Anda di halaman 1dari 16

BAB III

PRAKTIK PERADILAN PIDANA DI KEJAKSAAN

A. Dimulainya Penyidikan dan Administrasi Perkara

Apabila masyarakat awam mengira Jaksa bekerja setelah berkas selesai dibuat oleh
Kepolisian, maka hal tersebut adalah hal yang keliru. Ditemukannya tidak pidana, maka
kepolisisan wajib mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP). Dalam hal
penanganan perkara di seksi tindak pidana umum sejak diterimanya SPDP sampai dengan
perkara tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap telah dilakukan beberapa Langkah, yaitu:

1. Menunjuk jaksa yang profesional dan beritengrasi tinggi untuk mengikuti perkembangan
penyidikan dengan menerbitkan surat P-16
2. Penerimaan berkas perkara dari penyidik diteliti oleh jaksa P-16 yang ditunjuk dan
tenggang waktu yang ditentukan untuk menentukan sikap adalah 6 hari apakah berkas
perkara telah lengkap P-21 atau belum lengkap P-18 dan apabila berkas perkara
dinyatakan belum lengkap harus diterbitkan P-19 dalam waktu paling lama 7 hari setelah
P-18.
3. Terhadap berkas perkara yang telah dinyatakan lengkap diperintahkan kepada jaksa untuk
menerima kepada penyidik agar menyerahkan tanggung jawab tersangka dan barang
bukti dalam waktu 5 hari

Setelah penyerahan tersangka dan barang bukti (tahap II) dalam batas waktu maksimal 10
hari sudah harus dilimpahkan ke Pengadilan Negeri.

Dalam prakteknya, kejaksaan menggunakan kode berkas perkara pidana kejaksaan. Hal ini
tertuang dalam Keputusan Jaksa Agung RI No. 518/A/J.A/11/2001 tanggal 1 November 2001
tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung RI No. 132/JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara
Tindak Pidana.

B. Prapenuntutan

Prapenuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk mengikuti perkembangan penyidikan


setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari, atau
meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta
memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas
perkara tersebut lengkap atau tidak.

Prapenuntutan meliputi pelaksanaan tugas-tugas: pemantauan perkembangan penyidikan,


penelitian berkas perkara tahap pertama, pemberian petunjuk guna melengkapi hasil penyidikan,
penelitian ulang berkas perkara, penelitian tersagka dan barang bukti pada tahap penyerahan
tanggung jawab atas tersangka.

Penerimaan berkas perkara tersebut dicatat dalam register penerimaan berkas perkara tahap
pertama dan pelaporannya menggunakan penelitian berkas perkara tahap pertama difokuskan
kepada:
1. Kelengkapan formal, yakni meliputi segala sesuatu yang berhuubungan dengan formalittas
dan persyaratan, tata cara penyidikan yang harus dilengkapi dengan surat perintah, berita acara,
ijin dan persetujuan ketua

pengadilan. Disamping penelitian kuantitas kelengkapan syarat formal, perlu diteliti pula segi
kualitas kelengkapan syarat formal, perlu diteliti pula segi kualitas kelengkapan tersebut, yakni
keabsahannya sesuai ketentuan Undang-Undang

2. Kelengkapan materiil, yakni kelengkapan informasi, data, fakta, dan alat bukti yang
diperlukan bagi kepentingan pembuktian. Kriteria yang dapat digunakan sebagai tolak ukur
kelengkapan materiil antara lain:

1. Apa yang terjadi


2. Siapa pelaku, siapa-siapa yang melihat, mendengar, mengalami peristiwa itu (tersangka,
saksi-saksi, atau ahli)
3. Bagaimana perbuatan itu dilakukan (modus operandi)
4. Dimana perbuatan itu dilakukan (locus delicti)
5. Akibat apa yang ditimbulkannya (ditinjau secara victimologis)
6. Apa yang hendak dicapai dengan perbuatan itu (motivasi yang

mendorong pelaku)

7. Kelengkapan materiil terpenuhi bila segala sesuatu yang diperlukan bagi kepentingan
pembuktian telah tersedia sebagai hasil penyidikan

Jaksa menerima P-16 dan meneliti berkas perkara yang diberikan oleh penyidik jika belum
lengkap jaksa akan membuat surat pengembalian berkas P-18 disertai petunjuk dengan surat P-
19 kepada penyidik, yang isinya agar berkas segera dilengkapi dan diberi waktu maksimal 14
hari. Dalam P-19 agar diuraikan secara cermat, jelas, lengkap tentang hal apa yang harus
dilengkapi oleh penyidik sesuai ketentuan pasal 138 ayat 2 jo. Pasal 110 ayat 2 dan 3 KUHAP.

Pengembalian berkas perkara kepada penyidik dilakukan lewat kurir atau berkas perkara
dapat diserahkan langsung kepada penyidik. Kedua bentuk penyerahan Kembali berkas perkara
tersebut dilengkapi dengan P-19 dan tanda terima pengembalian berkas perkara. Apabila setelah
lebih dari 14 hari sejak dikembalikan berkas perkara kepada penyidik untuk dilengkapi belum
juga dikembalikan ke jaksa penuntut umum, maka JPU mengusulkan untuk diterbitkan P-20
penyidik belum memngembalikan berkas perkara, maka demi kepastian hukum serta sesuai
dengan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan. Kajari agar mengembalikan SPDP
perkara dimaksud kepada penyidik dan menghapus perkara tersebut dari register perkara yang
ada di kejaksaan.

