Anda di halaman 1dari 17

I

PENDAHULUAN
Dalam rangka mewujudkan good governance dalam penyelenggaraan

pemerintahan negara, Pemerintah melahirkan tiga paket Undang-undang (UU)


sebagai tanda awal adanya Reformasi dibidang keuangan negara yaitu: UU
Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 tahun 2004 tentang
Pemeriksaan Pengeloaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara, yang
ditindaklanjuti dengan pemisahan kewenangan dalam pengelolaan keuangan
negara, yaitu kewenangan administratif (otorisator dan ordonator) berada pada
Menteri/ Pimpinan Lembaga, dan kewenangan komtabel berada pada Menteri
Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Pemisahan kewenangan dalam
pengelolaan keuangan negara tersebut akan memberikan kejelasan akuntabilitas
kewenangan masing-masing. Jika ada kesalahan dalam pengelolaan keuangan
negara maka akan dapat diketahui siapa sesungguhnya yang bersalah.
Bagi Pemerintah daerah adanya pemisahan kewenangan ini sebaiknya
diikuti oleh perubahan sikap dan cara pandangnya dalam pelaksanaan tugas dan
fungsinya. Dikatakan demikian karena pada masa sebelumnya apa yang
dikerjakan oleh satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait penggunaan
anggarannya akan diverifikasi dan diperiksa oleh Bendahara Umum Daerah
(BUD), sehingga waktu itu dapat dikatakan SKPD dalam posisi yang nyaman dan
aman, sedangkan saat ini kondisinya sudah berubah.
Semua kewenangan administratif seutuhnya ada pada SKPD. Benar atau
salah direalisasikannya anggaran oleh pejabat perbendaharaan pada suatu SKPD,
semua

menjadi

tanggung

jawab

pejabat

perbendaharaan

pada

SKPD

bersangkutan. Untuk menyikapi hal tersebut maka lahirlah suatu konsep dalam
pengelolaan keuangan negara, yaitu check and balance mechanism". Konsep ini
diterapkan agar masing-masing pejabat perbendaharaan selalu konsentrasi
terhadap apa yang menjadi tugas dan fungsinya, dan menyadari sepenuhnya akibat
yang timbul jika mekanisme saling uji tersebut tidak dilaksanakan secara baik dan
proporsional, dalam rangka mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam
pengelolaan keuangan negara. (Sumaryo; 2015).

Kabupaten Gianyar merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Bali


yang mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pengawasan
Keuangan (BPK) (http://denpasar.bpk.go.id/?p=6932), Namun opini wajar tanpa
pengecualian yang diberikan BPK terhadap laporan keuangan kabupaten Gianyar
bukan berarti bebas dari kesalahan dan kelemahan. Beberapa kelemahan yang
dijelaskan dalam laporan BPK berupa temuan kepatuhan sebagai berikut :
1. Penyertaan Modal pada Perusahaan Daerah Air Minum Belum Ditetapkan
Statusnya;
2. Kelebihan Pembayaran Belanja Perjalanan Dinas Luar Daerah pada
Pemerintah Kabupaten Gianyar; dan
3. Kesalahan Penganggaran dan Realisasi Belanja Barang dan Jasa pada
Bagian Pengelolaan Aset dan Perwat.
Pertanyaannya, apakah mekanisme saling uji dalam kesetaraan itu sudah
diterapkan oleh para pejabat pada semua SKPD, sesuai dengan amanat undangundang di bidang keuangan negara?
II PENGERTIAN CHECKS AND BALANCES
Check and balances dikemukakan pertama kali oleh Baron de
Montesquieu. Gagasan ini lahir sebagai hasil dari ajaran klasik tentang pemisahan
kekuasaan (separation of power), dan pertama kali diadopsi ke dalam konstitusi
negara oleh Amerika Serikat (US Constitution 1789). Berdasarkan ide ini, suatu
negara dikatakan memiliki sistem check and balances yang efektif jika tidak ada
satu pun cabang pemerintahan yang memiliki kekuasaan dominan, serta dapat
dipengaruhi oleh cabang lainnya. Secara tersirat dapat dikatakan bahwa hakikat
dari prinsip check and balances menjamin adanya kebebasan dari masing-masing
cabang kekuasaan yang satu terhadap kekuasaan lainnya.
Indonesia tidak murni menganut asas pemisahan kekuasaan melainkan
mengembangkan asas pembagian kekuasaan. Konsep pembagian kekuasaan
didasarkan pada pemikiran bahwa hanya fungsi pokok yang dibedakan menurut
sifatnya diserahkan kepada pihak yang berbeda tetapi di antara pihak-pihak
tersebut masih diperlukan kerja sama. (Idrus Affandi, 1997: 35)

