Anda di halaman 1dari 59

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyidik merupakan pejabat negara yang memiliki wewenang dalam

melakukan pemeriksaan terhadap tersangka sebelum dilimpahkan ke

Kejaksaan Negeri. Dalam hal ini, penyidik menyiapkan hasil pemeriksaannya

sebagai berkas perkara yang akan diserahkan ke penuntut umum. Penyerahan

berkas perkara dilaksanakan pada tahap pertama, apabila berkas perkara

dinyatakan sudah lengkap, maka penyidik menyerahkan tanggung jawabnya

kepada penuntut umum atas tersangka dan barang bukti.

Penyidik secara nyata dan fisik menyampaikan berkas perkara kepada

penuntut umum, dan penuntut umum juga menyatakan bahwa menerima

secara nyata dan fisik dari tangan penyidik. Namun, bisa saja pada saat

penyerahan berkas keterangan yang di dalam ada yang tidak sesuai atau tidak

lengkap, maka penuntut umum berhak mengembalikan berkas perkara

tersebut agar dilengkapi terlebih dahulu kepada penyidik. Penuntut umum

juga memiliki wewenang untuk menerima barang bukti dari penyidik, dan

disimpan di gudang Kejaksaan Negeri. Yang dimaksud dengan barang bukti

adalah semua benda yang dapat dikenakan penyitaan oleh penyidik dan dapat

diajukan oleh penuntut umum di persidangan. Barang bukti tidak termasuk ke

dalam alat bukti karena Undang – Undang hanya menyebutkan 5 macam alat

1
2

bukti yang sah yaitu: keterangan ahli, keterangan saksi, surat, petunjuk, dan

keterangan terdakwa. Meskipun bukan sebuah alat bukti, penuntut umum pasti

menyebutkan barang bukti di dalam surat dakwaannya, dan mengajukan

kepada majelis hakim pada saat pemeriksaan saksi dan alat bukti. Maka,

majelis hakim harus memeriksa barang bukti tersebut dan meminta keterangan

yang berkaitan seperlunya saja kepada terdakwa atau saksi. Barang bukti

mempunyai peran penting dalam persidangan, selain digunakan untuk

pembuktian, dapat menjadi sebuah petunjuk untuk meyakinkan majelis hakim

terhadap keterangan dari terdakwa atau saksi dirasa kurang, karena nyata

adanya. Selain itu, ada juga barang bukti yang bukan merupakan sebuah

objek, melainkan alat atau hasil dari delik atau tindak pidana. Misalnya

pakaian yang dikenakan korban atau pelaku kejahatan saat melakukan

perkosaan atau penganiayaan atau pembunuhan.

Bagian terpenting dalam pidana adalah persoalan mengenai

pembuktian, karena dalam hal ini dapat ditentukan dari jawaban yang

menyatakan apakah tertuduh dinyatakan bersalah atau dibebaskan. Maka

dibutuhkannya kehadiran barang bukti yang tersangkut dalam tindak pidana

tersebut. Namun apabila kita simak dan perhatikan satu per satu peraturan

perundang – undangan mengenai pidana, tidak ada satupun pasal yang

memberikan definisi atau pengertian mengenai barang bukti. Akan tetapi

apabila dikaitkan dengan pasal demi pasal yang ada hubungan barang bukti

maka secara tersirat akan dipahami apa barang bukti itu.


3

Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46

KUHAP. Dalam hal ini terkandung arti bahwa barang bukti selain dapat

dikembalikan dalam hal perkara tersebut, juga dihentikan penyidikan atau

penuntutannya, dapat juga dikembalikan kepada yang berhak sebelum perkara

itu mempunyai kekuatan hukum tetap, baik perkara itu masih ada di tingkat

penyidikan, penuntutan maupun setelah diperiksa di sidang pengadilan. Dasar

pengembalian barang tersebut adalah karena diperlukan untuk mencari nafkah

atau sebagai sumber kehidupan. Hanya bedanya Pasal 194 ayat (3) KUHAP

dengan tegas menyebutkan bahwa pengembalian barang bukti tersebut dapat

dihadapkan di pengadilan dalam keadaan utuh.

Menurut Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun

2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa adalah pejabat fungsional

yang diberi wewenang oleh Undang – Undang untuk bertindak sebagai

penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang memperoleh

kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan Undang – Undang.

Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang untuk melakukan

penuntutan dan penetapan hakim. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum

untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang sesuai

dengan Hukum Acara Pidana.

Apabila di dalam putusan tersebut barang bukti dijatuhkan putusan

untuk dimusnahkan atau dijual lelang untuk negara, maka sesuai dengan Pasal

39 KUHP hanya terbatas pada barang – barang yang telah disita saja. Apabila
4

barang bukti tersebut dijatuhi putusan untuk dikembalikan kepada orang yang

berhak, seperti pemilik dari barang tersebut atau kepunyaan orang lain, maka

Jaksa selaku pelaksana putusan hakim harus mengembalikannya.

Berdasarkan latar belakang di atas penulis tertarik untuk melakukan

praktek kerja lapangan profesi di Kejaksaan Negeri Sidoarjo. dengan

mengambil judul “Prosedur Penerimaan Barang Bukti dalam Tahap 2

Hingga Pengembalian di Kejaksaan Negeri Sidoarjo”.

1.2 Tujuan dan Kegunaan Praktek Kerja Lapangan Profesi

1.2.1 Tujuan Praktek Kerja Lapangan Profesi

Agar penulis mengetahui prosedur penerimaan barang bukti dalam

tahap 2 hingga pengembalian di Kejaksaan Negeri Sidoarjo.

1.2.2 Kegunaan Praktek Kerja Lapangan

Kegunaan yang dapat diperoleh penulis dalam praktek kerja lapangan

ini adalah:

1. Bagi Penulis

Untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang prosedur

penerimaan barang bukti dalam tahap 2 hingga pengembalian di

Kejaksaan Negeri Sidoarjo. Selain itu penulis dapat

membandingkan teori – teori yang dipelajari selama di perkuliahan

dengan prakteknya, terutama tentang prosedur penerimaan dan

pengembalian barang bukti.


5

2. Bagi Instansi

Untuk memberikan saran agar semakin baik dalam menjalankan

tugas.

3. Bagi Fakultas

Untuk memberikan pengetahuan dan pengalaman kepada

mahasiswa. Serta sebagai tambahan literatur perpustakaan Fakultas

Hukum UPN “Veteran” Jawa Timur.

1.3 Metode Praktek Kerja Lapangan Profesi

Dalam penyusunan laporan praktek kerja lapangan profesi ini, penulis

menggunakan Metode Observasi Lapangan yaitu mengamati dan ikut terlibat

secara langsung dalam kegiatan prosedur penerimaan barang bukti dalam

tahap 2 hingga pengembalian di Kejaksaan Negeri Sidoarjo yang sedang

terjadi.

1.4 Lokasi dan Waktu Praktek Kerja Lapangan Profesi

Lokasi praktek kerja lapangan profesi yang penulis ikuti ada di Kantor

Kejaksaan Negeri Sidoarjo yang beralamatkan di Jalan Sultan Agung nomor

36 Sidoarjo Jawa Timur. Waktu pelaksanaan praktek kerja lapangan profesi

dimulai dari tanggal 25 Juni 2018 sampai dengan 4 Agustus 2018.


6

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Tinjauan Umum Mengenai Penuntutan

Mengenai pengaturan penuntut umum dan penuntutan diatur secara

terpisah dalam KUHAP. Penuntut umum diatur dalam Bab II, Bagian Ketiga,

yang terdiri dari 3 pasal yakni Pasal 13 sampai dengan Pasal 15. Sedang

penuntutan diatur dalam Bab XV, mulai dari Pasal 137 sampai dengan Pasal

144.

Terlepas dari cara pengaturan penuntut umum dan penuntutan, bab dan

bagian yang membicarakan penuntutan sangat sedikit jika dibandingkan

dengan bab dan bagian yang membicarakan penyidikan dan ruang lingkup

peradilan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa dengan adanya

diferensiasi dan spesialisasi fungsional secara instansional yang menempatkan

penuntut umum dalam fungsi penuntutan dan pelaksanaan putusan peradilan

maka fungsi penuntut umum tidak berbelit – belit lagi. Sudah disederhanakan

dalam suatu fungsi dan wewenang yang jelas, sehingga pengaturannya dalam

KUHAP dapat diatur dalam suatu bab dan beberapa pasal.1

Akan tetapi pada fakta di lapangan, kaitan dan hubungan kerja sama

antara penyidik dan penuntut umum tidak berpengaruh terhadap pengaturan

1
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kuhap Penyidikan dan
Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 364
7

yang ada, terutama dengan pihak pengadilan. Sebab pada dasarnya, proses

pengadilan tidak dapat berjalan tanpa adanya jaksa sebagai penuntut umum.

