Anda di halaman 1dari 34

TUGAS MEMBUAT LATAR BELAKANG

MATA KULIAH MPKIH

Dosen Pembimbing

Disusun oleh :

OMAS TRIO PRAWIRA : 16120000063

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM KADIRI

2018
STATUS HUKUM BAGI CALON KEPALA DAERAH
YANG TELAH DI TETAPKAN SEBAGAI
TERSANGKA OLEH KPK

1. Latar Belakang Masalah

Di Indonesia tindak pidana korupsi masih banyak terjadi di semua lini.

Mulai dari tingkat bawah sampai tingkat atas. Bagi banyak orang korupsi

bukan lagi sebagai perbuatan melanggar hukum, melainkan sekedar suatu

kebiasaan. Karena sudah membudaya maka sulit sekali di berantas. Pada saat

ini budaya korupsi masih saja ada dan tumbuh subur di segala lini.

Tidak ada definisi khusus dalam tindak pidana korupsi. Tetapai secara

umum tipikor adalah suatu perbuatan curang yang merugikan keuangan

Negara atau penyelewengan atau penggelapan uang Negara untuk kepentingan

pribadi dan orang lain. Faktor pemicunya salah satunya lemahnnya dalam

pendidikan agama , moral, dan etika.

Perkembangan korupsi di Indonesia mendorong pemerintah untuk

memberantas korupsi di Indonesia. Namun hingga saat ini pemberantasan

korupsi di Indonesia belum menunjukkan peringkat yang memuaskan. Hal ini

di tunjukan dari banyaknya kasus-kasus di Indonesia. Sebenarnya Indonesia

sudah membentuk pihak yang berwenang yaitu KPK. KPK sendiri telah

berusaha melakukan pemberantasan korupsi dengan maksimal, tetapi KPK

memiliki kendala yaitu banyaknya kasus-kasus korupsi dan tenaga yang

dimilki KPK.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan suatu lembaga

Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat

Indenpenden dan bebas dari pengaru kekusaan manapun (pasal 3 UU No. 30

tahun 2002). Sebagai lembaga indenpenden artinya tidak boleh ada intervensi

dari pihak lain dalam penyelidikannya agar diperoleh hasil sebaik mungkin.

Komisi ini didirikan oleh presiden Megawati Soekarno Putri

berdasarkan Undang-undang republic Indonesia Nomor 30 Tahun 2002

mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pendirian KPK ini

di dasari pada istitusi kejaksaan dan kepolisian yang di nilai kotor dalam

melaksanakan penindakan. Dalam melaksanakan tugasnya KPK berpedoman

pada 5 Asas, yaitu : kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan

umum dan proposionalitas. Lahirnya KPK sendiri didasarkan pada

perkembangan pemikiran hukum bahwasanya korupsi adalah kejahatan luar

biasa. Dalam hal ini sangat cocok di pakai di Indonesia, mengingat korupsi

sudah merusak bangsa Indonesia. Maka, tidak mengherankan jika hari ini

Indonesia masih terjebak di social ekonomi dan politik yang memprihatinkan.

KPK sendiri memiliki kewenangan penuh dalam proses penangakapan

dan menyelidiki kasus tindak pidana korupsi. Dalam hal ini KPK berperan

aktif dalam preses penegakan hukum yang menimbulkan kekhawatiran bagi

para koruptor yang masih belum tertangkap yaitu para pejabat Negara dan

para elit politik di legislative. Karena KPK dapat melakukan penangkaapan

bagi para pelaku yang di curigai melakukan tindak pidana korupsi dan

melakukan penangkapan tidak mengenal tempat dan waktunya.


Sikap KPK yang cukup tegas dan tepat itu, mungkin menjadi therapy

shock bagi para koruptor. Secara tidak langsung kewenangan yang dimilki

oleh KPK di anggap tidak wajar karena mélanggar privasi sesorang, inilah

yang membuat sesorang berfikir ulang dalam melakukan tindak pidana

korupsi karena takut di tangkap oleh KPK yang datang tanpa melalui

undangan. Akan tetapi, dengan hasil kerja KPK yang berhasil mengungkap

banyak kasus korupsi membuat para pihak yang merasa terganggu sehingga

mereka berusaha melemahkan KPK. Salah satunya dengan merevisi UU KPK.

KPK sendiri di tujukan untuk menekan angka korupsi dan

meningkatakan daya guna dan hasil dalam pemberantasan korupsi di

Indonesia. Dengan serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas

tindak pidana korupsi melalui upaya koordinsi, penyelidikan, penyidikan, dan

pemeriksaan di siding pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan demikian pemerintah berharap KPK dapat memberantas semua

tindak pidana korupsi dengan maksimal. Dan membuat Negara Indonesia

bersih dari tindak pidana korupsi. Meskipun dalam prakteknya masih banyak

tindak pidana korupsi yang di lakukan.

