Anda di halaman 1dari 31

KOORDINASI PENANGANAN PERKARA ANTARA KEJAKSAAN

DENGAN PENYIDIK KEPOLISIAN BERDASARKAN PERATURAN


JAKSA AGUNG NOMOR: PER-036/A/JA/09/2011 TENTANG
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PENANGANAN
PERKARA TINDAK PIDANA UMUM
(Studi Kabupaten Ketapang)

Oleh :

AGUS SUPRIYANTO, SH
A2021191006

A. Latar Belakang

Dalam mekanisme sistem peradilan pidana (criminal justice

system), proses penanganan perkara, diawali oleh proses penyelidikan

dan penyidikan oleh penyelidik dan penyidik, dilanjutkan oleh penuntut

umum untuk melakukan penuntutan dan proses pemeriksaan di sidang

pengadilan oleh hakim sampai dengan pelaksanaan putusan hakim oleh

jaksa dan petugas lembaga pemasyarakatan (jika terbukti bersalah).

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2004 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia, maka baik hakim, jaksa dan polisi diatur secara

terpisah dan mandiri, yang tentunya berdampak pada pelaksanaan

penegakan hukum, yaitu terjadinya tumpang tindih tugas, kewenangan

dan tanggung jawab antara polisi, jaksa dan hakim, bahkan terdapat
kesan koordinasi fungsional dalam sistem peradilan pidana terpadu

(intergrated judiciary system) tidak berjalan sebagaimana yang

diharapkan.

Sistem peradilan pidana sebagai suatu sistem dalam penegakan

hukum pidana berupaya untuk menanggulangi masalah kejahatan

dimaknai sebagai upaya untuk mengendalikan atau membatasi kejahatan

agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Komponen-

komponen yang berkerja dalam sistem ini meliputi kepolisian, kejaksaan,

pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Empat komponen ini

diharapkan dapat bekerjasama sehingga menghasilkan suatu

keterpaduan yang dikenal dengan “integrated criminal justice system”.

Masing-masing komponen secara administratif berdiri sendiri, mempunyai

tugas dan fungsi tersendiri sesuai dengan kewenangan dan pengaturan

yang dimilikinya. Setiap masalah dalam subsistim satu dengan yang

lainnya adalah saling berhubungan dan setiap masalah dalam salah satu

subsistim akan menimbulkan dampak pada sub sistem lainnya. Dalam

kaitan tugas antara polisi, jaksa dan hakim dalam sistem peradilan pidana

terpadu, terlihat perbedaan tugas dan wewenang ketiga institusi tersebut

sebagai bagian dari subsistem peradilan pidana Indonesia bahwa yang

pada saat berlakunya KUHAP tugas polisi terpisah sama sekali dengan

tugas jaksa dan hakim. Polisi sebagai penyidik dan Jaksa sebagai

Penuntut dan hakim sebagai orang yang memutuskan perkara. Adanya

pemisahan tersebut hendaknya menurut Mardjono Reksodiputro” “tidak


boleh mengganggu usaha adanya satu kebijakan penyidikan, penuntutan

dan pengadilan yang akan merupakan pedoman kerja bersama dalam

proses peradilan pidana”.1

Sistem ini mulai bekerja pada saat adanya laporan kejahatan dari

masyarakat, setelah itu polisi melakukan penangkapan, penyelidikan,

penyidikan dan membuat berita acara pemeriksaan. Pelaku tindak pidana

yang bersalah diteruskan kepada Kejaksaan, sedangkan yang tidak

bersalah dikembalikan kepada masyarakat. Jaksa kemudian mengadakan

seleksi lagi terhadap pelaku dan mengadakan penuntutan serta membuat

surat dakwaan. Pelaku yang tidak terbukti bersalah dibebaskan,

sedangkan yang terbukti bersalah diajukan ke pengadilan. Pengadilan

juga melakukan hal yang sama, artinya yang tidak terbukti bersalah

dibebaskan, sedangkan yang terbukti melakukan tindak pidana

diserahkan ke Lembaga Pemasyarakatan sebagai instansi terakhir yang

melakukan pembinaan terhadap terpidana.

Penuntut umum harus memahami dan menguasai proses dan

prosedur dari tindakan penyidik yang meliputi pemeriksaan, penangkapan,

penahanan, serta pembuatan berita acara pemeriksaan yang

keseluruhannya dimaksudkan agar tidak cacat hukum, karena tugas

Jaksa Penuntut Umum untuk mempertanggungjawabkan secara yuridis

dan proporsional atas hasil penyidikan di hadapan hakim, masyarakat dan

juga terdakwa. Pelaksanaan koordinasi antara penyidik dan Jaksa

1
Mardjono Rekspdiputro, 1993, Menuju Pada Satu Kebijakan Kriminal Dalam HAM
Dalam Sistim Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Hukum dan Keadilan, hlm. 96.
Penuntut Umum agar dapat mensukseskan penyelesaian perkara baik

dari segi penyidikan dan penuntutan merupakan hal yang sangat penting.

Berhasilnya pelaksanaan penyidikan dan penuntutan adalah dua kegiatan

yang saling ketergantungan satu dengan yang lainnya, maka harus

dilaksanakan dengan semangat saling menghargai, saling konsultatif dan

koordinatif, saling percaya mempercayai dan kerjasama yang sebaik-

baiknya.

