Anda di halaman 1dari 24

PERTEMUAN 7

PRA PENUNTUTAN DAN PENUNTUTAN

A. TUJUAN BELAJAR

1.1. Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan pengertian


prapenuntutan;
1.2. Mahasiswa dapat memahami dan menganalisis koordinasi
fungsional antara penyidik dan penuntut umum dalam proses
serah terima berkas perkara;
1.3. Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan pengertian
penuntutan;
1.4. Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan ruang lingkup
tugas dan wewenang penuntut umum dalam proses
prapenuntutan dan penuntutan;
1.5. Mahasiswa dapat memahami dan menjelaskan alasan
dilakukannya penghentian penuntutan.

B. URAIAN MATERI

PENDAHULUAN

Menjadi tugas negara, apabila suatu perbuatan pidana terjadi di


masyarakat untuk melakukan serangkaian tindakan guna memulihkan
keadaan sehingga kehidupan masyarakat yang tertib, aman dan adil sesuai
dengan tujuan hukum dapat tercipta dengan baik.

Melalui seperangkat instrumen yang dimiliki negara, akan dilakukan


penegakan hukum guna memproses segala perbuatan yang menyimpang
dari peraturan perundang-undangan hukum pidana, dimulai dari upaya
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, hingga

HUKUM ACARA PIDANA


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

pemberian hukuman atau pemidanaan bagi pelaku tindak pidana. Untuk


itulah Hukum Acara Pidana diperlukan sebagai pengarah terkait dengan
aturan main guna mencari kebenaran materiil dari suatu perkara pidana,
untuk itulah diperlukan suatu kerja keras yang optimal dari seluruh
perangkat penegak hukum.

Komitmen dan kerja keras penegak hukum sangat dipertaruhkan


pada proses prapenuntutan agar terwujud keadilan dan kepastian hukum
bagi semua pihak sesuai dengan tujuan hukum. Proses prapenuntutan
menjadi begitu penting dan menentukan, sebab pada proses ini fokus
dilakukan serangkaian persiapan untuk membawa suatu perkara memasuki
tahapan penuntutan di pengadilan. Proses ini akan sangat menentukan
tingkat keberhasilan penuntutan nantinya. Dengan demikian, proses
prapenuntutan memegang peranan yang sangat penting dalam upaya
mencari kebenaran materiil yang merupakan dasar dilakukannya penuntutan
terhadap suatu perkara pidana.

Untuk memahami secara utuh seluk beluk menganai prapenuntutan


dan penuntutan, maka pada pertemuan 5 ini akan diuraikan materi mengenai
prapenuntutan dan penuntutan. Materi pada Modul 5 ini juga telah
dilengkapi dengan rangkuman materi serta soal, sehingga diharapkan
mahasiswa dapat memiliki kemampuan untuk menjelaskan dan menganalisa
menganai pengertian prapenuntutan, koordinasi fungsional antara penyidik
dengan penutut umum dalam proses serah terima berkas perkara, pengertian
penuntutan, tugas dan wewenang penuntut umum dalam proses
prapenuntutan dan penuntutan, serta alasan penghentian penuntutan.

Tujuan Pembelajaran 1.1

PENGERTIAN PRAPENUNTUTAN

HUKUM ACARA PIDANA 105


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

Secara umum, pengertian prapenuntutan menurut Andi Hamzah


adalah, “tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan oleh penyidik. Inilah yang terasa janggal karena
memberi petunjuk kepada penyidik untuk menyempurnakan penyidikan
disebut prapenuntutan. Hal ini dalam aturan lama (HIR), termasuk
penyidikan lanjutan”1. Menurut Andi Hamzah, melalui produk perundang-
undangan ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), seolah-olah hendak
menghindari timbulnya kesan bahwa jaksa sebagai penuntut umum
memiliki kewenangan penyidikan lanjutan, sehingga penamaannya diubah
menjadi prapenuntutan.2

Dalam bukunya, Andi Hamzah mengemukakan kecenderugannya


untuk lebih sepakat dengan ketentuan HIR, bahwa petunjuk yang diberikan
oleh penuntut umum kepada peyidik untuk menyempurnakan penyidikannya
lebih tepat dianggap sebagi suatu penyidikan lanjutan 3. Dengan demikian,
pada hakikatnya antara penyidikan dengan prapenuntutan atau penyidikan
lanjutan (jika merujuk aturan HIR) merupakan satu bagian yang melekat
dan tidak dapat dipisahkan secara tegas.

Tidak berbeda dengan Andi Hamzah, M. Yahya Harahap juga tidak


menggunakan istilah prapenuntutan, melainkan memilih untuk menyebutnya
sebagai “hubungan antara penyidik dengan penuntut umum”, jika antara
penyidik dengan penuntut umum terpaut beberapa simpul hubungan,
diantaranya4:

1
Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta,
hal. 161.
2
Ibid.
3
Ibid.
4
M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal.
369.

