Anda di halaman 1dari 8

NAMA

: ACHMAD DENDY ADIYATMA

NIM

: 02121401034

HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

ANALISIS PUTUSAN HAKIM SARPIN


PADA PRA PERADILAN
BUDI GUNAWAN
Kisruh yang tengah berlangsung antara KPK vs POLRI, sudah barang tentu
sangat menyita perhatian masyarakat. Carut marutnya informasi terkait posisi hukum
dan politik dua lembaga ini, ditambah dengan pemberitaan media yang bertumpu pada
sensasionalisme

berita,

menggiring

masyarakat

pada

sebuah

keadaan

yang

membingungkan. Opini-opini yang berkembang di tengah publik cenderung tidak


mendidik secara politik sehingga terkesan memecah belah dan menyederhanakan
kompleksitas masalah.
KPK yang dipandang sebagai lembaga super body terkait upaya pemberantasan
korupsi, sejauh ini menjadi satu-satunya lembaga yang dipercaya mampu menuntaskan
persoalan korupsi yang menggurita di negeri ini. Namun, di saat yang bersamaan
masyarakat juga dibuat tercengang dengan tingkah para pemberantas korupsi tersebut.
Hal tersebut erat bertaut dengan kecurigaan bahwa para komisioner KPK tidak
menjalankan tugas sesuai prosedur sebagaimana yang tertuang dalam undang-undang.
Hal itu dibuktikan dengan adanya putusan praperadilan terhadap Budi Gunawan.
Melihat opini yang berkembang di tengah masyarakat terkait putusan pengadilan
tersebut, saya terdorong untuk ikut berkomentar terkait putusan tersebut. Berlatar
pengetahuan soal hukum yang saya pelajari di kampus, saya akan mengajukan
beberapa argumentasi yang dilandaskan pada kajian singkat beberapa sumber hukum
yaitu :
1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang KUHP
2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari KKN
4. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri

5. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana


Korupsi (KPK).

Sumber-sumber hukum di atas kemudian dalam analisisnya dikombinasikan dengan


data sekunder yang dikumpulkan dari teks berjalan (running text) beberapa media
audio-visual (televisi). Keterbatasan akan akses terhadap data primer, disebabkan
karena isi putusan praperadilan, belum juga diperoleh sehingga tidak memungkinkan
untuk melakukan analisis yang mendalam terhadap struktur putusan hukum tersebut.
Sebagai suatu kasus/perkara, putusan PN Jakarta Selatan tentang gugatan
praperadilan Budi Gunawan, dapat dianalisis dari beberapa versi. Argumentasi prematur
ini didasarkan pada pendekatan sebagai pihak yang netral, dengan berlandaskan pada
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengingat juga bahwa Hakim
Praperadilan bersifat Hakim Tungggal, maka tentu sangat besar kemungkinan jika
segala hasil putusan juga tidak objektif, melainkan subjektif. Analisis ini juga mengacu
pada sejarah Sarpin sebagai hakim peradilan yang dinilai memiliki rekam jejak yang
buruk di hadapan para aktivis, yang disebabkan keputusannya untuk membebaskan
seorang terdakwa tindak pidana korupsi.
Analisis terhadap permasalahan ini saya dasarkan pada beberapa fakta baru yang
mengemuka sepanjang berlangsungnya proses peradilan, yang dapat dijabarkan
sebagai berikut :
1. Kedudukan KPK dengan kewenangan yang sangat besar
2. Objek praperadilan
3. BG bukan Pejabat Negara
4. Putusan praperadilan bersifat final

Dari empat poin di atas, penjelasan secara spesifik akan diarahkan untuk secara singkat
menjabarkan relasi antara fakta-fakta persidangan tersebut dengan produk hukum
perundang-undangan yang berkedudukan lebih tinggi.
Fakta persidangan pertama terkait kedudukan KPK dengan kewenangan yang
dianggap terlampau luas. Walaupun sebenarnya hal tersebut sudah dengan jelas
ditegaskan oleh UU No. 20/2001. Kemudian juga ikut ditegaskan dalam UU No. 30/1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU No. 30/2002 tentang KPK.