Hubungan antara penyidik dengan penuntut umum sudah dimulai

sejak penyidik memberitahukan kepada penuntut umum telah dimulainya

penyidikan (Pasal 109 ayat (1) KUHAP). hal ini tujuannya adalah supaya

Jaksa Penuntut Umum dapat mengikuti perkembangan perkara tersebut

sejak dini, kemudian dalam hal berkas perkara yang disampaikan oleh

penyidik ternyata belum lengkap maka penuntut umum segera

mengembalikan berkas tersebut dengan disertai petunjuk-petunjuk untuk

kemudian dilengkapi oleh penyidik, untuk perpanjangan penahanan harus

ada pula dengan persetujuan Jaksa Penuntut Umum, karena penahanan

adalah suatu upaya hukum paksa yang tentunya harus dengan

pertimbangan sebijak mungkin dari seorang Jaksa Penuntut Umum untuk

memberikan perpanjangan penahan an karena menyangkut hak asasi

tersangka atau terdakwa yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia

(HAM).

Pasal 110 jo Pasal 138 KUHAP menyatakan bahwa setelah

penyidik selesai melakukan penyidikan, maka berkas perkara diserahkan


kepada Penuntut Umum, selanjutnya dalam kurun waktu 7 (tujuh) hari

Penuntut Umum akan mempelajari berkas perkara dan jika masih

dianggap belum lengkap Penuntut Umum akan mengambalikan berkas

perkara tersebut kepada Penyidik disertai petunjuk tentang hal-hal yang

harus dilakukan untuk dilengkapi. Dalam waktu 14 (empat belas) hari

sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan

kembali berkas perkara itu kepada Penuntut Umum. Jadi peranan

Kejaksaan dalam proses penyidikan hanyalah memberikan petunjuk

kepada penyidik dalam rangka prapenuntutan.

Pelaksanaan ketentuan dalam KUHAP tersebut

diimplementasikan dalam Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia

Nomor: PER-036/A/JA/09/2011 tentang Standar Operasional Prosedur

(SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum sebagaimana diatur

dalam Pasal 12 ayat (3) menyebutkan bahwa:

“Apabila berdasarkan hasil penelitian Penuntut Umum terhadap


berkas perkara ditemukan adanya kekuarangan, dalam waktu 7
(tujuh) hari sejak diterimanya berkas perkara, Penuntut Umum
memberitahukan hal tersebut kepada penyidik, dan dalam waktu 14
(empat belas) hari sejak diterimanya penyerahan tahap pertama,
Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara tersebut disertai
dengan petunjuk yang harus dilengkapi”.

Selanjutnya dalam ayat (4) disebutkan:

“Sesuai ketentuan Pasal 110 ayat (3) KUHAP, penyidik wajib segera
melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari
Penuntut Umum dan dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal
penerimaan berkas yang telah diberi petunjuk oleh Penuntut Umum,
Penyidik sesuai ketentuan Pasal 138 Ayat (2) KUHAP harus sudah
menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada Penuntut
Umum”.
Dalam ayat (5) disebutkan:

“Apabila dalam waktu 14 (empatbelas) hari penyidik belum


menyampaikan kembali berkas perkara yang telah dilengkapi sesuai
petunjuk Penuntut Umum, maka penyidikan tambahan yang dilakukan
oleh penyidik menjadi tidak sah, karena tidak sesuai dengan
ketentuan Pasal 138 ayat (2) KUHAP, dan untuk itu agar
memberitahukannya kepada penyidik.

Di tahap berikutnya dalam ketentuan Pasal 12 Ayat (6) disebutkan:

“Dalam hal penyidik belum menyerahkan tersangka dan barang bukti


(tahap II) dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak perkara dinyatakan
lengkap, Penuntut Umum membuat pemberitahuan susulan bahwa
penyidikan sudah lengkap, dan apabila dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari sejak pemberitahuan susulan bahwa penyidikan sudah lengkap
penyidik belum melakukan penyerahan tahap II, maka demi kepastian
hukum Penuntut Umum mengembalikan berkas perkara tersebut
kepada penyidik.”

Dalam kenyataan di lapangan, pelaksanaan koordinasi penyidikan

terhadap perkara pidana antara penyidik Kepolisan dan Jaksa Penuntut

Umum tidak berjalan seperti yang diharapkan. Pada praktik pelaksanaan

penyidikan dan penyelidikan sering terjadi penyimpangan-penyimpangan

terhadap ketentuan yang terdapat dalam KUHAP. Sebagai contoh

pelaksanaan penyidikan yang mana pengiriman berkas perkara sering

melebihi batas waktu yang ditentukan sebagaimana diatur dalam KUHAP

sehingga menghambat proses penelitian berkas oleh Penuntut Umum

yang berdampak pada kurang optimalnya penelitian terhadap berkas

perkara. Di samping itu dalam rangka pengambilan keterangan. tersangka

terdakwa atau saksi dilakukan dengan cara kekerasan, penyidik

Kepolisian melakukan penangkapan, penahanan, penyitaan,

penggeledahan dan upaya hukum lainnya tidak sesuai dengan ketentuan


KUHAP. Tidak berjalannya koordinasi penyidikan terhadap perkara pidana

antara penyidik Kepolisian dengan Jaksa Penuntut Umum tersebut di atas

menunjukkan adanya kesenjangan antara apa yang seharusnya diatur

dengan kenyataannya atau praktiknya (das sein).