Apabila berkas perkara telah memenuhi syarat formil maupun materiil, jaksa akan
menyatakan berkas perkara telah lengkap dan membuat surat pemberitahuan bahwa berkas sudah
lengkap P-21 untuk diserahkan kepada penyidik bahwa berkas sudah lengkap.

C. Penuntutan
Pengertian penuntutan diatur dalam pasal 1 angka 7 KUHAP, bahwa penuntutan adalah
“Tindakan penuntut umum melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang
dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya
diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”. Namun demikian proses penuntutan
tentunya diawali dengan beberapa proses hubungan koordinasi kepolisian dengan kejaksaan.

Sebagaimana telah diuraikan dengan pasal 109 KUHP, bahwa dalam hal penyidik telah mulai
melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan
hal itu kepada penuntut umum. Sejak itulah fungsi pengawasan dan mentoring melekat pula pada
kejaksaan. Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan yang dilakukan
penyidik menurut pendapat penuntut umum kurang lengkap, penuntut umum segera
mengembalikan berkas tersebut kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan penyidik
wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum
(pasal 110 ayat 3 kUHAP) dan pra-penuntutan tidak dapat dilakukan Kembali apabila dalam 14
hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu
tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik
(pasal 110 ayat 4 KUHAP).

“lengkap” artinya bukti-bukti cukup dan berkasnya disusun menurut KUHAP. Dalam tahap
pra-penuntutan yang diatur dalam KUHAP ternyata terjadi permasalahan dalam praktiknya.
Tidak ada suatu ketentuan dalam UU No. 8 Tahun 1981 yang mengatur beberapa kali berkas
perkara bolak-balik antara penyidik dan penuntut umum dalam hal perkara tersebut menurut
pandangan penuntut umum belum lengkap. Oleh karena itu, pada buku pertama penulis dan buku
ketiga dijelaskan mengapa terjadi demikian maka hubungan antara penyidik dan penuntut umum
harus erat, bahkan penuntut umum harus sudah muncul pada proses penyidikan memberikan
arahan atau secara langsung bekerjasama, dengan demikian prinsip difrensiasi fungsional dapat
diabaikan.

Penuntutan adalah Tindakan penuntut umum melimpahkan perkara pidana ke pengadilan


negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Dari pengertian
penuntutan ini dapat diperoleh garis hukum antaa lain:

1. Wewenang penuntutan hany ada pada penuntut umum


2. Kewajiban melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri
3. Supaya hakim memeriksa dan memutus perkara pidana tersebut
4. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh UU untuk melakukan
penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim
5. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU untuk bertindak sebagai penuntut
umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap

Perbedaan jaksa dan penuntut umum adalah penuntut umum pasti jaksa, akan tetapi tidak
semua jaksa adalah penuntut umum. Penuntut umum melaksanakan penetapan hakim, sementara
jaksa melaksanakan putusan hakim. Daerah hukum penuntut umum sebatas daerah hukum
kejaksaan negeri dimana ia ditugaskan yang sebanding dengan wilayah kabupaten atau
kotamadya. Sedangkan daerah hukum jaksa tidak dibatasi mengingat jaksa itu satu dan tak
terpisahkan.

Dalam rangka melakukan tugas penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim, penuntut
umum mempunyai wewenang:

1. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik
pembantu
2. Mengadakan prapenuntutan jika ada kekurangan penyidikan dengan memberi petunjuk
dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik
3. Memberikan perpanjangan penahan atas permintaan penyidik, melakukan penahan, atau
penahanan lanjutan dan mengubah status tahanan
4. Membuat surat dakwaan
5. Melimpahkan perkara ke pengadilan
6. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa, hari dan waktu perkara disidangkan
disertai surat panggilan baik kepada terdakwa maupun saksi-saksi, ahli untuk datang pada
sidang yang telah ditentukan
7. Melakukan penuntutan
8. Menutup perkara demi kepentingan hukum
9. Melaksanakan penetapan hakim
10. Melakukan Tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut
umum menurut ketentuan undang-undang, antara lain:
1. Meneliti barang bukti dan identitas tersangka pada penyerahan perkara tahap
kedua
2. Melengkapi berkas perkara dengan melakukan pemeriksaan tambahan
3. Mengajukan praperadilan terhadap penghentian penyidikan yang dilakukan
penyidik
4. Membuka dan melanjutkan penuntutan terhadap perkara yang telah dihentikan
penuntutannya
5. Mengadakan penggabungan perkara dan menuntut dalam satu surat dakwaan
6. Menentukan apakah perkara diajukan untuk diperiksa dengan acara pemeriksaan
biasa atau acara pemeriksaan singkat.

D. Surat Dakwaan

Surat dakwaan adalah suatu surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang
didakwa kan kepada terdakwa, yang disimpulkan atau ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan
dan merupakan dasar serta landasan bagi hasil dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan.