Tidak hanya pada pengadilan tingkat pertama, tetapi sampai meliputi upaya

hukum biasa dan luar biasa.

2.1.1 Pengertian Penuntut Umum

Penuntut umum ditinjau dari segi yuridis, yakni dalam Pasal 13

KUHAP yang berbunyi: “Penuntut umum adalah jaksa yang diberi

wewenang oleh undang – undang ini untuk melakukam penuntutan

dan melaksanakan putusan hakim.”

Penuntut umum (dalam hal ini Kejaksaan / Kepala Kejaksaan

Negeri) setelah menerima berkas / hasil penyidikan dari penyidik,

segera menunjuk salah seorang jaksa (calon penuntut umum) untuk

mempelajari dan menelitinya yang kemudian atas hasil penelitiannya

jaksa tersebut mengajukan saran kepada Kepala Kejaksaan Negeri

(KAJARI) antara lain:2

a. Mengembalikan berkas perkara kepada penyidik karena ternyata

belum lengkap disertai petunjuk – petunjuk yang akan dilakukan

penyidik. Hal ini oleh Pasal 14 KUHAP disebut “prapenuntutan”;

b. Melakukan penggabungan atau pemisahan berkas;

2
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan),
Jakarta: Sinar Grafika, 2014, hlm. 14
8

c. Hasil penyidikan telah lengkap, tetapi tidak terdapat bukti cukup

atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan

selanjutnya disarankan agar penuntutan dihentikan. Jika saran

disetujui maka diterbitkan “surat ketetapan”. Atas “surat

ketetapan” dapat diajukan praperadilan;

d. Hasil penyidikan telah lengkap dan dapat diajukan ke Pengadilan

Negeri. Dalam hal ini KAJARI menerbitkan surat penunjukan

Penuntut Umum. Penunjukan Penutut Umum ini biasanya serentak

dengan penunjukan penuntut pengganti yang maksudnya jika

penuntutan umum berhalangan maka penuntut umum pengganti

yang bertugas (Pasal 198 KUHAP). Dalam hal ini penuntut umum

membuat surat dakwaan dan setelah surat dakwaaan rampung

kemudian dibuatkan surat pelimpahan perkara yang ditujukan

kepada Pengadilan Negeri.

2.1.2 Tugas dan Wewenang Penuntut Umum

A. Menurut Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

KUHAP

Fungsi penuntutan dan penyidikan telah diberikan ke

instansi yang berbeda. Hal ini terjadi dikarenakan setelah

berlakunya KUHAP, dalam hal penuntutan diserahkan ke

Kejaksaan, sedangkan untuk penyidikan wewenangnya diserahkan

kepada Polri sebagai penyidik utama.


9

Menurut Pasal 1 butir (6) KUHAP ditentukan:

a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang –

Undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta

melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap.

b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh

Undang – Undang ini untuk melakukan penuntutan dan

melaksanakan penetapan hakim.

Secara garis besar setelah berlakunya KUHAP, tugas Jaksa

adalah:

1. Sebagai penuntut umum;

2. Pelaksana putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap (eksekutor).

Dalam tugasnya sebagai penuntut umum, Jaksa mempunyai

tugas:

1. Melakukan penuntutan;

2. Melaksanakan penetapan hakim.

Dua tugas tersebut dilakukan oleh penuntut umum dalam

proses persidangan pidana yang sedang berjalan.

Tugas Jaksa sebagai penuntut umum diatur dalam Pasal 13

KUHAP dan dipertegas dalam Pasal 137 KUHAP. Penuntut umum

berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang


10

didakwa melakukan sesuatu tindak pidana dalm daerah hukumnya

dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang

mengadilinya.

Ketentuan pasal ini mengikuti locus delicti yang terdapat

dalam Pasal 84 KUHAP, sehingga dalam hal penuntut umum

menuntut perkara tindak pidana sebagaimana dimaksud Pasal 57

Jo. Pasal 137 KUHAP, tidak saja yang terjadi dalam daerah

hukumnya, tetapi dapat pula melakukan penuntutan tindak pidana

di luar negeri yang dapat diadili menurut hukum Republik

Indonesia dan pengadilan yang berwenang mengadilinya yaitu

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pasal 86 KUHAP).

Untuk menjalankan tugasnya sebagai Penuntut Umum, ia

mempunyai wewenang seperti yang tercantum dalam Pasal 14

KUHAP, yaitu:

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari

penyidik atau penyidik pembantu;

b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada

penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110

Ayat (3) dan Ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam

rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik;

c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan

penahanan atau penahahan lanjutan, mengubah status


11

tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh status tahanan

setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik dan

menangguhkan penahanan;

d. Membuat surat dakwaan;

e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;

f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang

ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan terdakwa

maupun terhadap saksi, untuk dating pada sidang yang telah

ditentukan;

g. Melakukan penuntutan;

h. Menutup perkara demi kepentingan hukum;

i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan

tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan

Undang – Undang ini;

j. Melaksanakan penetapan hakim.

Sedangkan pelaksanaan putusan pengadilan yang menjadi

wewenang Penuntut Umum diatur dalam Bab XIX Pasal 270

sampai 276 KUHAP.

Disamping kewenangan tersebut di atas, penuntut umum

masih mempunyai kewenangan pengawasan antara lain dalam:


12

a. Pidana bersyarat, yakni melakukan pengawasan terhadap

persyaratan umum termasuk persyaratan khusus dipenuhi

atau tidak (Pasal 14 d Ayat (1) KUHP);

b. Pelepasan bersyarat, yakni memberikan pendapat

(rekomendasi) kepada Menteri Kehakiman dalam hal

memutuskan pemberian atau pencabutan pelepasan bersyarat

dan selanjutnya ikut mengawasi terdakwa selama

mengalami pidana pelepasan bersyarat (Pasal 16 Ayat (1) ,

(2) KUHP);

c. Pelaksanaan hukuman mati, yaknni di dalam melaksanakan

hukuman mati pengawasan tidak dilakukan pengadilan

(dalam hal ini hakim pengawas dan pengamat) tetapi

dilaksanakan oleh Jaksa secara tuntas sampai terpidana

selesai ditembak mati (Undang – Undang Nomor

2/Pnps/1964 Jo. Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1959);

d. Mengeksekusi barang rampasan, yakni barang – barang

rampasan dalam keadaan;

1. Telah disita;

2. Tidak disita.

Terhadap barang – barang yang hendak dirampas telah

dilakukan penyitaan, maka proses selanjutnya dijual secara lelang

dan hasil penjualannya disetorkan ke Kas Negara.


13

Sedangkan dalam hal barang – barang yang hendak

dirampas, dalam keadaaan tidak disita dalam praktik dapat

menimbulkan permasalahan pula karena keputusan hakim harus

memuat taksiran harga barang – barang itu, dan jika tidak

diserahkan atau tidak dibayarkan, maka perampasan diganti mejadi

kurungan (Pasal 41 Ayat (1) KUHP).

B. Menurut Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang

Kejaksaan Republik Indonesia

Wewenang Jaksa dalam Undang – Undang Nomor 15 Tahun

1961 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik

Indonesia terdapat di dalam Pasal 1 Ayat (1) yang berbunyi:

“Kejaksaan Republik Indonesia selanjutnya disebut

kejaksaan ialah alat negara penegak hukum yang terutama bertugas

sebagai penuntut umum”.

Sedangkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal (1) tersebut

kejaksaan mempunyai tugas dalam Pasal (2) yang berbunyi:

“Dalam melaksanakan ketentuan – ketentuan dalam Pasal 1,

Kejaksaan mempunyai tugas:

(1) a. Mengadakan penuntutan dalam perkara – perkara pidana

pada pengadilan yang berwenang;

b. Menjalankan keputusan dan penetapan hakim pidana.


14

(2) Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan

pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat –

alat penyidik menurut kententuan – ketentuan dalam Undang

– Undang hukum acara pidana dan lain – lain peraturan

negara.

(3) Mengawasi aliran – aliran kepercayaan yang dapat

membahayakan masyarakat dan negara.

(4) Melaksanakan tugas – tugas khusus lain yang diberikan

kepadanya oleh suatu peraturan negara.”

Secara garis besar tugas Jaksa menurut Undang – Undang

Nomor 15 Tahun 1961 adalah:

1. Melakukan penuntutan di dalam perkara pidana;

2. Melakukan penyidikan lanjutan.

Dari penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan yakni

Jaksa harus bertanggung jawab dari awal mula penyidikan hingga

penuntutan. Hal tersebut berpengaruh terhadap berhasil atau

tidaknya putusan perkara tindak pidana dalam sidang di

pengadilan.

