Anda di halaman 1dari 14

HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Perdagangan internasional berkaitan dengan berbagai aspek, termasuk


hukum terutama Hukum Perdagangan Internasional. Schmitthoff mendefinisikan
hukum perdagangan internasional sebagai: the body of rules governing
commercial relationship of a private law nature involving different nations. Dari
definisi ini didapatkan unsur-unsur sebagai berikut.
1) Hukum perdagangan internasional adalah sekumpulan aturan yang
mengatur hukungan-hubungan komersial yang sifatnya hukum perdata.
2) Aturan-aturan hukum tersebut mengatur transaksi-transaksi yang berbeda
negara.
Cakupan dari hukum ini menurut Schmitthoff meliputi: 1) Jual beli dagang
internasional: (i) pembentukan kontrak; (ii) perwakilan-perwakilan dagang (agency);
(iii)pengaturan penjualan eksklusif; 2) Surat-surat berharga; 3) Hukum mengenai
kegiatan-kegiatan tentang tingkah laku mengenai perdagangan internasional; 4)
Asuransi; 5) Pengangkutan melalui darat dan kereta api, laut, udara, perairan
pedalaman; 6) Hak milik industri; 7) Arbitrase komersial.
Adapun prinsip-prinsip dasar (fundamental principles) dari bidang hukum ini
menurut Aleksander Goldstajn ada tiga, yaitu: (1) Prinsip kebebasan para pihak
dalam berkontrak (the principle of the freedom of contract); (2) prinsip pacta sunt
servanda; dan (3) prinsip penggunaan arbitrase. Huala Adolf menambahkan prinsip
kebebasan komunikasi dalam arti luas termasuk di dalamnya kebebasan
bernavigasi, yaitu kebebasan para pihak untuk berkomunikasi untuk keperluan
dagang dengan siapa pun juga dengan melalui berbagai sarana navigasi atau
komunikai, baik darat, laut, udara, atau melalui sarana elektronik.
Sumber hukum perdagangan internasional meliputi perjanjian internasional,
hukum kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum umum, putusan-putusan
badan pengadilan dan doktrin, kontrak, dan hukum nasional. Diantara berbagai
sumber hukum tersebut yang terpenting adalah perjanjian atau kontrak yang dibuat
oleh sendiri oleh para pedagang sendiri.
Kontrak tersebut harus memenuhi beberapa standar internasional, seperti
kewajiban memenuhi standar kualitas (quality standard), kejujuran (good faith and
fair dealing), permainan bersih (fair play), perlindungan pihak lemah (protection for
the weak), pembinaan usaha yang baik (good corporate governance), persaingan
sehat (fair competition), perlindungan konsumen (consumer protection).
Perjanjian/Kontrak
Perdagangan internasional atau bisnis internasional terutama dilaksanakan
melalui perjanjian jual beli. Perjanjian jual beli internasional dikenal dengan sebutan
perjanjian ekspor/impor. Dalam jual beli semacam ini kegiatan jual disebut ekspor
dan kegiatan beli disebut impor. Pihak penjual disebut eksportir dan pihak pembeli
disebut importir. Secara ringkas kegiatan ini disebut ekspor dan impor.
Sebagaimana dalam perjanjian secara umum, perjanjian ekspor/impor
berkaitan dengan hak dan kewajiban para pihak yang terlibat. Eskportir
berkewajiban memberikan barang kepada importir dan berhak menerima
pembayaran dari importir. Importir berkewajiban melakukan pembayaran kepada
eksportir dan berhak menerima barang dari eksportir. Persoalan muncul mana kala
masing-masing pihak hanya mau menikmati hak tanpa mau melaksanakan
kewajiban masing-masing.
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada
seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal. Kontrak adalah perjanjian yang dibuat secara tertulis. Menurut Pollock
sebagaimana dikutip oleh P.S Atiyah,a contract is a promise or a set of promises,
which the law will enforce.
Sebagai perwujudan tertulis dari perjanjian, kontrak adalah salah satu dari
dua dasarhukum yang ada selain undang-undang (KUHPdt Pasal 1233) yang dapat
menimbulkan perikatan. Perikatan adalah suatu keadaan hukum yang mengikat satu
atau lebih subjek hukum dengan kewajiban-kewajiban yang berkaitan satu sama
lain.
Adapun syarat sahnya suatu perjanjian dicantumkan dalam Pasal 1320 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yaitu: Sepakat mereka yang
mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, suatu hal tertentu,
dan suatu sebab yang halal.
Hukum perjanjian menganut sistem terbuka. Hukum perjanjian memberikan
kebebasan kepada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja,
asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Sistem ini melahirkan
prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract) yang membuka kesempatan
kepada para pihak yang membuat perjanjian untuk menentukan hal-hal berikut ini.
a. Pilihan hukum (choice of law), dalam hal ini para pihak menentukan sendiri
dalam kontrak tentang hukum mana yang berlaku terhadap interpretasi
kontrak tersebut.
b. Pilihan forum (choice of jurisdiction), yakni para pihak menentukan sendiri
dalam kontrak tentang pengadilan atau forum mana yang berlaku jika
terjadi sengketa di antara para pihak dalam kontrak tersebut.
c. Pilihan domisili (choice of domicile), dalam hal ini masing-masing pihak
melakukan penunjukan di manakah domisili hukum dari para pihak
tersebut.
