B. URAIAN MATERI
Tujuan Pembelajaran 1.1:
1
Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 11
korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15 dan 16 Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 dan Pasal 15-21 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
Sedangkan Fungsi Sistem Pembuktian Terbalik atau Sistem Pembalikan Beban
Pembuktian mensyaratkan adanya sifat limitatif (terbatas) dan eksepsional (khusus). Dari
pendekatan doktrin dan komparasi sistem hukum pidana, makna atau arti “Terbatas” atau
“Khusus” dari implementasi Sistem Pembalikan Beban Pembuktian (di Indonesia nantinya)
adalah:
1. Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dilakukan terhadap delik
“gratification” (pemberian) yang berkaitan dengan “bribery” (suap), dan bukan terhadap
delik-delik lainnya dalam tindak pidana korupsi. Delik-delik lainnya dalam UU No. 31
Tahun 1999 yang tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 beban pembuktiannya
tetap berada pada Jaksa Penuntut Umum.
2. Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dilakukan terhadap
“perampasan” dari delik-delik yang didakwakan terhadap siapapun sebagaimana tertuang
dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 UU No. 31 Tahun 1999. Perlu ditegaskan pula
bahwa sistem pembuktian terhadap dugaan pelanggaran pada Pasal 2 sampai dengan Pasal
16 UU No. 31 Tahun 1999 tetap dibebankan kepada Jaksa Penuntut Umum. Hanya saja,
apabila Terdakwa berdasarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum dianggap terbukti
melakukan pelanggaran salah satu dari delik-delik tersebut dan dikenakan perampasan
terhadap harta bendanya. Terdakwa wajib membuktikan (berdasarkan sistem pembalikan
beban pembuktian) bahwa harta bendanya bukan berasal dari tindak pidana korupsi.
3. Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas penerapan asas Lex
Temporis-nya, artinya sistem ini tidak dapat diberlakukan secara Retroaktif (berlaku surut)
karena potensiel terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), pelanggaran terhadap
asas legalitas, dan menimbulkan apa yang dinamakan asas Lex Talionis (balas dendam).
4. Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dan tidak diperkenankan
menyimpang dari asas “Daad-daderstrafrecht”. KUHPidana yang direncanakan bertolak
dari pokok pemikiran keseimbangan monodualistik, dalam arti memperhatikan
keseimbangan dua kepentingan, antara kepentingan masyarakat dan kepentingan individu,
artinya Hukum Pidana yang memperhatikan segi-segi obyek dari perbuatan (daad) dan
segi-segi subyektif dari orang/pembuat (dader). Dari pendekatan ini, sistem pembalikan
beban pembuktian sangat tidak diperkenankan melanggar kepentingan dan hak-hak
prinsipiel dari pembuat/pelaku (tersangka/terdakwa). Bahwa penerapan sistem pembalikan
beban pembuktian ini sebagai realitas yang tidak dapat dihindari, khususya terjadinya
minimalisasi hak-hak dari “dader” yang berkaitan dengan asas “non self-incrimination”
dan “presumption of innocence”, namun demikian adanya suatu minimalisasi hak-hak
tersebut sangat dihindari akan terjadinya eliminasi hak-hak tersebut, dan apabila terjadi,
inilah yang dikatakan bahwa sistem pembalikan beban pembuktian adalah potensiel
terjadinya pelanggaran HAM.2
Dari penjelasan tersebut diatas, ada 2 (dua) hal pokok yang harus menjadi atensi
semua pihak berkaitan dengan Sistem Pembalikan Beban Pembuktian yang rencananya akan
2
Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegaka Hukum, Cetakan Pertama, Diadit Media, Jakarta, 2009, hlm.
287-289.
diterapkan dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia. Bahwa Sistem Pembalikan Beban
Pembuktian diterapkan secara terbatas dan khusus hanya terhadap 2 (dua) perbuatan saja,
yaitu penyuapan dan perampasan harta benda terdakwa.
Asas Pembalikan Beban Pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang
berada di luar kelaziman teoritis pembuktian dalam Hukum (Acara) Pidana yang universal.