Penjelasan umum mengenai UU No. 20/2001 menjelaskan antara lain, mengingat


korupsi di Indonesia terjadi sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan
keuangan Negara, tetapi juga melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, maka
pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa.
Sedangkan penjelasan umum atas UU No. 30/2002 tentang KPK, menjelaskan antara
lain bahwa, tindak Pidana Korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak ekonomi masyarakat, dan karena itu
semua tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa
melainkan telah terjadi suatu kejahatan luar biasa.
Istilah luar biasa pada kedua penjelasan umum perundangan di atas menunjukkan,
tindak pidana korupsi adalah kejahatan luar biasa (extraordinary crimes), sehingga
proses penyelesaiannya harus pula dilakukan dengan cara-cara yang dianggap luar
biasa. Atas dasar penjelasan dari dua UU tersebut di atas, maka kritikan terhadap KPK
yang dinilai merupakan super body (lembaga super) adalah kritikan yang keliru.
Fakta kedua yang menyangkut objek praperadilan dapat ditelusuri dengan mengacu
pada KUHAP Pasal (1) butir 10, yang merumuskan bahwa praperadilan adalah
wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus acara yang diatur dalam
Undang-undang ini, tentang:
1. Sah atau tidaknya penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan
demi tegaknya hukum dan keadilan.
3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak
lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

Jika dikaji secara sederhana, maka rumusan praperadilan berkenaan dengan 2 (dua)
tindakan hukum yakni penangkapan dan penahanan. Redaksi rumusan tersebut
berkaitan dengan tersangka, yakni pihak yang dikenakan penangkapan dan penahanan
karena dicurigai melawan hukum. Di dalam KUHAP disebutkan bahwa penangkapan
adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan
tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau
penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undangundang ini (Pasal 1 Butir 20). Sedangkan penahanan adalah penetapan tersangka
atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan

penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
(Pasal 1 Butir 21).
Dari segi objek praperadilan, maka penangkapan dan penahanan lazimnya dikenal dan
diterapkan pada Tindak Pidana Umum seperti kejahatan pembunuhan, pencurian, atau
pemerkosaan sebagaimana diatur dalam KUHAP. Sedangkan jika mengacu pada yang
diatur dalam UU No. 20/2001 dan UU No. 30/1999, maka yang disebutkan adalah
Tindak Pidana Khusus. Jika kasus praperadilan menimpa seseorang dengan status
tersangka dalam kasus gratifikasi, yang termasuk dalam Tindak Pidana Khusus dengan
demikian seharusnya praperadilan tidak dapat diberlakukan. Sebabnya, praperadilan
hanya diberlakukan atas dan untuk kepentingan yang dimaksudkan oleh Tindak Pidana
Umum. Praperadilan yang diatur dalam KUHAP dan KUHAP merupakan bagian hukum
pidana formal dan hukum pidana material, yang menjelaskan putusannya keterkaitan
lembaga praperadilan pada tindak-tindak pidana khusus (seperti tindak pidana korupsi).
Putusan praperadilan dalam kasus Budi Gunawan juga bertentangan dengan sistem
pemeriksaan saksi. Yaitu dengan menghadirkan saksi seorang penyidik KPK yang
notabene berasal dari institusi yang sama dengan terdakwa, yaitu lembaga POLRI.
Sebabnya, sudah dapat dipastikan hampir tidak mungkin seorang saksi yang
merupakan bawahan, dapat memberikan kesaksian secara bebas dan tanpa paksaan,
tekanan, jika ia kemudian bersaksi secara terbuka untuk pimpinannya. Jenis kesaksian
seperti itu bertentangan dengan ketentuan KUHAP yang menyebutkan bahwa mereka
yang pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat
minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu
tentang hal yang dipercayakan kepada mereka (Pasal 70 ayat (1).
Pembebasan kewajiban seseorang untuk menjadi saksi juga sebenarnya diatur dalam
Pasal 168 KUHAP. Bagian ini mengatur bagaimana seorang saksi dapat mengundurkan
diri karena merupakan anggota keluarga sedarah dan lainnya dengan terdakwa, atau
jikalau saksi berstatus anak-anak dan atau orang gila (Pasal 171 KUHAP). Dengan
begitu, argumentasi mengenai tidak adanya perangkat hukum yang mengatur
penyimpangan jenis kesaksian seperti yang terjadi dalam kasus Praperadilan yang
menimpa Budi Gunawan ternyata dapat ditemukan dalam KUHAP. Argumentasi
mengenai kekosongan hukum ini, dengan sendirinya mendorong kita untuk memberikan
perhatian terkait revisi KUHAP untuk mempertegas wajibnya tidaknya seorang saksi
yang berasal dari struktur organisasi yang sama, atau saksi mengundurkan diri dan
dijamin haknya secara hukum untuk tidak memberikan kesaksian.

