Disusun Oleh :
MOCHAMAD YULIANDRA EKALOGA,S.H
N.I.M. A.312.1421.040
Kelas Jumat – Sabtu (Angkatan XIV)
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
2
B. Batasan Penulisan
C. Pokok permasalahan
3
BAB II
PEMBAHASAN
1
Pasal 13 UU No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2
Pasal 30 UU No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
4
penuntutan, sehingga KUHAP telah merumuskan mengenai hubungan
koordinasi dan hubungan fungsional antar lembaga yang bertanggung jawab
dalam proses sistem peradilan pidana3. Hal inilah yang menjadi salah satu
parameter yang membedakan antara sistem peradilan pidana sebelum
berlakunya KUHAP yaitu pada saat berlakunya HIR dan setelah berlakunya
KUHAP. HIR dapat diartikan secara harfiah yaitu Het inlands Reglements
atau biasa disebut reglemen t bumi putra (RgB)4
3
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Sinar Grafika : 2004, hal 48
4
H.Haris, Pembaharuan Hukum Acara Pidana Yang Terdapat dalam HIR, Badan Pembinaan
Hukum Nasional : 1978, hal :1
5
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika : 2005, hal 47.
6
Pasal 138 ayat (1) UU No 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
7
Pasal 138 ayat (2) UU No 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
5
lengkap atau tidaknya suatu berkas perkara. Selanjutnya apabila tataran
koordinatif tersebut tidak membuahkan hasil maka hubungan yang timbul
adalah hubungan yang bersifat perintah struktural karena sesuai klausul
tersebut adalah kewajiban penyidik untuk melengkapi berkas sesuai dengan
petunjuk JPU. Dalam hal ini tidak ada klausul aturan yang menyatakan
bahwa penyidik dapat ingkar atau tidak memeunhi petunjuk JPU dengan
syarat – syarat yang ditetapkan, sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus
dilakukan perintah atau petunjuk JPU tersebut terlepas dari objektif atau
subjektifitasnya, sehingga proses peradilan pidana dapat berjalan.
Tahapan hubungan antara penyidik dan JPU selanjutnya adalah
berkaitan dengan apabila berkas perkara telah dinyatakan lengkap, maka
kewajiban penyidik untuk menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada
JPU. Dalam pelaksanaan hubungan ini cenderung bersifat administratif dan
koordinatif. Administratif dalam hal pelimpahannya sedangkan untuk
koordinatif dalam hal pelaksanaannya, sehingga tidak timbul masalah yang
berarti dalam proses pelaksanaannya.
6
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari uraian diatas, dapat diambil suatu kesimpulan dan jawaban atas
permasalahan yang dikemukakan yakni :
1. Bahwa penyidik dan JPU masing-masing adalah sub sistem yang
semestinya berkedudukan sama dalam sebuah proses sehingga sistem
peradilan pidana dapat berjalan dengan baik untuk mencegah dan
menanggulangi kejahatan.
2. Hubungan antara penyidik dan JPU telah dimulai sejak proses penyidikan
tindak pidan adimulai sehingga dapat dikatakan bahwa benar kedua sub
sistem tersebut memiliki hubungan adminsitratif, namun dalam proses
penelitian berkas hingga dianggap sebagai berkas yang lengkap, maka
terdapat kondisi hubungan yang tidak hanya bersifat administratif,
koordinatif melainkan bersifat struktural yang bersifat khusus dalam hal
penyidik seolah olah wajib mengikuti perintah JPU.
B. PENUTUP
Dengan pembahasan dan kesimpulan diatas, maka terakhir dari makalah ini,
bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan selanjutnya dapat
dipergunakan sebagai referensi untuk memperoleh kesempurnaan dan
perbaikan serta semoga membawa manfaat bagi orang lain.
7
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah. 2004. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Jakarta. Sinar
Grafika.
Haris. 1978. Pembaharuan Hukum Acara Pidana Yang Terdapat dalam HIR.
Jakarta. Badan Pembinaan Hukum Nasional.
Internet
LP3M Adil Indonesia, 2011, Mekanisme koordinasi antara penyidik dan penuntut
umum dalam proses penanganan perkara pidana,
(http://lp3madilindonesia.blogspot.com/2011/01/antara-pentidik-dan-
penuntut-umum.html, diakses tanggal 7 Juni 2013)
Undang- undang