Dalam rangka memantapkan kedudukan dan peranan

Kejaksaan sesuai dengan sistem pemerintahan berdasarkan UUD

1945, maka Undang – Undang yang baru (Undang – Undang

Nomor 5 Tahun 1991 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok


15

Kejaksaan Republik Indonesia) menegaskan bahwa kedudukan

Jaksa adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan

terutama di bidang penuntutan di lingkungan peradilan umum.

Selanjutnya disebutkan, disamping memantapkan

kedudukan organisasi, jabatan, tugas dan wewenang kejaksaan,

Undang – Undang ini menetapkan pula:

1. Kewenangan kejaksaan untuk melengkapi berkas perkara

tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan

tambahan sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan,

dengan pembatasan – pembatasan tertentu;

2. Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan

kuasa khusus dapat bertindak untuk dan atas nama negara

atau pemerintah di dalam atau di luar pengadilan;

3. Di bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan

turut menyelenggarakan kegiatan seperti upaya

meningkatkan kesadaran hukum masyarakat dan

pengamanan kebijakan penegak hukum;

4. Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain

berdasarkan Undang – Undang.

Pada saat ini Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1991

tersebut telah diganti dengan Undang – Undang Nomor 16 Tahun


16

2004. Di dalam Pasal 1 Undang – Undang tersebut diberikan

pengertian – pengertian pokok atau tafsir otentik sebagai berikut:

1. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang –

Undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta

melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap.

2. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh

Undang – Undang ini untuk melakukan penuntutan dan

melaksanakan pentapan hakim.

3. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk

melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang

dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam hukum acara

pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh

hakim sidang pengadilan. Selanjutnya dalam Pasal 8 Ayat

(2), (3) dan (4) menyebutkan:

(2) Dalam melaksanakan wewenangnya, Jaksa bertindak

untuk dan atas nama negara serta bertanggung jawab

menurut saluran hirearki;

(3) Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa, Jaksa melakukan penuntutan dengan

keyakinan berdasarkan alat bukti yang sah;


17

(4) Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya Jaksa

senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan

mengindahkan norma – norma keagamaan, kesopanan,

kesusilaan, dan serta wajib menggali dan menjunjung

tinggi nilai – nilai kemanusiaan yang hidup dalam

masyarakat serta senantiasa menjaga kehormatan serta

martabat profesinya.

Ancaman ketentuan yang diatur dalam Pasal 8 Ayat (4)

tersebut diatur dalam Ayat (5) nya, yang berbunyi: “Jaksa yang

diduga melakukan tindak pidana, maka pemanggilan, pemeriksaan,

penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap Jaksa yang

bersangkutan hanya dapat dilakukan atas ijin Jaksa Agung.”

Ketentuan tersebut diperkuat dengan ketentuan Pasal 37

Ayat (1), yang berbunyi: “Jaksa Agung bertanggung jawab atas

penuntutan yang dilaksanakan secara independent demi keadilan

berdasarkan hukum dan hati nurani.”

Menurut Pasal 1 Ayat (3) sebenarnya Jaksa tidak harus

mengikuti peraturan saat ini, karena dalam melakukan penuntutan

Jaksa harus yakin berdasarkan alat bukti yang sah. Karena Jaksa

yang merupakan Penuntut Umum paling tahu situasi perkara yang

sedang ada di pengadilan.

2.1.3 Asas – Asas Dalam Penuntutan


18

Sehubungan dengan wewenang penuntutan ini, dalam hukum

acara pidana dikenal dua asas penuntutan yaitu:3

1. Asas Legalitas

2. Asas oportunitas

Ad.1. Asas Legalitas

Asas legalitas yaitu penuntut umum diwajibkan menuntut

semua orang yang dianggap cukup alasan bahwa yang

bersangkutan telah melakukan pelanggaran hukum.

Ad.2. Asas Oportunitas

Asas oportunitas yaitu penuntut umum tidak diharuskan

menuntut seseorang, meskipun yang bersangkutan sudah

jelas melakukan suatu tindak pidana yang dapat dihukum.

Menurut asas pertama, penuntut umum wajib menuntut

seseorang yang didakwa telah melakukan tindak pidana. Sedangkan

menurut asas yang kedua, penuntut umum tidak wajib menuntut

seseorang yang melakukan suatu tindak pidana jika menurut

pertimbangannya apabila orang tersebut dituntut akan merugikan

kepentingan umum. Jadi demi kepentingan umum, seseorang yang

melakukan tindak pidana dapat tidak dituntut.

3
Djoko Prakokso, Mengenal Lembaga Kejaksaan di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1987,
hlm. 29
19

Sehubungan dengan dikenalnya kedua asas dalam bidang

penuntutan yaitu asas legalitas dan asas oportunitas, dalam praktek

yang dipergunakan adalah asas oportunitas. Hal ini sesuai dengan

pendapat Wirjono Prodjodikoro. Dengan prinsip oportunitas ini Jaksa

sebagai penuntut umum mempunyai kekuasaan yang amat penting

untuk menyampingkan suatu perkara pidana yang sudah jelas

dilakukan seseorang. Mengingat tujuan dari prinsip ini, yaitu

kepentingan umum, maka Jaksa harus berhati – hati dalam melakukan

kekuasaannya dalam menyampingkan perkara pidana ini.

Kemungkinan ada, bahwa dengan memakai kepentingan

negara sebagai kedok, seorang Jaksa menyampingkan suatu perkara

pidana melulu oleh karena terdakwa adalah sahabat karibnya, atau

kalua ada seorang Jaksa yang bersifat curang oleh karena Jaksa

menerima sogokan dari terdakwa. Dalam ha ini ada pengawasan yang

dilakukan oleh Kejaksaan Agung terhadap semua Jaksa. Berhubung

dengan adanya “hierrarchi” dalam Dinas Kejaksaan, maka Jaksa

Agung dapat memerintahkan kepada Jaksa, supaya suatu perkara

pidana dituntut atau tidak dituntut di muka hakim pidana.

Menurut Pasal 8 Undang – Undang Pokok Kejaksaan yaitu

Undang – Undang Nomor 15 Tahun 1961, Lembaran Negara Tahun

1961 Nomor 254, mulai berlaku pada tanggal 3 Juni 1961, hanya Jaksa

Agunglah yang berwenang menyampingkan suatu perkara berdasarkan


20

kepentingan umum. Satu hal lagi yang perlu dijelaskan ialah apa yang

dimaksud dengan “kepentingan umum” dalam pendeponeran perkara

itu. Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang – Undang Hukum Acara

Pidana memberikan penjelasan sebagai berikut: “……….. Dengan

demikian kriteria “demi kepentingan umum” dalam penerapan asas

oportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk kepentingan negara

dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan pribadi”.

2.2. Tinjauan Umum Mengenai Barang Bukti

2.2.1 Pengertian Barang Bukti

Dalam hukum acara pidana, selain alat bukti dikenal juga yang

dinamakan barang bukti. Akan tetapi dua hal tersebut memiliki arti

yang berbeda. Berbeda dengan alat bukti, secara formil barang bukti

tidak mengatur mengenai definisi dan jenis – jenis dari barang bukti.

Pengaturan tersebut lebih banyak didukung oleh doktrin yang

menjelaskan definisi barang bukti.

Pasal 40 KUHAP mengatur bahwa dalam hal tertangkap

tangan, penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau patut

diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda

lain yang dapat dipakai sebagai bukti. Lain daripada itu, penjelasan

dari Pasal 46 Ayat (1) yang menjelaskan definisi barang bukti.

Pasal 40 KUHAP mengatur bahwa dalam hal tertangkap

tangan, penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau patut
21

diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda

lain yang dapat dipakai sebagai bukti. Lain daripada itu, penjelasan

dari Pasal 46 Ayat (1) KUHAP juga mengatur pula bahwa benda yang

dikenakan penyitaan diperlukan bagi pemeriksaan sebagai barang

bukti. Dari kedua ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa barang bukti

adalah sesuatu yang dapat disita oleh penyidik.

Kesimpulan mengenai ciri bahwa barang bukti dapat disita,

ternyata sesuai pula dengan definisi barang bukti yang diatur di dalam

ketentuan Pasal 1 Angka 5 Peraturan Kepala Kepolisian Negara

Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara

Pengelolaan Barang Bukti di Lingkungan Kepolisian Negara Republik

Indonesia, berikut kutipannya: “ Barang bukti adalah benda bergerak

atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud yang telah

dilakukan penyitaan oleh penyidik untuk keperluan pemeriksaan dalam

tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang

pengadilan”.