HUKUM ACARA PIDANA 106


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

1. Pemberitahuan dimulainya tindakan penyidikan oleh penyidik


kepada penuntut umum, sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat
(1);
2. Pemberitahuan dilakukannya penghentian penyidikan oleh penyidik,
sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (2);
3. Perpanjangan penahanan.

Jika dipahami secara baik, maka secara tersirat maksud dari M.


Yahya Harahap juga mengarah pada proses prapenuntutan, namun Yahya
Harahap meilih untuk tidak menggunakan istilah “prapenuntutan” dan
menggantinya dengan “hubungan antara penyidik dengan penuntut umum”.
Dengan demikian antara Andi Hamzah dengan M. Yahya Harahap memiliki
kesepahaman untuk lebih cenderung menggunakan istilah lain, karena
menganggap istilah prapenuntutan dirasa kurang tepat menggambarkan
proses ini.

Berbeda dengan Andi Hamzah dan M. Yahya Harahap, ahli Hukum


Acara Pidana lainnya cenderung tetap menggunakan istilah prapenuntutan.
Lilik Mulyadi merujuk pada ketentuan dalam Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4)
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahwa manakala
setelah penyidik menyerahkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kepada
Jaksa Penuntut Umum, maka Penuntut Umum harus mempelajarinya selama
paling lama 7 (tujuh) hari, dan apabila ternyata BAP tersebut dianggap tidak
lengkap, maka Penuntut Umum harus mengembalikan kepada penyidik
untuk diperbaiki selama 7 (tujuh) hari pula, yang telah disertai petunjuk dari
penuntut umum5.

Berbagai kendala seringkali dihadapi dalam proses prapenuntutan,


sehingga beberapa ahli Hukum Acara Pidana cenderung berpendapat agar
istilah prapenuntutan tidak digunakan dalam prosedur beracara. Hal ini

5
Lilik Mulyadi, 1996, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap
Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal. 25-26.

HUKUM ACARA PIDANA 107


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

sebagaimana dikemukakan oleh AI. Wisnubroto dan G. Widiartana dalam


bukunya Pembaharuan Hukum Acara Pidana, yang menyebutkan bahwa:

“Berkaitan dengan hal tersebut, ada pemikiran dalam Rancangan


Undang-Undang KUHAP (draft tahun 2002) untuk menghapus
prosedur prapenuntutan ini. Sebagai gantinya, apabila BAP (Berita
Acara Pemeriksaan) dikembalikan kepada penyidik untuk
disempurnakan, ternyata tidak ada respon dari penyidik untuk
menindaklanjuti pengambilan BAP dari penuntut umum tersebut,
maka penuntut umum dapat melakukan pemeriksaan tambahan”6.
Aturan tentang prapenuntutan tidak hanya diatur dalam KUHAP,
tetapi juga diatur dalam Undang-undang kejaksaan. Jika merujuk pada
bunyi penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pokok
Kejaksaan No. 16 Tahun 2004, disebutkan terkait batasan dari
prapenuntutan, yaitu:

“prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan


penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari
penyidik, petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan
apakah berkas tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahan
penuntutan.7”

dalam KUHAP, aturan terkait penyerahan berkas perkara dari


penyidik ke Penuntut Umum diatur dalam beberapa pasal, diantaranya pasal
110 ayat (1) yang mengatur bahwa:

“dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib


segera menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum”8.

6
AI. Wisnusubroto dan G. Widiartana, 2005, Pembaharuan Hukum Acara Pidana,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 65.
7
Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang
Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan)
8
Pasal 110 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana.

HUKUM ACARA PIDANA 108


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

Selanjutnya, terkait penyerahan berkas perkara diatur pula pada Pasal 8 ayat
(3) KUHAP, yang menentukan bahwa:

“Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)


dilakukan:

a. pada tahap pertama, penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;


b. dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik
menyerahkan tanggungjawab atas tersangka dan barang bukti
kepada penuntut umum”9.
Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (3) KUHAP di atas, maka dapat
disimpulakan bahwa pada dasarnya proses penyerahan berkas perkara
dilakukan dalam dua tahap. Pada tahap pertama, penyidik kepolisian hanya
menyerahkan berkas perkara saja, sedangkan pada tahap kedua, yaitu tahap
ketika penyidikan sudah dianggap selesai oleh penuntut umum, penyidik
menyerahkan seluruh tanggung jawab termasuk tersangka dan seluruh
barang bukti yang ada kepada penuntut umum. Secara yuridis, kedua
tahapan ini yang disebut prapenuntutan. Jika kembali merujuk KUHAP,
maka pada Pasal 14 huruf (b) menentukan bahwa salah satu kewenangan
penuntut umum (PU) adalah melakukan prapenuntutan (preprosecution),
yaitu kondisi apabila terdapat kekuarangan pada hasil penyidikan, maka
berdasarkan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4) penuntut umum
memberikan petunjuk kepada penyidik agar segera menyempurnakan hasil
penyidikannya10.
Pada dasarnya KUHAP tidak mengatur secara khusus penjelasan
atau definisi dari istilah prapenuntutan. Sehingga untuk memahami makna
prapenuntutan secara yuridis, perlu membaca dan memahami beberapa pasal
dalam KUHAP, terutama Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) huruf a dan b, Pasal

9
Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana.
10
H.M.A. Kuffal, 2002, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Penerbit UMM,
Malang, hal. 115.

