Anda di halaman 1dari 15

UJIAN AKHIR SEMESTER

(UAS)
Mata Kuliah : HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL
Dosen : Dr Dody , SH, M.Hum

Disusun Oleh : MOCHAMAD YULIANDRA EKALOGA,S.H


N.I.M. A.312.1421.040
Kelas Jumat – Sabtu (Angkatan XIV)
Kelas B

PROGRAM MAGISTER (S2) HUKUM (M.H)


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEMARANG (USM)
2022

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Dalam sebuah Negara, pertumbuhan ekonomi merupakan sebuah capaian yang

menjadi prioritas utama. Guna menunjang pertumbuhan ekonomi nasional maka Negara

melakukan berbagai cara dan strategi ekonomi yang tepat dan pertumbuhan ekonomi

tersebut akan menjadi gambaran tingkat kesejahteraan dan kemakmuran bagi setiap

warga Negaranya.

Perdagangan lintas batas merupakan salah satu jalan bagi Negara guna memenuhi

kebutuhan Nasional yang tidak dapat dipenuhi oleh hasil produksi Negara itu

sendiri.Perdagangan Internasional sendiri memiliki banyak manfaat, baik langsung

maupun tidak langsung. Manfaat langsung dari perdagangan Internasional diantaranya

adalah dengan adanya spesialisasi, yakni suatu Negara dapat mengekspor komoditi yang

ia produksi untuk dipertukarkan dengan apa yang dihasilkan Negara lain dengan biaya

yang lebih rendah. Negara akan memperoleh keuntungan secara langsung melalui

kenaikan pendapatan Nasional dan pada akhirnya akan menaikkan laju output dan

pertumbuhan ekonomi. Sedangkan untuk manfaat tidak langsung yakni Perdagangan

Internasional membantu mempertukarkan barang-barang yang mempunyai pertumbuhan

rendah dengan barang-barang luar negeri yang mempunyai kemampuan pertumbuhan

yang tinggi.

Sehubungan dengan perdagangan lintas batas, Kebijakan khusus merupakan hal

yang mutlak diperlukan mengingat dalam perdagangan internasional pasti terdapat

berbagai masalah yang kompleks dan juga dibutuhkan pertimbangan dalam segala aspek

2
guna mengambil kebijakan yang memberikan kepastian. Demi tercapainya hubungan

perdagangan internasional yang saling terintegrasi serta keinginan untuk mewujudkan

pertumbuhan perekonomian antar Negara maka dirasa perlu untuk menjembatani

perbedaan kepentingan tersebut.

Untuk menjembatani perbedaan kepentingan,maka dalam sistem ekonomi

internasional, negara-negara diakomodasi World Trade Organization (WTO), satu-

satunya badan internasional yang mengatur perdagangan antarnegara. WTO didirikan

tahun 1995 melalui proses negosiasi Uruguay Round tahun 1986-1994 serta rangkaian

perundingan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) sejak tahun 1948. WTO

dibentuk untuk mengimplementasi perjanjian-perjanjian dagang, sebagai forum negosiasi

perdagangan, menangani sengketa perdagangan, mengawasi kebijakan perdagangan

nasional, memberi bantuan teknis dan pelatihan bagi negara-negara berkembang serta

kerjasama dengan organisasi internasional lain. Mengingat pentingnya perdagangan

terhadap kepentingan negara, maka terdapat berbagai selisih paham antar anggota WTO

mengenai interpretasi serta aplikasi peraturan-peraturan tersebut. Meski telah ada

peraturan-peraturan hukum dalam hal kerjasama ekonomi internasional, konflik

kepentingan dan ketidaksepahaman yang berlanjut menjadi sengketa antar negara tidak

dapat dihindari. Negara-negara diharapkan menggunakan di antara dua metode yang

tersedia untuk menyelesaikan sengketa dengan didasari prinsip penyelesaian sengketa

secara damai, antara lain perundingan atau negosiasi diplomatik antara negara-negara

yang bersengketa (dengan tingkatan intervensi dan bantuan negara ketiga yang beragam),

dan sistem pengadilan oleh entitas yang independen (melalui arbitrase dan penyelesaian

di jalur hukum)