Surat dakwaan yang merupakan landasan titik tolak pemeriksaan perkara di sidang
pengadilan, penyusunannya mesti dibuat dalam bentuk rumusan spesifik sesuai dengan ruang
lingkup peristiwa pidana yang terjadi dihubungkan dengan kenyataan yang terkandung didalam
perbuatan peristiwa pidana yang bersangkutan. Sebab itu diperlukan kecermatan dan
keterampilan teknis menyusun rumusan dan bentuk surat dakwaan dalam kasus peristiwa pidana
sehubungan kaitannya dengan sistem penjatuhan hukuman yang ditentukan dalam pasal-pasal
pidana yang bersangkutan. Bentuk-bentuk surat dakwaan pada dasarnya ada empat yaitu, surat
dakwaan tunggal, surat dakwaan alternatif, surat dakwaan kumulatif dan surat dakwaan
subsidairitas (bersusun lapis).1

Dalam Surat dakwaan terdapat pertentangan antara satu dan yang lainnya, Apabila dalam
surat dakwaan terdapat pertentangan isi perumusan satu dengan lainnya, akan timbul keraguan
pada diri terdakwa tentang perbuatan yang didakwakan kepadanya.2

Dakwaan menjadi penting dikarenakan:

- Melalui dakwaan itu pemeriksaan di persidangan dilakukan


- Menjadi salah satu filter ketentuan hukum yang dikenakan oleh tersangka sebelum
persidangan dilakukan
- Dalil-dalil pembelaan penasehat hukum bersumber juga melalui surat dakwaan
- Serta surat dakwaan menjadi arah persidangan akan dibawa dan dikembangkan kemana.

Fungsi surat dakwaan dalam pemeriksaan suatu perkara adalah:

- Bagi Hakim: merupakan dasar yang menentukan ruang lingkup pemeriksaan sidang, serta
dasar penilaian atau pertimbangan dan musyawarah majelis hakim dalam mengambil
keputusan tentang perbuatan dan kesalahan terdakwa.
- Bagi Penuntut Umum: sebagai dasar pelimpahan perkara, dasar pembuktian atau
pembahasan yuridis, dasar tuntutan pidana, dasar pengajuan upaya hukum.
- Bagi Terdakwa/Penasehat Hukumnya: merupakan dasar pengajuan eksepsi, juga dasar
pembelaan diri karena itu dakwaan harus cermat jelas dan lengkap agar dapat dimengerti
oleh terdakwa.

E. Syarat Dakwaan

Surat dakwaan sebagai syarat mutlak Pelimpahan berkas perkara ke pengadilan agar
diadili berdasarkan pasal 143 ayat (1) KUHAP, “ penuntut umum melimpahkan perkara ke
pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan
surat dakwaan”. Serta terdapat pula syarat syarat surat dakwaan dalam pasal 143 ayat (2)
KUHAP berisikan:

Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta
berisi:

a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka. (Syarat formil surat dakwaan)
b. Uraian secara cermat, Jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwa
kan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan. (Syarat
materil surat dakwaan).

1
Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 16071101590
2
Lilik Mulyadi, Op-Cit, hlm. 63.
Dalam kaitannya dengan masalah penyebutan waktu dan tempat dalam surat
dakwaan sebagai bagian syarat materil surat dakwaan perlu dipresenti sebagai
berikut : Pentingnya waktu dan tempat dimasukkan kedalam dakwaan untuk
mengetahui Pengadilan Negeri mana yang berwenang mengadili dan untuk
menjaga jangan sampai terdakwa akan mengelak dakwaan bahwa ia pada waktu
kejadian berada ditempat lain. Alibi ini jika dapat dibuktikan terdakwa
mengakibatkan surat dakwaan tidak dapat diterima.3

Ada dua syarat cara merumuskan surat dakwaan yang harus dipenuhi, yaitu:

1. harus mengandung lukisan dari apa yang senyatanya terjadi.


2. dalam lukisan itu harus dinyatakan pula unsur unsur yuridis dari tindak pidana
yang didakwakan.

Apabila surat dakwaan dinyatakan batal demi hukum, sikap yang paling tepat dan
singkat:4

- Tidak perlu mengajukan upaya hukum banding perlawanan (verzet) atau banding.
- Tetapi langsung menyempurnakan rumusan surat dakwaan untuk segera dalam waktu
singkat kembali ke pengadilan

F. Jenis Dakwaan

M. Yahya Harahap5, menjelaskan bentuk-bentuk surat dakwaan yaitu:

a. Surat dakwaan biasa; Surat dakwaan biasa adalah surat dakwaan yang disusun dalam
rumusan tungal. Surat dakwaan berisi satu saja dakwaan. Umumnya dipergunakan dalam
tindak pidana yang jelas serta tidak mengandung faktor penyertaan (mededaderschap)
atau faktor concursus maupun faktor alternatif atau faktor subsidair. Baik pelakunya
maupun tindak pidana yang dilanggar sedemikian rupa jelas dan sederhana, sehingga
surat dakwaan cukup dirumuskan dalam bentuk tunggal.

b. Bentuk surat dakwaan subsidair (subsidiary); Pada lazimnya ditinjau dari teori dan
praktek bentuk dakwaan subsidair diajukan apabila peristiwa tindak pidana yang terjadi:

1) Menimbulkan suatu akibat dan akibat

2) Akibat yang timbul itu meliputi atau bertitik singgung dengan beberapa
ketentuan pasal pidana yang hampir saling berdekatan cara melakukan tindak pidana
tersebut.