Pada saat ini KPK sendiri berkududukan di pusat Ibu kota Negara

Republik Indonesia dan wilayah kerjanya di seluruh Republik Indonesia. KPK

sendiri dapat membentuk perwakilan di tingkat provinsi (pasal 19 ayat (1) dan

(2) UU. No 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi). Dan KPK bertanggung jawab kepada public dan menyampaikan


laporannya secara terbuka dan berkala kepada Presiden, DPR dan BPK(pasal

10 ayat (1) UU No.30 Tahun 2002).

Dalam melaksanakan tugas supervise, KPK berwenang melakukan

pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi dalam melaksankan

tugas dalam melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi

dalam melaksanakan pelayanan public (Pasal 8 ayat (1) UU No. 30 Tahun

2002).

KPK juga berwenang mengambil alih (take over) penyidikan dan

penuntutan pelaku tindak pidana korupsi yang sedang di tangani oleh

kepolisian ( Pasal 8 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002). Karena itu kepolisian

dan kejaksaan yang tengah menyidik atau menuntut suatu perkara tindak

pidana korupsi tapi di minta oleh KPK untuk di tangani, wajib menyerahkan

tersangka dan seluruh berkas perkara, alat bukti, dan dokumen lainnya kepada

KPK (Pasal 8 ayat (3) UU No. 30 2002).

Pengambil alihan penyidikan dan penuntutan perkara tipikor yang

sedang di tangani oleh kepolisian atau kejaksaan dalam kondisi (Pasal 9 UU

No.30 Tahun 2002):

a. Laporan masyarakat mengenai tipikor tidak ditindak lanjuti.

b. Proses penangkapan tipikor berlarut-larut/tertunda-tunda tanpa

alasan yang bisa di pertanggung jawabkan.

c. Penanganan tipikor ditunjukkan untuk melindungi pelaku tipikor

yang sesungguhnya.

d. Penanganan tipikor mengandung unsure tipikor


e. Hambatan penanganan tipikor karena campur tangan dari

eksekutif, yudikatif dan legislative.

f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau

kejaksaan penanganan tipikor sulit dilaksanakan secara baik dan

dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam melaksanakan tugas yang sebagaimana di maksud dalam pasal 6

huruf c KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan

tindak pidana korupsi (pasal 11 UU No. 30 Tahun 2002) :

a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan

orang lain yang ada kaitannya dengan tipikor yang dilakukan

oleh aparat penegak hukum dan penyelenggara negara.

b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan / atau

c. Menyangkut kerugian Negara paling sedikit

Rp1.000.000.000(satu milliard rupiah).

Dalam melaksanakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara

tipikor, KPK diberikan wewenang tambahan yang tidak dimilki institusi

penyelidikan/penyidikan dan penuntutan lain, yaitu (pasal 12 UU No. 30

Tahun 2002):

a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan

b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang

sesorang berpergian keluar negeri.


c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan

lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa

sedang diperiksa

d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya

untuk memblokir rikening yang diduga hasil tipikor milik

tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait.

e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk

memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya.

f. Meminta data kekayan dan data perpajakan tersangka atau

terdakwa kepada instansi tersebut

g. Menghentikan sementara sebuah transaksi keuangan, transaksi

perdagangan, dan perjajian lainnya atau pencabutan sementara

perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau yang dimilki

oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti

awal yang cukup ada hubungannya dengan tipikor yang sedang

diperiksa.

h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukun

Negara lain untuk melakukan pencurian, penahanan,

penangkapan, dan penyitaan barang bukti diluar negeri dan

i. Meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk

melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan

penyitaan dalam perkara tipikor yang sdeang ditangani


Dalam hal tertangkap tangan atau yang sering disebut dalam KPK

adalah OTT (operasi tangkap tangan) yang mengacu dalam pasal 102 (2)

KUHAP yang menyatakan :

“dalam hal tertangkap tangan tanpa menunggu perintah penyidik,

penyelidik wajib segera melakukan tindakan yang diperlukan dalam

rangka penyelidikan sebagaimana tersebut pada pasal 5 ayat (1) huruf

b”.