Sementara itu, dalam Pasal 39 Ayat (1) KUHAP diatur

mengenai kualifikasi benda apa saja yang dapat disita, yaitu:

a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau

sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai

hasil dari tindak pidana;


22

b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk

melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;

c. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan

tindak pidana;

d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan

tindak pidana;

e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak

pidana yang dilakukan;

Sedangkan mengenai kekuatan pembuktiannya, barang bukti

tidaklah memiliki kekuatan pembuktian, kecuali kemudian dapat

diidentifikasi oleh alat bukti yakni keterangan saksi, keterangan ahli,

surat atau keterangan terdakwa untuk memperkuat keyakinan hakim.

Sebagai contoh, pisau yang digunakan untuk membunuh juga diakui

keterangan terdakwa. Di sinilah perbedaan yang mendasar antara

barang bukti dan alat bukti. Barang bukti disebut juga sebagai bukti

yang berbicara kepada dirinya sendiri, dan membuktikan alat bukti

untuk membuatnya berbicara.

Kondisi ini berbeda dengan bukti di Criminal Procedure Law

Amerika Serikat yang pada pokoknya terdiri dari:4

1. Real evidence (bukti sungguhan);

4
Brahmana, Hukum Acara Pidana, Medan: Ratu Jaya, 2016, hlm.49
23

2. Documentary evidence (bukti dokumenter);

3. Testimonial evidence (bukti kesaksian);

4. Judicial evidence (pengamatan hakim).

Di Indonesia apa yang disebut sebagai real evidence adalah

yang kita kenal sebagai barang bukti. Perbedaannya adalah bahwa jika

di Amerika Serikat real evidence merupakan bukti yang dipandang

paling bernilai dibandingkan bukti lainnya, sementara itu di Indonesia

bukti semacam ini tidak berkekuatan pembuktian. Alat bukti yang sah

di Indonesia, diatur dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP, yaitu:

a. Keterangan saksi;

b. Keterangan ahli;

c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa.

Ketentuan ini kemudian diperluas dengan diundangkannya

Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan

Transaksi Elektronik, di mana ketentuan Undang – Undang tersebut

menambahkan apa yang disebut sebagai alat bukti elektronik untuk

menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

2.2.2 Macam – Macam Barang Bukti

Pasal 39 Ayat (1) KUHAP menyebutkan “Yang dapat

dikenakan penyitaan adalah:


24

A. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau

sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil

dari tindak pidana;

B. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk

melakukan tindak pidana untuk mempersiapkannya;

C. Benda yang dipergunakan untuk menghalang – halangi

penyidikan tindak pidana;

D. Benda yang khusus dibuat atau dipergunakan melakukan tindak

pidana;

E. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak

pidana yang dilakukan”.

Adami Chazawi membagi macam – macam barang bukti

sebagai berikut:

1. Benda berwujud yang berupa:

a. Benda yang digunakan dalam melakukan tindak pidana

(instrument delicti) ;

b. Benda yang dipakai menghalang – halangi penyidikan;

c. Benda yang dibuat khusus atau diperuntukkan melakukan

tindak pidana (instrument delicti);

d. Benda – benda lainnya yang mempunyai hubungan

langsung/tidak langsung dengan dilakukannya tindak

pidana. Masuk dalam bagian ini adalah benda yang


25

dihasilkan atau suatu tindak pidana, misalnya uang palsu

hasil kejahatan pemalsuan uang.5

2. Benda tidak berwujud berupa tagihan yang diduga berasal dari

tindak pidana:

Dalam hal tertangkap tangan, penyidik, juga berwenang untuk

melakukan penyitaan atas benda – benda tersebut sebagai berikut:

A. Benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah

dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain

yang dapat dipakai sebagai barang bukti (Pasal 40 KUHAP).

B. Paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau

pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi,

sepanjang benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau

berasal darinya (Pasal 41 KUHAP).

2.2.3 Hubungan Antara Barang Bukti Dengan Alat Bukti

Jika dilihat dari Pasal 184 ayat (1) KUHAP,dapat diketahui

bahwa barang bukti tidak termasuk dalam klasifikasi alat bukti. Namun

keberadaan alat – alat bukti yang telah ditentukan KUHAP tersebut,

bahkan keberadannya telah melebihi batas minimum pembuktian, tidak

bisa memaksa hakim untuk yakin bahwa terdakwa telah bersalah atau

tidak bersalah atas suatu tindak pidana. Disinilah peran barang bukti

5
Adami Chazawi, Kemahiran dan Ketrampilan Praktik Hukum Pidana, Malang: Bayumedia,
2007, hlm.208-209
26

dibutuhkan. Keberadaan barang bukti di depan sidang pengadilan

dapat mendukung atau memperkuat keyakinan hakim dalam memutus

kesalahan dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa.

Barang bukti secara materiil dapat berfungsi sebagai alat bukti

yang di dalam proses persidangan. Pasal 181 Jo. Pasal 45 KUHAP

menerangkan tentang bagaimana cara pemeriksaan barang bukti di

persidangan, yang secara singkat sebagai berikut:6

1. Jaksa Penuntut Umum memperlihatkan terdakwa atau saksi –

saksi (yang dianggap relevan) di depan persidangan dan

ditanyakan kepada mereka, apakah mengenal barang bukti

tersebut atau bisa juga mengetahui soal asal muasal benda itu.

2. Jika barang bukti berupa tulisan (surat atau berita saran) maka di

samping diperlihatkan pada terdakwa dan atau saksi – saksi,

hakim juga membacakan isi tulisan itu untuk dimintai

tanggapannya.

2.2.4 Cara Memperoleh Barang Bukti

Barang bukti dapat diperoleh dengan cara:

a. Penggeledahan (diatur dalam Pasal 32 – 37 dan Pasal 125 – 127

KUHAP);

b. Penyitaan (diatur dalam Pasal 38 – 46 dan Pasal 128 – 130

KUHAP)
6
Ibid, hal. 212
27

c. Pemeriksaan surat (diatur dalam Pasal 47 – 49 dan Pasal 32

KUHAP).

Catatan:

a. Termasuk pengertian penggeledahan adalah penggeledahan rumah,

penggeledahan badan, dan penggeledahan pakaian (penjelasan

Pasal 32 KUHAP);

b. Penggeledahan badan di dalamnya termasuk pula pemeriksaan

rongga badan (penjelasan Pasal 37 KUHAP);

c. Termasuk pengertian pemeriksaan surat adalah penyitaan surat,

pemeriksaan buku atau kitab, daftar dan sebagainya (Pasal 131

KUHAP);

d. Apabila di dalam penggeledahan atau pemeriksaan surat terdapat

barang – barang yang diperlukan untuk pembuktian suatu tindak

pidana, maka terhadap barang – barang yang diketemukan tersebut

dilakukan penyitaan.7

2.2.5 Barang Bukti Yang Bisa Dilakukan Penyitaan

Menurut Pasal 39 KUHAP, kriteria suatu barang bisa dilakukan

suatu penyitaan apabila:

a. Benda atau tagihan yang diduga berasal dari tindak pidana;

b. Benda – benda yang digunakan untuk melakukan tindak pidana;

7
Hari Sasangka, Penyidikan, Penahanan, Penuntutan, dan Praperadilan Dalam Teori dan
Praktek, Bandung: Cv. Mandar Maju, hlm. 235
28

c. Benda yang dipakai menghalang – halangi penydikan tindak

pidana;

d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak

pidana;

e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak

pidana.

Catatan:

Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau pailit

dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan

mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan tersebut di

atas (Pasal 39 Ayat 2 (2) KUHAP).

2.3 Tinjauan Umum Mengenai Putusan Hakim

2.3.1 Pengertian Putusan Hakim

Putusan hakim merupakan tindakan akhir dari Hakim di dalam

persidangan, yang menentukan salah tidaknya terdakwa, jadi putusan

Hakim adalah pernyataan dari seorang Hakim dalam memutuskan

suatu perkara di dalam persidangan dan memiliki kekuatan hukum

yang tetap. Berlandaskan pada visi teoritik dan praktik peradilan, maka

putusan Hakim itu merupakan putusan yang diucapkan oleh Hakim

karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka

untuk umum setelah melalui proses dan prosedural hukum acara

pidana dan pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau
29

pelepasan dari segala tuntutan hukum dibuat dalam bentuk tertulis

dengan tujuan menyelesaikan perkara.8

Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya menemukan


hukum, yaitu menetapkan bagaimanakah seharusnya menurut hukum
dalam setiap peristiwa yang menyangkut kehidupan dalam suatu
negara hukum. Pengertian lain mengenai putusan Hakim adalah hasil
musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala
sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Dalam
Pasal 1 butir 11 Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana
menyebutkan bahwa putusan pengadilan ialah pernyataan hakim yang
diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa
pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam
hal serat menurut cara yang diatur dalam Undang – Undang ini.
2.3.2 Macam – Macam Putusan Yang Berkenaan Dengan Barang Bukti

Selain mencantumkan tindakan yang dijatuhkan terhadap

terdakwa dan ongkos perkara putusan hakim harus memuat pula

tentang status benda sitaan yang dijadikan barang bukti dalam perkara

tersebut, kecuali dalam perkara tersebut tidak ada barang buktinya.

