Anda di halaman 1dari 8

PERTEMUAN KE-7:

SISTIM PERADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI


A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Mahasiswa mampu menjelaskan Pidana dan Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi, Sistim
Peradilan Tindak Pidana Korupsi, dan pengembalian asset negara.

B. URAIAN MATERI
Tujuan Pembelajaran 1.1:

Menjelaskan Sistim Peradilan Tindak Pidana Korupsi


Dalam sistem peradilan tindak pidana korupsi, hakim dapat menerapkan sistem
pembuktian terbalik. Sedangkan istilah Sistem Pembuktian Terbalik telah dikenal oleh
masyarakat sebagai bahasa yang dengan mudah dapat dicerna pada masalah dan salah satu
solusi pemberantasan korupsi. Istilah ini sebenarnya kurang tepat, apabila dilakukan
pendekatan gramatikal. Dari sisi bahasa dikenal sebagai “Omkering van het Bewijslast” atau
“Reversal Burden of Proof” yang bila secara bebas diterjemahkan menjadi “Pembalikan
Beban Pembuktian”. Sebagai asas universal, memang akan menjadi pengertian yang bias
apabila diterjemahkan sebagai “pembuktian terbalik”. Disini ada suatu beban pembuktian
yang diletakkan kepada salah satu pihak, yang universalitas terletak pada Penuntut Umum,
namun mengingat adanya sifat kekhususan yang sangat mendesak beban pembuktian itu
diletakkan tidak lagi pada diri Penuntut Umum, tetapi kepada Terdakwa. Proses pembalikan
beban dalam pembuktian inilah yang kemudian dikenal sebagai “Pembalikan Beban
Pembuktian” yang bagi masyarakat awam hukum (lay-man) cukup dikenal dengan istilah
“Sistem Pembuktian Terbalik”.
Darwan Prinst mengemukakan pendapatnya mengenai pembuktian terbalik dalam
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 sebagai berikut: “Pada Undang-Undang No. 20 Tahun
2001 dilahirkan suatu sistem pembuktian terbalik yang khusus diberlakukan untuk tindak
pidana korupsi. Menurut sistem pembuktian terbalik, terdakwa harus membuktikan bahwa
gratifikasi bukan merupakan suap. Jadi, dengan demikian berlaku asas praduga tak
bersalah”.1
Selain yang disebutkan diatas, pembuktian terbalik juga diberlakukan terhadap
tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana

1
Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 11
korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15 dan 16 Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 dan Pasal 15-21 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
Sedangkan Fungsi Sistem Pembuktian Terbalik atau Sistem Pembalikan Beban
Pembuktian mensyaratkan adanya sifat limitatif (terbatas) dan eksepsional (khusus). Dari
pendekatan doktrin dan komparasi sistem hukum pidana, makna atau arti “Terbatas” atau
“Khusus” dari implementasi Sistem Pembalikan Beban Pembuktian (di Indonesia nantinya)
adalah:
1. Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dilakukan terhadap delik
“gratification” (pemberian) yang berkaitan dengan “bribery” (suap), dan bukan terhadap
delik-delik lainnya dalam tindak pidana korupsi. Delik-delik lainnya dalam UU No. 31
Tahun 1999 yang tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 beban pembuktiannya
tetap berada pada Jaksa Penuntut Umum.
2. Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dilakukan terhadap
“perampasan” dari delik-delik yang didakwakan terhadap siapapun sebagaimana tertuang
dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 UU No. 31 Tahun 1999. Perlu ditegaskan pula
bahwa sistem pembuktian terhadap dugaan pelanggaran pada Pasal 2 sampai dengan Pasal
16 UU No. 31 Tahun 1999 tetap dibebankan kepada Jaksa Penuntut Umum. Hanya saja,
apabila Terdakwa berdasarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dianggap terbukti
melakukan pelanggaran salah satu dari delik-delik tersebut dan dikenakan perampasan
terhadap harta bendanya. Terdakwa wajib membuktikan (berdasarkan sistem pembalikan
beban pembuktian) bahwa harta bendanya bukan berasal dari tindak pidana korupsi.
3. Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas penerapan asas Lex
Temporis-nya, artinya sistem ini tidak dapat diberlakukan secara Retroaktif (berlaku surut)
karena potensiel terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), pelanggaran terhadap
asas legalitas, dan menimbulkan apa yang dinamakan asas Lex Talionis (balas dendam).
4. Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dan tidak diperkenankan
menyimpang dari asas “Daad-daderstrafrecht”. KUHPidana yang direncanakan bertolak
dari pokok pemikiran keseimbangan monodualistik, dalam arti memperhatikan
keseimbangan dua kepentingan, antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu,
artinya Hukum Pidana yang memperhatikan segi-segi obyek dari perbuatan (daad) dan
segi-segi subyektif dari orang/pembuat (dader). Dari pendekatan ini, sistem pembalikan
beban pembuktian sangat tidak diperkenankan melanggar kepentingan dan hak-hak
prinsipiel dari pembuat/pelaku (tersangka/terdakwa). Bahwa penerapan sistem pembalikan
beban pembuktian ini sebagai realitas yang tidak dapat dihindari, khususya terjadinya
minimalisasi hak-hak dari “dader” yang berkaitan dengan asas “non self-incrimination”
dan “presumption of innocence”, namun demikian adanya suatu minimalisasi hak-hak
tersebut sangat dihindari akan terjadinya eliminasi hak-hak tersebut, dan apabila terjadi,
inilah yang dikatakan bahwa sistem pembalikan beban pembuktian adalah potensiel
terjadinya pelanggaran HAM.2