Dalam hukum tentang perdagangan internasional, berdasarkan
waktu pembayaran, dikenal beberapa metode pembayaran, yaitu: Metode
pembayaran terlebih dahulu; Metode pembayaran secara Open Account; Metode
pembayaran atas Dasar Konsinyasi; Metode pembayaran secara Documentary
Collection; Metode pembayaran secara Documentary Credit.
Menurut Michael Melvin: A Letter of Credit (LOC) is a written instrument
issued by a bank at the request of an importer obligating the bank to pay a specific
amount of money to an exporter.
Pengertian L/C mempunyai makna sebagai berikut.
1. Merupakan suatu perjanjian bank untuk menyelesaikan transaksi
perdagangan internasional.
2. Memberikan suatu bentuk pengamanan untuk semua pihak yang
bersangkutan dengan transaksi tersebut.
3. Menjamin pembayaran yang disediakan apabila syarat-syarat dan kondisi-
kondisi dalam L/C terpenuhi.
4. Bahwa setiap pembayaran yang dilakukan didasarkan hanya pada
dokumen-dokumen semata dan tidak pada barang atau jasa yang
bersangkutan.
Sementara itu dari segi pembayaran, L/C dapat dibagi menjadi: Sight L/C,
yaitu L/C yang jika semua persyaratan dipenuhi, maka negotiating bank wajib
membayar nominal L/C kepada eksportir paling lama dalam 7 hari kerja; Usance
L/C, yaitu L/C yang pembayarannya baru dapat dilunasi jika L/C tersebut sudah
jatuh tempo yaitu sekian hari dari tanggal pengapalan (tanggal Bill of Lading); Red
Clause L/C, yaitu L/C di mana pembayaran dilakukan oleh negotiating bank kepada
eksportir sebelum barang dikapalkan.
Kemudian dari segi syarat-syarat, L/C dapat dibagi menjadi sebagai berikut:
1. Open L/C, yaitu suatu L/C yang memberi hak kepada eksportir penerima
L/C untuk menegosiasikan dokumen pengapalan melalui bank mana saja
yang diingininya.
2. Restricted L/C, yaitu kebalikan daari open L/C di mana negotiating bank
dibataasi pada bank tertentu.
3. Documentary L/C, yaitu L/C yang mewajibkan eksportir penerima L/C untuk
menyerahkan dokumen pengapalan yang membuktikan pemilikan barang
serta dokumen pelengkap lainnya sebagai syarat untuk memperoleh
pembayaran.
4. Revolving L/C, yaitu L/C di mana kredit yang tersedia dapat dipakai ulang
tanpa perlu mengadakan perubahan syarat baik dalam bentuk waktu
maupun nilai uang.
5. Back to Back L/C, yaitu L/C yang dapat dibuka lagi oleh eksportit penerima
L/C pertama kepada eksportir kedua dengan menjaminkan L/C yang
diterimanya. L/C ini biasa digunakan dalam perdagangan segi tiga.
L/C disebut juga kredit berdokumen. Dengan kata lain L/C merupakan kredit.
Istilah kredit berasal dari bahasa Romawi credere yang berarti
percaya atau credo atau creditumyang berarti saya percaya. Jadi seseorang yang
mendapatkan kredit adalah seseorang yang telah mendapat kepercayaan dari
kreditur.
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam L/C adalah:
a. Pihak Pembeli
Pihak pembeli adalah pihak imporir yang membeli barang dan membuka
L/C.
b. Pihak Penjual
Pihak penjual adalah pihak eksporir terhadapnya L/C dibuka.
c. Pihak Pembuka L/C
Bank pembuka L/C atau yang disebut dengan issuing bank adalah bank
yang membuka L/C setelah dimintakan oleh pihak pembeli.
d. Pihak Penerus L/C
Bank penerus L/C adalah bank yang dimintakan oleh bank pembuka L/C
untuk meneruskan L/C dan membayarkan kepada pihak penjual. Bank
penerus L/C ini disebut juga dengan Conforming Bank, Correspondent
Bank, Advising Bank, Paying Bank, atau Negotiating Bank.
Adapun unsur-unsur pokok dalam L/C meliputi:
a. Credit substitution, yaitu issuing bank menggantikan (mensubstitusikan)
kredibilitasapplicant dengan kredibilitasnya sendiri.
b. Promise to pay, yaitu L/C berisi jaminan pembayaran
dari issuing kepadabeneficiary.
c. Terms and conditions, L/C merupakan jaminan pembayaran bersyarat
(conditional guarantee), dimana akan dilakukan pembayaran
sepanjang beneficiary telah memenuhi semua persyaratan yang
ditetapkan dalam L/C.
d. Parties, yaitu dalam suatu L/C akan terlibat beberapa pihak antara
lain, applicant, issuing bank, beneficiary, advising bank, negotiating
bank atau confirming bank(jika L/C di confirm oleh bank lain)
e. Time, yang menyangkut expire date yaitu tanggal berakhirnya jangka waktu
berlakunya suatu L/C, latest shipment date yaitu tanggal terakhit untuk
melaksanakan pengapalan/pengiriman sesuai dengan yang ditentukan
dalam L/C dan latest presentation date, yaitu tanggal terakhir
bagi beneficiary untuk penyerahan dokumen ke bank.