Mengenai macam – macam putusan yang berkenaan dengan barang

bukti dapat kita ketahui dari Pasal 46 ayat (2) KUHAP dan Pasal 194

ayat (1) KUHAP.

Pasal 46 ayat (2) KUHAP adalah sebagai berikut: Apabila

perkara sudah diputus maka benda yang dikenakan penyitaan

8
Lilik Mulyadi, Kompilasi Hukum Pidana Dalam Perspektif Teoritis dan Praktek Peradilan,
Jakarta: Mandar Maju,2007 hlm. 127
30

dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam

putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu

dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan

sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda dirusakkan

sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih

diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.9

Pasal 194 ayat (1) KUHAP menentukan bahwa: Dalam hal

putusan pemidanaan, atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum

pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan

kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya

tercantum dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut ketentuan

Undang – Undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan

negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat

dipergunakan lagi.10

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas dapat diketahui bahwa

putusan hakim yang berkenaan dengan barang bukti adalah sebagai

berikut:

1. Dikembalikan kepada pihak yang paling berhak.

Pada hakekatnya, apabila perkara sudah diputus maka benda yang

disita untuk dijadikan barang bukti dalam persidangan

9
Afiah Ratna, Barang Bukti Dalam Proses Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 1988, hlm.198
10
Ibid, 198
31

dikembalikan kepada orang atau mereka yang berhak sebagaimana

dimaksud dalam putusan hakim. Undang – Undang tidak

menyebutkan siapa yang dimaksud dengan yang berhak tersebut.

Dengan demikian kepada siapa barang bukti dikembalikan

diserahkan kepada hakim yang bersangkutan setelah mendengar

keterangan para saksi dan terdakwa, baik dalam pemeriksaan sidang

di pengadilan.11

Yang disebut orang yang berhak menerima barang bukti antara lain:

a. Orang atau mereka dari siapa barang tersebut disita, yaitu

orangatau mereka yang memegang atau menguasai barang itu

pada waktu penyidik melakukan penyitaan dimana barang itu

pada waktu penyidik melakukan penyitaan dimana dalam

pemeriksaan di persidangan memang dialah yang berhak atas

barang tersebut.

b. Pemilik yang sebenarnya, sewaktu disita benda yang dijadikan

barang bukti tidak dalam kekuasaan orang tersebut. Namun,

dalam pemeriksaan ternyata benda tersebut adalah miliknya

yang dalam perkara itu bertindak sebagai saksi korban. Hal ini

sering terjadi dalam perkara kejahatan terhadap harta benda.

c. Ahli waris dalam hal yang berhak atas barang bukti tersebut

sudah meninggal dunia sebelum putusan diajatuhkan, maka


11
Ibid, 199
32

berkenaan dengan barang bukti tersebut, putusan hakim

menetapkan bahwa barang bukti dikembalikan kepada ahli

waris atau keluarganya.

d. Pemegang hak terakhir, barang bukti dapat pula dikembalikan

kepada pemegang hak terakhir atas benda tersebut asalkan

dapat dibuktikan bahwa ia secara sah benar – benar mempunyai

hak atas benda tersebut.

2. Dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak.

Putusan hakim yang berbunti bahwa barang bukti dirampas untuk

kepentingan negara biasanya ditemui dalam perkara tindak pidana

ekonomi, penyelundupan senjata api, bahan peledak, narkotika.

Barang tersebut dijual lelang kemudian hasil lelang menjadi milik

negara. Akan tetapi ada pula barang rampasan negara yang tidak

dapat dijual lelang yaitu barang yang bersifat terlarang atau dilarang

untuk diedarkan, karena benda tersebut tidak boleh dimiliki umum.

Menurut Pasal 45 ayat (4) KUHAP dan penjelasannya, “benda

tersebut harus diserahkan kepada departemen yang bersangkutan

sesuai dengan ketetentuan yang berlaku”. Misalnya bahan peledak

amunisis atau senjata api diserahkan kepada Departemen Pertahanan

dan Kemanan.

Barang yang dapat dirampas untuk dimusnahkan atau dirusak

sehingga tidak dapat dipergunakan lagi biasanya benda tersebut


33

merupakan alat untuk melakukan kejahatan mislanya golok untuk

menganiaya korban atau linggis yang dipakai untuk membongkar

rumah orang lain.

3. Barang bukti masih diperlukan dalam perkara lain

Ada tiga kemungkinan yang bisa menimbulkan putusan tersebut

diatas:12

a. Ada dua delik dimana pelakunya hanya satu orang, perkara

pertama sudah diputus oleh hakim sedangkan barang buktinya

masih diperlukan untuk pembuktian perkara yang kedua.

b. Ada suatu delik pelakunya lebih dari seorang, para terdakwa

diperiksa secara terpisah atau perkaranya displitsing. Terdakwa

pertama sudah diputus sedangkan barang buktinya masih

diperlukan untuk pembuktian terdakwa yang lain.

c. Perkara koneksitas, dalam hal ini satu delik dilakukan lebih

dari satu orang (sipil dan ABRI). Terdakwa Sipil sudah diputus

oleh pengadilan, sedangkan barang buktinya masih diperlukan

untuk perkara yang terdakwanya ABRI.

12
Ibid, 207
34

BAB III

GAMBARAN UMUM OBYEK

3.1 Sejarah Kejaksaan Negeri Sidoarjo.

Kejaksaan Negeri Sidoarjo berdiri sejak 16 Agustus 1958 yang

beralamat di Jalan Kartini No. 36 Sidoarjo Pertama kali dikepalai oleh R.A

Nata Ningrat, menjabat pada 1958 sampai tahun 1960. Ditahun 1961

Kejaksaan Negeri Sidoarjo. berpindah tempat di Jalan Sultan Agung nomor

36 Sidoarjo sampai sekarang.

Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Pasal 2

ayat (1) menegaskan bahwa “Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga

pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dalam bidang penuntutan

serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang”. Kejaksaan sebagai

pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral

dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat

menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak

berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping

sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya

instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Karena itulah,

Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam


35

menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai

lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang

penuntutan.

Kejaksaan Negeri Sidoarjo ini dipimpin oleh Kepala Kejaksaan yang

berganti-ganti tiap tahunnya yang disebut Kejari Sidoarjo (Kepala Kejaksaan

Negeri Sidoarjo.). Adapun susuna nama-nama Kajari Sidoarjo mulai tahun

1958 sampai dengan sekarang, yaitu:

3.2 Logo dan Makna Satya Adhi Kejaksaan

Gambar 1
Lambang Kejaksaan

3.2.1 Arti Bintang Bersudut Tiga

a. Bintang

Bintang adalah salah satu benda alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa

yang tinggi letaknya dan memancarkan cahaya abadi. Sedangkan

jumlah tiga buah merupakan pantulan dari Trapsila Adhyaksa sebagai


36

landasan kejiwaan warga Adhyaksa yang harus dihayati dan

diamalkan.

b. Pedang

Senjata pedang melambangkan kebenaran, senjata untuk

memahami kemungkrahan / kebathilan dan kejahatan.

c. Timbangan

Timbangan adalah lambing keadilan, keadilan yang diperoleh

melalui keseimbangan antara suratan dan siratan rasa.

d. Padi dan Kapas

Padi dan kapan melambangkan kesejahteraan dan kemakmuran

yang menjadi dambaan masyarakat.

3.2.2 Seloka “Satya Adhi Wicaksana”

Merupakan Tripsila Adhyaksa yang menjadi landasan jiwa dan raihan

cita-cita setiap warga Adhyaksa dan mempunyai arti serta makna:

a. Satya

Kesetiaan yang bersumber pada rasa jujur, baik, terhadap Tuhan

Yang Maha Esa, terhadap diri pribadi dan keluarga maupun

kepada sesama manusia.

b. Adhi

Kesempurnaan dalam bertugas dan yang berunsur utama,

bertanggung jawab baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, terhadap

keluarga dan terhadap sesama manusia.


37

c. Wicaksana

Bijaksana dalam tutur kata dan tingkah laku, khususnya dalam

penerapan kekuasaan dan kewenangannya.

3.2.3 Makna Tata Warna

a. Warna Kuning

Diartikan luhur, keluhuran makna yang dikandung dalam gambar /

lukisan, keluhuran yang dijadikan cita – cita.

b. Warna Hijau

Diberi arti tekun, ketekunan yang menjadi landasan pengejaran /

pengraihan cita – cita.

