Anda di halaman 1dari 126

21

22
23
21
BAB 1
PRAPENUNTUTAN DAN PENUNTUTAN

1. PRAPENUNTUTAN
Penyelesaian perkara menurut KUHAP menganut sistem yang disebut peradilan
pidana terpadu ( Integrated Criminal Justice System ). Dalam sistem ini proses
penyelesaian perkara pidana melalui beberapa tahap tertentu, yang setiap tahapnya
ditangani oleh pejabat atau petugas yang berbeda, namun masing-masing mendukung
dalam proses penyelesaian perkara pidana.
Sukarto Marmosudjono.,SH menguraikan pengertian Integrated Criminal
JusticeSystem sebagai berikut :
“Yang dimaksud dengan Integrated Criminal Justice System adalah peradilan
perkara pidana terpadu, yang unsur-unsurnya terdiri dari persamaan persepsi tentang
keadilan, dan penyelengaraan peradilan perkara pidana secara keseluruhan dan
kesatuan .
( Administration of Criminal Justice System). Pelaksanaan peradilan terdiri
daribeberapa komponen seperti penyidikan, penuntutan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan. Integrated Criminal Justice System adalah suatu usaha untuk
mengintegrasikan semua komponen di atas, sehingga peradilan dapat berjalan sesuai
dengan yang dicita-citakan.
Kegiatan penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana terpadu, yang
merupakan tahap awal dari proses penanganan perkara adalah penyidikan. Bila dilakukan
penyelidikan teryata terdapat cukup bukti bahwa seseorang diduga kuat telah melakukan
tindak pidan, maka dilanjutkan dengan mengadakan penyidikan. Tindakan penyelidikan
dan penyidikan dilakukan oleh penyidik. Kemudian setelah penyidikan selesai, berkas
perkara dikirim ke kejaksaan untuk dilakukan penelitian berkas perkara yang dilakukan
oleh Jaksa/ Penuntut Umum.
Bila penuntut umum berpendapat berkas perkara telah memenuhi syarat untuk
dilimpahkan ke Pengadilan. Maka berkas tersebut dinyatakan lengkap oleh Penuntut
Umum. Kemudian dibuat surat dakwaan dan selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan.
Pada hari yang telah ditetapkan, dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan. Bila

1
terdakwa terbukti bersalah telah melakukan tindak pidana seperti yang disebutkan dalam
surat dakwaan penuntut umum, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Pelaksanaan
putusan Pengadilan dalam hal pidana penjara, dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan.
Demikian secara singkat apa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana
(Integrated Criminal Justice System ). Tahap awal proses penyelesaian perkara
pidanayang menjadi tugas penuntut umum adalah melakukan penelitian berkas perkara
yang menurut istilah didalam KUHAP adalah prapenuntutan.
Pasal 14 butir b KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :
“Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan
memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat ( 3 ) dan ayat ( 4), dengan memberi
petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik”.

Prof.Dr. Andi Hamzah, SH menyatakan “prapenuntutan adalah tindakan penuntut


umum untuk memberikan petunjuk dalam rangka penyempurnaan peyidikan oleh
penyidik , berpangkal tolak dari definisi prapenuntutan yang dikemukakan Prof.Dr. Andi
Hamzah, SH dan bunyi pasal 110 KUHAP yang dimaksud penuntut umum adalah Jaksa
peneliti, hanya didalam praktek biasanya Jaksa peneliti berkas perkara itu nantinya
ditunjuk oleh pimpinan untuk menjadi jaksa penuntut umum dalam perkara tersebut. Dan
jaksa yang ditunjuk unutk melakukan penelitian berkas perkara, biasanya adalah
sebelumnya jaksa yang ditunjuk untuk melakukan pemantauan pemberitahuan
dimulainya penyidikan ( PDP ).
Hasil penyidikan haruslah diusahakan selengkap mungkin sehingga berkas
perkara itu dapat dikatakan sebagai berkas lengkap. Kelengkapan ini meliputi
kelengkapan formal maupun kelengkapan materiil. Ketelitian, kejelian, dan kelengkapan
pemeriksaan penyidikan adalah penting untuk mendapat perhatian. Kekurang lengkapan
dari hasil peyidikan setelah diteliti oleh penuntut umum bukan tidak mungkin akan
dikembalikan kepada penyidik yang bersangkutan. Lain halnya masa berlakunya
HerzienInlandsch Reglement (HIR) dimana jika terdapat kekurangan dalam kelengkapan
berkasperkara dapat dilengkapi oleh penuntut umum karena pada saat sebelum
berlakunya KUHAP penuntut umum mempunyai wewenang untuk melakukan
penyidikan lanjutan.
2
Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segara
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum. Pada penyerahan berkas tahap
pertama, penyidik secara fisik menyerahkan berkas perkara dari penyidik diterima oleh
urusan surat-surat, kemudian diserahkan kepada pimpinan selanjutnya pimpinan atau
pejabat yang ditunjuk menugaskan seorang jaksa dengan surat perintah untuk melakukan
penelitian berkas perkara.
Bila jaksa peneliti berkas perkara hasil peyidikan penyidik belum lengkap, maka
berkas perkara dikembalikan kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal hal apa yang
harus dilengkapi. Penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan
petunjuk dari jaksa peneliti tersebut. Kapankah suatu berkas perkara dikatakan sudah
lengkap?
Berkas dianggap telah lengkap, memenuhi persyaratan formal maupun persyaratan
materiil jika :
1. Dalam waktu tujuh (7) hari setelah menerima berkas perkara, penuntut umum
telah menyampaikan pemberitahuan kepada penyidik bahwa hasil penyidikan
sudah lengkap ( pasal 138 ayat (1) KUHAP )
b. Bila dalam waktu sebelum empatbelas (14) hari berakhir, telah ada
pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik ( pasal 110
ayat (4) KUHAP )
3. Penyidikan menurut hukum dianggap telah selesai apabila dalam tenggang waktu
empatbelas (14) hari tidak ada pemberitahuan kepada penuntut umum.

Penuntun umum sebelum melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan berwenang


untuk :
1. Menerima berkas perkara jika menurut pendapat penuntut umum, berkas telah
lengkap. Penuntut umum harus cermat, teliti dan berhati- hati untuk menentukan
berkas perkara sudah lengkap. Jangan sampai terjadi berkas perkara sudah
lengkap.jangan sampai terjadi berkas perkara telah dinyatakan lengkap, tetapi
kemudian menunjukan fakta yang sebaliknya. Ini akan merugikan bagi
pelaksanaan tugas penuntutan.

3
2. Bila hasil penyidikan yang dilakukan penyidik belum lengkap, penuntut umum
mengembalikan berkas perkara disertai petunjuk tentang hal apa yang harus
dilengkapi.
3. Dalam waktu sepuluh (10) hari setelah berkas perkara dikembalikan kepada
penyidik, penuntut umum memberitahukan bahwa dalam waktu empatbelas (14)
hari berkas perkara harus sudah diterima kembali oleh penuntut umum.
Bila berkas perkara yang dikembalikan kepada penyidik untuk dilengkapi dan
ternyata tidak dapat dilengkapi melalui penyidikan tambahan, maka penuntut umum
dapat mengambil langkah-langkah sebagai berikut :
a. Sesuai dengan instruksi Jaksa Agung RI No. INS-006/J.A/7/1986 tanggal 15 Juli
1986, berkas perkara dapat diterima selanjutnya perkara tersebut dihentikan
penuntutanya. Tindakan ini lebih baik dari pada membiarkan terus menerus bolak
baliknya berkas perkara tanpa akhir.
b. Menerima berkas perkara penyidikan yang belum lengkap untuk kemudian dilakukan
pemeriksaan tambahan sesuai pasal 27 ayat (1) huruf d Undang-undang nomor 5 tahun
1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia atau huruf e Undang-undang
nomor 16 tahun 2004.
Diatas telah disebutkan bahwa pada tahap prapenuntutan. Penuntut umum dapat
mengembalikan berkas perkara hasil penyidikan yang dilakukan penyidik bila terdapat
kekurangan dalam berkas perkara tersebut. Hal ini dapat dilakukan sepanjang penuntut
umum belum menyatakan lengkap. Bila sudah dinyatakan lengkap oleh penuntut umum,
berkas tidak dapat dikembalikan kepada penyidik. Bila berkas telah dinyatakan lengkap
oleh penuntut umum, maka tahap selanjutnya adalah penyerahan tanggung jawab
tersangka dan barang bukti dari penyidik kepada penuntut umum.
Dengan adanya penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti dari
penyidik kepada penuntut umum, berarti tugas penyidikan yang dilakukan penyidik
sudah selesai. Bilamana berkas perkara sudah dinyatakan sudah lengkap oleh penuntut
umum dan telah dilakukan penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti, maka
tanggung jawab yuridis beralih dari penyidik kepada penuntut umum.
Kita kembali kepada masalah pengembalian berkas perkara dari penuntut umum
kepada penyidik. Pengembalian berkas perkara semata-mata dilakukan dan ditujukan

4
untuk kepentingan penegakkan hukum dan perlindungan hukum serta hak-hak tersangka.
Untuk kepentingan hukum, pengembalian berkas dimaksud untuk penyempurnaan dan
melengkapi bukti-bukti atas tindak pidana yang dilakukan tersangka. Dengan demikian
perkara tersebut benar-benar cukup alasan untuk dapat dilimpahkan ke pengadilan.
Sedangkan untuk kepentingan tersangka, apabila memang dengan pemeriksaan
penyidikan tambahan sama sekali tidak terbukti, penuntut umum sudah dapat mengambil
sikap untuk segera menghentikan penuntutan, demi terwujudnya kepastian hukum bagi
tersangka.
Bolak baliknya berkas perkara dari penuntut umum kepada penyidik sangat
bertentangan dengan kepentingan tersangka maupun prinsip peradilan yang cepat, jujur,
bebas, sederhana dan biaya murah. Bahkan kekurang sempurnaan pemeriksaan
penyidikan yang disertai dengan pengembalian berkas perkara untuk dilakukan
penyidikan tambahan akan membawa dampak yang kurang baik, bagi instansi maupun
penyidik itu sendiri. Masyarakat akan menilai bahwa penyidik kurang mampu
melaksanakan tugasnya dan cara kerjanya kurang dapat dipertanggung jawabkan.

2. Pemeriksaan Tambahan Berdasar Undang-undang nomor 16 tahun 2004


tentang kejaksaan

KUHAP menganut azas peradilan dilaksanakan dengan cepat, sederhana, biaya


ringan, jujur dan bebas yang semuanya harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya pada
seluruh tingkat peradilan. Azas peradilan yang cepat sederhana pelaksanaannya terdapat
berbagai kendala. Kendala itu antara lain terdapat pada tahap penyidikan dan pelaksanaan
tugas prapenuntutan. Misalnya adanya atau terjadinya bolak balik berkas perkara pada
tahap prapenuntutan antara penyidik dan penuntut umum. Kemudian berkas perkara yang
sudah dinyatakan lengkap tidak dilanjutkan dengan penyerahan tanggung jawab
tersangka dan barang bukti.
Untuk menanggulangi berbagai kendala didalam pelaksanaan KUHAP telah
dilakukan berbagai upaya kegiatan yang bersifat kordinatif baik secara instansional
maupun secara fungsional seperti misalnya rapat kerja antar penegak hukum, Mahkejapol

5
I dan II dan sebagainya. Namun ternyata belum mampu mengatasi kendala yang ada,
yang terjadi dalam pelaksanaan KUHAP.
Di dalam KUHAP tidak diatur secara tegas dan pasti kapan penyidik wajib
menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan kepada penuntut umum. Pasal 110 ayat (1)
dan ayat (4) hanya menegaskan bahwa dalam hal penyidik telah selesai melakukan
penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut
umum. Penyidikan dianggap selesai apabila dalam waktu empatbelas (14) hari penuntut
umum tidsak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut
berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.
KUHAP juga tidaki mengatur kapan penyidik harus menyerahkan pemberitahuan
dimulainya penyidikan kepada penuntut umum dan kapan penyidik menyerahkan
tanggung jawab tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum. Kenyataan di dalam
praktek, penyidikan sudah lama dilakukan, surat pemberitahuan dimulainya penyidikan
baru dikirimkan dan diterima oleh penuntut umum beberapa hari kemudian. Bahkan ada
berkas perkara yang pemberitahuan dimulainya penyidikan dikirim bersama-sama dengan
permintaan perpanjangan penahanan. Bahkan ada juga pemberitahuan dimulainya
penyidikan sudah ada ditangan penuntut umumpun berkas perkara tidak ada tindak
lanjutnya.
Dengan diundangkannya Undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia, diharapkan dapat mengurangi kendala di dalam
pelaksanaan prapenuntutan dan penuntutan perkara pidana. Kemudian diharapkan pula
berkurangnya terjadinya bolak balik berkas perkara antara penyidik dan penuntut umum.
Pasal 27 ayat (1) huruf d Undang-undang nomor 5 tahun 1991,sekarang Pasal 30 huruf e
Undang-undang nomor 16 tahun 2004 berbunyi:
“Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melengkapi
berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan
sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikordinasikan
dengan penyidik”.
Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa untuk melengkapi berkas perkara,
pemeriksaan tambahan dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Tidak dilakukan terhadap tersangka;

6
b.Hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan atau dapat meresahkan
masyarakat, dan atau dapat membahayakan keselamatan negara;
c. Harus dapat diselesaikan dalam waktu empatbelas (14)
hari; d.Prinsip kordinasi dan kerjasama dengan penyidik.

Di dalam pasal 30 ayat (1) huruf Undang-undang nomor 16 tahun 2004 disebut
“berkas perkara tertentu”. Dengan kata “perkara tertentu” berarti tidak semua perkara
pidana dapat dilakukan pemeriksaan tambahan. Pemeriksaan tambahan hanya dapat
dilakukan terhadap perkara-perkara tertentu yang memenuhi persyaratan yang
ditentukan oleh undang-undang, yaitu:
a. perkara yang sulit pembuktiannya b.perkara
yang dapat meresahkan masyarakat
c. perkara yang dapat membahayakan keselamatan negara.
Namun demikian undang-undang itu sendiri tidak memberikan penjelasan atau
criteria, apa yang disebut perkara yang sulit pembuktiannya, perkara yang dapat
meresahkan masyarakat ataupun perkara yang dapat membahayakan keselamatan negara.
Dengan tidak adanya kepastian dan kejelasan tentang apa yang disebut perkara yang sulit
pembuktiannya, yang dapat membahayakan keselamatan negara, maka di dalam
pelaksanaan pemeriksaan tambahan menimbulkan keraguan dan permasalahan.
Pemeriksaan tambahan dapat dilakukan setelah ketentuan pasal 110 dan 138 ayat
(2) KUHAP sebagaaimana disebutkan oleh penjelasan pasal 30 ayat (1) huruf e undang-
undang nomor 16 tahun 2004. Dengan demikian perkara yang dapat dilakukan
pemeriksaan tambahan oleh penuntut umum adalah perkara yang telah pernah dinyatakan
belum lengkap (P-18) dan dikembalikan oleh penuntut umum kepada penyidik untuk
dilakukan penyidikan tambahan disertai petunjuk tentang apa yang harus dilengkapi guna
kelengkapan berkas perkara (P-19).
Jadi dengan demikian untuk berkas perkara pidana yang belum pernah dilakukan
penyidikan tambahan, tidak dapat dilakukan pemewriksaan tambahan. Pemeriksaan
tambahan dilakukan sebelum berkas tersebut dilimpahkan ke pengadilan. Hal ini
dimaksudkan untuk membedakan antara pemeriksaan tambahan berdasarkan pasal 203
ayat (30) huruf b KUHAP, di mana pemeriksaan tambahan dilakukan setelah perkara itu

7
dilimpahkan ke pengadilan dengan cara pemeriksaan secara singkat atas perintah hakim.
Sedangkan pemeriksaan tambahan berdasarkan pasal 30 ayat (1) huruf e Undang-undang
nomor 16 tahun 2004 adalah atas prakarsa penuntut umum sendiri.
Pemeriksaan tambahan dilakukan dalam tenggang waktu empatbelas (14) hari.
Undang-undang tidak memberikan penjelasan kapan waktu empatbelas (14) hari itu
mulai dihitung. Penjelasan pasal 30 ayat (1) huruf e hanya menyatakan pelaksanaan
pemeriksaan tambahan harus dapat diselesaikan dalam batas waktu empatbelas (14) hari
setelah dilaksanakannya ketentuan pasal 110 dan 138 ayat (2) KUHAP. Dengan
penjelasan yang demikian, banyak timbul permasalahan. Apakah batas waktu empatbelas
(14) hari itu dihitung sejak penuntut umum menerima kembali berkas perkara yang telah
dikembalikan kepada penyidik atau dihitung sejak selesainya penelitian ulang berkas
perkara yang telah diterima kembali dari penyidik atau dihitung sejak diterimanya
penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti dari penyidik?
Perhitungan waktu empatbelas (1) hari seyogyanya dihitung esok harinya setetlah
penuntut umum menerima penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti dari
penyidik untukm pemeriksaan tambahan. Pertimbangannya adalag pada hari penyerahan
tersangka dan barang bukti dari penyidik kepada penuntut umum, berkas perkara tersebut
baru dicatat dalam buku register pemeriksaan tambahan. Pada hari itu juga berkas perkara
tersebut didaftarkan dalam register perkara pemeriksaan tambahan (RP-11).
Pertimbangan lain didasarkan pada pasal 228 KUHAP yang menyatakan “Jangka atau
tenggang waktu menurut undang-undang ini mulai diperhitungkan pada hari berikutnya”.
Penjelasan pasal 228 KUHAP menyatakan, tiap jangka waktu yang ditentukan dalam
undang-undang ini, selalu dihitung hari berikutnya setelah hari pengumuman, perintah
atau penetapan dikeluarkan.
Pelaksanaan pemeriksaan tambahan prinsip dikordinasikan dengan penyidik.
Dalam hal penuntut umum melakukan pemeriksaan tambahan seyogyanya penyidik
diberitahu bahwa berkas perkara tersebut akan dilakukan pemeriksaan tambahan. Dengan
demikian seandainya terdapat atau mengalami kesulitan penuntut umum akan tidak
mengalami banyak kesulitan untuk minta bantuan penyidik. Kesulitan itu antara lain
dalam hal pemanggilan saksi yang tidak jelas alamatnya, penyitaan barang-barang yang
ternyata di dalam pelaksanaan penyitaan menemui bernagai hambatan dan sebagainya.

8
Untuk melaksanakan ketentuan pasal 30 ayat (1) huruf e Undang-undang nomor
16 tahun 2004, oleh pimpinan Kejaksaan Agung telah dikeluarkan Surat Edaran Jaksa
Agung Nomor: SE-003/J.A/12/1991 tanggal 14 Desember 1991 tentang melengkapi
berkas perkara dengan melakukan pemeriksaan tambahan. Kemudian ketentuan dalam
Surat Edaran Jaksa Agung nomor E-003/J.A/12/1991 tanggal 14 Desember 1991
dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk Petunjuk Tehnis Jaksa Agung Muda Tindak Pidana
Umum, sebagai berikut:
a. Surat Nomo:B-446/E/6/1991 tanggal 15 Juni 1991 perihal tugas dan wewenang
Kejaksaan untuk melengkapi berkas perkara tertentu dengan melakukan pemeriksaan
tambahan;
b. Surat Nomor:B-78/ES/2/1992 tanggal 18 Pebruari 1992 perihal melengkapi berkas
perkara dengan melakukan pemeriksaan tambahan;
c. Surat Nomor:B-171/E/1/1993 tanggal 12 Januari 1993 perihal melengkapi berkas
perkara dengan melakukan pemeriksaan tambahan.

Selain surat edaran Jaksa Agung nomor;SE-003/J.A/12.1991 tanggal 14


Desember 1991, dikeluarkan surat edaran Jaksa Agung nomor SE-003/J.A/6/1992 yang
pada dasarnya memberikan petunjuk arahan kepada penuntut umum di dalam melakukan
pemeriksaan tambahan.

c. Penuntutan
Pada hakekatnya, penegakan hukum bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan
kepastian hukum dalam masyarakat yang berintikan keadilan.kepastian hukum tanpa
didasarkan pada sendi-sendi keadilan akan menimbulkan ketidakpuasan dan mengundang
banyak reaksi. Kejaksaan sebagai aparat penegak hukum yang telah diberikan
kepercayaan dalam penegakan hukum sesuai tugas dan fungsinya. Tugas ini dapat
terselenggara dengan baik bila kita dapat memahami arti pentingnya tugas yang
dibebankan itu.
Tujuan diundangkan KUHAP adalah untuk memenuhi aspirasi masyarakat
Indonesia akan terwujudnya penegakan hukum yang lebih baik, lebih demokratis
daripada masa berlakunya HIR. Dalam konsiderans, disebutkan bahwa tujuan KUHAP

9
adalah untuk mewujudkan Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak azasi manusia. Keseluruhan tugas yang
dibebankan kepada Kejaksaan, salah satunya adalah melakukan penuntutan dalam
perkara pidana. Menurut pasal 1 butir 7 KUHAP jo pasal 1 butir 3 Undang-undang
nomor 16 tahun 2004 menyebutkan:
“Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di
sidang pengadilan”.
Dalam pasal 1 butir 6 ayat b jo pasal 13 KUHAP menyebutkan bahwa penuntut
umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Wewenang penuntutan dipertegas oleh
pasal 15 KUHAP yang berbunyi:
“Penuntut Umum menuntut perkara tindak pidana yang terjadi dalam daerah
hukumnya menurut ketentuan undang-undang”.

Kewenangan penuntut umum dalam hal melakukan penuntutan terbatas hanya


pada tindak pidana yang terjadi didaerah hukumnya saja. Untuk itu penuntut umum
harus benar-benar mempelajari, mengetahui dan memahami secara sungguh-sungguh
apakah benar tindak pidana itu terjadi didaerah hukumnya.
Kekurang cermatan dari penuntut umum akan mempersulit diri sendiri di depan
sidang pengadilan. Kemudian jika terdakwa, penasehat hukum dan mungkin juga hakim
yang memeriksa perkara tersebut mempermasalahkan mengenai tempat terjadinya tindak
pidana. Untuk itu hendaklah harus cermat dan menguasai tentang teori locus delictie
(tempat terjadinya tindak pidana).
Dr. Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi penuntutan sebagai berikut:
“Menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana adalah menyerahkan perkara
seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim, dengan permohonan
supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap
terdakwa”.

10
Dalam pasal 137 KUHAP dinyatakan bahwa penuntut umum berwenang
melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana
dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang
mengadili.
P.A.F,Lamintang mengulas bunyi pasal 137 KUHAP, bahwa dengan dicantumkannya
kata “berwenang” dalam rumusan pasal 137 KUHAP dapat menimbulkan kesan seolah-
olah penuntut umum itu pada dasarnya tidak wajib melakukan penuntutan terhadap
siapapun yang telah melakukan tindak pidana di daerah hukumnya. Ini bertentangan
dengan azas persamaan bagi setiap orang di depan hukum dan dengan azas legalitas yang
dianut KUHAP.
Hemat penulis tidak ada satu ketentuanpun yang mewajibkan penuntut umum
melakukan penuntutan terhadap setiap orang yang telah melakukan tindak pidana. Pasal
83 HIR tidak menyebutkan bahwa penuntut umum wajib menuntut supaya segala perkara
diserahkan kepada siding pengadilan. Pasal 250 ayat (2) jo pasal 83i HIR, kepada
penuntut umum diberikan kewenangan untuk menyatakan dengan tegas dalam
tuntutannya bahwa ia tidak berkehendak melakukan penuntutan tentang tindak pidana
tertentu.
Adanya azas oportunitas yang keberadaannya diakui oleh pakar hukum di banyak
negara dan tidak diragukan lagi manfaatnya. Azas oportunitas ini keberadaannya
dicantumkan dalam Undang-undang nomor 15 tahun 1961 dan undang-undang tersebut
telah dicabut dan diganti dengan Undang-undang nomor 5 tahun 1991.Dan diganti lagi
dengan Undang-undang nomor 16 tahun 2004.
Undang-undang inipun masih mencantumkan mengenai penyampingan perkara,
yaitu pasal 32 huruf c.Atau pasal 35. Putusan Mahkamah Agung nomor 241/Kr/1957
tanggal 14 Januari 1958 memutuskan “Tentang mengajukan seseorang di muka
pengadilan atau tidak adalah melulu tergantung kepada kebijaksanaan penuntut umum”.
Dengan demikian tidak semua tindak pidana harus dilakukan penuntutan
sebagaimana seperti kehendak azas legalitas. Barangkali pasal 137 KUHAP ini diilhami
oleh adanya azas oportunitas, yang memberikan wewenang kepada penuntut umum tidak
melakukan penuntutan. Kalau kita lihat tugas dan wewenang penuntut umum
menunjukkan kepada kita betapa urgennya dalam penegakan hukum, terutama dalam

11
proses penyelesaian perkara. Penuntut umum menempati posisi penting, posisi sentral
sekalipun KUHAP mengisyaratkan kepada kita adanya spesialisasi fungsional dalam
penanganan suatu perkara pidana sesuai dengan sistem peradilan pidana terpadu
(Integrated Criminal Justice System).
Setiap jaksa penuntut umum harus sadar bahwa “penuntutan” merupakan proses
yang sangat penting dalam keseluruhan proses hukum acara pidana. Karena pada tahap
penuntutan inilah terdakwa akan dibuktikan apakah ia benar-benar bersalah atau tidak di
depan sidang pengadilan. Berhasilnya penuntutan sangat tergantung kepada kemampuan
penuntut umum dalam mengajukan alat-alat bukti dan membuktikan bahwa terdakwa
bersalah melakukan tindak pidana dan memang benar terdakwa dapat dipertanggung
jawabkan atas perbuatannya.
Dengan demikian keberhasilan penuntutan sangat tergantung dari pada peran
penuntut umum di mulai dari tahap prapenuntutan atau penelitian berkas perkara sampai
pada tahap pembuktian di sidang pengadilan. Dengan bekal kemampuan penuntut umum
untuk membuktikan bahwa terdakwa yang bersalah telah melakukan tindak pidana dan
didukung oleh berkas perkara yang telah memenuhi persyaratan formal maupun materiil,
maka diharapkan hakim akan yakin bahwa terdakwa benar telah melakukan tindak pidana
seperti didakwakan oleh penuntut umum. Sehingga pada akhirnya hakim akan
menjatuhkan pidana sesuai dengan tujuan hukum yaitu keadilan.
Pasal 141 KUHAP memberikan kemungkinan penuntut umum melakukan
penggabungan perkara dan membuat dalam satu surat dakwaan, apabila dalam waktu
yang sama atau hamper bersamaan menerima beberapa berkas perkara, dalam hal:
a. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang sama dan kepentingan
pemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap penggabungan perkara tersebut;
b.Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut satu dengan yang lainnya;
c. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut paut satu dengan lainnya, tetapi masing-
masing ada hubungannya dan penggabungan ini perlu bagi kepentingan pemeriksaan.
Pasal 142 KUHAP menyatakan, dalam hal penuntut umum menerima berkas
perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang
tersangka yang tidak termasuk dalam pasal 141, penuntut umum dapat memecah perkara
itu dan selanjutnya melakukan penuntutan secara terpisah. Dalam hal penuntut umum

12
berpendapat bahwa berkas perkara telah memenuhi persyaratan untuk dilimpahkan ke
pengadilan, kemudian penuntut umum melimpahkan perkara tersebut disertai dengan
surat dakwaan.
Surat dakwaan ini merupakan dasar pemeriksaan perkara di sidang pengadilan,
dasar pembuktian, dasar pembelaan diri bagi terdakwa, dasar bagi tuntutan pidana dan
dasar penilaian bagi hakim untuk menjatuhkan putusan. Sangat penting arti surat
dakwaan bagi penuntutan perkara pidana, maka surat dakwaan itu harus memenuhi
persyaratan formal maupun persyaratan materiil. Pasal 143 ayat (2) KUHAP menetapkan
syarat-syarat yang harus ada dalam surat dakwaan yang meliputi syarat formal maupun
syarat materiil, yaitu:
a. Syarat Formal:
Surat dakwaan harus memuat nama lengkap, tempat lahir, umur, dan tanggal
lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama/kepercayaan terdakwa;
b. Syarat Materiil:
Surat dakwaan harus memuat uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak
pidana yang didakwakan dengan tempus delicty menyebutkan tempat dan waktu tindak
pidana itu dilakukan (tepus dan locus delictie).
Pasal 143 ayat (3) KUHAP mengancam surat dakwaan batal demi hukum apabila
tidak mencantumkan syarat materiil. Penyusunan surat dakwaan selain harus memenuhi
syarat formal dan syarat materiil, penyusunan surat dakwaan harus sederhana dan dengan
menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh terdakwa, untuk memudahkan membela
dirinya
Menurut Soetomo, SH dalam membuat surat dakwaan selain harus cermat, jelas
dan lengkap, alangkah baiknya apabila dapat disusun secara sistematis tentang urut-
urutan kejadian dengan tetap berpegang pada unsur-unsur yang terdapat dalam pasal-
pasal undang-undang yang dilanggar. Hal ini dapat dilakukan apabila materi perkara
benar-benar sudah dikuasai. Menguasai materi perkara berarti mengetahui siapa yang
melakukan perbuatan pidana, kapan perbuatan itu dilakukan, di mana terjadinya
perbuatan tersebut, cara bagaimana perbuatan dilakukandan dengan alat apa perbuatan
tersebut dilakukan. Selanjutnya juga apa akibat dari perbuatan tersebut dalam arti siapa
yang menjadi korban atau siapa yang dirugikan.

