A. TUJUAN BELAJAR
B. URAIAN MATERI
PENDAHULUAN
PENGERTIAN PRAPENUNTUTAN
1
Andi Hamzah, 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta,
hal. 161.
2
Ibid.
3
Ibid.
4
M. Yahya Harahap, 2006, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal.
369.
5
Lilik Mulyadi, 1996, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap
Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan, Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal. 25-26.
6
AI. Wisnusubroto dan G. Widiartana, 2005, Pembaharuan Hukum Acara Pidana,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 65.
7
Penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang
Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan)
8
Pasal 110 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana.
Selanjutnya, terkait penyerahan berkas perkara diatur pula pada Pasal 8 ayat
(3) KUHAP, yang menentukan bahwa:
9
Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana.
10
H.M.A. Kuffal, 2002, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Penerbit UMM,
Malang, hal. 115.
110 ayat (2), (3), dan (4) juncto Pasal 138 ayat (1) dan (2)11. Sehingga
dengan merujuk beberapa ketentuan pasal dalam KUHAP tersebut, dapat
ditarik kesimpulan bahwa definisi prapenuntutan adalah proses
penyempurnaan berkas perkara berdasarkan petunjuk penuntut umum
kepada penyidik, hingga diserahkannya tanggungjawab atas tersangka dan
seluruh barang bukti dari penyidik kepada penuntut umum.
Namun jika secara khusus merujuk pada ketentuan Pasal 14 huruf b
KUHAP mengenai wewenang penuntut umum, bahwa salah satu wewenang
penuntut umum adalah melakukan prapenuntutan yaitu, memberikan
petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik, ketika
terdapat kekurangan pada tahap penyidikan, dengan memperhatikan Pasal
110 ayat (3) dan (4) KUHAP12. Jika merujuk pada batasan ini, maka
prapenuntutan dapat didefinisikan sebagai proses pengembalian perkara dari
penuntut umum kepada penyidik, dengan disertai permintaan kepada
penyidik untuk melengkapi berkas perkara sesuai dengan petunjuk penuntut
umum, dengan melakukan upaya penyidikan tambahan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan Hukum Acara Pidana di Indonesia.
Rangkaian prapenuntutan juga dapat dipahami dengan merujuk pada
bunyi Pasal 110 ayat (1) KUHAP, yang mengemukakan bahwa, “apabila
penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera
menyerahkan berkas perkara itu kepada penuntut umum”13.
Rangkaian berikutnya dapat dilihat pada ketentuan Pasal 109 ayat (9)
KUHAP, dalam ketentuan ini diatur mengenai kewajiban penyidik untuk
memberikan informasi kepada penuntut umum, ketika proses penyidikan
atas suatu perkara pidana telah dimulai.
11
Ibid.
12
Pasal 14 huruf b, Undang-Undang nomor 8 Tahun 1981 Tentang Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
13
Pasal 110 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara
Pidana.
14
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik
Indonesia (UU Kejaksaan).
“Dalam hal tindak pidana telah selesai disidik oleh penyidiktersebut dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf b, ia segera menyerahkan hasil penyidikannya
kepada penuntut umum melalui penyidik tersebut pada Pasal 6 ayat (1)
huruf a”.
Jika merujuk kedua ketentuan di atas, maka secara singkat berkas perkara
dapat diartikan sebagai hasil penyidikan.
PENGERTIAN PENUNTUTAN
“jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Merujuk pada kedua pasal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa setiap
penuntut umum adalah jaksa, tapi sebaliknya, tidak semua jaksa adalah
penuntut umum.
Pasal 13 KUHAP
Pasal 14 KUHAP
PENGHENTIAN PENUNTUTAN
b. Daluwarsa;
Daluwarsa atau disebut juga verjaring, merupakan kata lain atau
sinonim dari lewat waktu atau lost by limitation. Hak menuntut
suatu perkara pidana juga memiliki batas waktu sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 78 KUHP. Apabila batas menuntut suatu
perkara pidana telah lewat waktu, maka demi kepastian hukum
proses penuntutan perkara tersebut harus dihentikan.
c. Ne bis in idem;
Ne bis in idem terjadi ketika seorang tersangka tidak dapat diadili
atau dituntut pidana untuk kedua kalinya pada perkara yang sama.
Jika seorang tersangka sudah pernah diadili sebelumnya pada suatu
perkara, maka terhadap tersangka tersebut tidak dapat diadili
kembali atas dasar perkara yang sama. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 76 KUHAP.
C. KESIMPULAN
1. Pengertian Prapenuntutan
Berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang
No. 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan
mengenai batasan prapenuntutan, yaitu tindakan jaksa penuntut umum
untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima
pemberitahuan dimulaianya penyidikan dari penyidik. Selanjutnya
setelah penyidikan dinyatakan selesai oleh penyidik, penuntut umum
menerima berkas pekara dari penyidik untuk dipelajari apakah berkas
perkara tersebut dapat dilimpahkan ke tahap penuntutan. Apabila
penuntut umum menilai bahwa berkas perkara belum lengkap, maka
penuntut umum wajib memberikan petunjuk guna dilakukan penyidikan
tambahan oleh penyidik yang bersangkutan.
Jika melihat ketentuan umum KUHAP, maka di dalamnya tidak
ada definisi tegas yang menjelaskan tentang pengertian prapenunututan.
Dikarenakan tidak adanya pengertian otentik terkait dengan definisi
prapenuntutan dalam KUHAP, maka untuk memahami apa itu
prapenuntutan perlu memperhatikan beberapa ketentuan pasal dalam
KUHAP:
a. Pasal 8 ayat (2) dan (3) huruf a dan b;
b. Pasal 110 ayat (2), (3), dan (4);
3. Pengertian Penuntutan
5. Penghentian Penuntutan
Penghentian penuntutan dilakukan penuntut umum dengan
prosedur, menuangkannya dalam Surat Ketetapan Penghentian
Penuntutan (Pasal 140 ayat (2)). Berdasarkan ketentuan ini, penuntut
umum dapat menghentikan penuntutan atas dasar karena tidak terdapat
cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa pidana.
D. SOAL
E. DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Hamzah, Andi. 1996, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya,
Jakarta.
Grafika, Jakarta.
UMM, Malang.
Mulyadi, Lilik. 1996, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap
Bakti, Bandung.
Bandung, Jakarta.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana.
Indonesia