Mata Kuliah :
Tindak Pidana Korupsi dan Pajak (A)
Dosen Pengampu :
1. Prof. Dr. M. Arief Amrullah S.H., M.Hum.
2. Dr. R.A Rini Anggraini S.H., M.H.
Disusun Oleh :
Nama : Nabil Taftazzany Muhammad
NIM : 210710101256
UNIVERSITAS JEMBER
Jl. Kalimantan Tegalboto No.37, Krajan Timur, Sumbersari, Kec. Sumbersari, Kabupaten
Jember, Jawa Timur 6812
BAB I
PENDAHULUAN
Extraordinary Crime atau kejahatan luar biasa merupakan kejahatan terhadap Hak Asasi
Manusia sebagaimana yang tertulis dalam Penjelasan Umum Undang-undang No. 26 Tahun
2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, extraordinary crime dibagi menjadi dua antara
lain; kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, Yang dimaksud dengan genosida
adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama,
dengan cara: (1)membunuh anggota kelompok; (2)mengakibatkan penderitaan fisik dan mental
yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; (3)menciptakan kondisi kehidupan kelompok
yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; (4)
memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; (5) atau
memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan
tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil seperti; (1)pembunuhan;
(2)pemusnahan; (3)perbudakan; (4)pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
(5)perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang
yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; (6)penyiksaan; (7)perkosaan,
perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi
secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; (8)penganiayaan terhadap
suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras,
kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara
universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; (9)penghilangan orang secara
paksa; atau kejahatan apartheid. Kejahatan luar biasa juga tercantum dalam Statuta Roma Tahun
1998 Pasal 5 yang disebut dengan Jus Cogens/Peremptory norm atau norma yang tidak dapat
disimpangi yang terdiri atas; Genosida, Kejahatan terhadap kemanusiaan, Kejahatan perang, dan
Agresi.
Muhammad Hatta dalam bukunya yang berjudul “Kejahatan luar biasa” menjelaskan
setidaknya ada 4 sifat dan karakteristik yang menjadikan tindak pidana korupsi dapat disebut
sebagai sebagai kejahatan luar biasa, yaitu: (a). Korupsi merupakan kejahatan terorganisasi
yang dilakukan secara sistematis. (b). Korupsi biasanya dilakukan dengan modus operandi
yang sulit sehingga tidak mudah untuk membuktikannya. (c). Korupsi selalu berkaitan
dengan kekuasaan. (d). Korupsi adalah kejahatan yang berkaitan dengan nasib orang banyak
karena keuangan negara yang dapat dirugikan sangat bermanfaat untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat (Hatta, 2019:21).
Di indonesia sendiri penegakan hukum dilakukan untuk menekan atau mempersempit ruang
gerak para pelaku kejahatan khususnya dalam kasus ini adalah para pelaku tindak pidana
korupsi, namun penegakan hukum yang dilakukan pihak yang berwenang tidak berjalan
dengan lancar, tidak jarang penegak hukum bekerja sama dengan para pelaku atau membantu
dalam meloloskan para pelaku tindak pidana korupsi dari jerat hukum, hal ini tentu dapat
menyebabkan turunnya kepercayaan publik terhadap kinerja hakim, oleh karena itu
dibutuhkan badan khusus yang independen yang memiliki kewenangan khusus dalam
mengadili tindak pidana korupsi yakni KPK.
Namun bagaimana apabila pelaku tindak pidana Korusi adalah militer dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer bahwa Pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada
waktu melakukan tindak pidana adalah anggota TNI. Hal ini dimaksudkan agar penegakan
hukum dan keadilan dalam lingkungan militer sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman agar diselenggarakan peradilan
guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara
hukum Republik Indonesia.
