharusnya ia menggunakan ingatannya sebaik-baiknya,
tetapi ia tidak gunakan. Dengan perkataan lain ia telah melakukan suatu tindakan aktif
(pasif) dengan kurang kewaspadaan yang diperlukan.
• Pelaku dapat memperkirakan apa yang dapat terjadi, tetapi merasa dapat mencegahnya.
Sekiranya akibat itu pasti akan terjadi, dia lebih suka untuk tidak melakukan tindakan yang
akan menimbulkan akibat itu. Tetapi tindakan itu tidakdibatalkan, atas tindakan mana ia
kemudian dicela, karena bersifat melawan hukum.

Menurut M.v.T. bahwa dalam hal kealpaan pada diri pelaku terdapat:
1. Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan
2. Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan
3. Kekurangan kebijaksanaan yang diperlukan

Perbedaan antara kesengajaan dan kealpaan adalah pada kesengajaan suatu akibat
yang timbul itu dikehendaki pelaku sedangkan pada kealpaan justru akibat itu tidak
dikendaki.
• Tidak hati-hati
• Tidak menduga-duga
Menurut Sianturi mengemukakan bahwa Perbedaan antara
kesengajaan dengan kealpaan dalam hubungannya dengan
suatu tindakan (yang dapat dipidana) adalah:
• Sesuatu akibat pada kealpaan, tidak dikehendaki pelaku
walaupun dalam perkiraan, sedangkan pada kesengajaan
justru akibat itu adalah perwujudan dari kehendak dan
keinsyafannya.
• Percobaan untuk melakukan suatu kejahatan karena
kealpaan pada umumnya tidak dapat dibayangkan, karena
memang niat untuk melakukan tidak ada, karenanya tidak
mungkin ada pemidanaan,
• Disamping bentuk kejahatan sengaja tidak dengan
sendirinya ada pula bentuk kejahatan kealpaan.
• Ancaman pidana terhadap delik yang dilakukan dengan
sengaja, lebih berat dibandingkan terhadap delik yang
bersamaan karena kealpaan.
KEALPAAN YG DISADARI DAN KEALPAAN YG TIDAK DISADARI

1. Kealpaan yg disadari :
pelaku dpt menyadari ttg apa yg dilakukan beserta
akibatnya, akan tetapi ia percaya dan
mengaharap/menginginkan akibatnya tdk akan
terjadi.

2. Kealpaan yg tidak disadari :


pelaku melakukan sesuatu yg tdk menyadari
kemungkinan akan timbulnya sesuatu akibat, pdhl
seharusnya ia dapat menduga sebelumnya.
• Jika dolus eventualis dibandingkan kealpaan yang
berat (bewuste schuld atau culpa lata), maka
pada dolus eventualis disyaratkan adanya
kesadaran akan kemungkinan terjadinya sesuatu
akibat, kendatipun ia bisa berbuat lain, tetapi
lebih suka melakukan tindakan itu walaupun tahu
resikonya. Sedangkan pada culpa lata disyaratkan
bahwa pelaku seharusnya dapat menduga
(voorzien) akan kemungkinan terjadinya sesuatu
akibat, tetapi sekiranya diperhitungkan akibat itu
akan pasti terjadi, ia lebih suka tidak melakukan
tindakannya itu.
Contoh perumusan atau istilah yang digunakan
dalam KUHP yang menunjukkan kealpaan:
• Karena salahnya
Ex: P188, P191, P360
• Kealpaan
Ex: P231, P232
• Harus dapat menduga
Ex: P287, P292, 480
• Ada alasan kuat baginya untuk menduga
Ex: P282 ayat 2a
Alasan pembenar, pemaaf dan penghapus
penuntutan
• apabila seseorang telah melakukan semua unsur yang
ada dalam suatu Pasal, dimana seharusnya orang
tersebut dipidana, akan tetapi terhadap hal-hal
tertentu yang telah ditentukan oleh undang-undang,
pelaku tersebut tidak dipidana.
• Dilihat dari sumbernya, dasar-dasar meniadakan
pidana ada dua yakni (1). peniadaan pidana yang telah
ditentukan oleh Undang-undang (wettelijke
strafuitsluitingsgrond) (2). Peniadaan pidana yang
berasal dari luar Undang-undang (buiten wettelijke
straf uitsltuitingsgrond). Peniadaan pidana dapat
berasal dari diri si pelaku, dapat pula terjadi karena
faktor di luar diri pelaku.
Alasan pembenar, pemaaf dan penghapus penuntutan

