Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS KASUS KORUPSI OLEH KEPALA BASARNAS

Mata Kuliah :
Tindak Pidana Korupsi dan Pajak (A)

Dosen Pengampu :
1. Prof. Dr. M. Arief Amrullah S.H., M.Hum.
2. Dr. R.A Rini Anggraini S.H., M.H.

Disusun Oleh :
Nama : Nabil Taftazzany Muhammad
NIM : 210710101256

UNIVERSITAS JEMBER
Jl. Kalimantan Tegalboto No.37, Krajan Timur, Sumbersari, Kec. Sumbersari, Kabupaten
Jember, Jawa Timur 6812
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Extraordinary Crime atau kejahatan luar biasa merupakan kejahatan terhadap Hak Asasi
Manusia sebagaimana yang tertulis dalam Penjelasan Umum Undang-undang No. 26 Tahun
2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, extraordinary crime dibagi menjadi dua antara
lain; kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, Yang dimaksud dengan genosida
adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau
memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama,
dengan cara: (1)membunuh anggota kelompok; (2)mengakibatkan penderitaan fisik dan mental
yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; (3)menciptakan kondisi kehidupan kelompok
yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; (4)
memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; (5) atau
memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang dilakukan
sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan
tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil seperti; (1)pembunuhan;
(2)pemusnahan; (3)perbudakan; (4)pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
(5)perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang
yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional; (6)penyiksaan; (7)perkosaan,
perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi
secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; (8)penganiayaan terhadap
suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras,
kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara
universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; (9)penghilangan orang secara
paksa; atau kejahatan apartheid. Kejahatan luar biasa juga tercantum dalam Statuta Roma Tahun
1998 Pasal 5 yang disebut dengan Jus Cogens/Peremptory norm atau norma yang tidak dapat
disimpangi yang terdiri atas; Genosida, Kejahatan terhadap kemanusiaan, Kejahatan perang, dan
Agresi.

Dalam perkembangannya kasus korupsi diklasifikasikan menjadi extraordinary crime atau


kejahatan luar biasa semenjak terbitnya Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah tercantum dalam penjelasan umum
Undang-undang KPK bahwa tindak pidana korupsi terjadi secara meluas dan tidak hanya
merugikan keuangan negara tetapi tindak pidana korupsi juga merupakan pelanggaran hak hak
ekonomi dan sosial masyarakat secara luas oleh sebab itu tindak pidana korupsi digolongkan
dalam kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa (Alkostar, 2013:2).

Muhammad Hatta dalam bukunya yang berjudul “Kejahatan luar biasa” menjelaskan
setidaknya ada 4 sifat dan karakteristik yang menjadikan tindak pidana korupsi dapat disebut
sebagai sebagai kejahatan luar biasa, yaitu: (a). Korupsi merupakan kejahatan terorganisasi
yang dilakukan secara sistematis. (b). Korupsi biasanya dilakukan dengan modus operandi
yang sulit sehingga tidak mudah untuk membuktikannya. (c). Korupsi selalu berkaitan
dengan kekuasaan. (d). Korupsi adalah kejahatan yang berkaitan dengan nasib orang banyak
karena keuangan negara yang dapat dirugikan sangat bermanfaat untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat (Hatta, 2019:21).

Di indonesia sendiri penegakan hukum dilakukan untuk menekan atau mempersempit ruang
gerak para pelaku kejahatan khususnya dalam kasus ini adalah para pelaku tindak pidana
korupsi, namun penegakan hukum yang dilakukan pihak yang berwenang tidak berjalan
dengan lancar, tidak jarang penegak hukum bekerja sama dengan para pelaku atau membantu
dalam meloloskan para pelaku tindak pidana korupsi dari jerat hukum, hal ini tentu dapat
menyebabkan turunnya kepercayaan publik terhadap kinerja hakim, oleh karena itu
dibutuhkan badan khusus yang independen yang memiliki kewenangan khusus dalam
mengadili tindak pidana korupsi yakni KPK.

Namun bagaimana apabila pelaku tindak pidana Korusi adalah militer dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer bahwa Pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada
waktu melakukan tindak pidana adalah anggota TNI. Hal ini dimaksudkan agar penegakan
hukum dan keadilan dalam lingkungan militer sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman agar diselenggarakan peradilan
guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara
hukum Republik Indonesia.

