Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Di tengah derasnya kemajuan teknologi informasi dan dorongan era
globalisasi saat ini menjadikan perkembangan antar negara yang begitu pesat
terhadap berbagai sektor kejahatan. Kejahatan tersebut tidak hanya dilakukan dalam
batas wilayah suatu negara namun meluas melintasi batas wilayah negara lain,
sehingga sering disebut sebagai kejahatan transnasional (transnational crime).
Dengan adanya kemajuan teknologi tersebut batasan-batasan terhadap kejahatan
antar negara tidak dapat dikendalikan lagi yang dimana para pelaku kejahatan
dengan mudahnya melakukan tindak kriminal yang berdampak negatif pada suatu
negara. Namun demikian terjadinya kemajuan globalisasi pun juga mempengaruhi
sistem hukum disuatu negara yang memiliki pengaturan tersendiri disuatu negara
tersebut. Salah satu sektor kejahatan tersebut adalah kejahatan pencucian uang atau
yang biasa disebut dengan money laundering. Pencucian uang merupakan fenomena
yang sudah tidak asing dan melekat secara universal di berbagai negara. Hampir
tidak ada satupun negara baik nega a maju maupun negara berkembang yang steril
dari tindak pidana pencucian uang. Bentuk kejahatan pencucian uang (money
laundering) dikategorikan sebagai kejahatan serius (serious crime) bersifat
transnasional (transnational crime) dan memiliki dampak negatif yang ditimbulkan
terhadap perekonomian suatu negara yang sangat besar.1
Kejahatan pencucian uang berkembang semakin kompleks, melintasi batas-
batas yurisdiksi dan menggunakan modus yang semakin variatif dengan
memanfaatkan lembaga di dalam dan luar sistem keuangan, bahkan telah merambah
ke berbagai sektor ekonomi. Secara umum pencucian uang diartikan sebagai suatu
proses yang dilakukan untuk merubah hasil kejahatan seperti dari korupsi, kejahatan
narkotika, perjudian, penyelundupan, dan kejahatan serius lainnya, sehingga hasil
kejahatan tersebut menjadi nampak seperti hasil dari kegiatan yang sah karena asal-

1
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, “Penilaian Risiko Indonesia terhadap Tindak
Pidana Pencucian Uang Tahun 2015” (Online), tersedia di WWW:
http://www.ppatk.go.id/publikasi/read/43/penilaian-risiko-indonesia-terhadap-tindak-pidana-
pencucian-uang-tahun-2015html (8 Januari 2019).

1
usulnya sudah disamarkan atau disembunyikan 2 . Dalam tindak pidana pencucian
uang terdapat karakteristik khusus yang membedakan dengan tindak pidana yang
lain yaitu bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan follow up crime,
sedangkan hasil kejahatan yang diproses pencucian uang disebut sebagai core crimes
atau predicate offence atau ada yang menyebut sebagai unlawful activity.3 Pelaku
tindak pidana menyamarkan sumber-sumber tersebut dengan mengubah bentuk dari
dana (misal dengan membeli saham) atau dengan memindahkan dana ke tempat yang
kecil kemungkinannya menarik perhatian aparat penegak hukum dengan mencuci
dana hasil kejahatan tersebut, para pelaku tindak pidana berupaya menjadikan dana
hasil kejahatan tersebut seolah-olah merupakan dana yang legal. Pelaku tindak
pidana pencucian uang sekarang memiliki berbagai pilihan untuk membuat uang
hasil kejahatannya semakin terlihat legal atau sah menurut hukum, yang dimana
salah satu penyebab utama kebebasan tersebut adalah karena adanya perkembangan
teknologi di bidang informasi dan komunikasi serta globalisasi dalam sistem
keuangan atau perbankan yang menyebabkan perbankan menjadi sasaran utama
pelaku kejahatan pencucian uang yang yang berdampak uang hasil transaksi ilegal
menjadi legal dalam dunia bisnis di pasar keuangan internasional.4
Melihat besarnya dampak yang ditimbulkannya terhadap stabilitas
pekonomian negara, maka sejumlah negara telah menetapkan aturan yang cukup
ketat guna mengungkap tindak pidana pencucian uang tersebut. Indonesia mengenal
pencucian uang sejak dimasukkannya ke dalam NCCTs (Non- Cooperatif Cauntries
and Territories) oleh FATF (Financial Action Task Force on Money Laundering)
pada juni 2001, sebagai negara yang tidak kooperatif dalam pemberantasan
pencucian uang. Dasar pertimbangan dimasukkannya Indonesia ke dalam daftar
blacklist FATF disebabkan tidak adanya perangkat yang kuat dan efektif dalam
memerangi money laundering di Indonesia karena ketidak adanya peraturan
perundang-undangan untuk mengkriminalisasikan pencucian uang. Setelah itu ada
tekanan dari sisi Internasional yaitu IMF (International Monetary Fund) yang
akhirnya membuat Indonesia menggagaskan peraturan yang memuat tentang
pencucian uang yaitu UU TPPU No.15 Tahun 2002 yang kemudian diamandemen
2
Hanafi Amrani, Hukum Pidana Pencucian Uang (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2015), hlm. 6
3 Yenti Gunarsih, Penegakan Hukum Anti Pencucian Uang dan Permasalahannya di Indonesia, (
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2017), hlm. 3
4
Detik Finance, “Kejahatan Money Laundering Semaking Canggih” (Online), tersedia di WWW:
https://finance.detik.com/moneter/d-2446671/kejahatan-money-laundering-semakin-canggih (28
Februari 2019)