3
WTO menyediakan sistem penyelesaian sengketa antara negara-negara anggota

mengenai hak dan kewajiban mereka di bawah persetujuan-persetujuan WTO. World

Trade Organizations memiliki sistem untuk menyelesaikan sengketa diantara anggotanya

yang dalam banyak hal terbukti unik dan berhasil dan juga sistem ini terdapat dalam

kesepakatan WTO mengenai Penyelesaian Sengketa/WTO Dispute Settlement

Understanding (DSU). Menurut Pasal 3.7 Dispute Settlement Understanding (DSU),

sasaran dan tujuan utama sistem penyelesaian sengketa WTO adalah menjamin

penyelesaian yang positif bagi suatu sengketa dan sistem ini sangat cenderung

menyelesaikan sengketa melalui konsultasi daripada proses pengadilan. Berdasarkan

Pasal 3.2 DSU, sistem penyelesaian sengketa WTO bertujuan untukmemelihara hak dan

kewajiban negara anggotanya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam

lampiran-lampiran Persetujuan WTO (selanjutnya disebut: covered agreement) dan

sekaligus menjelaskan ketentuan-ketentuan tersebut. Sistem penyelesaian sengketa WTO

memainkan peranan penting dalam mengklarifikasi dan penegakan kewajiban anggota

WTO. Peranan penting ini dikarenakan adanya kepentingan-kepentingan disetiap negara

anggota, sehingga dapat melindungi kepentingan yang akan merugikan setiap negara

anggota.

Pada tahun 1996, Indonesia mengalami sengketa dengan negara-negara anggota

WTO. Kasus yang melibatkan Indonesia dengan Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat

ini tentang permasalah Mobil Timor yang dalam aturannya terlalu menguntungkan

beberapa pihak saja dan Indonesia sendiri. Sehingga, Indonesia dibawa ke DSU untuk

mempertanggungjawabkan perbuatannya itu. Berdasarkan kasus tersebut maka dalam

makalah ini kelompok kami akan membahas lebih lanjut mengenai analisis terhadap

kasus Mobil Timor.

4
BAB II

LEGAL ISSUE

2.1 KASUS POSISI

Indonesia yang bergabung dengan World Trade Organization dengan meratifikasi

konvensi WTO melalui Undang-undang No. 7 tahun 1994 terikat dengan ketentuan

General Agreement on Tarrif and Trade. Kasus mengenai Mobil Nasional antara

Indonesia yang dituntut oleh Jepang, Amerika dan Uni Eropa. Kasus ini bermula dari

inisiatif pemerintah Indonesia dalam mendukung dan ingin meningkatkan industri mobil

nasional, sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai program mobil

nasional dengan mengeluarkan Inpers No. 2 Tahun 1996 mengenai program Mobil

Nasional yang menunjuk PT Timor Putra Nusantara (TPN) sebagai pionir dari proses

produksi mobnas. Karena keterbatasan produksi dalam negeri sehingga dikeluarkan

Keppres No. 42 tahun 1996 yang mengizinkan PT TPN untuk mengimpor mobnas dari

Korea Selatan yang kemudian diberi merek “Timor”. Pemerintah juga mengeluarkan

kebijakan bagi PT TPN untuk diberikan hak istimewa berupa pembebasan pajak barang

mewah dan bea masuk barang impor.

Hak pembebasan pajak barang mewah dan bebas bea masuk barang impor

diberikan kepada PT TPN dengan syarat menggunakan kandungan lokal hinggal 60

persen dalam tiga tahun terakhir sejak mobnas pertama dibuat. Namun, bila penggunaan

kandungan lokal yang ditentukan secara bertahap yakni 20 persen pada tahun pertama

dan 60 persen pada tahun ketiga tidak terpenuhi, maka PT TPN harus menanggung beban

pajak barang mewah dan bea masuk barang impor. Kasus ini mengundang reaksi dari

negara negara lain seperti Jepang, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa karena

negara negara tersebut menguasai pasar Indonesia. Kerap diupayakan pembentukan

5
kesepakatan antar negara namun kesepakatan tersebut belum berhasil karena bertolak

belakang dengan keinginan masing masing negara.

