PENDAHULUAN
Dalam rangka mewujudkan good governance dalam penyelenggaraan
menjadi
tanggung
jawab
pejabat
perbendaharaan
pada
SKPD
bersangkutan. Untuk menyikapi hal tersebut maka lahirlah suatu konsep dalam
pengelolaan keuangan negara, yaitu check and balance mechanism". Konsep ini
diterapkan agar masing-masing pejabat perbendaharaan selalu konsentrasi
terhadap apa yang menjadi tugas dan fungsinya, dan menyadari sepenuhnya akibat
yang timbul jika mekanisme saling uji tersebut tidak dilaksanakan secara baik dan
proporsional, dalam rangka mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam
pengelolaan keuangan negara. (Sumaryo; 2015).
Secara etimologis, check and balances memiliki dua suku kata, yakni
checks dan balances. Kata checks dalam checks and balances berarti suatu
pengontrolan/pengendalian yang satu dengan yang lain, agar suatu pemegang
kekuasaan tidak berbuat sebebas-bebasnya yang dapat menimbulkan kesewenangwenangan. checks mengandung arti adanya hak untuk ikut memeriksa / menilai /
mengawasi / mengendalikan / mencari informasi dan konfirmasi terhadap suatu
keadaan, sedangkan balance merupakan suatu keseimbangan kekuasaan agar
masing-masing pemegang kekuasaan tidak cenderung terlalu kuat (kosentrasi
kekuasaan) sehingga menimbulkan tirani. Balance ini merujuk pada alat untuk
mencari keseimbangan. Instrumen ini dinilai sangat penting mengingat secara
alamiah manusia yang mempunyai kekuasaaan cenderung menyalahgunakan, dan
manusia
yang
mempunyai
kekuasaan
tak
terbatas
pasti
akan
menyalahgunakannya.
Secara konseptual, prinsip check and balance dimaksudkan agar tidak
terjadi overlapping atau tumpang tindih antara kewenangan lembaga negara
sehingga kekuasaan dalam negara haruslah diatur dengan seksama. Namun
demikian, kelemahan dari pelaksanaan mekanisme check and balance merupakan
teori tanpa ujung, saling mengontrol dan berputar. sehingga dapat disimpulkan
bahwa Checks and Balances merupakan kewenangan untuk mengawasi dan
mengontrol lembaga negara yang lain yang dimiliki oleh sebuah lembaga negara
dengan tujuan agar tercipta/tercapai suatu keseimbangan penyelenggaraan
kekuasaan negara.
III KEUANGAN DAERAH
PP No. 58 Tahun 2005 menyebutkan bahwa Keuangan Daerah adalah
semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk
kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Arti
keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam penjelasan pasal 156 ayat 1 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa
Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai
dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan
milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Menurut UU No. 17 tahun 2003 Keuangan Daerah/Negara adalah semua dan
kewajiban Daerah/Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu
baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara/daerah berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
IV PEJABAT PENGENDALIAN PENERAPAN MEKANISME SALING
UJI
Pejabat-pejabat Pengendali dalam merealisasikan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) mulai dari pelaksanaan pengadaan barang/jasa mulai dari
perencanaan/persiapan,
pelaksanaan
sampai
dengan
pelaporan
dan
2.
perundang-undangan
di
bidang
Pengadaan
Barang/Jasa
Pemerintah.
3.
pengguna
anggaran/kuasa
pengguna
anggaran
dalam
pengguna
anggaran/kuasa
pengguna
anggaran.
Dengan
demikian
atau
pejabat
setingkat
eselon
III/b
yang
membidangin
melaksanakan fungsi
Bendahara
Sesuai amah UU No 17 Tahun 2003 pasal 10, untuk kelancaran
penerimaan dan pengeluaran kas daerah, maka ditunjuklah Bendahara.
Kepala daerah atas usul PPKD menetapkan bendahara penerimaan untuk
melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran
pendapatan pada SKPD dan bendahara pengeluaran untuk melaksanakan
tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran belanja pada
oleh
beberapa
pembantu
bendahara
yang
terdiri
dari
merupakan
Pejabat
yang
ditetapkan
oleh
PA/KPA untuk
Pejabat Pengadaan
Pejabat Pengadaan adalah PNS yang ditunjuk untuk melaksanakan
Pengadaan Langsung. Perpres 70 tahun 2012 pasal 16 ayat 1 menyebutkan
bahwa Paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang
bernilai paling tinggi Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dapat
dilaksanakan oleh Kelompok Kerja ULP atau Pejabat Pengadaan dan ayat
2: Paket Pengadaan Jasa Konsultansi yang bernilai paling tinggi
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dapat dilaksanakan oleh
Kelompok Kerja ULP atau Pejabat Pengadaan, disamping itu tugas
Pejabat Pengadaan lainnya adalah menetapkan penyedia barang atau jasa
untuk Pelelangan atau Penunjukan Langsung, sehingga dapat syarat
mutlak untuk Pejabat Pengadaan adalah memahami isi dokumen, metode
dan prosedur Pengadaan serta memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan
Barang/Jasa sesuai dengan kompetensi yang dipersyaratkan.