Dasar hukum dari suatu L/C adalah klausula dalam kontrak jual beli yang
menundukkan diri kepada Uniform Customs and Practices for Documentary
Credit (disingkat UCP), hukum setempat (di Indonesia termasuk peraturan di bidang
perbankan), dan kebiasaan dalam perdagangan (trade usage). International
Chamber of Commerce (ICC) pada tahun 1933 telah menyeragamkan L/C dengan
terbentuknya Uniform Customs and Practices for Documentary Credir (UCP).
UCP pertama diterbitkan pada tahun 1933 dengan brosur Nomor 82.
Selanjutnya UCP pertama itu mengalami revisi-revisi agar memenuhi kebutuhan
bisnis internasional yang terus berkembang. Revisi pertama terjadi pada tahun 1951,
kedua pada tahun 1962, ketiga pada tahun 1972, keempat pada tahun 1983 yang
dikenal dengan nama UCP 400, dan kelima atau terakhir pada tahun 1993 dengan
terbitan Nomor 500 sehingga lebih populer dengan sebutan UCP 500.
Secara umum materi pokok Sales Contract berisi hal-hal berikut ini.
1. Nama Penjual (Seller)
2. Nama Pembeli (Buyer)
3. Barang yang diperjualbelikan dengan spesifikasi tertentu (berat, ukuran, kualitas,
packing, dll.)
4. Harga
5. Ketentuan Penjualan (Commercial Terms)
a. FOB (Free on Board)
b. C & F (Cost and Freight)
c. CIF (Cost Insurance & Freight)
6. Pelabuhan Asal
7. Pelabuhan Tujuan
8. Transportasi
Pengalihan diperbolehkan/dilarang (Transhipment: Allowed/ Prohibited)
9. Pengiriman Barang
10. Ketentuan Pembayaran
a. L/C : Letter of Credit
b. D/P : Document Againts Payment
c. D/A : Document Againts Acceptance
11. Sertifikat-sertifikat
a. COO (Certificate of Origin)
b. Export License
12. Dan lain-lain yang dianggap perlu.
Mekanisme L/C secara sederhana dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Diadakan kontrak jual beli antara penjual kepada pembeli dalam jual beli
mana pembeli diwajibkan membuka L/C.
2. Kemudian pembeli mengajukan aplikasi L/C kepada Bank Devisa
langganannya untuk manfaat pihak penjual.
3. Bank penerbit mengirim surat L/C kepada penikmat melalui bank
korepondennya di negara penikmat.
4. Advising bank memberitahu penikmat bahwa kepadanya telah dibuka L/C.
5. Setelah penikmat menerima L/C, dia lantas mengirim barang kepada
pembeli.
6. Dokumen asli diserahkan kepada advising bank dan duplikat dikirim
kepada pembeli.
7. Dilakukan pembayaran oleh advising bank setelah meneliti kelengkapan
dokumen.
8. Dokumen yang telah diterima oleh advising bank kemudian dikirim
ke issuing bank.
9. Setelah menerima dokumen-dokumen issuing bank membayar kepada
advising bank.
10. Pembuka kredit membayar semua kewajiban kepada issuing
bank setekah dinotifikasi oleh issuing bank bahwa semua dokumen telah
datang.
11. Issuing bank mengirim dokumen asli kepada pembuka kredit,
berdasarkan dokumen-dokumen mana barang-barang dapat diminta dari
pengangkut.
Tahapan pembayaran dengan L/C secara ringkas sebagai berikut:
a. Penjual dan pembeli di luar negeri setuju dalam sales
contract bahwa paymentdilakukan menurut documentary credit.
b. Pembeli memberikan instruksi kepada bank di kediamannya (The Issuing
Bank) untuk membuka documentary credit untuk penjual.
c. The Issuing Bank mengatur dengan bank di domisili penjual
(Correspondent Bank) untuk melakukan negosiasi, menerima, atau
membayar exporter draft atas penyerahan dari dokumen pengapalan.
d. Correspondent Bank memberitahu kepada penjual untuk menegosiasi,
menerima, atau membayar exporter draft atas penyerahan dokumen
pengapalan.
Beberapa risiko umum L/C adalah:
1. Barang yang diperjualbelikan tidak sesuai dengan yang diinginkan.
Padahal ketepatan barang ini sangat penting dalam ekspor/impor yang
menggunakan L/C karena pembayaran semata-mata didasarkan pada
dokumen bukan pada barang.
2. Opening bank sengaja tidak membayar (default)
3. Situasi dan kondisi negara salah satu atau beberapa pihak yang terkait
tidak baik sehingga mengakibatkan L/C tidak dibayar (high country risk)
Selain beberapa risiko di atas dikenal juga risiko fasilitas. Dalam kaitan ini
risiko terjadi karena kegagalan nasabah melunasi kewajiban pembayaran Sight
L/C maupun Usance L/Cyang telah jatuh tempo. Kegagalan ini kebanyakan
disebabkan beberapa hal berikut ini.