Dari penjelasan tersebut diatas, ada 2 (dua) hal pokok yang harus menjadi atensi
semua pihak berkaitan dengan Sistem Pembalikan Beban Pembuktian yang rencananya akan

2
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegaka Hukum, Cetakan Pertama, Diadit Media, Jakarta, 2009, hlm.
287-289.
diterapkan dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia. Bahwa Sistem Pembalikan Beban
Pembuktian diterapkan secara terbatas dan khusus hanya terhadap 2 (dua) perbuatan saja,
yaitu penyuapan dan perampasan harta benda terdakwa.
Asas Pembalikan Beban Pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang
berada di luar kelaziman teoritis pembuktian dalam Hukum (Acara) Pidana yang universal.
Dalam Hukum Pidana (Formil), baik sistem kontinental maupun anglo-saxon, mengenal
pembuktian dengan tetap membebankan kewajibannya pada Jaksa Penuntut Umum, hanya
saja dalam “certain cases” (kasus-kasus tertentu) diperkenankan penerapan dengan
mekanisme yang diferensial, yaitu Sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau dikenal
sebagai “Reversal of Burden Proof” (“Omkering van Bewijslast”), itupun tidak dilakukan
secara overall, tetapi memiliki batas-batas yang seminimal mungkin tidak melakukan suatu
destruksi terhadap perlindungan dan penghargaan Hak Asasi Manusia, khususnya Hak
Tersangka/Terdakwa.3
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 menerapkan asas pembuktian terbalik yang
bersifat terbatas atau berimbang sebagaimana ketentuan dalam Pasal 37 yang mengatur
terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda
isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai
hubungan dengan perkara yang bersangkutan. Apabila terdakwa mampu membuktikan tidak
melakukan tindak pidana korupsi, hal ini dapat dipergunakan sebagai hal yang
menguntungkan terdakwa dan apabila terdakwa gagal membuktikan harta benda yang tidak
seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaannya, hal ini dapat
memperkuat alat bukti bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Disebut
pembuktian terbalik yang terbatas karena jaksa masih tetap berkewajiban untuk membuktikan
dakwaannya, baik terdakwa berhasil maupun gagal membuktikan tindak pidana korupsi
maupun dalam hal pemilikan harta benda.4
Pembuktian dalam proses beracara merupakan hal yang sangat penting dan
menentukan, karena dari sinilah hakim dapat mengambil keputusan apakah seorang terdakwa
dinyatakan telah bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan oleh penuntut umum atau
tidak. Pembuktian terbalik yang terbatas dalam tindak pidana korupsi merupakan
penyimpangan dari asas yang dianut dalam KUHAP, terutama terkait dengan kedudukan