Secara etimologis, check and balances memiliki dua suku kata, yakni
checks dan balances. Kata checks dalam checks and balances berarti suatu
pengontrolan/pengendalian yang satu dengan yang lain, agar suatu pemegang
kekuasaan tidak berbuat sebebas-bebasnya yang dapat menimbulkan kesewenangwenangan. checks mengandung arti adanya hak untuk ikut memeriksa / menilai /
mengawasi / mengendalikan / mencari informasi dan konfirmasi terhadap suatu
keadaan, sedangkan balance merupakan suatu keseimbangan kekuasaan agar
masing-masing pemegang kekuasaan tidak cenderung terlalu kuat (kosentrasi
kekuasaan) sehingga menimbulkan tirani. Balance ini merujuk pada alat untuk
mencari keseimbangan. Instrumen ini dinilai sangat penting mengingat secara
alamiah manusia yang mempunyai kekuasaaan cenderung menyalahgunakan, dan
manusia

yang

mempunyai

kekuasaan

tak

terbatas

pasti

akan

menyalahgunakannya.
Secara konseptual, prinsip check and balance dimaksudkan agar tidak
terjadi overlapping atau tumpang tindih antara kewenangan lembaga negara
sehingga kekuasaan dalam negara haruslah diatur dengan seksama. Namun
demikian, kelemahan dari pelaksanaan mekanisme check and balance merupakan
teori tanpa ujung, saling mengontrol dan berputar. sehingga dapat disimpulkan
bahwa Checks and Balances merupakan kewenangan untuk mengawasi dan
mengontrol lembaga negara yang lain yang dimiliki oleh sebuah lembaga negara
dengan tujuan agar tercipta/tercapai suatu keseimbangan penyelenggaraan
kekuasaan negara.
III KEUANGAN DAERAH
PP No. 58 Tahun 2005 menyebutkan bahwa Keuangan Daerah adalah
semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan
daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk
kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Arti
keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam penjelasan pasal 156 ayat 1 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa
Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilai
dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan

milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Menurut UU No. 17 tahun 2003 Keuangan Daerah/Negara adalah semua dan
kewajiban Daerah/Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu
baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara/daerah berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
IV PEJABAT PENGENDALIAN PENERAPAN MEKANISME SALING
UJI
Pejabat-pejabat Pengendali dalam merealisasikan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD) mulai dari pelaksanaan pengadaan barang/jasa mulai dari
perencanaan/persiapan,

pelaksanaan

sampai

dengan

pelaporan

dan

pertanggungjawaban atas pelaksanaan kegiatan pengadaan tersebut memerlukan


pengendalian secara konsisten yang dilakukan oleh pejabat-pejabat yaitu:
1.

Bendaharawan Umum Daerah (BUD)


UU No. 1 Tahun 2004 menyebutkan bahwa BUD adalah adalah pejabat
yang diberi tugas untuk melaksanakan fungsi bendahara umum daerah.
lebih lanjut dalam Peraturan Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13
Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, disebutkan
bahwa BUD adalah Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) yang
bertindak dalam kapasitas sebagai bendahara umum daerah. PPKD adalah
kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah yang selanjutnya disebut
dengan kepala SKPKD yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan
APBD dan bertindak sebagai bendahara umum daerah. Tugas dan fungsi
PPKD sesuai Pasal 7 salahsatunya adalah melaksanakan sistem akuntansi
dan pelaporan keuangan daerah. untuk melaksanakan tugasnya tersebut
PPKD selaku BUD dapat menunjuk Kuasa BUD yang ditetapkan dengan
keputusan Kepala Daerah yang salah satu tugasnya adalah untuk
melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat pengguna
anggaran atas beban rekening kas umum daerah.
Untuk di Pemerintah Kabupaten Gianyar, BUD dijabat oleh Kepala Bagian
Keuangan Sekretariat Daerah Kabupaten Gianyar. Kuasa BUD dijabat oleh
Kepala Sub Bagian Perbendaharaan Bagian Keuangan Setda Gianyar.