Pada tanggal 4 Oktober 1996, Pemerintah Jepang mengadukan Indonesia ke WTO

berdasarkan pasal 22 ayat 1 GATT. Tuduhan tersebut berdasarkan tiga poin yakni:

1. Adanya perlakuan khusus impor mobil dari KIA Motor Korea berupa perlakuan

bebas tariff masuk barang impor yang hanya memberi keuntungan pada satu

negara. Perlakuan tersebut melanggar pasal 10 GATT

2. Perlakuan bebas pajak atas barang mewah yang diberikan kepada produsen

Mobnas selama dua tahun. Perlakuan ini melanggar pasal 3 ayat 2 GATT.

3. Perimbangan muatan lokal, pembebasan tarif impor, dan pembebasan pajak

barang mewah di bawah program mobnas merupakan pelanggaran dari pasal 3

ayat 1 GATT dan pasal 3 kesepakatan perdagangan multilateral.

Inti dari pengaduan tersebut adalah pemerintah Jepang ingin masalah sengketa Indonesia

diselesaikan sesuai dengan kesepakatan perdagangan multilateral sesuai dengan aturan

yang tercantum dalam WTO.

Indonesia sebagai anggota WTO harus tunduk pada prinsip prinsip dari WTO

tersebut yang mana dalam kasus ini Prinsip prinsip WTO yang dilanggar Indonesia

adalah:

a. Prinsip National Treatment

Prinsip National Treatment article III, paragraph 4 GATT 1994 pada dasarnya

adalah keharusan suatu negara untuk memberikan perlakuan yang sama

terhadap semua investor asing, kebijakan Mobil Nasional dianggap telah

melanggar ketentuan ini karena pemberian fasilitas penghapusan bea masuk dan

6
penghapusan pajak barang mewah hanya diberlakukan pada PT Timor Putra

Nasional.

b. Prinsip penghapusan hambatan kuantitatif, article XI paragraph 1 GATT 1994.

Pemerintah Indonesia dinilai telah melanggar ketentuan keharusan investor

menggunakan bahan baku, bahan setengah jadi, dan komponen dan suku cadang

produksi dalam negeri dalam proses produksi otomotif dalam negeri yaitu

industri otomotif Indonesia, ketentuan ini dikenal sebagai persyaratan

kandungan lokal. Berdasarkan ketentuan GATT yang diimplementasikan dalam

aturan Trade Related Investment Measures, kebijakan persyaratan kandungan

lokal merupakan salah satu kebijakan investasi yang harus dihapus karena

menghalangi perdagangan internasional, ketentuan kandungan lokal sebenarnya

juga merupakan hambatan perdagangan non tariff yang tidak dapat ditolelir.

2. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah Kebijakan Indonesia dalam hal ini merupakan tindakan diskriminasi

terkait penghapusan bea masuk dan penghapusan pajak barang yang hanya

diberlakukan pada PT Timor Putra Nasional ?

2. Apakah kebijakan indonesia dalam menggunakan bahan baku, bahan setengah

jadi, dan komponen dan suku cadang produksi dalam negeri dalam proses

produksi otomotif dalam negeri merupakan hal yang melanggar Ketentuan

GATT ?

