Nasional
• Ps 28i UUD 1945
• Ps 18 (2) dan Ps 18 (3) UU No. 39 Tahun 1999
• Ps 43 UU No. 26 Tahun 2000
• Perpu 1/2002 & 2/2002 UU 15/2003 ; UU 16/2003
Internasional
• Ps 15 (1) dan (2) ICCPR
• Ps 22, 23, dan 24 ICC
Ruang Lingkup Hukum Pidana
• Ruang lingkup Hukum Pidana (KUHP), meliputi
tempat terjadinya delik (Locus Delicti) dan
waktu terjadinya delik (Tempus Delicti).
• Tempat terjadinya perbuatan pidana (Locus
Delicti) perlu diketahui untuk :
1. Menentukan apakah hukum pidana
Indonesia berlaku terhadap perbuatan
pidana tersebut atau tidak. Ini berhubungan
dengan Pasal 2-8 KUHP.
2. Menentukan kejaksaan dan pengadilan mana
yang harus mengurus perkaranya. Ini
berhubungan dengan kompetensi relatif.
Ada 3 (tiga) Teori yang dikenal di dalam menentukan Locus Delicti :
• Teori Perbuatan Materiil (Leer van de lichamelijke daad)
Menurut teori ini maka yang menjadi locus delicti ialah tempat
dimana pembuat melakukan segala perbuatan yang kemudian
dapat mengakibatkan delik yang bersangkutan.
• Teori alat yang dipergunakan (Leer van het Instrument)
Menurut teori ini bahwa delik dilakukan di tempat dimana alat yang
dipergunakan itu menyelesaikannya. Dengan lain perkataan yang
menjadi locus delicti ialah tempat dimana ada alat yang
dipergunakan.
• Teori akibat (Leer van het gevolg)
Menurut teori ini yang menjadi locus delicti ialah tempat akibat dari
perbuatan itu terjadi.
Mengetahui waktu terjadinya delik (Tempus Delicti)
adalah penting berhubungan dengan :
• Pasal 1 KUHP : Apakah perbuatan yang bersangkut-
paut pada waktu itu sudah dilarang dan diancam
dengan pidana?
• Pasal 44 KUHP : Apakah terdakwa ketika itu mampu
bertanggung jawab?
• Pasal 45 KUHP : Apakah terdakwa ketika melakukan
perbuatan sudah 16 tahun atau belum.
• Pasal 79 KUHP (verjaring atau daluwarsa). Dihitung
mulai hari setelah perbuatan pidana terjadi.
Berlakunya Hukum Pidana menurut
Tempat (LOCUS DELICTI)
Dalam KUHP Pasal 2 – 9 KUHP
Ada beberapa asas :
1.Asas Teritorial
2.Asas Personal atau Asas Nasional Aktif
3.Asas Perlindungan atau Asas Nasional Pasif
4.Asas Universal
Asas2 Berlakunya Hukum Pidana (1)
a) Cara merumuskan
• R-KUHP, UU Hk. Pidana Khusus dan
“Barangsiapa ….” UU non H. Pidana, korporasi:
b) Hukuman : mati, penjara, - Badan Hukum
kurungan (Ps 10 KUHP), - Bukan badan hukum
hanya dapat dikenakan pada UU TPE, UU Pemberantasan T.P.
manusia Korupsi, UU Pencucian Uang ,UU
Pemberantasan TP Terorisme
c) Pertanggungjawaban pidana
• Badan Usaha (UU ITE: 11/2008)
disandarkan pada kesalahan,
• Badan Publik (UU KIP: No. 14/2008)
yang hanya mungkin dimiliki
oleh manusia (orang)
Unsur-Unsur Tindak Pidana
• Unsur2 dalam perumusan • Unsur2 di luar perumusan
A. Unsur Obyektif
- perbuatan (aktif/pasif) atau
- melawan hukum (materil)
akibat
- melawan hukum - Kesalahan dalam arti materiil
dapat dipersalahkan (dicela)
B. Unsur Subyektif sehingga dapat
-Manusia (pelaku) dipertanggungjawabkan
- kesalahan : (verwijtbaarheid)
(a) kesengajaan; atau
(b) kealpaan
C. Keadaan
D. Syarat tambahan untuk
pemidanaan
Apa gunanya unsur (tertulis) ?