Dalam KUHP tidak ada disebutkan istilah-istilah alasan pembenaran dan alasan
pemaaf. Titel ke-3 dari Buku Pertama KUHP hanya menyebutkan : alasan-alasan yang
menghapuskan pidana.

Dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana ini
dibeda-bedakan manjadi :
1. Alasan pembenar : yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang
patut dan benar. Ex: P49 ayat (1), P50, P51 ayat (1) KUHP.
2. Alasan pemaaf : yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan
yang dilakukan terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan
perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan. Ex: P44 ayat
(1), P48, P49 ayat (2), P51 ayat (2) KUHP.
3. Alasan penghapus penuntutan : di sini soalnya bukan ada alasan pembenar maupun
alasan pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatnya
orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar
utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan
penuntutan. Yang menjadi pertimbangan di sini ialah kepentingan umum. Kalau
perkaranya tidak dituntut, tentunya yang melakukan perbuatan tak dapat dijatuhi
pidana. Contoh : Pasal 53, kalau terdakwa dengan suka-rela mengurungkan niatnya
percobaan untuk melakukan sesuatu kejahatan.
Alasan Penghapus Pidana dalam KUHP

Alasan penghapus pidana dalam KUHP dimasukkan ke dalam Bab III dan
digabungkan dengan alasan yang dapat mengurangi atau
memberatkan Pidana.

Alasan-alasan penghapus pidana tersebut adalah:


1. Tidak dapat dipertanggungjawabkan karena jiwanya cacat dalam
pertumbuhan atau terganggu karena penyakit (Pasal 44).
2. Daya paksa (overmacht) dalam Pasal 48. Dalam MvT (Memorie van
Toelichting) dijelaskan bahwa daya paksa adalah setiap kekuatan, setiap
paksaan atau tekanan yang tak dapat ditahan.
3. Pembelaan terpaksa dari serangan atau ancaman yang melawan hukum,
yang dilakukan untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan
atau harta benda sendiri maupun orang lain (noodweer) dalam Pasal 49
ayat (1).
4. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas dikarenakan kegoncangan
jiwa yang hebat (noodweer exces) dalam Pasal 49 ayat (2).
5. Menjalankan peraturan undang-undang (Pasal 50).
6. Melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang
berwenang (Pasal 51 ayat (1)).
Menurut M.v.T. alasan-alasan penghapus
pidana dibagi menjadi :
• Alasan-alasan yang terdapat dalam bathin
terdakwa, yaitu pasal 44 KUHP.
• Alasan-alasan yang di luar, yaitu pasal-pasal
48-51 KUHP.
• KEADAAN JIWA PELAKU
• Pasal 44 KUHP menyebutkan :