7
BAB III

ANALISA KASUS

1. Prinsip Most Favoured Nation ( MFN ) dalam Kasus Mobil Timor

Prinsip Most Favoured Nations merupakan prinsip dasar (utama) WTO yang

menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar

nondiskriminatif, yakni semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan

semua negara menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanaan perdagangan Prinsip ini

diatur dalam Pasal I ayat (1) GATT 1947, yang berjudul General Favoured Nation

Treatment, merupakan prinsip Non Diskriminasi terhadap produk sesama negara-negara

anggota WTO. Maksud dari prinsip ini adalah apabila suatu negara pertama (pengimpor)

memberikan kemudahan atau fasilitas perdagangan internasional kepada negara kedua

(pengekspor), maka kemudahan serupa harus pula diberikan kepada negara ketiga,

keempat, dan seterusnya (pengekspor lainnya). Memang terdapat Pengecualian terhadap

prinsip Most Favored Nations (MFN),sebagaimana diatur Pasal XXIV GATT 1947,

bahwa prinsip ini tidak berlaku:

1. Dalam hubungan ekonomi antara negara-negara anggota Free Trade

Area/Customs Union dengan negara-negara yang bukan anggota, misalnya antara

negara anggota AFTA (Indonesia) dengan India.

2. Dalam hubungan dagang antara negara-negara maju dengan Negara-negara

berkembang melalui GSP (Generalized System of Preferences) sejak tahun

1971).

Merujuk kepada kasus mobil Timor antara Indonesia dengan Jepang, Indonesia

dinilai melanggar ketentuan ini dikarenakan Indonesia sebagai negara pengimpor

8
melakukan diskriminasi kepada produsen mobil lain khususnya Jepang, Uni Eropa, dan

Amerika Serikat dengan cara membebaskan bea masuk kepada Korea Selatan saja karena

Mobil Timor sebagai rencana mobil nasional bekerjasama dengan produsen mobil Korea

Selatan yaitu KIA. Pembebasan bea masuk yang dilakukan Indonesia kepada Korea

Selatan sebagai produsen mobil Timor itu melanggar pada pasal 10 GATT Agreement

tentang non tariff measures dan juga melanggar pasal 1 GATT Agreement tentang MFN.

Dalam GATT Agreement dan juga dalam prinsip umum WTO, sebuah negara harus

melakukan perlakuan sama terkait perdagangan barang pada negara satu dan negara lain.

Tindakan Indonesia ini berimbas kepada adanya Trade Barrier atau hambatan

perdagangan. Hambatan perdagangan itu sendiri nantinya akan memperlambat

terwujudnya tujuan dari WTO yang menginginkan perdagangan internasional yang bebas

dan adil. Penghapusan bea masuk barang dari Korea Selatan itu dilakukan Indonesia

dengan tujuan ingin membuat biaya produksi dan juga harga Mobil Timor lebih murah di

pasaran. Hal ini sangat merugikan investor lain yang bergerak sama dibidang otomotif

khususnya mobil. Ketika biaya produksi murah dan harga juga murah di pasaran,

nantinya terjadi tidak sehatnya persaingan pasar otomotif di Indonesia yang juga

merugikan pihak investor yang sudah ada sejak lama di Indonesia.

Tindakan pelanggaran prinsip MFN pada pasal 1 GATT yang dilakukan Indonesia

akan menimbulkan dampak buruk pada keuangan negara juga. Ketika Jepang, Amerika

Serikat dan Uni Eropa menang di DSU, Indonesia diwajibkan membayar kerugian

perdagangan yang diakibatkan oleh Indonesia itu sendiri. Pembayaran kerugian yang

dilakukan Indonesia ini merupakan penerapan prinsip retaliasi atau pembalasan oleh

Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa kepada Indonesia karena telah mengakibatkan

kerugian pada bidang perdagangan mobil.

9
2. Prinsip National Treatment atau Perlakuan Nasional

Prinsip National Treatment merupakan salah satu prinsip non discrimination dalam

GATT 1994. Prinsip ini tercantum dalam pasal III GATT 1994. Sebagai prinsip yang

ada dalam hukum perdagangan dunia, makna yang mendasari prinsip national treatment

itu sendiri tetap tidak terlepas dari makna yang mendasari prinsip national treatment

dalam hukum internasional,, yaitu prinsip yang membangun sebuah hubungan

kewajiban dari suatu ngara kepada WNA di dalam negeri. Berkenaan dengan hal ini,

GATT mencantumkan prinsip national treatment ke dalam pasal III ketentuannya yang

mana diantarannya terdiri dari 10 ayat yang saling berkorelasi antara satu dengan yang

lainnya. Prinsip national treatment yang diterapkan oleh GATT dalam hal ini, sesuai

dengan bidang GATT itu sendiri, berlaku bagi suatu barang atau produk sehingga

prinsip national treatment dalam GATT adalah lebih mengarah kepada perlakuan yang

diberikan terhadap baik barang produksi domestic atau dalam negeri dan terhadap

barang produksi asing atau luar negeri.