13
Pencantuman syarat formal dan syarat materiil ini sangat erat kaitannya dengan
tujuan dari surat dakwaan itu sendiri. Mengenai tujuan surat dakwaan, A.Karim
Nasution,SH sebagaimana dikutip oleh Harun M. Husin, SH dalam bukunya surat
dakwaan, mengatakan sebagai berikut:
“Tujuan utama dari surat dakwaan ialah bahwa undang-undang ingin melihat
ditetapkannya alasan-alasan yang menjadi dasar penuntutan suatu peristiwa pidana,
untuk itu maka sifat-sifat khusus dari suatu tindak pidana yang telah dilakukan itu harus
dicantumkan sebaik-baiknya. Terdakwa harusa dipersalahkan karena melanggar suatu
peraturan hukum pidana, pada suatu saat dan tempat tertentu, serta dinyatakan pula
keadaan sewaktu melakukannya

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses penuntutan perkara pidana

Di dalam penegakan hukum sudah selayaknya aparat penegak hukum


memperhatikan aspirasi dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Penegakan hukum
hendaknya dapat mencerminkan cita-cita hukum yang serupa keadilan hukum dan
sekaligus keadilan yang hidup dalam masyarakat. Untuk mewujudkan keadilan hukum
dalam kehidupan masyarakat, aparat penegak hukum antara lain harus dapat mewujudkan
penyelesaian perkara yang cepat, jujur, tidak memihak, bebas, sederhana dan biaya
ringan. Untuk mewujudkan kondisi yang demikian aparat penegak hukum harus betul-
betul memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.
Di dalam penegakan hukum yang dapat memenuhi rasa keadilan hukum, terdapat
banyak faktor yang mempengaruhi. Faktor tersebut mempunyai arti penting dari mulai
pelaksanaan penyidikan sampai pada tahap pelaksanaan putusan pengadilan. Faktor-
faktor tersebut antara lain meliputi:

a. Faktor hukumnya atau perundang-undangannya


Faktor hukum yang mempengaruhi penyelesaian perkara pidana, perlu lebih dahulu
disimak ketentuan mengenai hukum acara pidana yang berlaku (KUHAP). Kalau sama-
sama kita simak, KUHAP tidak mengatur secara pasti dan secara jelas berapa kali suatu
berkas perkara dapat dikirim oleh penyidik kepada penuntut umum untuk dilakukan
penelitian berkas perkara, dan berapa kali penuntut umum dapat mengembalikan berkas
perkara yang telah diteliti oleh penuntut umum ternyata masih belum memenuhi
persyaratan kelengkapan berkas perkara.
Dengan tidak adanya ketentuan yang pasti, dimungkinkan berkas perkara tersebut
menjadi bolak balik anatara penyidik dan penuntut umum. Keadaan semacam ini akan
membuat berlarut-larutnya penyelesaian perkara. Dan ini tentu saja akan menimbulkan
dampak negatif. Kemudian tidak ada sanksi bagi penyidik bila penyidik tidak
mengirimkan berkas perkara kembali kepada penuntutan setelah berkas tersebut itu,
dikembalikan kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan tambahan. Dengan perkataan
lain tidak adanya sanksi bagi penyidik bila penyidik tidak melaksanakan ketentuan pasal
138 ayat (3) KUHAP yang berbunyi:
“Dalam hal penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas
perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk
dilengkapi dandalam waktu empatbelas hari sejak tanggal penerimaan berkas itu
kepada penuntut umum”.
Tidak ada ketentuan yang bersifat impreratif bagi penyidik untuk menyampaikan
pemberitahuan dimulainya penyidikan (PDP) suatu tindak pidana (lihat pasal 109 ayat (1)
KUHAP). Kenyataan dalam praktek penyidik telah mulai melakukan penyidikan, tetapi
Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) baru beberapa minggu kemudian.
Ada juga yang pengirimannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dilakukan
bersamaan dengan penyerahan berkas perkara tahap pertama.
Kekaburan dan ketidaktegasan dari perundang-undangan dengan itu sendiri yang
menyebabkan terjadi kendala dalam proses penuntutan. Namun demikian sebagai aparat
penegak hukum yang baik, berusaha untuk menekan sedikit mungkin timbulnya kendala
dalam proses penuntutan perkara pidana.

b. Faktor aparat penegak hukumnya


Dalam melakukan penegakan hukum, faktor manusia (aparat) penegak hukum
menempati posisi penting. Berhasil tidaknya proses penyelesaian perkara sangat
tergantung pada manusianya. Aparat penegak hukum yang melaksanakan tugas dengan
dibarengi dedikasi yang tinggi, rasa pengabdian yang tinggi, dan adanya kemampuan
profesional yang memadai akan lebih mendukung keberhasilan pelaksanaan tugas.
Semakin profesional, semakin mempunyai wawasan yang luas dalam mengantisipasi rasa
keadilan yang ada dalam masyarakat dan lebih bisa mengatasi permasalahan yang timbul
dalam pelaksanaan tugas. Sehingga pada akhirnya pelaksanaan tugas akan membawa
hasil yang optimal.
Namun sebaliknya kurangnya kemampuan tehnis di bidang penegakan hukum,
justru akan menghambat pelaksanaan penegakan hukum. Sehubungan dengan kurangnya
kemampuan dari aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya dalam membawa
dampak negatif. Semakin kurangnya kemampuan, semakin kurang berhasil dalam
pelaksanaan tugas.
Prof.Dr. Baharudin Lopa (alm) berpendapat bahwa jelas akan menjadi
penghambat apabila aparatur penegak hukum kurang menguasai ketentuan-ketentuan
yang mengatur batas tugas dan wewenang dan kurang mampu menafsirkan dan
menerapkan peraturan hukum yang menjadi tugas pokok. Apalagi kalau mentalnya
kurang dapat dipertanggung jawabkan. Meskipun peraturan-peraturan hukum sudah
memadai, tetapi aparat pelaksanaannya kurang memahami peraturan hukum itu, maka
penegakan hukum itu akan mengalami kegagalan.
Kekurang cermatan penelitian berkas perkara pada tahap pertama
(prapenuntutan), kekurang cermatan dalam membuat surat dakwaan, perbedaan persepsi
hukum antara hakim dengan penuntut umum, kekurang cermatan penyidik dalam
melakukan penyidikan akan membawa dampak yang tidak kita kehendaki.

c. Faktor Sarana dan Prasarana yang Mendukung


Dengan prasarana dan sarana yang mendukung dalam pelaksanaannya tugas
penegakkan hukum, khususnya penuntutan maka tentunya semakin lebih berhasil.
Sebaliknya kurangnya prasarana dan sarana yang mendukung pelaksanaan tugas, hasilnya
tentu tidak seperti yang diharapkan. Kurangnya prasarana dan sarana yang dapat
mendukung pelaksanaan tugas seperti misalnya alat-alat tulis kantor yang sangat kurang,
alat-alat transportasi dan komunikasi dan kesejahteraan petugas yang minim, dan
sebagainya, akan memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan tugas.
d. Faktor Masyarakat
Adanya kesadaran hukum masyarakat yang tinggi dapat mempengaruhi proses
penuntutan, tentu saja pengaruh yang timbul dari adanya kesadaran hukum yang tinggi
berupa pengaruh positif. Sebaliknya bila kesadaran hukum masyarakat rendah tentunya
akan membawa pengaruh negatif terhadap pelaksanaan penegakan hukum, yaitu
mempengaruhi proses penuntutan perkara. Kesadaran hokum masyarakat yang relatif
rendah misalnya adanya keengganan anggota masyarakat menjadi saksi, baik pada proses
penyidikan maupun proses pemeriksaan perkara di pengadilan. Tindakan ini dapat berupa
enggan datang untuk didengar keterangannya sebagai saksi, memberikan alamat palsu
agar tidak dipanggil menjadi saksi. Mereka tidak mengerti bahwa menjadi saksi itu suatu
kewajiban hukum, kewajiban warga negara. Mereka tidak tahu tentang arti pentingnya
seorang saksi dalam membantu mencari kebenaran materiil (kebenaran sejati).
Keengganan seorang untuk menjadi saksi, disamping disebabkan kesadaran
hukum yang rendah juga ada faktor lain seperti karena kesibukannya, karena takut
diancam oleh terdakwa atau tersangka. Pengalaman praktek seorang saksi tidak hadir
dalam persidangan sekalipun telah dipanggil dengan sah menurut hukum, setelah ditanya
tidak hadir disidang pengadilan karena takut diancam bila suatu waktu ketemu di suatu
tempat. Sudah beberapa kali seorang saksi tidak datang karena alasan yang sama.
Mungkin juga seorang terdakwa tidak hadir dalam sidang pengadilan, bila ia tidak
ditahan atau ditahan tetapi tahanan rumah atau tahanan kota. Diatas telah diketengahkan
mengenai faktor yang dapat mempengaruhi proses penuntutan dan penyelesaian perkara
pidana, baik yang bersifat positif maupun negatif. Dibawah ini akan dicoba menguraikan
berbagai hambatan dalam proses penyelesaian perkara pidana sebagaimana Wahyu
Affandi mengutip pernyataan H. Abdurachman, SH mengatakan bahwa keadaan yang
menyebabkan terjadinya kelambatan dalam pemeriksaan perkara, ada yang datang dari
luar dan ada yang dari dalam lingkungan pengadilan negeri, yaitu:
1. Hambatan yang dating dari luar lingkungan pengadilan negeri, ialah tidak datangnya
terdakwa pada waktu perkaranya disidangkan, disebabkan karena hal-hal:
a. Apabila terdakwa berada dalam tahnan:
kurangnya sarana pengangkutan bagi tahanan untuk membawa ke pengadilan
salah angkut tahanan yang semestinya disidangkan
tidak tersedianya regu pengawal tahanan sehingga pengangkutan ditiadakan.
Apabila terdakwa tidak ditahan:
terdakwa dengan berbagai alasan tidak mau datang kepengadilan;
saksi-saksi yang diperlukan tidak datang
mutasi dikalangan jaksa.
• Hambatan dari lingkungan pengadilan negeri, disebabkan
kurangnya tenaga hakim terutama ditempat kecil, dibandingkan dengan
banyaknya perkara yang masuk kepengadilan
Hakim yang sudah kurang jumlahnya itu masih dibebani tugas-tugas sampingan
yang dalam prakteknya memakan banyak waktu, tenaga dan pikiran
sehingga mereka tidak dapat melakukan tugas pokoknya sebagai hakim;
c. kurangnya ruang sidang bagi pengadilan-pengadilan yang mempunyai jumlah
hakim yang banyak
d. kurangnya tenaga panitera pengganti sehingga sebagian panitera pengganti harus
melayani beberapa majelis hakim dalam sidangnya.

5. Usaha Mengatasi hambatan dalam proses penyelesaian perkara pidana

Untuk memperlancar pelaksanaan tugas penyelesaian perkara, perlu adanya upaya


untuk memperkecil hambatan-hambatan yang timbul. Upaya ini dimaksudkan agar proses
penyelesaian perkara dapat berjalan seperti yang kita harapakan, yang pada akhirnya
dapat terwujud azas peradilan yang cepat, jujur, bebas, sederhana dan biaya ringan.
Upaya yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk memperkecil timbulnya
hambatan dan penumpukan dalam proses penyelesaian perkara antara lain:
a. Kerjasama positif antara aparat penegak hukum
Kerjasama positif dalam system peradilan pidana terpadu memang mutlak diperlukan.
Langkah-langkah seperti koordinasi, konsultasi, keterpaduan, kebersamaan dan
keterbukaan sangat mendukung keberhasilan pelaksanaan tugas. Dengan kerjasama
positif yang bersifat instansional maupun hubungan secara fungsional serta masing-
masing pribadi terjalin hubungan yang baik, akan memperlancar proses penyelesaian
perkara. Dengan kerjasama positif antara sesama aparat penegak hukum, bila timbul
suatu permasalahan atau hambatan dapat dipecahkan secara bersama-sama dan dicari
jalan keluar yang dianggap paling menguntungakan baik bagi aparat negara penegak
hukum yang bersangkutan maupun bagi pihak korban serta pihak terdakwa sendiri.
Dengan demikian diharapkan akan terwujud kondisi yang dapat meningkatkan
citra dan wibawa hukum dan aparat penegak hukumnya. Dengan kondisi yang demikian,
masyarakat akan merasa terayomi oleh aparat penegak hukum dan oleh hukum itu
sendiri. Kerjasama positif antar aparat penegak hukum bukan berarti mencampuri urusan
dan wewenang masing-masing, melainkan justru masing-masing aparat penegak hukum
saling menghormati tugas dan kewenangan yang ada sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

b. Meningkatkan disiplin dan pengabdian aparat penegak hukum, meningkatkan


integritas moral/integritas kepribadian aparat penegak hukum. Meningkatkan
profesionalisme aparat penegak hukum perlu ditumbuh-kembangkan untuk
mengantisipasi perkembangan zaman yang semakin modern dan semakin tumbuhnya
tekhnologi canggih.
Rasa disiplin yang tinggi, integritas kepribadian aparat penegak hukum, adanya jiwa
pengabdian kepada hukum, negara dan masyarakat merupakan faktor yang mendukung
keberhasilan pelaksanaan tugas. Dengan profesionalisme pelaksanaan tugas akan
membawa dampak positif terhadap keberhasilan pelaksanaan tugas sesuai dengan tugas
yang dipikulnya. Dengan profesionalisme yang mantap akan lebih mampu, lebih terbuka
mengikuti dan membaca perkembangan rasa keadilan masyarakat yang ada pada saat itu
dan yang akan dating. Dengan demikian tentu saja aparat penegak hukum yang demikian
akan dapat menginterprestasikan hukum bukan saja secara dogmatis belaka, tetapi juga
secara sosiolgis dan furistik.
Untuk meningkatkan profesinalitas profesi, dapat ditempuh melalui pendidikan
khusus (kejuruan), ketrampilan khusus, diskusi, mengikuti seminar, symposium,
membaca buku-buku ilmiah yang menyangkut bidang tugasnya, dan pengalaman praktek
dalam bidang penegakan hukum. Kesemuanya diharapkan dapat menambah cakrawala
pandang yang menyangkut bidang tugasnya
BAB II
ALASAN-ALASAN DIPERINGANNYA PIDANA BAGI PELAKU

Dari sudut luas berlakunya, dasar-dasar diperingannya pidana terhadap si


pembuat dalam undang-undang dibedakan menjadi dua, yaitu dasar-dasar
diperingannya pidana umum dan dasar-dasar diperingannya pidana khusus. Dasar
umum berlaku pada tindak pidana umumnya, sedangkan dasar khusus hanya
berlaku pada tindak pidana khusus tertentu saja.

A. Alasan-alasan yang Menyebabkan Diperingannya Pidana Umum


1. Menurut KUHP: Belum Berumur 16 Tahun pasal 45 KUHP
Bab III Buku I KUHP mengatur tentang hal-hal yang
menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pidana. Tentang hal
yang memperingan (mengurangkan) pidana dimuat dalam Pasal 45, 46 dan
47. Akan tetapi sejak berlakunya Undang-Undang No. 3 Tahun 1997
Tentang Peradilan Anak (diundangkan tanggal 3 Januari 1997 dan prlaku
sejak tanggal 3 Januari 1998), ketiga pasal itu telah tidak berlaku lagi
(Pasal 67). Kini penting hanya dari segi sejarah hukum pidana, khususnya
pidana anak. Sebelum membicarakan tentang hal yang memperingan
pidana bagi anak menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1997, baik juga
kiranya untuk sekadar diketahui, secara sepintas dibicarakan ketiga pasal
tersebut.
Menurut Pasal 45 ialah hal yang memperingan pidana ialah sebab si
pembuat adalah seorang anak yang umurnya belum mencapai 16 (enam
belas) tahun. Inilah satu-satunya dasar yang memperingan pidana umum
yang ditentukan dalam Bab III Buku I.
Menurut Pasal 45, bahwa terhadap seorang yang belum dewasa yang
dituntut pidana karena melakukan suatu perbuatan ketika umurnya belum
16 (enam belas) tahun, maka hakim dapat menentukan salah satu di antara
3 (tiga) kemungkinan, yaitu:
2. memerintahkan agar anak itu dikembalikan kepada orang tuanya,
walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana apa pun;
3. memerintahkan agar anak itu diserahkan kepada pemerintah, tanpa

21
pidana apa pun, ialah apabila perbuatan yang dilakukannya adalah
berupa kejahatan atau salah satu pelanggaran Pasal-pasal: 489, 490,
492, 496, 497, 503, 505, 514, 517 - 519, 526, 531, 532, 536, dan 540
dan belum lewat 2 tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan
kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas dengan putusan
yang telah menjadi tetap;
3. menjatuhkan pidana;
Kemungkinan yang pertama dan kedua adalah berupa tindakan
(maatregel). Pada kemungkinan yang kedua, yang berupa menyerahkan
anak itu pada pemerintah, dapat dipilih oleh hakim, dalam 2 hal yaitu:
1. Dalam hal anak itu melakukan kejahatan;
2. Dalam hal anak itu melakukan pelanggaran:
a. terhadap Pasal-pasal: 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 517-
519, 526, 531, 532, 536, dan 540;
b. yang pelanggaran mana belum lewat 2 (dua) tahun (pengulangan)
sejak dijatuhi pidana dengan putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Apabila hakim memerintahkan anak itu diserahkan pada pemerintah,
menurut Pasal 46 maka ia:
2. dimasukkan pada rumah pendidikan negara untuk menerima
pendidikan dari pemerintah, atau dikemudian hari dengan cara lain;
atau
3. diserahkan pada:
 seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia; atau

 suatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal yang berke-
dudukan di Indonesia
untuk menyelenggarakan pendidikannya atas tanggungan pemerintah,
atau dikemudian hari dengan cara lain, kedua hal di atas dijalankan
sampai anak itu berumur 18 tahun.
Apabila hakim memilih yang ketiga, yakni dengan menjatuhkan
pidana, dalam hal ini (menurut Pasal 47) terdapat 2 (dua) kemungkinan,
yaitu:
1. dalam hal tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau pidana

22
penjara seumur hidup, maka hakim menjatuhkan pidana yang berat
atau lamanya adalah maksimum pidana pokok yang diancamkan pada
tindak pidana yang dilakukannya itu dikurangi sepertiganya.
2. dalam hal kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau penjara
seumur hidup, maka tidak dapat dijatuhi pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, melainkan hakim menjatuhi pidana penjara
selama-lamanya 15 (lima belas) tahun.
Sedangkan pidana tambahan pencabutan hak-hak tertentu dan
pengumuman putusan hakim tidak dapat dijatuhkan (47 ayat 3). Adapun
maksud ketentuan ini adalah memberi perlindungan hukum kepada
terpidana anak bagi nasib dan kehidupannya dimasa depan.

2. Menurut UU No. 3 Tahun 1997: Anak yang Umurnya Telah


Mencapai 8 Tahun Tetapi Belum 18 Tahun dan Belum Pernah Kawin
Kini setelah Pasal 45, 46 dan 47 tidak berlaku lagi, kedudukan
sebagai dasar peringanan pidana yang bersifat umum, digantikan oleh
Undang-Undang No. 3 Tahun 1997. Menurut UU No. 3 Tahun 1997 dasar
peringanan pidana umum ialah sebab pembuatnya anak (disebut anak
nakal) yang umurnya telah 8 (delapan) tahun tetapi belum 18 (delapan
belas) tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan anak yang diduga telah
melakukan tindak pidana dan belum berumur 8 (delapan) tahun tidak dapat
diajukan ke pengadilan tetapi dapat dilakukan penyidikan (Pasal 5), dan
dalam hal ini terdapat dua kemungkinan, ialah:
a. jika penyidik berpendapat anak itu masih dapat dibina oleh orang tua,
walinya atau orang tua asuhnya, maka penyidik menyerahkan kembali
anak itu kepada orang tua, wali atau orang tua asuhnya;
b. jika penyidik berpendapat anak itu tidak dapat dibina lagi oleh orang
tua, walinya atau orang tua asuhnya, maka penyidik menyerahkan anak
itu kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari
Pembimbing Kemasyarakatan.
Dasar peringanan pidana menurut UU No. 3 Tahun 1997, terdapat 2
(dua) unsur kumulatif yang menjadi syaratnya, ialah: pertama mengenai:
umurnya (telah 8 tahun tapi belum 18 tahun) dan yang kedua mengenai:

23
belum pernah menikah. Dalam sistem hukum kita, selain umur juga
perkawinan adalah menjadi sebab kedewasaan seseorang.
Sama dengan KUHP, UU No. 3 Tahun 1997 ini juga terhadap anak
(KUHP: belum berumur 16 Tahun, UU ini telah berumur 8 tahun tapi
belum 18 tahun dan belum pernah kawin) yang terbukti bersalah karena
melakukan tindak pidana, hakim dapat menjatuhkan satu di antara dua
kemungkinan, ialah menjatuhkan pidana atau menjatuhkan tindakan (Pasal
21).
Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal yang melakukan
tindak pidana ialah pidana pokok dan pidana tambahan pasl 23 ayat 1.
Pidana Pokoknya ada 4 macam yang terdapat dalam pasal 23 ayat 2, ialah:
c. pidana penjara;
d. pidana kurungan;
e. pidana denda; atau
f. pidana pengawasan.
Sedangkan pidana tambahan bagi Anak Nakal pasal 23 ayat 3 ialah:
d. pidana perampasan barang-barang tertentu
e. pembayaran ganti rugi

Sedangkan tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah:


a. mengembalikannya kepada orang tua, wali atau orang tua asuh;
b. menyerahkannya kepada negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja
c. menyerahkannya kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan
latihan kerja pasal 24 ayat 1.

Dalam hal pidana penjara, dibedakan menjadi 2 (dua) kategori Pasal


26, yaitu:
b. Untuk tindak pidana yang tidak diancam dengan pidana mati atau
penjara seumur hidup, maka pidana penjara yang dapat dijatuhkan
ialah paling lama ½ (satu perdua) dari maksimum pidana penjara yang
diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan bagi orang dewasa

24
pasal 26 ayat 1
b. Sedangkan untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup dapat dijatuhkan pidana penjara selama-
lamanya 10 tahun ialah hanya terhadap Anak Nakal yang telah
berumur 12 (dua belas) tahun tapi belum 18 (delapan belas) tahun
pasal 23 ayat 2.
Pidana penjara yang dimaksud di atas, hanya boleh dijatuhkan pada
Anak Nakal yang telah berusia 12 (dua belas) tahun tapi belum berusia 18
(delapan belas) tahun. Terhadap Anak Nakal yang belum berumur 12 (dua
belas) tahun, tidak dapat dijatuhkan pidana penjara, melainkan dengan
tindakan, yang dibedakan yakni:
a. Dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, maka dijatuhkan tindakan berupa menyerahkan
anak itu kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan
latihan kerja paqsal 23 ayat 3 Jo 24. Tindakan ini adalah imperatif,
yakni suatu keharusan.
b. Dalam hal tindak pidana yang tidak diancam dengan pidana mati atau
penjara seumur hidup, maka tindakan dapat berupa salah satu dari:
1) mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuhnya;
2) menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan,
pembinaan, dan latihan kerja; atau
3) menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan
dan latihan kerja pasl 26 ayat 4 jo 24 ayat 1.
Mengenai pidana kurungan, dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal

paling lama (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana kurungan yang

diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan bagi orang dewasa

Pasal 27.

Demikian juga pidana denda, dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal


paling banyak ½ (satu perdua) dari maksimum pidana denda yang
diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan bagi orang dewasa

25
pasal 28 ayat 1)
Apabila denda yang dijatuhkan hakim tidak dapat dibayar, maka
diganti dengan pidana pengganti denda berupa "wajib latihan kerja", yang
lamanya ditetapkan hakim (paling lama 90 hari kerja dengan sehari paling
lama 4 jam kerja). Pasal 28 ayat 2,3).
Pidana pengawasan dapat dijatuhkan oleh hakim paling lama 2 (dua)
tahun dan paling singkat 3 (tiga) bulan. Dalam hal Hakim menjatuhkan
pidana pengawasan, maka anak tersebut ditempatkan di bawah
pengawasan Jaksa dan Pembimbing Kemasyarakatan, yang tata cara
pelaksanaannya ditentukan lebih lanjut dalam peraturan pemerintah (Pasal
30).
Terhadap Anak Nakal, pidana yang dijatuhkan dapat diberikan
dengan bersyarat, yakni dalam hal hakim menjatuhkan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun pasal 29 ayat 1). Nyatalah kini setelah tidak
berlaku lagi ketentuan Pasal 45, 46 dan 47 KUHP, maka dasar peringanan
pidana ialah umur yang telah 8 tahun tetapi belum 18 tahun dan belum
pernah kawin, yang bentuk peringanannya ialah berupa sebanyak-
banyaknya pidana yang dijatuhkan ialah (satu perdua) dari ancaman
pidana pada tindak pidana yang bersangkutan bagi orang dewasa, baik
untuk pidana penjara, kurungan dan denda.
Bahwa perbedaan antara ketentuan mengenai hal peringanan pidana
menurut KUHP dengan UU No. 3 Tahun 1997, antara lain ialah:
a. Batasan anak yang dapat diperingan pidananya dalam hal melakukan
tindak pidana, menurut KUHP ialah belum berumur 16 (enam) belas
tahun, sedangkan menurut UU. No. 3 Tahun 1997 ialah telah berumur
8 (delapan) tahun tapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan
belum pernah kawin.
b. Jenis pidana pokok yang dapat dijatuhkan menurut KUHP ada 3 jenis,
ialah pidana penjara, pidana kurungan, dan pidana denda. Sedangkan
menurut UU No. 3 Tahun 1997 ada 4 jenis, ialah selain 3 (tiga) jenis
pidana pokok tersebut, juga pidana pengawasan
c. Jenis pidana tambahan yang dapat dijatuhkan menurut KUHP ialah
hanya pidana perampasan barang tertentu. Sedangkan menurut UU No.

26
3 Tahun 1997 selain pidana perampasan barang tertentu, juga pidana
pembayaran ganti rugi.
e. Batasan dapat dijatuhkannya pidana dengan bersyarat menurut KUHP
ialah dalam hal Hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun; pidana kurungan atau pidana denda Pasal I4a. Sedangkan
menurut UU No. 3 tahun 1997 Hakim boleh menjatuhkan pidana
dengan bersyarat hanyalah mengenai pidana penjara saja yang paling
lama 2 (dua) tahun, dan tidak pada pidana kurungan dan pidana denda
(Pasal 29).
f. Menurut KUHP, dalam hal hakim menjatuhkan pidana denda, dan
denda tidak dibayar, maka diganti dengan kurungan pengganti denda
yang lamanya minimum 1 (satu) hari dan maksimum 6 (enam) bulan,
dan dalam hal ada pemberatan pidana dapat diperpanjang menjadi
paling lama 8 (delapan) bulan (Pasal 30). Menurut UU No. 3 Tahun
1997 bila denda tidak dibayar, maka diganti dengan wajib latihan kerja
paling lama 90 hari yang tiap hari tidak lebih dari 4 jam latihan kerja
(Pasal 28), dan tidak dapat diperpanjang dengan alasan apa pun.
g. Terhadap anak belum berumur 16 (enam belas) tahun yang melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur
hidup, menurut KUHP hanya dapat dipidana penjara selama-lamanya
15 tahun. Tetapi menurut UU No. 3 Tahun 1997 terhadap Anak Nakal
telah berumur 12 (dua belas) tahun tapi belum berumur 18 (delapan
belas) tahun melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
mati atau penjara seumur hidup, hanya dapat dipidana penjara paling
lama 10 tahun.
h. Anak Nakal yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan
pidana mati atau penjara seumur hidup menurut KUHP, tidak
ditentukan batas umur minimalnya untuk dapat dijatuhkan pidana
penjara maksimum 15 tahun. Sedangkan menurut UU No. 3 Tahun
1997, ditentukan batas umur minimalnya ialah telah berumur 12 tahun
untuk dapatnya dipidana penjara maksimum 10 tahun.

27
3. Perihal Percobaan Kejahatan dan Pembantuan Kejahatan
Bagaimana dengan percobaan kejahatan dan pembantuan kejahatan,
yang menurut Undang-Undang Pasal: 53 Ayat 2 dan 57 Ayat 1 pidana
maksimum terhadap si pembuatnya dikurangi sepertiga dari ancaman
maksimum pada kejahatan yang bersangkutan?. Pada kenyataannya
menurut undang-undang kepada si pembuat yang gagal atau tidak selesai
dalam melakukan kejahatan dan demikian juga orang yang membantu
orang lain dalam melakukan kejahatan, ancaman pidananya dikurangi
sepertiga dari ancaman maksimum pada kejahatan yang dilakukan. Berarti
di sini ada peringanan pidana, jika dibandingkan dengan pembuat
kejahatan selesai atau bagi si pembuatnya (pleger/pelaku pelaksana)
sendiri. Tetapi sesungguhnya percobaan dan pembantuan ini adalah berupa
dasar peringanan yang semu, bukan dasar peringan yang sebenarnya .
Mengapa demikian? Oleh karena:
1. percobaan dan pembantuan adalah suatu ketentuan/ aturan umum (yang
dibentuk oleh pembentuk undang-undang) mengenai penjatuhan pidana
terhadap pembuat yang gagal dan orang yang membantu orang lain
melakukan kejahatan, yang artinya orang yang mencoba itu atau orang
yang membantu (pelaku pembantu) tidak mewujudkan suatu tindak pidana
tertentu, hanya mengambil sebagian syarat dari sekian syarat suatu tindak
pidana tertentu. Wujud/bentuk perbuatan apa yang dilakukan oleh pelaku
pencoba atau pelaku pembantu tidaklah memenuhi syarat bagi suatu tindak
pidana tertentu selesai, pada dasarnya ia tidak melakukan kejahatan dan
pada dasarnya pula ia tidak dipidana. Hanya oleh karena undang-undang
saja yang menentukan dipidananya. Percobaan dan pembantuan adalah hal
mengenai perluasan pertanggungjawaban pidana. Oleh sebab itu andaikata
pembentuk undang-undang tidak menentukan dapatnya dipidana pada
orang yang mencoba kejahatan atau orang yang membantu kejahatan,
pastilah dia tidak dipidana.
2. ketentuan mengenai dipidananya pembuat yang gagal (percobaan) dan
pembuat pembantu (medeplichtige) tidak dimuat dalam Bab III Buku I
tentang "Hal-hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan
Pidana. Apabila pembentuk undang-undang berpandangan bahwa

28
percobaan dan pembantuan itu adalah sebagai alasan pengurangan pidana
sebagaimana halnya anak yang usianya belum 16 tahun, dan bermaksud
demikian, tentulah hal percobaan dan hal pembantuan itu dimasukkan
dalam Bab III Buku I ini, dan tidak didalam bab yang lain.

B. Dasar-dasar yang Menyebabkan Diperingannya Pidana Khusus


Disebagian tindak pidana tertentu, ada pula dicantumkan dasar peringan
tertentu, yang hanya berlaku khusus terhadap tindak pidana yang disebutkan
itu saja, dan tidak berlaku umum untuk segala macam tindak pidana. Dasar
peringan pidana khusus ini tersebar di dalam pasal-pasal KUHP.
Untuk dapatnya dinyatakan suatu tindak pidana sebagai lebih ringan
tentu ada pembandingnya. Dalam tindak pidana lebih ringan inilah ada unsur
yang menyebabkan diperingannya pidana terhadap si pembuatnya. Tindak
pidana bandingannya atau pembandingnya itu ada 2 (dua), yaitu:
1. biasanya pada tindak pidana dalam bentuk pokok, disebut juga bentuk
biasa atau bentuk standard (eenvoudige delicten);
2. pada tindak pidana lainnya (bukan termasuk bentuk pokok), tapi
perbuatannya serta syarat-syarat lainnya sama. Pertama, ada macam tindak
pidana tertentu yang dapat dibedakan atau dikelompokkan ke dalam
bentuk pokok, yang lebih berat dan yang lebih ringan. Pada tindak pidana
bentuk ringan (sama jenisnya), di dalamnya terdapat unsur tertentu yang
menyebabkan tindak pidana tersebut menjadi lebih ringan daripada bentuk
pokoknya.

Unsur penyebab ringannya inilah yang dimaksud dengan "dasar dipe-


ringannya pidana khusus,Contohn, tindak pidana dalam bentuk pokok:
pembunuhan (338), penganiayaan (351 ayat 1), pencurian (362), penggelapan
(372), penipuan (378). Pada tindak pidana-tindak pidana dalam jenis yang sama
(contoh di atas), ada dalam bentuk yang lebih ringan (kadang disebut tindak
pidana ringan), yaitu pembunuhan dalam hal yang meringankan (341),
penganiayaan ringan (352), pencurian ringan (364), penggelapan ringan (373),
penipuan ringan (379).

