Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH HUKUM INVESTASI

PENANAMAN MODAL, PASAR MODAL DAN


PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN DI
INDONESIA SETELAH MASA REFORMASI

Nama : Ikhwan Ashadi


NIM 1802190020

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
TAHUN 2019

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penanaman modal menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian
nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
nasional, menciptakan lapangan kerja, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan.
Dan tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai bila faktor
penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain melalui :
perbaikan koordinasi antara instansi pemerintah pusat dan daerah, penciptaan birokrasi yang
efisien, kepastian hukum dibidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing
tinggi, iklim usaha yang kondusif dibidang ketenaga kerjaan dan keamanan berusaha.

Hal itulah yang mendasari digantikannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967


tentang Penanaman Modal Asing (PMA) yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
11 Tahun 1970 dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri (PMDN) yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970
selama ini merupakan dasar hukum bagi kegiatan penanaman modal di Indonesia.

Meskipun sejak diundangkannya kedua Undang- Undang tersebut, kegiatan


penanaman modal baik modal asing maupun dalam negeri telah berkembang dan
memberikan kontribusi dalam mendukung pencapaian sasaran pembangunan ekonomi
nasional, namun untuk mempercepat perkembangan ekonomi nasional diperlukan
mengganti kedua Undang-Undang tersebut .

Pada prinsipnya Undang-undang ini mengatur secara komprehensif berbagai hal


mengenai kegiatan penanaman modal langsung di Indonesia untuk menetapkan iklim
investasi yang kondusif tetapi tetap mengedepankan kepentingan nasional. Dasar pemikiran
UU PM ini adalah bahwa investasi merupakan instrumen penting pembangunan nasional
dan diharapkan dapat menciptakan kepastian berusaha bagi penanam modal dalam dan
luar negeri untuk meningkatkan komitmennya berinvestasi di Indonesia.

2
Yang perlu dicermati kemudian adalah dari pasal-pasal yang ada dalam UU
Penanaman Modal, terdapat beberapa hal yang tidak konsisten, dimana terjadi pertentangan
substansi bahkan maksud dan tujuan dari nilai filosofis Undang-undang tersebut. Di dalam
UU Penanaman Modal ini juga banyak memuat bidang yang sebenarnya telah memiliki
aturan perundangan sendiri, seperti misalnya UUPA, UU Pasar Modal, UU PT, dan
lain sebagainya.

Terbentuknya undang-undang nomor 21 tahun 2001 yang kemudian menjadi dasar


dari berdirinya Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut OJK) merupakan suatu
solusi yang diupayakan untuk mendorong efektifitas pengawasan keuangan di Indonesia.
semula pengawasan yang dilakukan dibebankan pada dua lembaga yaitu bank sentral Bank
Indonesia dan oleh Kementerian Keuangan melalui Badan Pengawas Pasar Modal atau
Bapepam. Di negara-negara selain Indonesia praktek yang berlaku juga sama, ada yang
menyatukan semua fungsi pengawasan pada bank sentralnya seperti Indonesia pra-OJK dan
ada pula negara-negara yang membentuk badan pengawasan independen dan terpisah dari
bank sentralnya. Negara-negara tersebut seperti Singapura yang memiliki Monetery Authority
of Singapore (MAS), Amerika Serikat yang memiliki The Federal Reserve (The Fed), dan
Australia yang memiliki badan The Australia Prudential Regulatory Authority (APRA)1.

Ide untuk melepaskan fungsi pengawasan perbankan dari BI sebenarnya telah muncul
sejak jaman pemerintahan Presiden B.J. Habibie, ketika pemerintah menyusun Rancangan
Undang-undang tentang Bank Indonesia (yang kemudian menjadi Undang-undang Nomor 23
Tahun 1999)2. Pada saat itu dirasa perlu untuk memisahkan antara kewenangan kebijakan
perbankan makro dan mikro, dimana bank sentral akan menangani perbankan makro
sedangkan perbankan mikro diserahkan pada suatu lembaga pengawasan jasa keuangan
(LPJK). Namun akhirnya LPJK ini akan menempuh jalan yang panjang sehingga akhirnya
disetujui pada tahun 2010 dan dituangkan kedalam peraturan perundangan pada tahun 20113.

1
Rudy Hendra Pakpahan, 2012, Akibat Hukum DIbentuknya Lembaga Otoritas Jasa Keuangan Terhadap
Pengawasan Lembaga Keuangan di Indonesia, hlm. 3-4
2
Zulkarnain Sitompul, 2004, Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan,Pilars, Januari 2004, No. 2, Tahun
VII, hlm.1
3
Hesti D. Lestari, 2012, Otoritas Jasa Keuangan: Sistem Baru dalam Pengaturan dan Pengawasan Sektor Jasa
Keuangan, Dinamika Hukum, September 2012, No. 3, Vol. 12, hlm. 2
3
Dengan terbentuknya lembaga OJK ini, semua kewenangan-kewenangan pengaturan
dan pengawasan sektor jasa keuangan yang selama ini dilakukan oleh dua lembaga, yaitu
Bank Indonesia mengatur dan mengawasi sektor perbankan dan Bapepam mengatur dan
mengawasi sektor Pasar Modal dan Perasuransian, beralih ke OJK. Hal ini menyebabkan BI
hanya memiliki kewenangan di bidang kebijakan moneter saja, sedangkan Bapepam-LK
melebur menjadi OJK4.

Makalah ini kemudian akan membahas tentang fungsi pengawasan OJK disektor
Pasar Modal yang beralih dari Bapepam ke OJK.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana isi UUPM No.25 Tahun 2007 khususnya tentang PMDN apabila
ditinjau dari ketentuan Pasal 33 UUD 1945?
2. Hal-hal krusial apakah yang perlu dikritisi dalam UUPM serta bagaimana
prospeknya ke depan?
3. Bagaimanakah terbentuknya Lembaga Otoritas Jasa Keuangan?
4. Bagaimanakah fungsi pengawasan yang dilakukan oleh Lembaga Otoritas Jasa
Keuangan pada sektor Pasar Modal?