1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat


dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam
pertumbuhan atau tergangggu karena penyakit, tidak dipidana
2) Jika perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kapada
pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu
karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan agar supaya
oarng itu dimasukkan kerumah sakit jiwa, paling lama satu tahun
sebagai waktu percobaan
1. DAYA PAKSA, OVERMACHT
Arti : Kekuatan atau daya yang lebih besar
Pasal 48:
“Barangsiapa melakukan perbuatan karena
pengaruh daya paksa tidak dipidana”
Menurut M.v.T. daya paksa adalah suatu kekuatan
(kracht), dorongan (drang), atau paksaan (dwang)
yang tidak dapat dilawan/ dielakkan.
• Daya paksa terdiri dari 3 bentuk:
1. Paksaan mutlak
Yakni dalam hal si pelaku tidak dapat
bertindak lain selain dari apa yang
dipaksakan kepadanya.
2. Paksaan relatif
Pada paksaan relatif ini ada persoalan
pilihan
2. PEMBELAAN TERPAKSA (NOODWEER)
Pasal 49 KUHP:
(1) Tidak dipidana, barangsiapa melakukan suatu tindakan
pembelaan terpaksa yang diperkenankan untuk diri sendiri,
kehormatan susila atau harta benda sendiri atau orang lain,
terhadap suatu serangan yang ketika itu ada atau suatu
ancaman serangan secara langsung yang hebat, yang
ditimbulkan secara langsung yang bersifat melawan hukum
Unsur-unsur pembelaan terpaksa:
1. Ada serangan
Syarat suatu serangan:
 Serangan secara langsung dan tiba-tiba
 Serangan itu bersifat melawan hukum
2. Ada pembelaan
1. Harus diperkenankan
2. Harus terpaksa
3. Dilakukan untuk:
 Diri atau
 Kehormatan
 Atau harta benda
PEMBELAAN DARURAT YG MELAMPAUI BATAS
(NOODWEER EXCES) Psl. 49 ayat (2)
Tidak dipidana, pembelaan terpaksa yang melampaui batas,
yang merupakan akibat langsung dari kegoncangan jiwa
yang hebat, yang ditimbulkan oleh serangan tersebut.

Syarat-syarat adanya pembelaan darurat yg melampaui


batas, yaitu :
1. Kelampauan batas pembelaan yg diperlukan
2. Pembelaan dilakukan sbg akibat yg langsung dari
kegoncangan jiwa yg hebat
3. Kegoncangan jiwa yg hebat tsb disebabkan krn adanya
serangan, dgn kata lain antara kegoncangan jiwa dan
serangan harus ada hubungan kausal
Lanjutan….

Sifat dari noodweer exces adalah


menghapuskan kesalahan
(pertanggungjawaban pidana), jadi sebagai
alasan pemaaf, perbuatannya tetap bersifat
melawan hukum.
3. Keadaan darurat (nootoestand)
adalah keadaan dimana suatu kepentingan hukum dalam
keadaan bahaya dan untuk menghindarkan bahaya itu
terpaksa dilanggar kepentingan hukum yang lain.
Keadaan darurat dianggap ada dalam kejadian-kejadian sbb:
• Adanya dua kepentingan hukum yang bertentangan
• Adanya pertantangan antara kepentingan hukum dan
kewajiban hukum
• Adanya pertentangan dua kewajiban hukum.
PERBEDAAN ANTARA KEADAAN DARURAT DAN
PEMBELAAN DARURAT

1. Dalam keadaan darurat dapat dilihat adanya perbenturan


antara dua kepentingan hukum, kepentingan hukum dan
kewajiban hukum, serta perbenturan dua kewajiban hukum
2. Dalam keadaan darurat tidak perlu adanya serangan,
sedangkan dalam pembelaan darurat harus ada serangan
3. Dalam keadaan darurat org dpt bertindak berdasarkan
berbagai kepentingan atau alasan, sedangkan dalam
pembelaan terpaksa sudah ditentukan secara limitatif (Psl 49
ayat (1))
3. MENJALANKAN KETENTUAN UU DAN PERINTAH
JABATAN
A. MENJALANKAN KETENTUAN UU
Pasal 50 KUHP:
“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melakukan ketentuan
UU, tidak dipidana”.