1. Kondisi keuangan (cash flow) debitur Credit Risk
2. Pengaruh forex (jatuhnya nilai IDR) Exchange Risk
3. Barang yang diimpor tidak laku(ULC) Commercial Risk
4. kondisi ekonomi, sosial, politik, keamanan Country Risk
Sengketa
Dalam kehidupan sehari-hari setiap orang tentu menghendaki segala sesuatu
berjalan dengan baik tanpa masalah apapun terlebih berupa sengketa. Akan tetapi,
pada kenyataannya hidup ini tidak pernah luput dari masalah. Tidak heran tidak
hanya masalah yang muncul melainkan sengketa juga.
Beberapa diantara masalah/sengketa itu hadir tanpa dikehendaki atau tidak
dapat dicegah oleh seseorang sebab bermula dari pihak lain. Dengan demikian tidak
ada seorang pun dapat memastikan dirinya akan senantiasa luput dari sengketa.
Sehubungan dengan kenyataan itu setiap orang nampaknya perlu mempersiapkan
diri untuk menghadapi masalah dan/atau sengketa sehingga tetap dapat menjaga
kepentingannya. Bahkan pada saat-saat tertentu seseorang perlu mempunyai
kemampuan untuk melihat masalah atau sengketa sebagai sebuah peluang yang
mesti dimanfaatkan bukan sekedar masalah yang harus dihindari. Sebagai sebuah
peluang yang dapat dimanfaatkan sudah selayaknya kita mengenal seluk beluk
penyelesaian sengketa..
Sengketa dapat terjadi karena berbagai sebab, terutama perbuatan melawan
hukum dan cidera janji (wanprestasi). Terhadap sengketa yang terjadi pihak-pihak
yang terkait dapat menaruh berbagai keinginan atau harapan. Keinginan ini sangat
berpengaruh pada upaya-upaya penyelesaian sengketa terutama pilihan terhadap
cara-cara penyelesaian yang ada. Hal ini berkaitan erat dengan putusan yang dapat
dihasilkan dari masing-masing cara penyelesian berbeda satu sama lain. Kekeliruan
atas pilihan cara penyelesaian bukan hanya dapat menyebabkan ketidakpuasan
melainkan kegagalan. Penyelesaian perbuatan melawan hukum dapat diselesaian
melalui pengadilan sedangkan wanprestasi melalui pengadilan negeri, arbitrase,
atau cara-cara lain yang tersedia.
Secara garis besar dikenal dua kelompok besar penyelesaian sengketa, yaitu
melalui persidangan di dalam pengadilan dan di luar pengadilan. Menurut
pengalaman dan pengamatan, beberapa permasalahan, terutama permasalahan
keluarga dan bisnis, lebih baik diselesaikan di luar pengadilan. Terdapat berbagai
alasan yang mendukung pilihan ini, seperti kemungkinan untuk tetap menjaga
hubungan baik di antara pihak-pihak yang bermasalah.
Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan
Secara konvensional, penyelesaian sengketa biasanya dilakukan secara
litigasi atau penyelesaian di muka pengadilan. Dalam keadaan demikian, posisi para
pihak yang bersengketa sangat antagonis (saling berlawanan satu sama lain).
Penyelesaian sengketa bisnis model ini tidak direkomendasikan. Kalaupun akhirnya
ditempuh, penyelesaian itu semata-mata hanya sebagai jalan yang terakhir
(ultimatum remedium) setelah alternatif lain dinilai tidak membuahkan hasil.[28]
Hukum acara perdata mengenal dua kewenangan, yaitu: a. wewenang mutlak, dan
b. wewenang relatif. Wewenang mutlak menyangkut pembagian kekuasaan antar
badan-badan peradilan, dilihat dari macam pengadilan, menyangkut pemberian
kekuasaan untuk mengadili (attributie van rechtsmacht).
Wewenang relatif menyangkut pembagian kekuasaan mengadili antar
pengadilan yang serupa, terutama tergantung tempat tinggal tergugat (distributie van
rechtsmacht). Dalam literatur ditemukan istilah lain, yaitu kekuasaan yang bersifat
bulat atau absolut (absolute kompetentie) dan kekuasaan yang bersifat terperinci
atau relatief (relatieve kompetentie).
Kekuasaan (wewenang) absolut dinamakan juga atribusi kekuasaan
menyangkut wewenang berbagai jenis pengadilan dalam suatu negara dan lazim
diatur dalam undang-undang yang mengatur susunan dan kekuasaan badan-badan
pengadilan. Sedangkan kekuasaan relatif atau distribusi kekuasaan yaitu pembagian
kekuasaan antara badan-badangn pengadilan yang sejenis lazim diatur dalam
undang-undang tentang hukum acara.[30]
Orang yang merasa haknya dilanggar disebut penggugat dan orang yang
ditarik ke muka pengadilan karena dianggap melanggar hak seseorang atau
beberapa orang disebut tergugat. Apabila ada banyak penggugat atau banyak
tergugat, mereka disebut penggugat I, penggugat II, penggugat III, dan seterusnya.