4
Hesti D. Lestari, Ibid.
4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Lahirnya Undang-Undang Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007

Negara Indonesia adalah negara yang sedang membangun dengan kategori negara
yang sedang berkembang dan menuju menjadi sebuah negara maju. Dalam proses menuju
kesana diperlukan pembangunan infrastruktur riil yang tidak sedikit memakan biaya,
diperlukan adanya modal atau investasi yang besar. Adanya pergerakan investasi
penanaman modal di Indonesia dimulai secara legal sejak dengan adanya pengesahan Undang-
Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang No. 6
Tahun 1986 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Diharapkan dengan adanya dua
instrumen hukum tentang prosedur dan mekanisme investasi, para investor dalam negeri
ataupun asing merasa aman untuk melakukan usaha di Indonesia.

Secara umum gambaran situasional tentang pengembangan investasi penanaman


modal di Indonesia digambarkan menjadi dua, yaitu pada masa orde baru dan orde
reformasi. Dengan penggambaran situasi dua masa transisi tersebut, dapat kita ambil
beberapa arah kebijakan pokok yang digunakan dalam Undang-Undang Penanaman
Modal ke depan seperti apa.

Dalam era orde baru yang dimulai dengan tahun 1967 sampai dengan 1997. Dalam
kategori investasi asing, dari tahun ketahun mengalami kenaikan jumlah yang sangat
signifikan dan mengalami peningkatan kuantitas baik dalam jumlah investor ataupun
modal yang disertakannya. Hal yang sama juga terjadi pada investor dalam negeri.
Sedangkan pada masa reformasi yang dimulai sejak tahun 1998 sampai dengan sekarang ini.
Baik pada tingkatan investor asing ataupun lokal dalam negeri mengalami penurunan yang
sangat signifikan dari tahun ke tahun-tahun.

Hal ini yang menjadi bahan kajian dari para ahli atas penurunan daya investor
terhadap Indonesia baik itu modal asing ataupun lokal. Pada masa orde baru kenaikan
investasi dari tahun ke tahun mengalami kenaikan yang cukup signifikan dan

5
menggembirakan untuk perkembangan perekonomian Indonesia. Akan tetapi, pada masa
reformasi justru mengalami penurunan dari tahun ketahun.

Pada era orde baru, jumlah investasi yang diinvestasikan di Indonesia cukup tinggi.
Hal ini disebabkan stabilitas politik, ekonomi, keamanan dan pertahanan, sosial dan
kemasyarakatan dalam keadaan aman dan terkendali sehingga para investor mendapat
perlindungan dan jaminan keamanan dalam berusaha di Indonesia. Sementara itu, dalam
kuantitas investasi, khususnya modal asing yang masuk ke Indonesia, sejak era reformasi
mengalami penurunan yang sangat signifikan dari tahun ke tahun. Tahun 1998 sampai
dengan sekarang ini merupakan masa transisi, dari orde baru ke masa reformasi. Pada saat
sekarang ini, sering terjadi konflik. Yang pertama adalah pada tahun 1998, yaitu pada awal
Presiden Suharto sebagai Presiden RI selama kurang lebih 32 tahun berkuasa, tepatnya pada
tanggal 21 Mei 1998 sebagai awal momentum mulainya era reformasi.

Ada dua hambatan atau kendala yang dihadapi dalam menggerakkan investasi di Indonesia,
sebagaimana diinventarisir oleh BKPM, yaitu persoalan internal dan eksternal. Kendala
internal antara lain adalah (1) kesulitan perusahaan mndapatkan lahan atau lokasi proyek
yang sesuai; (2) kesulitan dalam memperoleh bahan baku atau mentah oleh produksi; (3)
kesulitan dari segi dana atau pembiayaan proyek; (4) kesulitan pemasaran produk; (5) adanya
sengketa atau perselisihan diantara para pemegang saham dalam perusahaan. Sedangkan
kendala internalnya diantaranya adalah (1) faktor lingkungan bisnis, baik nasional, regional
atapun secara global yang tidak mendukung serta kurang menariknya insentif atau fasilitas
investasi yang diberikan pemerintah; (2) masalah pengaturan hukum; (3) keamanan, termasuk
dalam hal ini stabilitas politik yang merupakan indikator penting bagi para investor demi
terjaminnya modal yang diikutsertakan; (4) adanya peraturan yang inkonsistensi dengan
peraturan yang lebih tinggi, seperti Peraturan Daerah, Keputusan Menteri, ataupun
peraturan lainnya yang mendistorsi peraturan mengenai penanaman modal; dan (5)
adanya Undang-Undang Kehutanan NO. 41 tahun 1999 yang menimbulkan ketidakpastian
dalam pemanfaaatan areal hutan bagi industri pertambangan.

Pada tahun 2006, BKPM juga mengemukakan hambatan-hambatan dalam


pelaksanaan investasi di Indonesia. Diantaranya adalah (1) kenaikan harga bahan bakar
minyak yang mendorong kenaikan nilai investasi dan ongkos produksi; (2) menurunnya
komitmen investasi tahun 2004 dan 2005 dibandingkan dengan tahun-tahun
6
sebelumnya; (3) krisis ketenagalistrikan di sepuluh wilayah di Indonesia; (4) krisis gas di
Jawa Barat dan Jawa Timur sehingga menunda ekspansi usaha; (5) masalah perbururan; dan
(6) harmonisasi penarikan tarif pajak.