2.

Pengguna Anggaran (PA)/Pengguna Barang


Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan PA untuk
melaksanakan tugas pokok dan fungsi SKPD yang dipimpinnya. PA
bertanggungjawab atas tertib penatausahaan anggaran yang dialokasikan
pada SKPD yang dipimpinnya, termasuk melakukan pemeriksaan kas yang
dikelola oleh bendahara.
Dalam konteks pelaksanaan dan penatausahaan, salah satu tugas pengguna
anggaran/pengguna barang daerah mempunyai tugas dan wewenang
adalah melaksanakan anggaran SKPD yang dipimpinnya serta melakukan
pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran.
Pengguna anggaran/pengguna barang bertanggung jawab atas pelaksanaan
tugasnya kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah. Pejabat PA
dalan melaksanakan tugas dapat melimpahkan sebagian kewenangannya
kepada kepala unit kerja pada SKPD selaku kuasa pengguna anggaran
(KPA)/pengguna barang. Dalam rangka pengadaan barang/jasa, Pengguna
Anggaran bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sesuai
peraturan

perundang-undangan

di

bidang

Pengadaan

Barang/Jasa

Pemerintah.
3.

Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK)


Pejabat

pengguna

anggaran/kuasa

pengguna

anggaran

dalam

melaksanakan program dan kegiatan dengan menunjuk pejabat pada SKPD


selaku pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK), yang melaksanakan satu
atau beberapa kegiatan dari suatu program sesuai dengan bidang tugasnya.
PPTK memiliki tugas untuk mengendalikan pelaksanaan kegiatan,
melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan dan menyiapkan
dokumen anggaran atas beban pengeluaran pelaksanaan kegiatan yang
mencakup dokumen administrasi kegiatan maupun dokumen administrasi
yang terkait dengan persyaratan pembayaran yang ditetapkan sesuai
dengan ketentuan peundang-undangan.
Penunjukan PPTK berdasarkan pertimbangan kompetensi jabatan, jumlah
anggaran kegiatan, beban kerja, lokasi dan/atau rentang kendali dan
pertimbangan objektif lainnya. PPTK bertanggung jawab kepada pejabat

pengguna

anggaran/kuasa

pengguna

anggaran.

Dengan

demikian

keberhasilan dan kegagalan dalam pelaksanaan suatu program dan


kegiatan sesungguhnya tergantung pada skill dari PPTK untuk melakukan
pengendalian dan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan dimaksud.
Dalam konteks Pemerintah Daerah PPTK selayaknya dijabat oleh Kepala
Bidang

atau

pejabat

setingkat

eselon

III/b

yang

membidangin

program/kegiatan dimaksud dengan maksud bahwa pejabat yang


bersangkutan memahami utuh proses perencanaan, pelaksanaan dan
pelaporan program dan kegiatan dimaksud.
4.

Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPK SKPD)


Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 1 menyebutkan bahwa
Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD yang selanjutnya disingkat PPKSKPD adalah pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada
SKPD. PPK-SKPD mempunyai tugas antara lain: meneliti selengkapnya
SPP yang diajukan Bendahara Pengeluaran, menyiapkan SPM, melakukan
verifikasi atas penggunaan dana yang dipertanggug jawabkan oleh
bendahara pengeluaran serta melaksanakan Prosedur Akuntansi yang
nantinya dituangkan dalam laporan Keuangan SKPD. Tim USAID-LGSP
(2007) menyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas tersebut dibutuhkan
kompetensi khusus dibidang akuntansi, untuk

melaksanakan fungsi

penatausahaan keuangan. PPK-SKPD tidak boleh merangkap pejabat yang


bertugas melakukan pemungutan penerimaan daerah, bendahara, dan/atau
PPTK.
5.

Bendahara
Sesuai amah UU No 17 Tahun 2003 pasal 10, untuk kelancaran
penerimaan dan pengeluaran kas daerah, maka ditunjuklah Bendahara.
Kepala daerah atas usul PPKD menetapkan bendahara penerimaan untuk
melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran
pendapatan pada SKPD dan bendahara pengeluaran untuk melaksanakan
tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran belanja pada

SKPD. Bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran adalah pejabat


fungsional.
UU No. 17 Tahun 2003 pasal 35 ayat 2 menyatakan bahwa bendahara
adalah setiap orang yang diberi tugas menerima, menyimpan, membayar
dan atau mengeluarkan uang/barang negara dan wajib menyampaikan
pertanggungjawaban kepada Badan Pemeriksa Keuangan. Demikian juga
UU No.1 Tahun 2004 pasal 1 menyatakan bahwa bendahara adalah setiap
orang atau badan yang diberi tugas untuk dan atas nama negara/daerah
menerima, menyimpan, membayar dan/atau mengeluarkan uang/surat
berharga/barang-barang milik negara/daerah.
Bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran dahulu dikenal dengan
istilah Pemegang Kas. Bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran
dilarang melakukan, baik secara langsung maupun tidak langsung,
kegiatan perdagangan, pekerjaan pemborongan dan penjualan jasa atau
bertindak sebagai penjamin atas kegiatan/pekerjaan/penjualan tersebut,
serta menyimpan uang pada suatu Bank atau lembaga keuangan lainnya
atas nama pribadi. Bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran
secara fungsional bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya pada
PPKD selaku BUD dan secara administratif bertanggung jawab kepada
Pengguna Anggaran.
Pada setiap SKPD masing-masing ditetapkan 1 (satu) bendahara
penerimaan dan 1 (satu) bendahara pengeluaran. Dalam melaksanakan
fungsinya, bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran dapat
dibantu

oleh

beberapa

pembantu

bendahara

yang

terdiri

dari

kasir/penyimpan uang, pembuat dokumen, pencatat pembukuan dan yang


bertugas menyiapkan pembayaran gaji. Bendahara penerimaan hanya ada
pada SKPD yang memiliki hak untuk memungut penerimaan SKPD serta
bertanggung jawab atas penerimaan SKPD. Bendahara pengeluaran
bertanggung jawab atas pengeluaran SKPD.
6.

Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)


Menurut Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2010 Tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang kemudian diubah terakhir

kalinya dengan Perpres No 70 Tahun 2012 menyebutkan bahwa Pejabat


Pembuat Komitmen (PPK) adalah pejabat yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa. PPK membuat perjanjian tertulis
dengan Penyedia Barang/Jasa atau pelaksana Swakelola, yang kemudian
disebut dengan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa. PPK menetapkan rencana
pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa mulai dari spesifikasi teknis
Barang/Jasa, Harga Perkiraan Sendiri (HPS), rancangan Kontrak hingga
Menetapkan dan mengesahkan pemenang penyedia barang/jasa, surat
perjanjian kerja (SPK), berita acara kemajuan pekerjaan, berita acara serah
terima pekerjaan, dan berita acara persejutuan pembayaran.
PPK

merupakan

Pejabat

yang

ditetapkan

oleh

PA/KPA untuk

melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa sehingga seorang PPK wajib


memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/Jasa. Apabila dalam satu
SKPD tidak ada yang memenuhi persyaratan sebagai PPK sesuai peraturan
Presiden yang berlaku, maka PPK yang dijabat oleh pejabat eselon I dan II
di instansinya atau PA/KPA yang bertindak sebagai PPK.
7.

Pejabat Pengadaan
Pejabat Pengadaan adalah PNS yang ditunjuk untuk melaksanakan
Pengadaan Langsung. Perpres 70 tahun 2012 pasal 16 ayat 1 menyebutkan
bahwa Paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang
bernilai paling tinggi Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dapat
dilaksanakan oleh Kelompok Kerja ULP atau Pejabat Pengadaan dan ayat
2: Paket Pengadaan Jasa Konsultansi yang bernilai paling tinggi
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dapat dilaksanakan oleh
Kelompok Kerja ULP atau Pejabat Pengadaan, disamping itu tugas
Pejabat Pengadaan lainnya adalah menetapkan penyedia barang atau jasa
untuk Pelelangan atau Penunjukan Langsung, sehingga dapat syarat
mutlak untuk Pejabat Pengadaan adalah memahami isi dokumen, metode
dan prosedur Pengadaan serta memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan
Barang/Jasa sesuai dengan kompetensi yang dipersyaratkan.

8.

Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP)

Panitia/Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan adalah panitia/pejabat yang


ditetapkan oleh PA/KPA yang bertugas memeriksa dan menerima hasil
pekerjaan. PPHP harus memahami isi kontrak pekerjaan, karena tugas
PPHP adalah

melakukan pemeriksaan hasil pekerjaan Pengadaan

Barang/Jasa sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak,


menerima

hasil

Pengadaan

Barang/Jasa

setelah

melalui

pemeriksaan/pengujian dan membuat dan menandatangani Berita Acara


Serah Terima Hasil Pekerjaan
V

GAMBARAN SINGKAT PENERAPAN MEKANISME SALING UJI


Secara normatif pada level pejabat perbendaharan secara formal sudah

ada pemisahan kewenangan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku, yaitu


ada Pengguna Anggaran (PA)/Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK), Bendahara, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat
Pengadaan dan PPHP.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 dan
Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012, serta Undang-undang Nomor 1 tahun
2004, penerapan mekanisme saling uji dipaparkan sebagai berikut:
1.

PPK membuat rencana pengadaan dan menetapkan HPS yang kemudian


ditindak lanjuti dengan pengadaan barang atau jasa yang diselenggarakan

oleh Pejabat Pengadaan/ULP.


2. Hasil dari Pengadaan barang/Jasa tersebut setelah selesai diperiksa oleh
PPHP. Apabila pekerjaan sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam
Kontrak/SPK, PPHP menerima barang/jasa tersebut dengan membuatkan
Berita Acara Pemeriksaan Pekerjaan dan Berita Acara Serah Terima
Barang/Jasa. Berita acara inilah yang menjadi bukti bahwa barang tersebut
sudah menjadi hak milik pemerintah dan wajib untuk dibayarkan.
3. Tagihan atas pengadaan barang/jasa yang membebani APBD diajukan
4.

dengan surat tagihan oleh Pihak Ketiga/Penerima Hak kepada PPK.


PPTK atau PPK menyiapkan dokumen Surat Perintah Pembayaran
Langsung (SPP-LS) untuk pengadaan barang dan jasa untuk disampaikan
kepada bendahara pengeluaran dalam rangka pengajuan permintaan
pembayaran.

5.

Dalam hal kelengkapan yang diajukan tidak lengkap, bendahara


pengeluaran mengembalikan SPP pengadaan barang dan jasa kepada

6.

PPK/PPTK untuk dilengkapi.


Bendahara pengeluaran mengajukan SPP kepada pengguna anggaran
setelah ditandatangani oleh PPK guna memperoleh persetujuan PA/KPA

7.

melalui PPK-SKPD.
Pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran meneliti kelengkapan
dokumen SPP yang diajukan oleh bendahara pengeluaran. Pelaksanaannya
dilakukan oleh PPK-SKPD, bilamana kelengkapan dokumen yang
diajukan tidak lengkap maka PPK-SKPD mengembalikan dokumen SPPLS kepada bendahara pengeluaran. Dalam hal dokumen SPP-LS
dinyatakan lengkap dan sah, PA/KPA menerbitkan SPM paling lama 2
(dua) hari kerja. Jika SPP-LS dinyatakan tidak lengkap dan/atau tidak sah,
PA/KPA menolak menerbitkan SPM paling lama dalam 1 (satu) hari kerja.
Dalam hal pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran berhalangan,
yang bersangkutan dapat menunjuk pejabat yang diberi wewenang untuk

8.

menandatangani SPM.
SPM yang telah diterbitkan PA/KPA diajukan kepada Bendahara Umum
Daerah (BUD)/Kuasa Bendahara Umum Daerah untuk penerbitan Surat

9.

Perintah Pencairan Dana (SP2D).


BUD/Kuasa BUD meneliti kelengkapan dokumen SPM yang diajukan
oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran agar pengeluaran yang
diajukan tidak melampaui pagu dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Kelengkapan tersebut
terdiri dari surat pernyataan tanggungjawab pengguna anggaran/kuasa
pengguna anggaran dan bukti-bukti pengeluaran yang sah dan lengkap
sesuai dengan kelengkapan persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan

perundang-undangan.
10. Dalam hal dokumen SPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan
lengkap, kuasa BUD menerbitkan SP2D paling lama dalam 2 (dua) hari
kerja. Jika dokumen SPM dinyatakan tidak lengkap dan/atau tidak sah
dan/atau pengeluaran tersebut melampaui pagu anggaran, BUD/kuasa
BUD menolak menerbitkan SP2D yang dinyatakan paling lama dalam 1