29
Dasar penyebab diperingannya tindak pidana- tersebut, yaitu:
• pada pembunuhan Pasal 341 ialah pembuatnya adalah seorang ibu, dan objeknya
adalah bayinya sendiri;
• pada penganiayaan ringan ialah akibat perbuatan berupa tidak menimbulkan
penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian (352)
• pada pencurian ringan ialah (1) tidak dilakukan dalam sebuah kediaman atau
pekarangan yang tertutup yang di dalamnya ada tempat kediaman, dan (2)
nilai/harga benda (objek) kurang dari Rp 250,- (364)
• penggelapan ringan ialah: (1) obj'eknya bukan ternak, (2) dan (2) nilai
benda/objek kej'ahatan kurang dari Rp 250,- (373)
• penipuan ringan ialah (1) objek kejahatan bukan ternak, dan (2) nilai benda
objek kejahatan kurang dari Rp 250,-(379). Kedua, disebut tindak pidana yang
lebih ringan, yang pembanding lebih ringannya itu bukan pada bentuk pokok,
tetapi pada perbuatan serta syarat-syarat lainnya yang sama. Contohnya, kejahatan
meninggalkan bayi karena takut diketahui melahirkan pada Pasal 308 jika
dibandingkan kejahatan meninggalkan anak pada Pasal 305.
Pasal 305, melarang orang menempatkan anak yang umurnya belum 7
(tujuh) tahun untuk ditemukan atau meninggalkan anak itu dengan maksud untuk
melepaskan diri daripadanya, yang diancam dengan pidana penjara maksimum 5
(lima) tahun 6 (enam) bulan. Sedangkan Pasal 308 kejahatan yang seperti itu jika
dilakukan oleh seorang ibu terhadap bayinya sendiri tidak lama setelah dia
melahirkan bayinya itu, karena takut diketahui melahirkannya, maka pidana
terhadap si ibu ini maksimum separuh dari ancaman pidana pada Pasal 305. Hal
yang meringankan pidana dari kejahatan Pasal 308 ini ialah: (1) pelakunya ialah
seorang ibu, dan (2) dilakukan kejahatan itu pada bayinya sendiri, dan (3) takut
diketahui melahirkan bayi. Dasar peringan pidana di sini berdiri secara kumulatif.
BAB III
ALASAN-ALASAN PENGHAPUSAN PIDANA
(Straffslutinggrondent)
Terwujudnya suatu tindak pidana tidak selalu dijatuhkan pidana terhadap
pembuatnya. Undang-undang telah memberikan dasar-dasar yang meniadakan
pidana. Adanya aturan ini membuktikan bahwa UU memisahkan antara tindak
pidana dengan si pembuatnya. Pembentuk undang-undang membuat aturan ini
bertujuan mencapai derajat keadilan yang setinggi-tingginya. Ada banyak hal,
baik yang bersifat objektif maupun subjektif, yang mendorong dan me-mengaruhi
seseorang mewujudkan suatu tingkah laku yang pada kenyataannya dilarang oleh
undang-undang. Pemikiran yang semacam inilah yang mendasari dibentuknya
ketentuan umum perihal faktor-faktor yang menyebabkan tidak dipidananya si
pembuat.
Dilihat dari sudut sumbernya, dasar-dasar yang meniadakan pidana ada dua
macam, yakni (1) yang berasal dari undang-undang; dan (2) yang berasal dari luar
undang-undang. Dasar peniadaan pidana yang bersumber dalam undang-undang,
dibedakan lagi antara (a) yang berlaku untuk semua jenis dan macam tindak
pidana, disebut dasar peniadaan pidana umum\ dan (b) yang berlakunya terbatas
pada tindak pidana khusus tertentu, yang dicantumkan dalam rumusan tindak
pidana yang bersangkutan, disebut dengan dasar peniadaan pidana khusus.

A. Alasan Peniadaan Pidana dalam Undang-undang


Sebagaimana di atas telah diterangkan bahwa dasar peniadaan pidana
yang bersumber pada undang-undang ini dibedakan antara yang bersifat umum
dan yang bersifat khusus. Pembicaraan mengenai hal peniadaan pidana di bawah
ini dengan mengikuti sistematika tersebut.
4. Alasan Peniadaan Pidana dalam Undang-undang yang Bersifat
Umum
Dasar-dasar peniadaan pidana yang menyebabkan tidak dipidananya
pembuat yang bersifat umum dalam undang-undang(,strafuitslutings-gronderi)
harus dibedakan dengan hal-hal yang menyebabkan tidak dapat dituntutnya si
pembuat (vervolgingsuitsluitingsgronderi) walaupun bagi kedua-duanya sama, dia
lah si pembuat pada kenyataannya tidak dipidana karena perbuatannya.

31
Pada hal yang disebutkan pertama (strafutislutingsgronden), jaksa
penuntut umum telah mengajukan surat dakwaan. Terdakwa telah diperiksa dalam
sidang pengadilan, bahkan telah diajukannya requisitoir (tuntutan) oleh Jaksa
Penuntut, dan telah terbukti terwu-judnya tindak pidana itu oleh si pembuat.
Namun, karena terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipidananya si pembuat,
majelis hakim tidak menj'atuhkan pidana (veroordeling) kepadanya, melainkan
menjatuhkan putusan pelepasan dari tuntutan hukum (onslag van
allerechtsvervolging). Putusan (disebut vonis) itu dijatuhkan terhadap
pokokperkaranya atau terhadap tindak pidana yang didakwakan.
Undang-undang tidak melarang jaksa penuntut umum untuk
menghadapkan tersangka ke sidang pengadilan dalam hal adanya dasar peniadaan
pidana. Berbeda pada hal yang disebutkan kedua, karena pada alasan/dasar
peniadaan penuntutan yang tidak membenarkan jaksa penuntut umum untuk
mengajukan tersangka ke sidang pengadilan (menuntutnya), misalnya tanpa
adanya pengaduan mengajukan juga si pembuat tindak pidana aduan ke sidang
pengadilan, penetapan majelis hakim akan berisi bahwa jaksa penuntut umum
tidak berwenang menuntut (niet-ontvankelijk verklaring van bet
OpenbaarMinisterie), tidak diperlukan membuktikan tentang telah terwujud atau
tidaknyatindak pidana itu. Artinya pokok perkara tidak perlu diperiksa oleh
majelis sehingga juga tidak diputus pokok perkaranya. Majelis hanya memutus
tentang tidak berwenangnya negara (in casu jaksa PU) menuntut perkara itu.
Tindakan yang dila-kukan majelis hakim ini bukanlah vonis, tetapi berupa
penetapan
(beschiking) belaka.
Akibat hukum dari putusan pelepasan dari tuntutan hukum dengan
penetapan yang berisi penuntut umum tidak berwenang mengadili juga
mengandung perbedaan yang mendasar. Karena putusan lepas dari tuntutan
hukum mengenai tindak pidana yang didakwakan atau mengenai pokok
perkaranya, putusan itu tunduk pada ketentuan ayat (1) Pasal 76 KUHP. Artinya,
setelah putusan itu mempunyai kekuatan hukum tetap (kracht van gewijsde zaak),
perbuatan itu tidak dapat lagi diajukan penuntutan kedua kalinya. Akan tetapi,
terhadap penetapan yang berisi penuntut umum tidak berwenang menuntut, karena
bukan mengenai hal tindak pidana yang didakwakan, maka penetapan Majelis
Hakim itu tidak tunduk pada ketentuan Pasal 76 KUHP. Ketika dasar peniadaan
32
penuntutan itu telah ditiadakan, misalnya dalam tindak pidana aduantelah dipe-
nuhinya syarat pengaduan, maka terhadap pembuat, jaksa penuntut umum wajib
mengajukan tuntutan ke sidang pengadilan kembali.
Di samping perbedaan di atas, juga terdapat perbedaan dalam hal
perlawanan terhadap kedua putusan itu. Dalam hal tidak menerima putusan yang
berisi "pelepasan dari tuntutan hukum", maka dapat diajukan perlawanan kasasi
ke Mahkamah Agung. Sementara itu, apabila tidak menerima penetapan majelis
hakim yang berisi "negara tidak berwenang menuntut", maka dapat diajukan
perlawanan (verzet) ke Pengadilan Tinggi.
Dalam praktik, apabila jaksa penuntut umum mengajukan juga terdakwa
ke sidang pengadilan, maka setelah surat dakwaan dibacakan, terdakwa atau
penasihat hukumnya, kemudian mengajukan dan membacakan eksepsi perihal
adanya dasar peniadaan penuntutan ini, kemudian majelis hakim akan memeriksa
tentang kebenaran eksepsi, jika benar terbukti, majelis akan memutus bahwa
"tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima”.
Undang-undang (Bab III KUHP) menentukan tujuh dasar yang
menyebabkan tidak dapat dipidananya si pembuat ini, ialah:
1. Adanyaketidakmampuanbertanggungjawabsipembuat
(ontoerekeningsvatbaarbeid, pasal 44 ayat 1)
2. Adanya daya paksa (overmacht, pasal 48)
3. Adanya pembelaan terpaksa (noodweer, pasal 49 ayat 1)
4. Adanya pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodwerexes,pasal
49 ayat 2)
5. Karena sebab menjalankan perintah UU (Pasal 50)
6. Karena melaksanakan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 Ayat 1)
7. Karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan itikad baik
(Pasal 51 Ayat 2).
Menurut doktrin hukum pidana, tujuh hal penyebab tidak dipidananya si
pembuat tersebut dibedakan dan dikelompokkan menjadi dua dasar, yakni (1) atas
dasar pemaaf (schulduitsluitingsgronderi), yang bersifat subjektif dan melekat
pada diri orangnya, khususnya mengenai sikap batin sebelum atau pada saat akan
berbuat; dan (2) atas dasar pembenar (rechtsvaardingingsgronderi), yang bersifat
objektif dan melekat pada perbuatannya atau hal-hal lain di luar batin si pembuat.

33
Pada umumnya, pakar hukum memasukkan ke dalam dasar pemaaf yaitu:
4. Ketidakmampuan bertanggung jawab
5. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas
6. Hal menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan i'tikad baik.
Sementara itu, yang selebihnya, masuk ke dalam dasar pembenar, yaitu:
1. adanya daya paksa
2. adanya pembelaan terpaksa
3. sebab menjalankan perintah UU
4. sebab menjalankan perintah jabatan yang sah.
Tidak dipidananya si pembuat karena alasan pemaaf (fait d'excuse)
walaupun perbuatannya terbukti melanggar UU, yang artinya perbuatannya itu
tetap bersifat melawan hukum, namun karena hilang atau hapusnya kesalahan
pada diri si pembuat, perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan
(ontoerekeningsvatbaarheid) kepadanya. Dia dimaafkan atas perbuatannya
itu.Contohnya orang gila memukul orang lain sampai luka berat.
Berlainan dengan alasan pembenar, tidak dipidananya si pembuat, karena
perbuatan tersebut kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan. Walaupun
dalam kenyataannya perbuatan si pembuat telah memenuhi unsur tindak pidana,
tetapi karena hapusnya sifat melawan hukum pada perbuatan itu, si pembuatnya
tidak dapat dipidana. Contohnya, petinju yang bertanding di atas ring memukul
lawannya hingga luka-luka, bahkan hingga mati.
Walaupun Memorie van Toelichting (MvT) tidak secara tegas membedakan
antara dasar pemaaf dengan dasar pembenar seperti & atas, tapi pada dasarnya
juga membagi antara: (1) dasar peniadaan Pidana yang berasal dari dalam batin si
pembuat, yakni Pasal 44 ke-1; dan (2) dasar peniadaan pidana yang berasal dari
luar si pembuat, yakni Pasal 48, 49, 50 dan 51.

a. Tidak Dapat Dipertanggungjawabkan karena Jiwa Cacat dalam


Pertumbuhannya, dan Jiwa Terganggu karena Penyakit
Pasal 44 KUHP merumuskan:
Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat diper-
tanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam
pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

34
b. Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggung jawabkan
kepada pembuatnya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau
terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan
supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling
lama 1 tahun sebagai waktu percobaan.
c. Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung,
Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri. Dari norma yang
dirumuskan pada Ayat (1), jelas ada dua penyebab tidak
dipidananya karena tidak mampunya bertanggung jawabnya si
pembuat yang terbukti melakukan tindak pidana, yaitu:
Karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya
Karena terganggu jiwanya dari sebab penyakit.
Apakah yang dimaksud dengan tidak mampu bertanggung jawab?
Undang-undang sendiri tidak memberi keterangan yang lebih jelas tentang tidak
mampu bertanggung jawab. Di dalam MvT, ada keterangan mengenai
ketidakmampuan bertanggung jawab, yaitu:
a. apabila si pembuat tidak memiliki kebebasan untuk memilih antara
berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau
diperintahkan oleh undang-undang
apabila si pembuat berada dalam suatu keadaan yang
sedemikian rupa sehingga dia tidak dapat menginsyafi bahwa
perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat
menentukan akibat perbuatannya.
Pasal 44 Ayat (1) tidak merumuskan arti tidak mampu bertanggung
jawab, melainkan sekadar menyebut tentang dua macam keadaan jiwa orang yang
tidak mampu bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya.
Sementara itu, tidak dijelaskan mengenai kapan keadaan orang yang mampu
bertanggung jawab. Berpikir sebaliknya dari ketentuan Pasal 44 Ayat (1), dapat
disimpulkan bahwa orang mampu bertanggung jawab atas perbuatannya ialah bila
dalam berbuat itu, tidak terdapat dua keadaan sebagaimana diterangkan dalam
Pasal 44 Ayat (1) tersebut.
Alasan Undang-undang merumuskan mengenai pertanggung jawaban itu
secara negatif, artinya merumuskan tentang keadaan jiwa yang tidak mampu

35
bertanggung jawab dan bukan mengenai mampu bertanggung jawab, tidak lepas
dari sikap pembentuk UU yang menganggap bahwa setiap orang itu mampu
bertanggung jawab . Dengan berpijak pada prinsip itu, dalam rangka mencapai
keadilan dari vonis hakim, maka dalam hal kemampuan bertanggung jawab ini
dirumuskan secara negatif, ditentukan keadaan tertentu mengenai jiwa seseorang
yang tidak mampu bertanggung jawab agar tidak dipidana karena melakukan
perbuatan.
Dalam praktik hukum, sepanjang si pembuat tidak memperlihatkan
gejala-gejala kejiwaan abnormal, keadaan jiwa tidak dipermasalahkan.
Sebaliknya, ketika tampak gejala-gejala abnormal, gejala itu akan diselidiki
apakah gejala yang tampak itu benar dan merupakan alasan pemaaf sebagaimana
dimaksudkan oleh Pasal 44 (1).
Penyelidikan ini penting dalam rangka mencapai keadilan dari suatu
fonis hakim. Memidana si pembuat yang sebenarnya mengidap sesuatu kelainan
jiwa sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 44 (1) tersebut merupakan tindakan
yang tidak patut dan tidak adil. Dua keadaan jiwa sebagaimana disebut dalam
Pasal 44 (1) adalah keadaan jiwa sebagai penyebab tidak dapat
dipertanggungjawabannya atas semua perbuatannya. Dengan kata lain, keadaan
jiwa di situ berlaku untuk segala macam bentuk perbuatan.
Oleh karena fakta yang ada dan terungkap di persidangan baik
mengenai orang itu sendiri maupun perbuatannya beserta hal-hal lain sekitar per-
buatan, majelis hakim berhak menggunakan pendapatnya sendiri tanpa memakai
keterangan ahli, seorang ahli jiwa, dalam memutus tentang ada tidaknya kecacatan
jiwa dan penyakit jiwa yang mengganggu akalnya. Akan tetapi, oleh adanya
alasan bahwa hakim pada umumnya bukanlah ahli di bidang kejiwaan, maka
sewajarnya pendapat ahli jiwa itu dipertimbangkan untuk memperkuat
pendapatnya atau menjadi dasar pendapatnya. Ada tiga cara yang dapat digunakan
dalam rangka menyelidiki keadaan jiwa si pembuat untuk menentukan apakah si
pembuat berada dalam keadaan tidak mampu bertanggung jawab, yaitu:
c. dengan metode biologis, artinya dengan menyelidiki gejala-gejala
atau keadaan yang abnormal yang kemudian dihubungkan dengan
ketidakmampuan bertanggung jawab;
d. dengan metode psikologis, artinya dengan menyelidiki ciri-ciri

36
psikologis yang ada yang kemudian dari ciri-ciri itu dinilai untuk
menarik kesimpulan apakah orang itu mampu bertanggung jawab
ataukah tidak;
c. dengan metode gabungan, kedua cara tersebut di atas digunakan
secara bersama-sama. Di samping menyelidiki tentang gejala-gejala
abnormal juga dengan meneliti ciri-ciri psikologis orang itu untuk
menarik kesimpulan apakah dia mampu bertanggung jawab ataukah
tidak.
Cara yang sebaiknya digunakan majelis hakim menyelidiki untuk
memperoleh keyakinan yang objektif, artinya sesuainya antara keyakinan yang
terbentuk dengan kebenaran materiil (sesungguhnya) tentang keadaan jiwa si
pembuat itu, diserahkan pada masing-masing hakim.
Apabila terdapat keragu-raguan tentang keadaan jiwa si pembuat,
sebagian ahli hukum, misalnya JONKERS, berpendapat bahwa hakim tidak
diperkenankan menjatuhkan pidana . Akan tetapi, ada juga yang berpendapat lain,
misalnya POMPE, yang menyatakan hakim tetap menjatuhkan pidana. Alasannya
karena hal kemampuan bertanggung jawab pidana bukanlah merupakan bagian
inti (bestanddeel) dari tindak pidana, tapi tidak mampu bertanggung jawab itu
merupakan dasar peniadaan pidana. . Penulis lebih cenderung pada pendapat
Jonkers, karena apa bila ada keragu-raguan mengenai berbagai hal yang
menyangkut kesalahan terdakwa, keadaan keraguan itu harus menguntungkan
terdakwa, dan tidak boleh merugikan terdakwa.
Hal ini bersesuaian dengan hukum acara pidana. Dalam hukum acara
pidana, pembuktian oleh jaksa penuntut umum di sidang pengadilan diarahkan,
selain pada unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, juga untuk membentuk
keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa. Atas keyakinan yang dibentuk
berdasarkan alat bukti (dalam Pasal 183 KUHAP sekurang-kurangnya dua alat
bukti), barulah pidana dijatuhkan. Pidana dijatuhkan atas dasar minimal dua alat
bukti dan keyakinan tentang kesalahan terdakwa. Jadi jika ragu-ragu, yang artinya
tidak terbentuk keyakinan dari bukti-bukti yang ada, hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana.
Ketentuan ini merupakan asas minimal pembuktian, yang tidak boleh
dilanggar oleh hakim. Asas ini merupakan ciri dari sistem pembuktian dalam

37
hukum acara pidana kita yang menganut teori negatif, yang juga terdapat dalam
hukum acara pidana yang lama (HIR) pada Pasal 294 Ayat (1). Pasal 294 Ayat (1)
HIR ini menyatakan bahwa "tiada seorangpun boleh dikenakan hukuman,
kecualifika hakim dengan alat-alat bukti yang sah mendapatkan keyakinan, bahwa
suatu tindak pidana sungguh sudah dilakukan, dan babwa tertuduhlah yang
bersalah tentang hal itu".
Jiwa cacat dalam pertumbuhan adalah suatu cacat jiwa (abnormal) yang
melekat pada seseorang sejak kelahirannya, misalnya ambiciil, idiot, bisu tuli
sejak lahir dan lain sebagainya. Sementara itu, pada terganggu jiwanya karena
penyakit, keadaan jiwa yang abnormal itu dideritanya bukan sejak lahir,
melainkan setelah lahir, misalnya gila, epilepsi. Gangguan jiwa ini, baik fisik
maupun psikis, misalnya dalam arrest Hoge Raad menyatakan tidak dapat
dipertanggungjawabkan dalam kecelakaan mobil karena serangan diabetes
mendadak atau karena akibat terlambat dari obat tidur yang tidak terduga
Orang yang di bawah pengaruh hypnose dan dalam keadaan mabuk
tidur atau tidur sambil berjalan termasuk pula tidak dapat dipertanggungjawabkan
atas perbuatannya dan karenanya tidak dapat dipidana . Bagaimana dengan orang
dalam keadaan mabuk karena minuman keras? JONKERS mengatakan bahwa
apabila keadaan mabuk itu sedemikian rupa, dan ia kehilangan kesadaran sama
sekali, sehingga tidak memiliki kesengajaan maupun kelalaian, maka ia tidak
dapat dipertanggungjawabkan dan karenanya tidak dapat dipidana. Akan tetapi
apabila semula dengan sengaja membuat dirinya menjadi keadaan mabuk dengan
maksud melakukan tindak pidana, maka tidak masuk dalam pengertian tidak
mampu bertanggung jawab, karena di sini ada kesengajaan berbuat mabuk untuk
melakukan tindak pidana.
Dalam hal keadaan mabuk karena meminum minuman keras tidak perlu
disyaratkan sebelumnya ada kesengajaan untuk melakukan tindak pidana, agar
dapat dipidana. seperti pendapat JONKERS. Karena dalam hal mabuk dari
minuman keras atau juga dalam pengaruh obat bius (narkotika) seharusnya
digunakan asas culpa in causa, artinya orang yang tidak berhati-hati melakukan
suatu perbuatan yang berisiko, maka dia harus bertanggung jawab atas akibat dari
perbuatannya itu. Oleh sebab itu orang yang berpikir normal, dia sadar bahwa
minuman keras atau narkotika adalah sesuatu yang berisiko, yang apabila dia

38
melakukan juga (meminum keras atau menggunakan narkotika) maka dia tidak
boleh menggunakan dalil itu untuk tidak bertanggung jawab atas semua akibat
dari perbuatannya. Orang membunuh atau merusak barang karena pengaruh dari
minuman keras atau ketagihan obat tidak dapat dibebaskan dengan alasan tidak
ada kemampuan bertanggung jawab. Karena apabila dia termasuk orang normal,
maka sebelum dia meminum minuman keras atau menggunakan narkotika, sudah
disadarinya bahwa tingkah laku itu mempunyai risiko yang satu di antaranya
mundurnya daya pikir dan perasaan, yang dalam keadaan yang demikian tidak
dapat mengontrol perbuatan yang dilakukan.
Dalam hal terdapatnya keadaan jiwa yang cacat dalam pertum-
buhannya atau keadaan jiwa yang terganggu karena penyakit, hakim dapat
memutus dengan menjatuhkan tindakan (maatregel) dengan memerintahkan si
pembuat untuk dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa paling lama satu tahun
sebagai waktu percobaan, sebagaimana ketentuan Ayat 2 Pasal 44. Tindakan
bukanlah suatu pidana walaupun dapat dirasakan sebagai pengekangan kebebasan
bergerak seperti pada pidana penjara atau pidana kurungan. Pembolehan
menjatuhkan tindakan dimaksudkan selain untuk menolong kesembuhannya juga
di dalamnya ada sifat preventif atas'kemungkinan bahaya-bahaya yang
ditimbulkannya terhadap masyarakat.

c. Daya Paksa (Overmacht) dan macam-macamnya)


Dasar peniadaan pidana karena adanya daya paksa (overmacht)
dirumuskan dalam Pasal 48 KUHP yang menyatakan "Niet straafbaar is hij
dieeen feit begaat waartoe hij door overmacht is gedrongen", Yang
artinyabarangsiapa yang melakukan perbuatan karena Pengaruh daya paksa tidak
dipidana.
Pada umumnya pakar hukum lebih banyak menggunakan istilah daya
paksa untuk menerjemahkan istilah overmacht. Namun ada juga Pakar hukum
yang menggunakan istilah lain, seperti Surjanatamihardja dengan "berat lawan"
atau Jusuf Ismail dengan kalimat yang agak Panjang yakni "terpaksa oleh sesuatu
kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan" atau "hal memaksa" "kekuatan yang
tidak dapat dihindarkan "paksaan yang menimbulkan keadaan tak berdaya .
Undang-undang tidak memberikan keterangan lebih jauh tentang daya

39
paksa. Dalam Memorie van Toelichting (MvT), ada sedikit keterangan mengenai
daya paksa yang mengatakan sebagai "setiap kekuatan, setiap dorongan, setiap
paksaan yang tidak dapat dilawan"
Sebagaimana istilah-istilah lainnya dalam MvT yang selalu singkat
tidaklah cukup untuk menggambarkan arti yang sebenarnya. Harus dicari dalam
doktrin hukum pidana dan yurisprudensi. Doktrin hukum dan yurisprudensi juga
merupakan sumber hukum. Memang banyak istilah yang ada dalam KUHP tanpa
penjelasan lebih jauh dalam pasal-pasalnya, tetapi dikembangkan oleh para pakar
dalam doktrin hukum pidana dan berbagai yurisprudensi. Oleh karena itu,
mempelajari hukum pidana tidaklah cukup hanya dengan mempelajari teks
rumusan dalam Undang-undang, tetapi juga harus mempelajari doktrin hukum.
Doktrin hukum selain menjadi dasar perhatian dan pijakan dalam merumuskan
norma hukum pidana, juga menjadi tempat atau sumber pengembangan hukum
pidana.
Dari keterangan dalam MvT tentang daya paksa, dapatlah diketahui
bahwa daya paksa dapat terjadi karena tekanan psychis dan tekanan fisik. Istilah
dorongan (gedrongen) menunjuk pada tekanan psychis, dan paksaan (dwang)
menunjuk pada tekanan yang bersifat fisik . Namun, orang tidak mengetahui dasar
penghapus pidana tersebut apakah terletak/melekat pada perbuatannya atau pada
si pembuatnya, salah satu hal yang penting dalam keadaan daya paksa ini.
Sebagaimana di bagian muka penulis memasukkan overmacht sebagai dasar
peniadaan pidana adalah terletak pada perbuatannya, dan bukan pada si
pembuatnya, karena itu menjadi alasan/dasar pembenar.
Walaupun perbuatannya pada kenyataannya memenuhi rumusan
larangan dalam Undang-undang, tetapi hapus sifat tercelanya/ melawan hukumnya
perbuatan, maka si pembuat tidak dapat dipidana, dia mendapatkan alasan
pembenar untuk berbuat demikian. Oleh karena itu dalam hal untuk menetapkan
adanya daya paksa, tidaklah amat penting bagaimana keadaan batin si pembuat
ketika melakukan suatu perbuatan yang nyata-nyata dalam Undang-undang
dilarang. Tetapi yang penting bagaimana secara objektif apakah seseorang itu
benar-benar terpaksa berbuat oleh karena adanya tekanan atau paksaan dari luar
dirinya yang sedemikian kuatnya sehingga ia tidak bebas lagi untuk berbuat yang
lain.

40
Walaupun merumuskan batasan atau definisi tidak menjamin bahwa
dengan rumusan itu akan tercakup pengertian yang sempurna tentang keadaan
daya paksa, namun ada faedahnya juga, ialah sebagai pegangan dalam kita
mempelajarinya. Berdasarkan sedikit keterangan dalam MvT tadi, daya paksa
dapat dirumuskan sebagai "suatu keadaan memaksa baik sifatnya fisik maupun
psychis yang sedemikian kuatnya menekan seseorang yang tidak dapat
dihindarinya sehingga orang itu terpaksa melakukan suatu perbuatan yang pada
kenyataannya dilarang undang-undang".
Dalam keadaan yang lain tanpa ada tekanan seperti itu dia tidak akan
berbuat demikian. Ada hubungan causal (causal verband) yang sangat erat antara
kekuatan paksaan (psychis atau fisik) tadi terhadap perbuatan yang dilakukan.
Contohnya seorang yang dipaksa dengan todongan pistol dengan ancaman
uibunuh oleh orang lain untuk menandatangani surat palsu yang telah disiapkan.
Todongan pistol adalah suatu tekanan yang demikian kuat dan tidak dapat dia
hindari (penyebab) sehingga dia tidak berdaya untuk melawannya yang memaksa
dia menandatangani surat palsu telah disiapkan tadi (akibat).

C . Macam Daya Paksa

Dalam doktrin hukum dapat dibedakan antara 2 macam daya paksa, ialah:
d. daya paksa absolut (vis obsoluta),
e. daya paksa relatif (vis compulsiva).
Apabila dilihat dari segi dari mana asalnya tekanan dan paksaan itu, maka
masing-masing bentuk daya paksa tersebut di atas (vis ab-soluta dan
viscompulsiva) dapat dibedakan lagi antara:
a. daya paksa dari sebab perbuatan manusia,
b. daya paksa dari sebab di luar perbuatan manusia, ialah sebab
alam atau binatang.
Apabila dilihat dari sifatnya tekanan dan paksaan, maka baik vis obsoluta
maupun vis compulsiva dapat dibedakan antara:
3. daya paksa oleh sebab tekanan yang bersifat pisik, dan
4. daya paksa oleh sebab tekanan yang bersifat psychis.
Daya paksa absolut (baik yang disebabkan oleh perbuatan manusia

41
maupun alam, baik yang bersifat fisik maupun yang bersifat psychis), adalah suatu
keadaan di mana paksaan dan tekanan yang sedemi-kian kuatnya pada diri
seseorang, sehingga ia tidak dapat lagi berbuat sesuatu yang lain selain apa yang
terpaksa dilakukan atau apa yang terjadi.
3. Contoh daya paksa absolut yang berupa paksaan fisik (oleh perbuatan
manusia), ialah seorang yang kuat menerjang seorang anak yang berdiri dekat
kaca, membuat anak itu terpental dan mengenai kaca dan pecahlah kaca itu.
4. Contoh daya paksa absolut oleh adanya paksaan psychis dari perbuatan
manusia, seorang yang berada dalam keadaan dihipnotis diperintah oleh
hypnotiseur untuk berbuat membakar sebuah mobil milik musuhnya.
3. Contoh daya paksa absolut karena alam ialah seseorang dipangil sebagai
ahli untuk memberikan keterangan di sidang pengadilan pidana, tidak dapat hadir
karena pada saat sebelum berangkat hendak memenuhi panggilan itu rumahnya
disambar petir dan dia tak sadarkan diri (koma) akibat luka bakar yang
dideritanya.
Tiga contoh daya paksa absolut tersebut di atas bukanlah contoh dari
pengertian yang sebenarnya tentang keadaan daya paksa sebagaimana yang
dimaksud oleh Pasal 48, karena pada dasarnya kedua contoh yang pertama bahwa
orang itu adalah sebagai alat (instrument) belaka yang tidak bisa berbuat lain,
bukan dia yang berbuat tapi si kuat yang menerjang seorang anak, dan si
hypnotiseur yang menghypnose. Apabila dilihat dari ketentuan Pasal 55 Ayat (1)
butir ke-1 KUHP, maka anak yang terpental tadi dan mengenai kaca dan pecah,
atau orang yang membakar karena dalam keadaan dihypnose adalah sebagai alat
(manus minestra) belaka dari orang-orang itu, yang sesungguhnya si pembuatnya
adalah si kuat yang menerjang dan ahli yang menghypnose tadi.
Dalam hal ini anak dan si pembakar dalam keadaan dihypnose tadi pada
dasarnya adalah korban, dan bukan si pembuat pecahnya kaca dan si pembakar
sebuah mobil. Dalam contoh ini, tidak dipidananya orang-orang ini bukan karena
daya paksa oleh sebab ketentuan Pasal 48, melainkan dia sebagai manus ministra
atau yang dipakai alat bagi orang lain melakukan tindak pidana, dan oleh
karenanya mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan atas peristiwa itu.
Sedangkan si pembuatnya (middelijke dadef) adalah orang yang menerjang si
anak dan si hypnotiseur itu sendiri, mereka lrii yang dipertanggungjawabkan dan

42
dipidana sebagai doen plegen atau manus domina.
Begitu juga contoh daya paksa absolut karena alam tadi, adalah bukan
contoh dalam pengertian daya paksa yang dimaksud Pasal 48, karena dia pada
dasarnya secara mutlak tidak terdapat pilihan lainnya sekecil apa pun berhubung
dalam keadaan tidak berdaya mutlak karena dalam keadaan koma akibat disambar
petir.
Sedangkan daya paksa yang dimaksud oleh Pasal 48 adalah daya paksa
relatif baik yang bersifat fisik maupun yang bersifat psychis, baik yang karena
perbuatan manusia maupun yang bukan karena perbuatan manusia. Daya paksa
relatif yang bersifat fisik disebut dengan noodtoestand atau keadaan darurat, suatu
daya paksa yang disebabkan oleh alam . Daya paksa relatif seba-gaimana yang
dimaksud oleh Pasal 48 adalah suatu paksaan yang sedemikian rupa menekan
seseorang sehingga ia berada dalam suatu keadaan yang serba salah, suatu
keadaan mana memaksa dia mengambil suatu sikap dan berbuat yang pada
kenyataannya melanggar Undang-undang, yang bagi setiap orang normal tidak
akan mengambil sikap dan berbuat lain berhubung dengan risiko dari pilihan
perbuatan lain itu lebih besar terhadap dirinya. Mengorbankan kepentingan
hukum yang lebih kecil demi untuk melindungi atau mempertahankan ke-
pentingan hukum yang lebih besar, inilah prinsip dari daya paksa menurut arti
Pasal 48.
Perbedaan daya paksa relatif dengan daya paksa absolut, pada dasarnya
terletak pada ada tidaknya alternatif perbuatan yang dapat dipilih. Apabila
keadaan paksa itu sedemikian rupa kuatnya sehingga orang itu sepenuhnya
(mutlak) tidak berdaya, artinya perbuatan atau kejadian itu timbul oleh sebab yang
sama sekali tidak dapat dikuasainya, atau tiada alternatif lain, selain harus dan
mutlak terwujudnya suatu perbuatan tertentu yang pada kenyataannya dilarang
Undang-undang.
Sebagaimana pada contoh di atas, anak yang diterjang oleh si kuat yang
mengenai kaca dan pecah, anak itu mutlak tidak dapat mengambil pilihan lain
selain terpelanting dan mengenai kaca di dekatnya dan pecah. Atau seorang ahli
yang disambar petir sehingga terbakar dan dalam keadaan koma, tidak dapat
berbuat lain, selain tidak menghadiri sidang pengadilan sebagaimana kewajiban
hukumnya untuk mem-berikan keterangan ahli.