Adanya alasan perubahan kedua undang- undang ini adalah karena tidak sesuai lagi
dengan tantangan dan kebutuhan untuk mempercepat perkembangan perekonomian
nasional, melalui kontruksi pemabangunan hukum nasional di bidang Penanaman Modal yang
berdaya saing dan berpihak kepada kepentingan nasional.

Pada tahun 2006, pemerintah telah mengajukan Rancangan Undang-Undang


tentang Penanaman Modal dan pada tanggal 29 Maret 2007, RUU itu telah disahkan oleh
DPR RI dengan menjadi Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 yang terdiri atas 14 bab dan 40
pasal. Secara garis besar pengesahan peraturan ini memberikan keistimewaan tersendiri
pada para investor dalam segala hal, khususnya bagi investor asing. Hal ini disebabkan
peraturan baru ini dimaksudkan untuk memberikan6 (1) Kepastian hukum; (2)
Transparansi; (3) Tidak membeda-bedakan setiap investor; dan (4) Memberikan kepastian
yang sama kepada para investor dalam dan luar negeri.

Disamping itu, dalam peraturan baru tersebut diatur tentang fasilitas atau kemudahan-
kemudahan yang diberikan kepada para investor. Diantaranya adalah (1) fasilitas PPh
melalui pengurangan penghasilan netto; (2) pembebasan atau keringanan bea masuk impor
barang modal yang belum bisa diproduksi di dalam negeri; (3) pembebasan bea masuk bahan
baku atau penolong untuk dkeperluan produksi tertentu; (4) pembebasan atau penangguhan
pajak penghasilan (PPn) atas impor barang modal; (5) penyusutan atau amortasisasi yang
dipercepat; (6) keringan pajak buni dan bangunan (PBB); (7) pembebasan atau
pengurangan pajak penghasilan badan; (8) fasilitas hak atas tanah; (9) fasilitas pelayanan
keimigrasian; dan (10) fasilitas perizinan impor.

Adanya berbagai kemudahan fasilitas bagi investor, terutama investor asing agar
mau menanamkan investasinya di Indonesia. Manfaat adanya investasi itu sendiri adalah
dengan bergeraknya dunia perekonomian Indonesia yang tujuan utamanya adalah
mensejahterkan rakyatnya dengan menampung tenaga kerja, meningkatnya kualitas
masyarakat yang berada di daerah investasi dan lain sebagainya.

7
Prospek ke depan penanaman modal asing di Indonesia memberikan efek yang sangat
positif bagi perkembangan pembangunan Indonesia. Akan tetapi dengan adanya Undang-
Undang No. 1 tahun 1967 dan Undang-Undang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman
Modal dalam Negeri belum memberikan hasil yang maksimal dan perlu diperbesar lagi.
Sebab tanpa dorongan dukungan penenaman modal, tentu target pemerintah untuk
mempertahankan laju pertumbuhan ekonomi tidak akan mudah tercapai. Oleh karena itu
upaya peningkatan investasi modal terus diupayakan dan hal tersebut memerlukan kebijakan
deregulasi yang konsisten.

Melihat kenyataan di Indonesia dari perkembangan masa orde baru ke arah


perubahan era reformasi, tentu diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk
meningkatkan kuantitas investor dalam penanaman modal Indonesia yang sangat menentukan
kearah kebijakan pembangunan ekonomi nasional. Selain itu, peran yang dimainkan oleh
penenaman modal bukan saja dalam menutup peran tabungan nasional untuk investasi
pembangunan yang selama ini masih mengalami defisit, terutama era reformasi. Akan tetapi,
yang terpenting adalah bagaimana mendorong peningkatan penanaman modal di
Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa penenaman modal di Indonesia adalah salah satu
sasaran pokoknya adalah dalam rangka membantu membiayai proyek- proyek nasional yang
pada akhirnya memberikan kontribusi dalam pembangunan nasional. Hal itu sejalan dengan
yang tertera dalam kebijakan pembangunan nasional.

Dinamika pembangunan nasional memerlukan langkah-langkah pembaharuan di


berbagai bidang, apalagi Indonesia sekarang ini telah memasuki dekade pembangunan dan
berada pada posisi transisional untuk menuju negara yang maju, aman, adil, dan sejahtera.
Kesemua langkah tersebut memerlukan kesipan sumber daya manusia untuk dapat
mengantisipasi setiap perkembangan dan perubahan yang terjadi. Dalam kaitan tersebut,
maka diperlukan rumusan kerangka dasar dan arah serta kebijakan pengembangan penanaman
modal guna menopang pertumbuhan ekonomi dan memacu gerak pembangunan nasional.

Indonesia yang merupakan negara kaya raya akan sumber daya alam dan memiliki
potensi pengelolaan yang sangat besar, dirasakan belum maksimal. Pengelolaan potensi
ekonomi adalah wajib sekarang ini untuk diregulasi oleh pemerintah, terutama prospek
ekonomi riil berupa barang dan jasa yang tidak memerlukan modal yang besar tetapi juga
membutuhkan teknologi dan ketrampilan serta manajemen yang kesemuanya itu diperoleh
8
melalui kegiatan penanaman modal khususnya penanaman modal asing. Bisa saja secara paket
atau praktis membuat kebijakan tersebut sebagai daya tarik bagi para investor penanam
modal, akan tetapi yang harus dipikirkan secara komprehensif adalah sebuah aturan
penanaman modal yang sekondusif mungkin, kepastian hukum yang memadai, perbaikan
infrastruktur serta insentif yang lainnya.

Pergerakan perkembangan prospek penenaman modal asing sangat


menjanjikan, asalkan pemerintah sebagai pihak pembuat regulator membuat kebijakan
yang mendukung (market friendly) kegiatan perekonomian secara fair, adil tanpa ada unsur
diskriminasi di dalamanya. Menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara tujuan investasi
atau penenaman modal tidaklah sulit asal kondisi ekonomi nasional kita stabil, keamanan
dapat terjaga dengan baik, kepastian hukum dapat diciptakan, sehingga penanaman modal
dapat berjalan dengan baik.