Demikian pula jika ada banyak tergugat, mereka disebut tergugat I, tergugat II,
tergugat III, dan seterusnya.
Selain itu, dikenal juga turut tergugat, yaitu orang-orang yang tidak
menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu
tetapi demi kelengkapan suatu gugatan harus diukutsertakan. Dalam petitum turut
tergugat ini hanya sekedar dimohonkan agar tunduk dan taat terhadap putusan
hakim.
Surat gugat ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya dan memuat
tanggal gugatan, nama, tempat tinggal, jabatan penggugat dan tergugat. Gugatan
mesti memuat penjelasan mengenai permasalahan dan dasar dengan jelas
(Fundamentum Petendi atau Posita). Posita terdiri dari dua bagian, yaitu bagian
yang memuat alasan-alasan berdasarkan keadaan dan bagian yang memuat
alasan-alasan berdasarkan hukum. Selain itu gugatan harus pula dilengkapi
dengan petitum, yaitu hal-hal yang ingin diputuskan, ditetapkan, atau diperintahkan
oleh hakim.
Perkara di pengadilan tidak hanya berupa gugatan, melainkan dikenal juga
permohonan. Perbedaan utama antara gugatan dengan permohonan adalah
sengketa atau konflik. Dalam gugatan terdapat sengketa sedangkan dalam
permohonan tidak ada sengketa. Oleh karena itu, putusan hakim dalam permohonan
berupa penetapan atau putusandeclaratoir saja, yaitu putusan yang bersifat
menetapkan atau menerangkan saja. Pada hakikatnya setiap orang boleb
berperkara di depan pengadilan, kecuali orang yang belum dewasa (diwakili orang
tua atau wali) dan sakit ingatan (diwakili pengampu).
Sebagaimana telah dikemukakan di muka, terhadap suatu sengketa pihak-
pihak yang terkait dapat memiliki beraneka ragam keinginan. Jika penyelesaian
melalui pengadilan menjadi pilihan maka keinginan itu dituangkan dalam suatu
dokumen yang disebut gugatan.Putusan hakim atas suatu gugatan berupa
penghukuman (condemmnator). Putusan semacam ini akan memuat
pengakuan tentang hak penggugat dari pihak lain. Jika tergugat tidak mau
melaksanakan putusan ini secara suka rela maka dapat dipaksakan melalui
eksekusi.
Tujuan dari suatu gugatan disampaikan dalam bentuk tuntutan (petitum) yang
merupakan permintaan kepada hakim untuk diputuskan. Petitum mesti dibuat secara
jelas dan tegas serta tidak ada pertentangan satu sama lain. Remember that good
writing makes the readers job easy; bad writing makes it hard.
Tuntutan dapat berupa tuntutan pokok, tuntutan tambahan, dan tuntutan
provisional. Adapun alasan yang dapat dipakai untuk pengajuan gugatan adalah:
Wanprestasi oleh debitur, perbuatan melawan hukum, perbuatan melawan hukum
oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad), dan kebatalan.
Suatu gugatan mesti memenuhi beberapa syarat tertentu, yaitu syarat formal
dan syarat material. Syarat formal mencakup formalitas yang mesti dipenuhi suatu
gugatan, yaitu: tempat dan tanggal surat gugatan, pemberian materai, tanda tangan
pengugat atau kuasa. Sedangkan syarat material meliputi: identitas para pihak dan
posita (fundamentum petendi). Posita berisi dasar dan alasan pengajuan gugatan
yang biasanya terdiri dari dua bagian: 1. Uraian kejadian yang disengketakan
(factual grounds). 2. Uraian tentang dasar hukum gugatan (legal grounds). Posita
akan meliputi objek perkara, fakta hukum, kualifikasi perbuatan tergugat, uraian
kerugian, dan petitum.
Pada saat ini dapat dikatakan sebagian besar gugatan dilakukan secara
tertulis meskipun dimungkinan secara lisan. Gugatan secara tertulis disampaikan
melalui surat kepada Ketua Pengadilan. Demikian juga dengan gugatan secara lisan
disampaikan kepada Ketua Pengadilan.
Persidangan di pengadilan secara umum akan terdiri dari tahapan berikut ini. Pada
persidangan pertama hakim akan mengusahakan perdamaian di antara para pihak
yang bersengketa. Apabila tidak tercapai perdamaian kemudian dilakukan
pembacaan gugatan oleh penggugat.
Persidangan kedua merupakan kesempatan bagi tergugat untuk
menyampaikan tanggapan atau jawaban atas gugatan yang disampaikan penggugat
pada sidang pertama. Hal-hal yang dapat disampaikan tergugat dalam jawaban
meliputi hal-hal berikut ini.
Eksepsi atau tangkisan yaitu tanggapan atau jawaban atas formalitas gugatan
yang tidak berkaitan langsung dengan pokok perkara. Eksepsi dapat
meliputi eksepsi material danprosesual. Eksepsi material terdiri dari
eksepsi dilatoir dan peremtoir. Eksepsi dilatoirdidasarkan pada ketentuan hukum
material berupa keinginan agar dilakukan penundaan pemeriksaan gugatan oleh
pengadilan. Sedangkan eksepsi peremtoir dimaksudkan untuk menggagalkan
gugatan.