3.3 Struktur Organisasi Kejaksaan Negeri Sidoarjo

KEPALA KEJAKSAAN NEGERI SIDOARJO


BUDI HANDOKO, SH
38

SUB BAGIAN PEMBINAAN SEKSI INTELIJEN SEKSI PIDUM


WAHYU WASONO D. A SH, MH IDHAM KHOLID, SH, MH GATOT HARYONO, SH

SEKSI PIDSUS
URUSAN KEUANGAN ADI HARSANTO, SH, MH SEKSI DATUN
YAYAN HARYADI, SH ANDHI ARDHANI, SH
URUSAN KEPEGAWAIAN URUSAN DASKRIMITI DAN
AGUSTINA ROCHMAWATI, SH PERPUSTAKAAN
TREESYE FERAWATI D, SH

URUSAN PERLENGKAPAN
KHUROTU ANIN

Gambar 2
Struktur Organisasi

3.4 Visi dan Misi

1. Visi

Kejaksaaan sebagai lembaga penegak hukum yang bersih, efektif, efisien,

transparan, akuntabel, untuk dapat memberikan pelayanan prima dalam

mewujudkan supremasi hukum secara professional, proposional dan

bermartabat yang berlandaskan keadilan, kebenaran.

2. Misi

a. Mengoptimalkan pelaksanaan fungsi Kejaksaan dalam pelaksanaan

tugas dan wewenang, baik dalam segi kualitas maupun kuantitas

penanganan perkara seluruh tindak pidana, penanganan perkara

Perdata dan Tata Usaha Negara, serta pengoptimalan kegiatan

Intelijen.
39

b. Mengoptimalkan Peranan Bidang Pembinaan dan Pengawasan dalam

Rangka Mendukung Pelaksanaan Tugas Bidang – Bidang Lainnya,

terutama terkait dengan upaya penegakan hukum.

c. Mengoptimalkan tugas pelayanan public di bidang hukum dengan

penuh tanggung jawab, taat azas, efektif dan efisien, serta penghargaan

terhadap hak – hak public.

d. Melakasanakan pembenahan dan penataan kembali struktur organisasi

Kejaksaan, pembenahan system informasi manajemen terutama

pengimplementasian program quickwins agar dapat segera diakses

oleh masyarakat, penyusunan cetak biru (blue – print) pembangunan

sumber daya manusia.

e. Membentuk apparat Kejaksaan yang handak, tangguh, professional,

bermoral, dan beretika guna menunjang kelancaran pelakasanaan tugas

pokok, fungsi, dan wewenang. Terutama dalam upaya untuk mencapai

visi dan misi yang telah di tetapkan secara stratejik Kantor Kejaksaan

Negeri Sidoarjo mempunyai tujuan pencapaian pekerjaan secara

akurat, tepat waktu dan sesuai ketentuan yang berlaku.

3.5 Tugas Pokok dan Fungsi Kepala Kejaksaan Negeri Sidoarjo

Kejaksaan Negeri Sidoarjo yang terletak di Jalan Sultan Agung No. 36

Sidoarjo. Sesuai dengan Pasal 30 Undang – Undang RI No. 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan Republik Indonesia, merumuskan tugas dan wewenang

Kepala Seksi Kejaksaan Negeri Sidoarjo yaitu:


40

1. Kepala Kejaksaan Negeri Sidoarjo (KAJARI)

a. Tugas

1) Memimpin Kejaksaan Negeri Sidoarjo sesuai dengan tugas pokok

yang telah ditentukan dalam peraturan perundang – undangan dan

membina aparatur Kejaksaan agar berdaya guna dan berhasil

guna.

2) Menentukan kebijakan pelaksanaan bidang penegakan hukum

dalam Negara Republik Indonesia yang secara fungsional menjadi

tanggung jawabnya sesuai dengan peraturan perundang –

undangan yang berlaku dan kebijaksanaan umu yang diterapkan

oleh Presiden.

3) Kepala Negeri Kejaksaan Sidoarjo dibantu oleh beberapa orang,

unsur pembantu pimpinan dan unsur pelaksana.

b. Fungsi

Sebagai pemimpin dan penanggung jawab tertinggi di daerah

hukumnya dan mengendalikan pelaksanaannya tugas dan wewenang

Kejaksaan.

2. Kepala Subsidi Bidang Pembinaan (KASUBAG BIN)

a. Tugas

Menyelenggarakan pembinaan administratif, organisasi,

ketatalaksanaan, dan perumusan naskah perundang – undangan

terhadap seluruh warga di lingkungan Kejaksaan Negeri Sidoarjo


41

dalam rangka pelaksanaan tugas memberikan pelayanan teknis dan

administrasi kepada para Jaksa, serta satuan – satuan organisasi

lainnya di lingkungan Kejaksaan Negeri Sidoarjo.

b. Fungsi

1) Mengkoordinasikan dalam arti mengatur dan membina kerjasama,

menginterigasikan dan mensikronisasikan seluruh administrasi

Kejaksaan baik teknis maupun administrative bagi seluruh satuan

organisasi dalam lingkungan Kejaksaan.

2) Melaksanakan urusan rumah tangga dalam arti mengurus semua

keperluan rumah tangga dalam lingkungan Kejaksaan Negeri

Sidoarjo serta menyelenggrakan keamanan baik personil maupun

materil serta ketertiban umum dalam lingkungan Kejaksaan.

3) Merencanakan dalam arti mempersiapkan rencana, menelaah,

mengolah dan mengkoordinasikan perumusan kebijaksanaan

sesuai dengan tugas utama Kejaksaan.

4) Membina administrasi dalam arti membina urusan tata usaha,

mengolah keuangan dan peralatan seluruh Kejakasaan Negeri

Sidoarjo.

5) Membina organisasi dan tata laksana dalam arti membina dan

memelihara seluruh kelembagaan dan ketata laksanaan Kejaksaan

serta pengembangannya.
42

6) Melaksanakan hubungan masyarakat dalam melakukan hubungan

dengan lembaga resmi masyarakat.

7) Mengkoordinasikan penyusunan peraturan perundang – undangan

dalam arti mengkoordinasikan perumusan perundang – undangan

yang menyangkut tugas pokok Kejaksan dan turut serta dalam

pembangunan dan pembinaan hukum nasional.

8) Menyelenggarakan pendidikan dan latihan dalam arti membina

Unit Pendidikan dan Latihan sepanjang belum diselenggarakan

oleh unit organisasi lainnya dilingkungan Kejaksaan Negeri

Sidoarjo.

3. Kepala Seksi Intelijen ( KASI INTEL)

a. Tugas

Bidang Intelijen melaksanakan dungsi – fungsi Intelijen Kejaksaan dalam

rangka penegakan hukum dan pembinaan tertib umum di segala bidang

kehidupan masyarakat berdasarkan peraturan perundang – undangan yang

berlaku serta kebijaksanaan yang ditetapkan oelh pemerintah dan Jaksa

Agung.

b. Fungsi
43

1) Melakukan penyelidikan, pengamanan, pembinaan, dan penggalangan

di bidang ideology, politik, ekonomi, sosial, budaya dan ketertiban

umum dalam rangka penegakan hukum dan tertib hukum.

2) Melakukan kebijakan teknis berupa pengendalian, pembinaan dan

pengawasan terhadap eselon bawahan dalam bentuk pemberian

bimbingan, petunjuk, pengarahan, serta instruksi dalam rangka

pelaksanaan kegiatan dan operasi intelijen.

3) Mendukung pelaksanaan tugas penuntutan dan tugas – tugas dari

bidang – bidang lainnya di lingkungan Kejaksaan dalam rangka

koordinasi penyelenggaraan tugas – tugas Kejaksaan.

4) Melaksanakan kerja sama dengan departemen lembaga pemerintah

non departemen, lembaga – lembaga negara, instansi dan organisasi

lainnya untuk memecahkan permasalahan hukum yang timbul,

terutama yang menyangkut bidang tugas Kejaksaan.

5) Melakukan pengamanan teknis dalam penegakan hukum.

4. Kepala Seksi Pidana Umum (KASI PIDUM)

a. Tugas

Bidang tindak pidana umum melaksanakan sebagian tugas utama

Kejaksaan di bidang yustisial yang menyangkut tindak pidana umum

berdasarkan peraturan perundang – undangan dan kebijaksanaan yang

ditetapkan oleh Jaksa Agung.

b. Fungsi
44

1) Menyelenggarakan operasi yustisial yang menyangkut tindak pidana

umum.

2) Merencanakan dan melaksanakan kegiatan – kegiatan prapenuntutan,

penuntutan, eksekusi perkara beserta pengadministrasiaannya dan

statistik kriminal.