2
dengan UU TPPU No. 25 Tahun 2003 lalu direvisi kembali menjadi UU No. 8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
yang disahkan oleh (Dewan Perwakilan Rakyat) DPR RI dan melahirkan lembaga
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk intelijensi
terhadap keuangan yang tidak hanya untuk memerangi pelaku kriminalnya namun
juga uang hasil kejahatannya. 5 Pengaturan mengenai Tindak Pidana Pencucian di
Indonesia diatur dalam UU TPPU No. 8 Tahun 2010 pada pasal 3,4,5 yang berbunyi:
Pasal 3 :
“Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan,
membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke
luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat
berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan
asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang
dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling
banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”
Pasal 4:
“Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber,
lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya
atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana
karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20
(dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).”
Pasal 5 :
“(1) Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan,
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau
menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak
Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam
Undang- Undang ini.”

Namun adanya Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana


Pencucian uang untuk mengatur persoalan-persoalan pencucian uang belum dapat
mengatasi secara keseluruhan, dikarenakan karena adanya keterbatasan kemampuan
pemerintah dalam hal aparat penegak hukum dalam mengidentifikasi terjadinya
praktek money laundering dalam dunia perbankan atau lembaga keuangan di

5
Edi Waluyo, “Upaya Memerangi Tindakan Pencucian Uang (Money Laundering) di Indonesia,”
Jurnal Nasional Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soediram Purwokerto, Vol. 9 No. 3, hlm. 238.

3
Indonesia. Kemampuan pelaku kejahatan tersebut dengan menggunakan lembaga
keuangan maupun non keuangan dikarenakan kian terintegritasi sistem keuangan
dunia dan hilangnya penghalang wilayah terkait pergerakan modal secara bebas yang
menjadikan salah satu penyebab meningkatnya pencucian uang melalui lembaga
keuangan di Indonesia. Berikut penulis lampirkan tabel pelaporan analisis dari Pusat
Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan terkait laporan mencurigakan yang
dilaporkan pihak lembaga keuangan dan non keuangan setelah diamandemennya UU
TPPU.
Tabel 1.1 Jumlah Pelaporan Transaksi Mencurigakan setelah ada UU TPPU
No. 8 Tahun 2010 (Periode 2010-2018)

Sumber: website PPATK6


Tabel diatas atau kualifikasi penilaian dari Pusat Pelaporan Analisis Transaksi
Keuangan, yang dimana penilaian yang dilakukan PPATK pada periode 2010 sampai
dengan 2018 setelah UU TPPU No. 8 Tahun 2010 mengalami penurunan terhadap

6
PPATK, “Statistik Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Edisi Februari
2018,” Jurnal Nasional Vol. 96/THN IX/2018, hlm. 4