3
Ibid, hal. 25.
4
Ibid, hal. 488.
5
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penvidikan dan Penuntutan (Jilid I:
Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 398-436
c. Surat dakwaan alternatif; Berarti antara dakwaan yang satu dengan yang lain saling
mengecualikan atau one that substitutes for another, sehingga dapat member pilihan
kepada hakim untuk menetukan dakwaan mana yang tepat dipertanggungjawabkan
kepada terdakwa.

d. Surat dakwaan kumulasi: Disebutnya juga dakwaan yang berbentuk multiple, yakni
surat dakwaan yang disusun berupa rangkaian dari beberapa dakwaan atas kejahatan atau
pelanggaran. Tata cara pengajuan surat dakwaan yang seperti ini dimungkinkan berdasar
ketentuan pasal 141 KUHAP, yang disebut "penggabungan perkara" dalam "satu surat
dakwaan

Andi Sofyan mengatakan bahwa bentuk-bentuk surat dakwaan adalah dakwaan tunggal
(satu perbuatan saja), dakwaan alternatif, dakwaan subsidary dan dakwaan kumulatif.6

Dalam hal teknis penyusunan surat dakwaan dapat dilakukan sebagai berikut:

1. Dakwaan Tunggal

Oleh Disman Samosir disebutkan bahwa surat dakwaan biasa adalah surat
dakwaan yang menguraikan bahwa pelaku dari suatu tindak pidana itu hanya satu orang
saja dan tindak pidana yang dilakukan hanya satu saja, misalnva si Otong melakukan
pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP. Jadi dalam suatu surat dakwaan
biasa tidak ada deelneming (turut serta) atau samenloop (gabungan dari beberapa tindak
pidana).7

Dakwaan secara tunggal dapat digunakan apabila seseorang atau lebih terdakwa
melakukan satu macam tindak pidana. Terdakwa didakwakan satu perbuatan saja, tanpa
diikuti dengan dakwaan dakwaan lain. Bentuk dakwaan ini biasa digunakan dalam
perkara pidana yang sederhana saja. Karena apabila digunakan dalam perkara pidana
yang sifatnya tidak sederhana, maka akan menimbulkan resiko terdakwa bebas dari
tuntutan JPU yang berarti terdakwa dibebaskan.

2. Dakwaan alternatif

Bentuk surat dakwaan alternatif disebut dakwaan yang memberi kesempatan


kepada hakim untuk memilih salah satu di antara dakwaan yang diajukan dalam surat
dakwaan. Jadi, bersifat dan berbentuk alternative accusation atau alternative
tenlastelegging.8

6
Andi Sofyan dan H. Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Kencana Prenadamedia Group, Jakarta,
214, hlm. 176 - 177.
7
C. Disman Samosir, segenggam lentang Hukum Acara Pidana, Nuansa Aulia, Bandung, 2013, hlm. 101.
8
Ibid, hlm. 400.
Dakwaan secara alternatif, yaitu dakwaan yang saling mengecualikan antara satu
dengan yang lain.

Suatu surat dakwaan disusun dalam bentuk alternatif apabila:

1. Pada dasarnya terdakwa hanya melakukan satu tindak pidana.


2. Akan tetapi fakta kejadian atau perbuatan yang ada dalam berkas perkara membuat
ragu penuntut umum mengenai tindak pidana yang harus didakwa kan apakah
perbuatan yang terjadi merupakan tindak pidana A atau kah tidak pidana B.
3. Agar dua duanya bisa dirumuskan dalam satu surat dakwaan, penuntut umum
menyusun surat dakwaan secara alternatif.
4. Yang dibuktikan hanya satu tindak pidana yaitu tindak pidana A atau tindak pidana B.

3. Dakwaan subsidair

Dakwaan subsidair penuntut umum tidak ragu ragu tentang jenis tindak pidana
nya, tetapi yang dipermasalahkan adalah kualifikasi dari tindak pidana yang akan
didakwa kan apakah tindak pidana tersebut termasuk kualifikasi berat atau kualifikasi
ringan.

Bentuk dakwaan subsidair sering diartikan sebagai dakwaan 'pengganti'dalam


peristilahan Inggris disebut with the alternative of. Artinya dakwaan subsidair (dakwaan
urutan kedua) menggantikan dakwaan 'primair'(dakwaan urutan pertama). Demikian
seterusnya, urutan paling bawah menggantikan urutan paling atas. Pada lazimnya ditinjau
dari teori dan praktek bentuk surat dakwaan subsidair diajukan apabila peristiwa tindak
pidana yang terjadi.9

Pada dasarnya bentuk surat dakwaan subsider dan surat dakwaan alternatif adalah sama,
yaitu:

1. Terdakwa hanya melakukan satu tindak pidana.


2. Dan yang di bukti dan dipertanggungjawabkan kepada terdakwa hanya satu tindak
pidana saja.
3. Tapi dalam surat dakwaan perbuatan yang didakwa kan disusun secara berlapis,
tindak pidana yang diancam pidana lebih berat ditempatkan pada urutan pertama dan
harus dibuktikan terlebih dahulu, apabila tindak pidana urutan pertama tidak terbukti
baru dibuktikan Dakuan urutan kedua yang ancaman pidananya lebih ringan.
4. ciri surat dakwaan yang disusun secara subsider, yaitu dakwaan pertama disebut
dakwaan primer, Dakuan berikutnya disebut dakwaan subsider.

4. Dakwaan kumulatif

Surat dakwaan kumulatif digunakan apabila ada beberapa tindak pidana yang tidak ada
hubungan antara tindak pidana satu dengan tindak pidana yang lain dengan kata lain tindak
pidana nya berdiri sendiri sendiri.
9
Yahya Harahap, Op-Cit, him. 402.
Dalam surat dakwaan yang kumulatif atau yang digabung, bisa saja yang digabung para
terdakwa, artinya kalau terdakwa dua atau lebih, bisa saja digabung dalam surat dakwaan
atau jakaa penuntut umum bisa menggabungkan beberapa tindak pidana dalam satu surat
dakwaan.10

Dapat di rumuskan dakwaan kumulatif, yaitu:

1. Beberapa tindak pidana dilakukan satu orang sama.


2. Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut.
3. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkutan.