Upaya mencari dan mendapatkan suatu kebenaran dalam hukum

acara pidana merupakan upaya hukum yang murni, tetapi

perkembangannya dalam mencari dan mendapatkan suatu kebenaran

dalam Hukum Acara Pidana seringkali terjadi kepincangan-kepincangan

yang kadangkala kebenaran dapat menjadi kesalahan bahkan yang salah

menjadi benar. Keadaan demikian mengharuskan kepada para penegak

hukum dapat melaksanakan tugasnya berdasarkan atas hukum,

kepentingan-kepentingan yang sering terjadi dikarenakan dari hasil

penyidikan dan penyelidikan tidak memadai.

Secara teknis administratif seorang jaksa baru dapat bertindak

sebagai Penuntut Umum apabila terhadapnya telah diterbitkan Surat

Perintah Penunjukan Jaksa Penuntut Umum (P 16A). Secara teknis

yustisial jaksa baru bertindak sebagai Penuntut Umum sejak ia

melimpahkan perkara tersebut kepada pengadilan. Dalam pelaksanaan

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tidak

bertindak lagi sebagai Penuntut Umum, tetapi bertindak dalam

kapasitasnya sebagai seorang Jaksa, karena tugas penuntutan berakhir

apabila dalam suatu perkara telah dijatuhkan putusan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap.


Dalam perkembangan selanjutnya, berdasarkan penjelasan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan menyatakan

bahwa kejaksaan mempunyai' wewenang untuk melengkapi berkas

perkara, penuntut umum dapat melakukan pemeriksaan tambahan

sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya

dikoordinasikan dengan penyidik. Dari ketentuan tersebut terlihat bahwa

ada perluasan peranan kejaksaan yang dilaksanakan oleh penuntut umum

dalam proses penyidikan tindak pidana, di mana semula hanya

memberikan petunjuk kepada penyidik dalam rangka prapenuntutan,

namun sekarang dapat melengkapi berkas perkara tertentu dengan

melakukan pemeriksaan tambahan.

Dalam upaya penegakan hukum pidana, koordinasi antara

penegak hukum memang merupakan suatu hal yang sangat penting.

Kurang baiknya hubungan koordinasi, salah satunya antara jaksa selaku

penuntut umum dengan penyidik kepolisian dalam penanganan perkara

merupakan salah satu faktor penyebab gagalnya penegakan hukum.

Untuk itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian hukum dalam bentuk

Tesis dengan judul “KOORDINASI PENANGANAN PERKARA ANTARA

KEJAKSAAN DENGAN PENYIDIK KEPOLISIAN BERDASARKAN

PERATURAN JAKSA AGUNG NOMOR: PER-036/A/JA/09/2011

TENTANG STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PENANGANAN

PERKARA TINDAK PIDANA UMUM (STUDI KABUPATEN

KETAPANG)”
B. Rumusan Masalah

Dari uraian dalam latar belakang di atas, dalam penelitian ini dirumuskan

beberapa permasalahan yang akan dicari jawabannya sebagai berikut:

1. Bagaimana pola dan mekanisme koordinasi antara Kejaksaan dan

penyidik Kepolisian dalam penanganan perkara tindak pidana umum?

2. Faktor-faktor apa yang menjadi penghambat sehingga koordinasi

antara Kejaksaan dan penyidik Kepolisian dalam penanganan perkara

tindak pidana umum tidak berjalan secara optimal?

3. Tindakan dan upaya apa yang dilakukan oleh Kejaksaan dan penyidik

Kepolisian agar koordinasi dalam penanganan perkara tindak pidana

umum dapat berjalan secara optimal?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pola dan mekanisme koordinasi

antara Kejaksaan dan penyidik Kepolisian dalam penanganan perkara

tindak pidana umum.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor yang yang menjadi

penghambat sehingga koordinasi antara Kejaksaan dan penyidik

Kepolisian dalam penanganan perkara tindak pidana umum tidak

berjalan secara optimal.


3. Untuk mengetahui dan menganalisis tindakan dan upaya yang

dilakukan oleh Kejaksaan dan penyidik Kepolisian agar koordinasi

dalam penanganan perkara tindak pidana umum dapat berjalan

secara optimal.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk menambah referensi

teoritis dalam ilmu hukum, berkaitan dengan hukum kelembagaan

Kejaksaan dan Kepolisan, khususnya berkaitan pengembangan pola

dan mekanisme koordinasi antara lembaga penegak hukum

2. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk memberi masukan bagi

pihak-pihak, khususnya pengambil keputusan, yang terkait dengan

pelaksanaan pola dan mekanisme koordinasi antara lembaga penegak

hukum dalam menangani perkara.

E. Tinjauan Pustaka

1. Konsep Koordinasi

Istilah koordinasi berasal dari kata Inggris coordination. Kata

coordinate terbentuk dari dua akar kata yaitu co dan ordinate yang

mempunyai arti mengatur. Dengan demikian, dalam istilah koordinasi

sudah terkandung makna pengaturan. Koordinasi dan hubungan kerja

adalah dua pengertian yang saling terkait. Dengan kata lain, koordinasi

hanya dapat dicapai atau terjalin bila terjadi hubungan kerja yang efektif.
Hubungan kerja adalah bentuk komunikasi administrasi yang

mendukung tercapainya koordinasi. Karena itu dikatakan, bahwa hasil

akhir dari komunikasi (hubungan kerja) ialah tercapainya koordinasi

dengan cara yang berhasil guna dan berdaya guna (efektif dan efisien).