43
Sedangkan pada daya paksa relatif, apabila tekanan itu sedemikian kuatnya
sehingga ia berada dalam keadaan yang mengharuskan dia mengambil sikap dan
berbuat tertentu yang pada kenyataannya melanggar Undang-undang, tetapi
disamping perbuatan yang telah dilakukannya itu ada pilihan perbuatan lain
sebagai alternatifnya, namun perbuatan terakhir ini tidak mungkin dipilihnya
berhubung risiko dari perbuatan lain itu adalah lebih besar atau sangat besar, yang
menurut akal pikiran orang pada umumnya akan selalu menghindari risiko itu.
Contoh di atas tadi, dimana seorang ditodong untuk menandatangani surat palsu
yang telah disiapkan. Orang ini memang ada pilihan untuk berbuat lain in casu
tidak menandatangani akta, namun pilihan perbuatan ini menurut akal orang
normal pada umumnya tidak akan dipilihnya mengingat risiko yang sangat besar
yang menurut akal bahwa setiap orang akan menghindari risiko kematian.
Bahwa kriteria tertentu yang dapat digunakan dalam menentukan terhadap
pilihan perbuatan itu menjadi pilihan yang dibenarkan sehingga merupakan daya
paksa relatif, ialah pada risiko dari pilihan perbuatan lain itu harus seimbang atau
lebih di atas risiko dari perbuatan yang dipilihnya, atau seperti yang dikatakan
WIRJONO PRO-DJODIKORO bahwa "Apabila kepentingan yang dikorbankan
sebagai lebih berat daripada kepentingan yang diselamatkan, maka tidak ada hal
yang memaksa (overmacht) dan si pelaku harus dihukum. Apabila kepentingan
yang dikorbankan, hanya sedikit lebih berat daripada kepentingan yang
diselamatkan atau apabila dua kepentingan itu sama beratnya, maka ada hal yang
memaksa dan si pelaku tidak kena hukuman-pidana" .
Ukuran seimbang dan atau lebih yang dimaksud itu adalah terletak pada
akal orang pada umumnya. Jadi di sini terdapat ukuran objektif yang sekaligus
subjektif. Ukuran subjektif yakni terletak Pada akal manusia, sedangkan ukuran
objektif ialah bagi orang normal Pada umumnya. Ukuran subjektif dan objektif ini
haruslah digunakan secara bersama (subjektif yang diobjektifkan atau objec-
weerd). Tidak boleh subjektif saja misalnya hanya terletak pada akal Perasaan
sipembuat, tetapi harus pada (akal pikiran) bagi semua orang. Hakimlah yang
berwenang menilai dan menentukan telah dipenuhinya syarat subjektif maupun
objektif tersebut, dan dia harus mampu menangkap tentang akal pikiran bagi
semua orang terhadap risiko atas suatu pilihan perbuatan tertentu berdasarkan akal
budi yang dimilikinya.

44
Risiko dari menandatangani surat palsu tadi jauh lebih ringan daripada
risiko apabila ia memilih tidak menandatanganinya ialah suatu risiko kematian
(secara subjektif mengenai hal itu adalah menurut akal manusia) pasti
dihindarinya, dan secara objektif manusia pada umumnya akan menghindari
kematian daripada risiko melanggar Undang-undang dan dipidana karena
menandatangani akta palsu, dan siapapun orang yang normal dimuka bumi ini
dipastikan akan menghindari risiko kematian. Inilah alasan pembenar dari pilihan
menandatangani surat palsu tersebut.
Apabila risiko perbuatan lain yang bukan pilihannya lebih kecil, maka di
sini tidak ada daya paksa relatif yang dimaksudkan Pasal 48. Contohnya apabila
orang dipaksa untuk membunuh orang lain de-ngan ancaman akan ditempeleng
(ancaman kekerasan) saja, tidaklah cukup menj'adi alasan pembenar jika orang itu
benar-benar melakukan pembunuhan.
Mahkamah Agung RI dalam pertimbangan hukum dari suatu putusannya
(Nomor.121K/Kr/1960, tanggal 30-5-1961) menyatakan bahwa "Keberatan yang
diajukan oleh terdakwa bahwa pelanggaran itu (mengangkut penumpang lebih
dari maksimum), dikarenakan terpaksa dan terdorong oleh rasa pribadinya, yakni
setelah mengangkut penumpang maksimum yang terdiri dari orang-orang biasa, ia
membolehkan seorang anggota tentara naik, tentara mana toh tentara negaranya
yang ia kenal bertugas di daerah itu dan tentara itu juga tidak dipungut bayaran
tidak dapat diberhantikan karena keberatan tersebut bukanlah dorongan yang
bersandar pada "rasa pribadi penuntut kasasi" dan merupakan "paksaan",
termaksud dalam Pasal 48 KUHP, sehingga perbuatan terdakwa. tetap merupakan
tindak pidana."
Pertimbangan hukum putusan MA tersebut menggambarkan tentang risiko
dari pilihan yang diambil (menaikkan penumpang melebihi batas yang
diperkenankan) yang pada kenyataannya melanggar Undang-undang itu lebih
besar (yakni dapat menimbulkan kecelakaan) daripada risiko dari pilihan
perbuatan lain-tidak menaikkan penumpang melebihi batas yang diperkenankan
(karena sifatnya hanya pribadi berupa perasaan tidak enak atau sungkan belaka).
Bahwa mengenai apa yang diterangkan di atas, kiranya senada dengan apa
yang dikemukakan oleh Hoge Raad dalam arrestnya tahun-1951 yang
menyatakan bahwa: "overmacht terdapat bilamana paksaan itu menjadi begitu

45
kuat dan dijalankan terhadap suatu kepentingan tertentu, sehingga dari pembuat
tidak dapat diharapkan mengadakan suatu perlawanan, yaitu apabila jalan keluar
lain tidak terbuka atau pelanggaran terhadapnya secara patut dapat diharapkan dan
selanjutnya, jikalau dalam menyelamatkan kepentingan sendiri tidak
menghasilkan korban yang lebih besar.
"Kalimat terakhir” dalam menyelamatkan kepentingan sendiri tidak
menghasilkan korban yang lebih besar" mengandung arti bahwa perbuatan apa
yang menj'adi pilihannya (membubuhkan tanda tangan di atas akta palsu)
risikonya lebih kecil (yakni pidana karena melanggar Undang-undang dari pada
apabila dia memilih perbuatan lain (tidak menandatangani akta palsu), yaitu
kematian. Dari contoh ini dapat terlihat bahwa kepentingan hukum yang dilanggar
(dari pemalsuan akta) adalah lebih kecil daripada kepentingan hukum yang
diselamatkan (ialah dari bahaya kematian).
Daya paksa relatif bisa terjadi karena perbuatan manusia dan karena di luar
perbuatan manusia. Contoh di atas tadi adalah contoh dari daya paksa relatif
karena perbuatan manusia. Contoh daya paksa tadi sebab binatang misalnya
seorang yang dikejar anjing, karena takut akan digigit ia lari masuk rumah orang
lain tanpa izin atau kehendak si pemilik atau yang berhak. Daya paksa oleh sebab
alam contoh di mana orang beramai-ramai merobohkan sebuah rumah yang
letaknya bersebelahan dengan rumah yang sedang terbakar dengan maksud agar
api tidak menjalar ke rumah lain-lainnya di sebuah kampung.
Dalam contoh ini tampak kepentingan hukum yang dilanggar (yakni
keberadaan satu rumah hak milik orang lain) lebih kecil dari pada kepentingan
hukum yang diselamatkan (rumah-rumah yang lain menjadi diselamatkan dari
kebakaran).
Dikejar anjing adalah penyebab daya paksa dari binatang yang menjadi
alasan pembenar bagi perbuatan masuk rumah orang tanpa izin yang berhak. Dari
contoh ini pun tampak bahwa kepentingan hukum yang dilanggar (masuk rumah
orang tanpa hak) lebih kecil dari-pada kepentingan hukum yang diselamatkan
(dari gigitan anjing).

d.Keadaan Darurat (Noodtoestand)


Di atas tadi telah diterangkan bahwa noodtoestand atau keadaan darurat

46
adalah suatu daya paksa relatif dari sebab di luar perbuatan manusia, jadi bagian
dari daya paksa relatif. Namun menurut JONKERS keadaan darurat itu adalah
berdiri sendiri, di mana daya paksa menurut beliau adalah:
• daya paksa absolut,
• daya paksa relatif
(3)keadaan darurat( noodtoestand) .
Noodtoestand atau keadaan darurat adalah suatu keadaan di mana
suatukepentingan hukum terancam bahaya, yang untuk menghindari ancaman
bahaya itu terpaksa dilakukan perbuatan yang pada kenyataannya melanggar
kepentingan hukum yang lain. Contohnya untuk menolong anak kecil yang
terperangkap api dalam sebuah rumah yang sedang terbakar (kepentingan hukum
atas keselamatan anak itu sedang terancam), maka seorang merusak sebuah pintu
rumah (melanggar kepentingan hukum atas hak milik orang) untuk menolong
anak itu.
Dalam doktrin hukum bentuk noodtoestand itu ada 3 (tiga) macam, dengan
kata lain keadaan darurat itu dapat terjadi dalam 3 hal, ialah:
a. dalam hal terjadi pertentangan antara dua kepentingan hukum
(rechtsbelang);
b. dalam hal terjadi pertentangan antara kewajiban hukum
(rechtsplicht) dengan kepentingan hukum;
c. dalam hal terjadinya pertentangan antara dua kewajiban hukum;

ad.a Pertentangan Antara Dua Kepentingan Hukum


Apabila terjadi suatu keadaan di mana terjadi konflik antara dua
kepentingan hukum yang saling berhadapan, di mana tidak dapat memenuhi
semua kepentingan hukum yang saling bertentangan itu sekaligus, melainkan
dengan terpaksa harus mengorbankan salah satu dari kepentingan hukum itu,
maka pihak yang terpaksa mengorbankan atau melanggar kepentingan hukum
yang lain tersebut tidak dapat dipidana.
Tentang keadaan ini, kiranya sangat tepat contoh klasik yang diberikan
oleh CICERO di dalam bukunya "Republica et de officio" yang menunjuk tulisan
filosof Yunani yang bernama KARNEADES, oleh karena itu, contoh ini disebut
dengan "papan dari Karneades" sebagai berikut. Ketika terjadi kecelakaan laut
yakni karamnya sebuah kapal, ada dua orang penumpang yang dalarn usahanya
47
hendak menyelamatkan nyawanya berpegang pada sebuah papan, yang papan
mana hanya dapat menahan satu orang saja. Apabila kedua orang itu tetap
berpegang pada papan, maka kedua-dua orang itu akan tenggelam dan mati. Maka
dalam usaha untuk menyelamatkan diri dari ancaman kematian (mempertahankan
kepentingan hukumnya untuk tetap hidup), maka seorang di antaranya mendorong
orang lain yang juga sedang berpegang pada papan itu (melanggar kepentingan
hukum atas keselamatan nyawa orang lain), dan karena dorongan yang kuat itu
maka terlepaslah pegangannya dari papan tersebut dan matilah dia.
Dari contoh itu, walaupun perbuatan orang mendorong temannya yang
sedang berpegang tadi, pada kenyataannya adalah memenuhi unsur pasal 338
(pembunuhan), namun dalam pandangan hokum perbuatan itu kehilangan sifat
melawan hukumnya, dan dapatlah dimaklumi dalam usaha seseorang untuk
mempertahankan kepen-tingan hukum atas kehidupan. Kiranya setiap orang yang
mengalami suatu keadaan sebagaimana yang dialami oleh orang itu, akan berbuat
yang serupa dengan dia. Di sinilah letak dasar tidak dipidananya orang yang
melakukan perbuatan mendorong orang lain tadi.

ad.b. Pertentangan Antara Kewajiban Hukum dengan Kepentingan Hukum


Apabila terdapat suatu keadaan di mana seseorang hendak melaksanakan
kewajiban hukumnya namun pada saat yang bersamaan dia harus menegakkan
kepentingan hukumnya sendiri, maka bilamana dia memilih perbuatan untuk
menegakkan kepentingan hukumnya sendiri dengan melanggar kewajiban
hukumnya yang pada kenyataannya melanggar undang-undang, maka dia tidak
dapat dipidana.
Contohnya seorang dokter ahli forensik yang diminta oleh Pengadilan
Negeri, untuk memberikan keterangan ahli tentang sebab kematian seorang
korban dalam sidang perkara pidana, pada saat yang sama dia menderita luka-luka
karena kecelakaan lalu lintas, yang dalam keadaan ini dokter memilih melanggar
kewajiban hukumnya dengan tidak memenuhi permintaan pengadilan, karena dia
lebih mementingkan menegakkan kepentingan hukumnya dengan beristirahat di
rumah demi segera menyembuhkan luka-lukanya. Walaupun pada kenyataannya
dengan tidak memenuhi panggilan pengadilan itu telah melanggar Pasal 224
KUHP, tetapi dia tidak dapat dipidana berhubung adanya keadaan darurat (dia

48
menderita luka-luka dari sebab kecelakaan).

Ad.c Pertentangan Antara Dua Kewajiban Hukum


Apabila suatu keadaan di mana seseorang diwajibkan untuk menjalankan
dua kewajiban hukum sekaligus dalam waktu yang bersamaan, yang terang tidak
dapat dilakukannya, dan kemudian dia dilaksanakan salah satu saja dari kewajiban
hukumnya itu, maka atas pelanggaran kewajiban hukum yang lain yang pada
kenyataannya melanggar Undang-undang tidaklah boleh dipidana.
Contohnya, seorang dokter pada saat yang sama dia harus menjalankan
pekerjaan operasi seseorang karena kecelakaan yang tidak ada dokter lain yang
dapat melakukannya, yang ketika itu ia juga dipanggil pengadilan untuk
memberikan keterangan ahli dalam perkara pidana, dia memilih menjalankan
pekerjaan kemanusiaan dengan melakukan pekerjaan operasi pasien itu, dan
mengabaikan kewajiban hukum lainnya yakni untuk memberikan keterangan ahli,
tidak dapat dipidana melanggar Pasal 522 KUHP.
Tiga macam bentuk noodtoestand dalam praktik dipertahankan, misalnya
dalam putusan Mahkamah Agung tanggal 2-7-1969 No. 117 K/ Kr/1968, yang
dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sebagai berikut: "Menimbang, bahwa
keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena ditinjau dari sudut
formele maupun materieele wederrechtelijkheid kejahatan-kejahatan yang
telahdilakukan adalah wederrechtelijk dan tidak terdapat hal-hal yang merupakan
apa yang disebut strafuitsluittingsgronden, tegasnya tidak ada noodtoestand
seperti yang didalilkan oleh penuntut kasasi sebab tidak terdapat:
1. Pertentangan antara dua kepentingan hukum;
2. Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum;
3. Pertentangan antara dua kewajiban hukum".

d. Pembelaan Terpaksa (Noodweer),macam-macamdan syarat-


syaratnya
Perihal pembelaan terpaksa (noodweer) dirumuskan dalam Pasal 49 Ayat
(1) KUHP sebagai berikut:
"Tidak dipidana, barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa
untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta

49
benda sendiri maupun orang lain, karena adanya se-rangan atau
ancaman serangan yang melawan hukum pada ketika itu juga."
Dari rumusan di atas lebih sempurna daripada rumusan tentang overmacht
(Pasal 48) yang telah dibicarakan di muka. Dari rumusan Pasal 49 Ayat (1)
tersebut dapat disimpulkan mengenai dua hal, yaitu:
1) unsur mengenai syarat adanya pembelaan terpaksa, dan
2) unsur dalam hal apa (macamnya) pembelaan terpaksa.
(1) unsur syarat mengenai adanya pembelaan terpaksa ialah:
 Pembelaan terpaksa harus dilakukan karena sangat terpaksa;

 Untuk mengatasi adanya serangan atau ancaman serangan
seketika yang bersifat melawan hukum;

 Serangan atau ancaman serangan mana ditujukan pada 3 (tiga)
kepentingan hukum, ialah kepentingan hukum atas: badan,
kehormatan kesusilaan dan harta benda sendiri atau orang lain;

 Harus dilakukan ketika adanya ancaman serangan dan
berlangsungnya serangan atau bahaya masih mengancam;

 Perbuatan pembelaan harus seimbang dengan serangan yang
mengancam.

(2) Sedangkan dalam hal apa pembelaan terpaksa dapat dilakukan,
ialah:
 dalam hal untuk membela dirinya sendiri atau diri orang lain,
artinya juga ialah serangan itu bersifat dan ditujukan pada fisik
atau badan manusia;

 dalam hal untuk membela kehormatan kesusilaan, artinya ialah
serangan itu tertuju pada kehormatan kesusilaan; dan

 dalam hal untuk membela harta benda sendiri atau harta benda
orang lain, artinya ialah serangan itu tertuju pada harta milik
atau kebendaan.
Perbuatan orang yang memenuhi unsur-unsur Pasal 49 Ayat (1) tersebut di
atas, pada kenyataannya memenuhi rumusan tindak pidana tertentu, bisa
penganiayaan (351) misalnya berwujud memukul seorang pria yang sedang
berusaha memperkosa seorang perempuan, bahkan bisa berwujud pembunuhan
(338), misalnya polisi menembak mati seorang perampok di sebuah bank yang

50
dengan menggunakan senjata api telah memberondong petugas yang hendak
menangkapnya dengan tembakan yang dapat mematikan. Akan tetapi dengan
dasar pembelaan terpaksa, perbuatan yang pada kenyataannya bertentangan
dengan undang-undang itu telah kehilangan sifat melawan hukum, oleh sebab itu
kepada pembuatnya tidak dipidana. Di sini ada alasan pembenar.
Perbuatan yang masuk dalam pembelaan terpaksa ini pada dasarnya adalah
tindakan menghakimi terhadap orang yang berbuat melawan hukum terhadap diri
orang itu atau orang lain (eigenrichting). Tindakan eigenrichting dilarang oleh
undang-undang, tapi dalam hal pembelaan terpaksa seolah-olah suatu
•eigenrichting yang diperkenankan oleh undang-undang, berhubung dalam hal
serangan seketika yang melawan hukum ini, negara tidak mampu/tidak dapat
berbuat banyak untuk melindungi penduduk negara, maka orang yang menerima
serangan seketika yang melawan hukum diperkenankan melakukan perbuatan
sepanjang memenuhi syarat-syarat untuk melindungi kepentingan hukum
(recbtsbelang) sendiri atau kepentingan hukum orang lain. Penyerangan
yangmelawan hukum seketika itu melahirkan hukum darurat yang membolehkan
si korban melindungi dan mempertahankan kepentingan hukumnya atau
kepentingan hukum orang lain olehnya sendiri. Inilah dasar filosofi dari lembaga
pembelaan terpaksa.
Macam Pembelaan Terpaksa
Seperti di atas telah diterangkan bahwa pembelaan terpaksa dapat
dilakukan dalam 3 hal saja, yaitu:
a) dalam hal untuk membela dirinya sendiri atau diri orang lain
terhadap serangan yang bersifat fisik (lift),
b) dalam hal membela kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) diri
sendiri atau orang lain; dan
c) dalam hal pembelaan harta benda (goed) sendiri atau orang lain.
Dalam hal untuk membela diri, adalah terhadap serangan fisik oleh orang
lain, sebagaimana contoh di atas. Terhadap serangan yang boleh dilakukan
perbuatan pembelaan terpaksa, hanyalah serangan oleh perbuatan (fisik, aktif)
manusia, dan tidak dibenarkan oleh binatang, misalnya dikejar anjing, kemudian
anjingnya dibunuh. Sebabnya ialah binatang bukan subjek hukum, dan tidak
tunduk pada hukum, oleh karenanya binatang tidak dapat berbuat menyerang

51
manusia dengan melawan hukum. Jika serangan anjing itu sudah demikian
kerasnya misalnya dengan menggigit dengan mengoyak-ngoyak bagian tubuh
seseorang, dia tidak melakukan pembelaan terpaksa melainkan dapat melakukan
perbuatan karena daya paksa (overmachf) misalnya dengan menembak mati
(membunuh) anjing itu dan dia tidak dipidana melakukan perbuatan itu.
Dalam hal kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) adalah kesusilaan yang
berkaitan erat dengan masalah seksual, misalnya laki-laki hidung belang meraba
buah dada seorang perempuan yang duduk di sebelahnya di sebuah taman, maka
dibenarkan apabila ketika serangan berlangsung memukul tangan laki-laki itu.
Tetapi sudah tidak lagi masuk pembelaan terpaksa, apabila laki-laki itu setelah
pergi, kemudian perempuan itu mengejarnya dan memukulnya, karena bahaya
yang mengancam telah berakhir. Dalam hal pembelaan terhadap harta benda, ialah
terhadap benda-benda yang bergerak dan berwujud dan yang melekat hak
kebendaan, sama dengan pengertian benda pada pencurian pasal 362 KUHP

Syarat Pembelaan Terpaksa


Suatu perbuatan masuk sebagai pembelaan terpaksa, apabila perbuatan itu
dilakukan:
a) karena terpaksa/sifatnya terpaksa;
b) yang dilakukan ketika timbulnya ancaman serangan dan ber-
langsungnya serangan;
c) untuk mengatasi adanya ancaman serangan atau serangan yang
bersifat melawan hukum;
d) yang harus seimbang dengan serangan yang mengancam;
e) pembelaan terpaksa itu hanya terbatas dalam hal mempertahan-
kan 3 (tiga) macam kepentingan hukum, ialah:
1. kepentingan hukum atas diri (artinya badan atau fisik);
2. kepentingan hukum mengenai kehormatan kesusilaan;
3. kepentingan hukum mengenai kebendaan.
Kelima syarat itu adalah suatu kebulatan yang tidak terpisahkan, dan
berketerkaitan satu dengan yang lain yang sangat erat. Mengenai syarat yang
pertama, harus diartikan ialah perbuatan yang dilakukan untuk mengatasi
serangan yang mengancam itu benar-benar sangat terpaksa, artinya tidak ada

52
alternatif perbuatan lain yang dapat dilakukan dalam keadaan mendesak ketika
ada ancaman serangan dan atau serangan sedang mengancam. Apabila seorang
dengan memegang golok mengancam akan melukai atau membunuh orang lain,
maka dalam hal ini apabila menurut akal masih memungkinkan untuk lari, maka
orang yang terancam itu harus lari.
Apabila menurut akal orang pada umumnya, kemungkinan lari itu ada,
misalnya diukur dari jarak yang jauh, tetapi tidak dia gunakan, melainkan
menunggu sampai si pengancam mendekat, dan setelah dekat lalu mendahului
membacok si penyerang, maka di sini tidak ada pembelaan terpaksa. Tetapi
apabila menurut akal dalam kondisi tertentu dia mungkin dapat mengambil pilihan
lari, atau sudah mengambil pilihan lari tetapi juga masih dikejarnya, maka di sini
ada keadaan yang terpaksa. Perbuatan lari menghindari serangan yang
mengancam adalah alternatif pilihan yang harus digunakan, apabila kesempatan
itu memang ada.
Pembelaan terpaksa hanya dilakukan dalam hal memang terpaksa, artinya
jika tidak ada pilihan perbuatan lain dalam usaha membela dan mempertahankan
kepentingan hukumnya yang terancam. Tetapi apabila pilihan perbuatan lari itu
telah dilakukannya, dan tetap dikejar dengan golok yang terhunus, dan pada saat
yang tepat dan menguntungkan orang itu berbalik dengan mengang-kat sebuah
batu besar atau mengambil sepotong besi atau kayu di dekatnya dan dipukulkan
pada si penyerang, kena kepalanya dan ambruk tak berdaya, maka di sini terdapat
pembelaan terpaksa.
Pada syarat kedua ialah adanya "serangan" atau "ancaman serangan"
ketika itu. Di sini ada dua unsur, yakni (a) adanya serangan dan (b) adanya
ancaman serangan. Mengenai syarat kedua ini KUHP kita berbeda dengan WvS
Belanda. Menurut WvS Belanda Pasal 41 syarat kedua ini hanya disebut
"ogenblikkelijke aanranding" yang diterj'emahkan dengan serangan tiba-tiba atau
serangan sedangkan KUHP kita selain disebutkan ogenblikkelijke aanranding
juga disebutkan atau ditambahkan "onmiddelijke drei-gende" yang diterjemahkan
oleh Satochid Kartanegara dengan "mengancam langsung" atau oleh Moeljatno
dengan "ancaman serangan".
Ada perbedaan prinsip antara serangan dan ancaman serangan dalam
hubungannya dengan perbuatan pembelaan terpaksa. Kapan boleh dilakukan

53
perbuatan pembelaan terpaksa pada adanya serangan dikatakan "pada ketika itu"
(ogenblikkelijke), ini artinya pembelaan terpaksa itu boleh dilakukan ialah
dalamjarak waktu sejak dimulainya serangan dengan diwujudkannya perbuatan
pembelaan terpaksa tidak lama. Begitu seseorang mengetahui adanya serangan,
seketika itu dia mengadakan pembelaan terpaksa dengan kata lain pembelaan
terpaksa itu dilakukan dalam waktu berlangsungnya serangan atau bahaya
serangan sedang mengancam.
Berbeda dengan "ancaman serangan" seperti dalam Pasal 49 Ayat (1)
KUHP kita, dalam arti pembolehan pembelaan terpaksa itu dimaklukan lagi,
bukan saja pada saat serangan sedang berlangsung, akan tetapi sudah boleh
dilakukan cukup pada saat adanya ancaman serangan, artinya serangan itu secara
objektif belum diwujudkan, baru adanya ancaman serangan. Misalnya seseorang
baru mengeluarkan pisau (memaksa meminta uang), maka yang dipaksa sudah
boleh memukul orang itu. Kesempatan untuk melakukan pembelaan yang
diperluas sampai pada ketika serangan hendak dimulai ini, sangat menguntungkan
bagi korban serangan untuk mempertahankan kepentingan hukumnya. Oleh
karena dia tidak perlu sampai menunggu benar-benar serangan secara objektif
telah diwujudkan, tetapi baru akan dimulai saja sudahlah cukup. Hal ini memberi
peluang yang lebih banyak bagi setiap orang untuk melakukan pembelaan
terhadap kepentingan hukumnya sendiri atau orang lain yang terancam, tanpa
menunggu bekerjanya kekuasaan negara.
Ditambahkannya perkataan "ancaman serangan" pada Pasal 49 Ayat (1)
KUHP kita itu berhubung dengan pertimbangan bahwa wilayah Hindia Belanda
(kini Indonesia) yang begitu luas, sedangkan aparat negara ketika itu sangat
terbatas tidaklah cukup untuk melakukan pengawasan dan perlindungan kepada
semua penduduk yang begitu banyak, maka negara memberikan keleluasaan yang
lebih besar kepada setiap orang untuk menjaga kepentingan hukumnya sendiri-
sendiri.
Jika KUHP kita menyebutkan adanya ancaman serangan atau serangan,
yang artinya orang sudah boleh melakukan pembelaan terpaksa sejak
timbulnya/adanya ancaman serangan, pada saat serangan berlangsung sampai
berakhirnya bahaya serangan. Tentang berakhirnya serangan haruslah diartikan
secara luas, jangan diartikan jika secara fisik tidak ada serangan lagi. Oleh sebab

54
objek serangan itu adalah suatu kepentingan hukum (kepentingan hukum tubuh,
kehormatan kesusilaan dan harta benda), maka selama masih memungkinan dapat
mempertahankan kepentingan hukum secara langsung.
Mengenai asas keseimbangan tidak dipersoalkan lagi, dalam praktik selalu
menjadi ukuran bagi hakim untuk menetapkan ada tidaknya pembelaan terpaksa.
Contohnya, Mahkamah Agung dalam pertim-bangan suatu putusannya (No. 89
K/Sip/1968, 9-10-1969) menyatakan bahwa "Membela diri dengan jalan
menembak mati si penyerang bukanlah cara yang dimaksud oleh Pasal 49 KUHP
karena Mahkamah Agung in casu tidak mendapatkan keseimbangan antara
serangan yang dilakukan oleh si korban yang mengganggu ketenangan rumah
tangga terdakwa, ialah memanjat tiang rumah dari istri terdakwa dan memasukkan
separuh badannya ke dalam rumah itu serta membuka dua keping papan lantai
dapur untuk masuk ke rumah dan selanjutnya memanggil istri terdakwa dengan
tindakan terdakwa yang menamakan pembelaan, ialah dengan sekonyong-
konyong melepaskan tembakan dan membunuh penyerang tersebut, bukankah
untuk menghalau serangan yang dilakukan oleh si korban itu dapat dilakukan
jalan lain yang lebih ringan daripada pembunuhan, misalnya dengan menegor
dahulu si korban tersebut dengan permintaan untuk meninggalkan rumah istri
terdakwa."
Sejalan dengan asas keseimbangan seperti yang dibicarakan diatas,
lembaga pembelaan terpaksa juga menganut asas "subsidiariteit", artinya untuk
mempertahankan kepentingan hukumnya yang terancam pembelaan itu harus
mengambil upaya yang paling ringan akibatnya pada orang lain in casu si
penyerang, yang paling ringan mana sudahlah cukup untuk melindungi
kepentingan hukum yang terancam oleh adanya serangan atau ancaman serangan
oleh orang lain itu.
Dalam hubungan antara upaya yang terpaksa dilakukan untuk
mempertahankan kepentingan hukumnya ini dengan sikap batin si pembela
terpaksa adalah sangat erat. Artinya maksud orang yang menggunakan upaya
pembelaan terpaksa ditujukan untuk mempertahankan kepentingan hukumnya itu
saja, tidak diperkenankan melebihinya. Sebagaimana pada contoh di atas,
dibacoknya si penyerang harus sekadar dengan maksud nyawanya selamat. Jadi
apabila si penyerang cukup dilumpuhkan dengan satu bacokan saja, dengan satu

55
bacokan sudah dapat dipastikan nyawanya selamat, misalnya si oenyerang telah
ambruk, maka tidak diperkenankan membacok berikutnya sampai mati. Jika
dilakukan juga, maka pada bacokan berikutnya tidak lagi terjadi pembelaan
terpaksa, dan dia harus bertanggung jawab pada bacokan berikutnya itu.
Mengenai syarat kelima, sebagaimana di atas telah diterangkan, adalah
menyangkut macam atau bidang apa yang boleh dilakukan pembelaan terpaksa,
ialah bidang-bidang: badan/fisik, kehormatan kesusilaan (seks) dan bidang harta
benda. Di luar bidang-bidang itu tidak dapat dilakukan pembelaan terpaksa,
misalnya kehormatan nama baik atau penghinaan. Oleh karena mengenai hal ini di
atas tadi telah diterangkan secara cukup, maka tidak perlu diulang lagi di sini.

e. Perbedaan Daya Paksa (Overmacht) dengan Pembelaan Terpaksa


(Noodweer)
Jika dilihat dari segi serangan yang bersifat melawan hukum dalam
hubungannya dengan akibat terpaksanya orang lain yang diserang itu melakukan
suatu perbuatan tertentu, maka terdapat perbedaan antara pembelaan terpaksa
dengan daya paksa. Perbedaan itu ialah:

Pada daya paksa


 Daya paksa terjadi apabila perbuatan yang menjadi pilihan oleh
orang yang diserang (korban) adalah berupa perbuatan yang
memang dimaksudkan dan diinginkan si penyerang. Misalnya,
dengan todongan pistol seseorang memaksa orang lain untuk
menandatangani akta palsu ,kemudian korban
menandatanganinya.