Pasal III GATT tentang National Treatment pada dasarnya lebih mengarah

kepada bentuk tindakan yang dianggap bertentangan dengan prinsip national

treatment. Pasal III: I GATT berisi:

“The contracting parties recognize that internal taxes and other internal

charges, and laws, regulations and requirements affecting the internal sale,

offering for sale, purchase, transportation, distribution or use of products, and

internal 26 quantitative regulation requiring the mixture, processing or use of

products in specified amounts or proportions, should not be applied to imported

or domestic products so as to afford protection to domestic production.”

1
0
Prinsip National Treatment pada dasarnya adalah mengenai pemberian “perlakuan

yang sama”. Berkenaan dengan hal mendasar tersebut, “perlakuan yang sama” yang

tersirat dalam ketentuan pasal III:I GATT ditunjukan dalam bentuk memberikan

perlindungan yang sama atau setara terhadap produk domestic dan produk impor.

Perlindungan yang sama ini dilakukan dengan cara tidak melakukan tindakan tindakan

internal baik terhadap produk domestic dan atau pun terhadap produk impor sebagai

jaaln atau dengan tujuan untuk lebih memproteksi produk domestic itu sendiri.

Pasal III:2 GATT berisi:

“The products of the territory of any contracting party imported into the territory

of any other contracting party shall not be subject, directly or indirectly, to

internal taxes or other internal charges of any kind in excess of those applied,

directly or indirectly, to like domestic products. Moreover, no contracting party

shall otherwise apply internal taxes or other internal charges to imported or

domestic products in a manner contrary to the principles set fort in paragraph

1.”

Pasal III:2 GATT melengkapi ketentuan pasal III:I GATT sehubungan dengan

tindakan internal berupa pengenaan pajak dan biaya-biaya pungutan lain terhadap suatu

produk baik impor maupun domestic. Produk sejenis berdasarkan pasal III;2 GATT tidak

cukup hanya dipahami dengan pemahaman sebatas produk yang sama “secara fisik” saja.

“sejenis” yang dimaksudkan

Dalam kasus mobil Timor ini Indonesia sebagai negara produsen mobil Timor

dianggap telah melanggat prinsip National Treatment. Pemberian penghapusan pajak

mobil mewah kepada produsen mobil local dengan syarat memakai bahan-bahan dan

suku cadang dari dalam negeri sebesar 60 persen ini dinilai sebagai tindakan
1
1
diskriminataif terhadap produk otomotif import lain. Indonesia dituduh terkesan

melindungi produk mobilnya sendiri agar menguasai pasar otomotif dalam negeri dengan

melakukan kebijakan pengapusan pajak mewah tersebut. Dalam pasal 3 ayat 2 GATT,

pemberian pajak dalam negeri harus diberikan sema kepada produk domestic dan produk

impor baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini jelas sekali melanggar prinsip

National Treatment dan malah meningkatkan hambatan perdagangan seperti pada

pembahasan mengenai MFN diatas. Melindungi produk local itu boleh apabila diperlukan

dan penting namun harus diberitahukan kepada forum negara naggota WTO dengan

alasan yang jelas terkait pemberian perlindungan itu. Kebijakan pemerintah Indonesia

terkait pembebasan pajak dan juga terkait kandungan local itu bukan lah merupakan

tindakan pembenar sebagai alas an produk local bersaing dengan produk import.