8.
hasil
Pengadaan
Barang/Jasa
setelah
melalui
5.
6.
7.
melalui PPK-SKPD.
Pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran meneliti kelengkapan
dokumen SPP yang diajukan oleh bendahara pengeluaran. Pelaksanaannya
dilakukan oleh PPK-SKPD, bilamana kelengkapan dokumen yang
diajukan tidak lengkap maka PPK-SKPD mengembalikan dokumen SPPLS kepada bendahara pengeluaran. Dalam hal dokumen SPP-LS
dinyatakan lengkap dan sah, PA/KPA menerbitkan SPM paling lama 2
(dua) hari kerja. Jika SPP-LS dinyatakan tidak lengkap dan/atau tidak sah,
PA/KPA menolak menerbitkan SPM paling lama dalam 1 (satu) hari kerja.
Dalam hal pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran berhalangan,
yang bersangkutan dapat menunjuk pejabat yang diberi wewenang untuk
8.
menandatangani SPM.
SPM yang telah diterbitkan PA/KPA diajukan kepada Bendahara Umum
Daerah (BUD)/Kuasa Bendahara Umum Daerah untuk penerbitan Surat
9.
perundang-undangan.
10. Dalam hal dokumen SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan
lengkap, kuasa BUD menerbitkan SP2D paling lama dalam 2 (dua) hari
kerja. Jika dokumen SPM dinyatakan tidak lengkap dan/atau tidak sah
dan/atau pengeluaran tersebut melampaui pagu anggaran, BUD/kuasa
BUD menolak menerbitkan SP2D yang dinyatakan paling lama dalam 1
seperti
membuat,
menyusun
dan
menyiapkan
dokumen
kebiasaan
menyerahkan
penyelesaian
pekerjaan
yang
menjadi
tanggungjawabnya pada seorang staf yang serba bisa tersebut dan percaya
sepenuhnya, tanpa menerapkan prinsip kehati-hatian, akan berpotensi merugikan
dirinya.
VI ANALISIS
HAMBATAN
DALAM
PENERAPAN
MEKANISME
SALING UJI
Mekanisme saling uji dalam pengelolaan anggaran belanja negara tidak
mudah terwujud dalam praktek pelaksanaan tugas kebendaharaan bagi sebagian
pejabat perbendaharaan, pada hal kemungkinan mereka mengetahui dan sadar
akan
risiko
yang
akan
dirasakan
jika
terjadi
kesalahan
akibat
hal
yang
diduga
menjadi
suatu
penyebab
mengapa
Tata Usaha
diserahkan kepada BUD untuk diterbitkan Cek yang akan dicairkan di Bank atas
beban Rekening Kas Daerah.
Peraturan diatas dalam tanpa ada penegasan meneliti dan menguji,
sehingga apabila ada kesalahan maka BUD ikut bersalah dalam mekanisme
pertanggungjawaban keuangan sehingga terkesan bahwa pejabat di SKPD masih
merasa berada dalam zona nyaman, karena pengujian dokumen bukti pembayaran
yang terlampir pada SPM masih melibatkan PPKD selaku BUD. Pikiran semacam
itulah yang melahirkan kebiasaan bagi sebagian Pejabat saat ini.
Pergeseran Paradigma Peraturan yang menekankan mekanisme check
and balance dipemerintah daerah mulai ditegaskan melalui PP No. 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, tanggal 9 Desember 2005 dalam pasal 5
ayat (3) disebutkan kekuasaan pengelolaan keuangan daerah tersebut diperluas
dengan pelimpahan kewenangan kepada: Kepala SKPD selaku PPKD dan Kepala
SKPD selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang. Ketentuan tersebut
mengatur bahwa PA adalah pejabat yang diberikan kewenangan kekuasaan
pengelolaan keuangan berdasarkan undang-undang, demikian juga untuk
melakukan pembayaran atas pengadaan barang dan jasa yang merupakan bagian
dari pengelolaan keuangan adalah menjadi kewenangan Pengguna Anggaran.
Pasal 65 ayat 3 disebutkan bahwa BUD sebelum mencairkan dana yang
dimohonkan PA melalui SPM, terlebih dahulu harus meneliti kelengkapan dan
menguji kebenaran perhitungan tagihan atas beban APBD yang tercantum dalam
perintah pembayaran.
Pemisahan antara pejabat yang mengeluarkan dana kepada pihak
ketiga/penerima hak dalam hal ini penyedia barang, dengan pejabat yang
mempunyai kewenangan untuk memerintahkan dikeluarkannya dana tersebut.
Ketentuan yang mengatur secara jelas tentang pembayaran tagihan pengadaan
barang dan jasa yang bersumber dari APBD diatur dalam pasal 205, pasal 210
sampai pasal 213, dan pasal 216 sampai pasal 218 Permendagri No. 13 Tahun
2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah
oleh Permendagri No. 21 Tahun 2011 yang merupakan penjabaran dari PP No. 58
Tahun 2005, khususnya pada pasal 216 disebutkan bahwa syarat umum untuk
mencairkan dana (SP2D) adalah wajib melampirkan surat pernyataan tanggung
jawab pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran yang artinya bila ada
kesalahan kedepannya atas pengeluaran kas Daerah akibat kelalaian bersama,
maka PA/KPA yang bertanggungjawab atas kejadian tersebut.
Dengan dialihkan sepenuhnya kewenangan administratif kepada SKPD
dalam pengelolaan belanja daerah, maka harus pula diikuti oleh perubahan pola
pikir dan kebiasaan pejabat pada setiap SKPD dalam melaksanakan tugas pokok
dan fungsinya. Perubahan pola pikir dan kebiasan dalam pengelolaan keuangan
negara mutlak diperlukan kerena pejabat SKPD saat ini tidak lagi berada dalam
wilayah zona nyaman, dan resiko yang bakal terjadi menanti dihadapannya.
Karena
akibat
kelalaiannya,
ketidakkompetennya
akan
ketidakhati-hatiannya,
menjadi
tanggungjawab
kurang
perhatiannya,
sepenuhnya
penjabat
2.
perbedaan
penafsiran
dalam
menterjemahkan
peraturan
blank area dan mendorong pada satu tindakan yang mengarah pada pelayanan
yang berbelit-belit. Ini semua akibat kurangnya pelatihan untuk meningkatkan
kompetensi pejabat di daerah. USIAD-DRSP (2006), Pemerintah daerah
umumnya tidak memiliki SDM yang berkualitas dalam pengelolaan keuangan.
Staf dikirim untuk bergabung dengan program sosialisasi dan pelatihan, biasanya
bukan orang-orang yang bertanggung jawab mengatur dan mengelola keuangan
daerah. Pernyataan ini didukung oleh Soepomo dalam Majalah Akuntan indonesia
edisi 18 (2009), yang menyebutkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan
kualitas LKPD terbilang buruk adalah keterbatasan SDM yang menguasai bidang
akuntansi. Hampir semua tenaga atau birokrat yang bertanggung jawab pada
SKPD tidak memahami akuntansi.
VIII
PENUTUP
Sebagai penutup dari tulisan ini dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut ;
1.
2.
daerah.
Upaya menerapkan mekanisme saling uji dalam kesetaraan di dalam
pengelolaan keuangan degara pada SKPD perlu langkah strategis, karena
bagi pejabat yang terlibat harus melakukan perubahan cara kerja
sebelumnya yang telah menjadi kebiasaan dengan cara baru yang harus
menjadi kebiasaan.
REFERENSI
1. UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
2. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
on
Indonesias
Recent
Dalam
Tugasnya.
http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/147-artikel-anggarandan-perbendaharaan/21175-memahami-mekanisme-saling-uji-bagipejabat-perbendaharan-dalam-tugasnya
11. Affandi, Idrus, 1997. Tala Negara. Jakarta. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
12. Saraswati, Retno. Desain Sistem Pemerintahan Presidensial Yang Efektif.
MMH, Jilid 41 No. 1 Januari 2012. Universitas Diponegoro Semarang
13. Majalah Akuntan Indonesia. 2009. "Benang Kusut Laporan Keuangan
Daerah". Majalah Akuntan Indonesia, Edisi No.18/Tahun III/Juli 2009.
Hal: 20
TUGAS MAKALAH
SEMINAR AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK
Oleh:
I Wayan Budi Mahendra (7)
Nim. 1491662045