Secara umum:
• Untuk memberikan ciri/kekhasan antara satu
delik dgn delik lainnya
• Untuk pembeda suatu delik dgn delik2 yang
lain
• Untuk dibuktikan di persidangan oleh JPU
Tindak Pidana
Unsur-unsur (van Bemmelen)
• Terdiri atas satu delik yang • Terdiri atas dua atau lebih
berdiri sendiri delik, yang karena kaitannya
yang erat mengakibatkan
dikenakan satu sanksi
kepada terdakwa
b. pyromanie
Yaitu penyakit jiwa yg berupa kesukaan untuk
melakukan pembakaran tanpa alasan sama
sekali
c. Claustrophobie
Yaitu penyakit jiwa yg berupa ketakutan
untuk berada di ruang yg sempit
Lanjutan…..
Actus Reus tidak hanya menunjuk pada suatu perbuatan (an act), tetapi
mengandung arti Yang lebih luas, yaitu :
1. Perbuatan dari si terdakwa
2. Hasil atau akibat dari perbuatannya itu
3. Keadaan-keadaan yang tercantum dalam perumusan tindak pidana.
Adapun yang termasuk Mens Rea (sikap bathin yang jahat), yaitu :
• Intention (kesengajaan)
• Recklessness (kesemberonoan)
• Negligence (kealpaan/kurang hati-hati)
• Bentuk-bentuk Kesalahan
KESENGAJAAN
Ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih berat apabila dilakukan dengan sengaja apabila
dilakukan dengan kealpaan.
Arti: Melaksanakan sesuatu perbuatan yang didorong oleh suatu keinginan untuk berbuat
atau bertindak.
Dalam dolus sebab itu terkandung elemen volitief (kehendak) dan intelektual (pengetahuan)
volonte’et connaissance, tindakan dengan sengaja selalu willens (dikehendaki) dan wetens
(disadari atau diketahui). .
Seseorang yang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan tiga corak
sikap bathin. Yang menunjukkan tingkatan atau bentuk dari kesengajaan.
1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet oogmerk)
Artinya terjadinya suatu tindakan atau akibat tertentu adalah betul-betul sebagai
perwujudan dari maksud atau tujuan dan pengetahuan si pelaku. Perbuatan si
pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang. Kalau akibat ini
tidak akan ada, maka ia tidak akan berbuat demikian. Ia menghendaki perbuatan
beserta akibatnya.
Menurut M.v.T. bahwa dalam hal kealpaan pada diri pelaku terdapat:
1. Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan
2. Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan
3. Kekurangan kebijaksanaan yang diperlukan
Perbedaan antara kesengajaan dan kealpaan adalah pada kesengajaan suatu akibat
yang timbul itu dikehendaki pelaku sedangkan pada kealpaan justru akibat itu tidak
dikendaki.
• Tidak hati-hati
• Tidak menduga-duga
Menurut Sianturi mengemukakan bahwa Perbedaan antara
kesengajaan dengan kealpaan dalam hubungannya dengan
suatu tindakan (yang dapat dipidana) adalah:
• Sesuatu akibat pada kealpaan, tidak dikehendaki pelaku
walaupun dalam perkiraan, sedangkan pada kesengajaan
justru akibat itu adalah perwujudan dari kehendak dan
keinsyafannya.
• Percobaan untuk melakukan suatu kejahatan karena
kealpaan pada umumnya tidak dapat dibayangkan, karena
memang niat untuk melakukan tidak ada, karenanya tidak
mungkin ada pemidanaan,
• Disamping bentuk kejahatan sengaja tidak dengan
sendirinya ada pula bentuk kejahatan kealpaan.
• Ancaman pidana terhadap delik yang dilakukan dengan
sengaja, lebih berat dibandingkan terhadap delik yang
bersamaan karena kealpaan.