Tuntutan diatas adalah sangat penting untuk direalisasikan agar aplikasi


pengembangan penenaman modal dapat dilakukan secara terarah, runtun dan terukur.
Hanya dengan melakukan semua langkah tersebut bisa diharapkan akan menjadi
peningkatan aplikasi penanaman modal khususnya penanaman modal asing di Indonesia.
Adanya faktor objektif dan subjektif harus selalu disandingkan untuk memperoleh suatu
perbandingan dan evaluasi yang benar dan tetpat sasaran. Sebab, selama kita menggunakan
tolak ukur yang kabur untuk mengukur tingkat keberhasilan kita dalam menarik dan
mengembangkan penanaman modal. Apalagi dikaitkan dengan faktor subjektif yang
tidak mendasar atas apriori terhadap kehadiran modal asing di Indonesia.

Memberikan berbagai kemudahan dan insentif guna menarik dan mengembangkan


penanaman modal bukanlah hal mudah, sebab seringkali terkait dengan persoalan politik dan
nasionalisme sempit. Pemahaman yang terlalu sempit menimbulkan berbagai persepsi dan
rasa antipati terhadap kehadiran penanaman modal, yang sebenarnya tidak sesederhana
pemikirannya. Namun, memerlukan keluasan pandangan dan berani melakukan
terobosan pemilihan dengan melihat aspek positif kehadiran modal baik itu dalam negeri atau
asing dan bukan malah sebaliknya.

9
B. Pro dan Kontra Terhadap UUPM No. 25 Tahun 2007

Dengan lahirnya Undang-Undang No. 25 tahun 2007 setidaknya memberikan


dampak bagi masyarakat, sehingga terjadi dalam masyarakat adalah adanya masyarakat
yang mendukung dan tidak. Dalam aspek ilmu perundang-undangan adanya kontroversial
suatu peraturan yang baru adalah hal yang biasa dikarenakan diperlukan penyesuaian dari
masyarakat terutama para pelaku bisnis dan gencarnya gerakan pemerintah sendiri untuk
sosialisasi peraturan penanaman modal yang baru tersebut.

Mengenai investasi asing sebagai implikasi regulasi baru tersebut, kelompok yang
menentang kehadiran penanaman modal asing di Indonesia mendasarkan argumentasinya
pada tiga masalah pokok yang menurut mereka pemerintah tidak pernah menghiraukannya.
Yaitu:

1. Dalam usaha menarik penanaman modal khususnya penanaman modal


asing, pemerintah terlalu bermurah hati melalui beberapa kebijakan yang
dianggap sangat menguntungkan penenaman modal. Seperti, kebijakan keringanan
pajak (tax holiday), pembebasan pajak untuk jangka waktu tertentu yangsebetulnya
pemerintah telah menanggung suatu kerugaian;
2. Adanya beban biaya penyesuaian (adjusment cost) yang harus ditanggung oleh
industri- industri tradisional yang tentunya akan dapat berakibat pada
ketidakmampuan industri tradisional untuk dapat bersaing, bukan hanya untuk lokal,
tapi juga untuk eksport;
3. Kehadiran penanaman modal, khususnya penanaman modal asing dianggap
telah menciptakan ketergantungan kepada negara- negara maju yang pada akhirnya
melahirkan penjajakan ekonomi.

Melihat pengalaman negara-negara latin khususnya negara-negara Amerika


Latin, tentu argumentasi diatas dapat dibenarkan oleh karena sebagian besar negara-negara
Amerika Latin yang pernah menerima penanaman modal asing dari segi keuntungan dan
kontribusi nyata penanaman modal asing terhadap negara penerima modal sangat tidak
memadai. Untuk itu, terpulang kepada pemerintah negara penerima modal dalam
mengarahkan dan mengendalikan penanaman modal khususnya penaaman modal asing

10
agar kontribusi nyata dapat diberikan, bukan hanya royalty dan pajak saja, tetapi juga biaya
yang berkaitan dengan community development.

Persoalan lainnya adalah dampak negatif dari penanaman modal, khususnya


penanaman modal asing adalah: (1) Perusahaan multinasional berdampak negatif bagi
perekonomian negara penerima; (2) Perusahaan multinasional melahirkan sengketa dengan
negara penerima atau dengan penduduk asli miskin setempat, khususnya negara yang
sedang berkembang;(3) Perusahaan multinasional dapat mengintrol atau mendominasi
perusahaan-perusahaan lokal. Sebagai akibatnya, mereka dapat mempengaruhi kebijakan-
kebijakan ekonomi atau bahkan kebijakan politis dari negar penerima;(4) Perusahaan
multinasional banyak dikecam telah mengembalikan keuntungan- keuntungan dari
kegiatan bisnisnya ke negara tempat induknya berada. Praktik seperti ini setidaknya
telah mengurangi cadangan persediaan mata uang asing dari negara penerima; (5) Adanya
tuduhan peruhaan multinasional yang kegiatan usahanya ternyata telah merusak
lingkungan di sekitar lokasi usahanya, terutama negara-negara yang sedang berkembang.
Pasalnya perusahaan multinasional telah menggunakan zat-zat yang membahayakan
lingkungan lingkungan atau menerapkan teknologi yang tidak atau kurang
memperhatikan kelestarian lingkungan; (6) Perusahaan multinasional dikritik telah
merusak aspek-aspek positif dari penanaman modal di negara-negara berkembang.