HUKUM ACARA PIDANA 109


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

110 ayat (2), (3), dan (4) juncto Pasal 138 ayat (1) dan (2)11. Sehingga
dengan merujuk beberapa ketentuan pasal dalam KUHAP tersebut, dapat
ditarik kesimpulan bahwa definisi prapenuntutan adalah proses
penyempurnaan berkas perkara berdasarkan petunjuk penuntut umum
kepada penyidik, hingga diserahkannya tanggungjawab atas tersangka dan
seluruh barang bukti dari penyidik kepada penuntut umum.
Namun jika secara khusus merujuk pada ketentuan Pasal 14 huruf b
KUHAP mengenai wewenang penuntut umum, bahwa salah satu wewenang
penuntut umum adalah melakukan prapenuntutan yaitu, memberikan
petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik, ketika
terdapat kekurangan pada tahap penyidikan, dengan memperhatikan Pasal
110 ayat (3) dan (4) KUHAP12. Jika merujuk pada batasan ini, maka
prapenuntutan dapat didefinisikan sebagai proses pengembalian perkara dari
penuntut umum kepada penyidik, dengan disertai permintaan kepada
penyidik untuk melengkapi berkas perkara sesuai dengan petunjuk penuntut
umum, dengan melakukan upaya penyidikan tambahan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan Hukum Acara Pidana di Indonesia.
Rangkaian prapenuntutan juga dapat dipahami dengan merujuk pada
bunyi Pasal 110 ayat (1) KUHAP, yang mengemukakan bahwa, “apabila
penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera
menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum”13.
Rangkaian berikutnya dapat dilihat pada ketentuan Pasal 109 ayat (9)
KUHAP, dalam ketentuan ini diatur mengenai kewajiban penyidik untuk
memberikan informasi kepada penuntut umum, ketika proses penyidikan
atas suatu perkara pidana telah dimulai.

11
Ibid.
12
Pasal 14 huruf b, Undang-Undang nomor 8 Tahun 1981 Tentang Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
13
Pasal 110 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana.

HUKUM ACARA PIDANA 110


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, bahwa Andi Hamzah


memiliki pendapat yang berbeda dengan pembentuk undang-undang terkait
dengan penggunaan istilah ‘prapenuntutan’. Menurut Andi Hamzah,
penggunaan istilah ‘prapenuntutan’ mengesankan adanya keinginan dari
anggota DPR untuk membatasi kewenangan penuntut umum, sehingga
kewenangan penuntut umum tidak sampai memasuki wilayah penyidikan
ataupun penyidikan lanjutan dalam hal ini. Kesan ini mungkin benar
adanya, kecenderungan Andi Hamzah ini semakin nyata dengan melihat
ketentuan Pasal 14 KUHAP. Pasal 14 yang berisi wewenang panyidik dari
huruf a jingga huruf i, yang secara jelas menyebutkan sembilan macam hal
yang menjadi kewenangan penyidik. Di antara sembilan macam
kewenangan penyidik tersebut, tidak ada satupun yang menerangkan bahwa
penuntut umum memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan kepada
siapapun yang disangka atau dituduh melakukan tindak pidana. Apabila
penuntut umum menilai ada hal yang kurang lengkap pada berkas perkara
yang diserahkan penyidik kepada penuntut umum, maka oleh karena sebab
hal itu penuntut umum dapat mengembalikan berkas perkara yang kurang
lengkap tersebut untuk selanjutnya dilengkapi oleh penyidik setelah
sebelumnya diberi petunjuk mengenai hal-hal yang harus dilengkapi.
Berkaca pada hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa penuntut umum tidak
memiliki kewenangan untuk melakukan kewenangan penyidikan, termasuk
juga penyidikan tambahan, dan hanya terbatas pada proses prapenuntutan.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa antara penyidikan,
prapenuntutan dan penuntutan, merupakan tiga hal yang tidak dapat dipisah-
pisahkan dan saling terikat satu dengan yang lainnya. Untuk itulah sangat
diperlukan adanya suatu kerjasama yang baik antara penyidik dengan jaksa
peneliti/calon penuntut umum, agar penyidik dapat melakukan penyidikan
dengan baik dan menghasilkan data yang cukup untuk dilakukan penuntutan
pada tahap berikutnya. Keberhasilan penuntut umum mengajukan
penuntutan kepada pelaku perkara pidana, akan sangat ditentukan dari
kesuksesan penyidik mengungkap berbagai fakta terkait perkara pidana