Penanganan kasus korupsi yang dilakukan prajurit TNI ditangani oleh peradilan Militer,
akan tetapi penanganan kasus korupsi yang dilakukan oleh prajurit TNI bersama-sama
masyarakat sipil ditangani melalui sidang koneksitas, sidang koneksitas diatur didalam Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Mekanisme pemeriksaan
koneksitas juga diatur didalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer, Peradilan koneksitas yang bertugas untuk mengadili apabila terjadi suatu tindak pidana
yang dilakukan bersama-sama oleh sipil dan prajueit TNI baik tindak pidana umum maupun
tindak pidana khusus sepeti korupsi.

1.2 Rumusan Masalah


a. Apa saja kewenangan KPK
b. Bagaimana Penyelesaian kasus Korupsi yang dilakukan oleh Pejabat Militer
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Apa saja Kewenangan KPK

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
memberikan kewenangan KPK antara lain melakukan supervisi terhadap instansi penyidik
Kepolisian dan penyidik Kejaksanaan, yang memiliki kewenangan melakukan tindakan hukum
penyidikan dan penuntutan terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Kewenangan
supervisi di maksudkan untuk meminimalisasi penyalahgunaan kewenangan oleh penyidik polisi
dan jaksa dalam pemberantasan korupsi. Mengingat pemberantasan tindak pidana korupsi sudah
dilaksanakan oleh Kepolisian, Kejaksaan dan badan-badan lain maka kewenangan supervisi
KPK diperlukan kecermatan, prinsip kehati-hatian, agar tidak tumpang tindih dalam
melaksanakan kewenangan. Tugas dan wewenang KPK menurut UU Nomor 30 Tahun 2002
Pasal 6 dan 7 yaitu : Komisi pemberantasan korupsi mempunyai tugas :

A. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana


korupsi.
B. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
C. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
D. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
E. Melakukan morator terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Pasal 7 Dalam melaksanakan tugas koordinasi sebagaimana dirnaksud dalam pasal 5 huruf a,
Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :

A. Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi


B. Menetapkan sistem-pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi
C. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada
instansi yang terkait.
D. Melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.
E. Meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

Amanat undang-undang menjadikan KPK sebagai lembaga super power. Semua proses
tindakan hukum dan upaya hukum, sejak tindakan penyidikan, penuntutan dilakukan oleh
KPK. Tersangka korupsi diadili di pengadilan khusus tindak pidana korupsi (Peradilan
Tipikor), bukan oleh pengadilan umum. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 memberikan
kewenangan kepada KPK untuk mengambilalih kasus tindak pidana korupsi yang sedang
ditandatangani instansi penegak hukum lainnya (penyidik kepolisian dan kejaksaan), jika
hingga batas yang ditentukan kasus yang ditangani belum selesai. KPK diberi kewenangan
oleh undangundang untuk melakukan tindakan hukum pengambilalihan dalam suatu proses
tindakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Syarat Pengambilalihan Proses
Penyidikan dan Penuntutan menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Pasal 9 yaitu;
Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,
dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:

A. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak di-tindaklanjuti.


B. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa
alasan yang dapat dipertanggung jawabkan.
C. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana
korupsi yang sesunggahnya.
D. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi.
E. Hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif,
yudikatif, atau legislatif.
F. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak
pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dari dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam penegakan hukum terhadap tipikor, orang yang mengemban tugas sebagai supervisor,
harus mempunyai keterampilan yang baik dalam hal teknis yustisial, sehingga kualitas tindakan
penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan dapat terlaksana secara proporsional dan
profesional. Jika supervisor dari KPK mempunyai keterampilan teknis yustisial yang baik, maka
secara otomatis, aparatur di Kepolisian dan/atau Kejaksaan akan memberikan apresiasi sebagai
layaknya supervisor profesional dalam bidangnya. Secara normatif, pengaturan kewenangan
supervisi KPK tidak menimbulkan benturan antara KPK, Kepolisian dan Kejaksaan. Dalam hal
ini, UU KPK telah memberikan isyarat agar tidak terjadi tumpang-tindih di antara, ketiganya.
Selain itu, KPK tetap berniat membangun jaringan kerjasama yang kuat dan tidak memonopoli
tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tipikor.