3
Ibid., hlm. 277-279
4
Ibid, hlm. 7-79
terdakwa. Dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dinyatakan bahwa:
“Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana
korupsi”.
Dari pasal tersebut maka dapat dikatakan bahwa pembuktian selain merupakan
kewajiban Jaksa Penuntut Umum juga merupakan hak terdakwa. Apabila terdakwa
mempergunakan haknya dan dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah maka hal
tersebut merupakan hal yang menguntungkan posisinya demikian juga sebaliknya apabila
terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi maka hal tersebut
akan memperlemah posisinya. Disisi yang lain terdakwa wajib untuk memberikan keterangan
tentang harta bendanya, isteri, suami, dan anak-anaknya serta harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga berhubungan dengan perkara yang didakwakan, hal itu termuat dalam
Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999: “Terdakwa wajib memberikan
keterangan tentang seluruh harta bendanya, harta benda isteri atau suami, anak-anaknya serta
harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara
yang bersangkutan”.
Terhadap pembuktian terdakwa penuntut umum tetap berkewajiban untuk
membuktikan dakwaannya seperti yang termuat dalam Pasal 37 ayat (5) Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 sebagai berikut: “Dalam hal terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan
dakwaannya”. UU No. 20 Tahun 2001 menerapkan pembuktian terbalik murni dan
pembuktian terbalik yang terbatas. Pembuktian terbalik diterapkan dalam tindak pidana
gratifikasi dan tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang bukan didakwakan tetapi
diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Pembuktian terbalik diberlakukan terhadap harta
benda milik terdakwa yang belum didakwakan, tetapi diduga berasal dari tindak pidana
korupsi, dan terdakwa wajib membuktikan sebaliknya. Apabila terdakwa berhasil
membuktikan harta benda bukan berasal dari tindak pidana korupsi, tidak dapat dilakukan
perampasan, tetapi tidak demkian apabila sebaliknya sebagaimana diatur dalam Pasal 38 B
ayat (1) sampai ayat (6) UU No. 20 Tahun 2001.

Tujuan Pembelajaran 1.2:

Menjelaskan Masalah Pengembalian Asset Negara Pasca Ratifikasi Konvensi Anti


Korupsi 2003 (UNCAC 2003)
Di dalam Program Legislasi Nasional untuk tahun 2008 yang telah disetujui
Pemerintah dan DPR RI, Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA) termasuk
salah satu prioritas program RUU yang akan dibahas mulai tahun 2008, di samping RUU
Pengadilan TIPIKOR; RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan RUU Perubahan UU
Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Keempat paket RUU tsb di atas akan merupakan
“bench-mark” yang amat menentukan dalam sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia
untuk masa yang akan datang.
RUU PA merupakan RUU terbaru dari keempat paket ruu tsb sebagai konsekuensi
politik dari ratifikasi terhadap Konvensi PBB Anti Korupsi (KAK PBB,2003) dengan
Undang-undang Nomor 7 tahun 2006. Pertanyaan pertama yang patut diajukan adalah,
relevankah saat ini diajukan suatu Rancangan Undang-undang tentang Perampasan Aset
(RUU PA), dan bagaimanakah kiranya yang merupakan landasan pemikiran diperlukannya
suatu pengaturan secara khusus dan tersendiri, di luar ketentuan peraturan perundang-
undangan yang telah berlaku seperti ketentuan perampasan dan penyitaan dalam KUHAP dan
ketentuan di luar KUHP atau KUHAP seperti Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan
UU Pencucian Uang.
Masalah relevansi RUU PA saat ini terkait langah pemerintah dalam pemberantasan
korupsi terutama upaya pengembalian kerugian Negara termasuk yang telah dilarikan ke
Negara lain, tampak bahwa RUU tersebut sangat penting dan mendesak. Mengapa?
pertama, pengalaman pahit dalam hal pengembalian kerugian Negara selama 30 (tigapuluh)
tahun lebih tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap kas Negara.Bahkan sebaliknya,
laporan BPK tahun 2006 tentang setoran Kejaksaan Agung sebesar 6 (enam) trilyun rupiah,
sampai saat ini raib entah kemana. Begitu juga pemasukan biaya perkara kepada Negara
sampai saat ini masih dipermasalahkan sehingga menimbulkan silang sengketa antara MA
dan BPK.
Kedua, Keadaan APBN yang masih sangat terbatas untuk membiayai kegiatan
operasional penegakan hukum terutama pemberantasan korupsi menimbulkan hambatan
sehingga gerak langkah penegakan hukum tidak maksimal. Bahkan jika diungkap secara
terbuka mungkin akan besar pasak daripada tiang. Ketiga, Gerakan pemberantasan korupsi
internasional yang dipelopori Bank Dunia dan UNODC, “STAR Initiative” dengan mengacu
kepada Konvensi PBB Anti Korupsi (KAK PBB) juga telah mengisyaratkan agar masalah
pengembalian asset hasil kejahatan terutama untuk tujuan peningkatan kesejahteraan
masyarakat khususnya mengatasi kemiskinan global, merupakan prioritas utama yang tidak
boleh diabaikan. Keempat, perangkat hukum yang berlaku di Indonesia saat ini belum
mampu secara maksimal mengatur dan menampung kegiatan-kegiatan dalam rangka
pengembalian asset hasil korupsi dan kejahatan di bidang keuangan dan perbankan pada
umumnya. Ketentuan perundang-undangan KUHAP dan UU Pemasyarakatan yang mengatur
tentang Rumah Penyimpanan Benda Sitaan (Rupbasan) tidak khusus ditujukan untuk
mengatur pemulihan asset/pengembalian asset hasil kejahatan kecuali untuk penyimpanan
benda-benda sitaan Negara akibat putusan pengadilan melalui proses penuntutan pidana.
Sedangkan RUU PA justru akan mengatur juga asset-aset hasil kejahatan baik yang
dirampas sementara atau yang disita setelah memperoleh putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, atau asset yang berhasil dikembalikan melalui gugatan
keperdataan yang dilakukan oleh pihak pemerintah. Selain itu RUU PA tsb diharapkan dapat
mengatur pengelolaan asset hasil kejahatan seefisien dan sefektif mungkin baik untuk
kepentingan pelaksanaan operasional penegakan hukum maupun untuk mengisi kas Negara.
Bahkan merujuk kepada KAK PBB yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 7 tahun 2006,
kepentingan pihak ketiga yang beritikad baik dan dirugikan karena tindak pidana korupsi,
dapat mengajukan tuntutan ganti rugi/klaim atas sebagian dari asset yang telah disita dan
ditampung dalam lembaga pengelola asset berdasarkan RUU PA. Untuk tujuan ini memang
diperlukan lembaga khusus dan tersendiri untuk mengkelola asset hasil kejahatan termasuk
korupsi, bersifat independent, dikelola secara transparan dan bertanggung jawab serta
professional. Ketentuan tentang Rupbasan yang berada dalam lingkup UU Pemasyarakatan