4
transaksi mencurigakan dalam pencucian uang dan pendanaan terorisme. Namun
nilai atau persentase yang paling tinggi dalam transaksin mencurigakan masih tetap
terjadi pada lembaga keuangan dan non keuangan yang dijadikan tempat
penyimpanan atau sarana untuk para pelaku kejahatan mencuci uang hasil kejahatan
awalnya.
Perlu di ketahui bahwa Indonesia menganut kebijakan rezim devisa bebas.
Kalau kita mendepositokan uang dibank, kita tidak akan ditanyai tentang asal usul
uang. Memang uang kotor dapat dikenakan tindakan penyitaan oleh penyidik tetapi
bila ada hubungan dengan kasus tertentu, atau misalnya tindak pidana korupsi yang
dapat ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), akan tetapi bukan
karena Money laundering atau ilegal income.7 Maka sangat dimungkinkan terjadinya
bentuk-bentuk investasi semu dari luar negeri yang tujuannya untuk memfasilitasi
pencucian uang haram hingga transaksi tersebut menjadi bentuk dari tindak pidana
lanjutan (follow up crime). Lembaga keuangan adalah salah satu tempat yang paling
mudah dan efektif dalam pencucian uang (money laundering) atau kejahatan lanjutan
dan harus sangat disiasati dan diperhatikan karena keterlibatan lembaga keuangan
terhadap pencucian sebagai pihak ketiga kurang diperhatikan dalam arti untuk kasus
pencucian uang yang dimana terlibatnya lembaga keuangan secara pasif mengenai
permbagian bentuk-bentuk perbuatan tindak pidana dalam dasar pihak ketiga yang
menjadi modus kejahatan. Industri perbankan adalah sasaran mudah yang dijadikan
sumber pendulang uang kotor dan sebagai mata rantai nasional dan internasional
dalam proses money laundering. Selain menjadi sasaran utama memang industri
perbankan merupakan sarana yang paling efektif dan canggih untuk memudahkan
money laundering.8
Beberapa faktor lain yang membuka peluang terhadap kegiatan pencucian
uang di Indonesia antara lain, masih berkembangnya sistem keuangan di Indonesia
dan diberlakukannya ketentuan rahasia bank bagi nasabah penyimpan dan
simpanannya di bank, apalagi sistem pembayaran di Indonesia yang masih menitik
beratkan pada transaksi yang bersifat tunai dan memungkinkan seseorang untuk
membawa uang kertas asing dalam jumlah besar ke Indonesia dan menukarkannya
dengan uang rupiah serta menanamkan uang tersebut dalam bentuk aset (kekayaan)

7
Rijanto Sastroatmodjo, “Dirty Money dan Devisa bebas,”Jurnal Hukum Bisnis , Vol.3, hlm 19-20.
8
N.H.T Siahaan, Money Laundering dan Kejahatan Perbankan, (Jakarta: Jala Permata Jakarta, 2008)
hlm. 20

5
yang sah tanpa adanya kekhawatiran untuk diusut asal-usul uang tersebut lalu
membuka peluang terjadinya kejahatan pencucian uang dari ketentuan rahasia bank
yang diatur dalam UU Perbankan juga dianggap belum dapat melindungi setiap
masyarakat, namun sebaliknya adanya prinsip ini malah dijadikan tempat berlindung
para pelaku tindak pidana pencucian uang untuk menempatkan uang kotornya ke
dalam sistem keuangan 9 . Perbankan menawarkan jasa-jasa instrumen dalam hal
menyembunyikan dan menyamarkan asal-usul suatu dana yang dihasilkan dari
tindak pidana. Bahkan lewat sistem perbankan pelaku dalam waktu yang sangat
cepat dapat memindahkan dana hasil kejahatan melampaui batas yurisdiksi negara,
sehingga pelacakannya akan bertambah sulit apalagi kalau dana tersebut masuk ke
dalam sistem perbankan yang negaranya menerapkan ketentuan rahasia bank yang
sangat ketat.
Tetapi memang ada kesan kuat bahwa dalam menawarkan jasa dan
instrumennya, perbankan berupaya untuk mengendorkan beberapa syarat-syarat dan
prosedur yang sudah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, misalnya:
1. Tidak dipatuhinya ketentuan yang di wajibakan oleh pejabat bank;
2. Pejabat bank ikut melibatkan diri dengan cara kolusi untuk memudahkan
transaksi;
3. Kurang cermatnya manajemen bank meneliti identitas nasabahnya saat akan
melakukan transaksi atau memasukan uangnya kedalam sistem keuangan.
Padahal dalam pasal 19 UU TPPU telah diatur terkait tentang identitas yang
berbunyi:
Ayat 1:
“Setiap Orang yang melakukan Transaksi dengan Pihak Pelapor wajib
memberikan identitas dan informasi yang benar yang dibutuhkan oleh Pihak
Pelapor dan sekurang-kurangnya memuat identitas diri, sumber dana, dan tujuan
Transaksi dengan mengisi formulir yang disediakan oleh Pihak Pelapor dan
melampirkan Dokumen pendukungnya.“

Ayat 2 :
“Dalam hal Transaksi dilakukan untuk kepentingan pihak lain, Setiap Orang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memberikan informasi mengenai
identitas diri, sumber dana, dan tujuan Transaksi pihak lain tersebut.”