HUKUM ACARA PIDANA 111


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

yang dihadapi. Hal inilah yang membenarkan pendapat M. Yahya Harahap


bahwa ‘prapenuntutan’ adalah ‘hubungan antara penyidik dengan penuntut
umum’.
Setelah dapat memahami dan menyimpulkan apa yang dimaksud
dengan prapenuntutan, selanjutnya perlu dipahami mengenai pengertian
penuntutan. Jika dilihat dari penggunaan kata ‘pra’ pada istilah
‘prapenuntutan’, maka prapenuntutan adalah fase yang ada sebelum masuk
pada fase penuntutan. Selanjutnya apa itu penuntutan? Sebagaimana proses
memberikan pemahaman tentang ‘prapenuntutan’ sebelumnya, maka untuk
memahami ‘penuntutan’ juga perlu menggali dan memahami beberapa
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Pertama, memahami
penuntutan, menggunakan undang-undang Kejaksaan. Menurut Pasal 1 butir
3 UU tentang Kejaksaan, “penuntutan adalah tindakan penuntut umum
untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam
hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan
permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di siding pengadilan” 14.
Dengan demikian jelaslah bahwa, setelah ‘prapenuntutan’, ‘penututan’
merupakan tugas selanjutnya yang dibebankan undang-undang kepada
penuntut umum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 137 KUHAP yang
menentukan bahwa:

“penuntut umum berhak melakukan penuntutan terhadap siapapun yang


didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan
melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili”.

Tujuan Pembelajaran 1.2

14
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia (UU Kejaksaan).

HUKUM ACARA PIDANA 112


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

KOORDINASI FUNGSIONAL ANTARA PENYIDIK DAN


PENUNTUT UMUM DALAM PROSES SERAH TERIMA
BERKAS PERKARA;

Berkas perkara merupakan hal yang paling krusial dalam proses


prapenuntutan. Proses prapenuntutan tidak akan selesai hingga berkas
perkara dinilai lengkap oleh penuntut umum. Penuntut umum akan terus
memberikan petunjuk kepada penyidik untuk kembali melakukan
penyidikan tambahan, hingga penuntut umum menilai berkas perkara
tersebut layak untuk lanjut ke tahap penuntutan. Proses bolak-balik serah
terima berkas perkara ini dapat terjadi berlarut-larut jika koordinasi
fungsional antara penyidik dengan penuntut umum tidak terjalin dengan
baik. Bahkan, perkara pidana seringkali mengambang statusnyakarena
proses prapenuntutan yang tidak kunjung usai. Untuk itulah koordinasi
fungsional yang baik antara penyidik dan penuntut umum memegang
peranan penting bagi suksesnya proses prapenuntutan. Penuntut umum tidak
akan akan mengambil resiko dengan menerima pengalihan tanggungjawab
atas suatu perkara pidana, tanpa memastikan bahwa berkas perkaranya telah
lengkap. Sebab kesuksesan penuntut umum dalam melakukan penuntutan
suatu perkara pidana akan sangat bergantung pada lengkapnya berkas
perkara yang ada. Semakin lengkap suatu berkas perkara, semakin besar
kemungkinan penuntut umum dapat mempertahankan tuntutannya.

Terdapat beberapa kendala teknis terkait dengan koordinasi


fungsional antara penyidik dengan penuntut umum dalam proses
prapenuntutan, diantaranya dalam hal:

a. Koordinasi terkait pemberitahuan dimulainya penyidikan


sebagaimana diatur dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP;
b. Koordinasi terkait perpanjangan penahanan untuk kepentingan
penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) KUHAP;

HUKUM ACARA PIDANA 113


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

c. Koordinasi terkait penghentian penyidikan sebagaimana diatur


dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP;
d. Koordinasi terkait penyerahan berkas perkara hasil penyidikan
kepada penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 110 ayat
(1) KUHAP;
e. Koordinasi terkait penyidikan tambahan berdasarkan petunjuk
penuntut umum dalam hal berkas perkara dinyatakan kurang
lengkap.

Diantara lima hal yang menjadi titik-titik simpul terjadinya


koordinasi fungsional antara penyidik dengan penuntut umum, maka poin 4
dan 5 merupakan poin yang paling esensial dalam proses prapenuntutan.
Poin 4 terjadi ketika penyidikan telah dianggap selesai oleh penyidik, maka
penyidik berkewajiban untuk segera berkoordinasi dengan penuntut umum
untuk menyerahkan berkas perkara yang telah ada kepada penuntut umum.
Pada tahap ini, yang diserahkan hanya Berita Acara Pemeriksaan atau yang
lazim disebut dengan BAP saja. Ini merupakan penyerahan berkas perkara
pada tahap pertama.