Adapun eksepsi prosesual berkaitan dengan hukum formal yang
meliputi eksepsi declinator, litispendensi, nebis in idem, plurium litis consortium,
diskualifikator. Eksepsideclinator berkaitan dengan kewenangan pengadilan
mengadili perkara berkaitan dengan kompetensi absolutdan relatif.
Eksepsi litispendensi merupakan pernyataan bahwa perkara yang diajukan pernah
diperiksa tetapi belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Eksepsiplurium litis
consortium merupakan pernyataan agar gugatan ditolak karena mengandung cacat
formal seperti kesalahan pihak yang digugat. Eksepsi diskualifikator merupakan
pernyataan tentang ketidakwenangan penguggat untuk mengajukan gugatan kepada
penggugat.
Selain eksepsi disampaikan juga jawaban atas pokok perkara (konpensi)
yang memuat pengakuan atau pembenaran dalil yang disampaikan penggugat,
sangkalan atas dalil yang dikemukakan penggugat, atau fakta baru yang belum
disampaikan penggugat dalam gugatan. Selain itu tergugat dapat menyampaikan
gugatan balik (rekonpensi). Dengan adanyarekonpesi terdapat gabungan dua
tuntutan, tuntutan dari penggugat dan tuntutan dari tergugat. Tujuan dari rekonpensi
untuk menghemat biaya, mempermudah prosedur, dan menghindari putusan yang
bertentangan mengenai perkara yang mempunyai dasar atau hubungan hukum yang
sama.
Selanjutnya pada sidang ketiga penggugat berkesempatan menyampaikan
jawaban balasan (replik). Selain itu, penggugat jika ada rekopensi sebagai tergugat
dan rekonpensi dapat menyampaikan jawaban atas dalil-dalil yang dikemukan
tergugat dalam gugatan rekonpensi.
Pada sidang keempat tergugat menyampaikan duplik sebagai tanggapan atas
dalil-dalil yang disampaikan penggugat dalam replik. Jika tergugat mengajukan
rekonpensi maka tergugat juga dapat mengajukan duplik atas replik yang
dikemukakan penggugat sebagai tergugat dalam rekonpensi.
Pada sidang kelima penggugat menyampaikan bukti-bukti untuk
membenarkan dalil-dalil yang telah disampaikan pada sidang-sidang sebelumnya.
Pada sidang keenam tergugat menyampaikan bukti-bukti untuk menyangkal
dalil-dalilyang disampaikan penggugat sekaligus menyampaikan bukti-bukti atas dalil
yang disampaikan dalam rekonpensi. Pada persidangan ini kepada para pihak yang
bersengkera diberikan kesempatan untuk menyampaikan pertanyaan atau
sangkalan atas bukti-bukti yang diajukan pihak lain.
Selanjutnya pada sidang ketujuh para pihak menyampaikan kesimpulan dari
sidang-sidang yang telah dilaksanakan. Akhirnya, pada sidang kedelapan hakim
pengadilan negeri akan menjatuhan putusan atas perkara yang diperiksa.
Mengenai putusan dikenal ada dua jenis: putusan sela (interlocutoir
beslag) dan putusan akhir (eind beslag). Putusan sela merupakan putusan hakim
yang dijatuhkan sebelum putusan akhir.
Ada tiga putusan sela: 1. Putusan prepator, yaitu putusan untuk
mempersiapkan dan mengatur pemeriksaan tetapi tidak mempengaruhi pokok
perkara. 2. Putusan interlokator, yaitu putusan yang berisi perintah pembuktian yang
mempengaruhi pokok perkara. 3. Putusan provisional, yaitu putusan yang berupa
tindakan sementara untuk kepentingan salah satu pihak yang bersengketa.
Sementara itu, putusan akhir merupakan putusan hakim mengenai pokok
perkara yang merupakan akhir dari tingkat pengadilan tertentu. Putusan akhir
meliputi putusan verstek, putusan deklarator (menerangkan suatu keadaan hukum),
putusan konstitutip (menghapuskan suatu keadaan hukum),
putusan kondemnator (menghukum salah satu pihak yang bersengketa), dan
putusan kontradiktor.
Jika para pihak yang bersengketa di pengadilan negeri merasa tidak puas
atas putusan hakim,dapat mengajukan banding ke pengadilan tinggi yang
membawahi pengadilan negeri tersebut. Permohonan banding diajukan dalam
jangka waktu 14 hari setelah putusan diucapkan atau diberitahu apabila putusan
diucapkan tanpa kehadiran pihak.