Penanganan kasus korupsi yang dilakukan prajurit TNI ditangani oleh peradilan Militer,
akan tetapi penanganan kasus korupsi yang dilakukan oleh prajurit TNI bersama-sama
masyarakat sipil ditangani melalui sidang koneksitas, sidang koneksitas diatur didalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Mekanisme pemeriksaan
koneksitas juga diatur didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer, Peradilan koneksitas yang bertugas untuk mengadili apabila terjadi suatu tindak pidana
yang dilakukan bersama-sama oleh sipil dan prajueit TNI baik tindak pidana umum maupun
tindak pidana khusus sepeti korupsi.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
memberikan kewenangan KPK antara lain melakukan supervisi terhadap instansi penyidik
Kepolisian dan penyidik Kejaksanaan, yang memiliki kewenangan melakukan tindakan hukum
penyidikan dan penuntutan terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Kewenangan
supervisi di maksudkan untuk meminimalisasi penyalahgunaan kewenangan oleh penyidik polisi
dan jaksa dalam pemberantasan korupsi. Mengingat pemberantasan tindak pidana korupsi sudah
dilaksanakan oleh Kepolisian, Kejaksaan dan badan-badan lain maka kewenangan supervisi
KPK diperlukan kecermatan, prinsip kehati-hatian, agar tidak tumpang tindih dalam
melaksanakan kewenangan. Tugas dan wewenang KPK menurut UU Nomor 30 Tahun 2002
Pasal 6 dan 7 yaitu : Komisi pemberantasan korupsi mempunyai tugas :
Pasal 7 Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dirnaksud dalam pasal 5 huruf a,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :
Amanat undang-undang menjadikan KPK sebagai lembaga super power. Semua proses
tindakan hukum dan upaya hukum, sejak tindakan penyidikan, penuntutan dilakukan oleh
KPK. Tersangka korupsi diadili di pengadilan khusus tindak pidana korupsi (Peradilan
Tipikor), bukan oleh pengadilan umum. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 memberikan
kewenangan kepada KPK untuk mengambilalih kasus tindak pidana korupsi yang sedang
ditandatangani instansi penegak hukum lainnya (penyidik kepolisian dan kejaksaan), jika
hingga batas yang ditentukan kasus yang ditangani belum selesai. KPK diberi kewenangan
oleh undangundang untuk melakukan tindakan hukum pengambilalihan dalam suatu proses
tindakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Syarat Pengambilalihan Proses
Penyidikan dan Penuntutan menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Pasal 9 yaitu;
Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,
dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:
Dalam penegakan hukum terhadap tipikor, orang yang mengemban tugas sebagai supervisor,
harus mempunyai keterampilan yang baik dalam hal teknis yustisial, sehingga kualitas tindakan
penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan dapat terlaksana secara proporsional dan
profesional. Jika supervisor dari KPK mempunyai keterampilan teknis yustisial yang baik, maka
secara otomatis, aparatur di Kepolisian dan/atau Kejaksaan akan memberikan apresiasi sebagai
layaknya supervisor profesional dalam bidangnya. Secara normatif, pengaturan kewenangan
supervisi KPK tidak menimbulkan benturan antara KPK, Kepolisian dan Kejaksaan. Dalam hal
ini, UU KPK telah memberikan isyarat agar tidak terjadi tumpang-tindih di antara, ketiganya.
Selain itu, KPK tetap berniat membangun jaringan kerjasama yang kuat dan tidak memonopoli
tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tipikor.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan dan Saran
Tindak pidana korupsi tidak hanya terjadi di kalangan sipil, tetapi juga melibatkan anggota
militer. Meskipun anggota militer tunduk pada hukum pidana militer, namun tindak pidana
korupsi tidak memiliki regulasi khusus dalam hukum militer. Akibatnya, anggota militer juga
harus patuh pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang mengimplikasikan
bahwa mereka dapat diadili tidak hanya oleh pengadilan militer, tetapi juga oleh pengadilan
umum.
Dalam kasus Marsekal Madya Henri Alfiandi di Basarnas, statusnya dianggap setara dengan
prajurit sehingga ia tunduk pada hukum militer dan dapat diadili oleh pengadilan militer.
Meskipun praktik seperti ini pernah terjadi sebelumnya, sebenarnya terdapat konflik aturan.
Seharusnya, hanya pengadilan tindak pidana korupsi yang memiliki wewenang mengadili kasus
korupsi. Oleh karena itu, segala tindak pidana korupsi, baik yang dilakukan oleh sipil maupun
militer, seharusnya diadili di pengadilan tindak pidana korupsi.
Dalam hal kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seharusnya KPK tetap memiliki
hak untuk berpartisipasi dalam kasus tersebut, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
undang-undang. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan peran yang sangat penting
dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebagai lembaga independen, KPK memiliki
kewenangan yang luas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi. Dengan mandatnya yang kuat, KPK dapat menangani kasus korupsi tanpa
adanya intervensi politik atau tekanan dari pihak-pihak yang terlibat.
Kewenangan KPK mencakup penyelidikan terhadap pejabat tinggi negara, penegakan hukum
terhadap korupsi di berbagai sektor, pengembangan program pencegahan korupsi, dan kerja
sama internasional dalam hal pemberantasan korupsi lintas batas. Meskipun peran KPK sangat
vital dalam memerangi korupsi, penting juga untuk memastikan bahwa lembaga ini beroperasi
secara transparan, akuntabel, dan profesional.