Anda di halaman 1dari 8

HUBUNGAN ADMINISTRATIF KOORDINATIF

ANTARA PENYIDIK DAN JPU DALAM


SISTEM PERADILAN PIDANA
Diajukan untuk melengkapi TUGAS MAKALAH :
Mata Kuliah : SISTEM PERADILAN PIDANA
Dosen : Dr. Kadi Sukarna,SH.,MHum

Disusun Oleh :
MOCHAMAD YULIANDRA EKALOGA,S.H
N.I.M. A.312.1421.040
Kelas Jumat – Sabtu (Angkatan XIV)

PROGRAM MAGISTER (S2) HUKUM (M.H)


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEMARANG (USM)
2021

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Suatu sistem yang bertujuan untuk mencegah, menanggulangi


kejahatan yang timbul dalam negara Indonesia. Pelaksanaan pencegahan
dan penanggulangan tersebut dilakukan dalam sebuah sistem yang integral
yang secara umum biasa disebut sebagai sistem peradilan pidana.
Merupakan proses integral oleh karena berjalannya sistem peradilan
pidana yang bermula dari masyarakat sampai kembali ke masyarakat terdiri
dari sub-sub sitem yang bekerja dalam sebuah siklus tahapan proses yang
saling mempengaruhi outputnya. Adapun sub sistem tersebut setidaknya
antara lain masyarakat, Polisi, Jaksa, Advokat, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan. masing-masing sub sistem tersebut bekerja sesuai peran
(tugas pokok dan fungsinya), namun dalam hal ini masing-masing pekerjaan
yang dihasilkan oleh masing-masing sub sistem tersebut akan
mempengaruhi sub sistem lainnya dan bermuara pada tercapai atau tidaknya
suatu pencegahan dan penanggulanan kejahatan.
Sebagai instrumen untuk mengatur dan mengendalikan seluruh
proses dalam sisitem tersebut adalah hukum pidana (baik formil maupun
materil). Apabila ditilik dari sebuah proses, maka dapatlah digambarkan
bahwa pada saat timbul suatu perbuatan yang meresahkan atau melanggar
hak orang lain maka dilakukan proses oleh Penyidik Polri dalam sebuah
rangkaian kegiatan penyelidikan dan penyidikan, sehingga banyak pendapat
menganggap bahwa mengagsebagai garda depan / ujung tombak dari sistem
peradilan pidana adalah Polri. Salah satu hal yang mempengaruhi cepat atau
lambatnya suatu proses peradilan pidana diantaranya adalah proses
penerimaan berkas perkara oleh JPU dari penyidik.
Instrumen KUHAP telah mengatur masing-masing tugas, fungsi dan
peran dari proses penyidikan dan penuntutan termasuk hubungan dari
lembaga – lembaga tersebut atas proses pelaksanaan tugas, fungsi dan
perannya, namun tidak disangkali bahwa dalam prakteknya pelaksanaan
tersebut menimbulkan berbagai masalah yang berakibat pada berlarut
larutnya penyelesaian perkara dalam suatu proses peradilan pidana.
Permasalahan yang timbul tersebut antara lain berkaitan dengan
seolah – olah bahwa antara penyidik dan JPU berkedudukan tidak sejajar
atau dalam hal ini secara konkret bahwa penyidik berada dibawah JPU dan
wajib mengikuti apa yang diperintahkan oleh JPU agar proses peradilan
pidana dapat berjalan.

2
B. Batasan Penulisan

Untuk mengarahkan pembahasan dalam makalah ini akan dibatasi


dalam sub sistem Kepolisian dan kejaksaan dalam hal ini lebih khusus akan
dibatasi kepada masalah peran dan fungsi serta hubungan antara penyidik
Polri dan Jaksa Penuntut umum berkaitan dengan pelimpahan berkas
perkara sebelum masuk pada tahap pengadilan / persidangan sebagaimana
diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana, yang menjadi
aturan dasar seluruh proses peradilan pidana di Indonesia.

C. Pokok permasalahan

Sebagaimana diuraikan dalam latar belakang, bahwa kendati


masing-masing tugas, fungsi dan peran antara penyidik dan JPU telah diatur
dalam KUHAP, namun tetap menimbulkan permasalahan berkaitan dengan
pelaksanaan tugas, fungsi dan peran kedua lembaga tersebut.
Adapun secara khusus, dalam penulisan makalah ini akan mebahas
satu masalah yang timbul yaitu apakah hubungan antra penyidik dan JPU
dalam proses peradilan pidana murni sebagai hubungan adminsitratif.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tugas, Fungsi dan Peran Polri dan Jaksa Penuntut umum