Dalam Hukum Pidana (Formil), baik sistem kontinental maupun anglo-saxon, mengenal
pembuktian dengan tetap membebankan kewajibannya pada Jaksa Penuntut Umum, hanya
saja dalam “certain cases” (kasus-kasus tertentu) diperkenankan penerapan dengan
mekanisme yang diferensial, yaitu Sistem Pembalikan Beban Pembuktian atau dikenal
sebagai “Reversal of Burden Proof” (“Omkering van Bewijslast”), itupun tidak dilakukan
secara overall, tetapi memiliki batas-batas yang seminimal mungkin tidak melakukan suatu
destruksi terhadap perlindungan dan penghargaan Hak Asasi Manusia, khususnya Hak
Tersangka/Terdakwa.3
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 menerapkan asas pembuktian terbalik yang
bersifat terbatas atau berimbang sebagaimana ketentuan dalam Pasal 37 yang mengatur
terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda
isteri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai
hubungan dengan perkara yang bersangkutan. Apabila terdakwa mampu membuktikan tidak
melakukan tindak pidana korupsi, hal ini dapat dipergunakan sebagai hal yang
menguntungkan terdakwa dan apabila terdakwa gagal membuktikan harta benda yang tidak
seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaannya, hal ini dapat
memperkuat alat bukti bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi. Disebut
pembuktian terbalik yang terbatas karena jaksa masih tetap berkewajiban untuk membuktikan
dakwaannya, baik terdakwa berhasil maupun gagal membuktikan tindak pidana korupsi
maupun dalam hal pemilikan harta benda.4
Pembuktian dalam proses beracara merupakan hal yang sangat penting dan
menentukan, karena dari sinilah hakim dapat mengambil keputusan apakah seorang terdakwa
dinyatakan telah bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan oleh penuntut umum atau
tidak. Pembuktian terbalik yang terbatas dalam tindak pidana korupsi merupakan
penyimpangan dari asas yang dianut dalam KUHAP, terutama terkait dengan kedudukan
3
Ibid., hlm. 277-279
4
Ibid, hlm. 7-79
terdakwa. Dalam Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dinyatakan bahwa:
“Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan dirinya tidak melakukan tindak pidana
korupsi”.
Dari pasal tersebut maka dapat dikatakan bahwa pembuktian selain merupakan
kewajiban Jaksa Penuntut Umum juga merupakan hak terdakwa. Apabila terdakwa
mempergunakan haknya dan dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah maka hal
tersebut merupakan hal yang menguntungkan posisinya demikian juga sebaliknya apabila
terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan korupsi maka hal tersebut
akan memperlemah posisinya. Disisi yang lain terdakwa wajib untuk memberikan keterangan
tentang harta bendanya, isteri, suami, dan anak-anaknya serta harta benda setiap orang atau
korporasi yang diduga berhubungan dengan perkara yang didakwakan, hal itu termuat dalam
Pasal 37 ayat (3) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999: “Terdakwa wajib memberikan
keterangan tentang seluruh harta bendanya, harta benda isteri atau suami, anak-anaknya serta
harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara
yang bersangkutan”.
Terhadap pembuktian terdakwa penuntut umum tetap berkewajiban untuk
membuktikan dakwaannya seperti yang termuat dalam Pasal 37 ayat (5) Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 sebagai berikut: “Dalam hal terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (5), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan
dakwaannya”. UU No. 20 Tahun 2001 menerapkan pembuktian terbalik murni dan
pembuktian terbalik yang terbatas. Pembuktian terbalik diterapkan dalam tindak pidana
gratifikasi dan tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang bukan didakwakan tetapi
diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Pembuktian terbalik diberlakukan terhadap harta
benda milik terdakwa yang belum didakwakan, tetapi diduga berasal dari tindak pidana
korupsi, dan terdakwa wajib membuktikan sebaliknya. Apabila terdakwa berhasil
membuktikan harta benda bukan berasal dari tindak pidana korupsi, tidak dapat dilakukan
perampasan, tetapi tidak demkian apabila sebaliknya sebagaimana diatur dalam Pasal 38 B
ayat (1) sampai ayat (6) UU No. 20 Tahun 2001.
C.LATIHAN SOAL/TUGAS
1. Bagaimanakah penerapan sistim peradilan tindak pidana korupsi?
5
Romli Atmasasmita, Urgensi RUU Pengembalian Aset, http://jodisantoso.blogspot.com/2008/06/urgensi-ruu-
pengembalian-aset.html, Sabtu, 28-2-2009. Pk. 11.24 wib
2. Apakah yang anda ketahui tentang sistim pembuktian terbalik?
3. Bagaimanakah upaya pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi?
D.DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adji, Indriyanto Seno, Korupsi dan Penegaka Hukum, Cetakan Pertama, Diadit Media,
Jakarta, 2009.
Moelyatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1984.
Prinst, Darwan, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.