Sedangkan dari para pihak yang mendukung atas pemberlakuan regulasi baru
penanaman modal ini atau atas jeberadaan investor, terutama investor asing memberikan
dampak positif bagi perkembangan ekonomi pembangunan Indonesia. Mereka beralasan
bahwa12: (1) Masalah gaji. Perusahaan asing membayar gaji pegawainya lebih tinggi
dibandingkan gaji rata-rata yang berlaku di Indonesia; (2) Perusahaan asing menciptakan
lapangan pekerjaan lebih cepat dibandingkan perusahaan domestik sejenis; (3) Perusahaan
asing tidak segan-segan mengeluarkan biaya di bidang pendidikan; (4) Perusahaan asing
cenderung mengekspor lebih banyak dibandingkan perusahaan domestik.

Sedangkan dalam bidang migas dampak investasi asing adalah sebagai


berikut13: (1) Produksi minyak dan gas bumi dari lapangan yang dikelola langsung oleh
perusahaan asing atau yang berbentuk joint venture terus meningkat, sedangkan produksi
minyak perusahaan Pertamina sendiri justru menurun; (2) Jumlah Pegawai perusahaan asing
dan perusahaan jasa penunjang asing terus meningkat; (3) Gaji dan fasilitas yang diberikan
11
juga lebih baik dibandingkan dengan gaji rata-rata perusahaan nasional;(4) Beberapa
perusahaan asing industri migas bahkan menjadikan Indonesia sebagai kantor pusat; (5)
Perusahaan asing mulai meningkatkan investasi di bidang pendidikan, pelatihan, dan
penelitian. (6) Terciptanya lapangan kerja baru; (7) Secara tidak langsung mereka juga
membawa pengetahuan manajemen dan etika bisnis yang profesional.

John. W Head juga mengemukakan tujuh keuntungan investasi, khususnya investasi


asing. Ketujuh keuntungan investasi asing itu adalah14: (1) Menciptakan lowongan kerja bagi
penduduk negara tuan rumah sehingga mereka dapat meningkaatkan kualitas penghasilan
dan standar hidup mereka; (2) Menciptakan kesempatan penanaman modal bagi
penduduk negara tuan rumah sehingga mereka dapat berbagi dari pendapatan
perusahaan-perusahaan baru; (3) Meningkatkan ekspor dari negara tuan rumah,
mendatangkan pengahasilan tambahan dari luar yang dapt dipergunakan untuk berbagai
keperluan bagi kepentingan penduduknya; (4) Menghasilkan pengalihan peralihan
pelatihan teknis dan pengetahuan yang dapat digunakan oleh penduduk untuk
mengembangkan perusahaan dan industri lain; (5) Memperluas potensi keswasenbadaan
negara taun rumah dengan memproduksi barang setempat untuk menggantikan barang impor;
(6) Menghasilkan pendapatan pajak tambahan yang dapat digunakan untuk berbagai
keperluan, demi kepentingan penduduk negara tuan rumah; (7) Membuat sumber daya
negara tuan rumah baik sumber daya alam maupun manusia, agar lebih baik dari
pemanfaatannya semula.

C. Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan

Terdapat dua aliran (school of thought) dalam hal pengawasan lembaga keuangan
secara teoritis, disatu pihak terdapat aliran yang mengatakan bahwa pengawasan industri
keuangan sebaiknya dilakukan oleh beberapa institusi. Kemudian dipihak lain ada aliran yang
berpendapat pengawasan industri keuangan lebih tepat apabila dilakukan oleh beberapa
lembaga. Alasan dasar yang melatarbelakangi kedua aliran ini adalah kesesuaian dengan
sistem perbankan yang dianut oleh negara tersebut. Juga, seberapa dalam konvergensi
diantara lembaga-lembaga keuangan. Dari sudut sistem, terdapat dua sistem perbankan yang
berlaku yaitu commercial banking system dan universal banking system. Commercial

12
banking, seperti yang berlaku di negara kita dan di Amerika Serikat, melarang bank
melakukan kegiatan usaha keuangan non bank seperti asuransi. Hal ini berbeda dengan
universal banking, dianut oleh antara lain negara-negara Eropa dan Jepang, yang
membolehkan bank melakukan kegiatan usaha keuangan non bank seperti investmen banking
dan asuransi5.

Selanjutnya, selain alasan sistem perbankan yang berlaku yang juga menjadi dasar
pertimbangan adalah seberapa dalam telah terjadi konvergensi pada industri keuangan.
Konvergensi yang dalam akan menyebabkan munculnya masalah kewenangan regulasi. Hal
ini terjadi karena produk-produk yang dihasilkan lembaga-lembaga keuangan sudah
sedemikian menyatunya sehinga sulit menentukan apakah suatu produk keuangan tertentu
dihasilkan oleh industri perbankan sehingga diregulasi oleh bank sentral atau produk
perusahaan sekuritas dan harus tunduk pada regulasi Bapepam. Dengan diserahkannya
kewenangan pengawasan kepada satu institusi maka masalah kewenangan regulasi tersebut
akan terpecahkan6.

Secara historis, ide pembentukan otoritas jasa keuangan (OJK) sebenarnya adalah
hasil kompromi untuk menghindari jalan buntu pembahasan Undang-undang tentang Bank
Indonesia oleh DPR. Pembentukan OJK dilatarbelakangi adanya krisis moneter yang
melanda Indonesia di akhir tahun 1990an. Krisis tersebut mengakibatkan dilikuidiasinya 16
bank dan dikucurkannya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada sejumlah bank.
Lemahnya pengawasan perbankan oleh BI menyebabkan jatuhnya industri perbankan dan
terpuruknya perekonomian Indonesia yang berkepanjangan. Untuk menyikapinya, pada awal
pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah mengajukan RUU tentang Bank Indonesia yang
memberikan independensi kepada Bank Sentral. RUU ini di samping memberikan
independensi tetapi juga mengeluarkan fungsi pengawasan perbankan dari Bank Indonesia.
Ide pemisahan fungsi pengawasan dari Bank Sentral ini datang dari Helmut Schlesinger,
mantan gubernur Bundesbank (Bank Sentral Jerman) yang pada waktu penyusunan RUU
(Kemudian menjadi Undang-undang No. 23 Tahun 1999) bertindak sebagai konsultan.