Begitu pentingnya koordinasi, dikatakan oleh Koontz dan O‟Donnell

bahwa coordination is the essence of managership. Koordinasi

dimaksudkan sebagai usaha menyatukan kegiatan-kegiatan dari satuan-

satuan (unit-unit) kerja organisasi, sehingga organisasi bergerak sebagai

kesatuan yang bulat guna melaksanakan seluruh tugas organisasi untuk

mencapai tujuannya.2

Menurut Arifin Abdulrahman koordinasi adalah kegiatan untuk

menertibkan segenap kegiatan manajemen maupun kegiatan kegiatan

satu dengan yang lainnya agar tidak simpang siur, tidak bertentangan,

dan dapat ditujukan kepada titik arah pencapaian tujuan secara efisien. 3

Menurut George R. Terry koordinasi adalah pengerahan usaha-usaha

yang teratur guna menciptakan jumlah, waktu dan arah pelaksanaan yang

tepat, agar menghasilkan tindakan terpadu serta harmoni yang menuju ke

arah sasaran yang telah ditetapkan. 4 Sedangkan definisi menurut Mooney

adalah coordination as the achievement of orderly group efforts, and unity

action is the pursuit of common purpose. (koordinasi sebagai pencapaian

usaha kelompok secara teratur, dan kesatuan tindakan merupakan usaha

2
Dalam I.GK. Manila, 1996, Praktek Manajemen Pemerintahan Dalam Negeri, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, hlm. 42.
3
Dalam Ibid, hlm. 43.
4
Dalam ibid.
pencapaian tujuan bersama).5 Sementara Handoko mendefinisikan

koordinasi sebagai proses pengintegrasian tujuan-tujuan dan kegiatan-

kegiatan pada satuan-satuan yang terpisah (departemen atau bidang-

bidang fungsional) suatu organisasi untuk mencapai tujuan organisasi

secara efisien.6

Koordinasi juga merupakan suatu kegiatan bersama yang melibatkan

beberapa bagian, komponen, kelompok atau organisasi diperlukan

koordinasi guna untuk menyempurnakan usaha bersama untuk mencapai

suatu tujuan yang efektif. Koordinasi adalah perihal mengatur suatu

organisasi dan cabang-cabangnya sehingga peraturan-peraturan dan

tindakantindakan yang akan dilaksanakan tidak saling bertentangan atau

simpang siur.

Koordinasi sebagai pengaturan yang tertib dari kumpulan atau

gabungan usaha, untuk menciptakan kesatuan tindakan dalam mencapai

tujuan bersama.7 Permasalahan kerjasama dan koordinasi antara aparatur

pemerintah dan pertaliannya satu sama lain merupakan masalah

koordinasi pemerintah. Kerjasama dibutuhkan guna menjamin

keterpaduan dalam tujuan dan bekerjanya semua aparatur pemerintah

yang ada dalam hidup bersama dimana setiap kepentingan dibutuhkan

organisasi tersendiri yang dapat bekerja lancar, serasi dan kuat. 8


5
Paulina Dwi Jayanti, 2013. “Komunikasi dan Koordinasi yang Sinergi Antara Pemerintah
Desa dan BPD dalam Pembuatan Peraturan Desa”, Jurnal Governance, Vol. 1 No. 1

6
Handoko, 2003, Manajemen, Yogyakarta: BPFE, hlm. 195.
7
Ateng Syafrudin, 1993, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di Daerah, Bandung: Citra
Aditya Bakti, hlm. 10.
8
Ibid, hlm. 11.
Koordinasi merupakan bentuk kerjasama yang bertujuan untuk

mencapai keselarasan aktivitas-aktivitas dalam mencapai tujuan

organisasi. Menurut Handayaningrat dibagi menjadi dua bagian yaitu: 9

1. Koordinasi intern, yaitu koordinasi yang dilakukan oleh atasan

langsung, dalam hal ini pemimpin wajib mengkoordinasikan kegiatan-

kegiatan yang dilakukan oleh para bawahannya. Dengan demikian,

dapat diketahui bawahan telah melaksanakan tugas pekerjaan sesuai

dengan kebijaksanaan atau tugas pokok.

2. Koordinasi fungsional, yaitu yang dilakukan secara horizontal. Ini

disebabkan, karena sebuah unit organisasi tidak mungkin dapat

dilakukan sendiri tanpa bantuan unit lainnya.

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab kebutuhan koordinasi,

antara lain: pertama, adanya pembagian tugas dalam organisasi (division

of labor). Kedua, adanya jenjang dalam organisasi (vertical differentiation).

Ketiga, adanya penggolongan unit-unit secara fungsional (functional

differentitation). Keempat, adanya fungsi lini dan staf (line and staff

function). Kelima, alokasi sumber dana dan daya yang terbatas (allocation

of limited resourcer). Keenam, adanya kepribadian individu yang berbeda-

beda (individual indifference).10

Mekanisme koordinasi meliputi antara lain: kebijaksanaan, yaitu

sebagai arah tujuan, rencana, yaitu tertuang cara melaksanakan, waktu

pelaksanan, orang yang melaksanakan, prosedur dan tata kerja yaitu


9
Dalam Jayanti, op. cit.
10
Ibnu Syamsi, 1994, Pokok-Pokok Organisasi dan Manajemen, Jakarta: Rineka Cipta,
hlm. 115.
berisi siapa melakukan apa, kapan dilaksanakan, dan dengan siapa harus