Seharusnya upaya pemerintah terhadap produk local agar dapat bersaing denan produk

asing adalah dengan melakukan peningkatan standard dan juga kualitas mobil timor itu.

Prinsip perlakuan nasional atau National treatment ini dapat di aplikasikan melalu

regulasi atau peraturan dari negara pengimpor sehingga dapat menimbulkan keadaan

yang seimbang antara produk local dan import. Untuk pemilihan barang local maupun

impor itu diserahakan kepada pasar yang dimana dalam hal ini adalah masyarakat

konsumen produk otomotif. Masyarakat atau konsumen ini yang memilih apakah kualitas

barang impor dan local ini bagus dan layak beli.

Pelanggaran terhadap prinsip Most Favoured Nation dan National Treatment

adalah merupakan kesaslahan fatal. Dua prinsip itulah yang membentuk WTO sendiri dan

membantu terwujudnya tujuan perdagangan internasional yang bebas dan adil.

1
2
BAB IV

PENUTUP

1. KESIMPULAN

Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) GATT 1947 mengenai General Favoured Nation

Treatment, merupakan prinsip Non Diskriminasi terhadap produk sesama negara-negara

anggota WTO. Maksud dari prinsip ini adalah apabila suatu negara pertama (pengimpor)

memberikan kemudahan atau fasilitas perdagangan internasional kepada negara kedua

(pengekspor), maka kemudahan serupa harus pula diberikan kepada negara ketiga,

keempat, dan seterusnya (pengekspor lainnya). Berdasarkan kasus mobil Timor antara

Indonesia dengan Jepang, Indonesia dinilai melanggar ketentuan ini dikarenakan

Indonesia sebagai negara pengimpor melakukan diskriminasi kepada produsen mobil lain

khususnya Jepang, Uni Eropa, dan Amerika Serikat dengan cara membebaskan bea

masuk kepada Korea Selatan saja karena Mobil Timor sebagai rencana mobil nasional

bekerjasama dengan produsen mobil Korea Selatan yaitu KIA. Adanya perlakuan khusus

impor mobil dari KIA Motor Korea berupa perlakuan bebas tariff masuk barang impor

yang hanya memberi keuntungan pada satu negara. Perlakuan tersebut melanggar pasal

10 GATTAgreement tentang non tariff measures dan juga melanggar pasal 1 GATT

Agreement tentang MFN. Penghapusan bea masuk barang dari Korea Selatan itu

dilakukan Indonesia dengan tujuan ingin membuat biaya produksi dan juga harga Mobil

Timor lebih murah di pasaran.

Selain itu terhadap prinsip lain yakni mengenai National Treatment. National

Treatment pada dasarnya adalah mengenai pemberian “perlakuan yang sama”. Berkenaan

dengan hal mendasar tersebut, “perlakuan yang sama” yang tersirat dalam ketentuan pasal

III:I GATT ditunjukan dalam bentuk memberikan perlindungan yang sama atau setara
1
3
terhadap produk domestic dan produk impor. Perlindungan yang sama ini dilakukan

dengan cara tidak melakukan tindakan tindakan internal baik terhadap produk domestic

dan atau pun terhadap produk impor sebagai jaaln atau dengan tujuan untuk lebih

memproteksi produk domestic itu sendiri. Mengenai Pasal III:2 GATT melengkapi

ketentuan Pasal III:I GATT sehubungan dengan tindakaninternal berupa pengenaan pajak

dan biaya-biaya pungutan lain terhadap suatu produk baik impor maupun domestik.

kebijakanMobil Nasional dianggap telah melanggar ketentuan ini karena pemberian

fasilitas penghapusan bea masuk dan penghapusan pajak barang mewah hanya

diberlakukan pada PT Timor Putra Nasional.

4.2 SARAN

Kami sebagai penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari kata
sempurna, hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan yang penulis miliki. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan
untuk perbaikan ke depannya.

Semarang, 16 Agustus 2022

MOCHAMAD YULIANDRA EKALOGA ,S.HN.I.M


A.312.1421.040

1
4

Anda mungkin juga menyukai