Kemungkinan pembuatan undang-undang baru yang khusus mengatur mengenai supervisi


merupakan salah satu kemungkinan yang dapat terjadi, Supervisi mencakup hal-hal yang lebih
luas, sehubungan dengai adanya pengawasan, penelitian atau penelaahan dan pengambil alihan
suatu perkara tindak pidana korupsi, serta gelar perkara yang, timbul dalam praktik supervisi;
menjaga keterpaduan penanganan perkara, tipikor agar tetap sesuai hukum dan rasa keadilan
masya rakat yang menganggap korupsi sebagai masalah yang luar biasa di Indonesia; dan dengan
undang-undang, lebih menjamin independensi KPK dan undang-undang ini merujuk pada UU
Nomor 3 Tahun 2002 Tentang KPK.

2.2 Bagaimana Penyelesaian kasus Korupsi yang dilakukan oleh Militer


Korupsi tidak hanya dilakukan oleh pegawai negeri, militer ataupun masyarakat sipil,
tetapi dapat juga dilakukan oleh subjek militer yang sedang menduduki jabatan sipil. Dalam
hal ini dapat melihat pada contoh kasus yang terjadi yakni, kasus korupsi yang dilakukan
oleh Kepala Basarnas yaitu Marsekal Madya Henri Alfiandi. Marsekal Madya Henri Alfiandi
diduga melakukan tindak pidana korupsi berupa penyuapan. Penyuapan adalah memberikan
atau berjanji sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan tujuan
tertentu. Marsekal Madya Henri Alfiandi sebagai kepala Basarnas diduga menerima suap
senilai Rp 88 miliar lebih agar memenangkan perusahaan tertentu dalam tender proyek tahun
2021-2023 Dalam melihat kasus ini penting untuk dianalisis terlebih dahulu status Marsekal
Madya Henri Alfiandi apakah masih tunduk kepada hukum militer atau tunduk kepada
hukum sipil umum karena tindak pidana dilakukan saat sedang menduduki jabatan sipil.
Perlu diketahui bahwa Basarnas merupakan lembaga pemerintah non kementerian yang
dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 tahun 2016 tentang Badan
Nasional Pencarian dan Pertolongan. Oleh karenanya maka Basarnas merupakan lembaga
sipil dan bukan lembaga militer walaupun dalam praktiknya banyak dari anggota Basarnas
yang merupakan anggota militer. Sejatinya anggota militer tunduk pada hukum militer.
Namun, jika mengacu pada UU Peradilan Militer Pasal 9 angka 1 dijelaskan bahwa
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer hanya berwenang mengadili tindak pidana
yang diwakili oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah seorang
prajurit, yang dalam undang-undang dipersamakan dengan prajurit, anggota suatu golongan
atau golongan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit menurut
undang-undang, dan seseorang yang berdasarkan putusan panglima dengan persetujuan
menteri kehakiman harus diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan militer
Walaupun pada saat diduga melakukan tindak pidana korupsi berupa penyuapan
Marsekal Madya Henri Alfiandi sedang menduduki jabatan sipil yakni kepala Basarnas.
Namun, perlu diketahui bahwa berdasarkan Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34
tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) prajurit TNI tidak perlu
mengundurkan diri atau pensiun dari dinas keprajuritan saat menduduki jabatan pada kantor
yang membidangi bidang tertentu yang salah satunya adalah search and rescue (SAR)
nasional. Maka berdasarkan pasal tersebut Marsekal Madya Henri Alfiandi saat menduduki
jabatannya dalam Basarnas dirinya tetap dianggap sebagai prajurit. Sehingga ketentuan
hukum-hukum militer tetap melekat dan berlaku pada dirinya karena dirinya menurut
undang-undang tidak diwajibkan untuk mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif
keprajuritan. Tindak pidana korupsi di Indonesia merupakan kejahatan yang bersifat khusus
sehingga diatur dalam undang-undang tersendiri Sedangkan dalam hukum militer yang
khusus berlaku bagi anggota militer tidak mengatur terkait tindak pidana korupsi oleh
karenanya ini berimplikasi bahwa anggota militer tunduk kepada undang-undang korupsi
sebagaimana masyarakat umum. Dalam melihat anggota militer sebagai subjek dalam tindak
pidana korupsi maka dapat diacu Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dijelaskan pada Pasal 1 angka 2 bahwa
pegawai negeri adalah orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara. Maka
Penyelesaian Tindak Pidana Korupsi Oleh Subjek Militer Saat Sedang Menduduki Jabatan
Sipil berdasarkan pasal tersebut militer merupakan subjek korupsi yang termasuk ke dalam
pegawai negeri karena menerima upah atau gaji dari negara. Hal ini kemudian diperkuat juga
dengan ketentuan dalam Pasal 2 ayat 1 Undang- Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
yang menyatakan bahwa anggota Tentara Nasional Indonesia termasuk ke dalam pegawai
negeri.
Apabila terbukti bahwa Marsekal Madya Henri Alfiandi memang melakukan penyuapan