Pada dasarnya KUHAP tidak mengatur secara tegas menganai apa


yang dimaksud dengan berkas perkara, namun dalam prakteknya, yang
diberikan penyidik kepada penuntut umum adalah sebundel Berita Acara
Pemeriksaan yang telah disusun selama proses penyidikan sebelumnya.
Namun untuk mencari lebih jelas terkait berkas perkara yang dimaksud
KUHAP, maka dapat juga merujuk pada beberapa pasal berikut ini:

Pasal 107 ayat (3) KUHAP

“Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidiktersebut dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf b, ia segera menyerahkan hasil penyidikannya
kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1)
huruf a”.

Pasal 139 KUHAP

HUKUM ACARA PIDANA 114


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

“Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan


yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara
itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke
pengadilan.”

Jika merujuk kedua ketentuan di atas, maka secara singkat berkas perkara
dapat diartikan sebagai hasil penyidikan.

Proses selanjutnya, untuk melimpahkan berkas perkara atau hasil


penyidikan ke pengadilan, maka berkas perkara tersebut harus memenuhi
kelengkapan formil maupun kelengkapan materiil.

Kelengkapan formil meliputi:

1. Setiap tindakan yang dituangkan dalam berita acara harus selalu


dibuat oleh pejabat yang berwenang atas kekuatan sumpah
jabatan dan ditandatangani oleh semua pihak yang terlibat
tindakan dimaksud dan dengan diberi tanggal (sesuai dengan
Pasal 75 jo. 121 KUHAP);
2. Syarat kepangkatan, apabila penyidikan dilakukan oleh penyidik
pembantu;
3. Tindakan penyidik atau penyidik pembantu dalam hal-hal tertentu
harus berdasarkan izin yang berwenang. Selain itu, izin tersebut
harus juga dilampirkan dalam berkas perkara serta surat perintah
penyidikan;
4. Khusus terhadap delik aduan, maka disyaratkan adanya
pengaduan dari korban/pihak yang berkepentingan;
5. Identitas tersangka (sebagaimana diatur dalam Pasal 143 ayat (2)
sub a KUHAP). Identitas ini meliputi nama lengkap, tempat dan
tanggal lahir, umur, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,
agama, dan pekerjaan tersangka;
6. Jika terdapat barang bukti yang dengan sukarela diserahkan oleh
tersangka atau saksi suatu perkara pidana, maka harus dibuat

HUKUM ACARA PIDANA 115


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

Berita Acara Penerimaan dan dengan meminta persetujuan ketua


Pengadilan;
7. Berkas penunjang suatu penyidikan, seperti keterangan mengenai
kondisi fisik korban kekerasan berupa visum et repertum, atau
hasil pemeriksaan laboratorium pada perkara narkotika,
pencemaran lingkungan, dll.
8. Berita Acara atas segala bentuk tindakan yang dibenarkan
menurut undang-undang, seperti berita acara pemusnahan barang
bukti, pelelangan barang bukti, dan sebagainya, harus dilampirkan
dalam berkas perkara.

Kelengkapan materiil meliputi:

1. Adanya perbuatan melawan hukum sesuai dengan delik yang


disangkakan kepada tesangka;
2. Adanya kesalahan pada diri tersangka, baik kesalahan itu berupa
kesengajaan maupun kealpaan sesuai dengan delik yang
disangkakan kepada tersangka dengan didukung minimal 2 alat
bukti yang sah;
3. Alat bukti yang mampu menunjukan locus delicti dan tempus
delicti terjadinya suatu tindak pidana;

Tujuan Pembelajaran 1.3

PENGERTIAN PENUNTUTAN

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, ketika suatu proses


penyidikan dianggap selesai oleh penyidik, maka penyidik akan
menyerahkan berita acara kepada penuntut umum. Penyidik dan penuntut
umum akan saling berkoordinasi untuk membuat berkas perkara lengkap
sesuai dengan petunjuk penuntut umum. Jika penuntut umum menganggap

HUKUM ACARA PIDANA 116


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

bahwa berkas perkara telah lengkap, maka proses prapenuntutan telah


selesai dan beralih pada proses berikutnya, yaitu proses penuntutan. Untuk
memahami apa yang dimaksud dengan penyidikan, maka Pasal 1 angka 7
KUHAP telah memberikan batasan terkait dengan definisi penuntutan.

Pasal 1 angka 7 KUHAP

“penuntutan adalah tindakan penuntut umumuntuk melimpahkan perkara


pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa
dan diputus oleh hakim dalam siding pengadilan.”

Pengertian penuntutan yang diberikan KUHAP senada dengan pengertian


penuntutan menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa, “menuntut seorang
terdakwa di muka hakim pidana adalah menyerahkan perkara seorang
terdakwa dengan berkas perkara kepada hakim, dengan permohonan supaya
hakim memeriksa kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap
terdakwa”15.

