Anda di halaman 1dari 4

Nama : Elanda

NIM : 031079695
Mata Kuliah :
Semester :6
Pokja : Curup
Tugas : Tindak Pidana Korupsi

1. Silakan berikan analisis mengenai  arti atau makna dari pengertian ‘melawan hukum’
dalam Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 setelah keluarnya Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 dan berikan analisis mengenai  dasar pertimbangan
MK atas putusan dimaksud. 

Rumusan ketentuan tentang tindak pidana korupsi seperti yang terdapat dalam Pasal 2
ayat (1) UU PTPK, maka pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa:
Unsur melawan hukum dari ketentuan tentang tindak pidana korupsi tersebut
merupakan sarana untuk melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang
lain atau korporasi. Dengan demikian, sebagai akibat hukum dari perumusan
ketentuan tentang tindak pidana korupsi tersebut, meskipun suatu perbuatan telah
“merugikan Keuangan
Negara atau Perekonomian Negara”, tetapi jika dilakukan tidak secara melawan
hukum, maka perbuatan “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi” tersebut bukan merupakan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK.

Putusan Mahkamah Konstitusi tidak tegas disebutkan mana di antara kedua fungsi
dari ajaran atau konsep melawan hukum materiil itu yang dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Kiranya tidak akan ada perbedaan pendapat
jika dikatakan bahwa dalam putusan Mahkamah Konstitusi itu yang dinyatakan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat adalah ajaran atau konsep melawan hukum
materiil dalam fungsinya yang positif saja, sedang ajaran atau konsep melawan
hukum dalam fungsinya yang negatif tetap masih berlaku. Dengan demikian, praktik
menunjukkan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi, dapat saja disimpangi oleh
Hakim atau aparat penegak hukum lainnya dalam perkara tindak pidana korupsi di
Indonesia

2. Apakah sistem pembalikan beban pembuktian melanggar asas presumption of


innocence?

Asas presumption of innocence atau asas praduga tak bersalah diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) dan Undang-Undang No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”).
 
Dalam KUHAP, asas praduga tak bersalah dijelaskan dalam Penjelasan Umum
KUHAP butir ke 3 huruf c yaitu:
 
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di
muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
 
Sedangkan dalam UU Kehakiman, asas praduga tak bersalah diatur dalam Pasal 8
ayat (1), yang berbunyi:
 
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan
pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
 
Salah satu buku yang membahas mengenai asas praduga tak bersalah
adalah “Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan
Penuntutan” yang ditulis M. Yahya Harahap, S.H. Dalam buku tersebut, mengenai
penerapan asas praduga tak bersalah, Yahya Harahap menulis sebagai berikut (hal.
34):
 
“Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki hakikat
martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. Yang diperiksa bukan
manusia tersangka. Perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi
objek pemeriksaan. Ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan
ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak
bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap.”
 
Sementara “pembalikan beban pembuktian”. Hal ini sebagaimana dijelaskan Dr. H.
M. Akil Mochtar, S.H., M.H., dalam bukunya yang berjudul Pembalikan Beban
Pembuktian Tindak Pidana Korupsi (hal. 129). Di dalam buku tersebut lebih lanjut
ditulis bahwa
 
“Istilah ini (pembuktian terbalik, ed.) sebenarnya kurang tepat apabila dilakukan
pendekatan gramatikal. Dari sisi bahasa dikenal sebagai Omkering van het
Bewijslast atau Reversal Burden of Proof yang bila secara bebas diterjemahkan
menjadi “Pembalikan Beban Pembuktian’.”
 
Pada dasarnya, dalam sistem hukum pidana formil di Indonesia, beban untuk
membuktikan ada atau tidaknya pidana terletak pada Jaksa Penuntut Umum. Hal ini
sebagaimana tersirat dalam Pasal 66 Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (“KUHAP”), bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban
pembuktian. Dalam penjelasan Pasal 66 KUHAP, dikatakan bahwa ketentuan ini
adalah penjelmaan asas “praduga tak bersalah”.
 