Tugas Polri secara umum dalam kedudukannya sebagai lembaga
negara adalah memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, memberikan perlindungan pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat1. Apabila tugas tersebut dikaitkan dalam
sistem peradilan pidana yang mana bertujuan untuk mencegah dan
menganggulangi kejahatan, secara umum meliputi kegiatan pre-emptif,
preventif dan represif yang dilakukan dalam bentuk pola kegiatan
penyelidikan dan penyidikan.
Dalam suatu proses telah terjadi tindak pidana, maka tugas Polri
yang menonjol adalah sebagai penyidik yang melakukan tindakan
penyidikan yaitu sebagaimana pasal 1 angka 2, pasal 106 sampai dengan
pasal 136 UU No 8 tahun 1981 tentang KUHAP.
Tugas Jaksa dalam kedudukannya sebagai lembaga negara secara
umum meliputi bidang pidana, bidang perdata, bidang keamanan dan
ketertiban umum2. Apabila dikaitkan dalam tugas fungsi peran dalam proses
peradilan pidana, maka dapat berperan sebagai penuntut, pelaksana
penetapan hakim, pengawasan penyelidikan tindak pidana tertentu,
melengkapi berkas perkara dengan penyidikan tambahan. Berkaitan dengan
tugas fungsi dan peran sebagai penunutut umum dalam proses peradilan
pidana diatur dalam Pasal 1 angka 7, Pasal 137 sampai dengan pasal 144
UU No 8 tahun 1981 tentang KUHAP.
Menilik dari tugas dan fungsi masing-masing sub sistem sebagaiman
atercantum dalam instrumen KUHAP tersebut dapat dilihat bahwa sejak
dimulainya tugas penyidikan yang dilakukan polri, maka secara otomatis
pihak JPU dilibatkan dalam suatu proses peradilan pidana yaitu dengan
ditandai penyampaian pemberitahuan oleh penyidik kepada JPU bahwa
dilakukan proses penyidikan sebagai awal dari sebuah proses peradilan
pidana, yang selanjutnya hubungan tersebut akan dilakukan pembahasan
khusus dalam pembahasan berikutnya.
Dari uraian tersebut diatas bahwa tugas penyidik adalah membuka
jalan atau memulai atau mengumpulkan seluruh kelengkapan formil
maupun materil di lapangan guna mendukung penetapan seseorang sebagai
tersangka yang selanjutnya menjadi tugas JPU adalah mengantar orang dan
alat bukti yang telah dikumpulkan oleh penyidik dengan menambahkan
tuntutan pemberian sanksi atas perbuatan yang telah dilakukan, kepada
hakim guna diberikan penilaian apa dan bagaimanan tingkat kesalahan
orang yang telah dilakukan upaya penyidikan dan penuntutan tersebut.
Nampaklah bahwa proses penyidikan penting untuk menentukan
keberhasilan penuntutan dalam proses penyelesaian perkara pidana, atau
dengan kata lain kegagalan penyidikan dapat mengakibatkan kegagalan

1
Pasal 13 UU No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
2
Pasal 30 UU No 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
4
penuntutan, sehingga KUHAP telah merumuskan mengenai hubungan
koordinasi dan hubungan fungsional antar lembaga yang bertanggung jawab
dalam proses sistem peradilan pidana3. Hal inilah yang menjadi salah satu
parameter yang membedakan antara sistem peradilan pidana sebelum
berlakunya KUHAP yaitu pada saat berlakunya HIR dan setelah berlakunya
KUHAP. HIR dapat diartikan secara harfiah yaitu Het inlands Reglements
atau biasa disebut reglemen t bumi putra (RgB)4

B. Hubungan antara Penyidik dan JPU


Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa sejak dimulai penyidikan
oleh Polri, maka JPU telah dilibatkan dalam bentuk diberitahu atai
penyampaian oleh penyidik kepada JPU tentang kegiatan penydikan yang
dilakukan dalam bentuk pengiriman SPDP. Semenjak inilah proses
koordinasi antara dua sub sitem ini berjalan sesuai tugas, fungsi, dan peran
masing-masing.
KUHAP menganut asa differensiasi fungsional yaitu penegasan
tugas dan wewenang masing-masing instansi, yang terlihat dari pengaturan
tiap – tiap institusi tersebut dengan tetap terbina korelasi dan koordinasi
dalam proses penegakan hukum. Penjernihan differensiasi fungsi dan
wewenang lebih ditekankan pada fungsi kepolisian dan kejaksaan5.
Pengiriman SPDP merupakan salah satu bentuk korelasi
adminsitratif yaitu penyampaian oleh penyidik tentang kegiatan yang
dilakukan sehingga diharapkan Kejaksaan dapat mempersiapkan segala
bentuk administrasi untuk mendukung kegiatan penyidikan yang dilakukan
Polri dan nantinya akan dilakukan penuntutan.
Tahapan selanjutnya setelah dilakukan penyidikan oleh Polri adalah
pengiriman berkas perkara kepada JPU untuk diteliti sebagaimana
diamanatkan dalam KUHAP bahwa setelah menerima hasil penyidikan, dari
penyidiksegera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari
wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah
lengkap atau belum6. Selanjutnya diatur pula bahwa dalam hal hasil
peneliian ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas
perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilengkapi
dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas,
penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas itu kepada penuntut
umum7.
Dari dua klausul pasal tersebut tersirat bahwa terdapat hubungan
antara penyidik dengan JPU dalam hal penentuan apakah berkas tersebut
lengkap atau tidak untuk diajukan dalam proses berikutnya. Hal ini menjadi
subjektif tatkala tiada parameter atau tatkala klausul tersebut ditafsirkan
oleh berbagai pihak, sehingga hubungan yang pada awalnya bersifat
administratif menjadi koordinatif dalam hal penyamaan persepsi terhadap