Penuntutan merupakan wewenang penuntut umum, oleh karena itu


fungsi penuntutan dilakukan oleh penuntut umum dalam rangka
menjalankan tugas yang diberikan undang-undang. Selanjutnya, siapa yang
dimaksud dengan penuntut umum? Penuntut umum adalah jaksa yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan termasuk juga
pelaksanakan penetapan hakim. Berikut ini adalah alur kerja penuntut
umum dalam menjalankan tugasnya:

1. Penuntut umum membuat surat dakwaan yang didasarkan pada


hasil penyidikan. Namun apabila dalam proses penuntutan ini
penuntut umum tidak menemukan cukup bukti atau penuntut
umum berpendapat bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan
peristiwa pidana, maka perkara harus ditutup demi hukum.
15
Wirjono Prodjodikoro, 1967, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung,
Jakarta, hal. 34.

HUKUM ACARA PIDANA 117


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

Sebagai konsekuensinya, penuntut umum harus menghentikan


penuntutan yang harus dicatatkan dalam suatu surat ketetapan.
Apabila dalam proses penuntutan ini terdakwa berada dalam
tahanan, maka setelah terbitnya surat ketetapan, terdakwa harus
segera dibebaskan dari tahanan.
2. Apabila penuntutan dihentikan, maka surat ketetapan penghentian
penuntutan harus diberitahukan kepada tersangka. Pemberitahuan
atas surat ketetapan yang dimaksud, dapat diberikan langsung
kepada terdakwa, keluarganya, atau melalui penasihat hukumnya.
Apabila terdakwa ditahan, surat ketetapan juga diberitahukan
kepada pejabat rumah tahanan negara. Pihak lain yang juga yang
harus diberitahukan terkait terbitnya surat ketetapan penghentian
penuntutan adalah kepada hakim dan penyidik. Atas dasar adaya
surat ketetapan tentang oenghentian penuntutan oleh penuntut
umum, maka terhadap ketetapan ini dapat dimohonkan
praperadilan (terkait dengan praperadilan akan dibahas pada
pertemuan berikutnya). Hal ini sesuai dengan Bab X, bagian
kesatu KUHAP. Namun, apabila di kemudian hari ditemukan
alasan baru, maka penuntut umum dapat melakukan penuntutan
kembali terhadap terdakwa.
3. Apabila proses prapenuntutan telah selesai dilakukan, maka
penuntut umum harus segera melimpahkan perkara tersebut ke
pengadilan negeri setempat, dengan disertai surat dakwaan.
Pelimpahan perkara ke pegadilan ini merupakan bentuk
permohonan penuntut umum agar perkara pidana yang
bersangkutan segera diadili.
4. Apabila penuntut umum hendak mengubah surat dakwaan, baik
dengan tujuan untuk menyempurnakan isi surat dakwaan, ataupun
untuk menghentikan penuntutannya, maka penuntut umum hanya
dapat melakukannya sebelum pengadilan menetapkan hari sidang.
Perubahan surat dakwaan ini terbatas hanya boleh dilakukan

HUKUM ACARA PIDANA 118


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

maksimal satu kali dalam tempo waktu selambat-lambatnya tujuh


hari sebelum siding dimulai. Apabila penuntut umum mengubah
surat dakwaan, maka turunan surat dakwaan yang telah
mengalami perubahan harus disampaikan kepada penyidik dan
kepada terdakwa atau penasihat hukumnya.

Tujuan Pembelajaran 1.4

TUGAS DAN WEWENANG PENUNTUT UMUM DALAM


PROSES PRAPENUNTUTAN DAN PENUNTUTAN;

Seringkali masyarakat dibingungkan dengan istilah jaksa dan


penuntut umum. Apakah jaksa dan penuntut umum adalah sama, atau justru
memiliki tugas, fungsi dan kewenangan yang berbeda? Apakah jaksa pasti
merupakan penuntut umum? Atau sebaliknya, setiap penuntut umum pasti
jaksa? Untuk menjawabnya perlu dilihat dua pasal berikut ini:

Pasal 1 angka 6 huruf a KUHAP:

“jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Pasal 1 angka 6 huruf b KUHAP:

“penuntut umum adalah jaksa yang diberikan wewenang undang-undang ini


untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.”

Merujuk pada kedua pasal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa setiap
penuntut umum adalah jaksa, tapi sebaliknya, tidak semua jaksa adalah
penuntut umum.

HUKUM ACARA PIDANA 119


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

Setelah memahami perbedaan antara jaksa dengan penuntut umum,


selanjutnya apaksh fungsi dan kewenangan jaksa dan penuntut umum?
Untuk itu perlu memperhatikan kedua pasal berikut ini:

Pasal 270 KUHAP

“pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh hukum tetap


dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat
keputusan kepadanya.”

Pasal 13 KUHAP

“penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang


ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan putusan hakim.”