5. Dakwaan campuran

Dalam surat dakwaan kombinasi didakwa kan lebih dari satu tindak pidana dan setiap
daerah berbeda bentuk dari yang lain. Surat dakwaan ini digunakan agar terdakwa tidak lolos
dari jeratan hukum.

Bentuk-bentuk surat dengan kombinasi adalah:

1. Kumulatif subsidair
2. Kumulatif alternatif
3. Subsidair kumulatif

G. Teknik Pembuatan Surat Dakwaan

Teknik Pembuatan Surat Dakwaan menurut Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia
Nomor: SE-004/J.A/11/1993 Tentang Pembuatan Surat Dakwaan antara lain:

1. Pemilihan Bentuk
Surat Dakwaan disesuaikan denga jenis Tindak Pidana yang dilakukan oleh Terdakwa.
Terdakwa melakukan satu Tindak Pidana, digunakan Dakwaan Tunggal. Adapun
Dakwaan Alternatif atau Subsidair dan Dakwaan Kumulatif.
2. Teknis Redaksional
Berkenaan dengan cara merumuskan Fakta-Fakta dan perbuatan Terdakwa yang
dipadukan dengan Unsur-Unsur Tindak Pidana sesuai perumusan ketentuan Pidana yang
dilanggar. Perumusan dimaksud dilengkapi dengan uraian tentang waktu dan tempat
Tindak Pidana dilakukan. Uraikan kedua komponen tersebut menggunakan bahasa yang
sederhana dan kalimat-kalimat efektif.

H. Surat Tuntutan

Tuntutan (Requisitoir) adalah kewenangan Penuntut Umum untuk mengajukannya setelah


pemeriksaan di sidang dinyatakan selesai oleh Hakim Ketua sidang atau Ketua Majelis, dasar
hukumnya Pasal 182 ayat (1) huruf a KUHAP.

10
C. Djisman Samosir, Op-Cit, him. 103.
Surat Tuntutan (Requisitoir) memuat hal-hal mengenai:

1. Hal Tindak Pidana yang didakwakan;


2. Fakta-Fakta yang diperoleh dalam persidangan;
3. Analisis Hukum terhadap Fakta-Fakta untuk memberikan Konstruksi Hukum atas
peristiwa yang didakwakan;
4. Pendapat tentang hal terbukti tidaknya dakwaan;
5. Permintaan Jaksa Penuntut Umum pada Majelis Hakim.

Fakta-Fakta Keterangan, Saksi-Saksi dan SaksiAhli, Keterangan Terdakwa, dan Alat-Alat


Bukti. Fakta-Fakta yang diperoleh dalam persidangan kemudian dianalisis.

Pekerjaan Hukum diarahkan pada tiga hal antara lain:

1. Bentukan konstruksi peristiwa yang sesungguhnya terjadi;


2. Bentukan konstruksi hukumnya dalam peristiwa tersebut;
3. Kesimpulan yang ditarik atas bentukan konstruksi peristiwa dan bentukan hukumnya.

Pedoman Nomor 3 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum.
Pedoman ini ditunjukan untuk menjamin kemandirian dan kebebasan yang bertanggung jawab
dari Penuntut Umum dalam mengajukan Tuntutan Pidana, menyederhanakan mekanisme
pengajuan Tuntutan Pidana dan menghindari disparitas Tuntutan Pidana.

Namun demikian ada perkara-perkara yang dikecualikan, agar rencana penuntutannya


dikordinasikan dengan lembaga yang lebih tinggi. Perkara Penting Berskala Nasional merupakan
pertaka Tindak Pidana Umum yang memenuhi kriteris sebagai berikut:

1. Pelaku Tindak Pidana merupakan Pejabat Pemerintah Pusat, Tokoh Agama, Tokoh
Masyarakat, atau seseorang yang menarik perhatian media massa nasional atau yang
mendapat perhatian dari negara sahabat;
2. Menggunakan sarana/ teknologi canggih berdampak secara nasional atau internasional;
3. Menimbulkan korban jiwa dalam jumlah banyak atau merusak bangunan atau objek vital
nasional;
4. Perkara Tindak Pidana terhadap keamanan negara atau ketertiban umum yang berdampak
luas atau meresahkan masyarakat;
5. Perkara yang terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang oleh Aparat Penegak
Hukum;
6. Perkara dengan dampak luas, meliputi 2 atau lebih daerah hukum Kejaksaan Tinggi.
Perkara Penting Berskala Daerah, perkara Tindak Pidana Umum yang memenuhi kritteria
sebagai berikut:

1. Pelaku atau korban Tindak Pidana merupakan Pejabat Pemerintah Daerah, Tokoh
Agama, atau Tokoh Masyarakat yang berpengaruh di daerah;
2. Perkara dengan dampak luas, meliputi dua atau lebih daerah hukum Kejaksaan
Negeri.
Proses Penuntutan beratnya Tuntutan didasari pada keadaan dan Faktor yang memengaruhi
Tuntutan Pidana dengan mempertimbangkan keadaan yang memberatkan; terdiri dari:

1. Mengganggu Stabilitas dan Keamanan Negara;


2. Mengandung Sentimen, Perlakuan Diskriminatif, Pelecehan, atau Penggunaan Kekerasan
terhadap orang berdasarkan identitas, Keturunan, Agama, Kebangsaan, Kesukuan, atau
Golongan tertentu;
3. Terdakwa tidak menyesali perbuatannya; menimbulkan Keresahan yang meluas bagi
masyarakat;
4. Menimbulkan Kerugian bagi negara dan/ atau masyarakat;
5. Menimbulkan Penderitaan yang mendalam dan berkepanjangan bagi korban dan
keluarganya;
6. Merusak Generasi Muda; dilakukan secara Sadis;
7. Terdakwa telah Menikmati hasil Tindak Pidana; dan/ atau
8. Keadaan memberatkan lain yang bersifat kasuistis berdasarkan Fakta Persidangan atau
Faktor Pertimbangan lain yang diatur dalam Perundang-undangan.

Sedangkan keadaan yang Meringankan, antara lain sebagai berikut:

1. Terdakwa dalam keadaan hamil;


2. Terdakwa dan korban sudah melakukan perdamaian;
3. Terdakwa menyesali perbuatannya;
4. Terdakwa telah mengganti kerugian atau telah melakukan perbaikan akibat Tindak
Pidana seperti keadaan semula;
5. Terdakwa masih muda dan diharapkan masih dapat memperbaiki perilakunya;
6. Terdakwa belum menikmati hasil Tindak Pidana;
7. Terdakwa menyerahkan diri setelah melakukan Tindak Pidana;
8. Terdakwa merupakan Saksi Pelaku yang bekerja sama (Justice Collaborator); dan/ atau
9. Terdakwa meringankan lain yang bersifat kasuistis berdasarkan Fakta persidangan atau
Faktor pertimbangan lain yang diatur dalam ketentuan Perundang-Undangan.

Faktor yang harus dipertimbangkan dalam Tuntutan Pidana terdiri dari:

1. Kesalahan dan Peran Terdakwa;


2. Motif dan Tujuan melakukan Tindak Pidana;
3. Sikap Batin Terdakwa pada waktu melakukan Tindak Pidana;
4. Keadaan Jasmani dan Rohani Terdakwa, antara lain Kondisi Fisik dan Psikis Terdakwa,
termasuk Karakter, Kepribadian, Keadaan Sosial, dan Ekonomi Terdakwa;
5. Riwayat hidup Terdakwa, termasuk Jabatan, Pekerjaan, Profesi dan/ atau Pendidikan
Terdakwa;
6. Pengaruh Tindak Pidana terhadap korban atau keluarga korban; dan/ atau
7. Kondisi sosial masyarakat dan/ atau kearifan lokal. Dicantumkan dan diuraikan dalam
Surat Tuntutan. Dalam ketentuan Pidana mengancam Sanksi Pidana selain Pidana
penjara, tercapainya tujuan Pemidanaan kepada Perbaikan Diri dan Masa Depan Pelaku
dengan tetap memperhatikan Fakta Hukum dan mempertimbangkan keadaan serta Faktor
keadaan yang Meringankan, Memberatkan, dan Faktor lainnya. Pada Kasus-Kasus Anak,
berlaku bagi Tuntutan Pidana Penjara untuk Tindak Pidana.

Dengan tetap memperhatikan:

1. Pidana Penjara terhadap Anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir;


2. Anak telah berusia 14 tahun dan Tindak Pidana diancam dengan Pidana Penjara 7 tahun
keatas;
3. Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan dengan Pidana Penjara terhadap Anak
paling lama 1⁄2 dari maksimum Pidana Penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa;
4. Minimum Khusus Pidana Penjara tidak berlaku terhadap Anak; dan
5. Jika Tindak Pidana yang dilakukan Anak merupakan Tindak Pidana Mati atau Pidana
Penjara paling lama 10 tahun.

Kasus dalam Tuntutan Pidana dibuat jelas sesuai perbuatan materil Terdakwa berdasarkan
Fakta Hukum. Dalam hal Penuntut Umum mengembalikan Barang Bukti kepada Saksi atau
Pihak Ketiga. Penuntut Umum dapat mengajukan Tuntutan Bebas (Vrijspraak) dalam hal:

1. Kesalahan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan;


2. Tindak Pidana yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan karena tidak
terpenuhinya unsur Tindak Pidana; dan/ atau
3. Tidak terpenuhinya 2 Alat Bukti yang sah karena Alat Bukti yang diajukan di depan
persidangan tidak mempunyai kekuatan pembuktian atau diperoleh secara tidak sah.

Penuntut Umum mengajukan Tuntutan Lepas (Ontslag Van Rechtsvervolging) berdasarkan


Fakta di persidangan perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu
tidak merupakan suatu Tindak Pidana. Maka Penuntut Umum dalam tuntutannya wajib
membuktikan perbuatan yang didakwakan kepada Terdakwa dan menguraikan alasan sebagai
berikut:

1. Adanya alasan pembenar yang menghapus sifat melawan hukumnya atau adanya alasan
pemaaf yang menghapuskan kesalahan sehingga perbuatan yang dilakukan Terdakwa
tidak merupakan Tindak Pidana;
2. Perbuatan yang dilakukan Terdakwa tidak termasuk dalam ranah Hukum Pidana; dan/
atau
3. Terdapat perubahan peraturan Perundang-Undangan yang mendekriminalisasi atau
menghilangkan sifat melawan hukum perbuatan yang didakwakan.