KEALPAAN YG DISADARI DAN KEALPAAN YG TIDAK DISADARI
1. Kealpaan yg disadari :
pelaku dpt menyadari ttg apa yg dilakukan beserta
akibatnya, akan tetapi ia percaya dan
mengaharap/menginginkan akibatnya tdk akan
terjadi.
Dalam KUHP tidak ada disebutkan istilah-istilah alasan pembenaran dan alasan
pemaaf. Titel ke-3 dari Buku Pertama KUHP hanya menyebutkan : alasan-alasan yang
menghapuskan pidana.
Dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana ini
dibeda-bedakan manjadi :
1. Alasan pembenar : yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya
perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang
patut dan benar. Ex: P49 ayat (1), P50, P51 ayat (1) KUHP.
2. Alasan pemaaf : yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan
yang dilakukan terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan
perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan. Ex: P44 ayat
(1), P48, P49 ayat (2), P51 ayat (2) KUHP.
3. Alasan penghapus penuntutan : di sini soalnya bukan ada alasan pembenar maupun
alasan pemaaf, jadi tidak ada pikiran mengenai sifatnya perbuatan maupun sifatnya
orang yang melakukan perbuatan, tetapi pemerintah menganggap bahwa atas dasar
utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan
penuntutan. Yang menjadi pertimbangan di sini ialah kepentingan umum. Kalau
perkaranya tidak dituntut, tentunya yang melakukan perbuatan tak dapat dijatuhi
pidana. Contoh : Pasal 53, kalau terdakwa dengan suka-rela mengurungkan niatnya
percobaan untuk melakukan sesuatu kejahatan.
Alasan Penghapus Pidana dalam KUHP
Alasan penghapus pidana dalam KUHP dimasukkan ke dalam Bab III dan
digabungkan dengan alasan yang dapat mengurangi atau
memberatkan Pidana.
Ketentuan UU adalah:
Setiap peraturan, yang dikeluarkan oleh setiap
penguasa yang berwenang menurut undang-undang bukan
saja perturan yang dikeluarkan oleh atau berdasarkan UUD.
Perbuatan org yg menjalankan peraturan UU
tidak bersifat melawan hukum, sehingga
merupakan alasan pembenar.
Dalam melaksanakan peraturan UU, kadang
bertentangan dengan peraturan lain dalam hal
ini dipakai pedomanlex specialis derogat legi
generali.
Sehubungan dengan peniadaan pidana bagi pelaku, yang
terpenting dalam ketentuan UU adalah mengenai
pelaksanaannya yang tidak terlepas dari beberapa keadaan:
1. Apakah tindakan pelaku cukup hanya berdasarkan suatu
hak atau kewenangan yang dengan nyata dirumuskan dalam
suatu UU
2. Apakah tindakan pelaku harus sesuai dengan kewajiban
yang secara tegas dinyatakan dalam suatu UU
3. Apakah dalam rangka pelaksanaan UU, boleh menggunakan
segala cara?
B. TINDAKAN BERDASARKAN PERINTAH JABATAN
Pasal 51
(1). Barangsiapa melakukan perbuatan yang diberikan
oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
(2). Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan
hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah, dengan itikad
baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang
dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan
pekerjaannya.
• Perintah jabatan harus memenuhi syarat-syarat:
1. Ada hubungan antara pemberi perintah dengan
pelaksana perintah yang berdasarkan hukum publik
2. Kewenangan pemberi perintah harus sesuai
dengan jabatannya berdasarkan hukum publik
tertentu
3. Bahwa perintah yang diberikan itu termasuk dalam
lingkungan kewenangan jabatannya.
Menjalankan perintah jabatan yg sah, bila
perintah tsb berdasarkan, tugas, wewenang atau
kewajiban yg didasarkan kpd suatu peraturan.