9
Fitriah Faisal, “Pengaruh Prinsip Kerahasiaan Bank Terhadap Tindak Pidana,” Jurnal Hukum
Ekonomi Syariah, Vol. 3, No. 1, hlm. 41

6
Dalam pengaturan tentang identitas nasabah, pihak lembaga keuangan sering
kali menerima transaksi dari seorang nasabah yang tidak memberikan identitasnya
secara lengkap dan jelas. Sebab bisa saja hal ini sengaja dilakukan (tidak menerima
atau mewajibkan identitas) oleh pihak bank atau lembaga keuangan lainnya dengan
status “kerja sama” tertentu dengan seorang nasabah deposan dengan harapan bank
akan mendapatkan pemasukan dana yang besar;
4. Pihak bank berlindung di ketentuan rahasia bank.10 Dengan sistem kerahasiaan
bank, dipegang ketentuan untuk melarang bank mengungkapkan data-data
rekening dan berbagai keterangan personal dari para nasabahnya. Karena sistem
ini dalam kenyataannya banyak digunakan oleh para pelaku kejahatan pencucian
uang, maka berbagai organisasi internasional seperti FATF dan IMF mendesak
supaya kerahasiaan bank tidak diterapkan secara ketat. Indonesia menganut
sistem itu secara sungguh-sungguh melalui peraturan perbankan. Dasar hukum
ketentuan bank mula-mula diatur dalam UU No. 7 Tahun 1992 tentang
perbankan dan kemudian diubah menjadi UU Np. 10 Tahun 199811
Kegiatan money laundering dalam sistem keuangan pada sistem perbankan
pada khususnya memiliki risiko yang sangat besar. Risiko tersebut antara lain risiko
operasional, risiko hukum, risiko terkonsentrasinya transaksi, dan risiko reputasi.
Bagi perbankan Indonesia tindakan pencucian uang merupakan suatu hal yang
sangat rawan karena pertama, peranan sektor perbankan dalam sistem keuangan di
Indonesia diperkirakan mencapai 93%. Oleh sebab itu sistem perbankan menjadi
perhatian utama dalam pelaksanaan rezim anti money laundering. Kedua, tingginya
tingkat perkembangan teknologi dan arus globalisasi di sektor perbankan membuat
industri perbankan menjadi lahan yang empuk bagi tindak kejahatan pencucian uang
dan merupakan sarana yang paling efektif untuk melakukan kegiatan money
laundering. Pelaku kejahatan dapat memanfaatkan bank untuk kegiatan pencucian
uang karena jasa dan produk perbankan memungkinkan terjadinya lalu lintas atau
perpindahan dana dari satu bank ke bank atau lembaga keuangan lainnya, sehingga
asal usul uang tersebut sulit dilacak oleh penegak hukum.
Keterlibatan perbankan dalam kegiatan pencucian uang dapat berupa:
a. Penyimpanan uang hasil kejahatan dengan nama palsu atau dalam safe deposit
box;

10 N.H.T Siahaan, Op. Cit.


11
N.HT Siahaan, Op. Cit. 29

7
b. Penyimpanan uang dalam bentuk deposito atau tabungan atau giro;
c. Penukaran pecahan uang hasil perbuatan illegal;
d. Pengajuan permohonan kredit dengan jaminan uang yang disimpan pada bank
yang bersangkutan;
e. Penggunaan fasilitas transfer atau EFT;
f. Pemalsuan dokumen-dokumen L/C yang bekerjasama dengan oknum pejabat
bank terkait; dan
g. Pendirian/pemanfaatan bank gelap.12
Hal tersebut dapat terjadi mengingat adanya kemudahan dalam proses pengelolaan
hasil kejahatan pada berbagai kegiatan usaha bank. Disamping itu, karena organisasi
kejahatan membutuhkan pengelolaan cash flow keuangan dengan cara menempatkan
dananya dalam kegiatan usaha perbankan maka penggunaan bank merupakan suatu
hal yang sangat diperlukan dalam upaya mengaburkan asal-usul sumber dana13.