Pasal 14 KUHAP

“Penuntut umum mempunyai wewenang:


a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik
atau penyidik pembantu;
b. mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan
ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan
penyidikan dari penyidik;
c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah
perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d. membuat surat dakwaan;
e. melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan
hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan,
baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada
sidang yang telah ditentukan;
g. melakukan penuntutan;
h. menutup perkara demi kepentingan hukum;
i. mengadakan tindakan lain dalam Iingkup tugas dan tanggung jawab
sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
j. melaksanakan penetapan hakim”.

HUKUM ACARA PIDANA 120


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

Tujuan Pembelajaran 1.5

PENGHENTIAN PENUNTUTAN

Sesuai dengan pasal 139 KUHAP yang berbunyi:


“setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan
yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara
itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke
pengadilan”.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka setelah penuntut umum


menerima hasil penyidikan tambahan yang telah dilakukan oleh penyidik,
penuntut umum harus segera menentukan apakah berkas perkara yang ada
telah memenuhi persyaratan atau sebaliknya.

Berkas perkara yang telah lengkap dan memenuhi persyaratan


ternyata tidak serta merta wajib dilanjutkan untuk diperiksa di pengadilan.
Terdapat beberapa alasan yang membuat suatu perkara harus dihentikan
penuntutannya, diantaranya:

a. Tersangka meninggal dunia;


Hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 77 KUHAP. Apabila
suatu berkas perkara telah lengkap, namun tersangkanya meninggal
dunia, maka proses penuntutan tidak perlu dilanjutkan lagi.

b. Daluwarsa;
Daluwarsa atau disebut juga verjaring, merupakan kata lain atau
sinonim dari lewat waktu atau lost by limitation. Hak menuntut
suatu perkara pidana juga memiliki batas waktu sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 78 KUHP. Apabila batas menuntut suatu
perkara pidana telah lewat waktu, maka demi kepastian hukum
proses penuntutan perkara tersebut harus dihentikan.

HUKUM ACARA PIDANA 121


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

c. Ne bis in idem;
Ne bis in idem terjadi ketika seorang tersangka tidak dapat diadili
atau dituntut pidana untuk kedua kalinya pada perkara yang sama.
Jika seorang tersangka sudah pernah diadili sebelumnya pada suatu
perkara, maka terhadap tersangka tersebut tidak dapat diadili
kembali atas dasar perkara yang sama. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 76 KUHAP.

d. Tidak cukup bukti;

Alasan lain yang dapat menjadi dasar dihentikannya suatu proses


penuntutan adalah karena tidak adanya cukup bukti untuk
melanjutkan perkara tersebut ke pengadilan. Hal ini sebagaimana
diatur dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP.

e. Bukan merupakan tindak pidana


Apabila dalam proses prapenuntutan penuntut umum menilai
bahwa peristiwa yang disidik oleh penyidik bukan merupakan
peristiwa pidana, maka penuntut umum harus segera menghentikan
penuntutan atas perkara tersebut. Hal ini sebagaimana diatur dalam
Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP.

Apabila penuntut umum karena alasan tertentu sesuai dengan yang


telah ditentukan undang-undang memutuskan untuk menghentikan proses
penuntutan suatu perkara pidana, maka perkara tersebut harus ditutup demi
kepentingan hukum dengan membuat Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 140 ayat (2) KUHAP:

a. “Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan


penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara

HUKUM ACARA PIDANA 122


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

ditutup demi hukum, penuntut umum menuangkan hal tersebut


dalam surat ketetapan.
b. Isi surat ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila
ia ditahan wajib segera dibebaskan.
c. Turunan surat ketetapan itu wajib disampaikan kepada tersangka
atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara,
penyidik dan hakim.
d. Apabila kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat
melakukan penuntutan terhadap tersangka”.

C. KESIMPULAN

1. Pengertian Prapenuntutan
Berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang
No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan
mengenai batasan prapenuntutan, yaitu tindakan jaksa penuntut umum
untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima
pemberitahuan dimulaianya penyidikan dari penyidik. Selanjutnya
setelah penyidikan dinyatakan selesai oleh penyidik, penuntut umum
menerima berkas pekara dari penyidik untuk dipelajari apakah berkas
perkara tersebut dapat dilimpahkan ke tahap penuntutan. Apabila
penuntut umum menilai bahwa berkas perkara belum lengkap, maka
penuntut umum wajib memberikan petunjuk guna dilakukan penyidikan
tambahan oleh penyidik yang bersangkutan.
Jika melihat ketentuan umum KUHAP, maka di dalamnya tidak
ada definisi tegas yang menjelaskan tentang pengertian prapenunututan.
Dikarenakan tidak adanya pengertian otentik terkait dengan definisi
prapenuntutan dalam KUHAP, maka untuk memahami apa itu
prapenuntutan perlu memperhatikan beberapa ketentuan pasal dalam
KUHAP:
a. Pasal 8 ayat (2) dan (3) huruf a dan b;
b. Pasal 110 ayat (2), (3), dan (4);

HUKUM ACARA PIDANA 123


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

c. Pasal 138 ayat (1) dan (2)

Sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa prapenuntutan


adalah proses penyrmpurnaan berkas perkara oleh penyidik sesuai
dengan petunjuk penuntut umum.