Ketentuan UU adalah:
Setiap peraturan, yang dikeluarkan oleh setiap
penguasa yang berwenang menurut undang-undang bukan
saja perturan yang dikeluarkan oleh atau berdasarkan UUD.
Perbuatan org yg menjalankan peraturan UU
tidak bersifat melawan hukum, sehingga
merupakan alasan pembenar.
Dalam melaksanakan peraturan UU, kadang
bertentangan dengan peraturan lain dalam hal
ini dipakai pedomanlex specialis derogat legi
generali.
Sehubungan dengan peniadaan pidana bagi pelaku, yang
terpenting dalam ketentuan UU adalah mengenai
pelaksanaannya yang tidak terlepas dari beberapa keadaan:
1. Apakah tindakan pelaku cukup hanya berdasarkan suatu
hak atau kewenangan yang dengan nyata dirumuskan dalam
suatu UU
2. Apakah tindakan pelaku harus sesuai dengan kewajiban
yang secara tegas dinyatakan dalam suatu UU
3. Apakah dalam rangka pelaksanaan UU, boleh menggunakan
segala cara?
B. TINDAKAN BERDASARKAN PERINTAH JABATAN
Pasal 51
(1). Barangsiapa melakukan perbuatan yang diberikan
oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
(2). Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan
hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad
baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang
dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan
pekerjaannya.
• Perintah jabatan harus memenuhi syarat-syarat:
1. Ada hubungan antara pemberi perintah dengan
pelaksana perintah yang berdasarkan hukum publik
2. Kewenangan pemberi perintah harus sesuai
dengan jabatannya berdasarkan hukum publik
tertentu
3. Bahwa perintah yang diberikan itu termasuk dalam
lingkungan kewenangan jabatannya.
 Menjalankan perintah jabatan yg sah, bila
perintah tsb berdasarkan, tugas, wewenang atau
kewajiban yg didasarkan kpd suatu peraturan.
Antara org yg diperintah dan memerintah hrs ada
hubungan jabatan dan hubungan subordinasi.
 menjalankan perintah jabatan yg tidak sah,
menghapuskan dpt dipidanya seseorg dan
Perbuatannya tetap bersifat melawan hkm, jika
memenuhi syarat-syarat :
1. Jika ia mengira dengan itikad baik bahwa
perintah itu sah
2. Perintah itu terletak dalam lingkungan
wewenang dari org yg diperintah
Alasan Penghapus Pidana dalam Rancangan KUHP

Dalam Rancangan KUHP, alasan-alasan yang dapat menghapuskan pidana mengalami perkembangan
yang sangat signifikan. Alasan-alasan penghapus pidana menurut Rancangan KUHP itu adalah:
1. Asas Culpabilitas (asas kesalahan) disebutkan dalam Rancangan KUHP, yaitu “tiada pidana atau
tindakan tanpa kesalahan” yang dalam KUHP (WvS) tidak disebutkan. Ini berarti tidak adanya
kesalahan seseorang dapat menghapuskan pidananya (kecuali nanti berlaku pertanggungjawaban yang
ketat atau strict liability/liability without fault).
2. Menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, atau retardasi mental.

Kemudian, Rancangan KUHP membagi alasan penghapus pidana menjadi alasan pemaaf dan alasan
pembenar, yang masing-masing terdiri:
1. Alasan pemaaf:
a. tidak mengetahui/sesat mengenai keadaan atau hukumnya (error facti dan error iuris) kecuali
kesesatannya itu patut dipersalahkan.
b. daya paksa
c. pembelaan terpaksa yang melampaui batas
d. dengan iktikad baik melaksanakan perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang
2. Alasan pembenar:
a. melaksanakan aturan perundang-undangan
b. melaksanakan perintah jabatan
c. keadaan darurat
d. pembelaan terpaksa
STELSEL PEMIDANAAN
BAB.VI. PEMIDANAAN DAN PELAKSANA PIDANA