Tindak Pidana Umum tuntutan Pidananya 2/3, sedangkan pada Tindak Pidana Khusus
menggunakan 3⁄4 dari ancaman Pidana maksimum sebagimana diatur dalam Pasal Undang-
Undang yang bersangkutan. Penuntut Umum dapat mengajukan Tuntutan Pidana dengan syarat
dalam hal Tindak Pidana yang dilakukan Terdakwa layak dituntut Pidana Penjara paling lama 1
tahun atau Pidana Kurungan, Pengawasan Pelaksanaan Pidana dengan syarat oleh Jaksa dapat
berjalan, dan berdasarkan Fakta Hukum di persidangan:

1. Terdakwa baru pertama kali melakukan Tindak Pidana;


2. Kerugian dan Penderitaan korban tidak terlalu besar;
3. Terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban;
4. Pidana Penjara tidak memberi manfaat bagi Terdakwa untuk berubah menjadi warga
negara yang lebih baik di masa depan;
5. Terdakwa tulang punggung keluarga;
6. Profesi Terdakwa sangat dibutuhkan di daerah tempat tinggal atau lingkungan kerjanya;
7. Tindak Pidana yang dilakukan tidak berkaitan dengan Etika Profesi; dan / atau
8. Telah terjadi perdamaian antara Terdakwa dengan korban.

I. Sikap Penuntut Umum Paska Putusan

Diatur oleh Pedoman Nomor 3 Tahun 2019. Apabila Hakim menjatuhkan Pidana Penjara
paling lama 20 tahun dari Tuntutan Pidana Mati atau Pidana Penjara Seumur Hidup Penuntut
Umum mengambil alih sebagian atau seluruhnya sebagai pertimbangan dalam putusannya maka:

1. Dalam hal Penuntut Umum menuntut Pidana Mati, Penuntut Umum wajib mengajukan
Upaya Hukum; atau
2. Dalam hal Penuntut Umum wajib melaporkan Pidana Penjara Seumur Hidup, Penuntut
Umum wajib melaporkan kepada Pimpinan secara berjenjang pada kesempatan pertama
dengan menggunakan sarana tercepat dalam rangka untuk mengambil sikap.

Apabila Hakim menjatuhkan Pidana 1⁄2 dari Tuntutan Pidana Penuntut Umum dan dalam
Putusannya mempertimbangkan Analisis Yuridis Penuntut Umum serta mengambil alih sebagian
atau seluruhnya sebagai pertimbangan dalam putusannya maka Penuntut Umum tidak wajib
mengajukan Upaya Hukum. Namun demikian ketentuan tidak wajib mengajukan Upaya Hukum
tidak berlaku terhadap Perkara:

1. Pencurian dengan Kekerasan yang disertai dengan Pemberatan;


2. Tindak Pidana yang dilakukan secara terorganisir atau berkelompok;
3. Tindak Pidana yang mengandung Sentimen, Perlakuan Diskriminatif, Pelecehan, atau
Penggunaan Kekerasan terhadap orang berdasarkan Identitas, Keturunan, Agama,
Kebangsaan, Kesukuan, atau Golongan tertentu;
4. Pencurian tas atau bagasi yang terjadi dibandara, kereta api, bus, dan kapal penumpang;
5. Kekerasan Seksual terhadap Anak maupun Perempuan;
6. Tindak Pidana dengan modus pembiusan dan/ atau hipnotis; dan/ atau
7. Tindak Pidana yang berdampak pada kerugian kekayaan atau aset negara yang besar.

Apabila Hakim menjatuhkan Pidana 2/3 dari Tuntutan Pidana Penuntut Umum maka
Penuntut Umum tidak wajib mengajukan Upaya Hukum. Dalam hal perkara yang Pasal-
Pasalnya dinyatakan terbukti oleh Hakim berbeda dengan Pasal yang dibuktikan Penuntut Umum
maka Penuntut Umum wajib mengajukan Upaya Hukum.

Pada Perkara Anak, Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim dalam Perkara Anak berbeda.
Penuntut Umum tidak wajib mengajukan Upaya Hukum kecuali jika Hakim tidak
mempertimbangkan Asas Proporsional dan kepentingan terbaik Anak.

Dalam hal Terdakwa mengajukan Banding, Penuntut Umum wajib mengajukan Banding
dengan membuat Memori Banding dan Kontra Memori Banding apabila Terdakwa membuat
Memori Banding. Begitupula terhadap Upaya Hukum lainnya yaitu Kasasi. Upaya Hukum
Kasasi diajukan oleh Penuntut Umum dalam hal:

1. Hakim menjatuhkan Putusan Bebas atau Putusan Lepas dari segala tuntutan hukum; dan/
atau
2. Terdapat alasan sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.