berhubungan yang dibuat dalam bentuk petunjuk pelaksanaan. 11

Manfaat dari koordinasi, menurut Sutarto sebagai berikut: 12

a. Dengan koordinasi dapat dihindarkan perasaan lepas satu sama lain

antara satua-satuan organisasi atau antara para pejabat yang ada

dalam organisasi;

b. Dengan koordinasi dapat dihindarkan perasaan atau suatu pendapat

bahwa satuan organisasinya atau jabatannya merupakan yang paling

penting;

c. Dengan koordinasi dapat dihindarkan kemungkinan timbulnya

pertentangan antar satuan organisasi atau antar pejabat;

d. Dengan koordinasi dapat dihindarkan timbulnya rebutan fasilitas;

e. Dengan koordinasi dapat dihindarkan terjadinya peristiwa waktu

menunggu yang memakan waktu lama;

f. Dengan koordinasi dapat dihindarkan kemungkinan terjadi

kekembaran pengerjaan terhadap suatu aktivitas oleh satuan-satuan

organisasi atau kekembaran pengerjaan terhadap tugas oleh para

pejabat;

g. Dengan koordinasi dapat dihindarkan kemungkinan terjadinya

kekosongan pengerjaan terhadap suatu aktivitas oleh satuan-satuan

organisasi atau kekosongan pengerjaan terhadap tugas oleh para

pejabat;
11
Syafrudin, op. cit., hlm. 13.
12
Sotarto, 1993, Dasar-Dasar Organisasi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
hlm. 74.
h. Dengan koordinasi dapat ditumbuhkan kesadaran di antara pejabat

untuk saling bantu satu sama lain terutama di antara pejabat yang ada

dalam satuan organisasi yang sama;

i. Dengan koordinasi dapat ditumbuhkan kesadaran di antara para

pejabat untuk saling memberitahu masalah yang dihadapi bersama

sehingga dapat dihindarkan kemungkinan terjadinya kebaikan bagi

dirinya, keselamatan bagi dirinya atas kerugian atau kejatuhan antara

sesama pejabat lainnya;

j. Dengan koordinasi dapat dijamin kesatuan sikap antar pejabat;

k. Dengan koordinasi dapat dijamin adanya kesatuan kebijaksanaan

antar pejabat;

l. Dengan koordinasi dapat dijamin adanya kesatuan langkah antar para

pejabat; dan

m. Dengan koordinasi dapat dijamin adanya kesatuan tindakan antar

pejabat. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa koordinasi adalah

suatu penyesuaian diri dari bagian-bagian dalam memberikan

sumbangan untuk menyelesaikan suatu masalah agar didapatkan

hasil yang maksimum secara keseluruhan.

2. Tindak Pidana

Dalam konsep hukum Indonesia terdapat beberapa perbedaan

dalam menyebutkan istilah tindak pidana. Ada yang menyebutkan istilah

tindak pidana tersebut sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana dan


delik. Sedangkan dalam Bahasa Belanda istilah tindak pidana tersebut

dengan straf baar feit atau delict.

Moeljatno menerjemahkan istilah perbuatan pidana adalah

perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai

ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa

melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan

pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan dilarang dan diancam

pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada

perbuatan, yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditentukan oleh

kelakuan orang. Sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang

yang menimbulkan kejadian itu.13

Menurut Bambang perbuatan pidana merupakan suatu istilah

yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana

sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri

tertentu pada peristiwa hukum pidana, perbuatan pidana mempunyai

pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa konkrit dalam lapangan

hukum pidana, sehingga perbuatan pidana haruslah diberikan arti yang

bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan

dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat. 14

Menurut Lamintang, perbuatan pidana adalah suatu tindakan

melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja oleh seseorang

yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh


13
Moeljatno, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, hlm 54.
14
Bambang Purnomo, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm.
16.
undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat

dihukum.15 Sementara Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa

perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat

dikenakan hukuman. Dan pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek

tindak pidana.16

Menurut Roeslan Saleh, perbuatan pidana adalah perbuatan yang

bertentangan dengan tata ketertiban yang dikehendaki oleh hukum. 17

Kemudian dari beberapa pengertian tentang tindak pidana tersebut di atas

dapat disamakan dengan istilah tindak pidana, peristiwa pidana atau delik.

Mengenai arti straf baar feit Van Hamel berpendapat bahwa, straf baar feit

adalah kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat

melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. 18

Sedangkan menurut Simon straf baar feit adalah kelakuan atau hendeling

yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang

berhubungan dengan kesalahan oleh orang yang mampu

bertanggungjawab.19

Berdasarkan pendapat di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam

perbuatan pidana didapatkan adanya suatu kejadian tertentu, serta

adanya orang-orang yang berbuat guna menimbulkan suatu akibat karena

15
P.A.F. Lamintang, 1994, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru,
hlm. 172.
16
Wirjono Prodjodikoro, 1986, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Eresco,
hlm. 55.
17
Roeslan Saleh, 2003, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta:
Aksara Baru, hlm. 53.
18
Dalam Moeljatno, op. cit., hlm 56
19
Dalam ibid.
melanggar peraturan perundang-undangan yang ada, atau dapat diartikan

pula tindak pidana merupakan perbuatan yang dipandang merugikan

masyarakat sehingga pelaku tindak pidana itu harus dikenakan sanksi

hukum yang berupa pidana.

Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana maka

harus memenuhi beberapa unsur. Unsur-unsur tindak pidana yang

diberikan beberapa tokoh memiliki perbedaan, tetapi secara prinsip intinya

sama. Adapun unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan menjadi dua

segi, yaitu:

a. Unsur Subyektif, yaitu hal-hal yang melekat pada diri si pelaku atau

berhubungan dengan si pelaku, yang terpenting adalah yang

bersangkutan dengan batinnya. Unsur subyektif tindak pidana

meliputi: Kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); Niat atau

maksud dengan segala bentuknya; Ada atau tidaknya perencanaan;

b. Unsur Obyektif, merupakan hal-hal yang berhubungan dengan

keadaan lahiriah yaitu dalam keadaan mana tindak pidana itu

dilakukan dan berada diluar batin si pelaku.

Menurut sistem KUHP, dibedakan antara Kejahatan terdapat

dalam Buku II dan Pelanggaran dimuat dalam Buku III. Kejahatan adalah

perbuatan yang bertentangan dengan keadilan meskipun peraturan

perundang-undangan tidak mengancamnya dengan pidana. Sedangkan

pelanggaran atau tindak pidana undang-undang adalah perbuatan yang

oleh masyarakat baru dirasa sebagai tindak pidana karena ada peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya. Menurut M.v.T (Memorie van

Toelichting) yang dikutib oleh Moeljatno, bahwa kejahatan adalah

“rechtsdelicten” yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak

ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah

dirasakan sebagi perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum.

Sedangkan pelanggaran adalah “wetsdelicten” yaitu perbuatan-perbuatan

yang sifatnya melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada

ketentuan yang menentukan demikian.20

KUHP membagi kejahatan dan pelanggaran didasarkan pada

berat ringannya pidana. Kejahatan terdapat dalam Buku II, dan

Pelanggaran diatur dalam Buku III. Ancaman pidana dalam kejahatan

relatif lebih berat daripada pelanggaran. Beberapa perbedaan tersebut

dapat dilihat dari:

a. Dalam hal percobaan, hanya kejahatan yang dapat dipidana,

sedangkan percobaan dalam pelanggaran tidak dipidana.

b. Hal pembantuan, pembantuan dalam hal melakukan tindak pidana

kejahatan dapat dipidana, dalam hal pembantuan melakukan tindak

pidana pelanggaran tidak dipidana.

c. Dalam hal penyertaan yang dilakukan terhadap tindak pidana

menggunakan alat percetakan hanya berlaku bagi kejahatan,

sedangkan dalam pelanggaran tidak berlaku.

20
Moeljatno, op. cit., hlm. 71
d. Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia hanya

diberlakukan bagi setiap pegawai negeri yang di luar wilayah hukum

Indonesia melakukan kejahatan jabatan, dan bukan pelanggaran

jabatan.

e. Tenggang daluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak

penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek dari pada

kejahatan.

f. Dalam hal perbarengan perbuatan (concursus), sistem penjatuhan

pidana dalam concursus kejahatan menggunakan sistem absorbsi

yang diperberat, sedangkan dalam concursus pelanggaran

menggunakan sistem kumulasi murni.

Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan

dengan menitik beratkan pada perbuatan yang dilarang. Jika seseorang

telah berbuat sesuai dengan rumusan delik maka orang itu telah

melakukan tindak pidana (delik), tidak dipermasalahkan bagaimana

akibat dari perbuatan itu. Sedangkan tindak pidana materiil adalah tindak

pidana yang dirumuskan dengan menitik beratkan pada akibat yang

dilarang atau tidak dikehendaki. Tindak pidana ini baru selesai jika

akibatnya sudah terjadi sedangkan cara melakukan perbuatan itu tidak

dipermasalahkan.21

3. Sistem Peradilan Pidana

Istilah sistem peradilan pidana (criminal justice system)

menunjukan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan yang


21
Ibid.
menggunakan dasar pendekatan sistem. Pendekatan sistem adalah

pendekatan yang menggunakan segenap unsur yang terlbat di dalamnya

sebagai suatu kesatuan dan saling berhubungan (interelasi) dan saling

mempengaruhi satu sama lain. Melalui pendekatan ini kepolisian,

kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan merupakan unsur

penting dan berkaitan satu sama lain. Sistem ini diletakan pada landasan

prinsip diferensiasi fungsional di antara aparat penegak hukum sesuai

dengan proses kewenangan yang diberikan undang-undang. 22

Menurut Mardjono Reksodiputo, sistem peradilan pidana adalah

sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga

kepolisian. kejaksaan, pengadilan dan lembaga permasyarakatan yang

diharapkan dapat bekerjasama dan dapat membentuk suatu “integrated

criminal justice system”.23 Sedangkan menurut Romli Atmasasmita, sistem

peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk

menanggulangi kejahatan.24 Menanggulangi diartikan sebagai

mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi

masyarakat. Pengendalian kejahatan agar masih dalam batas toleransi

masyarakat tidak berarti memberikan toleransi terhadap suatu tindak

kejahatan tertentu atau membiarkannya untuk terjadi. Toleransi tersebut

sebagai suatu kesadaran bahwa kejahatan akan tetap ada selama masih

22
M. Yahya Harahap, 2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 90.
23
Mardjono Reksodiputro, 1993, Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Melihat Kepada
Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi), Jakarta: Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, hlm. 1
24
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System):
Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionalisme, Jakarta: Bina Cipta, hlm. 15.
ada manusia di dalam masyarakat. Jadi, di mana ada masyarakat pasti