maka sistem hukum militer dapat dijalankan dengan segala alat kelengkapannya mulai dari
penyidikan, penuntutan hingga penjatuhan putusan oleh pengadilan militer. Hal ini
didasarkan karena pada saat melakukan tindak pidana tersebut statusnya masih dapat
dipersamakan dengan prajurit amun, tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh anggota
militer juga dapat diadili melalui peradilan umum melalui pengadilan khusus yakni
pengadilan tindak pidana korupsi. Hal ini sebagaimana yang diatur melalui Pasal 5 Undang-
Undang Nomor 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (UU Pengadilan
Tipikor). Selain itu proses peradilan melalui pengadilan tindak pidana korupsi juga
didasarkan pada tidak adanya undang-undang atau ketentuan yang secara khusus mengatur
korupsi dalam hukum militer Sebagai bentuk penyelesaian maka dapat juga diadakan
pengadilan koneksitas. Dalam sistem peradilan militer dikenal juga adanya mekanisme
pengadilan koneksitas. Pengadilan koneksitas sendiri diatur dalam Pasal 89 ayat (1) yang
menyebutkan bahwa tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang
termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili
oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali jika menurut keputusan Menteri
Pertahanan dan Keamanan (sekarang Menteri Pertahanan) dengan persetujuan Menteri
Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM) perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Ketentuan mengenai koneksitas tersebut
diatur pula secara khusus dalam Pasal 198 sampai dengan 203 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1997 tentang Pengadilan Militer, Pasal 198 ayat (1) yang menyebutkan bahwa tindak
pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel peradilan
militer, yustisiabel peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum, kecuali apabila menurut keputusan Menteri dengan persetujuan Menteri
Kehakiman perkara itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.
Secara teori, tata cara penyidikan tindak pidana yang dilakukan anggota militer dalam
perkara koneksitas sama dengan tata cara penyidikan perkara biasa namun, terdapat beberapa
perbedaan mengenai kewenangan yang berwenang melakukan penyidikan dan metode yang
digunakan oleh tim penyidik. Polri, Polisi Militer, Jaksa Militer, atau Kejaksaan Tinggi
Militer merupakan tim tetap yang berwenang mengusut perkara koneksitas. Operasional tim
tetap ini diselaraskan dengan otoritas anggota timnya. Tersangka masyarakat sipil diperiksa
oleh penyidik kepolisian, sedangkan tersangka anggota militer diselidiki oleh Polisi Militer.
Terkait dengan penetapan tersangka kepala Basarnas oleh KPK secara yuridis, KPK sebagai
lembaga pemberantasan korupsi di Indonesia memiliki kewenangan terhadap penanganan
kasus tindak pidana korupsi di dalam tubuh Basarnas. Berdasarkan Pasal 6 sampai Pasal 15
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2022 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi (UU KPK) menyatakan bahwa KPK berhak untuk menangani kasus Tindak Pidana
Korupsi di instansi manapun termasuk militer. Maka peristiwa permintaan maaf KPK
terhadap penetapan tersangka kepala Basarnas seharusnya tidak perlu terjadi. Hal ini karena
pada dasarnya yang dilakukan KPK sudah sesuai dengan Undang-Undang KPK sehingga
KPK tidak perlu meminta maaf atas tindakannya yang menetapkan Kepala Basarnas sebagai
tersangka dugaan kasus korupsi. Terkait dengan kewenangan penyidikan oleh KPK, bahwa
KPK dapat menangani kasus korupsi dalam lingkup TNI apabila kasus tersebut melibatkan
atau dilakukan bersamasama dengan pihak sipil.
Hal ini juga diatur melalui Pasal 42 UU KPK bahwa KPK berhak untuk
mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer
dan peradilan umum. Hal ini juga didukung oleh Pasal 65 Ayat 2 UndangUndang Nomor 34
Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia, yang menyatakan bahwa prajurit tunduk
kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk
pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur
dengan undang-undang. Sehingga dalam hal ini, KPK dapat menetapkan tersangka tanpa
adanya pembentukan tim koneksitas yang didasarkan pada SKB (Surat Keputusan Bersama)
Menteri Pertahanan dan Menteri Hukum dan HAM. Hal ini sejalan dengan tugas dan
wewenang KPK yang terdapat pada Pasal 6 huruf a UU KPK dan Pasal 7 UU KPK. Hal ini
merupakan implikasi bahwa KPK sebagai lembaga independen dan bebas dari pengaruh
kekuasaan manapun sehingga dalam hal ini KPK dapat mengesampingkan adanya SKB
Menteri Pertahanan dan Menteri Hukum dan HAM terkait pembentukan tim tetap. Termasuk
wewenang penyidikan maupun wewenang penetapan tersangka yang tunduk pada hukum
peradilan umum pada pemeriksaan acara koneksitas.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan dan Saran