KESIMPULAN
Kejahatan atau tindak pidana yang sering terjadi menimbulkan keresahan dan momok
yang menakutkan bagi masyarakat khususnya di Indonesia. Kejahatan tersebut dapat
menimbulkan kerugian serta memberikan efek trauma bagi korbannya, untuk itu peran dari
Kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum yang memiliki kewenangan dalam bidang
penuntuan diharapkan dapat memberikan perlindungan bagi masyarakat itu sendiri dalam
penegakan hukum di Indonesia. Dengan memberikan hukuman dari tindakan tersebut
dimaksudkan agar dapat memberikan efek jera serta memperlihatkan bahwa negara Indonesia
merupakan negaran hukum yang telah di atur di dalam Undang-Undang.
Kejaksaan dalam menegakkan keadilan di bidang penuntutan harus memiliki mekanisme
atau prosedur yang sesuai dengan aturan birokrasi korps Kejaksaan. Maka dari itu Kejaksaan
harus memiliki prosedur penanganan agar kegiatan tersebut 2 berjalan secara berurut dan
tersusun guna menjamin penaganan secara seragam terhadap kegiatan yang terjadi berulang-
ulang dan terus menerus.
Prosedur sendiri adalah tata cara dalam melakukan pekerjaan yang telah dirumuskan dan
diwajibkan. Biasanya prosedur melingkupi bagaimana, bilamana dan oleh siapa, tugas harus
diselesaikan.
Tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar hukum yang dapat diminta pertanggung
jawaban atas perbuatan yang dilakukan dimana perbuatan tersebut melanggar dan melawan
hukum dan peraturan yang berlaku. Sehingga perbuatan yang telah dilakukan tersebut dapat di
ancam dengan tindak pidanan berupa kurungan atau denda.
Maka dari itu prosedur dalam penangannya dimulai dengan proses Pra Penuntutan dalam
proses ini terdapat 4 (empat) tahapan yang harus dilalui dari Penerimaan Surat Pemberitahuan
Dimulainya Penyidikan (SPDP), kemudian Koordinasi Penanganan Perkara, selanjutnya
Penelitian Berkas Perkara, serta Jangka waktu SPDP dan penelitian berkas perkara.
Setelah proses Pra Penuntutan dilakukan dan berjalan dengan baik kemudian dilanjutkan
dengan proses Penuntutan, dalam proses penuntutan diawali dengan tahapan Penunjukan
penuntut umum, Penerimaan tersangka dan barang bukti, Penahanan tersangka, Penangguhan
atau pengalihan jenis penahanan, Pembantaran penahanan, Praperadilan, Penggabungan dan
Pemisahan Perkara, Permohonan Penitipan atau Pinjam Pakai Benda Sitaan atau Barang Bukti
oleh Tersangka atau Terdakwa atau Pihak Ketiga Berkepentingan, Penitipan 3 Benda Sitaan atau
Barang Bukti, Penyitaan, Penghentian Penuntutan, Pengesampingan Perkara Demi Kepentingan
Umum, Pemeriksaan Tambahan, serta Penyusunan Surat Dakwaan.
Kemudian proses selanjutnya adalah Pelimpahan Perkara yang terdiri dari 6 (enam)
tahapan yaitu Persidangan,, Jangka Waktu Penuntutan, Pendapat atas Keberatan Terhadap Surat
Dakwaan, Sikap Penuntut Umum atas Putusan Sela, Pengajuan Tuntutan, serta Konsultasi
Penanganan Perkara. Apabila terdakwa atau penuntut umum tidak menerima putusan pengadilan,
maka memiliki hak untuk tidak menerima putusan tersebut yang disebut sebagai upaya hukum
dengan Pengajuan Upaya Hukum. Kemudian setelah melaui proses tersebut terdakwa dapat
dieksekusi sesuai dengan putusan hakim dalam persidangan dilanjutkan dengan eksaminasi
perkara, serta administrasi dan pelaporan.

SARAN
Adapun saran yang dapat penulis berikan dari hasil pembahasan ini :
1. Diharapkan kepada jaksa penuntut umum untuk memberikan serta menjelaskan
petunjuk secara rinci dan jelas mengenai hal-hal apa saja yang kurang lengkap dari
berkas perkara tersebut, agar penyidik dapat memahami dan mengerti terhadap berkas
perkara tersebut sehingga tidak terjadi lagi bolak balik berkas kepada penyidik.
2. Diperlukan adanya koordinasi dengan menjalin komunikasi yang baik, membina
komunikas yang positif serta melakukan diskusi untuk membahas 4 kasus yang tengah
ditangani. Agar perkara tersebut dapat segera dilanjutkan ke tahap penuntutan di
pengadilan.
3. Terhadap tindak pidana yang lebih dari satu tempat dapat dilakukan dengan memilih
dimana tempat yang paling dominan terjadi dari tindak pidana tersebut, kemudian Jaksa
penuntut umum dapat mengingatkan dan melakukan komunikasi secara berkala terhadap
berkas yang dikembalikan kepada penyidik agar penyidik dapat menyelesaikan dengan
tepat waktu dan segera mengembalikan kepada jaksa.
4. Pada saat saksi yang dipanggil tidak menghadiri persidangan serta mengubah
keterangannya diharapkan agar adanya suatu aturan yang tegas mengenai prosedur dan
pelaksanaan penanganan perkara tersebut serta diberikan ancaman sesuai dengan Kitab
Undang-Undang Hukun Acara Pidana, kemudian melakukan panggilan paksa jika saksi
tersebut masih tetap tidak bisa dihadirkan.
5. Terdakwa yang mencabut keterangnnya di BAP atau tidak mengakui perbuatannya
dapat dilakukan dengan melakukan sumpah terhadap terdakwa kemudian memberikan
ancaman yang dapat membuat terdakwa berkata jujur dan memberikan keterangan sesuai
dengan yang sebenarnya.
6. Terhadap barang bukti yang tidak dapat dibawa kepengadilan atau dalam bentuknya
sudah tidak bisa dikenali dapat dilakukan dengan mendokumentasikan barang bukti
tersebut seperti menfoto dan melampirkan dalam berkas perkara atau memberikan sampel
dari barang bukti tersebut

Anda mungkin juga menyukai