tetap akan ada kejahatan.25

Muladi berpendapat bahwa sistem peradilan pidana merupakan

suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana

sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana

formil maupun hukum pelaksnaan pidana. 26 Muladi menambahkan catatan

bahwa kelembagaan substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau

konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk

kepentingan kepastian hukum saja akan membawa kepada

ketidakadilan.27

Sebelum berlakunya KUHAP, sistem peradilan pidana di

Indonesia dilandaskan pada Inlaands Regelement yang berubah menjadi

Het Herziene Inlaands Regelement (HIR) Stbld. 1941 Nomor 44. Pada

Tahun 1981, Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana disahkan

oleh sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat pada Tanggal 23

Desember 1981, kemudian Presiden mensahkan menjadi Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana disebut juga

dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Sistem peradilan pidana di Indonesia tidak hanya diatur di dalam

sebuah kitab peraturan perundang-undangan saja dalam hal ini KUHAP

25
Ibid.
26
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, hlm. vii.
27
Ibid., hlm. 4.
melainkan di dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang

berhubungan dengan sistem peradilan pidana. 28

Sebagai sebuah sistem peradilan pidana mengenal tiga

pendekatan yaitu pendekatan normatif, administratif dan sosial. 29

Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum

(kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan)

sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku

sehingga keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak

terpisahkan dari sistem penegakan hukum semata-mata. Pendekatan

administratif memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai

suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja baik

hubungan yang bersifat horizontal maupun yang bersifat vertikal sesuai

dengan sruktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut, sistem

yang digunakan adalah sistem administrasi sedangkan pendekatan sosial

memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian yang

tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga masyarakat secara

keseluruhan ikut bertanggungjawab atas keberhasilan dan

ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam

melaksanakan tugasnya, sistem yang digunakan adalah sistem sosial. 30

Peradilan pidana sebagai suatu sistem mempunyai perangkat

struktur atau subsistem yang seharusnya bekerja secara koheren,


28
Tolib Effendi, 2013, Sistem Peradilan Pidana: Perbandingan Komponen dan Proses
Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, hlm. 145.
29
Romli Atmasasmita, 1996, op. cit., hlm. 14.
30
Romli Atmasasmita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana,
hlm. 6-7
koordinatif dan integratif agar dapat mencapai efesiensi dan efektivitas

yang maksimal.31 Antar subsistem apabila tidak dapat bekerja secara

simultan, maka menimbulkan kerugian yang dapat diperkirakan antara

lain:32

1. Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan

masing-masing instansi, sehubungan dengan tugas mereka bersama;

2. Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah pokok masing-masing

instansi sebagai sub sitem dari sitem peradilan pidana;

3. Karena tanggungjawab masing-masing instansi sering kurang terbagi

maka setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas

menyeluruh dari sistem peradilan pidana

Sistem peradilan pidana menuntut adanya keselarasan hubungan

antara subsistem secara administrasi dalam implementasi sistem

peradilan pidana yang terpadu. Secara pragmatis, persoalan administrasi

peradilan dalam sistem peradilan pidana menjadi faktor signifikan dalam

prinsip penegakan hukum dan keadilan melalui subsistem sistem

peradilan pidana yang terpadu. Jika masalah administrasi peradilan tidak

bagus dalam konsep dan implementasinya maka tujuan yang hendak

dicapai oleh adanya sistem peradilan pidana yang terpadu tidak mungkin

bisa terwujud dan yang terjadi justru sebaliknya yakni kegagalan dari

31
Muladi, op. cit., hlm. 21.
32
Mardjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana:
Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian
Hukum Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, hlm. 85
prinsip-prinsip dan asas hukum yang menjadi dasar dari kerangka

normatif sistem peradilan pidana terpadu. 33

F. Metode Penelitian.

1. Bentuk Penelitian.

Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian hukum normatif dan

sosiologis. Penelitian hukum normatif dilakukan melalui studi kepustakaan

sedangkan penelitian hukum sosiologis dilakukan melalui studi lapangan,

khususnya di lingkungan Kejaksaan Negeri Ketapang dan Kepolisian

Resor Ketapang.

2. Sumber Data.

a. Untuk penelitian hukum normatif, sumber data pokok adalah:

1) bahan-bahan hukum primer berupa peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti;

2) bahan hukum sekunder berupa literatur-literatur ilmu

hukum dan hasil penelitian hukum;

3) bahan hukum sekunder berupa kamus hukum atau

dokumen-dokumen hukum lainnya yang bersifat tertulis.

b. Untuk penelitian hukum sosiologis sumber data pokok adalah data

primer yang akan diambil dari sampel atau narasumber penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data.

33
Sidik Sunaryo, 2012, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang: UMM Press,
hlm. 256
a. Teknik pengumpulan data untuk penelitian hukum normatif

dilakukan dengan cara menginventarisasi, mempelajari dan

mengaplikasikan konsep-konsep, asas-asas dan norma-norma

hukum yang diperoleh dari data primer, sekunder dan tertier, ke

substansi masalah penelitian tesis ini.

b. Teknik pengumpulan data untuk penelitian hukum sosiologis

dilakukan dengan metode wawancara kepada rnarasumber dan

sampel yang ditetapkan dalam penelitian ini.

4. Narasumber

Narasumber ditetapkan sesuai dengan kriteria dari data yang

dibutuhkan, berdasarkan hal tersebut, yang menjadi narasumber dalam

penelitian ini yaitu: Kepala Seksi Pidana Umum dan satu orang Jaksa

Penuntut Umum di Kejaksaan Negeri Ketapang serta Kepala Satuan

Reserse Kriminal serta satu orang Penyidik di Kepolisian Resor Ketapang.