Pada fakta persidangan ketiga, tersangka Budi Gunawan kemudian dinyatakan


bukan sebagai pejabat Negara. Dalam teks berjalan (running text) yang disebar oleh
beberapa media audio-visual (televisi) disebutkan bahwa, Sarpin sebagai Hakim
Praperadilan menyatakan bahwa BG bukan pejabat Negara. Pendapat ini sangat keliru,
karena tindak pidana korupsi tidak hanya dapat ditimpakan kepada seseorang sebagai
pejabat Negara, tapi juga kepada unsur non-pejabat negara. Kekeliruan lainnya adalah
ketika Sarpin menyatakan bahwa ia menemukan tidak adanya unsur kerugian Negara.
Kekeliruan tersebut dapat dianalisis lebih jauh dengan membaginya ke dalam beberapa
poin. Pertama, ialah proses praperadilan dan putusannya bukan lembaga peradilan
seperti Pengadilan Tipikor dengan proses yang lebih panjang dan rumit. Praperadilan
pada kasus Budi Gunawan hanya memutuskan sah tidaknya penangkapan dan/atau
penahanan, bukan menyatakan bersalah (ajudikatif) seperti kewenangan putusan yang
dimiliki oleh Pengadilan Tipikor. Hakim Praperadilan dengan demikian telah melampaui
batas kewenangannya dan bukan memeriksa dan menafsirkan adanya kerugian
Negara.
Terkait perihal status Budi Gunawan yang dinyatakan bukan sebagai pejabat Negara
memiliki beberapa kebenaran literer dalam undang-undang. Dalam UU No. 28/1999
disebutkan bahwa mereka yang disebut sebagai sebagai pejabat Negara (pasal 2),
ialah:
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
3. Menteri
4. Gubernur
5. Hakim
6. Pejabat Negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan
Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ayat tersebut kemudian dicurigai menjadi alasan bagi Sarpin sebagai Hakim
Praperadilan menyatakan, bahwa Budi Gunawan yang ketika itu menjabat sebagai
Kakorlantas (Kepala Korps Lalu Lintas) bukanlah pejabat Negara, sehingga penetapan

tersangka yang menimpa Budi Gunawan oleh KPK tidak sah secara hukum. Namun
pendapat ini memiliki kekeliruannya sendiri karena hanya memandang kompetensi KPK
semata berkaitan dengan pejabat Negara dan keuangan Negara. Padahal, siapa saja,
baik pejabat Negara maupun bukan, termasuk warga negara sipil non-pejabat negara
tidak terkecuali dapat ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK jika kemudian ditemukan
terindikasi merugikan negara.
Dengan demikian, keputusan Sarpin dalam posisinya sebagai Hakim Praperadilan yang
memberi penekanan terhadap status BG yang bukan pejabat Negara dan dianggap
tidak

merugikan

keuangan

Negara,

secara

hukum

telah

melampaui

batas

kewenangan (ultra petita). Tindakan melampaui kewenangan hukum inilah yang


merupakan salah satu praktik penyebab rusaknya struktur dan sistem peradilan di
Indonesia.
Terkait fakta persidangan keempat terkait putusan dalam praperadilan yang
menilai bahwa keputusan tersebut bersifat final. Kabareskim POLRI sendiri bahkan
menyatakan bahwa jika kasus ini terus dilanjutkan oleh KPK, maka para komisioner
KPK akan ditangkap karena dianggap menyalahi prosedur yang telah ditetapkan dalam
KUHAP. Pendapat ini memang mengandung sedikit kebenaran karena KUHAP memang
menyatakan dalam salah satu ketentuannya bahwa putusan praperadilan bersifat final.
Tetapi KUHAP juga menyebutkan bahwa terdapat pengecualiannya terkait keputusan
final dalam praperadilan. Pasal 83 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa terhadap
putusan Praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 60, dan
Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding. Tetapi Pasal 83 ayat (2) KUHAP, menyatakan
dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah putusan praperadilan yang menetapkan
tidak sahnya penghentian penyidikan dan penuntutan, yang untuk itu dapat dimintakan
putusan akhir ke Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum yang bersangkutan.
Itu sebabnya pernyataan yang datang dari mantan Hakim Agung, Harifin Tumpa yang
menegaskan bahwa KPK dapat meminta petunjuk pada Mahkamah Agung, benar
secara hukum. Karena KUHAP menyatakan Mahkamah Agung berwenang mengadili
semua perkara pidana yang dimintakan kasasi (Pasal 88). Ketentuan ini terkait dengan
ketentuan yang termaktub dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP, yang mengemukakan
pengecualiannya serta dimintakan putusan akhir ke Pengadilan Tinggi (banding). Atas
dasar permintaan banding inilah, Mahkamah Agung, menurut pasal 88 KUHAP,
berwenang untuk mengadili semua perkara pidana yang dimintakan kasasi.

Memang, kuasa hukum Budi Gunawan telah menyatakan bahwa paska Praperadilan
maka status hukum Budi Gunawan sebagai tersangka telah selesai dan menutup pintu
terhadap kemungkinan lahirnya upaya hukum lainnya. Tetapi jika kita merujuk pada
dasar hukum mengenai pengajuan banding dan kasasi yang diatur oleh KUHAP, maka
peluang pengajuan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dapat di tempuh oleh KPK.
Salah satu alasan dan dasar hukum pengajuan PK ialah terjadinya ultra petita, yang
diperagakan oleh hakim Sarpin dalam persidangan praperadilan Budi Gunawan.

Anda mungkin juga menyukai