Kelebihan lain KPK dibandingkan Kepolisan dan Kejaksaan adalah

KPK tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penyidikan dan

penuntutan dalam perkara tipikor, sebagaimana wewenang yang dimiliki oleh

kepolisian dan kejaksaan. Hal ini untuk menghindari main mata antara

tersangka dan aparat KPK (Pasal 40 UU No. 30 Tahun 2002).

Dalam penetapan tersangka tindak pidana korupsi yang tertuang dalam

Pasal 1 butir 14 UU No. 8 Tahun 1981 Hukum Acara Pidana yang

menyatakan :

“tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak

pidana.”

Dan dalam pasal 44 ayat (1) UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga menyebutkan:

(1). jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan

bukti permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana

korupsi, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung


sejak tanggal ditemukan bukti permulaa yang cukup tersebut,

penyidik melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi”.

(2).bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apbila telah

ditemukan sekurang-kurangnya 2(dua) alat bukti, termasuk dan

tidak terbatas pada informasi atau data yang di ucapkan, dikirm,

diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau

optic”.

Dalam RUU KUHAP penetapan tersangka tersebut dapat dianggap

sebagai salah satu upaya paksa sehingga dijadikan sebagai objek praperadilan.

Dengan terkumpulnya bukti permulaan yang cukup maka ada perintah

penangkapan yang tercantum pada Pasal 17 KUHAP yang menyatakan

“perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras

melakukam tindak pidana berdasarkan bukti permulaan”.

Maksudnya dalam pasal ini dalam komentar di KUHP adalah perintah

penangkapan perlu ada dugaan keras bahwasnya orang tersebut melakuka

tindak pidana yang berdasarkan dengan bukti permulaan. Dan jika bukti-bukti

terkumpul, baru terhadapnya dilakukan penangkapan, bukti-bukti itu misalnya

1.1 Bekas lahir atau bekas material

1.2 Bekas dalam batin manusia

KPK juga berhak melakukan tindakan penahanan seperti yang tertuang

dalam pasal 20 (1) KUHAP yang isinya :


“untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas

perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 berwenang

melakukan penahanan.”

Proses penahanan yang di lakukan oleh KPK untuk menghindari

tersangka untuk kabur dan menghilangkan barang bukti seperti yang

dijekaskan dalam pasal 21 ayat (1) KUHAP yang isinya

“perintah penahanan atau penahan lanjut dilakukan terhadap seorang

tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana

berdasarkan bukti yang cukup dalam hal adanya keadaan yang

menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan

melarikan diri, merusak barang bukti dan atau mengulangi tindak

pidana.”

Penahanan yang dilakukan penyidik KPK memiliki batas waktu seperti

dalam pasal 24 KUHAP yaitu : batas waktu paling lama 20 hari. Apabila

masih diperlukan dengan seizing JPU, waktu penahanan dapat diperpanjang

paling lama 40 hari. Jika 60 hari sebelum pemeriksaan telah selesai tahanan

telah di keluarkan dan, jika sampai 60 hari perkara juga belum putus, maka

demi hukum penyidik harus mengelurakan tersangka/terdakwa dari tahanan.

Dalam hal penuntutan diatur dalam pasal 1 butir 7 KUHAP yang

artinyaa
“penuntutan adalah tindakan penintut umum untuk melimpahkan

perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal menurut

cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya

diperiksa dan diputus oleh hakimdi siding pengadilan”.

Dalam hal ini KPK sesuai kewenangannya berhak menuntut atau

menindak semua orang atau pejabat Negara yang diduga melakukan tindak

pidana korupsi, meskipun yang diduga akan mencalonkan diri sebagai kepala

daerah atau pemilu.

Pada saat ini KPK sudah menetapkan beberapa calon kepala daerah yang

akan maju di pilkada serentak 2018 meskipun belum adanya bukti permulaan

tetapi proses tetap berlanjut. Sehingga hal menimbulkan kegaduhan antara

penegak hukum KPK dan para elite politik di Indonesia.

Hal ini membuat pemerinah melalui Wiranto (menkopolhukam)

meminta KPK untuk menunda pengumuman mengenai penetapan tersangka

calon kepala daerah dalam Pilkada serentak 2018 yang terjerat kasus korupsi.

Alasannya adalah agar tahapan pilkada serentak pencalonan kandidat tidak

terganggu dengan adanya proses hukum yang harus dipenuhi oleh calon

kepala daerah. Wiranto yakin penetapan tersangka ini penuh unsure dan

menjalar ke ranah politik. Menurutnya jika KPK ingin menetapkan tersangka,

seharusnya di lakukan sebelum kandidat di tetapkan oleh KPU (Komisi

Pemlihihan Umum).