Jika ada pihak yang merasa tidak puas terhadap putusan banding dapat
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Kasasi merupakan upaya hukum terakhir
bagi pihak-pihak yang bersengketa. Berbeda dengan pengadilan negeri dan
pengadilan tinggi yang memeriksa perkara (judex factie), mahkamah agung hanya
akan memerika masalah hukum dan penerapan hukum (judex juris). Dalam kasasi
tidak ada lagi pemeriksaaan bukti-bukti. Adapun alasan pengajuan kasasi adalah:
tidak berwenang atau melampaui batas wewenang, salah menerapkan atau
melanggar hukum yang berlaku, dan lalai menuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya dikenal juga upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali
(PK). PK dapat diajukan untuk membatalkan putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap dalam jangka waktu 180 hari sejak putusan berkekuatan hukum tetap atau
sejak ditemukan bukti-bukti baru (novum). Adapun alasan PK meliputi:
1. Putusan terdahulu didasarkan pada kebohongan, tipu muslihat, atau bukti-
bukti palsu.
2. Ditemukan bukti baru
3. Putusan mengabulkan sesuatu yang tidak dituntut atau lebih dari pada
yang dituntut.
4. Ada bagian dari tuntutan yang belum diputus
5. Putusan bertentangan satu sama lain padahal yang berperkara sama,
persoalan sama, dasar hukum sama, jenis pengadilan sama, tingkat
pengadilan sama.
6. Terdapat kekhilapan atau kekeliruan.
Terhadap permohonan PK ini Mahkamah Agung dapat menjatuhkan putusan
berupa permohonan PK tidak dapat diterima, permohonan PK ditolak, atau
permohonan PK dikabulkan. Setelah PK tidak ada lagi upaya hukum yang dapat
ditempuh. Dengan demikian setelah PK setiap pihak yang bersengketa harus
menaati dan melaksanakan putusan.
Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan
Sebagaimana telah disampaikan di muka, penyelesaian sengketa melalui
pengadilan masih menyisakan berbagai persoalan sehingga dirasakan perlu ada
cara-cara penyelesaian sengketa lain di luar pengadilan berupa arbitrase maupun
beberapa alternatif penyelesaian sengketa lain seperti konsultasi, negosiasi,
mediasi, atau konsiliasi. Keberadaan upaya-upaya penyelesaian ini di Indonesia
sebenarnya sudah sejak lama tetapi semakin populer setelah diberlakukan UU No.
30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU
Arbitrase).
Dalam Undang-Undang ini dikemukakan bahwa arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul
sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah
timbul sengketa. Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para
pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Lembaga
tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu
hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.
Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-
undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Sengketa yang tidak
dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan
perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Arbitrase sejak awal diadakan sebagai sarana penyelesaian sengketa
alternatif (alternatif dispute resolution) di luar pengadilan (ordinary court). Beberapa
kekurangan pengadilan seperti waktu yang lama dan biaya yang mahal diharapkan
dapat diatasi arbitrase. Oleh karena itu sejak semula arbitrase dirancang sebagai
penyelesaian sengketa yang cepat dan murah bagi para pihak yang bersengketa
(quick and lower in time and money to the parties). Akan tetapi pada kenyataannya,
paling tidak menurut pengamatan saya, khususnya di Indonesia, arbitrase sulit
dikatakan lebih cepat dan murah. Dalam beberapa hal pemberlakuan UU Arbitrase
justeru telah menimbulkan masalah baru.
Sebagai gambaran awal dapat dikemukakan tiga putusan arbitrase yang
dibatalkan oleh Pengadilan Negeri (PN) di Indonesia, yaitu: Putusan Arbitrase Swiss
dalam sengketa antara Pertamina vs Karaha Bodas; Putusan Arbitrase BANI dalam
sengketa jual beli kertas uang Rupiah antara Perum Peruri vs PT Pura Barutama;
dan Putusan Arbitrase ad hoc dalam sengketa menyangkut sales agreement untuk
pembelian material SWRCH&R yang akan digunakan untuk pembuatan bahan
produk balok lempengan baja antara PT Krakatau Steel vs International Piping
Product Inc (IPP). Berbagai putusan PN itu bukan hanya telah menimbulkan
perdebatan baru di antara para pihak yang bersengketa, melainkan di masyarakat
luas bahkan di luar negeri.
Antara arbitrase dan PN sampai sekarang tidak dapat dipisahkan sebab
dalam beberapa hal masih harus bekerjasama, seperti dalam rangka pelaksanaan
putusan arbitrase dan pembatalan putusan arbitrase. Terutama mengenai
pembatalan putusan arbitrase oleh PN akhir-akhir ini semakin sering terjadi
sehingga dipandang perlu untuk dicermati.
Mengenai pembatalan putusan arbitrase oleh PN dalam UU No 30 Tahun
1999 diatur di Bab VII Pasal 70-72. Dalam Pasal 70 dinyatakan bahwa terhadap
putusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan permohonan apabila putusan
tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentuka yang
sengaja disembunyikan oleh pihak lawan
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa
Sementara itu dalam penjelasan umum UU Arbitrase dinyatakan: Bab VII
mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase. Hal ini dimungkinkan karena
beberapa hal, antara lain:
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang
sengaja disembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak
dalam pemeriksaan sengketa.