(satu) hari kerja. BUD/Kuasa BUD menyerahkan SP2D yang diterbitkan


untuk keperluan pembayaran langsung kepada pihak ketiga/penerima hak.
Namun realitanya, karena alasan keterbatasan SDM yang memiliki
kompetensi teknis yang dibutuhkan yang mendukung dalam pelaksanaan tugas
kebendaharaan,

seperti

membuat,

menyusun

dan

menyiapkan

dokumen

pembayaran tagihan, sejak tagihan masuk sampai tindak lanjutnya, menyiapkan


SPP dan SPM, menggunakan Sistem Informasi Manejemen Daerah (SIMDA)
masih dijumpai adanya beberapa jenis pekerjaan yang dikerjakan oleh seorang
staf saja. Seperti halnya jenis pekerjaan perbendaharaan hingga surat
pertanggungjawaban (SPJ) dikerjakan oleh Bendahara pengeluaran. lebih
parahnya lagi pejabat perbendaharaan terkait percaya begitu saja terhadap apa
yang dikerjakan oleh staf keuangan yang serba bisa tersebut. ini membuktikan
bahwa kondisi tersebut tentu tidak sejalan dengan tujuan filosofis diterapkannya
mekanisme saling uji dalam kesetaraan (check and balance mechanism). Atau
dapat dikatakan kurang mendukung terselenggarannya mekanisme saling uji
dalam pelaksanaan anggaran belanja negara dan potensial berdampak negatif pada
upaya mewujudkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.
Seharusnya pejabat perbendaharaan pada satuan kerja menyadari sepenuhnya,
bahwa

kebiasaan

menyerahkan

penyelesaian

pekerjaan

yang

menjadi

tanggungjawabnya pada seorang staf yang serba bisa tersebut dan percaya
sepenuhnya, tanpa menerapkan prinsip kehati-hatian, akan berpotensi merugikan
dirinya.
VI ANALISIS

HAMBATAN

DALAM

PENERAPAN

MEKANISME

SALING UJI
Mekanisme saling uji dalam pengelolaan anggaran belanja negara tidak
mudah terwujud dalam praktek pelaksanaan tugas kebendaharaan bagi sebagian
pejabat perbendaharaan, pada hal kemungkinan mereka mengetahui dan sadar
akan

risiko

yang

akan

dirasakan

jika

terjadi

kesalahan

akibat

ketidakpeduliaannya/kecerobohannya. Banyak peristiwa yang bisa dijadikan


renungan untuk introspeksi, seperti kasus korupsi di instansi pemerintah yang

merugikan negara, dan terbukti melibatkan Bendahara Pengeluaran, PPK, KPA


yang berakhir dengan kerugian baik material maupun non-material.
Jika ditelusuri lebih jauh, semua kejadian bisa terjadi karena belum
maksimalnya pelaksanaan mekanisme saling uji yang harus dijalankan sesuai
dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing pejabat dalam rangka mewujudkan
transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara. Jika
mekanisme saling uji diterapkan secara konsisten dalam pengelolaan keuangan
negara, dan dilandasi nilai integritas, maka dimungkinkan sejak dini dapat
diketahui penyimpangan yang terjadi untuk dilakukan perbaikan (Sumaryo, 2015)
beberapa

hal

yang

diduga

menjadi

suatu

penyebab

mengapa

implementasi mekanisme saling uji dalam kesetaraan oleh pejabat perbendaharaan


pada SKPD mengalami hambatan. Semua itu tidak terlepas dari pengaruh proses
transisi yang berlangsung sejak pemisahan kewenangan antara kewenangan
administratif mulai diterapkan. Proses transisi tersebut diawali dengan
penyederhanaan persyaratan pengajuan tagihan yang diajukan kepada Bagian
Keuangan selaku BUD.
Pengalihan kewenangan administratif kepada SKPD dalam pengelolaan
keuangan Daerah, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 105
Tahun 2000 tentang Pengelolaan Dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah
tanggal 10 November 2000 dalam pasal 28 disebutkan bahwa BUD membayar
berdasarkan SPM yang kemudian didukung dengan Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban
Dan

