sosial sekarang ini sudah menjadi keyakinan umum bahwa penguasa selain harus
mengusahakan pencegahan dan pemberantasan pengangguran juga harus
menyelenggarakan jaminan (hal. 130). Dengan meletakkan topik upah dalam bidang
Jaminan Sosial berarti mengandaikan bahwa persoalan upah masuk bidang antara buruh
dengan penguasa.Pengandaian ini tentu tidak memiliki pijakan sejarah: bahwa
perjuangan buruh adalah persoalan upah yang ditujukan oleh organisasi buruh pada
majikan, bukan pada penguasa. Bertujuan memperbaiki taraf hidup, maka buruh
berjuang menuntut kenaikan upah kepada majikan yang membayarnya, dan ini sudah
semestinya masuk dalam bidang Hubungan Kerja. Apakah dengan meletakkan topik
pembahasan upah dalam bidang Jaminan Sosial berarti hendak mengubah arah
perjuangan buruh hanya kepada penguasa, bukan lagi pada majikan?
Contoh mengenai kontradiksi sistimatika ini bisa diperbanyak lagi: mengapa topik
pembahasan mengenai pengangguran diletakkan terpisah dari bidang Jaminan Sosial,
padahal persoalan pengangguran adalah persoalan ketidakmampuan penguasa dalam
menyediakan lapangan kerja bagi warga negaranya? Mengapa topik pembahasan
mengenai buruh migran diletakkan dalam bidang Penempatan Tenaga Kerja antar
negara, seakan-akan mengandaikan bahwa hubungan kerja antara buruh migran dengan
majikannya berbeda hakikat dari hubungan kerja umumnya? Mengapa topik
pembahasan mengenai perselisihan perburuhan diletakkan dalam bidang Hubungan
Kerja? Apakah hal ini berarti bahwa perselisihan antara buruh dengan majikan hanyalah
melulu soal hubungan kerja, tidak mungkin soal kesehatan kerja misalnya?
Pertanyaan tersebut mengarah pada persoalan yang lebih besar lagi: bagaimana
sesungguhnya warna hukum perburuhan yang digambarkan oleh Imam Soepomo?
Dijelaskan olehnya bahwa (m)aksud uraian ini (bukunya tersebut, pen) adalah
membeberkan dan memperkenalkan secara selayang pandang apa dan bagaimana
hukum perburuhan Indonesia diharapkan akan lebih mudah meresap dalam sanubari
para pembaca, kebenaran pandangan hidup masyarakat kita (hal.viii). Adapun yang
dimaksudnya dengan masyarakat kita itu adalah masyarakat aseli Indonesia adalah
tempat kerjasama dimana tiap anggota melakukan tugas tertentu menurut pembagian
kerja yang teratur menuju tercapainya cita-cita bersama.(ibid..) Membaca ini
teringatlah kita akan pandangan negara integralistik yang diajukan oleh Prof. Soepomo
sebagai bentuk negara Republik Indonesia (Simanjuntak, 1994). Dalam negara
demikian tidaklah terdapat pertentangan di antara sesama warga negara, dan antara
warga negara dengan penguasanya, sebab semuanya hidup dalam keselarasan
(harmonis). Berangkat dari hal tersebut, maka di dalam hukum perburuhan tidaklah
boleh terdapat unsur pertentangan antara majikan dengan buruh, dan juga dengan
penguasa negara. Oleh karena itu lebih lanjut menurutnya, prinsip free-fight
liberalism yang dianut dunia barat yang pada dasarnya merupakan arena pertarungan
antara kepentingan-kepentingan tidak dapat dianut dalam hukum perburuhan
Indonesia.
Demikianlah Imam Soepomo menganggap bahwa prinsip keselarasan (harmonis)
merupakan dasar/ pondasi bagi hukum perburuhan Indonesia, dan diterapkannya ke
semua panca warna bidang hukum perburuhan Indonesia. Maka, tidaklah
mengherankan beliau menolak UU no. 22/1957 atas dasar tidak sesuai dengan prinsip
musyawarah untuk mufakat karena masih membolehkan suatu pihak melakukan
tindakan terhadap pihak lainnya (hal. 102). Sebab menurutnya, dalam prinsip
musyawarah ini maka negara Indonesia tidak mengenal tekan-menekan atau hantamhantaman dengan senjata penutupan dan pemogokan! (ibid.). Jadi Imam Soepomo
berpendapat bahwa pemogokan buruh diharamkan dalam prinsip keselarasan
masyarakat Indonesia. Lebih jauh lagi dengan menggunakan prinsip keselarasan pula
beliau menolak tanggal 1 Mei dijadikan hari libur buruh, sebab menurutnya (r)uparupanya Indonesia tidak suka lagi dengan 1 Mei sebagai hari kebesaran buruh dan
menawarkan tanggal 3 Juli sebagai gantinya (hal.120).
Walaupun diakuinya bahwa kondisi (s)osiologis buruh adalah tidak bebas (hal.7),
hal ini tidak dianggap Imam Soepomo sebagai bertentangan dengan prinsip
keselarasan.Berhadapan dengan kondisi sosiologis buruh dan majikan tersebut,
menurutnya pemerintah harus mengupayakan prinsip keselarasan untuk tercapainya
suatu keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak (ibid.). Demikianlah
pertentangan antara pihak yang lemah (yaitu buruh) dengan pihak yang kuat
ekonominya (yaitu majikan) tidaklah boleh terjadi. Kalau begitu, bagaimana penguasa
harus mengadakan peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan yang bertujuan
melindungi pihak yang lemah (ibid.)? Bagaimana perlindungan bagi buruh ini mesti
diwujudkan?
Di sinilah timbul satu soal yang serius: bagaimana aspek perlindungan buruh itu mesti
dimengerti? Persoalan bagaimana aspek perlindungan dapat diwujudkan dalam prinsip
keselarasan tidak pernah terselesaikan Di satu sisi Imam Soepomo berulang kali
menekankan aspek perlindungan, bahkan menyebut bidang kesehatan kerja sebagai
perlindungan bagi buruh (hal.106),<!--[if !supportFootnotes]-->[3]<!--[endif]--> tapi di
sisi lain ia dengan pasti meniadakan pertentangan kepentingan antara buruh dengan
majikan. Bukankah perlindungan baru menjadi berarti karena adanya pertentangan yang
tidak setara? Jadi, dalam kerangka Hukum Perburuhan bentukan Iman Soepomo
terdapat soal serius tentang konsep, pengertian dan perwujudan perlindungan bagi
buruh. Ada ketidakjelasan yang laten tentangnya.