5
Zulkarnain Sitompul, Op.Cit.
6
Ibid.
13
Mengambil pola Bank Sentral Jerman yang tidak mengawasi bank 7. Dengan mengalihkan
fungsi pengawasan dari BI ke OJK diharapkan dapat membawa perubahan yang signifikan.

D. Fungsi Pengawasan Lembaga Otoritas Jasa Keuangan di Sektor Pasar Modal

Berdasarkan pasal 1 undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa


Keuangan (selanjutnya disebut UU OJK) Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat
OJK, adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain.

Secara kelembagaan mengenai independensi OJK berada di luar pemerintah yang


dimaknai bahwa otoritas jasa keuangan tidak menjadi bagian dari kekuasaan pemerintah.
Namun, tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakilan pemerintah karena
hakikat OJK merupakan otoritas di sektor jasa keuangan dibidang fiskal.

Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas dan wewenangnya berlandaskan asas-


asas sebagai berikut8:

a. asas independensi, yakni independen dalam pengambilan keputusan dan


pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b. asas kepastian hukum, yakni asas dalam negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan;
c. asas kepentingan umum, yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan
konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;
d. asas keterbukaan, yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia negara, termasuk
rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;

7
Zulkarnain Sitompul, 2005, Problematika Perbankan, Books Terrace&Library, Bandung, hlm.144
8
Penjelasan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
14
e. asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan
tugas dan wewenang Otoritas Jasa Keuangan, dengan tetap berlandaskan pada
kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam
setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Otoritas Jasa
Keuangan; dan
g. asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil
akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan Otoritas Jasa Keuangan harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada publik.

Fungsi, tugas, dan wewenangnya kemudian juga diatur dalam pasal-pasal undang-
undang ini, salah satunya adalah pengawasan di sektor pasar modal. Dalam undang-undang
ini, masih dalam pasal 1, telah diberikan batasan yang jelas tentang apa yang dimaksud
dengan Pasar Modal. Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran
Umum dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang
diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek tersebut.

Jika dilihat definisi Pasar Modal dari Undang-Undang OJK, maka definisi Pasar
Modal pada UU OJK tetap mengacu pada Pasal 1 angka 13 Undang-undang Pasar Modal.
Sedangkan pemodal yang disebut-sebut dalam UUPM lebih ditegaskan dalam Pasal 1 angka
15 UU OJK dengan sebutan “konsumen”. Dalam UU OJK definisi konsumen adalah “pihak-
pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di
Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal,
pemegang polis pada Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun, berdasarkan peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan”.

OJK melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap beberapa sektor,


yaitu:

a. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;


b. Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
c. Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun Lembaga
Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

15
Dalam pasal 55 ayat (1) UU OJK tentang ketentuan peralihan juga telah jelas
disebutkan bahwa:

“Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan


dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari
Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke
OJK.”

Ketentuan ini dengan jelas telah memberikan amanat bahwa semua fungsi
pengawasan yang dilakukan oleh Bapepam, beralih menjadi wewenang OJK, termasuk pula
pengawasan pasar modal.

Adapun pihak-pihak yang diawasi oleh OJK dalam hal sektor Pasar modal ini adalah:

1. Emiten dan Perusahaan Publik

Emiten adalah Pihak yang melakukan Penawaran Umum, sedangkan


Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang dilakukan oleh Emiten
untuk menjual

Efek kepada masyarakat dan Efek adalah Efek adalah surat berharga, yaitu
surat pengakuan utang, surat berharga komersial , saham, obligasi, tanda bukti utang,
Unit Penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas Efek, dan setiap
derivatif dari Efek. Perusahaan publik atau Perusahaan terbuka adalah perusahaan
yang sebagian atau seluruh sahamnya dimiliki oleh masyarakat. Penjualan saham ke
masyarakat dilakukan dengan cara Initial Public Offering (IPO).

OJK mengawasi data mengenai seluruh Emiten dan Perusahaan Publik yang
telah mendapatkan Pernyataan Efektif dari Bapepam dan ditampilkan dari Sistem
Database Emiten dan Perusahaan Publik (CoreSystem) yang dikembangkan oleh
Bapepam-LK.

2. Reksa Dana

Reksa Dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari
masyarakat pemodal untuk selanjutnya diinvestasikan dalam Portofolio Efek oleh

16
Manajer Investasi. OJK mengawasi beberapa Agen Penjual Efek Reksa Dana Yang
Sudah Terdaftar di Bapepam-LK. Data aktivitas dan pengelolaan Reksa Dana
ditampilkan dalam Sistem Pusat Informasi Reksa Dana. Melalui sistem ini, akan
diperoleh gambaran aktivitas Reksa Dana secara keseluruhan (industri) maupun
individual.

3. Wakil Perusahaan Efek

Wakil Perusahaan Efek adalah pihak perwakilan Perusahaan Efek yang


melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek, Perantara Pedagang Efek,
dan atau Manajer Investasi. OJK mengawasi berdasarkan Database Wakil Perusahaan
Efek yang telah mendapatkan izin orang perseorangan sebagai Wakil Perusahaan
Efek. Izin orang perseorangan bagi Wakil Perusahaan Efek meliputi izin sebagai
Wakil Perantara Pedagang Efek (PPE), Wakil Penjamin Emisi Efek (PEE), dan Wakil
Manajer Investasi (MI).