12 Uy-Stessens, Money Laundering : A New International Law Enforcement Model, Cambridge


University Press, First Published 2000, hlm.9
13 Uy-Stessens, Op.Cit, hlm. 10

8
Bagan 1.2 Menuju proses pengaturan dan pertanggungjawaban

Hasil kejahatan
awal seolah-
olah menjadi
Ditempatkan pada legal
Korporasi/Lembaga
Tindak pidana Keuangan/Lembaga
kejahatan asal Non Keuangan Agar terhidar
dari jeratan
hukum

Menawarkan jasa-jasa
terkait dengan
transaksi

Identitas nasabah yang


tidak benar

Sengaja dilakukan
dikarenakan untuk
pemasukan
lembaganya

Prinsip rahasia bank


sering disalah gunakan

Tahap-tahap diatas merupakan pola dari pelaku kejahatan yang melakukan praktik
pencucian uang dengan metode konvensional yang dimana menunjukkan eratnya
keterkaitan antara organisasi kejahatan dan lembaga keuangan terutama bank. Maka
dibutuhkan suatu sikap tegas dari pemerintah baik dalam bentuk peraturan
perundang-undangan mapun dalam pengawasan yang ketat kepada bank agar dapat
memberantas tindak pidana pencucian uang (money laundering).
Undang-undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantsan
Tindak Pidana Pencucian Uang, dengan tegas telah mengatur korporasi sebagai

9
subjek atau pelaku tindak pidana dalam hal pencucian uang di Indonesia. maka
penulis akan jabarkan melalui tabel, seperti:
1.3 Tabel pengaturan tindak pidana korporasi pada UU TPPU

UU No. 8 Tahun 2010 Unsur

1. Dilakukan oleh korporasi.


Pasal 6
2. Dilakukan atas nama korporasi

1. Pidana pokok yang dijatuhkan


terhadap Korporasi adalah pidana
denda paling banyak
Pasal 7
Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah).
2. Dan pidana denda tambahan.
Tentang denda pidana yang dijatuhkan
korporasi yang dimana jika korporasi
tidak dapat membayar pidana denda,
yakni sebagai berikut:
1. Perampasan harta kekayaan korporasi
Pasal 9
atau personil korporasi yang nilainya
sama dengan putusan pidana yang
dijatuhkan;
2. Dalam hal harta kekayaan korporasi
yang dirampas (sebagaimana sesuai
dengan ayat 1) tidak mencukupi
dijatuhkannya pidana kurungan.

Dengan diaturnya undang-undang diatas tentang korporasi diatas maka dalam hal ini
lembaga keuangan maupun non keuangan jika dalam melakukan kegiatan usahanya
ditemukan adanya pelanggaran yang terindikasi ikut serta membantu proses
pencucian uang maka dapat dikenai sanksi sesuai dengan peraturan hukum yang
berlaku. Walaupun pada kenyataannya masih sulit untuk mengidentifikasi kejahatan
yang dilakukan oleh korporasi karena perbuatannya dilakukan secara rahasia, dan
sukar diketahui. Sehingga pertanggungjawabannya masih tumpang tindih serta

10
kejahatan pencucian uang masih banyak dilakukan di Indonesia. Sebagai contoh
dapat kita lihat dalam beberpa kasus di Indonesia yang melibatkan sarana perbankan
maupun adanya keterlibatan orang dalam bank dalam melakukan pencucian uang
seperti:

Permasalahan ini berangkat dari dua variable, yaitu bagaimana pengaturan pola
follow up crime di Indonesia untuk memberantas tindak pidana pencucian uang yang
banyak melibatkan korporasi atau lembaga serta penegak hukum dalam
mengkriminalkan follow up crime dalam tindak pidana pencucian uang yang
melibatkan korporasi untuk dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara
tegas.
Dari keterangan diatas perlunya menemukan masalah hukum yang terjadi
sebenarnya dan hal-hal apa saja yang harus diperbaiki demi penegakan hukum
terhadap kejahatan pencucian uang di Indonesia sesuai dengan UU TPPU No. 8
Tahun 2010 dan UU Perbankan No. UU No. 10 Tahun 1998 dengan judul penelitian:
“Pengaturan Tindak Pidana Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana
Lanjutan (Follow Up Crime) dalam Tindak Pidana Pencucian Uang”

Kerangka Konsep

11
Follow up crime dalam TPPU
pada korporasi

UU Perbankan
UU TPPU No.
No. 10 Tahun
8 Tahun 2010
1998

Pengaturan follow Pertanggungjawab


up crime dalam an follow up crime
TPPU dalam TPPU

Teori Kesalahan
dan
Teori Pertanggungjawaban

Asas Lex Specialis


Derogat Legi
Generalis

Metode:
1. Wawancara
2. Analisis Undang-Undang

Temuan
Permasalahan Analisis
Hukum

Hasil Analisis

12

Anda mungkin juga menyukai