2. Koordinasi Fungsional Antara Penyidik Dan Penuntut Umum


Dalam Proses Serah Terima Berkas Perkara
Terdapat beberapa hal yang menjadi titik simpul koordinasi
fungsional antara penyidik dan penuntut umum dalam proses serah
terima berkas perkara, diantaranya adalah:
a. Pemberitahuan dimulainya oenyidikan (Pasal 109 ayat (1)
KUHAP);
b. Perpanjangan penahanan untuk kepentingan penyidikan (Pasal
24 ayat (2) KUHAP);
c. Penghentian penyidikan (Pasal 109 ayat (2)KUHAP);
d. Penyerahan berkas perkara hasil penyidikan kepada penuntut
umum (Pasal 110 ayat (1) KUHAP);
e. Penyidikan tambahan berdasarkan petunjuk penuntut umum
dalam hal berkas perkara dinyatakan kurang lengkap.

KUHAP tidak menentukan secara tegas definisi berkas perkara.


Untuk dapat memahami apa yang dimaksud dengan berkas perkara, maka
perlu memahami beberapa pasal berikut ini:

a. Pasal 107 ayat (3) KUHAP;


b. Pasal 139 KUHAP
Secara umum, suatu berkas perkara dapat dilimpahkan ke
pengadilan untuk lanjut ke tahap penuntutan apabila telah memenuhi
syarat formil dan materiil sebagaimana yang ditentukan dalam KUHAP.

3. Pengertian Penuntutan

HUKUM ACARA PIDANA 124


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

Memahami tentang definisi penuntutan dapat melihat Pasal 1


angka 7 KUHAP, yang menentukan bahwa penuntutan adalah tindakan
penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri
yang berwenang dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini dengan permintaan agar hakim memeriksa dan memutus
perkara yang bersangkutan dalam siding pengadilan.

4. Tugas dan Wewenang Penuntut Umum


Berdasarkan ketentuan Pasal 14 KUHAP, maka penuntut umum
memiliki beberapa tugas dan wewenang, yaitu:
a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari
penyidik atau penyidik pembantu;
b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan;
c. Memberi petunjuk kepada penyidik untuk menyempurnakan
penyidikan dalam penyidikan tambahan (Pasal 110 ayat (3) dan
(4));
d. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan,
mengubah status tahanan setelah berkas perkara dilimpahkan
oleh penyidik;
e. Membuat surat dakwaan;
f. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
g. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa terkait dengan
waktu perkara akan disidangkan, membuat surat panggilan, baik
kepada terdakwa, kepada saksi a charge, atau kepada ahli jika
ada;
h. Melakukan penuntutan;
i. Menghentikan perkara demi kepentingan hukum;
j. Melakukan tindakan lain dalam lingkup tugas dan wewenang
penuntut umum menurut undang-undang;
k. Melaksakan penetapan hakim.

HUKUM ACARA PIDANA 125


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

5. Penghentian Penuntutan
Penghentian penuntutan dilakukan penuntut umum dengan
prosedur, menuangkannya dalam Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan (Pasal 140 ayat (2)). Berdasarkan ketentuan ini, penuntut
umum dapat menghentikan penuntutan atas dasar karena tidak terdapat
cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa pidana.

D. SOAL

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan prapenuntutan!


2. Jelaskan bentuk koordinasi fungsional antara peyidik dan penuntut umum
dalam proses serah terima perkara pidana!
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan penuntutan!
4. Kemukakan sehingga jelas, hal-hal yang menjadi tugas dan wewenang
penuntut umum!
5. Jelaskan hal apa saja yang dapat menjadi alasan suatu proses penuntutan
untuk dihentikan!

E. DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Hamzah, Andi. 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya,

Jakarta.

Harahap, M. Yahya. 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Edisi Kedua, Sinar

Grafika, Jakarta.

Kuffal, H.M.A. 2002, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Penerbit

UMM, Malang.

HUKUM ACARA PIDANA 126


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

Mulyadi, Lilik. 1996, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap

Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan, Citra Aditya

Bakti, Bandung.

Prodjodikoro, Wirjono. 1967, Hukum Atjara Pidana di Indonesia, Sumur

Bandung, Jakarta.

Wisnusubroto, AI. dan G. Widiartana. 2005, Pembaharuan Hukum Acara

Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.

Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia

Penjelasan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik

Indonesia

HUKUM ACARA PIDANA 127

Anda mungkin juga menyukai