4. Profesi Penunjang

Profesi Penunjang adalah profesi pemberian jasa mengenai pendapat atau


penilaian yang diberikan oleh Profesi Penunjang Pasar Modal yang dilakukan secara
profesional dan bebas dari pengaruh Pihak yang memberikan tugas dan menggunakan
jasa Profesi Penunjang Pasar Modal tersebut dan atau afiliasinya sehingga pendapat
atau penilaian yang diberikan objektif dan wajar.

5. Lembaga Penunjang Pasar Modal

Lembaga Penunjang Pasar Modal terdiri dari:

a. Kustodian
b. Kustodian adalah Pihak yang memberikan jasa penitipan Efek dan
harta lain yang berkaitan dengan Efek serta jasa lain, termasuk
menerima dividen, bunga, dan hak - hak lain, menyelesaikan transaksi
Efek, dan mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
c. Wali Amanat.
d. Wali amanat adalah Pihak yang mewakili kepentingan pemegang Efek
yang bersifat utang. Wali Amanat mewakili kepentingan pemegang

17
Efek bersifat utang atau sukuk baik di dalam maupun di luar
pengadilan. Dalam hal ini Wali Amanat diberi kuasa berdasarkan
Undang-Undang ini untuk mewakili pemegang efek bersifat utang atau
sukukdalam melakukan tindakan hukum yang berkaitan dengan
kepentingan pemegang efek bersifat utang atau sukuk tersebut,
termasuk melakukan penuntutan hak-hak pemegang efek bersifat utang
atau sukuk baik di dalam maupun di luar pengadilan tanpa memerlukan
surat kuasa khusus dari pemegang efek bersifat utang atau sukuk
dimaksud.
e. Biro Administrasi Efek.
f. Biro Administrasi Efek adalah Pihak yang berdasarkan kontrak dengan
Emiten melaksanakan pencatatan pemilikan Efek dan pembagian hak
yang berkaitan dengan Efek.
g. Pemeringkat Efek.
h. Perusahaan Pemeringkat Efek adalah Penasihat Investasi berbentuk
Perseroan Terbatas yang melakukan kegiatan pemeringkatan dan
memberikan peringkat. Dalam melaksanakan kegiatannya, Perusahaan
Pemeringkat Efek wajib terlebih dahulu mendapatkan izin usaha dari
Bapepam dan LK. Perusahaan Pemeringkat Efek wajib melakukan
kegiatan pemeringkatan secara independen, bebas dari pengaruh pihak
yang memanfaatkan jasa Perusahaan Pemeringkat Efek, obyektif, dan
dapat dipertanggungjawabkan dalam pemberian Peringkat. Perusahaan
Pemeringkat Efek dapat melakukan

Pedelegasian tugas, fungsi dan kewenangan Bapepam kini beralih ke Otoritas Jasa
Keuangan (OJK). Kekuasaan yang sangat besar dan unik yang dimiliki oleh Bapepam
diserahkan kepada OJK. Bapepam tidak hanya bertindak sebagai regulator tetapi juga
mempunyai kekuasaan “kepolisian”, serta dapat bertindak dan berwenang menggunakan
kekuasaannya yang bersifat quasi-judicial9. Kekuasaan Bapepam yang besar ini dapat dilihat
didalam pasal 5 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal, yang
memberikan kewenangan bagi Bapepam, antara lain untuk:

9
Hamud M. Balfas, 2006, Hukum Pasar Modal Indonesia, Tata Nusa, Jakarta, hlm.5
18
1. memberi :
a. izin usaha kepada Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan,
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Reksa Dana, Perusahaan
Efek, Penasihat Investasi, dan Biro Administrasi Efek;
b. izin orang perseorangan bagi Wakil Penjamin Emisi Efek, Wakil
Perantara Pedagang Efek, dan Wakil Manajer Investasi; dan
c. persetujuan bagi Bank Kustodian;
2. mewajibkan pendaftaran Profesi Penunjang Pasar Modal dan Wali Amanat;
3. menetapkan persyaratan dan tata cara pencalonan dan memberhentikan untuk
sementara waktu komisaris dan atau direktur serta menunjuk manajemen
sementara Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga
Penyimpanan dan Penyelesaian sampai dengan dipilihnya komisaris dan atau
direktur yang baru;
4. menetapkan persyaratan dan tata cara Pernyataan Pendaftaran serta
menyatakan, menunda,atau membatalkan efektifnya Pernyataan Pendaftaran;
5. mengadakan pemeriksaan dan penyidikan terhadap setiap Pihak dalam ha l
terjadi peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran terhadap Undang-
undang ini dan atau peraturan pelaksanaannya;
6. mewajibkan setiap Pihak untuk :
a. menghentikan atau memperbaiki iklan atau promosi yang berhubungan
dengan kegiatan di Pasar Modal; atau
b. mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi akibat
yang timbul dari iklan atau promosi dimaksud;
7. melakukan pemeriksaan terhadap :
a. setiap Emiten atau Perusahaan Publik yang telah atau diwajibkan
menyampaikan Pernyataan Pendaftaran kepada Bapepam; atau
b. Pihak yang dipersyaratkan memiliki izin usaha, izin orang
perseorangan, persetujuan, atau pendaftaran profesi berdasarkan
Undang-undang.
8. menunjuk Pihak lain untuk melakukan pemeriksaan tertentu dalam rangka
pelaksanaan wewenang Bapepam sebagaimana dimaksud dalam huruf g;
9. mengumumkan hasil pemeriksaan;

19
10. membekukan atau membatalkan pencatatan suatu Efek pada Bursa Efek atau
menghentikan Transaksi Bursa atas Efek tertentu untuk jangka waktu tertentu
guna melindungi kepentingan pemodal;
11. menghentikan kegiatan perdagangan Bursa Efek untuk jangka waktu tertentu
dalam hal keadaan darurat;
12. memeriksa keberatan yang diajukan oleh Pihak yang dikenakan sanksi oleh
Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian serta memberikan keputusan membatalkan atau menguatkan
pengenaan sanksi dimaksud;
13. menetapkan biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, pemeriksaan, dan
penelitian serta biaya lain dalam rangka kegiatan Pasar Modal;
14. melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencegah kerugian masyarakat
sebagai akibat pelanggaran atas ketentuan di bidang Pasar Modal;
15. memberikan penjelasan lebih lanjut yang bersifat teknis atas Undang-undang
ini atau peraturan pelaksanaannya;
16. menetapkan instrumen lain sebagai Efek selain yang telah ditentukan dalam
Pasal 1 angka 5; dan
17. melakukan hal-hal lain yang diberikan berdasarkan Undang-undang.