1. Straf Minima adalah penentuan sanksi pidana berdasarkan ambang


batas bawah atau sering diformulasikan dengan kata-kata “ dengan
Pidana sesingkat-singkatnya”. Straf minima ini di bagi dalam dua
bentuk yaitu;
a. Minima Umum
Yaitu pembatasan pidana yang paling ringan ditentukan secara
umum, sebagai contoh pidana penjara secara umum hanya dapat
dijatuhkan serendah-rendahnya selama satu hari jadi ini berlaku
umum untuk setiap pidana yang diancamkan.
b. Minima Khusus
Yaitu ancaman pidana yang paling rendah dapat dijatuhkan pada
suatu perbuatan pidana ditentukan secara khusus, sebagai contoh
sering diformulasikan dengan kata-kata “ dipidana paling singkat
selama 1 tahun”
2. Straf Maxima adalah penentuan sanksi pidana berdasarkan ambang
batas atas atau sering diformulasikan dengan kata-kata “ dengan
Pidana selama-lamanya”. Straf maxima ini di bagi dalam dua
bentuk yaitu;
a. Maxima Umum
Yaitu pembatasan pidana yang paling berat ditentu kan secara
umum, sebagai contoh pidana penjara secara umum hanya dapat
dijatuhkan selama-lamanya 20 tahun.
b. Minima Khusus
Yaitu ancaman pidana yang paling tinggi dapat dijatuhkan pada
suatu perbuatan pidana ditentukan secara khusus, sebagai contoh
sering diformulasikan dengan kata-kata “ dipidana paling lama
selama 15 tahun”
Sistem Pelaksanaaan Penjatuhan Pidana

A. Sistem Absorbsi
(absorbsi Murni atau stelsel penyerapan murni)
Apabila seseorang yang melakukan beberapa perbuatan pidana
dijatuhkan beberapa pidana dengan ancaman pidana yang berbeda
maka hukuman yang dilaksanakan adalah hukum yang lebih lama
(yang tertinggi), hal ini didasarkan anggapan bahwa pidana yang
lebih ringan telah diserap dalam pidana yang lebih berat. Atau
adalah hanya maksimum ancaman pidana yang terberat yang
dikenakan dengan pengertian bahwa maksimum pidana lainnya
diserap oleh yang lebih tinggi).
Contoh: Seseorang dipidana karena penganiayaaan selama 5 tahun
dan dijatuhi pidana karena pencurian selama 3 tahun. Maka
menurut sistem ini ia harus melaksanakan pidana selama 5 tahun
karena hukuman bagi pencuriannya yang 3 tahun telah termasuk
dalam hitungan lima tahun tersebut.
B. Sistem Komulasi
(Stelsel penjumlahan)
Sistem pemidanaan ini sering terjadi dalam gabungan dari beberapa
perbuatan. Pada sistem ini setiap hukuman dari beberapa perbuatan
pidana yang dijatuhkan ditambahkan seluruhnya. Sistem ini terdiri
dari dua bentuk, yaitu;
Komulasi murni
Semakin banyak perbuatan pidana yang dilakukan pelaku maka
semakin banyak sanksi pidana yang dijatuhkan kepadanya. Atau
dengan artian dijumlahkan semua ancaman pidana yang diancamkan
kepada pelaku. Atau juga adalah tiap-tiap tindak pidana yang
dilakukan pelaku tersebut dijatuhkan pidana tanpa pengurangan. Jadi
dapat saja seorang pelaku di hukum 180 tahun.
Komulasi Terbatas
Yaitu pidana tertinggi + 1/3 x pidana tertinggi
Example : Membunuh 15 tahun, memperkosa 12
tahun mencuri 1 tahun,maka bagi pelaku harus
melaksanakan pidana selama 15 tahun ( pidana yang
tertinggi) ditambahkan +1/3 dari 15 tahun sehingga
menjadi 20 tahun.
Sistem Absorbsi yang Dipertajam