3
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Sinar Grafika : 2004, hal 48
4
H.Haris, Pembaharuan Hukum Acara Pidana Yang Terdapat dalam HIR, Badan Pembinaan
Hukum Nasional : 1978, hal :1
5
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Sinar Grafika : 2005, hal 47.
6
Pasal 138 ayat (1) UU No 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
7
Pasal 138 ayat (2) UU No 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
5
lengkap atau tidaknya suatu berkas perkara. Selanjutnya apabila tataran
koordinatif tersebut tidak membuahkan hasil maka hubungan yang timbul
adalah hubungan yang bersifat perintah struktural karena sesuai klausul
tersebut adalah kewajiban penyidik untuk melengkapi berkas sesuai dengan
petunjuk JPU. Dalam hal ini tidak ada klausul aturan yang menyatakan
bahwa penyidik dapat ingkar atau tidak memeunhi petunjuk JPU dengan
syarat – syarat yang ditetapkan, sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus
dilakukan perintah atau petunjuk JPU tersebut terlepas dari objektif atau
subjektifitasnya, sehingga proses peradilan pidana dapat berjalan.
Tahapan hubungan antara penyidik dan JPU selanjutnya adalah
berkaitan dengan apabila berkas perkara telah dinyatakan lengkap, maka
kewajiban penyidik untuk menyerahkan tersangka dan barang bukti kepada
JPU. Dalam pelaksanaan hubungan ini cenderung bersifat administratif dan
koordinatif. Administratif dalam hal pelimpahannya sedangkan untuk
koordinatif dalam hal pelaksanaannya, sehingga tidak timbul masalah yang
berarti dalam proses pelaksanaannya.

6
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari uraian diatas, dapat diambil suatu kesimpulan dan jawaban atas
permasalahan yang dikemukakan yakni :
1. Bahwa penyidik dan JPU masing-masing adalah sub sistem yang
semestinya berkedudukan sama dalam sebuah proses sehingga sistem
peradilan pidana dapat berjalan dengan baik untuk mencegah dan
menanggulangi kejahatan.

2. Hubungan antara penyidik dan JPU telah dimulai sejak proses penyidikan
tindak pidan adimulai sehingga dapat dikatakan bahwa benar kedua sub
sistem tersebut memiliki hubungan adminsitratif, namun dalam proses
penelitian berkas hingga dianggap sebagai berkas yang lengkap, maka
terdapat kondisi hubungan yang tidak hanya bersifat administratif,
koordinatif melainkan bersifat struktural yang bersifat khusus dalam hal
penyidik seolah olah wajib mengikuti perintah JPU.

B. PENUTUP

Dengan pembahasan dan kesimpulan diatas, maka terakhir dari makalah ini,
bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan selanjutnya dapat
dipergunakan sebagai referensi untuk memperoleh kesempurnaan dan
perbaikan serta semoga membawa manfaat bagi orang lain.

Semarang 11 Januari 2022

MOCHAMAD YULIANDRA EKALOGA ,S.H


N.I.M A.312.1421.040

7
DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah. 2004. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Jakarta. Sinar
Grafika.

Haris. 1978. Pembaharuan Hukum Acara Pidana Yang Terdapat dalam HIR.
Jakarta. Badan Pembinaan Hukum Nasional.

Yahya Harahap. 2005. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta.


Sinar Grafika.

Internet

LP3M Adil Indonesia, 2011, Mekanisme koordinasi antara penyidik dan penuntut
umum dalam proses penanganan perkara pidana,
(http://lp3madilindonesia.blogspot.com/2011/01/antara-pentidik-dan-
penuntut-umum.html, diakses tanggal 7 Juni 2013)

Septiani, 2008, Hubungan Fungsional Antara lembaga Penyidikan dan Lembaga


Penuntutan Dalam Peradilan Pidana Terpadu,
(http://eprints.undip.ac.id/8273/, diakses tanggal 7 Juni 2013)

Supriyanta, 2010, KUHAP dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, (http://priyant-


supriyanta.blogspot.com/2010/02/makalah-kuhap-dan-sistem-
peradilan.html, diakses tanggal 7 Juni 2013)

Undang- undang

Republik Indonesia. 1981. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab


Undang-undang Hukum Acara Pidana. Lembaran Negara RI Tahun 1982,
No. 76. Sekretariat Negara. Jakarta

Republik Indonesia. 2002. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian


Negara Republik Indonesia. Lembaran Negara RI Tahun 2002, No. 2.
Sekretariat Negara. Jakarta

Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang No. 16 Tahun 2002 tentang Kejaksaan


Negara Republik Indonesia. Lembaran Negara RI Tahun 2004, No. 67.
Sekretariat Negara. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai