akhir tahun mencapai 295.000, 94% diantaranya terdapat negara berkembang Sedangkan data AKI
indonesia secara umum pada tahun 2019 terjadi penurunan dari 395 menjadi 305/100.000
kelahiran hidup (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
Berdasarkan Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017, jumlah angka
kematian ibu (AKI) tergolong cukup tinggi yaitu 305 per 100.000 kelahiran hidup (KH), nilai
tersebut masih dibawah standar capaian Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030 yaitu
70/100.000 (Dewi et al., 2020). Dinas Kesehatan Republik Indonesia melaporkan bahwa penyebab
AKI adalah pendarahan, infeksi, dan hipertensi. Sedangkan data dari Riset Kesehatan Dasar tahun
2016 menunjukkan bahwa penyebab terjadinya AKI adalah infeksi dan pendarahan yang merupakan
komplikasi dari ketuban pecah dini (KPD). Presentase kejadian KPD di Indonesia sebesar 4,4-7,6%
dari seluruh kehamilan yang terbagi pada 3-18% kehamilan preterm dan 8-10% kehamilan aterm
(Nikmathul Ali et al., 2021).
Menurut World Health Organization (WHO) angka kejadian KPD di dunia pada tahun 2017 sebanyak
50-60% (Wulandari et al., 2019).
WHO menyebutkan kasus ketuban pecah dini ± 5-10% dari total kelahiran. KPD preterm terjadi 1%
sedangkan kehamilan aterm 22% dari total kehamilan (WHO, 2019). SDKI juga mengatakan insiden KPD
di Indonesia ± 4,5% - 7,6% dari total kehamilan. (WHO, 2019)
Ketuban Pecah Dini (KPD) yakni pecahnya selaput amnion (ketuban) sebelum munculnya
tanda-tanda persalinan yang diobservasi 1 jam sebelum terjadinya inpartu. KPD terjadi karena
selaput mengalami robekan, muncul setelah usia kehamilan mencapai 28 minggu dalam 8 sampai
dengan 10% wanita hamil lebih dari 40 minggu beresiko KPD. Jadi ketuban pecah dini yakni
pecahnya ketuban sebelum waktunya inpartu (Manuaba, 2009).
Penyebab KPD belum dilihat secara pasti apa yang menyebabkan seseorang ketuban pecah dini, namun
yang menjadi faktor antara lain infeksi yang terjadi langsung pada selaput ketuban yang abnormal pada
faktor yang meliputi paritas, jumlah air ketuban, kelainan letak, cephal polvic disproportion, dan
pendular abdomen (Sagita, 2016) 364artickle
Ketuban pecah dini yaitu robeknya membran ketuban yang terjadi pada ibu sebelum melewati
waktu persalinan, kemudian bisa terjadi pada fase laten ibu bersalin, dan pada waktu kehamilan
memasuki trimester II maupun trimester III. Ketuban pecah dini dapat ditandai dengan robeknya
membran yang menyebabkan ketuban pecah dalam waktu 1 jam dan setelah dilakukan
pemeriksaan dalam tidak terdapat tanda-tanda persalinan, salah satunya seperti pembukaan
(Nikmathul Ali et al., 2021). Ketidakmampuan servik dalam mempertahankan janin sangat terkait
dengan peningkatan insidensi KPD, vagina/serviks yang telah terinfeksi, gemelli, polihidramnion,
trauma, pembesaran uteri, stress maternal, stress fetal, kelainan pada serviks yaitu ibu dengan
servik yang pendek, serta prosedur medis (Zamilah et al., 2020).