Pengawasan Keuangan Dan Belanja Daerah, Pelaksanaan

Keuangan Daerah Dan Penyusunan Perhitungan


Belanja Daerah tertanggal 10 Juni 2002

Tata Usaha

Anggaran Pendapatan Dan

pada pasal 54 dimana setiap SPM

diserahkan kepada BUD untuk diterbitkan Cek yang akan dicairkan di Bank atas
beban Rekening Kas Daerah.
Peraturan diatas dalam tanpa ada penegasan meneliti dan menguji,
sehingga apabila ada kesalahan maka BUD ikut bersalah dalam mekanisme
pertanggungjawaban keuangan sehingga terkesan bahwa pejabat di SKPD masih
merasa berada dalam zona nyaman, karena pengujian dokumen bukti pembayaran

yang terlampir pada SPM masih melibatkan PPKD selaku BUD. Pikiran semacam
itulah yang melahirkan kebiasaan bagi sebagian Pejabat saat ini.
Pergeseran Paradigma Peraturan yang menekankan mekanisme check
and balance dipemerintah daerah mulai ditegaskan melalui PP No. 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, tanggal 9 Desember 2005 dalam pasal 5
ayat (3) disebutkan kekuasaan pengelolaan keuangan daerah tersebut diperluas
dengan pelimpahan kewenangan kepada: Kepala SKPD selaku PPKD dan Kepala
SKPD selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang. Ketentuan tersebut
mengatur bahwa PA adalah pejabat yang diberikan kewenangan kekuasaan
pengelolaan keuangan berdasarkan undang-undang, demikian juga untuk
melakukan pembayaran atas pengadaan barang dan jasa yang merupakan bagian
dari pengelolaan keuangan adalah menjadi kewenangan Pengguna Anggaran.
Pasal 65 ayat 3 disebutkan bahwa BUD sebelum mencairkan dana yang
dimohonkan PA melalui SPM, terlebih dahulu harus meneliti kelengkapan dan
menguji kebenaran perhitungan tagihan atas beban APBD yang tercantum dalam
perintah pembayaran.
Pemisahan antara pejabat yang mengeluarkan dana kepada pihak
ketiga/penerima hak dalam hal ini penyedia barang, dengan pejabat yang
mempunyai kewenangan untuk memerintahkan dikeluarkannya dana tersebut.
Ketentuan yang mengatur secara jelas tentang pembayaran tagihan pengadaan
barang dan jasa yang bersumber dari APBD diatur dalam pasal 205, pasal 210
sampai pasal 213, dan pasal 216 sampai pasal 218 Permendagri No. 13 Tahun
2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana telah diubah
oleh Permendagri No. 21 Tahun 2011 yang merupakan penjabaran dari PP No. 58
Tahun 2005, khususnya pada pasal 216 disebutkan bahwa syarat umum untuk
mencairkan dana (SP2D) adalah wajib melampirkan surat pernyataan tanggung
jawab pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran yang artinya bila ada
kesalahan kedepannya atas pengeluaran kas Daerah akibat kelalaian bersama,
maka PA/KPA yang bertanggungjawab atas kejadian tersebut.
Dengan dialihkan sepenuhnya kewenangan administratif kepada SKPD
dalam pengelolaan belanja daerah, maka harus pula diikuti oleh perubahan pola
pikir dan kebiasaan pejabat pada setiap SKPD dalam melaksanakan tugas pokok

dan fungsinya. Perubahan pola pikir dan kebiasan dalam pengelolaan keuangan
negara mutlak diperlukan kerena pejabat SKPD saat ini tidak lagi berada dalam
wilayah zona nyaman, dan resiko yang bakal terjadi menanti dihadapannya.
Karena

akibat

kelalaiannya,

ketidakkompetennya

akan

ketidakhati-hatiannya,

menjadi

tanggungjawab

kurang

perhatiannya,

sepenuhnya

penjabat

perbendaharaan bersangkutan. Dalam UU No. 1 Tahun 2004 pada Pasal 18 ayat


(3) jelas dinyatakan, bahwa: Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan
dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas
beban APBN bertanggung-jawab atas kebenaran materiil dan akibat yang timbul
dari penggunaan surat bukti dimaksud.
VII KASUS DALAM PENERAPAN MEKANISME SALING UJI
Cara berpikir (mindset) jajaran pejabat di pemerintah daerah gianyar
yang sebagian besar belum memahami bahwa telah terjadi perubahan dalam
sistim pembayaran sebagaimana telah diatur dalam UU No. 17 Tahun 2003 dan
UU No.1 Tahun 2004. Masih adanya perasaan berat hati melepaskan kewenangan
administratif yang telah bertahun-tahun melekat dan seolah menjadi bench mark
pegawai bidang keuangan bahwa dalam pelaksanaan pembayaran harus
melakukan pengujian substantif yang kadang terjebak kepada pengujian formal
yakni aspek tujuan pembayaran.
adapun beberapa contoh kasus yang sering terjadi di pemerintah
kabupaten gianyar:
1.

sering terjadi kesalahan atau kekurangan dalam mengajukan SPM ke


bagian keuangan, sehingga terkesan pembayaran atas hak pihak ketiga
sanggat lambat.