 Di sini orang yang diserang terpaksa melakukan perbuatan yang
in casu dikendaki si penyerang, karena dia tidak berdaya
untukmelawan serangan yang memaksa itu. Tidaklah ditentukan
bidang kepentingan hukum apa dalam hal penyerangan yang
dapat dilakukan perbuatan dalam keadaan daya paksa.

 Pada daya paksa dapat terjadi dalam hal keadaan darurat, yaitu
terjadi dalam hal konflik antara dua kepentingan hukum, konflik
antara dua kewajiban hukum dan konflik antara kewajiban

56
hukum dengan kepentingan hukum.

Pada pembelaan terpaksa


Adalah sebaliknya, ialah:
 Perbuatan yang menjadi pilihan orang yang diserang adalah
berupa perbuatan yang tidak menjadi tujuan atau maksud si
penyerang. Misalnya si majikan, laki-laki hidung belang sedang
berusaha memperkosa pembantu rumah tangganya dengan telah
menindihi tubuh perempuan itu, kepergok oleh suaminya dan
dengan kuat sang suami menendang kepala majikannya itu.
Pilihan perbuatan suami pembantu berupa menendang kepala
majikannya itu, adalah suatu pilihan perbuatan yang tidak
dihekendaki oleh sang majikan.

 Pada pembelaan terpaksa, orang yang melakukan pembelaan
terpaksa ada kemampuan berbuat untuk melawan serangan oleh
si penyerang;

 Pada pembelaan terpaksa hanya dapat dilakukan terhadap se-
ranganserangan yang bersifat melawan hukum dalam tiga
bidang, ialah: tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda.

 Pembelaan terpaksa tidak dapat terjadi dalam keadaan darurat.


f. Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas (Noodweer Exces)
Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces) dirumuskan
dalam Pasal 49 Ayat (2), yang rumusannya adalah: Pembelaan terpaksa yang
melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat
karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Dari perkataan "pembelaan terpaksa" dalam kalimat "pembelaan
melampaui batas" sudah dapat dimengerti bahwa pada pembelaaan terpaksa yang
melampaui batas ini ada bagian yang sama dengan pembelaan terpaksa pasal 49
ayat (1). Persamaannya ialah:
 Pada kedua-duanya ada serangan atau ancaman serangan yang
melawan hukum, yang ditujukan pada tiga kepentingan hukum
(tubuh, kehormatan kesusilaan dan harta benda). Juga pada kedua-

57
duanya, melakukan perbuatan pembelaan memang dalam keadaan
yang terpaksa (noodzakelijk) dalam usaha untuk mem-pertahankan
dan melindungi suatu kepentingan hukum yang terancam bahaya
oleh serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum.
 Pada kedua-dua pembelaan itu ditujukan untuk mempertahankan
dan melindungi kepentingan hukum (rechtsbelang) diri sendiri atau
kepentingan hukum orang lain, Sedangkan perbedaannya ialah:
1. bahwa perbuatan apa yang dilakukan sebagai wujud pembelaan
terpaksa haruslah perbuatan yang seimbang dengan bahaya dari
serangan atau ancaman serangan, perbuatannya haruslah sepanjang
perlu dalam hal pembelaan terpaksa, tidak diperkenankan melampaui
dari apa yang diperlukan dalam pembelaan itu. Tetapi pada
pembelaan terpaksa yang melampaui batas, ialah perbuatan apa yang
menjadi pilihannya sudah melebihi dari apa yang diperlukan dalam
hal pembelaan atas kepentingan hukumnya yang terancam, yang
artinya pilihan perbuatan itu sudah tidak seimbang dengan bahaya
yang ditimbulkan oleh adanya serangan atau ancaman serangan.
Misalnya seorang menyerang lawannya dengan pecahan botol, yang
sebenarnya dapat dilawan dengan sepotong kayu (noodweer), tetapi
karena kegoncangan jiwa yang hebat dilawan dengan menembaknya
(noodweer exces).
2. bahwa dalam hal pembelaan terpaksa, perbuatan pembelaan hanya
dapat dilakukan pada ketika adanya ancaman serangan atau serangan
sedang berlangsung, dan tidak boleh dilakukan setelah serangan
terhenti atau tidak ada lagi. Tetapi pada pembelaan terpaksa yang
melampaui batas, perbuatan pembelaan itu masih boleh dilakukan
sesudah serangan terhenti.
3. tidak dipidananya si pembuat pembelaan terpaksa oleh karena
kehilangan sifat melawan hukum pada perbuatannya, jadi merupakan
alasan pembenar. Dasar peniadaan pidana karena pembelaan
terpaksa terletak pada perbuatannya. Sedangkan tidak dipidananya si
pembuat pembelaan terpaksa yang melampaui batas oleh karena
adanya alasan penghapus kesalahan pada diri si pembuat, jadi

58
merupakan alasan pemaaf. Dasar tidak dipidananya si pembuat
dalam pembelaan yang melampaui batas terletak pada diri orangnya,
dan bukan pada perbuatannya. Apa yang dimaksud dengan
melampaui batas adalah:
1). melampaui batas apa yang perlu,
2), boleh dilakukan walaupun serangan telah tiada. Keistimewaan ini
pada dasarnya merupakan pengecualian dari pembelaan darurat pada
ayat pertama, yang terletak pada kegoncangan jiwa yang hebat
(hevige gemoedsbeweging).
Serangan atau ancaman serangan dapat berpengaruh terhadap alam batin
bagi orang lain atau orang yang diserang, pengaruh batin mana bisa berwujud rasa
marah yang memuncak, rasa sangat jengkel, rasa sangat ketakutan, rasa bingung
yang hebat dan lain-lainnya, yang dalam keadaan ini dapat dimaklumi dan
dimengerti oleh semua orang, apabila orang itu melakukan perbuatan yang
melebihi dari sepanjang yang perlu untuk pembelaan atas serangan atau ancaman
serangan terhadapnya.
Dalam keadaan kegoncangan jiwa yang hebat itu, orang tidak dapat dan
tidak sempat memikirku. upaya lain yang lebih layak dan seimbang dengan
serangan, pembelaan itu tampak seperti gerakan spontan. Misalnya seorang
pencopet yang lari terbirit-birit, diteriaki maling dan dikejar serta dipukuli ramai-
ramai oleh puluhan orang, karena rasa ketakutan akan mati terbunuh, maka dia
meng-ambil kayu didekatnya dan memukulkan ke arah pengejar yang terdekat,
kena muka dan pecah salah satu biji matanya. (luka berat). Si pencopet ini tidak
dapat dipidana atas perbuatannya itu, karena dia melakukannya dalam rangka
pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Akan tetapi dia tetap dapat dituntut
dan dipidana karena perbuatannya melakukan pencurian (mencopet) tadi.
Dalam contoh di atas, orang-orang yang mengejar dan memukuli pencopet
tadi bukanlah termasuk pembelaan terpaksa, karena serangan sebetulnya telah
terhenti ketika pencopet itu telah selesai mencopet korban dan melarikan diri. Para
pengejar dan pengeroyok juga tidak dapat mendasarkan diri pada pembelaan
terpaksa yang melampaui batas, oleh karena tidak ada alasan rasional (masuk
akal) yang menyebabkan kegoncangan jiwa yang hebat oleh adanya perbuatan
mencopet.

59
Contoh lain yang sangat tepat diberikan oleh SCHRAVENDIJK sebagai
berikut. Seorang laki-laki secara diam-diam masuk kamar tidur seorang gadis
dengan maksud hendak bersetubuh dengan dia. Pada saat laki-laki tersebut
meraba-raba tubuh si gadis, terbangunlah dia. Dalam situasi yang demikian
terjadilah goncangan jiwa antara amarah, bingung dan ketakutan yang hebat
sehingga dia lupa berteriak minta tolong kepada penghuni lainnya, dengan tiba-
tiba gadis itu mengambil pisau didekatnya dan ditikamnya laki-laki itu . Dalam
contoh ini tikaman pisau oleh si gadis telah melampaui apa yang Perlu dari
serangan laki-laki berupa meraba-raba tubuh si gadis.
Oleh sebab adanya kegoncangan jiwa yang hebat inilah, maka pakar
hukum memasukkan noodweer exces ini kedalam alasan pemaaf {fait d'excuse)
karena menghapuskan unsur kesalahan pada si pembuat, yang berbeda dengan
noodweer sebagai alasan pembenar yang menghilangkan sifat
tercelanyaperbuatan.
Dl dalam rumusan Pasal 49 Ayat (2) dapat disimpulkan penyebab
goncangan jiwa yang hebat itu ialah oleh adanya serangan atau ancaman serangan
yang melawan hukum terhadap kepentingan hukumnya. Jadi di sini ada hubungan
kausal (causal verband) antara serangan atau ancaman serangan dengan
kegoncangan jiwa yang hebat. Serangan atau ancaman serangan yang bagaimana
atau apa ukuran serangan atau ancaman serangan yang langsung dapat menjadi
penyebab kegoncangan jiwa yang hebat itu.
Tidaklah dapat ditentukan secara umum, melainkan berdasarkan kasus
peristiwanya, apakah dari peristiwa konkret itu menurut akal dan pengalaman
orang pada umumnya dapat langsung menimbulkan kegoncangan jiwa yang hebat
ataukah tidak? Jadi di sini bersifat kasuistis. Kegoncangan jiwa yang hebat harus
dilihat pada akal pikiran orang pada umumnya dalam kasus konkret tertentu.
Apabila menurut akal pikiran orang normal pada umumnya serangan atau
ancaman serangan itu dapat menimbulkan kegoncangan jiwa yang hebat, maka di
situ terdapat kegoncangan jiwa yang hebat.
Sedangkan kapan pembelaan terpaksa yang melampaui batas itu dapat
dilakukan, ialah sepanjang jiwa tersebut masih dalam kegoncangan yang hebat,
walaupun serangan itu telah berakhir. Tetapi tidaklah dapat dilakukan apabila
ancaman serangan itu belum ada sama sekali, misalnya seorang takut akan

60
diserang, maka dia menyerang duluarsa. Hal ini ternyata dalam suatu
pertimbangan dari suatu arrest H.R 1932 yang menyatakan bahwa "seorang yang
takut akan diserang ia belum diperkenankan untuk menyerang dabulu

g. Menjalankan Perintah Undang-undang (Weffelijk Voorschrift)


Dasar peniadaan pidana karena menjalankan perintah undang-undang
(wettelijk voorschrift) dirumuskan dalam Pasal 50 yang berbunyi:
"Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan
undang-undang tidak dipidana".
Dari rumusan yang singkat itu, ada beberapa yang perlu diterangkan ialah:
1) Tentang apa yang dimaksud dengan ketentuan undang-undang;
2) Tentang apa yang dimaksud dengan perbuatan; dan
3) Tentang apa yang dimaksud melaksanakan ketentuan undang-
undang.
Mengenai persoalan yang pertama, dalam praktik, pada mulanya ketentuan
undang-undang itu diartikan undang-undang dalam arti sempit atau arti formal
belaka seperti dalam arrest Hoge Raad tanggal 27-6-1887 yang mengartikan
sebagai peraturan yang dibuat oleh raja dan Staten General berikut ketentuan
hukum dalam Algemene Maat-regel van Bestuur dan peraturan sebagai pelengkap
undang-undang secara keseluruhan atau diperintahkan oleh undang-undang . Jadi
peraturan perundang-undangan dalam arti formal ini terbatas pada peraturan dari
undang-undang negara dan peraturan-peraturan yang diperintahkan oleh undang-
undang negara.
Kemudian pengertian itu berubah ke arah pengertian luas atau pengertian
materiil, sebagaimana dalam arrest Hoge Raad berikutnya (26-6-1899) yang
dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa peraturan perundang-
undangan (wettelijk voorschrift) adalah semua peraturan-peraturan yang dibuat
oleh kekuasaan yang berwenang untuk maksud tersebut menurut undang-undang"
. Jadi dalam pengertian luas di sini adalah peraturan undang-undang yang dibuat
oleh Parlemen (DPR) bersama pemerinta, dan termasuk segala peraturan yang ada
dibawahnya, seperti Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Daerah, karena
semua peraturan ltu dibentuk oleh kekuasaan yang berdasarkan undang-undang.
Mengenai hal yang kedua, tentang perbuatan, yang dimaksudkan itu

61
adalah perbuatan mana yang pada dasarnya jika tidak ada undang-undang yang
memberi kewenangan untuk melakukannya adalah berupa satu tindak pidana.
Contohnya Polisi yang telah memenuhi syarat-syarat dan prosedurnya melakukan
penangkapan seorang tersangka dan menahannya, yang jika tidak ada ketentuan
peraturan undang-undang yang memberi kewenangannya adalah berupa tindak
pidana.
Sedangkan mengenai hal yang ketiga, ialah tentang apa yang dimaksud
melaksanakan perintah peraturan undang-undang. Se-benarnya Pasal 50 ini
berlebihan, mengingat bahwa segala apa yang telah diberikan kewenangan atau
diperintahkan oleh suatu peraturan undang-undang, tidaklah mungkin diancam
dengan pidana atau berupa tindak pidana menurut ketentuan undang-undang yang
lain. Ketentuan Pasal 50 pada dasarnya bukan sekadar mengenai melaksanakan
perbuatan yang sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang
saja, akan tetapi termasuk juga segala perbuatan-perbuatan yang dilakukan
berdasarkan wewenang yang diberikan oleh undang-undang itu.
Hoge Raad dalam pertimbangan suatu arrestnya tahun 28-10-
1895menyatakan bahwa "menjalankan undang-undang tidak hanya terbatas pada
melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh undang-undang, akan tetapi lebib
luas lagi, ialah meliputipula perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas wewenang
yang diberikan oleh suatu undang-undang .
Sebetulnya pasal ini ditujukan untuk mengantisipasi bagi perbuatan-
perbuatan yang dilakukan berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-
undang, dan bukan perbuatan yang diberikan kewenangannya oleh undang-
undang. Karena perbuatan yang menjadi wewenang berdasarkan undang-undang
tidaklah mungkin diancam pidana berdasarkan undang-undang yang lain.
Mengenai hal ini telah diterangkan oleh Hoge Raad dalam pertimbangan suatu
putusannya tahun 26-6-1911 yang menyatakan bahwa "untuk menjalankan aturan-
aturan undang-undang seorang Pegawai Negeri diperkenankan mempergunakan
segala alat yang diberikan kepadanya untuk mematahkan perlawanan".
Contohnya, undang-undang telah memberikan kewenangan pada penyidik untuk
melakukan penangkapan dan penahanan terhadap seorang tersangka (Pasal 16 ke-
2 dan Pasal 20 Ayat ke-1 KUHAP) dengan memenuhi prosedur dan svarat-syarat
yang juga ditetapkan, misalnya dengan surat perintah (Pasal 18 Ayat ke-1 dan

62
Pasal 21 Ayat ke-2).
Dalam melaksanakan kewenangan yang diperintahkan dan diberikan oleh
undang-undang itu, penyidik dapat melakukan wujud/bentuk perbuatan tertentu
misalnya memukul bahkan menembak untuk melumpuhkan sepanjang diper-
lukan. Perbuatan memukul dan menembak inilah yang termasuk yang.
dimaksudkan oleh Pasal 50, dan sama sekali bukan perbuatan menangkap dan
menahan, oleh karena kewenangan berbuat menangkap dan menahan yang telah
ditentukan oleh suatu undang in casu KUHAP tidaklah mungkin diancam pidana
menurut undang-undang yang lain in casu KUHP. Perbuatan menangkap dan
menahan berdasarkan Pasal 16 dan 20 KUHAP di atas memang bukan
pelanggaran Pasal 333 KUHP, karena unsur melawan hukum dalam perbuatan itu
(menangkap dan menahan) tidak ada, unsur melawan hukum di sini disebabkan
oleh 2 (dua) hal, ialah adanya/diberinya kewenangan oleh undang-undang dan
prosedurnya menurut undang-undang juga telah terpenuhi.
Tetapi menjadi melawan hukum apabila salah satu dari syarat itu tidak
ada, misalnya tanpa surat perintah yang sah. Bahwa perbuatan apa yang boleh
dilakukan itu ada batasnya, tidaklah boleh melakukan semau-maunya perbuatan,
melainkan haruslah sepanjang memang diperlukan, seimbang dan layak untuk
dilakukan demi pelaksanaan kewenangan yang diberikan undang-undang tersebut.
Misalnya apabila tersangka menepis tangan penyidik ketika ia hendak diborgol
dalam upaya penangkapan, tidaklah perlu ia ditembak.
. Penembakan sungguh tidak layak di sini, dan penembakan ini bukan lagi
termasuk pengertian menjalankan perintah peraturan undang-undang sebagaimana
dimaksud Pasal 50. Tetapi apabila tersangka ini melarikan diri dalam semak
belukar, maka masih dianggap Patut jika ditembak kakinya untuk melumpuhkan,
sebabnya (alasan kelayakannya) ialah tugas penangkapan dapat menjadi gagal
apabila dilakukan upaya pelumpuhan dengan menembak. Didalam semak belukar
adalah suatu tempat yang tepat untuk melarikan diri dan atau melepaskan diri dari
bahaya penangkapan berdasarkan undang-undang.

h. Menjalankan Perintah Jabatan (Ambtelijk Bevel)

Mengenai dasar peniadaan karena menjalankan perintah

63
jabatan(ambetelijk bevel) dirumuskan dalam Pasal 51 Ayat (1) yang bunyinya:
"Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah
jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
Ketentuan ini sama dengan alasan peniadaan pidana oleh sebab
menjalankan peraturan perundang-undangan (Pasal 50) yang telah diterangkan di
atas, dalam arti pada kedua-duanya dasar peniadaan pidana itu menghapuskan
sifat melawan hukumnya perbuatan. Juga dimaksudkan pada kedua-duanya adalah
berupa perbuatan yang boleh dilakukan sepanjang menjalankan kewenangan
berdasarkan perintah undang-undang maupun perintah jabatan.
Perbedaannya ialah pada perintah jabatan ada hubungan publik antara
orang yang memberi perintah dan orang yang diberi perintah yang in casu
melakukan suatu perbuatan tertentu. Kewenangan pada menjalankan perintah
jabatan adalah pada perintah yang diberikan berdasarkan undang-undang (sah).
Sedangkan pada menjalankan perintah undang-undang keabsahan menjalankan
perintah itu ada pada undang-undangnya. Contoh menjalankan perintah jabatan
yang dimaksud, ialah seorang penyelidik mendapat perintah dari penyidik untuk
menangkap seorang tersangka (Pasal 16 Ayat (1) KUHAP).
Antara penyelidik dan penyidik ada hubungan publik yang berdasarkan
undang-undang, hubungan inilah yang memberi dasar bagi penyelidik boleh
melakukan perbuatan sepanjang perlu dan layak dalam upaya menjalankan
perintah jabatan itu, misalnya dengan kekerasan memaksa memborgol terhadap si
tersangka yang tidak menurut dan melawan, dan jika perlu dan layak dapat
melumpuhkan dengan tembakan, ini bakan pada kakinya apabila yang
bersangkutan menggunakan atau melawan penyelidik yang hendak menjalankan
tugas penangkapan tersebut.

I. Menjalankan Perintah Jabatan yang Tidak Sah dengan Iktikad Baik


Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah (een onbevoegd
ambtelijkbevel) dengan itikad baik sebagai dasar peniadaan pidana, dirumuskan
pada Pasal51 Ayat (2) yang bunyinya adalah "Perintah jabatan tanpa wewenang,
tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali apabila yang menerima perintah,.
dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang, dan
pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya". Sejalan dengan

64
pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces), pada menjalankan
perintah jabatan tanpa wewenang/tidak sah dengan itikad baik (te goeder trouw)
ini, mengenai apa yang dilakukan itu pada dasarnya adalah terlarang oleh undang-
undang, namun karena sesuatu hal yang menjadi alasan luar biasa, maka
perbuatan itu menjadi tidak dipidana. Tidak dipidananya si pembuat karena alasan
noodweer exces terletak pada kegoncangan jiwa yang hebat, tetapi
padapelaksanaan perintah tanpa wewenang adalah pada "itikad baik" dan
"pelaksanaan dari apa yang menjadi isi perintah itu adalah memang menjadi tugas
pekerjaannya."
Dari apa yang dirumuskan pada Pasal 51 Ayat (2) itu, ada syarat yang
wajib dipenuhi agar orang yang menjalankan perintah yang tidak sah dengan tidak
itikad baik itu tidak dipidana, ialah syarat subjektif dan syarat objektif yang
bersifat kumulatif – imperative diataranya:
1. Syarat subjektif, ialah dengan itikad baik dia mengira bahwa perintah itu
adalah sah;
2. Syarat objektif, ialah pada kenyataannya pelaksanaan perintah itu masuk
dalam bidang tugas pekerjaannya.

Syarat Subjektif
Syarat ini terletak pada sikap batin si penerima perintah, ialah dia mengira
bahwa perintah itu sah adanya. Alasan sikap batin yang demikian haruslah
didasarkan pada hal-hal yang masuk akal, dan oleh karena itu ada faktor-faktor
rasional dan masuk akal yang menyebabkan baginya (bahkan setiap orang dalam
kedudukan dan keadaan yang demikian), dapat mengira bahwa perintah itu adalah
sah. Pengiraan sah di sini adalah memerlukan dua syarat, ialah:
1.seorang orang (pejabat) yang memberikan perintah itu disadarinya
adalah benar yang berhak,
2. mengenai apa yang menjadi isi perintah itu disadarinya memang masuk
dalam ruang lingkup kewenangan yang memberi perintah.
Contoh seorang penyidik menurut Pasal 16 Ayat (1) KUHAP berwenang
memberi perintah pada penyidik pembantu untuk melakukan penangkapan. Pasal
16 Ayat (1) ini memuat dua syarat itu, ialah (pertama), penyidik adalah pejabat
yang berwenang memberi perintah pada penyidik pembantu, dan (kedua), isi

65
perintah itu adalah hal penangkapan. Andaikata perintah penangkapan itu
ditujukan pa-da orang yang telah diketahui penyidik bukan orang boleh ditangkap,
tetapi adalah orang yang dibenci dan perlu dibikin malu dan sengsara, apabila dua
syarat telah dipenuhi, maka penyidik pembantu menjadi masuk akal apabila dia
membela dirinya dengan beri'tikad baik dalam menjalankan perintah itu dan dia
tidak dipidana.
Sikap batin "mengira perintah yang sah" adalah harus ditujukan pada
kedua faktor di atas itu. Tidak sahnya perintah ada dua kemungkinan, ialah:
(1) orang yang memberi perintah secara objektif bukanlah orang yang
berwenang,
(2) apa yang menjadi isi perintah itu adalah tidak benar atau palsu,
sebagaimana contoh di atas.

Syarat Objektif

Syarat kedua yang berupa isinya perintah harus menjadi bidang


pelaksanaan tugasnya, adalah berupa hubungan antara jabatannya dan tugas suatu
jabatan. Pada jabatan-jabatan publik terdapat tugas jabatan tertentu baik
merupakan pelaksanaan hak jabatan dan atau pelaksanaan kewajiban jabatan.
Misalnya pejabat penyidik pembantu, atas dasar perintah penyidik dia berwenang
melakukan penangkapan, yang sekaligus berupa kewajiban untuk melaksanakan
perintah itu, ini adalah masuk dalam ruang lingkup dari pekerjaan dalam
jabatannya. Andaikata si penyidik memerintahkan pada penyidik pembantu untuk
memukuli tersangka yang tidak memberikan keterangan yang berisi pengakuan,
lalu perintah itu dilaksanakan. Maka perbuatan penyidik pembantu ini sudah
berada di luar ruang lingkup pekerjaan dalam jabatannya, dan dia bertanggung
jawab sepenuhnya atas penyiksaan itu.
Persoalan lain mengenai macam perintah, ialah apakah harus dalam bentuk
konkret tertentu, misalnya formal tertulis ataukah termasuk juga yang tidak
konkret? Dalam persoalan ini ada arrest Hoge Raad pada tahun 7-12-1899 yang
dalam pertimbangan hukumnya menya-takan bahwa "Pasal 51 ini tidak perlu
mengenai perintah konkret tetapi juga termasuk instruksi umum" Contoh di atas
adalah mengenai hal isinya perintah yang tidak wajib bagi si penerima perintah

66
untuk melaksanakannya.
Dapat pula terjadi ketidakwajiban melaksanakan isi perintah itu adalah
terletak pada tidak berkedudukan atau tidak ada hubungan jabatan antara yang
memberi perintah dan yang menerima perintah, seperti contoh Komandan Rayon
Militer (Danramil) memerintahkan pada Kepala polisi Lalu Lintas untuk menahan
SIM dari anggota TNI yang melanggar lalu lintas dijalan raya. Maka dalam
kejadian ini, polisi itu tidak wajib melaksanakan perintah itu.
Rasio dari adanya syarat subjektif dan objektif bagi alasan peniadaan
pidana dalam hal pelaksanaan perintah tanpa wewenang dengan baik ini, ialah
pembentuk undang-undang tidak menghendaki pelaksanaan suatu perintah jabatan
dengan tanpa pikir atau membabi buta atau yang disebut oleh Moeljatno dengan
disiplin bingkai atau kadaver disiplin atau apa yang oleh masyarakat disebut
dengan disiplin mati. Undang-undang mencela pelaksanaan perintah jabatan
secara disiplin mati. Oleh sebab itu si penerima perintah jabatan ada kewajiban
hukum untuk menilai setidak-tidaknya menggunakan akal untuk melakukan
perkiraan tentang hal apa atau isi yang diperintahkan dan siapa yang
memerintahkan.
Ketentuan Pasal 50 Ayat (2) merupakan suatu bentuk tanggung jawab
pengganti yang bersyarat. Prinsip umum pertanggungan jawab dalam hukum
pidana adalah pribadi (individu), siapa yang mewujudkan tingkah lakunya yang
pada kenyataannya dilarang undang-undang, dialah yang bertanggung jawab.
Pada ketentuan Pasal 50 Ayat (2) ada bentuk yang berbeda, seperti pada bentuk
pelaku penyuruh (doen plegen) dari Pasal 55 Ayat (1) butir 1 KUHP, di mana
pada kenyataannya si pembuat materiil tidak bertanggung jawab mengenai apa
yang dilakukannya.
Oleh adanya alasan "tidak mengetahui" bahwa perintah itu tidak sah
dengan i'tikad baik, maka tidak dipidananya orang yang melaksanakan perintah
jabatan yang tidak sah dengan itikad baik ini adalah masuk pada alasan pemaaf.
Pada perbuatan yang pada kenyataannya melanggar undang-undang tetap bersifat
melawan hukum, hanya pada si pembuatnya kehilangan/hapus unsur
kesalahannya.