5. Kepala Seksi Pidana Khusus (KASI PIDSUS)

a. Tugas

Bidang Tindak Pidana Khusus melaksanakan sebagian tugas utama

Kejaksaan di bidang yustisial yang menyangkut tindak pidana khusus

berdasarkan peraturan perundang – undangan dan kebijaksanaan yang

ditetapkan oleh Jaksa Agung.

b. Fungsi

1) Merumuskan kebijaksanaan teknis bimbingan, pembinaan,

pengendalian dan pengawasan terhadap eselon bawahan serta petunjuk

dan koordinasi kepada instansi lain dalam menyelenggarakan operasi

yustisial yang menyangkut tindak pidana ekonomi yang khususnya

pidana korupsi, bea cukai, terorisme dan HAM.

2) Merencanakan dan melaksanakan kegiatan – kegiatan penyidikan,

penuntutan, eksekusi perkara serta pengadministrasiaannya dan

statistik kriminal.

6. Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara (KASI DATUN)


45

a. Tugas

1) Melaksanakan tugas dan wewenang Kejaksaan di bidang Perdata dan

Tata Usaha Negara yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang –

undangan atau berdasarkan putusan pengadilan.

2) Memberikan bantuan hukum kepada instansi negara atau instansi

Pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara atau Pejabat Tata Usaha

Negara, di dalam perkara perdata atau perkara Tata Usaha Negara.

3) Memberikan pertimbangan hukum kepada Instansi Pemerintah di

bidang perdata dan Tata Usaha Negara.

4) Memberikan pelayanan hukum kepada anggota masyarakat yang

berkaitan dengan kasus atau masalah perdata atau Tata Usaha Negara.

5) Tindakan hukum dibidang perdata dan Tata Usaha Negara dalam

rangka menyelamatkan kekayaan negara, melindungi kepentingan

masyarakat dan kewibawaan pemerintah

b. Fungsi

1) Perumusan kebijakan teknis kegiatan yustisial perdata dan Tata Usaha

Negara.

2) Perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian kegiatan penegakan,

bantuan, pertimbangan dan pelayanan hukum, pelaksanaan gugatan

uang pengganti atas putusan pengadilan, gugatan ganti kerugian dan


46

tindakan hukum lain terhadap perbuatan yang merugikan keuangan

negara.

3) Pemberian bantuan dan pelayanan hukum kepad lembaga negara dan

instansi pemerintah baik sebgai Penggugat maupun Tergugat.

4) Pembinaan kerjasama dalam pengangan perkara Perdata dan Tata

Usaha Negara dengan instalasi terkait.

5) Pembinaan kerjasama dengan Penyidik dan Penuntut Umum dalam

penanganan perkara yang menimbulkan kerugian negara.

6) Pelaksanaan tindakan hukum didalam maupun diluar Pengadilan,

mewakili kepentingan keperdataan dari negara, pemerintah, dan

masyarakat.

3.6 Foto Lokasi Kantor Kejaksaan Negeri Sidoarjo

Gambar 3
Foto Lokasi Kejaksaan Negeri Sidoajo
47

Gambar 4
Foto Klinik Pendampingan Hukum Kejaksaan Negeri Sidoarjo
48

Gambar 5
Foto Ruang Simkari Kejaksaan Negeri Sidoarjo

Gambar 6
Foto Gudang Barang Bukti Pidum I
49

Gambar 7
Foto Gudang Barang Bukti II

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Praktek Kerja Lapangan Profesi

Berdasarkan hasil praktek kerja lapangan profesi yang penulis

dapatkan selama magang di kantor Kejaksaan Negeri Sidoarjo yang beralamat


50

di Jalan Sultan Agung No. 36 Sidoarjo, Jawa Timur. Prosedur penerimaan

barang bukti dalam tahap 2 hingga pengembalian di Kejaksaan Negeri

Sidoarjo adalah sebagai berikut:

4.1.1 Tabel Penerimaan dan Pengembalian Barang Bukti di Kejaksaan

Negeri Sidoarjo

No Jenis Tindak Pidana Bulan/Tahun Jumlah


1. Oharda Desember 2017 – Juli 2018 224
2. Kamtibum Desember 2017 – Juli 2018 46
3. TPUL Desember 2017- Juli 2018 411
Tabel 1
Tabel Penerimaan Barang Bukti Tahun 2018

No Bulan Jumlah
1. Januari 40
2. Februari 48
3. Maret 28
4. April 52
5. Mei 24
6. Juni - Juli 36
Tabel 2
Tabel Pengembalian Barang Bukti Tahun 2018

Sumber: Kantor Kejaksaan Negeri Sidoarjo


Pendataan penerimaan barang bukti yang ada di Kejaksaan Negeri

Sidoarjo dimulai sejak Bulan Desember 2017. Data yang diperoleh ada

sebanyak 711, dihitung dari Bulan Desember 2017 hingga Bulan Juli 2018.

Dari data penerimaan barang bukti yang didapat, jenis tindak pidananya

dibagi menjadi tiga, yaitu oharda, kamtibum, dan TPUL. Pada jenis tindak

pidana oharda (orang dan harta benda), jumlah data yang diperoleh / masuk
51

dari Bulan Desember 2017 sampai Juli 2018 ada sebanyak 224. Sedangkan

pada kamtibum (kemanan dan ketertiban umum) berjumlah 46. Dan yang

terakhir adalah TPUL (tindak pidana umum lainnya) yang jumlah

penerimaannya berjumlah 411. Dari ketiga jenis tindak pidana diatas, barang

bukti yang masuk paling banyak adalah jenis tindak pidana TPUL.

Pendataan pengembalian barang bukti, dihitung mulai Bulan Januari

2018, bukan Desember 2017. Dalam pengembalian sendiri, tidak dibedakan

jenis tindak pidananya karena bergantung dengan putusan. Dan setiap putusan

tidak bisa diperkirakan waktunya. Jadi dihitung setiap bulannya mulai Bulan

Januari yang melakukan pengembalian ada sebanyak 40, Bulan Februari

sebanyak 48, Bulan Maret sebanyak 28, Bulan April sebanyak 52, Bulan Mei

sebanyak 24, dan yang terakhir yaitu Bulan Juni – Juli sebanyak 36. Dari

keseluruhan data pengembalian totalnya ada 228. Data pengembalian yang

paling banya terjadi pada Bulan April. Apabila dibandingkan dengan data

penerimaan barang bukti yang berjumlah 711 dibandingkan dengan data

pengembalian barang bukti yang berjumlah 228, sangat berbeda jauh. Hal ini

dikarenakan sesuai dengan putusannya, tidak semua barang bukti dapat

dikembalikan.

4.1.2 Prosedur Penerimaan Barang Bukti Dalam Tahap 2 Hingga

Pengembalian di Kejaksaan Negeri Sidoarjo

Tersangka dan Mencocokkan BB disimpan


BA. 5 + Label
BB dilimpahkan BB dengan oleh petugas di
BB
ke Tahap 2 BA. 5 gudang BB
52

Dimusnahkan
BB dikembalikan Jaksa mengisi
ke gudang bon BB
Putusan
BA- 22 P- 48

Dikembalikan BB digunakan di
Jaksa mengisi persidangan
bon BB untuk
pembuktian
BA- 20 P- 48

Disita

BA- 23 P- 48

Gambar 8
Alur Penerimaan Barang Bukti Hinga Pengembalian

4.1.3 Penjelasan Tentang Prosedur Penerimaan Barang Bukti Dalam

Tahap Dua Hingga Pengembalian di Kejaksaan Negeri Sidoarjo

1. Penyidik membawa tersangka dan barang bukti ke tahap dua dan

menyerahkannya kepada Jaksa untuk dilakukan pemeriksaan

ulang serta mencocokkan dengan berkas yang dibawa oleh

penyidik sudah sesuai apa tidak.

2. Staff kejaksaan membuat berita acara penerimaan dan penelitian

benda sitaan / barang bukti dan membuat label barang bukti (untuk

dijadikan keterangan di barang buktinya).


53

3. Setelah dilakukan pemeriksaan ulang tesangka, Jaksa

mencocokkan barang bukti yang dibawa penyidik dengan BA-5,

dibantu oleh staff kejaksaan. Apabila sudah selesai, Jaksa

menandatangani BA-5 dan staff kejaksaan juga, sebagai saksi

bahwa telah diperiksa dan cocok.

4. Kemudian staff kejaksaan memasukkan barang bukti ke plastik /

wadah dan distaples dengan label barang bukti. Apabila ada dua

barang bukti yang salah satunya berupa motor / mobil, maka label

barang bukti dibuat dua. Setelah itu staff kejaksaan menyimpan

barang bukti tersebut di gudang barang bukti dan

mengelompokkannya sesuai jenis tindak pidananya. Untuk motor,

ada tempatnya sendiri khusus gudang barang bukti motor.