masih jauh dari memadai untuk tujuan sebagaimana disampaikan di atas; apalagi kepercayaan
akan kredibilitas pemasyarakatan dalam mengkelola tugas pokoknya masih jauh dari harapan
masyarakat luas.
Kelima, RUU Perampasan Aset sangat relevan dengan maksud dan tujuan
pengembalian asset hasil kejahatan tsb di atas. Bahkan RUU PA tsb harus diperluas lingkup
dan objek pengaturannya, termasuk asset-aset kejahatan yang dapat dikembalikan tidak saja
melalui tuntutan pidana (penuntutan) melainkan juga asset yang dapat dikembalikan melalui
gugatan perdata yang dilakukan oleh pemerintah atas asset seorang tersangka/terdakwa yang
ditempatkan di Negara lain.
Keenam, pengalaman pengembalian asset hasil korupsi dalam kasus Marcos (Filipina)
, Sani Abacha (Nigeria) , dan Fujimori (Peru) telah terbukti bahwa, proses pengembalian
asset tersebut tidak semudah apa yang telah dituliskan di dalam KAK PBB tsb. Bahkan dalam
beberapa hal proses pengembalian asset tersebut tidak serta berjalan mulus karena masih ada
beberapa persyaratan khusus (conditional recovery) yang diminta oleh Negara Yang Diminta
(Requested State) dan harus dipenuhi oleh Negara peminta (Requesting State), antara lain,
Negara peminta harus dapat membuktikan bahwa asset-aset yang disimpan di Negara yang
diminta adalah benar asset hasil kejahatan dan dimiliki oleh tersangka/terdakwa untuk mana
asetnya dituntut untuk dikembalikan ke Negara peminta; Negara Peminta harus membuktikan
bahwa proses peradilan terhadap tersangka/terdakwa untuk mana asetnya hendak ditrariik
kembali ke Negara asalnya telah berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip umum internasional
mengenai “fair trial” dan “due process of law”. Masih banyak persyaratan-persyaratan
lainnya yang dituntut oleh Negara yang Diminta, antara lain, dalam kasus Filipina, harta
kekayaan mantan presiden Marcos, tidak langsung dikembalikan ke Filipina melainkan harus
ditempatkan di suatu “escrow account” Bank di Swiss. Pencairan dan pengembalian harta
dimaksud hanya atas perintah Pengadilan Filipina yang benar fair dan independent. Untuk
kasus Nigeria, pengembalian harta kekayaan Sani Abacha harus disertai jaminan bahwa,
penggunaan harta kekayaan dimaksud untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan rakyat
Nigeria; bahkan sebagian digunakan untuk membayar hutang-hutang luar negeri Negara yang
bersangkutan.
Proses pengembalian asset dengan berbagai persyaratan-persyaratan tersebut di atas
merupakan suatu kebiasaan yang tumbuh dan berkembang dalam praktik hukum internasional
khususnya dalam pemberantasan korupsi, dan sekaligus merupakan preseden di masa yad
bagi setiap Negara yang memiliki kebijakan hukum dengan tujuan pengembalian asset hasil
kejahatan /korupsi; kebijakan hukum dimaksud tidak dapat kita ingkari kenyataan di mana
kejahatan telah bersifat transnasional dan asset hasil kejahatan selalu saja lebih cepat berhasil
ditempatkan di Negara lain jika dibandingkan dengan keberhasilan suatu Negara/aparat
penegak hukum mengembalikan asset dimaksud dengan cepat dan mudah ke Negara-nya.
Berkaca kepada pengalaman pengembalian asset korupsi dari negara-negara tersebut,
dan hukum kebiasaan internasional yang telah berlaku di dalamnya, jelas bahwa ketentuan
peraturan perundang-undangan dalam pemberantasan kejahatan termasuk korupsi dan
pencucian uang yang berlaku di Indonesia saat ini belum cukup memadai jika ditujukan
menyelamatkan asset-aset hasil kejahatan tersebut dari Negara lain untuk kepentingan
sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat dan mengatasi kemiskinan.5

C.LATIHAN SOAL/TUGAS
1. Bagaimanakah penerapan sistim peradilan tindak pidana korupsi?
5
Romli Atmasasmita, Urgensi RUU Pengembalian Aset, http://jodisantoso.blogspot.com/2008/06/urgensi-ruu-
pengembalian-aset.html, Sabtu, 28-2-2009. Pk. 11.24 wib
2. Apakah yang anda ketahui tentang sistim pembuktian terbalik?
3. Bagaimanakah upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi?

D.DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adji, Indriyanto Seno, Korupsi dan Penegaka Hukum, Cetakan Pertama, Diadit Media,
Jakarta, 2009.
Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1984.

Prinst, Darwan, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.

Atmasasmita, Romli, Urgensi RUU Pengembalian Aset,


http://jodisantoso.blogspot.com/2008/06/urgensi-ruu-pengembalian-aset.html, Sabtu,
28-2-2009. Pk. 11.24 wib.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Anda mungkin juga menyukai