Sistem ini ini berarti bahwa pada dasarnya apabila seseorang


dijatuhi hukuman lebih dari satu macam maka yang dikenakan
dan harus dijalankannya adalah hukuman yang terberat, tetapi
dalam sistem ini ditambahkan sepertiga dari yang terberat. Atau
dengan kata lain tindak pidana yang lebih ringan ancaman
pidananya tidak dikenakan namun dipandang sebagai keadaan
yang memberatkan bagi tindak pidana yang lebih berat ancaman
pidananya, namun yang diterapkan adalah yang terberat + 1/3
dari yang terberat.
Example : perbuatan pidana diancam 5 tahun, 7 tahun, 15 tahun,
dan pidana mati. Jadi yang dijatuhkan adalah pidana mati. Pidana
yang lain diserap dalam pidana mati tadi. Jadi tidak boleh lagi
pidana mati ditambahkan, kecuali pidana tambahan boleh dilakukan
example : pencabutan/ perampasan hak-hak tertentu
• Untuk eendaadsche samenloop atau concursus idealis yang
dipakai adalah stelsel absorbsi murni.
• Untuk voortgezette handeling yang dipakai adalah stelsel
absorbsi dan komulasi
• Untuk meerdaadsche samenloop atau consursus realis kalau
tindak pidana sejenis yang dipakai adalah stelsel absorbsi
dipertajam, sedangkan untuk tindak pidana tidak sejenis yang
dipakai adalah stelsel komulasi terbatas
• Untuk perbarengan beberapa pelanggaran atau perbarengan
kejahatan dan pelanggaran yang dipakai adalah stelsel
komulasi murni
• Stelsel pidana merupakan bagian dari hukum
panitensier yang berisi tentang jenis pidana,
batas-batas penjatuhan pidana, cara
penjatuhan pidana, cara dan dimana
menjalankannya, begitu juga mengenai
pengurangan, penambahan dan pengecualian
penjatuhan pidana
• Di Indonesia pada dasarnya stelsel pidana diatur dalam Buku I KUHP yakni
dalam Bab ke 2 yaitu dari Pasal 10 sampai dengan Pasal 43. Menurut
Stelsel KUHP, pidana dibedakan menjadi dua kelompok, antara pidana
pokok dengan pidana tambahan.
• Pidana pokok, terdiri dari:
• 1. Pidana mati;
• 2. Pidana penjara;
• 3. Pidana kurungan;
• 4. Pidana denda;
• 5. Pidana tutupan (ditambahkan berdasarkan Undang-UndangU No. 20
Tahun 1946)
• b. Pidana tambahan terdiri dari:
• 1. Pencabutan hak-hak tertentu;
2. Perampasan barang-barang tertentu;
3. Pengumuman putusan hakim
Pidana Bersyarat
• Pidana bersyarat adalah Pidana dengan syarat-
syarat tertentu, yang dalam praktik hukum
disebut dengan pidana/hukuman percobaan.
Pidana bersyarat adalah suatu sistem
penjatuhan pidana oleh hakim yang
pelaksanaannya bergantung pada syarat-
syarat tertentu atau kondisi tertentu.
• Pidana bersyarat diatur dalam Pasal 14 a KUHP yang berbunyi:
• (1) Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana
kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusnya
hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika
dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena si
terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang
ditentukan dalam perintah tersebut diatas habis, atau karena si terpidana selama
masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain
dalam perintah itu.
• (2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-
perkara yang mangenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan
pidana denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau
perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan si
terpidana. Dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya
dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan
dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal dijatuhkan pidana denda, tidak
diterapkan ketentuan Pasal 30 ayat (2).
• (3) Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga
mengenai pidana pokok juga mengenai pidana tambahan.
• (4) Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat
berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya
syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-
syarat khusus jika sekiranya ditetapkan.
• (5) Perintah tersebut dalam ayat (1) harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan
yang menjadi alasan perintah itu.
• Pidana bersyarat ini merupakan perintah dari hakim, bahwa pidana yang
diputuskan/dijatuhkan tidak akan dijalani terpidana, kecuali kemudian
hakim memerintahkan supaya dijalani, karena terdakwa:

a. Sebelum habis masa percobaan, melanggar syarat umum, yaitu


melakukan suatu tindak pidana, atau
b. Dalam masa percobaan tersebut, melanggar suatu syarat khusus (jika
diadakan), atau
c. Dalam masa yang lebih pendek dari percobaan tersebut, tidak
melaksanakan syarat yang lebih khusus, berupa kewajiban mengganti
kerugian pihak korban sebagai akibat dari tindakan terpidana (Pasal 14c).

• Syarat umum pada huruf a tersebut adalah syarat mutlak, sedangkan


syarat pada huruf b dan c adalah fakultatif. Artinya tergantung kepada
hakim, apakah ia memerintahkan persyaratan b atau c atau tidak.
Persyaratan umum untuk menetapkan pidana bersyarat ini adalah bahwa
terpidana selama masa percobaan tidak akan bersalah melakukan tindak
pidana. Sedangkan syarat khusus dalam menetapkan pidana bersyarat ini
adalah:
• Penggantian kerugian untuk seluruhnya atau sebagian, dari kerusakan
yang diakibatkan dalam jangka waktu yang ditetapkan hakim, yang lebih
pendek daripada masa percobaan;
• Penempatan terpidana dalam institusi perawatan medik untuk jangka
waktu yang akan diteapkan hakim, setinggi-tingginya sama dengan masa
percobaan;
• Penyerahan uang jaminan yang jumlahnya akan ditetapkan hakim,
setinggi-tingginya sejumlah seleisih antara maksimum pidana denda yang
dapat dijatuhkan berkenaan dengan delik yang bersangkutan dan denda
yang nyata dijatuhkan;
• Persyaratan khusus lainnya, berkenaan dengan perilaku terpidana yang
harus dipatuhi terpidana selama masa percobaan atau dalam tenggat
waktu lain dalam masa percobaan tersebut
• Hakim dapat memerintahkan pidana bersyarat, apabila putusan hakim
dijatuhkan:
• Pidana penjara maksimum satu tahun
• Pidana kurungan (tidak termasuk pidana kurungan pengganti)
• Pidana denda (akan tetapi tidak termasuk pidana denda dalam perkara-
perkara pemasukan uang Negara, atau pengembalian uang Negara seperti
pidana denda dalam perkara perpajakan, bea, cukai perkara tindak pidana
ekonomi dan perkara korupsi)

• Apabila salah satu syarat yang ditentukan kepada terpidana dilanggar,


maka hakim atas usul jaksa/penuntut umum yang bersangkutan dapat:
• Memerintahkan supaya pidananya dilaksanakan
• Memerintahkan supaya jaksa/penuntut umum atas nama hakim
memberikan peringatan sesuai petunjuk hakim.
Pelepasan Bersyarat
• Pelepasan bersyarat adalah bebasnya
Narapidana setelah menjalani sekurang-
kurangnya dua pertiga masa pidananya
dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak
kurang dari 9 (sembilan) bulan. Pengertian ini
terdapat dalam Penjelasan Pasal 12 huruf k
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995
tentang Pemasyarakatan.
• Dapat dikatakan secara sederhana bahwa pelepasan
bersyarat ini adalah pelepasan sebelum akhir waktu
masa pemidanaan dengan ketetapan bahwa sisa dari
sanksi pidana itu tidak perlu dijalani terpidana jika
orang yang dilepaskan (terpidana) itu dalam jangka
waktu percobaan tidak melakukan tindak pidana.
• Pelepasan bersayarat ini baru diberikan apabila ¾ (tiga
per empat) dari pidana yang dijatuhkan kepada
terpidana telah dijalani, dimana sekurang-kurangnya
pidana yang telah dijalani tidak kurang dari 9 bulan.

Anda mungkin juga menyukai