67
B. Alasan Peniadaan Pidana Khusus
Keadaan jiwa cacat dalam pertumbuhannya dan keadaan jiwa yang
terganggu karena penyakit (Pasal 44 Ayat 1); keadaan daya paksa (48); pembelaan
darurat (49 ayat ke-1) dan pembelaan darurat yang melampaui batas (49 ayat ke-
2); menj'alankan perintah undang-undang (50 ayat ke-1); melaksanakan perintah
jabatan (51 ayat ke-1) dan melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah dengan
itikad baik (51 ayat ke-2) yang telah dibicarakan di muka, adalah berupa dasar
peni-adaan pidana yang bersifat umum, artinya berlaku untuk segala tindak
pidana.
Selain itu ada dasar peniadaan pidana yang bersifat khusus
(biizonderestrafutislutingronderi), ialah hanya berlaku pada tindak oidana khusus
tertentu,yang tersebar dalam beberapa pasal, misalnya Pasal: 163 bis Ayat (2), 166
juncto 164 dan 165, 221 (2), 310 (3). Pasal 163 bis Ayat (1) ialah melarang orang
yang dengan menggunakan cara seperti yang tercantum dalam Pasal 55 Ayat (1)
ke-2 mencoba menggerakkan orang lain untuk melakukan kejahatan, diancam
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau denda paling banyak tiga
ratus rupiah, jika kejahatan itu tidak terjadi atau percobaannya tidak terjadi.
Akan tetapi ayat ke-2 pasal itu menentukan tentang "alasan peniadaan
pidana yang khusus", ialah tidak dipidana pada si pembuat (in casu atau
penganjur) apabila tidak terjadinya kejahatan atau percobaannya itu disebabkan
atas kehendak si pembuat sendiri,' misalnya sebelum orang yang dianjurkan
melaksanakan sesuai dengan apa yang dianjurkan, dia - pelaku penganjur menarik
penganjurannya. Tidak dipidananya si pembuat (penganjur) yang mengundurkan
diri secara suka-rela ini oleh karena hapusnya kesalahan pada diri si pembuat, jadi
termasuk alasan pemaaf.
Pada Pasal 164 dirumuskan suatu kejahatan berupa "tidak
memberitabukan" kepada pejabat kehakiman atau kepolisian atau kepada yang
terancam tentang diketahuinya suatu permufakatan jahat untuk melakukan
kejahatan sebagaimana dirumuskan pada Pasal 104, 106,107, 108, 113, 115,124,
187, dan 187 bis, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat
bulan apabila kejahatan yang tidak dilaporkannya itu benar-benar terjadi.
Demikian juga pada Pasal 105, merupakan kejahatan dengan Perbuatan
pasif berupa tidak melaporkan orang yang diketahui telah berniat, untuk

68
melakukan kejahatan seperti yang dirumuskan pada Pasal !04, 106, 107, 108, 110,
113, 115 -129, dan 131; atau dalam masa perang tidak melaporkan orang yang
diketahui niatnya untuk lari dari dinas tentara (desersi); atau
• untuk menghianati militer;
• untuk membunuh dengan rencana;
• untuk menculik atau memperkosa; atau
• untuk melakukan kejahatan tersebut dalam Bab VII KUHP sepanjang kejahatan
itu membahayakan nyawa orang; atau
• untuk melakukan kejahatan tersebut pada Pasal 264 dan 265 sepanjang
mengenai surat kredit yang diperuntukkan bagi peredaran;
sepanjang kejahatan tersebut masih dapat dicegah, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah, apabila
kejahatan tersebut jadi dilakukan.
Kejahatan-kejahatan seperti yang dirumuskan dalam Pasal 164 dan 165 itu
diberikan alasan peniadaan pidananya dalam Pasal 166 yaitu bagi orang yang
tidak melaporkan apa yang diketahuinya itu, artinya terhadap si pembuat (pasif)
yang tidak melaksanakan kewa-jiban hukumnya sebagaimana ditentukan pada
Pasal 164 dan 165 itu tidak dipidana apabila dengan memberitahukan atau
melaporkan tentang apa yang diketahuinya itu "mungkin mendatangkan bahaya
penuntutan pidana bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya sedarah atau semenda
dalam garis lurus atau garis menyimpang derajat kedua atau ketiga, bagi suami
atau istrinya atau bekas suami atau bekas istrinya, atau bagi orang lain yang jika
orang lain itu dituntut, berhubung dengan jabatan atau pencariannya,
dimungkinkan pembebasan menjadi saksi terhadap orang tersebut". Alasan
peniadaan pidana dalam Pasal 166 adalah karena pada perbuatannya itu kehi-
langan sifat tercelanya (melawan hukum), oleh karena itu termasuk pada alasan
pembenar.
Dalam Pasal 221 Ayat (1) dirumuskan 2 bentuk kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga
ratus rupiah, terhadap:
1. a. orang yang dengan sengaja menyembunyikan:
• orang yang melakukan kejahatan;
• orang yang dituntut karena melakukan kejahatan;

69
b. orang yang memberi pertolongan kepada orang melakukan perbuatan
tersebut di atas untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat
kehakiman atau kepolisian atau orang lain yang menurut ketentuan Undang-
undang terus-menerus atau untuk sementara waktu diserahi jabatan kepolisian;

2. orang yang setelah dilakukannya suatu kejahatan dengan maksud untuk


menutupinya atau menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan atau
penuntutannya, melakukan perbuatan:
• menghancurkan;
• menghilangkan;
• menyembunyikan benda-benda terhadap mana atau dengan mana kejahatan
dilakukan, atau bekas-bekas kejahatan lainnya, atau
• menariknya dari pemeriksaan yang dilakukan oleh pejabat kehakiman atau
kepolisian, maupun oleh orang lain, yang menurut ketentuan Undang-undang
terus-menerus atau untuk sementara diserahi menjalankan jabatan kepolisian.
Pada ayat (2) dari Pasal 221 ini diberikan alasan peniadaan pidana yang
khusus ialah "tidak dipidana bagi orang-orang yang melakukan perbuatan tersebut
di atas dengan maksud untuk menghindarkan penuntutan terhadap seorang
keluarga sedarah atau semendanya dalam garis menyimpang derajat kedua atau
ketiga, atau terhadap suami atau istrinya atau bekas suami atau bekas istrinya".
Dasar peniadaan ini juga termasuk alasan pembenar pada Pasal 310 ada bentuk
kejahatan pencemaran, yakni bentuk Pertama pada ayat (1) berupa pencemaran
lisan, dan bentuk kedua pada ayat (2) berupa pencemaran tertulis.
Adapun yang disebut dengan pencemaran sebagaimana pada ayat (1) ialah
berupa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, dengan
menuduhkan suatu hal dengan maksud terang supaya hal itu diketahui umum,
yang diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda
paling banyak tiga ratus rupiah. Sedangkan pencemaran tertulis ialah jika
pencemaran seperti pada ayat (1) di atas tadi dilakukan dengan tulisan atau
gambar yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, diancam
dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling
banyak tiga ratus rupiah.
Pada ayat (3) dimuat ketentuan tentang peniadaan pidana bagi orang yang

70
melakukan kejahatan pada ayat (1) dan (2) tersebut ialah "apabila terang
perbuatan tersebut dilakukan untuk kepentingan umum atau terpaksa
dilakukannya untuk membela diri". Di sini ada alasan pembenar pada terwujudnya
perbuatan itu. Segala sesuatu yang telah dibicarakan perihal peniadaan pidana di
atas, adalah menurut undang-undang. Di luar undang-undang terdapat pula alasan
peniadaan pidana, ialah:
1. apa yang disebut dengan kehilangan sifat tercelanya secara materiil (melawan
hukum materiil) dari suatu perbuatan atau melawan hukum materiil dalam
fungsinya yang negatif;
2. didasarkan pada asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld);

a. Kehilangan Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan (Secara Materiil dalam


Fungsinya yang Negatif)
Dasar peniadaan pidana di luar undang-undang yang berhubungan dengan
sifat melawan hukum materiil dari suatu perbuatan dalam fungsinya yang negatif,
dalam arti mencari ketiadaan unsur melawan hukum di luar undang-undang untuk
tidak mempidanakan suatu perbuatan yang dilakukan seseorang, dan bukan
mencari adanya unsur melawan hukum di luar undang-undang dalam rangka
untuk mempidana suatu pelaku perbuatan tertentu.
Sebagaimana diketahui bahwa undang-undang hanya mempidana
seseorang yang melakukan perbuatan, apabila perbuatan itu telah dicantumkan
dalam peraturan perundang-undangan sebagai perbuatan yang dilarang (artinya
mengandung sifat tercela/melawan hukum). Hanya perbuatan yang diberi label
tercela atau terlarang demikian saja yang pelakunya dapat dipidana. Pengertian
sifat melawan hukum yang demikian disebut dengan melawan hukum formil,
karena semata-mata sifat terlarangnya perbuatan didasarkan pada pemuatannya
dalam undang-undang.
Perbuatan lain yang di luar apa yang ditentukan sebagai dilarang oleh
undang-undang, walaupun tercela menurut masyarakat atau menurut asas-asas
umum masyarakat atau melawan hukum materiil sepanj'ang tidak dilarang
menurut peraturan perundang-undangan tidaklah dapat dipidana. Hal ini telah
ditentukan secara tegas dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP tentang apa yang dikenal
dengan asas legalitas (telah dibicarakan dalam buku Pelajaran Hukum Pidana,

71
Bagian 1).
Perbuatan yang mengandung sifat tercela menurut masyarakat yang tidak
tercela menurut undang-undang tidaklah dapat dipidana. Tetapi sebaliknya pada
perbuatan yang secara nyata terlarang menurut undang-undang, yang karena
sesuatu faktor atau sebab tertentu boleh jadi tidak mengandung sifat tercela atau
kehilangan sifat tercelanya menurut masyarakat, maka terhadap si pembuatnya
tidak dipidana. Ini yang dimaksud dengan sifat melawan hukum materiil dalam
fungsinya yang negatif. Dalam praktik hukum kehilangan sifat tercelanya
perbuatan menurut kepatutan masyarakat yang menyebabkan tidak dipidananya
1 pembuat atas perbuatannya itu sering terjadi, dapat dipelajari misalnya arrst
hoge raad pada tahun 20-2-1933 dalam Perkara Dokter Hewan kota Huizen.
Duduk perkaranya sebagai berikut: Seorang Dokter hewan mencampurkan sapi-
sapi yang sakit kedalam kandang sapi-sapi yang sehat, yang menurut Pasal 82
Veewet (di Belanda) dilarang dan diancam dengan pidana penjara paling lama
1tahun. Adapun alasan dari perbuatan dokter hewan itu ialah untuk kepentingan
sapi dan pemiliknya itu sendiri.
Menurut pertimbangannya dari sudut ilmu yang dimilikinya, bahwa sapi-
sapi yang sehat itu pada akhirnya pasti terkena penyakit juga. Oleh karena pada
saat itu, sapi-sapi tersebut belum mengeluarkan air susunya, menurut
pertimbangan dari ilmu yang dimilikinya, iebih baik tertular panyakit lebih dulu
dari pada tertular setelah mengeluarkan air susunya, maka dia mencampurkan
sapi-sapi yang sakit itu ke kandang sapi-sapi yang sehat.
Pada peradilan tingkat banding, Gerechtschof Amesterdam menjatuhkan
pidana terhadap dokter hewan atas perbuatannya itu dengan alasan bahwa dokter
hanya memberi penjelasan tentang apa yang mendorong dalam hal berbuat
demikian, dan tidak merupakan pengecualian yang dapat meniadakan pidana.
Akan tetapi pada tingkat kasasi Hoge Raad berpendapat lain, bahwa dengan
adanya Undang-undang mengenai pendidikan dokter hewan, maka pemeliharaan
kesehatan hewan dan siapa yang boleh menjalankan pekerjaan dokter hewan telah
diatur.
Dengan demikian telah ada petunjuk bahwa dokter hewan tidak akan
melanggar ketentuan undang-undang, apabila dia berbuat sesuai dengan ilmu yang
dimilikinya. Dengan alasan yang demikian, maka Hoge Raad membatalkan

72
putusan Gerechtshof Amesterdam tersebut dengan memutus melepaskan terdakwa
dari tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) dan tidak menjatuhkan
pidana terhadap dokter hewan tersebut.
Praktik yang demikian juga dianut oleh Mahkamah Agung seperti ternyata
dalam putusannya No. 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966 dalam perkara
Machroes Effendi yang didakwa melanggar Pasal 372 juncto 52 juncto 64 KUHP,
di mana dalam pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa: "Suatu tindakan
pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya
berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasar
kan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis, bersifat umum,
dalamperkara ini misalnya faktor-faktor Negara tidak dirugikan, kepentingan
umum dilayani dan terdakwa sendiritdak mendapat untung". Dengan didasarkan
pada pertimbangan demikian, maka Mahkamah Agung tidak menjatuhkan pidana
kepada terdakwa, melainkan menjatuhkan putusan melepaskan terdakwa dari
segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging).
Putusan Mahkamah Agung dengan pertimbangan tentang sifat melawan
hukum materiil dalam fungsinya yang negatif yang merupakan alasan peniadaan
pidana seperti di atas diikuti oleh putusan-putusan berikutnya, seperti pada
putusan No. 72 K/Kr/1970 tanggal 27 Mei 1972, yang dalam salah satu
pertimbangannya menyatakan "Babwa meskipun Undang-Undang No. 17/1964
tersebut merupakan suatu formil delict, namun Hakim secara materiil harus
memper-batikanjuga adanya kemungkinan keadaan dari tertuduh-tertuduh atas
dasar mana mereka tak dapat dihukum (materiele wederrech-telijkheid)".
Selanjutnya dalam pertimbangan berikutnya Mahkamah Agung dalam
mempertimbangkan tentang keberatan Pemohon Kasasi menyatakan: Menimbang,
bahwa walaupun perbuatan-perbuatan yang dituduhkan pada terdakwa telah
terbukti semuanya, akan tetapi Mahkamah Agung berpendapat, bahwa perbuatan-
perbuatan tersebut, bukanlah merupakan tindak pidana penadahan, karena sifat
melawan hukum tidak ada sama sekali"
Pada pertimbangan yang terakhir ini yang dimaksud dengan sifat melawan
hukum yang tidak ada itu, tiada lain adalah bukan sifat melawan hukum formil,
akan tetapi sifat melawan hukum materiil sebagaimana yang dimaksud pada
pertimbangan sebelumnya dengan kalimat" adanya kemungkinan keadaan dari

73
tertuduh-tertuduh. Atas dasar mana mereka tak dapat dihukum
(materielewederech-Mijkheid)" tersebut di atas.
Bahwa dalam praktik hukum sekarang telah secara nyata meng-anut dan
menerapkan paham sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif
telah ditegaskan dalam pertimbangan putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Maret
1972 No. 72 K/Kr/1970, di mana diterangkan bahwa "yurisprudensi waktu
sekarang ini jelas menganut matriele wederrechtelijkheid." Tampaklah kini bahwa
adanya alasan peniadaan pidana di luar undang-undang yang bertumpu pada
ketiadaan sifat melawan hukum materiil (dalam fungsinya yang negatif) ini telah
merupakan hukum pidana yang tidak tertulis. Pengisian hukum pidana melalui
praktik hukum seperti ini, dapat dimengerti dalam usaha para praktisi in casu
pengadilan (hakim) mencapai keadilan dalam hal pemidanaan.
Alasan ini dapat juga digunakan dalam berbagai kasus pada perbuatan-
perbuatan seperti tidak dipidananya petinju yang memukul lawannya bahkan
sampai mati lawannya itu, orang tua atau guru memukul anak atau muridnya yang
secara wajar dalam rangka pendidikan. Petinju di atas ring memukul lawannya
dalam bertanding, hilang sifat melawan hukumnya perbuatan, karena dengan
persetujuan untuk bertanding di atas ring sama artinya dengan dia memberi izin
untuk dipukuli oleh lawannya dalam pertandingan itu. Orang tua yang dibenarkan
memukul anaknya sepanjang patut dalam rangka mendidik, demikian juga guru
yang memukul murid sepanjang patut dalam rangka mendidik adalah dalam
rangka melaksanakan haknya menjalankan pendidikan.

b. Alasan Peniadaan Pidana karena Ketiadaan Unsur Kesalahan pada Si


Pembuat
Asas tiada pidana tanpa kesalahan telah dianut sejak tahun 1930, hanya si
pembuat yang terbukti bersalah saja yang dapat dijatuhi pidana. Kesalahan adalah
bagian penting dalam tindak pidana dan demikian juga halnya untuk menjatuhkan
pidana. Jika kesalahan itu tidak ada pada si pembuat dalam suatu perbuatan
tertentu, maka berdasarkan asas ini si pembuatnya tidak boleh dipidana.
Ketiadaan kesalahan si pembuat atas perbuatannya terjadi karena
'ketidaktahuan atau kekeliruan tentang keadaan nyata atau fakta yang , ketika
perbuatan dilakukan. Contoh pada kasus pengusaha susu, ,. mana Si pengusaha

74
susu mencampur susu dengan air, yang oleh Tveransirnya dikirim pada pelanggannya
yang menurut ketentuan hukum pidana (Belanda) dilarang. Liveransirnya tersebut tidak
dipidana oleh Hoge Raad pada tahun 14-2-1916 disebabkan karena dia tidak mengetahui
tentang susu yang dikirimkannya ke pelanggannya itu ternyata telah dicampur dengan air
oleh si pengusaha.
Mengenai penegakan hukum pidana berlaku prediksi bahwa setiap orang
dianggap mengetahui hukum, sehingga si pembuat tidak dapat membela diri dengan
alasan bahwa dia tidak mengetahui hukum. Tetapi dalam praktik ketidaktahuan atau
kekeliruan mengenai hukum kadang dapat dijadikan alasan peniadaan pidana. Contohnya
ialah pada kasus seorang pengendara motor yang sebelum mengendarai motornya itu dia
telah datang menghadap pejabat kepolisian yang berwenang untuk mendapatkan
informasi selengkapnya tentang surat-surat yang diperlukan untuk mengendarai
kendaraan bermotor, yang ternyata pejabat itu tidak memberikan informasi yang
sempurna, karena Polisi itu tidak memberikan keterangan bahwa diperlukan juga surat
bukti kewarganegaraan, tidak dipersalahkan dan karenanya tidak dipidana oleh Hoge
Raad pada tanggal 22-11-1949 atas dakwaan mengendarai kendaraan bermotor tanpa
kelengkapan surat-surat .
BAB IV
KEWENANGAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN

1. Pengertian azas Oportunitas


Pengertian sehari-hari kata “Oportunitas” ialah ketika atau kesempatan yang baik.
Dr. A. Zaenal Farid memberikan uraian azas Oportunitas, adalah azas yang memberikan
wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan tanpa
syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan/melakukan tindak pidana demi
kepentingan umum.
Prof.Dr. Andi Hamzah, dalam kamus hukumnya menyatakan, azas oportunitas
adalah azas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut
atau tidak menuntut demi kepentingan umum dengan syarat atau tanpa syarat, seseorang
atau korporasi yang telah mewujudkan delik.
Kalau kita simak definisi dari Dr. Andi Zaenal Farid dengan Prof. DR. Andi
Hamzah, bunyi dan pengertiannya mengenai azas oportunitas adalah sama sekali tidak
berbeda. Jadi azas oportunitas adalah suatu azas yang memberikan wewenang kepada
penuntut umum tidak mewajibkan melakukan penuntutan terhadap seseorang atau
korporasi yang telah melakukan tindak pidana jika menurut penuntut umum, penuntutan
akan lebih merugikan kepentingan umum.
Azas oportunitas menurut sejarahnya berasal dari Perancis, melalui negeri
Belanda masuk ke Indonesia sebagai hukum yang tidak tertulis sampai dibentuknya
undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan.
Dalam pasal 8 ayat 4 undang-undang tersebut memberikan wewenang kepada jaksa
Agung untuk tidak melakukan penuntutan suatu tindak pidana demi kepentingan umum.
Di negeri Belanda hak untuk merespont perkara berada ditangan anggota
Openbaar Ministery berdasarkan azas “satu dan tidak terbagikan”. Di Indonesia hanya
Jaksa Agung saja yang mempunyai wewenang untuk menyampingkan perkara
berdasarkan pertimbangan untuk kepentingan umum. Hal ini barangkali dimaksudkan
untuk mencegah adanya penyalahgunaan wewenang dalam penyampingan perkara demi
kepentingan umum oleh para penuntut umum. Adanya azas oportunitas ini

80
bertujuan untuk menghilangkan ketajaman dari pada azas legalitas dimana jaksa
diwajibkan untuk melakukan penuntutan terhadap setiap terjadi tindak pidana (pengertian
azas legalitas dalam hukum acara pidana). Sebelum adanya Undang-undang nomor 15
tahun 1961 azas oportunitas belum dimasukan dalam peraturan perundang-undangan dan
baru setelah Undang-undang ini terbentuk, dicantumkan pada pasal 8. Rupanya kehadiran
azas oportunitas secara kongkrit dalam suatu pasal dirasakan sangat perlu. Hal tersebut
disebabkan adanya suatu keyakinan bahwa kepentingan masyarakat yang harus
dilindungi oleh hukum pidana, tidak selalu harus dilakukan dengan penuntutan.
Untuk kepentingan umum, tidak semua tindak pidana harus dilakukan penuntutan.
Kadang-kadang dirasakan apabila penuntutan dilakukan justru secara nyata akan
bertentangan dengan kepentingan umum itu sendiri. Menurut M. Yahya Harahap, azas
oportunitas dimaksudkan sekalipun seorang tersangka telah cukup bukti bahwa
iabersalah menurut hasil penyidikan dan kemungkinan besar akan dijatuhi pidana, namun
hasil pemeriksaan tersebut tidak dilimpahkan kesidang pengadilan oleh penuntut umum.
Perkara ini dideponering oleh kejaksaan atas dasar pertimbangan demi kepentingan
umum. Kejaksaan berpendapat, akan lebih bermanfaat bagi kepentingan umum jika
perkara itu tidak dilakukan penuntutan.
Jaksa Agung Ismail Saleh (pada waktu itu) berpendapat bahwa azas oportunitas
bukan hanya diartikan secara sempit seperti tercantum dalam pasal 8 Undang-undang
nomor 15 tahun 1961yang sekarang diatur dalam pasal 35 c Undang-undang nomor 16
tahun 2004, yaitu sebagai wewenang Jaksa Agung untuk menyampingkan perkara saja,
tetapi lebih luas yaitu meliputi juga untuk tidak menyidik perkara dan menangguhkan
putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum dalam upaya
memfungsikan nilai-nilai Pancasila, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab, keadilan
sosial dan menerapkan politik hukum nasional pengayoman. Penerapan azas oportunitas
itu tetap memiliki sifat kasuistis atau penilaian faktual dan situasioanal.
Pendapat beliau dihubungkan dengan tindakan Jaksa Agung Republik Indonesia,
menangguhkan pelaksanaan hukuman Hariman Siregar dan Syahrir yang telah dijatuhi
pidana karena melakukan tindak pidana Subversi antara lain melanggar pasal 1 ayat (1)
sub 1b Undang-undang nomor 11/PNS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi.
Permohonan grasinya ditolak oleh Mahkamah Agung Indonesia. Atas putusan pengadilan

81
kedua (Banding) terpidana (Hariman Siregar dan Syahrir) memohon grasi kepada
Presiden. Oleh karena itu putusannya yang dijatuhkan kepada kedua terpidana bukan
putusan pidana mati, maka menyimpang dari pasal 3 Undang-undang nomor 3 tahun
1950 ,yang sekaran sudah diubah dengan UU No 5 tahun 2010 tentang permonan Grasi
menurut pasal 18 ayat (2) Undang-undang nomor 11/PNS/1963. pelaksanaan
hukumannya tidak ditangguhkan karena adanya permohonan grasi.

2. Penghentian Penuntutan demi kepentingan umum


Kewenangan Jaksa Agung sebagaimana diatur pasal 8 Undang-undang nomor 15
tahun 1961 telah diganti dan dicabut dengan Undang-undang nomor 5 tahun 1991,
Undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Namun
Undang-undang inipun masih memuat tentang kewenangan Jaksa Agung untuk
menyampingkan (menghentikan penuntutan) perkara demi kepentingan umum. Pasal 35
huruf c Undang-undang nomor 5 tahun 1991 berbunyi”
“Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara
demi kepentingan umum”.
Penjelasan pasal 77 KUHAP menyatakan “yang dimaksud dengan penghentian
penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untu kepentingan umum yang menjadi
wewenang Jaksa Agung”.Jelaslah disini bahwa KUHAP sendiri masih mengakui
keberadaan azas oportunitas sekalipun tidak dicantumkan secara tegas dalam pasal-pasal
KUHAP sekalipun KUHAP sendiri menganut azas legalitas.
Hemat penulis azas legalitas yang dianut oleh KUHAP memiliki 2 (dua)
pengertian yaitu:
5. Bahwa semua tindakan hukum yang dilakukan aparat penegak hukum harus
berdasarkan ketentuan yang tertulis;
6. Memberikan kewajiban kepada penuntut umum untuk melakukan penuntutan kepada
setiap orang yang melakukan tindak pidana.

Sedangkan pasal 137 KUHAP tidak kita jumpai kata “wajib” yang ada adalah
kata “berwenang”. Untuk lebih jelasnya dikutip selengkapnya sebagai berikut:

82
“Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa
melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan
perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili”
Maksud dan tujuan undang-undang memberikan kewenangan kepada Jaksa
Agung untuk menerapkan azas oportunitas adalah untuk menghindarkan timbulnya
penyalahgunaan kewenangan dalam penerapan azas oportunitas. Sehingga satu-satunya
pejabat Negara yang diberi wewenang menerapkan azas oportunitas hanyalah jaksa
agung selaku penuntut umum tertinggi dan bukan kepada setiap penuntut umum.
Untuk terjaminnya kepastian hukum dalam rangka penerapan azas oportunitas,
jaksa agung menuangkan dalam suatu Ketetapan yang salinannya diberikan kepada yang
perkaranya dikesampingkan demi kepentingan umum. Adanya surat ketetapan ini
dimaksudkan untuk dijadikan sebagai alat bukti yang berkepentingan. Ketetapan
pelaksanaan penerapan azas oportunitas sangat ditentukan oleh ketetapan pertimbangan
penuntut umum berdasarkan keadaan yang nyata untuk tidak melakukan penuntutan agar
kepentingan umum tidak dirugikan.
Wirjono Prodjodikoro berpendapat, bahwa kalau menurut pejabat Jaksa
kepentingan negara menuntut adanya penuntutan dimuka hakim, maka Jaksa wajib
menuntut dan kalau sebaliknya untuk kepentingan umum negara sebaiknya tidak
melakukan penuntutan, Jaksa wajib menyampingkan perkara. Keberadaan azas
oportunitas ini sesuai dengan prinsip dari Negara Hukum (The Rule of Law) dalam arti
luas. Untuk itu setiap tindakan negara harus mempertimbangkan dua kepentingan, yaitu:
8. Kepentingan kegunaan (doelmatigheid);
9. Landasan Hukumnya (rechtsmatigheid).

Bila dihubungkan dengan penerapan azas oportunitas, maka penerapan azas


oportunitas ini lebih mempertimbangkan kegunaan daripadapa landasan hukumnya.
Alasan penerapan azas oportunitas adalah demi kepentingan umum. Sebenarnya
pengertian kepentingan umum itu sendiri tidak jelas. Undang-undang sendiri tidak
memberikan penjelasan tentang arti kepentingan umum. Dengan demikian kemungkinan
melakukan penghentian penuntutan dengan alasan demi kepentingan umum sangat besar.
Tidak demikian, sekalipun undang-undang tidak memberikan penjelasan dan batasan

83
mengenai pengertian kepentingan umum serta tidak memberikan jaminan terhadap
kemungkinan penyalahgunaan wewenang untuk menerapkan azas oportunitas tidak
adanya ketentuan secara tegas mengenai pengawasan atas penerapan azas oportunitas,
namun Jaksa Agung bertanggung jawab atas kebijaksanaan itu kepada Presiden dan
Pemerintah.
Di dalam praktek penerapan azas oportunitas, Jaksa Agung senantiasa lebih
dahulu bermusyawarah dengan pejabat tinggi negara terkait dengan perkara itu. Antara
lain dengan Menteri Pertahanan dan Keamanan, kepala Kepolisian Republik Indonesia
(Kapolri) bahkan dengan Presiden.
Menurut Prof. Dr. Andi Zaenal Farid, kepentingan umum yang diatur dalam
undang-undang atau dalam suatu peraturan hukum, apabila dilanggar tidak dapat
dijadikan sebagai landasan penerapan azas oportunitas untuk menyampingkan perkara.
Sebab justru kepentingan umum itu sendiri menuntut agar diadakan kepentingan umum.
Untuk mengesampingkan perkara pidana harus diketemukan dalam aturan hukum lain
yang mengatur tentang kepentingan umum yang harus dilindungi dan dijaga.
Apabila kepentingan umum yang dimaksud tidak diketemukan dalam aturan
hukum lain, maka harus dikembalikan kepada peranan kepentingan umum secara aktif
yang mempunyai cita-cita hukum yang diwujudkan oleh pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 sebagai pancaran Pancasila
yang menjiwai Undang-undang Dasar 1945.

3. Penghentian Penuntutan untuk Kepentingan Umum


Kejaksaan sebagai aparat penegak hukum yang antara lain oleh undang-undang
diberi tugas dan wewenang melakukan penuntutan perkara pidana (pasal 30 ayat (1)
huruf a Undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia).
Menurut pasal 1 butir 27 KUHAP, penuntutan adalah tindakan penuntut umum yang
melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan
diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Disamping penuntut umum berwenang
melakukan penuntutan perkara pidana, juga diberi wewenang untuk tidak melakukan
penuntutan yakni wewenang untuk menghentikan penuntutan terhadap suatu perkara

84
pidana karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana
atau perkara itu ditutup demi hukum (pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP). Disamping itu
penuntut umum berwenang untuk menghentikan penuntutan dari kepentingan hukum
sebagaimana telah diuraikan pada sub bab 1 tersebut diatas.
Setelah Penuntut Umum menerima berkas perkara dari penyidik, harus segera
mempelajari dan meneliti apakah berkas perkara tersebut telah lengkap memenuhi
persyaratan untuk dapat dilimpahkan kepengadilan atau belum. Bila penuntut umum
berpendapat bahwa berkas perkara tersebut tidak memenuhi persyaratan kelengkapan
berkas maka penuntut umum mengembalikan berkas perkara tersebut, disertai dengan
petunjuk hal-hal apa yang harus dilengkapi.
Bila ternyata berkas perkara yang dikembalikan kepada penyidik tidak dapat
dilengkapi, maka penuntut umum dapat menerima berkas perkara itu kembali untuk
selanjutnya dilakukan pemeriksaan tambahan sesuai dengan ketentuan pasal 30 ayat (1)
huruf d Undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Bila setelah dilakukan pemeriksaan tambahan ternyata perkara tersebut tidak terdapat
cukup bukti atau perkara itu bukan merupakan tindak pidana, penuntut umum dapat
menghentikan penuntutan demi hukum.
Hamrad Hamid dan Harun M. Husein, berpendapat tindakan penghentian
penyidikan atau penuntutan lebih tepat daripada membiarkan terus menerus terjadinya
bolak balik berkas perkara tanpa akhir. Maka memang sebaiknya penyidikan atau
penuntutan dihentikan karena tidak terdapat cukup bukti untuk diteruskan penyidikannya
atau penuntutannya. Karena tindakan menghentikan penyidikan atau penuntutan akan
memberikan kepastian hukum tentang kesudahan perkara tersebut.
Selanjutnya beliau menyarankan, mengingat bahwa segala sesuatu yang
berhubungan dengan penyidikan perkara tersebut tanggung jawab yuridisnya masih
berada ditangan penyidik, maka cukuplah bila penuntut umum menyarankan kepada
penyidik untuk menghentikan penyidikan perkara tersebut. Karena mengambil alih
berkas perkara yang tidak mungkin dapat dilengkapi hasil penyidikannya untuk kemudian
menghentikan penuntutannya berarti mengambil alih pula tanggung jawab yuridis dalam
menghadapi tuntutan praperadilan atas penghentian penuntutan perkara tersebut.