5. Teknik Analisa Data

Analisa data dilakukan dengan metode deskriptif yuridis dan

kualitatif, yang dilakukan sesuai informasi/data yang diperoleh pada saat

penelitian dilakukan. Kemudian diolah dan diaplikasikan sebagai alat

analisis dan pembahasan hasil penelitian.

G. Sistematika Penulisan.
Sistimatika penulisan tesis ini terdiri dari 4 (empat) bab, tiap-tiap bab

membahas materi yang saling berkaitan dengan tema utamanya.

Bab I Pendahuluan: berisi uraian tentang Latar Belakang Masalah,

Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka

Pemikiran Teoritik, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan, dan Jadwal

Penelitian.

Bab II Tinjauan Pustaka: berisi uraian tentang Kedudukan Jaksa

Penuntut Umum dan Penyidik dalam Sistem Peradilan Pidana, Konsep

Tindak Pidana Umum, Teori Penegakan Hukum.

Bab III Analisis Hasil Penelitian dan Pembahasan : berisi uraian

tentang analisis masalah tesis yang diteliti.

Bab IV Penutup : berisi kesimpulan dan saran.

H. Jadwal Penelitian.

Penelitian dijadwalkan selama 6 (enam) bulan dengan alokasi waktu

sebagaimana tersebut di bawah ini:

1. Peyusunan Proposal Dan Seminar Proposal Tesis: September-Oktober

2020;

2. Pelaksanaan Kegiatan Penelitian: Oktober-Desember 2020;

3. Penulisan Naskah Tesis: Desember 2020-Januari 2021;

4. Ujian Tesis: Februari 2021

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku

Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice


System): Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionalisme,
Jakarta: Bina Cipta.

Atmasasmita, Romli, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer,


Jakarta: Kencana.

Effendi, Tolib, 2013, Sistem Peradilan Pidana: Perbandingan Komponen


dan Proses Sistem Peradilan Pidana di Beberapa Negara,
Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

Handoko, 2003, Manajemen, Yogyakarta: BPFE.

Harahap, M. Yahya, 2003, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan


KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika.

Lamintang, P.A.F., 1994, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,


Bandung: Sinar Baru.

Manila, I.GK., 1996, Praktek Manajemen Pemerintahan Dalam Negeri,


Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Moeljatno, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.

Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan


Penerbit Universitas Diponegoro.

Prodjodikoro, Wirjono. 1986, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia,


Bandung: Eresco.

Purnomo, Bambang, 1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia


Indonesia.

Rekspdiputro, Mardjono, 1993, Menuju Pada Satu Kebijakan Kriminal


Dalam HAM Dalam Sistim Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat
Pelayanan Hukum dan Keadilan

Reksodiputro, Mardjono, 1993, Sistem Peradilan Pidana Indonesia:


Melihat Kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-
Batas Toleransi), Jakarta: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
Reksodiputro, Mardjono, 1994, Hak Asasi Manusia dalam Sistem
Peradilan Pidana: Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Jakarta:
Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Lembaga
Kriminologi Universitas Indonesia.

Saleh, Roeslan, 2003, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban


Pidana, Jakarta: Aksara Baru.

Sunaryo, Sidik, 2012, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang:


UMM Press.

Sotarto, 1993, Dasar-Dasar Organisasi, Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

Syafrudin, Ateng, 1993, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di Daerah,


Bandung: Citra Aditya Bakti.

Syamsi, Ibnu, 1994, Pokok-Pokok Organisasi dan Manajemen, Jakarta:


Rineka Cipta.

B. Jurnal

Jayanti, Paulina Dwi,2013. “Komunikasi dan Koordinasi yang Sinergi


Antara Pemerintah Desa dan BPD dalam Pembuatan Peraturan
Desa”, Jurnal Governance, Vol. 1 No. 1.

KOORDINASI PENANGANAN PERKARA ANTARA KEJAKSAAN


DENGAN PENYIDIK KEPOLISIAN BERDASARKAN PERATURAN
JAKSA AGUNG NOMOR: PER-036/A/JA/09/2011 TENTANG
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PENANGANAN
PERKARA TINDAK PIDANA UMUM
(Studi Kabupaten Ketapang)

Oleh :

AGUS SUPRIYANTO, SH
A2021191006

Lembaran Pengesahan
Usulan Penelitian Tesis Telah Disetujui
Tanggal : November 2020
Oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. H.M. Syafei, SH., MH. Suhardi, SH., MH


NIP. 196008261988101001 NIP. 196708021994031001

Mengetahui :
Ketua Konsentrasi Program Studi
Hukum Otonomi Daerah

HARYADI, SH., M.Hum.


NIP. 196005071987031005
KOORDINASI PENANGANAN PERKARA ANTARA KEJAKSAAN
DENGAN PENYIDIK KEPOLISIAN BERDASARKAN PERATURAN
JAKSA AGUNG NOMOR: PER-036/A/JA/09/2011 TENTANG
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR PENANGANAN
PERKARA TINDAK PIDANA UMUM
(Studi Kabupaten Ketapang)

USULAN PENELITIAN TESIS


Diajukan Untuk Diseminarkan Sebagai
Persyaratan Penelitian Tesis

Oleh :

AGUS SUPRIYANTO, SH
A2021191006

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TANJUNGPURA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
PONTIANAK
2020

Anda mungkin juga menyukai