Kalau dibandingkan antara Pasal 70 dengan Penjelasan Umum sebenarnya
dapat dikatakan tidak terdapat perbedaan, terlebih bertentangan. Meskipun demikian
persoalan telah dan/atau akan dapat mungkin muncul dari kata-kata yang
sebenarnya tidak secara langsung menyangkut isi pasal, yaitu antara kata-kata:
unsur-unsur sebagai berikut (Pasal 70) dan antara lain (Penjelasan Umum). Kata-
kata unsur-unsur sebagai berikut dalam Pasal 70 mengandung pengertian terbatas
(limited). Sedangkan kata-kata antara lain dalam Penjelasan Umum dapat
memberikan pengertian tidak terbatas (unlimited).
PN Jakarta Pusat ketika memutus sengketa antara Pertamina melawan
Karaha Bodas tidak memakai tiga alasan pembatalan yang disebutkan dalam Pasal
70 UU Arbitrase dengan argumentasi bahwa berdasarkan penjelasan umum UU
Arbitrase terbuka kemungkinan dipakai alasan lain untuk membatalkan putusan
arbitrase.
Sementara itu dalam putusan Mahkamah Agung No 01/Banding/Wasit/2001
dalam perkara antara Ssangyong Engineering & Construction dan PT Murinda Iron
Steel melawan PT Danareksa Jakarta Internasional ditegaskan bahwa Pasal 70 UU
Arbitrase menyebutkan secara limitatif hal-hal yang menjadi alasan permohonan
pembatalan.
Kemudian patut diperhatikan Putusan Mahkamah Agung No
06/Banding/Wasit/2001 tentang perkara antara PT Twink Pratama vs PT Coca Cola
Amatil Indonesia dkk. Dalam Putusan ini diadakan analisis materil dengan cara
melakukan penyaringan dan penilaian terhadap alasan-alasan pembatalan yang
diajukan untuk memastikan bukti-bukti sungguh-sungguh memenuhi unsur yang
dimaksud Pasal 70 UU Arbitrase. Hasilnya ternyata dokumen yang diajukan oleh
pemohon pembatalan tidak memenuhi unsur-unsur Pasal 70 UU Arbitrase. Dengan
demikian dapat dikatakan pemenuhan unsur-unsur yang dimuat dalam Pasal 70
Arbitrase merupakan keharusan.
Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa
atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni
penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi, atau penilaian ahli.
Negosiasi adalah proses konsensus yang digunakan para pihak untuk
memperoleh kesepakatan di antara mereka. Mediasi adalah proses negosiasi
pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (impartial) bekerja
sama dengan pihak yang bersengketa untuk membantu memperoleh kesepakatan
perjanjian dengan memuaskan. Antara mediasi dengan litigasi/arbitrase secara
ringkas dapat dibuat perbandingan sebagai berikut:
Mediasi Litigasi/Arbitrase
Jika mediasi gagal dapat dilanjutkan Upaya hukum terakhir
dengan litigasi atau arbitrase
Jika kesepakatan hasil mediasi Jika putusan tidak dilaksanakan,
dilanggar, harus ajukan gugatan, tidak dapat diminta eksekusi ke
bisa langsung eksekusi. Catatan: Dalam pengadilan
konsep UU ADR hasil kesepakatan
dapat langsung dieksekusi setelah
diberi titel eksekutorial oleh pengadilan.
Pihak yang bersengketa membuat Hakim/arbiter yang membuat
kesepakatan keputusan
Mediator membantu tercapainya Hakim/arbiter memutuskan pihak
kesepakatan yang salah dan benar
Para pihak yang menentukan jalannya Persidangan ditentukan oleh hukum
mediasi acara yang berlaku
Salah satu pihak dapat berkomunikasi Tidak boleh ex parte communication
tersendiri dengan mediator (ex parte
communication)
Kesepakatan merupakan restrukturisasi Keputusan didasarkan pada kontrak
dari kontrak yang disengketakan yang disengketakan
Win-win solution Win-lose judgement
Hubungan bisnis tetap baik Hubungan bisnis rusak
Cepat Lama
Murah Mahal
Rahasia Arbitrase dapat dipublikasikan; litigasi
terbuka untuk umum
Apabila pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu
kesepakatan dan pihak ketiga yang mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa,
proses ini disebut konsiliasi.
Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak
melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan
mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian
sengketa diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu
paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu kesepakatan
tertulis.
Dalam hal sengketa atau beda pendapat tidak dapat diselesaikan, maka atas
kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui
bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator.
Apabila para pihak tersebut dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari
dengan bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang
mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil
mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah
lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk
seorang mediator.
Dalam UU Arbitrase dinyatakan bahwa setelah penunjukan mediator oleh
lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa, dalam waktu
paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.
Usaha penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator dengan
memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus
tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh semua pihak
yang terkait.
Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara tertulis
adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta
wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari
sejak penandatanganan.
Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat wajib selesai
dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran.
Apabila usaha perdamaian tidak dapat dicapai, maka para pihak berdasarkan
kesepakatan secara tertulis dapat mengajukan usaha penyelesaiannya melalui
lembaga arbitrase atau arbitrase adhoc.
ARTIKEL
HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Oleh:
Natalia Kartika Eka Putri (D4-1C/ 17)

JURUSAN AKUNTANSI MANAJEMEN


POLITEKNIK NEGERI MALANG
2014

Anda mungkin juga menyukai