Ketuban Pecah Dini ialah pecahnya ketuban sebelum waktu melahirkan yang terjadi di akhir kehamilan
atau sebelum waktunya (Rukiyah dan Yulianti, 2014). Ketuban pecah dini aterm bisa terjadi pada usia
gestasi ≥ 37 minggu. Jika terjadi usia gestasi < 37 minggu dikatakan KPD preterm atau Preterm
Premature Rupture Membranes (PPROM). Faktor terjadinya KPD ialah faktor umum meliputi infeksi,
faktor sosial, perokok, peminum, paritas, sosial ekonomi rendah, faktor keturunan meliputi genetik dan
faktor rendahnya vitamin C dan ion CU dalam serum, dan faktor obstetric meliputi kehamilan kembar,
hidramnion, serviks inkompeten, serviks konisasi, cephalopelvic disproporsi (kepala janin belum masuk
pintu atas panggul), kelainan letak, pandular abdomen dan grandemultipara. Efek ketuban pecah dini
pada bayi bisa menjadi factor kelahiran prematur dimana ketika cairan ketuban hilang tali pusat terjepit
diantara janin dan dinding rahim yang membuat janin mengalami kekurangan nutrisi serta suplai oksigen
yang mengakibatkan cedera otak bahkan kematian pada bayi. Sedangkan pada ibu, KPD dapat menjadi
factor terjadinya infeksi dalam rahim. Gejalanya ialah suhu tubuh naik, keputihan yang tidak biasa,
vagina berbau tidak enak, denyut nadi cepat, nyeri di perut bagian bawah dan detak janin menjadi lebih
cepat dari biasanya. Kondisi ini dapat berakibat kematian (Manuaba, 2016).
Sampai saat ini faktor yang menyebabkan terjdinya KPD pada ibu bersalin belum diketahui secara
pasti dan jelas, maka usaha preventif atau pencegahan dari tenaga kesehatan belum bisa
dilaksanakan secara mendetail. Tetapi tenaga kesehatan masih bisa untuk menekan angka kejadian
infeksi supaya tidak terjadi komplikasi pada ibu bersalin. Adapun faktor-faktor penyebab
meningkatnya kejadian KPD pada ibu bersalin adalah fisiologi membran amnion, ketidakmampuan
serviks dalam mempertahankan janin, vagina/serviks yang terkena infeksi, gemelli, umur ibu,
paritas, cephalopelvic disproportion (CPD), stress pada fetal maupun maternal, intensitas pekerjaan
ibu, dan prosedur medis (Zamilah et al., 2020).
Dampak yang dapat ditimbulkan akibat terjadinya KPD adalah berbagai macam komplikasi neonatus
meliputi prematuritas, respiratory distress syndrome, pendarahan intraventrikel, sepsis, dan fetal
distress, sedangkan dampak KPD pada ibu yaitu dapat menyebabkan mudahnya transmisi bakteri
yang dapat menimbulkan infeksi infeksi asenden dan intrapartal mulai dari bagian luar ke bagian
dalam rahim. Ibu bersalin yang mengalami fase laten memanjang akan meningkatkan peluang
infeksi pada bagian dalam rahim serta bayi yang lahir dari persalinan prematur. Hal tersebut juga
dapat meningkatkan kejadian angka kesakitan maupun angka kematian pada ibu dan bayi yang ada
di dalam rahim sehingga meningkatkan AKI maupun AKB (Nikmathul Ali et al., 2021). Article+35
Risiko ketuban pecah dini dapat menimbulkan beberapa masalah bagi ibu maupun bagi janin. Bagi ibu
dapat menyebabkan infeksi intrapartal (dalam persalinan), infeksi puerparalis (masa nifas), partus lama,
pendarahan postpartum, morbiditas dan mortalitas maternal. Sedangkan pada bayi dapat menyebabkan
prematuritas, prolapse funiculli/penurunan tali pusar, hipoksia, asfiksia sekunder, morbiditas dan
mortalitas perinatal (Fadlun Feryanto, 2012). Adwiya
Upaya yang dilakukan pemerintah guna menekan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi ialah
dengan melaksanakan Program Maternal and Infant Mortality Meeting (M3) dan upaya deteksi dini ibu
hamil dilaksanakan dengan Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K), Program
Antenatal Care (ANC) serta peningkatan keterampilan dan pengetahuan petugas dengan berbagai
pelatihan termasuk Asuhan Persalinan Normal (APN), serta Pertolongan Pertama Kegawat daruratan
Obstetric dan Neonatus (PPGDON) (Kemenkes, 2018).