NIM
: 02121401034
berita,
menggiring
masyarakat
pada
sebuah
keadaan
yang
Dari empat poin di atas, penjelasan secara spesifik akan diarahkan untuk secara singkat
menjabarkan relasi antara fakta-fakta persidangan tersebut dengan produk hukum
perundang-undangan yang berkedudukan lebih tinggi.
Fakta persidangan pertama terkait kedudukan KPK dengan kewenangan yang
dianggap terlampau luas. Walaupun sebenarnya hal tersebut sudah dengan jelas
ditegaskan oleh UU No. 20/2001. Kemudian juga ikut ditegaskan dalam UU No. 30/1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan UU No. 30/2002 tentang KPK.
Jika dikaji secara sederhana, maka rumusan praperadilan berkenaan dengan 2 (dua)
tindakan hukum yakni penangkapan dan penahanan. Redaksi rumusan tersebut
berkaitan dengan tersangka, yakni pihak yang dikenakan penangkapan dan penahanan
karena dicurigai melawan hukum. Di dalam KUHAP disebutkan bahwa penangkapan
adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan
tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau
penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undangundang ini (Pasal 1 Butir 20). Sedangkan penahanan adalah penetapan tersangka
atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
(Pasal 1 Butir 21).
Dari segi objek praperadilan, maka penangkapan dan penahanan lazimnya dikenal dan
diterapkan pada Tindak Pidana Umum seperti kejahatan pembunuhan, pencurian, atau
pemerkosaan sebagaimana diatur dalam KUHAP. Sedangkan jika mengacu pada yang
diatur dalam UU No. 20/2001 dan UU No. 30/1999, maka yang disebutkan adalah
Tindak Pidana Khusus. Jika kasus praperadilan menimpa seseorang dengan status
tersangka dalam kasus gratifikasi, yang termasuk dalam Tindak Pidana Khusus dengan
demikian seharusnya praperadilan tidak dapat diberlakukan. Sebabnya, praperadilan
hanya diberlakukan atas dan untuk kepentingan yang dimaksudkan oleh Tindak Pidana
Umum. Praperadilan yang diatur dalam KUHAP dan KUHAP merupakan bagian hukum
pidana formal dan hukum pidana material, yang menjelaskan putusannya keterkaitan
lembaga praperadilan pada tindak-tindak pidana khusus (seperti tindak pidana korupsi).
Putusan praperadilan dalam kasus Budi Gunawan juga bertentangan dengan sistem
pemeriksaan saksi. Yaitu dengan menghadirkan saksi seorang penyidik KPK yang
notabene berasal dari institusi yang sama dengan terdakwa, yaitu lembaga POLRI.
Sebabnya, sudah dapat dipastikan hampir tidak mungkin seorang saksi yang
merupakan bawahan, dapat memberikan kesaksian secara bebas dan tanpa paksaan,
tekanan, jika ia kemudian bersaksi secara terbuka untuk pimpinannya. Jenis kesaksian
seperti itu bertentangan dengan ketentuan KUHAP yang menyebutkan bahwa mereka
yang pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat
minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu
tentang hal yang dipercayakan kepada mereka (Pasal 70 ayat (1).
Pembebasan kewajiban seseorang untuk menjadi saksi juga sebenarnya diatur dalam
Pasal 168 KUHAP. Bagian ini mengatur bagaimana seorang saksi dapat mengundurkan
diri karena merupakan anggota keluarga sedarah dan lainnya dengan terdakwa, atau
jikalau saksi berstatus anak-anak dan atau orang gila (Pasal 171 KUHAP). Dengan
begitu, argumentasi mengenai tidak adanya perangkat hukum yang mengatur
penyimpangan jenis kesaksian seperti yang terjadi dalam kasus Praperadilan yang
menimpa Budi Gunawan ternyata dapat ditemukan dalam KUHAP. Argumentasi
mengenai kekosongan hukum ini, dengan sendirinya mendorong kita untuk memberikan
perhatian terkait revisi KUHAP untuk mempertegas wajibnya tidaknya seorang saksi
yang berasal dari struktur organisasi yang sama, atau saksi mengundurkan diri dan
dijamin haknya secara hukum untuk tidak memberikan kesaksian.
Ayat tersebut kemudian dicurigai menjadi alasan bagi Sarpin sebagai Hakim
Praperadilan menyatakan, bahwa Budi Gunawan yang ketika itu menjabat sebagai
Kakorlantas (Kepala Korps Lalu Lintas) bukanlah pejabat Negara, sehingga penetapan
tersangka yang menimpa Budi Gunawan oleh KPK tidak sah secara hukum. Namun
pendapat ini memiliki kekeliruannya sendiri karena hanya memandang kompetensi KPK
semata berkaitan dengan pejabat Negara dan keuangan Negara. Padahal, siapa saja,
baik pejabat Negara maupun bukan, termasuk warga negara sipil non-pejabat negara
tidak terkecuali dapat ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK jika kemudian ditemukan
terindikasi merugikan negara.
Dengan demikian, keputusan Sarpin dalam posisinya sebagai Hakim Praperadilan yang
memberi penekanan terhadap status BG yang bukan pejabat Negara dan dianggap
tidak
merugikan
keuangan
Negara,
secara
hukum
telah
melampaui
batas
Memang, kuasa hukum Budi Gunawan telah menyatakan bahwa paska Praperadilan
maka status hukum Budi Gunawan sebagai tersangka telah selesai dan menutup pintu
terhadap kemungkinan lahirnya upaya hukum lainnya. Tetapi jika kita merujuk pada
dasar hukum mengenai pengajuan banding dan kasasi yang diatur oleh KUHAP, maka
peluang pengajuan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dapat di tempuh oleh KPK.
Salah satu alasan dan dasar hukum pengajuan PK ialah terjadinya ultra petita, yang
diperagakan oleh hakim Sarpin dalam persidangan praperadilan Budi Gunawan.