85
Menurut hemat kami saran tersebut belum dapat diterima oleh para penuntut
umum mengingat kebijaksanaan pimpinan Kejaksaan Agung dalam bidang penuntutan
sebagaimana dituangkan dalam Instruksi Jaksa Agung Republik Indonesia nomor: INS-
006/J.A/7/1986 pada pokoknya antara lain menginstruksikan kepada seluruh jajaran
Kejaksaan bila terjadi bolak balik berkas perkara yang pada akhirnya tidak dapat
dilengkapi atau tidak cukup bukti, maka penuntut umum menghentikan penuntutannya.
Tindakan penuntut umum menghentikan penuntutan terhadap perkara yang tidak
terdapat cukup bukti atau perkara tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana adalah
lebih tepat. Sebab tidak mustahil bila perkara tersebut dilimpahkan kepengadilan, niscaya
oleh pengadilan akan diputus dengan putusan yang berupa bukan putusan pemindahan
melainkan putusan bebas (vrijspraak). Penghentian penuntutan dapat dilakukan apabila
perkara itu tidak cukup bukti atau perbuatan itu bukan merupakan perbuatan pidana atau
juga karena perkara itu ditutup demi hukum.

4. Penghentian Penuntutan karena perkara itu tidak cukup bukti


Dari hasil penelitian berkas perkara, ternyata tidak diperoleh bukti yang cukup
untuk membuktikan kesalahan terdakwa disidang pengadilan. Apa yang disebut sebagai
alat-alat bukti yang tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa yaitu,:
7. Tidak adanya minimal 2 (dua) alat bukti yang sah sebagaimana disyaratkan oleh
undang-undang (pasal 183 KUHAP);
8. Unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan tidak terpenuhi;
9. Tidak adanya kesalahan tersangka;
10. Adanya alasan pemaaf.
Dengan demikian penuntut umum didalam melakukan penghentian penuntutan
semata-mata didasarkan pada ketiadaan dari alat-alat bukti, untuk membuktikan
kesalahan terdakwa disidang pengadilan.

5. Perbuatan tersangka bukan merupakan tindak pidana


Perbuatan yang disangkakan kepada tersangka terbukti, tetapi perbuatan itu bukan
merupakan perbuatan pidana, baik berupa kejahatan maupun pelanggaran.

86
Pertbuatan-perbuatan yang bagaimana yang digolongkan sebagai perbuatan yang bukan
tindak pidana? Perbuatan-perbuatan bukan merupakan tindak pidana adalah:
5. Tidak adanya materiele wederrechtelijkheid.
6. Terjadinya perubahan undang-undang sebagaimana dimaksud pasal 1 ayat (2)
KUHAP;
7. Terjadinya dekriminalisasi.
Dekriminalisasi adalah suatu proses dimana dihilangkan sama sekali sifat
dapat dipidananya suatu perbuatan.
8. Adanya alasan pembenar (pasal 49, 50, 51 KUHAP).
9. Perbuatan tersebut memang tercela, tetapi tidak tercela menuntut hukum pidana.

6. Perkara ditutup demi Hukum


Penghentian penuntutan yang dilakukan karena perkara pidana ditutup demi
hukum, yaitu suatu tindak pidan yang terdakwanya dibebaskan oleh hukum sendiri.
Alasan yang menyebabkan perkara ditutup demi hukum, adalah:
b. adanya pencabutan pengaduan atau tidak adanya pengaduan dari orang yang
dirugikan untuk tindak pidana aduan murni (pasal 72 dan 75 KUHP)
c. adanya neb is in idem (pasal 76 KUHP)
d. tersangka atau terdakwa meninggal dunia (pasal 77 KUHP);
e. Kedaluarsa dalam penuntutan (pasal 78KUHP);
f. Dengan itikad baik melaksanakan perintah jabatan (pasal 52 ayat (2) KUHP);
g. Pembayaran denda (afkoop) pasal 82 KUHP;
h. Pembantuan melakukan pelanggaran (pasal 60 KUHP);
i. Penerbitnya atas kejahatan percetakan memenuhi persyaratan pasal 61 ayat (1)
KUHP;
j. Pencetak tidak dituntut apabila memenuhi persyaratan pasal 62 ayat (1) KUHP;
k. Pembuat atau pembantu melakukan pencurian adalah suami atau isteri orang yang
barangnya dicuri (pasal 367 KUHP);
l. Pembuat atau pembantu melakukan penggelapan dalah suami atau isteri orang-
orang yang barangnya digelapkan (pasal 376 KUHP);

87
l. Pembuat atau pembantu melakukan penipuan adalah suami atau isteri orang yang
kena tipu (pasal 394 KUHP);
m. Pembuat atau pembantu melakukan pengrusakan adalah suami atau isteri yang
barangnya dirusak (pasal 411 KUHP);
n. Adanya schiking (denda damai pasal 29 RO).

Dengan penghentian penuntutan dimaksudkan untuk memberikan jaminan


kepastian hukum pada tingkat penuntutan. Sebab KUHAP tidak menghendaki
penuntutan atau penyidikan yang berlarut-larut tanpa kesudahan.
Melakukan penuntutan terhadap perkara yang didukung oleh alat-alat bukti yang
cukup, atau peristiwa itu bukan merupakan tindak pidana atau oleh hukum sendiri
perkara tersebut harus dihentikan penuntutannya adalah merupakan tindakan
pemborosan. Dan juga bertentangan dengan azas KUHAP sendiri yang menghendaki
penyelesaian perkara cepat, jujur, sederhana dan bebas serta biaya ringan. Dalam hal
penuntut umum menghentikan penuntutan terhadap suatu perkara
pidana, maka penuntut umum harus:
a. Menerbitkan surat ketetapan penghentian penuntutan. Dalam surat ketetapan ini
harus dimuat/dicantumkan alasan dihentikannya penuntutan. Alasan penghentian
penuntutan ini harus jelas dan terang karena merupakanyang penting bagi
penyidik maupun pihak ketiga yang berkepentingan dalam rangka menggunakan
haknya untuk mengajukan keberatan atas penghentian penuntutan melalui
praperadilan . lebih penting lagi bagi orang yang perkaranya dihentikan, yaitu
sebagai bukti dan kepastian hukum bahwa perkara tersebut telah dihentikan
penuntutannya.
b. Memberitahukan kepada tersangka secara tertulis. Ini dimaksudkan agar dapat
digunakan sebagai bukti bahwa si tersangka telah dibebaskan dari tuntutan.
c. Bilamana tersangka berada didalam tahanan, penuntut umum wajib dengan segera
membebaskanya.
d. Turunan surat ketetapan penghentian penuntutan wajib disampaikan kepada;
Tersangka atau keluarganya atau penasehat hukumnya.
Apabila tersangka ditahan, pejabat rumah tahanan Negara (Rutan) diberikan

88
tembusan.
c. Petugas penyidik perkara yang bersangkutan.
d. Hakim atau pengadilan setempat.
Bila dikemudian hari ternyata perkara yang telah dihentikan penuntutannya
ditemukan bukti-bukti baru, maka perkara tersebut dapat dilakukan kembali
penuntutannya (pasal 140 ayat (2) huruf d KUHAP). Penuntutan kembali suatu perkara
pidana yang telah dihentikan penuntutannya, berarti pencabutan penghentian penuntutan
terdahulu. Akan tetapi agar supaya penegakan hukum tertuang dalam administrasi
perkara yang baik, akan lebih baik dikeluarkan surat penetapan baru atas penuntutan
kembali terhadap perkara yang telah dihentikan penuntutannya itu.
Penuntut umum wajib melimpahkan perkara yang telah dihentikan
penuntutannya, jika penghentian penuntutan telah dinyatakan tidak sah menurut hukum
oleh hakim praperadilan. Bila terjadi hal semacam itu dengan sendirinya keputusan
penetapan hakim praperadilan merupakan penetapan yang membatalkan penghentian
penuntutan yang diterbitkan oleh penuntut umum. Dengan demikian penuntut umum
tidak perlu menerbitkan lagi surat pencabutan penetapan penghentian penuntutan.

7. Perbedaan Penghentian Penuntutan demi kepentingan umum dengan


Penghentian penuntutan demi hukum
Pasal 140 ayat (2) KUHAP memberikan kewenangan kepada penuntut umum
untuk menghentikan penuntutan jika menurut pendapat penuntut umum perkara itu tidak
cukup bukti atau perbuatan bukan merupakan tindak pidana. Penjelasan pasal 77 KUHAP
mengakui keberadaan daripada azas oportunitas yang menjadi wewenang Jaksa Agung
untuk menyampaikan perkara demi kepentingan umum. Kemudian pasal 35 huruf c
undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
menyatakan Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara
demi kepentingan umum.
Dengan demikian dalam perundng-undangan pidana terdapat dua macam
penghentian penuntutan yaitu:
d. Penghentian penuntutan demi hukum;
e. Penghentian penuntutan demi kepentingan umum.

89
Perbedaan penghentian penuntutan demi hukum dan demi kepentingan umum
yaitu:
. Pada penghentian penuntutan demi hukum, semata-mata hanya untuk kepentingan
hukum yaitu:
1) Bila perkara tersebut tidak cukup bukti, sehingga jika perkara itu diteruskan
kesidang pengadilan bukan tidak mungkin terdakwa diputus bebas oleh hakim
2) Perkara tersebut bukan merupakan tindak pidana baik berupa kejahatan maupun
pelanggaran
3) Perkara ditutup demi hukum, karena tersangka/terdakwa meninggal dunia (pasal 77
KUHP), neb is in idem (pasal 76 KUHP), daluarsa (pasal 78 KUHP).

a. Pada penghentian penuntutan demi kepentingan umum:


f. Perkara tersebut cukup bukti dan cukup alasan untuk diajukan kesidang
pengadilan. Berdasarkan alat bukti yang ada, bila diajukan kesidang pengadilan
kemungkinan besar tersangka dijatuhi pidana. Akan tetapi penuntutannya tidak
diteruskan berdasarkan pertimbangan untuk kepentingan umum
g. Yang berwenang menyampingkan perkara demi kepentingan umum hanyalah
Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi
h. Perkara yang telah dihentikan penuntutannya demi kepentingan umum tidak dapat
dilakukan penuntutan kembali. Penghentian penuntutan demi hukum dapat dilakukan
oleh penuntut umum yang menangani perkara tersebut.

90
BAB V
HAPUSNYA HAK PENUNTUTAN DAN MENJALANKAN PIDANA

c. Alasan hapusnya penuntutan


a. Ne Bis In Idem (Non Bis In Idem)
Ne Bis In Idem berasal dari bahasa latin yang berarti tidak atau jangan dua
kaliyang sama. Dalam kamus hukum, Ne Bis In Idem artinya suatu perkara yang sama
tidak boleh lebih dari satu kali diajukan untuk diputuskan oleh pengadilan. Azas ini
dalam peraturan perundang-undangan dinegara kita diatur dalam pasal 76 KUHP yang
berbunyi:
5. Kecuali dalam putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua
kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan
putusan yang menjadi tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim
pengadilan swapraja dan adat, ditempat-tempat yang mempunyai pengadilan-
pengadilan tersebut.
6. Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap orang itu
dan karena delik itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal:
Putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum;
Putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun
atau wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena lewat waktu.
Pasal 76 KUHAP melarang untuk melakukan penuntutan terhadap orang yang
telah penah dijatuhi pidana dan putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap
(in krach van gewijsde). Tidak dipermasalahkan apakah putusan hakim itu
berupapemidanaan ataupun pelepasan dari segala tuntutan hukum.

Dasar pemikiran pasal 76 KUHP adalah sebagai berikut:


5.Untuk menjaga kewibawaan pengadilan alat perlengkapan negara. Pengadilan harus
memiliki kewibawaan, tanpa memiliki kewibawaan akan menimbulkan pelecehan
hukum. Begitu juga masyarakat dan pemerintah sendiri harus menaruh kepercayaan dan
menghormati segala putusan pengadilan. Pemeriksaan terhadap perkara yang sama dan
perbuatan yang sama oleh pengadilan yang dilakukan berulangkali sebagai perkara baru
akan menyebabkan kemerosotan kewibawaan dan kepercayaan masyarakat terhadap
91
keberadaan pengadilan. Hilangnya kewibawaan pengadilan dan merosotnya
kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan dan menyebabkan merosotnya
kewibawaan pemerintah. Pemeriksaan perkara karena adanya verzet (perlawanan),
banding, kasasi maupun peninjauan kembali, bukan merupakan pemeriksaan yang
berulang-ulang sebagaimana dimaksud pasal 76 KUHP, tetapi merupakan kelanjutan
pemeriksaan daripada pemeriksaan pertama. Adanya lembaga verzet, banding, kasasi
maupun peninjauan kembali (herzining) hanya merupakan sarana dan alat untuk
memeriksa dan memperbaiki kesesatan keputusan terdahulu.
b.Untuk menciptakan rasa kepastian hukum bagi terdakwa yang telah mendapatkan
keputusan pengadilan atas perbuatannya. Pikiran seseorang telah mendapatkan
keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak boleh selalu
diganggu atau diombang-ambingkan karena perkaranya disidangkan lagi (nemo de
betbis vaxari )tidak seorangpun atas perbuatannya diwajibkan diganggu untuk kedua
kali).
Seorang dapat bebas dari penuntutan untuk kedua kali berdasarkan azas Ne Bis
InIdem (pasal 76 KUHP) apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
• Adanya keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang hukum tetap
terhadap tindak pidana yang sama
• Putusan itu dijatuhkan terhadap orang yang sama
• Perbuatan yang dilakukan tersangka/terdakwa sama
Dalam teks pasal 76 KUHP dalam bahasa Belanda disebut gewijsde yang berarti
keputusan hakim yang berkekuatan hukum tetap dan sudah tidak ada alat hukum lagi
(rechsmiddle) yang dapat dipakai untuk merubah keputusan tersebut.
Jadi sudah tidak ada cara lagi,untuk melakukan upaya hukum lagi, baik berupa verzet,
banding maupun kasasi ataupun peninjauan kembali. Putusan hakim yang merupakan
putusan akhir dapat berupa:
d. Putusan bebas (pasal 191 ayat (1) KUHAP
e. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (pasal 191 ayat (2) KUHAP
f. Putusan pemidanaan (pasal 193 ayat (1) KUHAP
92
1.PUTUSAN BEBAS
Putusan bebas dapat dijatuhkan oleh hakim sebagaimana diatur dalam pasal 191
ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan disidang, kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
menyakinkan maka terdakwa diputus bebas”.
Penjelasan pasal 191 ayat (1) menyebutkan, yang dimaksud dengan perbuatan
yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan menyakinkan adalah tidak cukup
bukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat
bukti yang sah. Dengan demikian putusan bebas adalah putusan yang dinilai oleh
hakim sebagai berikut:
a. Putusan tersebut tidak memenuhi azas pembuktian menurut undang-undang secara
negatif (negative wettelijke).dimana hasil pembuktian yang diperoleh dipersidangan
tidak cukup bukti membuktikan kesalahan terdakwa dan hakim tidak yakin atas
kesalahan terdakwa
b. Tidak memenuhi azas hukum pembuktian.
Dalam hal ini minimum pembuktian yang disyaratkan oleh undang-undang tidak
dipenuhi, misalnya hanya ada satu alat bukti saja. Sedangkan pasal 183
KUHAP menentukan untuk membuktikan apakah terdakwa bersalah atau tidak
bersalah sekurang-kurangnya harus ada dua alat bukti yang sah.

Putusan bebas pada umumnya terjadi karena penilaian dan pendapat


hakim sebagai berikut:
4. Kesalahan terdakwa sama sekali tidak terbukti. Semua alat bukti yang diajukan oleh
penuntut umum di persidangan tidak dapat membuktikan bahwa terdakwa bersalah.
Berarti disini perbuatan terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan,
karena hakim berpendapat bahwa semua alat bukti diajukan di persidangan tidak
dapat membuktikan kesalahan terdakwa.
5. Pembuktian kesalahan terdakwa tidak memenuhi batas minimum pembuktian
sebagaimana disyaratkan pasal 183 KUHAP.
6. Hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa, meskipun kesalahan terdakwa dinilai

93
cukup terbukti.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, ketiadaan bukti ada dua macam yaitu:
3) Ketiadaan bukti yang oleh undang-undang ditetapkan sebagai minimum bukti, yaitu
adanya pengakuan terdakwa saja atau adanya satu petunjuk saja tidak dikuatkan
oleh alat bukti lain.
4) Minimum pembuktian yang ditetapkan undang-undang telah terpenuhi, misalnya
sudah ada dua orang saksi atau dua petunjuk atau lebih tetapi hakim tidak yakin akan
kesalahan terdakwa.
Menurut Martiman Prodjohamidjojo, masih ada satu kemungkinan yang dapat
ditambahankan, bukan dari segi ketiadaan alat bukti, , tetapi dari segi lain yakni
kesalahan atau schuld yang mempunyai pengertian bertalian dengan pertanggung
jawaban pidana. Bila unsur schuld dalam bentuk dolus atau culpa tidak dibuktikan,
berarti terdakwa tidak ada kesalahan, maka terdakwa harus dibebaskan.

(3) PUTUSAN PELEPASAN DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM


(onstslag van alle rechtsvervolging)
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum dalam KUHAP diatur dalam pasal 191
ayat (2). Yang berbunyi:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa
terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa
diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.
Menurut Malikul Adil, pembebasan yang tidak menurut pasal 191 ayat (2)
KUHAP, dinamakan pembebasan yang tidak sebenarnya (onzuivere vrijspraak). Putusan
lepas dari segala tuntutan hukum didasarkan bahwa apa yang didakwakan kepada
terdakwa terbukti secara sah, tetapi hakim berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan tidak merupakan tindak pidana.
Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum dapat diartikan dalam dua arti,
yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas.
d) Pelepasan dari segala tuntutan hukum dalam arti luas, disini termasuk pembebasan
yang sebenarnya merupakan pelepasan dari segala tuntutan hukum, tetapi karena
telah disebut sebagai pembebasan, maka disebut pelepasan dari

94
segala tuntutan hukum yang bersifat tertutup. Pembebasan yang hakekatnya
pelepasan dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle vervolging), dipakai:
Bila perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana,
didalamnya termasuk;
4. bila perbuatan yang didakwakan tidak mengandung segala unsur yang
dikehendaki oleh undang-undang. Misalnya pasal 338 KUHP tidak
disebut unsur sengaja dalam surat dakwaan.
5. Bila perbuatan itu kehilangan sifat melawan hukumnya perbuatan.
Misalnya bila perbuatan itu dilakukan untuk membela diri menurut
syarat undang-undang pasal 49 KUHP.
Bila terdakwa, walaupun perbuatan yang didakwakan merupakan tindak
pidana, tetapi tidak dapat dipersalahkan kepadanya, termasuk hal-hal
yang merupakan kekuasaan relatif tidak dapat diatasi dan keadaan
jasmaniah yang tidak memungkinkan bertanggung jawab atas
perbuatannya (ontrekeningssvatbaarheid).
 Pelepasan dari tuntutan hukum dalam arti sempit (verkapte ontslag
vanrechsvervolging).
Dalam hal ini jika hakim berpendapat unsur-unsur tindak pidana tidak terbukti,
akan tetapi pendapanya keliru karena salah satu unsur diartikan salah, tidak sesuai dengan
maksud undang-undang. Disini hakim menggunakan criteria subjektif sebagai manusia
pribadi yang tidak sesuai dengan criteria objektif yang harus diturut. Misalnya
memberikan arti aliran listrik dalam surat dakwaan karena kata barang dalam unsure
pasal 362 KUHP, secara objektif mengandung pengertian aliran listrik. Dalam putusan
pengadilan yang berisi pelepasan dari segala tuntutan hukum, apa yang didakwakan
penuntut umum terbukti secara sah dan meyakinkan, akan tetapi perbuatan yang terbukti
tersebut tidak merupakan tindak pidana.
Putusan Mahkamah Agung tanggal 28 Januari 1984 Reg.Nomor 3 PK / Pid /
1982 menyatakan perbuatan yang didakwakan terbukti dengan sah dan meyakinkan akan
tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan kejahatan maupun pelanggaran. Alasan
Mahkamah Agung memutuskan demikian adalah baik dari pengakuan terdakwa serta
alat-alat bukti surat-surat dan saksi di persidangan ternyata terdakwa terbukti membuat

95
surat palsu tersebut tidak pernah digunakan sebagai bukti dalam perkara perdata nomor
14 tahun 1976, sehingga dengan demikian perbuatan terdakwa yang terbukti itu bukan
merupakan kejahatan maupun pelanggaran pidana.
Putusan Mahkamah Agung nomor 645/Pid/1982 tanggal 15 Agustus 1983,
menyatakan perbuatan yang didakwakan dalam dakwaan terbukti tetapi bukan
merupakan kejahatan atau pelanggaran. Sebab apa yang didakwakan adalah hubungan
suatu usaha dimana saksi membeli mobil kepada terdakwa yang termasuk bidang perdata,
penggunaan modal bukanlah sebagai penggelapan.

3.PUTUSAN PENGADILAN YANG BERUPA PEMIDANAAN


Putusan pengadilan yang berupa pemidanaan terhadap terdakwa diatur dalam
pasal 193 ayat (1) KUHAP yang berbunyi:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana
yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.
Jika hakim berpendapat dan menilai bahwa terdakwa terbukti secara sah dan
meyakinkan telah melakukan tindak pidana dan dikuatkan oleh sekurang-kurangnya 2
(dua) alat bukti yang sah maka terdakwa dapat dijatuhi pidana. Dalam hal putusan hakim
berupa putusan pemidanaan, hakim ketua majelis wajib memberitahukan kepada
terdakwa tentang segala sesuatu yang menjadi haknya, yaitu:
a. Hak untuk menolak segera atau menerima putusan;
b. Hak untuk mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak
putusan, dalam tenggang waktu yang ditetapkan undang-undang. Hak ini
biasa dengan hak pikir-pikir.
c. Hak untuk minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu
yang ditetapkan oleh undang-undang untuk mengajukan grasi, dalam hal
terdakwa menerima putusan.
d. Hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu
yang ditetapkan oleh undang-undang dalam hal terdakwa menolak putusan
pengadilan.
e. Hak mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diatas dalam
tenggang waktu yang ditetapkan undang-undang (pasal 196 ayat (3) KUHAP)

96
Putusan pengadilan yang berisi pemidanaan pada hakekatnya merupakan
suatu perintah untuk menghukum terdakwa karena terbukti telah melakukan tindak
pidana.
Disamping ketiga jenis putusan pengadilan tersebut diatas yang kesemuanya
berupa putusan akhir, bila dipandang perlu hakim berwenang memutuskan suatu perkara
yang sedang diperiksa yang tidak mengandung penentuan terbukti atau tidak terbuktinya
suatu tindak pidana dan kesalahan terdakwa. Keputusan semacam itu biasanya disebut
dengan penetapan. Sedang penetapan hakim dapat berupa sebagai berikut:
 Keputusan atau penetapan yang menyatakan tentang tidak berwenang atau
berkompetennya pengadilan untuk memeriksa perkara yang bersangkutan.
 Keputusan atau penetapan tentang tidak diterimanya tuntutan penuntut umum
karena terdakwa tidak melakukan tindak pidana.
 Keputusan atau penetapan tidak diterimanya perkara karena penuntutan
perkara sudah daluarsa.
Penetapan hakim tersebut bukan merupakan keputusan akhir, oleh karena itu tidak
mengahalangi dilakukan pemeriksaan kembali atas perkara tersebut dan dalam hal ini
pasal 76 tidak berlaku, artinya disini tidak ada neb is in idem. Dengan demikian perkara
tersebut tetap masih dapat dilakukan penuntutan oleh penuntut umum.
Tentang pengertian perbuatan dalam ajaran neb is in idem merupakan persoalan yang
paling sukar dipecahkan, karena pengertian perbuatan (feit) mempunyai arti yang tidak
pasti. Kesulitan arti daripada perbuatan (feit) terletak dalam hal:
4. yang berhubungan dengan concursus;
5. yang berhubungan dengan alternativitas;
6. yang berhubungan dengan penuntutan kembali karena dalam penuntutan kembali
karena dalam penuntutannya pertama ada kelupaan sesuatu unsur.

a. yang berhubungan dengan concursus


Mengenai concursus merupakan persoalan yang sukar, untuk menentukan apakah
suatu kejadian merupakan concursus realis (perbarengan perbuatan) atau
concursusidealis (perbarengan peraturan). Bila perbuatan (feit) itu dipandang sebagai
concursus realis, maka dapat dikatakan terdakwa melakukan beberapa perbuatan. Untuk
itu
97
dimungkinkan adanya beberapa kali penuntutan. Tetapi jika perbuatan itu dipandang
sebagai concursus idealis, dimana hanya ada satu perbuatan saja, maka penuntutan yang
kemudian atau belakangan tidak dapat dilakukan. Dengan demikian hanya dapat
dilakukan penuntutan satu kali saja.
Contoh:
A melakukan pemerkosaan di jalan umum terhadap seorang perempuan B yang
sudah dewasa. Oleh penuntut umum A dituntut berdasarkan pasal 285 KUHP saja dan
dibebaskan oleh hakim karena tidak terbukti adanya pemerkosaan, dan ternyata disidang
pengadilan perbuatan A dan B adalah perbuatan suka sama suka. Kemudian A dituntut
lagi oleh penuntut umum dengan dakwaan melanggar kesusilaan didepan umum (di jalan
umum) berdasarkan pasal 281 KUHP.
Apakah tuntutan yang kedua berdasarkan pasal 281 KUHP (melanggar kesusilaan
di jalan umum) dapat dilakukan? Untuk menjawab pertanyaan ini kita harus melihat
dahulu apakah perbuatan itu sebagai concursus realis ataukah concursus idealis. Kalau
perbuatan itu dipandang sebagai concursus realis, maka dapat dikatakan terdakwa
melakukan beberapa perbuatan. Karena itu penuntutan yang kedua kalinya berdasarkan
pasal 281 KUHP dapat dilakukan. Tetapi bila perbuatan itu dipandang sebagai
concursusidealis, dimana dipandang hanya ada satu perbuatan saja, maka tidak mungkin
dilakukanpenuntutan, yang berarti ada neb is in idem.

b. Persoalan yang berhubungan dengan alternativitas


di dalam ajaran concursus, masalah yang kita hadapi adalah perbuatan yang
berupa pelanggaran ini dan itu. Dalam persoalan alternativitas, yang kita hadapi adalah
perbuatan ini atau itu.
Contoh:
4) pembunuhan dengan sengaja (pasal 338 KUHP) atau karena kealpaannya
menyebabkan matinya orang (pasal 359 KUHP)
5) karena kealpaan menyebabkan matinya orang (pasal 359 KUHP)
6) dengan sengaja menganiaya yang berakibat matinya orang (pasal 351 ayat (3)
KUHP). Alternativitas meliputi saat dilakukannya perbuatan yakni waktu ini atau
waktu
lain dan juga dalam hal dimana dilakukan perbuatan itu ditempat ini atau ditempat lain.
98
Dalam hal ada altenativitas mengenai peraturan yang dilanggar, maka disitu hanya ada
satu perbuatan saja. Penuntutan berdasarkan perbuatan yang satu menghalangi
penuntutan yang lain. Bilamana tuntutan itu tidak berhasil karena dibebaskan atau dilepas
dari segala tuntutan hukum, maka tidak dapat dituntut berdasrkan pasal yang lain.
Dalam hal ada alternativitas mengenai waktu, misalnya A dituntut karena
melakukan penipuan terhadap B pada tanggal 1 Oktober 1993, tetapi dalam surat
dakwaan penuntut umum dicantumkan 1 Nopember 1993, akhirnya oleh pengadilan
diputus bebas. Tetapi kemudian penuntut umum melakukan penuntutan lagi terhadap A
dengan tanggal yang benar, maka disini ada neb is in idem. Begitu juga dalam hal ada
alternativitas tentang tempat terjadinya tindak pidana, (locus delictie).

c. Persoalan perbuatan (Feit) dalam telah ada tuntutan tetapi dalm surat dakwaan terdapat
kelupaan suatu tindak pidana yang didakwakan. Bila terdapat kekeliruan atau
kekurangan dalam surat dakwaan baik mengenai waktu maupun mengenai unsur-unsur
tindak pidananya, penuntut umum dapat melakukan penambahan atau perubahan surat
dakwaan sebagaimana dimungkinkan oleh pasal 144 KUHAP yang berbunyi:
A. Penuntut umum dapat mengubah surat dakwaan sebelum pengadilan menetapkan
hari sidang, baik dengan tujuan untuk menyempurnakan maupun tidak melanjutkan
penuntutannya.
B. Pengubahn surat dakwaan tersebut dapat dilakukan hanya satu kali
selambat-lambatnya tujuh hari sebelum siding dimulai
C. Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan ia menyampaikan
turunannya kepada tersangka atau penasehat hukum dan penyidik.

Dalam hal surat dakwaan dibatalkan oleh hakim, maka perkara tersebut masih
dapat diajukan ke pengadilan untuk dilakukan penuntutan. Tetapi apabila terdakwa
dibebaskan sebagai akibat dakwaan yang tidak sempurna dalam memuat unsur-unsur
tindak pidananya, maka tidak dapat dilakukan penuntutan lagi. Berarti di dalam hal yang
demikian terdapat neb is in idem.

99
d. Terdakwa Meninggal Dunia
Bila seorang terdakwa meninggal dunia sebelum ada putusan pengadilan yang
mempunyai kekuatan hukum tetap, menurut pasal 77 KUHP hak untuk melakukan
penuntutan hapus. Pasal 77 KUHP selengkapnya berbunyi: “Kewenangan menuntut
pidana hapus, jika terdakwa meninggal dunia”.
Sehubungan dengan kewenangan Kejaksaan dalam bidang pidana melakukan
penuntutan (pasal 27 ayat (1) huruf a KUHAP) dan KUHAP sendiri tidak memberikan
wewenang kepada penuntut umum melakukan penyidikan, maka timbul peretanyaan
sejak kapan timbul kewenangan penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap
perkara tindak pidana umum? Jawabnya adalah sejak penuntut umum menerima
penyerahan tanggung jawab hukum atas tersangka dan barang bukti dari penyidik. Sebab
sebelum adanya penyerahan tanggung jawab hukum atas tersangka dan barang bukti dari
penyidik kepada penuntut umum, proses penyelesaian perkara tersebut berarti ada pada
tahap penyidikan yang dilakukan dan menjadi tanggung jawab yuridis penyidik. Jelas
penuntut umum belum berwenang untuk melakukan penuntutan atas perkara tersebut.
Kemudian bagaimanakah bila tersangka meninggal dunia pada saat penyidikan
belum selesai? Dalam hal terjadi tersangka meninggal dunia penyidik dapat
menghentikan penyidikannya demi hukum (pasal 109 ayat (2) KUHAP). Penghentian
penyidikan maupun penghentian penuntutan karena tersangka atau terdakwa meninggal
dunia adalah suatu hal yang wajar karena untuk adanya penuntutan harus ada orang yang
dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya. Sedangkan pertanggung jawaban
pidana melekat pada si pembuat (orang yang melakukan tindak pidana itu), jika orang
yang harus dipertanggung jawabkan atas perbuatannya tidak ada karena meninggal dunia
tentunya penyidikan ataupun penuntutannya harus dihentikan demi hukum.
Bila perkara pidana yang terdakwanya diketahui telah meninggal dunia tetap
dilakukan penuntutan maka tuntutan penuntut umum dinyatakan oleh pengadilan tidak
dapat diterima. Tetapi ada yang berpendapat, bila terdakwa meninggal dunia lebih baik
tuntutannya diteruskan karena ada kemungkinan putusan hakim berbunyi “vrijspraak”
bebas. Dengan demikian terdakwa yang telah meninggal dunia akan dibersihkan
namanya. Hal ini bila pengadilan telah mengetahui bahwa terdakwa meninggal dunia,
tuntutan penuntut umum pasti akan ditolak ataupun apabila terdakwa meninggal dunia

100
setelah perkara dilimpahkan dan sudah pernah dilakukan pemeriksaan, pengadilan akan
mengeluarkan penetapan tentang tuntutan hukuman gugur atau tuntutan jaksa penuntut
umum tidak dapat diterima.
Tresna tidak sependapat bila terdakwa meninggal dunia diteruskanpenuntutannya
dan beliau mengatakan pemeriksaan perkara tidak dapat diduga dari permulaan
bagaimana hasilnya, lagi pula keputusan “bebas perkara (vrijspraak)” sifatnya negative,
keputusan itu tidak memberikan kepastian bahwa terdakwa betul-betul tidak bersalah.
Putusan Mahkamah Agung nomor 29/K/Kr/1974 tanggal 19 Nopember 1974
memutuskan. Hak untuk menuntut hukuman gugur, karena tertuduh meninggal dunia,
oleh karena mana permohonan kasasi dari Jaksa dinyatakan tidak dapat diterima. Dalam
pertimbangannya Mahkamah Agung menyatakan antara lain:
3. menimbang, bahwa berdasrkan surat keterangan Kepala Kampung Lampuk,
Mukim Tungkop, Kecamatan Darusalam tanggal 21 Desember 1973,
ternyata meninggal dunia tanggal 4 Desember 1973.
4. Menimbang, bahwa menurut pasal 77 KUHP hak untuk menuntut hukuman gugur
karena tertuduh meninggal dunia.
Putusan Mahkamah Agung nomor 186 K/Kr/1979 tanggal 5 September 1979
memutuskan.
“Dalam hal terdakwa telah meninggal dunia (pada tahap pemeriksaan banding),
Pengadilan Tinggi cukup mengeluarkan penetapan yang menyatakan tuntutan
hukuman gugur atau tuntutan Jaksa tidak dapat diterima karena terdakwa
meninggal dunia”.