2.

masih terdapatnya keinginan dari bagian keuangan untuk memeriksa


kotrak perjanjian yang seharusnya ini merupakan tugas jajaran pejabat di
SKPD terutama PPTK, Pejabat Pengadaan/ULP dan PPK, sehingga ini
SKPD menjadi tambah manja di zona nyamannya. Dan apabila ada
kesalahan seringkali kesalahan tersebut dilimpahkan ke bagian keuangan
selaku verifikator BUD.
Adanya

perbedaan

penafsiran

dalam

menterjemahkan

peraturan

pelaksanaan yang mengakibatkan ketidakjelasan atau grey area bahkan menjadi

blank area dan mendorong pada satu tindakan yang mengarah pada pelayanan
yang berbelit-belit. Ini semua akibat kurangnya pelatihan untuk meningkatkan
kompetensi pejabat di daerah. USIAD-DRSP (2006), Pemerintah daerah
umumnya tidak memiliki SDM yang berkualitas dalam pengelolaan keuangan.
Staf dikirim untuk bergabung dengan program sosialisasi dan pelatihan, biasanya
bukan orang-orang yang bertanggung jawab mengatur dan mengelola keuangan
daerah. Pernyataan ini didukung oleh Soepomo dalam Majalah Akuntan indonesia
edisi 18 (2009), yang menyebutkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan
kualitas LKPD terbilang buruk adalah keterbatasan SDM yang menguasai bidang
akuntansi. Hampir semua tenaga atau birokrat yang bertanggung jawab pada
SKPD tidak memahami akuntansi.
VIII

PENUTUP

Sebagai penutup dari tulisan ini dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut ;
1.

Mekanisme saling uji dalam kesetaraan (check and balance mechanism)


dalam pengelolaan keuangan negara harus dilakukan untuk dapat
mewujudkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengeloaan keuangan

2.

daerah.
Upaya menerapkan mekanisme saling uji dalam kesetaraan di dalam
pengelolaan keuangan degara pada SKPD perlu langkah strategis, karena
bagi pejabat yang terlibat harus melakukan perubahan cara kerja
sebelumnya yang telah menjadi kebiasaan dengan cara baru yang harus
menjadi kebiasaan.

REFERENSI
1. UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
2. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

3. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah


4. Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah.
5. Perpres No. 70 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah.
6. PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Dan Pertanggungjawaban
Keuangan Daerah
7. PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
8. Kepmendagri No. 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan,
Pertanggungjawaban Dan Pengawasan Keuangan Dan Belanja Daerah,
Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah Dan Penyusunan Perhitungan
Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah
9. USAID-DRSP. 2006. Stock Taking

on

Indonesias

Recent

Decentralization Reforms - Main Report.


10. Sumaryo, 2015, Memahami Mekanisme Saling Uji Bagi Pejabat
Perbendaharan

Dalam

Tugasnya.

http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/147-artikel-anggarandan-perbendaharaan/21175-memahami-mekanisme-saling-uji-bagipejabat-perbendaharan-dalam-tugasnya
11. Affandi, Idrus, 1997. Tala Negara. Jakarta. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
12. Saraswati, Retno. Desain Sistem Pemerintahan Presidensial Yang Efektif.
MMH, Jilid 41 No. 1 Januari 2012. Universitas Diponegoro Semarang
13. Majalah Akuntan Indonesia. 2009. "Benang Kusut Laporan Keuangan
Daerah". Majalah Akuntan Indonesia, Edisi No.18/Tahun III/Juli 2009.
Hal: 20

TUGAS MAKALAH
SEMINAR AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK

MEKANISME CHECKS AND BALANCES KEUANGAN DAERAH

DI PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN GIANYAR

Oleh:
I Wayan Budi Mahendra (7)
Nim. 1491662045

PROGRAM STAR BPKP IV


UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015

Anda mungkin juga menyukai