Tindak pidana korupsi tidak hanya terjadi di kalangan sipil, tetapi juga melibatkan anggota
militer. Meskipun anggota militer tunduk pada hukum pidana militer, namun tindak pidana
korupsi tidak memiliki regulasi khusus dalam hukum militer. Akibatnya, anggota militer juga
harus patuh pada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), yang mengimplikasikan
bahwa mereka dapat diadili tidak hanya oleh pengadilan militer, tetapi juga oleh pengadilan
umum.

Dalam kasus Marsekal Madya Henri Alfiandi di Basarnas, statusnya dianggap setara dengan
prajurit sehingga ia tunduk pada hukum militer dan dapat diadili oleh pengadilan militer.
Meskipun praktik seperti ini pernah terjadi sebelumnya, sebenarnya terdapat konflik aturan.
Seharusnya, hanya pengadilan tindak pidana korupsi yang memiliki wewenang mengadili kasus
korupsi. Oleh karena itu, segala tindak pidana korupsi, baik yang dilakukan oleh sipil maupun
militer, seharusnya diadili di pengadilan tindak pidana korupsi.

Dalam hal kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seharusnya KPK tetap memiliki
hak untuk berpartisipasi dalam kasus tersebut, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
undang-undang. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan peran yang sangat penting
dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebagai lembaga independen, KPK memiliki
kewenangan yang luas untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi. Dengan mandatnya yang kuat, KPK dapat menangani kasus korupsi tanpa
adanya intervensi politik atau tekanan dari pihak-pihak yang terlibat.

Kewenangan KPK mencakup penyelidikan terhadap pejabat tinggi negara, penegakan hukum
terhadap korupsi di berbagai sektor, pengembangan program pencegahan korupsi, dan kerja
sama internasional dalam hal pemberantasan korupsi lintas batas. Meskipun peran KPK sangat
vital dalam memerangi korupsi, penting juga untuk memastikan bahwa lembaga ini beroperasi
secara transparan, akuntabel, dan profesional.

IV. DAFTAR PUSTAKA


 Artidjo Alkostar. Korupsi Sebagai Extra Ordinary Crime. Makalah dalam Training
Pengarusutamaan Pendekatan Hak Asasi Manusia dalam Pemberantasan Korupsi di
Indonesia Bagi Hakim Seluruh Indonesia, 2013, hal. 2
 M, Ones. (2021). Kewenangan KPK dalam Penanganan Tipikor di Lingkungan TNI
Menurut UU No. 19 Tahun 2019 Tentang KPK. Jurnal Lex Privatum, 9(8), 174-183.
 Muhammad Hatta. Kejahatan Luar Biasa (Extra Ordinary Crime). Aceh: Unimal Press,
2019, hal. 21
 Salam, Moch. (2002). Hukum acara pidana militer di Indonesia (Kedua ed.). Kandar
Maju
 W, Lisnawaty. & Apripari. (2019). Menggagas Tindak Pidana Militer Sebagai
Kompetensi Absolut Peradilan Militer Dalam Perkara Pidana. Jurnal Legalitas, 12(1), 57-
81.

Anda mungkin juga menyukai