5. Apabila Jaksa akan melaksanakan sidang di pengadilan dan

membutuhkan barang bukti, maka jaksa harus menulis di bon

barang bukti yang berisi nama tersangka dan pasal yang dilanggar,

lalu staff kejaksaan baru boleh memberikannya. Jaksa harus

berhati – hati dengan barang bukti yang akan dibawa.

6. Lalu Jaksa menggunakan sebagai pembuktian di pengadilan guna

membantu memperkuat keyakinan hakim dalam memutus

kesalahan dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa.

7. Apabila sudah selesai digunakan di persidangan, Jaksa membawa

kembali barang bukti ke gudang barang bukti, dan periksa ulang


54

oleh staff kejaksaan apakah sudah cocok atau belum. Setelah itu

Jaksa menandatangani kembali bon barang bukti sebagai tanda

bahwa sudah mengembalikan barang buktinya.

8. Jaksa menunggu putusan dari hakim mengenai eksekusi barang

buktinya. Tetapi, Jaksa bisa mengembalikan barang bukti tanpa

menunggu putusannya keluar (kebijakan dari Kejaksaan Negeri

Sidoarjo).

9. Dilihat dari putusannya apabila isi putusan tersebut menyatakan

“dikembalikan kepada pemilik”, maka Jaksa meminta kepada

Kepala Seksi Tindak Pidana masing – masing untuk dibuatkan

surat perintah pelaksanaan putusan pengadilan (P-48), yang wajib

diketahui oleh Kepala Kejaksaan Negerinya. P-48 adalah dasar

dimana Jaksa dapat melakukan pengembalian barang bukti.

10. Setelah itu Jaksa membuat berita acara pengembalian barang bukti

(BA-20), akan tetapi biasanya dibantu oleh staff barang bukti.

Pada saat membuat BA-20 biasanya harus ada KTP orang yang

akan dikembalikan barang buktinya sebanyak tiga.

4.2 Pembahasan

Prosedur penerimaan barang bukti dalam tahap 2 hingga

pengembaliannya dimulai dari pelimpahan berkas perkara yakni

mencakup tersangka dan barang bukti dilimpahkan ke Kejaksaan dan

ditangani oleh Jaksa. Sebelum masuk ke dalam tahap 2, harus melalui


55

tahap 1 yaitu pra penuntutan. Di dalam tahap 1 penyidik wajib

melengkapi berkas perkaranya hingga dinyatakan P-21. Setelah P-21

barulah penyidik dapat melanjutkan ke tahap 2 yaitu penuntutan.

Dalam tahap 2, langkah awal yang dilakukan adalah membuat BA-5

(berita acara penelitian barang bukti) dan BA-7 (berita acara

penyerahan tahanan).

Staff Kejaksaan membuat label barang bukti yang berwarna merah

muda guna untuk ditempel / distaples di barang buktinya. Setelah itu

Jaksa mulai memeriksa keterangan tersangka, dicocokkan dengan yang

ada di BAP. Lalu Jaksa memeriksa barang bukti yang dibawa oleh

penyidik dengan BA-5. Pemeriksaan barang bukti wajib dengan staff

kejaksaan sebagai saksi. Apabila sudah cocok, barang bukti diterima

dan ditambah dengan label barang buktinya. Staff kejaksaan

menyimpan barang bukti tersebut di gudang barang bukti. Gudang

barang bukti pun ada dua disana, yang pertama berisi non kendaraan,

yang kedua khusus untuk sepeda motor / sepeda ontel. Untuk gudang

barang bukti yang pertama, dibagi lagi menjadi 3 sesuai dengan jenis

tindak pidana yang dilanggar.

Pertama adalah oharda, yaitu jenis tindak pidana yang

berhubungan dengan orang dan harta benda seperti benda yang dicuri.

Yang kedua adalah kamtibum, yaitu keamanan dan ketertiban umum.

Disini barang buktinya sangat sedikit sekali karena jarang ada yang
56

terkena pasal tersebut. Yang terakhir adala TPUL, yaitu tindak pidana

umum lainnya. Yang termasuk dalam TPUL adalah tindak pidana

narkotika, pencucian uang, dan pajak. Barang bukti yang paling

banyak adalah ganja atau sejenis obat – obatan. Barang bukti tersebut

disimpan hingga waktu diperlukan oleh Jaksa dalam persidangan.

Apabila sudah dekat dengan waktu sidang / pada hari itu sidang,

maka Jaksa mulai mengisi bon barang bukti di ruang tahap 2. Hal

tersebut berguna untuk mengetahui jumlah dan barang bukti apa saja

yang dipinjam dan dikembalikan oleh Jaksa seusai persidangan. Dalam

menulis bon barang bukti, Jaksa menulis pasal yang dilanggar beserta

nama terdakwanya. Setelah mengisi, baru Jaksa boleh membawa

barang bukti tersebut ke persidangan. Setelah sidang, Jaksa

mengembalikan ke gudang barang bukti dengan mengisi bon barang

buktinya lagi sebagai tanda bahwa telah mengembalikan. Lalu jaksa

pun menunggu putusan dari hakim supaya barang bukti tersebut harus

diapakan. Biasanya hanya setelah pemeriksaan saksi, apabila barang

bukti tersebut kepunyaan saksi, setelah dimintai keterangan Jaksa

mengembalikan secara langsung tanpa menunggu putusan. Hal itu

dilakukan karena barang bukti tersebut sudah tidak dipakai lagi atau

bukan kepunyaan terdakwa. Tetapi tetap membuat P-48 sebelum

membuat BA-20. Hal tersebut dapat dilakukan karena mengingat


57

banyaknya barang bukti yang menumpuk di gudang barang bukti dan

dikhawatirkan bisa rusak karena tidak ada yang merawatnya.

Apabila hasil putusannya sudah keluar, Jaksa dapat langsung

mengembalikan kepada pemilik / nama yang tercantum di dalam isi

putusan tersebut. Jaksa dapat mengeksekusi dengan cara membuat P-

48, lalu BA-20 dan pemilik yang berwenang diharap memberikan

indentitasnya sebanyak tiga. Apabila barang bukti tersebut adalah

kendaraan, pasti dilampirkan STNK dan BPKB nya guna mencegah

adanya kepemilikan palsu. Setelah melewati proses diatas, maka

barang bukti dapat langsung dibawa oleh pemilik.


BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil praktek kerja lapangan profesi dan pembahasan

maka penyusun dapat menyimpulkan bahwa prosedur penerimaan barang

bukti dalam tahap 2 hingga pengembalian di Kejaksaan Negeri Sidoarjo

adalah bermula dari penyidik yang melimpahkan tersangka beserta barang

buktinya kepada Jaksa. Pelimpahan tersangka dan barang bukti di Kejaksaan

ada di tahap 2. Dalam tahap 2, Jaksa memiliki wewenang untuk menerima

berkas perkara dari penyidik dan juga melaksanakan penetapan hakim. Dalam

pelaksanaan pengembalian barang bukti pun juga masih dalam tahap 2 karena

Jaksa melihat dari isi putusan / petikan putusannya. Lalu Jaksa membuat P-48

yang menjadi dasar dari BA-20. P-48 adalah surat perintah untuk Jaksa agar

dapat melaksanakan isi putusan.

5.2 Saran

a. Bagi Kejaksaan Negeri Sidoarjo

Dipertimbangkan lagi untuk penambahan staff kejaksaan disana,

karena menurut saya di Kejaksaan Negeri Sidoarjo kekurangan

pegawai. Setiap hari jadwal penerimaan berkas dari penyidik di ruang

tahap 2 sangat sebentar dan itu hanya diberi batasan waktu yang

sedikit, kurang lebih dari jam 08.00 sampai jam 11.00 saja. Dalam satu

58
59

hari, staff kejaksaan yang bertugas di ruang tahap 2 melakukan tiga

tugas sekaligus, yaitu membuat berita acaranya, mengantar tahanan ke

lapas, dan memegang bagian barang bukti.

b. Bagi Pemerintah

Semoga ke depannya pemerintah baik dalam internal dan eksternal

semakin bertambah baik dalam menangani beberapa problematika

yang terjadi dan menerapkan hukum yang ada sesuai dengan SOP.

Sehingga peran pemerintah mampu melaksanakan tugas dan fungsinya

dengan baik.

c. Bagi Masyarakat

Semoga bermanfaat dan masyarakat mengetahui penerapan dan teori-

teorinya. Selain itu, agar masyarakat mengetahui cara menerapkan

teori yang mereka peroleh dengan persoalan atau kasus yang terjadi.

Sehingga, saat mereka dalam masalah tersebut, mereka tidak kesulitan.

Anda mungkin juga menyukai