Hal demikian juga dikatakan M. Yahya Harahap, S.H. dalam bukunya yang
berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Di dalam hal. 274, Yahya
menyatakan bahwa ditinjau dari segi hukum acara pidana, penutut umum bertindak
sebagai aparat yang diberi wewenang untuk mengajukan segala daya upaya
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
 
Jadi pada dasarnya, pembalikan beban pembuktian adalah peletakan beban
pembuktian yang tidak lagi pada diri Penuntut Umum, tetapi kepada terdakwa.
 
Di Indonesia, sistem pembalikan beban pembuktian dapat dilihat antara lain
dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah oleh Undang-
Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“”UU
Tipikor”), tetapi yang diterapkan dalam UU Tipikor adalah sistem pembalikan beban
pembuktian yang bersifat terbatas atau berimbang. Sistem pembalikan beban
pembuktian yang bersifat terbatas atau berimbang ini dijelaskan dalam penjelasan UU
Tipikor tersebut, yaitu terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh
harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang
atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan,
dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.

Sehingga menurut saya, sistem pembalikan beban pembuktian tidak melanggar


asas presumption of innocence karena terdakwa masih memiliki hak untuk
membuktikan dirinya bersalah atau tidak.

3. Apakah dengan penerapan pembalikan beban pembuktian dapat memberikan efek jera
dan menurunkan perilaku korupsi, Berikan argumentasi dan analisis!
Menurut saya tidak karena :
1) Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dilakukan terhadap
tindak pidana “gratification” (pemberian) yang berkaitan dengan “bribery”
(suap) dan bukan terhadap delik-delik lainnya dalam tindak pidana korupsi.
2) Delik-delik lainnya dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang
tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 beban pembuktiannya tetap
ada pada Jaksa Penuntut Umum.
3) Sistem Pembalikan Beban Pembuktian hanya terbatas dilakukan terhadap
“perampasan” dari delik-delik yang didakwakan terhadap siapa saja
sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 16 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999. Perlu ditegaskan pula bahwa sistem pembuktian
terhadap dugaan pelanggaran pada Pasal 2 sampai dengan Pasal 16
UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tetap diberikan pada Jaksa Penuntut
Umum. Apabila Terdakwa berdasarkan Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
dinilai terbukti melakukan pelanggaran salah satu dari tindak pidana tersebut
dan dikenakan perampasan terhadap harta bendanya, Terdakwa wajib
membuktikan bahwa harta bendanya bukan berasal dari tindak pidana korupsi
4) Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian terbatas penerapan asas Lex
Temporis-nya, yakni sistem ini tidak dapat diberlakukan secara Retroaktif
(berlaku surut) karena potensial terjadinya pelanggaran HAM, pelanggaran
terhadap asas Legalitas, dan menimbulkan apa yang dinamakan asas Lex
Talionis (balas dendam).
5) Bahwa Sistem Pembalikan Beban Pembuktian terbatas dan tidak
diperkenankan menyimpang dari asas “Daad-daderstrafrecht”.

Dari pengertian ini, sistem pembalikan beban pembuktian sangat tidak


diperkenankan melanggar kepentingan dan hak-hak prinsipiel dari pembuat/
pelaku (tersangka/terdakwa). Bahwa penerapan sistem pembalikan beban
pembuktian ini sebagai kenyataan yang tidak dapat dihindari, khususnya
terjadinya minimalisasi hak-hak dari “dader” yang berkaitan dengan asas “non
self-incrimination” dan “praduga tak bersalah”, namun demikian adanya suatu
minimalisasi hak-hak tersebut sangat dihindari akan terjadinya eliminasi hak-
hak tersebut, dan apabila terjadi, inilah yang dikatakan bahwa sistem
pembalikan beban pembuktian adalah potensial terjadinya pelanggaran HAM

Anda mungkin juga menyukai