(5) Lampau Waktu (daluarsa, verjaring,expire)


Hak untuk melakukan penuntutan atas suatu perkara pidana hapus karena
kedaluarsa. Daluarsa berarti sudah lewat waktu sebagaimana ditentukan undang-
undang. Pasal 78 KUHP menentukan hak untuk menuntut perkara pidana hapus
karena kedaluarsa. Daluarsa berarti sudah lewat waktu sebagaimana ditentukan
undang-undang.

101
Pasal 78 KUHP menentukan hak untuk menuntut perkara pidana hapus. Pasal 78
KUHP selengkapnya berbunyi:
A. Kewenangan menuntut pidana hapus, karena lewat waktu:
Mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan
percetakan, sesudah satu tahun
Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan,
atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun
Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga
tahun, sesudah duabelas tahun
Mengenai kejahatan yang diancam pidana dengan pidana mati atau pidana
seumur hidup, sesudah delapanbelas tahun.
B. Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umumnya belum delapanbelas
tahun masing-masing tenggang waktu diatas dikurangi menjadi sepertiga.
Maksud pembentuk undang-undang adanya ketentuan adanya ketentuan tentang
kedaluarsa adalah:
• Bahwa perkara yang sudah sangat lama mungkin telah dilupakan orang, karena itu
tidak perlu lagi dilakukan penuntutan
• Mungkin juga semua bukti-bukti dari perkara yang sudah lama itu, sudah
banyak yang hilang atau kabur, saksi-saksinyapun sudah lupa atas kejadian yang
sudah sekian lama itu.
Ada segolongan orang berpendapat bahwa dengan adanya ketentuan tentang
kedaluarsa itu, menyebabkan penguasa mengabaikan salah satu kewajibannya, yaitu
menegakkan keadilan dengan mengadakan koreksi terhadap yang berbuat salah. Senada
dengan pendapat tersebut Hazeminkel Suringa menganggap bahwa tentunya jus puniendi
(hak menghukum) sebagai hak negara untuk menghukum pelaku tindak pidana, tidak
dapat hilang setelah lampau tenggang waktu tertentu. Van Feurbach seorang tokoh
hukum pidana, menganggap tidak ada alasan sama sekali untuk mengadaka daluarsa
dalam hukum pidana. Van Hamei, tokoh dalam hukum pidana Bealanda, mengatakan
daluarsa tidak pada tempatnya bagi kejahatan-kejahatan yang bersifat sangat berat dan
bagi perbuatan-perbuatan penjahat professional. Di Inggris, daluarsa hanya diperlakukan
bagi kejahatan-kejahatan ringan.

102
• Saat mulai terjadinya daluarsa (lewat waktu)
Menurut pasal 79 KUHP tenggang daluarsa mulai berlaku pada hari sesudah
tindak pidana dilakukan, kecuali dalam hal sebagai berikut:
3. Mengenai pemalsuan atau pengrusakan mata uang, tenggang saat berlaku pada
hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan
4. Mengenai kejahatan dalam pasal-pasal 328, 329, 330 dan 333 KUHP, tenggang
waktu daluarsa dimulai pada hari sesudah orang yang langsung terkena oleh
kejahatan dibebaskan atau meninggal dunia.
5. Mengenai pelanggaran dalam pasal 556 sampai dengan pasal 558a, tenggang
waktu daluarsa dimulai pada hari sesudah daftar yang memuat pelanggaran-
pelanggaran itu, menurut aturan-aturan umum dipindahkan ke Kantor
Panitera suatu Pengadilan, dipindahkan ke kantor tersebut.
Bertitik tolak dari ketentuan pasal 78 KUHP timbul pertanyaan, kapan saat
dimulainya daluarsa? Apa sejak terdakwa mulai melakukan tindak pidana atau sejak saat
timbulnya akibat dari tindak pidana yang dilakukan? Mungkin juga dapat terjadi antara
perbuatan pelaksanaan dengan akibat yang timbul terjadi memakan waktu yang lama.
Misalnya seorang A akan membunuh B yang berada di suatu tempat yang letaknya
berjauhan dengan cara mengirim kue tart yang sudah dicampur dengan racun, dengan
harapan apabila kue tart tersebut sampai di tempat B, B akan makan kue tart tersebutdan
setelah makan kue tart yang sudah dicampur racun B akan meninggal dunia. Pengiriman
kue tart dari tempat A untuk sampai ke tempat tujuan (tempat B) berada tentunya
memerlukan waktu yang cukup lama. Dengan demikian antara mulai pengiriman kue tart
dengan meninggalnya B ada tenggang waktu beberapa hari.
Wirjono Prodjodikoro dan Hazeminkel Suringa berpendapat, daluarsa mulai pada
hari sesudah hari akibat tindak pidana itu terjadi. Pompe berpendapat bahwa tenggang
daluarsa dimulai pada waktu perbuatan dilakukan.

b. Terhentinya tenggang daluarsa


Tenggang daluarsa terhenti apabila ada tindakan penuntutan (pasal 80 ayat (1)
KUHP). Pada mulanya tindakan penuntutan diartikan meliputi tindakan penyidikan yang
dilakukan pejabat penyidik, tetapi kemudian dipersempit dengan tindakan-tindakan

103
penuntut umum. Misalnya melakukan pemeriksaan tambahan baik pemeriksaan
tambahan atas perintah hakim dalam pemeriksaan acara singkat maupun pemeriksaan
tambahan karena penyidik tidak dapat memenuhi petunjuk penuntut umum dan penuntut
umum melakukan pemeriksaan tambahan berdasarkan pasal 30 ayat (1) huruf e Undang-
undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Menurut pasal 80
ayat (2) KUHP setelah penuntutan dihentikan maka mulai tenggang daluarsa yang baru.
Jadi selama ada penuntutan, tenggang daluarsa tidak diperhitungkan.

c. Penangguhan daluarsa
Tenggang daluarsa penuntutan tertunda (tertangguhkan, apabila ada perselisihan
prae judicial (pasal 81 KUHP)). Perselisihan prae judicial adalah perselisihan
menuruthukum perdata yang terlebih dahulu harus diselesaikan sebelum penuntutan
dapat diteruskan. Dalam hal ada penangguhan tenggang daluarsa maka tenggang daluarsa
yang telah dilalui, sebelum diadakan penundaan daluarsa, tetap diperhitungkan. Hanya
saja selama acara hokum perdata belum selesai, tenggang waktu daluarsa tuntutan pidana
ditangguhkan. Hal ini dimaksudkan agar terdakwa tidak diberi kesempatan untuk
menunda-nunda penyelesaian perkara perdata dengan perhitungan dapat dipenuhi
tenggang daluarsa penuntutan pidana.
Perbedaan terhentinya tenggang daluarsa dengan penagguhan daluarsa adalah
sebagai berikut:
- Dalam terhentinya daluarsa sebagaimana ditentukan dalam pasal 80 KUHP adalah
adanya penuntutan. Maka tenggang daluarsa terhenti dan setelah penuntutan terhenti,
baru mulai ada tenggang daluarsa
- Dalam penangguhan daluarsa sebagaimana ditentukan dalam pasal 81 KUHP, tenggang
waktu daluarsa sebelum adanya perselisihan prae judicial akan diperhitungkan apabila
sudah ada putusan pengadilan tentang perkara perdatanya. Jadi tenggang daluarsa
terhenti sementara saja.
Alasan daluarsa untuk menjalani pidana diatur dalam pasal 84 KUHP yang
berbunyi:
(1). Kewenangan menjalankan pidana hapus karena lewat waktu
(2). Tenggang lewat waktu mengenai semua pelanggaran lamanya 2 (dua) tahun,

104
mengenai kejahatan yang dilakukan dengan sarana percetakan lamanya lima
tahun, dan mengenai kejahatan-kejahatan yang lain lamanya sama dengan
tenggang lewat waktu bagi penuntutan pidana, ditambah sepertiga.
(3). Bagaimanapun juga, tenggang lewat waktu tidak boleh kurang dari lamanya
pidana yang dijatuhkan.
(4). Wewenang menjalankan pidana mati tidak lewat waktu.
Pada ayat (3) pasal tersebut diatas disebutkan bahwa tenggang lewat waktu tidak
boleh kurang dari lamanya pidana yang dijatuhkan, maka bagi seseorang dijatuhi
pidana seumur hidup oleh pengadilan tidak ada waktu kadaluarsa untuk
pelaksanaan putusan itu. Begitu juga dalam ayat (4), bahwa untuk pidana mati tidak
mengenal adanya daluarsa.
Menurut pasal 85 ayat (1) KUHP tenggang waktu daluarsa dihitung mulai
keesokan harinya sesudah putusan pengadilan dapat dijalankan. Ini tidak selalu sama
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Pada
umumnya putusan pengadilan yang dapat dijalankan, bersamaan dengan saat putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Tetapi pada putusan pengadilan
yang sudah dapat dieksekusi sebelum putusan itu mempunyai kekuatan hukum tetap,
yaitu putusan di luar hadirnya terdakwa (verstek). Putusan verstek tersebut dilaksanakan
setelah terdakwa memperoleh pemberitahuan bahwa ia diputus verstek.
Terhadap putusan verstek itu masih dapat diadakan upaya hukum yaitu
perlawanan (verzet), asal diajukan dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-
undang, tenggang waktu ini mulai berlaku pada hari berikutnya hari terpidana mulai
menjalankan pidana. Jika dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang
terpidana menggunakan haknya mengajukan verzet (perlawanan) maka dengan sendirinya
keputusan pengadilan itu gugur demi hukum.
Jika terdakwa dikenakan pidana bersayarat oleh pengadilan, maka pidana itu baru
dapat dilaksanakan apabila terpidana melanggar syarat-syarat yang ditentukan. Oleh
karena itu terpidana diperintahkan untuk menjalani pidana. Tenggang waktu daluarsa
dimulai keesokan harinya setelah terpidana diperintah menjalani pidana itu. Artinya
daluarsa mulai dihitung keesokan harinya setelah pidana bersyarat itu dicabut. Dengan

105
demikian maka berlaku daluarsa baru. Begitu juga dalam hal terpidana melarikan diri dari
penjara. Untuk jelasnya mari kita lihat pasal 85 ayat (2) KUHP yang berbunyi:
“Jika seorang terpidana melarikan diri selama menjalani pidana, maka pada esok
harinya setelah melarikan diri itu mulai berlaku tenggang lewat waktu baru. Jika
suatu pelepasan bersyarat dicabut, mulai berlaku tenggang lewat waktu baru”.
Penundaan terhadap daluarsa (lewat waktu) untuk menjalani pidana dapat terjadi
dalam dua hal yaitu:
a. selama ada perintah penghentian sementara untuk menjalani pidana menurut peraturan
perundang-undangan. Misalnya dalam hal ada permohonan grasi (pasal 3 ayat (3)
Undang-undang Grasi (undang-undang nomor 3 tahun 1950 tentang Permohonan
Grasi)).
b.Selama terpidana dirampas kemerdekaannya (berada dalam tahanan) meskipun
karena adanya tindak pidana lain.
Hal tersebut diatur dalam pasal 85 ayat (3) KUHP yang berbunyi:
“Tenggang lewat waktu terdakwa selama perjalanan pidana ditunda menurut perintah
dalam suatu peraturan umum, dan juga selama terpidana dirampas kemerdekaannya,
meskipun perampasan kemerdekaan itu berhubung dengan pemidanaan lain”.

f. Pembayaran Denda
suatu konsep yang terasa asing ketika berbicara tentang penyelesaian perkara
pidana diluar pengadilan.konsep yang dikenal berdasarkan asas ius punle dan iuspunendi,
membuat pemikiran tentang sistim penyelesaian perkara pidana hanya dapatdilakukan
melaluai lembabaga peradilan atau litigasi. Konsep ini akhirnya berimbas pada
permasalahan dilembaga peradilan, bahwa terjadinya penumpukan kasus yang banyak,
dan kinerja hakim dapat dipertanyakan, karena semua perkara yang ringan sampai yang
berat harus ditangani oleh mereka. Hal seperti ini tidak perlu terjadi karean KUHP telah
memberika jalan berupa ketentuan berupa dalam pasal 82 KUHP, bahwa penyelesaian
perkara pidana oleh Penuntut Umum yang tentunya ditujukan pada tindak pidana yang
ancaman hukuman denda dengan syarat sebagai berikut:
a. Tindak pidana yang dilakukan adalah pelanggaran,

106
b. Pelanggaran yang dilakukan merupakan tindak pidana yang ancamannya
adalah berupa denda,
c. Jika penuntutan telah dimulai biaya-biaya perkara yang berkaitan dengan
pelaksanaanpenuntutan dapat dibebankan pada pelaku,
d. Pelaku berkenan membayar denda maksimum dengan sukarela,
e. Ancaman pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu jika
dirumuskan dalam aturan perundang-undanga dapat dilaksanakan oleh Jaksa
Penuntut Umum atau dapat dikonversikan kedalam sejumlah uang dengan
kurs yang ditentukan oleh pembuat undang-undang,
f. Pelaksanaan penyelesaian perkara pidana melalui lembaga ini dapat
diperhitungkan sebagai pemberatan bila terjadi pengulangan yang diatur
dalam pasal 486,487,488 KUHP.
Akan tetapi, ketentuan ini menjadi terlupakan oleh para penegak hukum dan
pembuat UU, karena bila merujuk pada aturan dalam KUHAP yang ada sekarang ini ,
dimana memang mekanisme pelaksanaanya tidak diatur. Apakh kemudian menjadi
kekhawatiran terhadap kurangnya kepercayaan penegak hukum, sengaja tidak diatur atau
memang sengaja tidak dibuat.
Pembayaran denda hanya dapat terjadi dalam hal pelanggaran yang hanya
diancam dengan sanksi pidana denda saja. Jika maksimum denda yang diancamkan
dibayar penuh oleh terdakwa, maka tidak melakukan penuntutan lagi (pasal 82 ayat (1)
KUHP). Jika disamping hukuman denda, dikenakan juga hukuman tambahan berupa
perampasan barang-barang, maka barang-barang tersebut harus diserahkan bersama-sama
dengan pelaksanaan pembayaran denda atau pada saat itu juga hanya barang-barang yang
disita (dirampas) dibayar sekaligus (pasal 82 ayat (2) KUHP).
Pembayaran denda itu tidak menghilangkan penambahan hukuman denda
tambahan bila terjadi residivis (pasal 82 ayat (3) KUHP). Ketentuan pasal ini tidak
berlaku terhadap orang yang belum dewasa, yang pada saat melakukan perbuatan itu
belum berumur 16 (enambelas) tahun (pasal 82 ayat (4) KUHP). Ketentuan pembayaran
denda maksimum untuk pelanggaran (pasal 82 KUHP) ini dikenal juga sebagai suatu
lembaga yang disebut afkoop atau sering juga disebut schiking (perdamaian).

107
h. Hapusnya terpidana menjalani pidana
Alasan terpidana untuk tidak menjalani pidana yang telah dijatuhkan oleh
pengadilan adalah merupakan penerapan hukum terhadap seorang yang telah dijatuhi
sanksi pidana pada suatu saat harus dihentikan. Begitu juga karena pengaruh waktu dapat
menghapuskan hasrat untuk menghukum.
Hapusnya terpidana untuk menjalani pidana dapat disebabkan karena:
1. meninggalnya terpidana;
2. Adanya waktu daluarsa;
3. Pemberian amnesti dari Presiden;
4. Pemberian grasi dari Presiden.

i. Meninggalnya terpidana
Memang dapat dimengerti bahwa seseorang yang telah dijatuhi pidana oleh
pengadilan, sebelum menjalani pidana terpidana meninggal dunia, maka dengan
sendirinya kewajiban untuk menjalani pidana itu menjadi gugur. Pasal 83 KUHP
berbunyi: “Kewenangan menjalankan pidana hapus jika terpidana meninggal dunia”.
Ketentuan pasal 83 KUHP itu sebenarnya dapat dikecualikan dalam hal bila
pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan berupa pidana denda. Meskipun orang yang
dikenalkan pidana denda itu meninggal dunia, ini tidak perlu membawa akibat hapusnya
pelaksanaan pidana denda. Sebab denda itu dapat saja dilaksanakan terhadap harta benda
yang meninggal. Ketentuan ini dapat diketemukan dalam pelanggaran peraturan mata
penghasilan dan sewa Negara. Pasal 368 HIR berbunyi:
“Jika yang melakukan sudah meninggal dunia, sesudah hukuman yang dijatuhi telah
menjadi pasti, maka segala denda dan perampasan, demikian juga biaya dalam perkara
pelanggaran tentang mata pengahsilan dan sewa negeri, ditagih dari ahli waris atau
wakil-wakil orang yang meninggal dunia itu”.
Didalam pelanggaran-pelanggaran lainnya, penagihan denda kepada ahli warisnya
tidak dapat dituntut lagi jika terpidana meninggal dunia. Hanya pelaksanaan perampasan
barang-barang milik terpidana saja dapat dirampas apabila keputusan pengadilan telah
memperoleh kekuatan hukum yang pasti. Jadi terhadap barang-barang milik terpidana

108
yang telah dirampas atas keputusan pengadilan, dapat dilakukan eksekusi bila terpidana
meninggal dunia.
Selain ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal 368 HIR, terdapat juga
ketentuan yang mengatur hal yang sama yaitu dalam undang-undang nomor 7 Drt tahun
1955 LN nomor 27 tahun 1955 tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak
pidana ekonomi, pasal 16 ayat (1) huruf a yang berbunyi:
“Jika ada cukup alasan untuk menduga, bahwa seseorang meninggal dunia sebelum atas
perkaranya ada putusan yang dapat diubah lagi telah melakukan suatu tindak pidana
ekonomi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum dengan putusan pengadilan dapat
memutus perampasan barang-barang yang telah disita”.

a. Amnesti dan Abolisi dari presiden


Pasal 14 UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi
dan rehabitasi. Dalam Undang-undang darurat nomor 11 tahun 1954 Lembarang Negara
nomor 146 tahun 1954 pasal 1 menyebutkan, Presiden atas kepentingan negara, dapat
memberikan amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang melakukan sesuatu tindak
pidana. Presiden dalam memberikan amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasehat
tertulis dari Makamah Agung yang menyampaikan nasehat itu atas permintaan Mentri
Kehakiman, penghapusan dengan pemberian abolisi hanya dihapuskan penuntutan
terhadap mereka yang melakukan tindak pidana, yang nyata akibat akibat dari
persengketaan politik antar Republik Indonesia (yokyakarta) dan kerajaan belanda pada
tahun 1949,
Amnesty adalah : pengampunan dari Presiden yang menghapuskan semua akibat
hukum pidana bagi orang-orang yang telah melakukan suatu tindak pidana. sedangakan
Abolisi adalah: pengampunan dari Presiden yang dapat menghapuskan penuntutan
kepada pelaku tindak pidana. Jadi Amnesti, dapat diberikan kepada seorang yang telah
melakukan tindak pidana baik sebelum maupun sesudah adanya putusan pengadilan,
sedangkan abolisi hanya dapat diberikan kepada pelaku tindak pidana sebelum ada
putusan pengadilan, karena abolisi sifatnya hanya menghapuskan penuntutan.

109
Diatas telah disebutkan bahwa pasal 14 Undang-undang Dasar 1945 berbunyi:
“Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi”. Kemudian dalam undang-
undang Darurat nomor 11 tahun 1954 disebutkan bahwa Presiden atas kepentingan
Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang melakukan tindak
pidana. Hal ini merupakan kewenangan Presiden sebagai Kepala Negara.

j. Adanya Pemberian grasi dari Presiden


Salah satu unsur dari Negara adalah adanya kekuasaan Kehakiman yang bebas
dan terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah, seperti halnya telah diatur dalam
undang-undang nomor 48 tahun 2009 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Untuk menegakkan keadilan, pengadilan harus bebas dari campur tangan
pihak manapun juga. Namun demikian adanya suatu kekwcualian sebagaimana
dinyatakan dalam pasal 14 Undang-undang Dasar 1945 yaitu Presiden memberi grasi,
amnesti, abolisi dan rehabilitasi.
Grasi berarti ampun, ampunan atau pengampunan yang diberi oleh kepala Negara
(di Indonesia oleh Presiden) kepada mereka yang telah dijatuhi pidana (penjara),
penggantian jenis pidana seperti pidana mati menjadi pidana seumur hidup. Hanya
Presiden saja yang berhak memberikan grasi kepada orang yang telah dikenakan pidana
oleh pengadilan.
Yang dapat mengajukan permohonan grasi adalah terpidana atau pihak lain yang
mendapat persetujuan dari terpidana, kecuali tergadap orang yang telah dijatuhi pidana
mati. Pasal 2 ayat (2) Undang-undang nomor 3 tahun 1950, diubah dengan Undang-
undang nomor 22 tahun 2002 dan diganti dengan Undang-undang nomor 5 tahun 2010
tentang Permohonan Grasi, dinyatakan jika orang yang dihukum pidana tidak
mengajukan grasi, maka hakim atau Ketua Pengadilan Negeri harus mengajukan grasi
karena jabatan.
Pasal 2 ayat 1 mengatakan : terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada Presiden
Ayat 2 Menyatakan : putusan pengadilan yang dapat dimohonkan grasi sebagaimana
dimaksutt dalam (1) adalah pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling rendah 2 tahun.

110
Ayat 3 menyatakan: permohonan grasi sebagai mana yang dimaksut pada ayat 1
hanya dapat diajukan 1 kali.
Begitu pula dalam pasal 6A ayat 1: demi kepentingan kemanusiaan dan keadilan,
mentri yang membidangi hukum dan hak asasi manusia dapat meminta para pihak
sebagai mana dimaksud dalam pasal 6 untuk mengajukan permohonan grasi. Dan ayat
2: mentri sebagai mana dimaksud pada ayat 1 berwenang meneliti dan melaksanakan
proses pengajuan grasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat 1 dan
menyampaikan permohonan dimaksud kepada Presiden.

K. Tata cara pengajuan Grasi oleh Pemohon


Dalam Undang-undan no 5 tahun 2010 tata cara dalam mengajukan grasi sebagai
berikut:
1. Bahwa hak mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh
hakim atau hakim ketua sidang yang memutus perkara pada tingkat
pertama, atau jika yang bersangkutan tidak hadir akan
diberitahukan secara tertulis oleh panitra pengadilan yang
memutus perkara pada tingkat pertama.
2. Pengajuan grasi dapat dilakukan oleh terpidana secara langsung,
kuasa hukum terpidana atau keluarganya dengan persetujuan
terpidana.
3. Dalam hal terpidana dihukum dengan hukuman mati, maka
pengajuan grasi oleh keluarga dapat dilakukan dengan atau tampa
ijin terpidana.
4. Permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan
berkekuatan hukum tetapdan tidak dibatasi tenggang waktu
tertentu.
5. Permohonan ini diajukan secara tertulis melalui pengadilan tingkat
pertama yang memutuskan perkara tersebut untuk diteruskan ke
Makamah Agung dan kemudian mendapatkan jawaban dari
presidenatau melalui kepala Lembaga Permasyarakatan tempat
terpidana menjalani hukumanya untuk disampaikan kepada

111
presiden dengan salinan yang ditembuskan kepada Pengadilan
tingkat pertama, dimana perkara tersebut diputuskan.

Tenggang waktu untuk mengajukan grasi, bila terpidana dijatuhi pidana mati,
maka waktu 30 (tigapuluh) hari setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan
hukum tetap diberitahukan kepada terpidana. Dan untuk terpidana selain dijatuhi pidana
mati, tenggang waktu untuk mengajukan grasi 14 (empatbelas) hari setelah keputusan
pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, dalam waktu 30 (tigapuluh) hari tidak
mengajukan permohonan grasi adalah terpidana atau pihak lain yang mendapat
persetujuan dari terpidana, kecuali terhadap orang yang telah dijatuhi pidana mati. Pasal 2
ayat (2) Undang-undang nomor 3 tahun 1950 tentang Permohonan Grasi, dinyatakan jika
orang yang dihukum pidana mati tidak mengajukan grasi, maka hakim atau Ketua
Pengadilan Negeri harus mengajukan grasi karena jabatan. Tenggang waktu untuk
mengajukan grasi, bila terpidana dijatuhi pidana mati, maka waktu 30 (tigapuluh) hari
setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dalam hal terpidana dijatuhi pidana mati, dalam waktu 30 (tigapuluh) hari tidak
mengajukan permohonan grasi, maka panitera Pengadilan Negeri yang memutus
perkaranya dalam tingkat memberitahukan hal itu kepada hakim yang mengadili perkara
tersebutatau kepada Kepala Kejaksaan pada pengadilan yang memutus perkaranya pada
tingkat pertama. Meskipun terpidana mati tidak mengajukan permohonan grasi, maka
hakim yang mengadili dan memutus perkaranya karena jabatan harus mengajukan
permohonan grasi kepada Presiden.
Pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum keputusan Presiden mengenai grasi
sampai kepada Kepala Kejaksaan pada Pengadilan yang mengadili perkaranya pada
tingkat pertama atau pegawai yang diwajibkan menjalankan keputusan pengadilan itu.
Permohonan grasi yang diajukan sesuai dengan tenggang waktu yang ditentukan
14 (empatbelas) hari oleh terpidana atau pihak lain dalam hal terpidana dijatuhi pidana
seumur hidup, pidana penjara, pidana kurungan dan kurungan pengganti, dapat menunda
pelaksanaan hukuman (menunda pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan).

112
Tetapi dalam pidana kurungan pengganti, ternyata terpidana mampu membayar
dendanya, tetapi tidak mau membayar denda itu, maka permohonan grasi tidak dpat
menunda pelaksanaan eksekusi mengenai pidana kurungan pengganti. Begitu juga pidana
denda tidak dapat ditunda pelaksanaannya. Sekalipun terpidana mengajukan permohonan
grasi kepada Presiden.
Bagaimanakah caranya mengajukan permohonan grasi? Permohonan grasi harus
dilakukan dalam tenggang waktu 30 (tigapuluh) hari bagi terpidana yang dijatuhi pidana
mati dan 14 (empatbelas) hari bagi terpidana yang dijatuhi pidana selain pidana mati.
Permohonan grasi yang memutus perkaranya pada tingakat pertama. Kemudian oleh
Panitera diteruskan kepada hakim yang memutus perkaranya dalam tingkat pertama.
Permohonan grasi dapat juga langsung kepada Presiden. Kemudian oleh Presiden dikirim
ke Hakim yang mengadili dan memutus perkara tersebut. Dalam hal demikian
permohonan grasi dianggap dikirim kepada Panitera pada pengadilan yang memutus pada
tingkat pertama tersebut.
Selanjutnya permohonan grasi dari terpidana beserta berkas perkaranya dikirim
kepada Kepala Kejaksaan Negeri yang melakukan penuntutan. Setelah Kepala Kejaksaan
Negeri menerima berkas permohonan grasi yang telah dilengkapi dengan pertimbangan
jaksa. Kewajiban Jaksa yang menangani perkara tersebut atau Jaksa yang ditunjuk,
adalah menyampaikan pertimbangan setuju atau tidak setuju permohonan grasi tersebut
dengan mengemukakan alasan yuridis secara objektif secara ringkas, tetapi jelas dan
diuraikan tentang kesalahan terpidana, akibat terhadap diri terpidana dan masyarakat
sekitarnya serta pandangan tentang berat ringannya keputusan pengadilan yang
dijatuhkan.
Selesai Jaksa yang ditunjuk membuat pertimbangan hokum atas permohonan
grasi, berkas permohonan grasi selanjutnya diserahkan kepada Kepala Kejaksaan Negeri
yang bersangkutan untuk dikirim kepada Presiden melalui Ketua Mahkamah Agung
Republik Indonesia (Surat Edaran Jaksa Agung RI nomor SE-008/J.A/6/1982 tanggal 15
Juni 1982).
Dari Mahkamah Agung, berkas permohonan grasi disampaikan kepada menteri
Kehakiman. Sebelum Ketua Mahkamah Agung mengirim berkas permohonan grasi

113
kepada Menteri Kehakiman, Ketua Mahkamah Agung meminta pertimbangan kepada
Jaksa Agung, dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Apabila keputusan pengadilan itu mengenai hukuman mati;
b. Apabila Mahkamah Agung membutuhkan pendapat Jaksa Agung; tentang kebijakan
penuntut umum;
c. Apabila Jaksa Agung sebelumnya mengemukakan keinginannya kepada Ketua
Mahkamah Agung untuk diminta pertimbangannya.
Menteri Kehakiman dapat meminta pertimbangan kepada Menteri yang lain
tentang permohonan grasi, sebelum meneruskan kepada Presiden. Bila permohonan grasi
dimajukan atas hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan Tentara, maka perkataan
Ketua Pengadilan, Mahkamah Agung Indonesia, Jaksa, Kepala Kejaksaan dan Jaksa
Agung, Jaksa Agung harus dibaca Ketua Pengadilan Terntara, (Mahkamah Militer),
Mahkamah Ternata Agung (Mahkamah Militer Agung), Jaksa Tentara (Oditur Militer),
Kepala Kejaksaan Tentara (Komandan Oditorat Militer) dan Jaksa Militer Agung (Oditur
Militer Agung)

Anda mungkin juga menyukai