20
BAB III

PENUTUP

Simpulan

Dari hasil pembahasan diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Dengan adanya UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal ini memberikan
gambaran terhadap kekuatan liberaisme pasar internasional dalam sistem
perekonomiannya sudah menganut faham liberalisme ekonomi dalam segi sendi-sendi
berjalannya sistem perekonomiannya. Bagi Indonesia karena
ketergantungannya terhadap negara pendonor (rata-rata negara maju) mau tidak
mau harus melapangkan jalan untuk masuknya sistem liberalisme ini menjadi
suatu sistem di Indonesia. Padahal banyak sekali aturan di dalam UU No. 25 tahun
2007 itu yang bertentangan dengan semangat yang ada dalam pasal 33 UUD 1945
dan salah satunya dalam pasal 22 UU No. 25 tahun 2007 yang sudah dianulir
sebagian isi pasalnya oleh Mahkamah Konstitusi (dalam Putusan MK No.
21dan 22/PUU-V/2007, Selasa 25 Maret 2008). Secara prinsip seharusnya
dibatalkan saja peraturan tersebut seperti yang terjadi pada peraturan Komisi
Kebenaran dan Rekonsilisasi (KKR).

Secara umum sekarang ini dan yang akan datang, dengan adanya aturan dari
UUPM akan memberikan konflik antar hukum. Hal ini dilihat dari mekanisme
pengaturan undang-undang tersebut yang mencakup berbagai aspek. Misalkan saja
pengaturan tentang badan hukum dari investor, pada masalah pengaturan tenaga kerja,
pembagian wilayah kerja pemerintah pusat dan daerah, perpajakan, dan lain
sebagainya.

Dalam bidang pembentukan badan usaha, peluang terjadinya konflik adalah


mengenai mekanisme pembagian berapa prosentase antara kepemilikan saham dari
asing dan lokal tidak diatur secara jelas. Juga bagaimana mekanisme
pembentukan badan usaha luar negeri (asing) yang berinvestasi di Indonesia yang

21
murni dari pemilikan saham adalah orang/badan hukum asing yang mana hal ini akan
menjadikan penggelapan-penggelapan hukum.

2. Diperlukan adanya political will dari pemerintah serta kepekaan para pihak yang
merasa dirugikan degan lahirnya undang-undang ini untuk diajukan kepada
Mahkamah Konstitusi guna pembatalan keseluruhan atas isi materi muatan dari UU
No. 25 tahun 2007. Hal ini bisa dilakukan pembatalan
3. Otoritas Jasa Keuangan dibentuk sebagai solusi terhadap pengawasan sektor
keuangan yang dirasakan masih kurang efektif. Dengan dilakukannya pemisahan
terhadap fungsi pengawasan dari bank sentral diharapkan akan membawa perubahan
yang lebih signifikan terhadap fungsi pengawasan baik dalam sektor perbankan
maupun sektor pasar modal.
4. Pengalihan wewenang pengawasan ini menyebabkan perubahan terhadap dua
lembaga yang dahulu memegang wewenang tersebut, yaitu Bank Indonesia yang
kini hanya memegang sektor makro keuangan, dan Bapepam-LK yang akhirnya
dileburkan ke dalam OJK.
5. Pengawasan yang dilakukan OJK dalam pengawasannya terhadap sektor pasar
modal hanya mewarisi apa yang telah diatur untuk diatur oleh Bapepam dan tidak
memiliki banyak perubahan.

22
Daftar Pustaka

Rudy Hendra Pakpahan. 2012. Akibat Hukum Dibentuknya Lembaga Otoritas Jasa
Keuangan Terhadap Pengawasan Lembaga Keuangan di Indonesia.

Zulkarnain Sitompul. 2004. Menyambut Kehadiran Otoritas Jasa Keuangan. Jurnal


Pilars. Januari 2004. No. 2. Vol. VII.

Hesti D. Lestari. 2012. Otoritas Jasa Keuangan: Sistem Baru dalam Pengaturan dan
Pengawasan Sektor Jasa Keuangan. Jurnal Dinamika Hukum. September 2012.
No. 3. Vol. XII.

Zulkarnain Sitompul. 2005. Problematika Perbankan. Bandung: Books Terrace&Library.

Hamud M. Balfas. 2006. Hukum Pasar Modal Indonesia. Jakarta: Tata Nusa

Aminuddin Ilmar (2007), Penanaman Modal DI Indonesia , Prenada Media Group;


Jakarta.

Husendro, Ancaman Judicial Review Terhadap Undang-undang Penanaman Modal


Tahun 2007.

Salim HS & Budi Sutrisno (2007), Hukum Investasi di Indonesia, Rajawali Press;
Jakarta.

Sumantoro, Hukum Ekonomi, Universitas Indonesia Press, 1986.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa


Keuangan. Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111.

Penjelasan atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang


Otoritas Jasa Keuangan. Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor
5253.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

23
Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing

Undang-undang No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal dalam Negeri

Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-undang


Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal asing dan Undang-undang Nomor 6
Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam negeri.

24

Anda mungkin juga menyukai