Antara org yg diperintah dan memerintah hrs ada
hubungan jabatan dan hubungan subordinasi.
menjalankan perintah jabatan yg tidak sah,
menghapuskan dpt dipidanya seseorg dan
Perbuatannya tetap bersifat melawan hkm, jika
memenuhi syarat-syarat :
1. Jika ia mengira dengan itikad baik bahwa
perintah itu sah
2. Perintah itu terletak dalam lingkungan
wewenang dari org yg diperintah
Alasan Penghapus Pidana dalam Rancangan KUHP
Dalam Rancangan KUHP, alasan-alasan yang dapat menghapuskan pidana mengalami perkembangan
yang sangat signifikan. Alasan-alasan penghapus pidana menurut Rancangan KUHP itu adalah:
1. Asas Culpabilitas (asas kesalahan) disebutkan dalam Rancangan KUHP, yaitu “tiada pidana atau
tindakan tanpa kesalahan” yang dalam KUHP (WvS) tidak disebutkan. Ini berarti tidak adanya
kesalahan seseorang dapat menghapuskan pidananya (kecuali nanti berlaku pertanggungjawaban yang
ketat atau strict liability/liability without fault).
2. Menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, atau retardasi mental.
Kemudian, Rancangan KUHP membagi alasan penghapus pidana menjadi alasan pemaaf dan alasan
pembenar, yang masing-masing terdiri:
1. Alasan pemaaf:
a. tidak mengetahui/sesat mengenai keadaan atau hukumnya (error facti dan error iuris) kecuali
kesesatannya itu patut dipersalahkan.
b. daya paksa
c. pembelaan terpaksa yang melampaui batas
d. dengan iktikad baik melaksanakan perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang
2. Alasan pembenar:
a. melaksanakan aturan perundang-undangan
b. melaksanakan perintah jabatan
c. keadaan darurat
d. pembelaan terpaksa
STELSEL PEMIDANAAN
BAB.VI. PEMIDANAAN DAN PELAKSANA PIDANA
A. Sistem Absorbsi
(absorbsi Murni atau stelsel penyerapan murni)
Apabila seseorang yang melakukan beberapa perbuatan pidana
dijatuhkan beberapa pidana dengan ancaman pidana yang berbeda
maka hukuman yang dilaksanakan adalah hukum yang lebih lama
(yang tertinggi), hal ini didasarkan anggapan bahwa pidana yang
lebih ringan telah diserap dalam pidana yang lebih berat. Atau
adalah hanya maksimum ancaman pidana yang terberat yang
dikenakan dengan pengertian bahwa maksimum pidana lainnya
diserap oleh yang lebih tinggi).
Contoh: Seseorang dipidana karena penganiayaaan selama 5 tahun
dan dijatuhi pidana karena pencurian selama 3 tahun. Maka
menurut sistem ini ia harus melaksanakan pidana selama 5 tahun
karena hukuman bagi pencuriannya yang 3 tahun telah termasuk
dalam hitungan lima tahun tersebut.
B. Sistem Komulasi
(Stelsel penjumlahan)
Sistem pemidanaan ini sering terjadi dalam gabungan dari beberapa
perbuatan. Pada sistem ini setiap hukuman dari beberapa perbuatan
pidana yang dijatuhkan ditambahkan seluruhnya. Sistem ini terdiri
dari dua bentuk, yaitu;
Komulasi murni
Semakin banyak perbuatan pidana yang dilakukan pelaku maka
semakin banyak sanksi pidana yang dijatuhkan kepadanya. Atau
dengan artian dijumlahkan semua ancaman pidana yang diancamkan
kepada pelaku. Atau juga adalah tiap-tiap tindak pidana yang
dilakukan pelaku tersebut dijatuhkan pidana tanpa pengurangan. Jadi
dapat saja seorang pelaku di hukum 180 tahun.
Komulasi Terbatas
Yaitu pidana tertinggi + 1/3 x pidana tertinggi
Example : Membunuh 15 tahun, memperkosa 12
tahun mencuri 1 tahun,maka bagi pelaku harus
melaksanakan pidana selama 15 tahun ( pidana yang
tertinggi) ditambahkan +1/3 dari 15 tahun sehingga
menjadi 20 tahun.
Sistem Absorbsi yang Dipertajam