Kemudian pemerintah mengusulkan agar KPU merevisi peraturan KPU

untuk pencalonan calon kepa daerah yang tersangkut jeratan Hukum. KPK
sebelumnya mengusulkan kepada pemerintah untuk mengeluarkan peraturan

pemerintah pengganti Undang-undang agar dapat mengganti peserta pilkada

yang telah ditetapkan tersangka. Namun pemerintah berpendapat saat ini

Perpu tersebut belum di perlukan.

Dalam diskusi yang di selenggarakan di ILC (Indonesia Lawyers Club)

tentang apakah KPK di itervensi oleh pemerintah. Menurut Artalia Dahlan

anggota DPR R.I yang mempunyai pendapat lain yaitu dalam pendapatnya

adalah apakah KPK mengintervensi pemerintah. Hal ini di jelaskan

bahwasannya dalam menetapkan tersangka pada calon kepala daerah itu bisa

membunuh karakter bagi peserta. Dalam argumennya dlam ILC Artalia

Dahlan setuju dengan pendapat menkopolhukam, bahwasannya penetapan

tersangka perlu untuk ditunda dalam proses penyelidikan selama terpilihnya

calon kepala daerah.

Dalam hal ini KPK dengan tegas menolak penundaan proses penyidikan.

Karena KPK mengacu pada KUHAP, UU KPK, dan UU tipikor. Berarti dalam

hal ini KPK tetap berjalan melakukan penindakan sesuai undang-undang yang

berlaku. Menurut KPK melalui jubir Febri Diansyah penetapan tersangka ini

di lakukan pada penyelnggara Negara bukan calon kepala daerah, jadi

jikakalau calon kepala daerah tersebut di tetapkan tersangka berarti calon

kepala daerah itu statusnya masih penyelenggara Negara.

Banyak dukunngan yang mengaharuskan menolak usulan Wiranto salah

santunnya Zulkifli ketua MPR. Bahwasanya mengintervensi kebijakan KPK


itu sama saja dengan melanggar Undang-undang. Sehingga KPK tetap pada

koridor hukumnya.

Menurut pakar hukum Prof. Andi Hamzah dalam ILC tidak ada di

seluruh dunia itu diadakan penetapan tersangka dan hanya di Indonesia.

Bahwasanya dalam penetepan tersangka inilah bisa rawan melakukan

menghilangkan barang bukti dan dapat menjadi objek praperadilan. Beliau

juga mengoreksi bahwasnya dalam OTT tersebut harus memiliki surat

perintah penahanan karena dalam melaksanakan OTT sudah mempunyai

rencana dalam hal penangkapan. Menurut beliau dalam Rancangan KUHAP

tindakan penetapan tersangka tidak perlu di ungkap di public. Beliau juga

menanggapai pernyattaan menkopolhukam, bahwasanya dapat merugikan

materi dan tenaga sehingga perlu dilakukan sekarang juga.

Bagi masyarakat Indonesia kepastian hukum yang tidak terikat oleh

kepentingan pribadi dan golongan perlu di wujudkan. Bagi masyarakat

Indonesia KPK di ibaratkan sebagai pemberantas hama yaitu hama korupsi.

Dan berharap KPK tidak di intervensi oleh pihak manapun, karena KPK

adalah Lembaga Indenpenden yang di milki oleh Indonesia.

KPK di bentuk bukan untuk mengambil alih tugas pemberantasan

korupsi dari lembaga-lembaga yang ada sebelumnya. Penjelasa undang-

undang menyebutkan peran KPK sebagai trigger mechanism, yang berarti

mendorong atau sebagai stimulus agar upaya pemberantasan korupsi oleh

lembaga-lembaga yag telah ada sebelumnya menjadi lebih efektif dan efisien.
Setelah terbentuknya KPK tahun 2002, KPK sebagai momok

menakutkan oleh para koruptor dan elit politik. Sehingga KPK ingin di

lemahkan dengan aturan aturan yang menurut masyaratak dan para penegak

hukum itu nyleneh.

Banyak alasan KPK harus tetap di pertahankan salah satunya KPK

bertindak secara berani, tegas, dan tanpa mengenal siapapun. KPK juga

merupakan harapan besar bagi rakyat untuk memberantas korupsi, karena

aparat hukum dipandang belum mampu melaksanakan pemberantasan korupsi.

Meskipun banyak di tekan oleh para elite politik dan yang mempunyai

kepentingan.

Kalau pun KPK menunda pentepan tersangka berarti KPK telah di

intervensi oleh pihak pihak yang mempunyai kepentingan. Dan bisa di

kategorikan KPK bukan berarti lembaga Indenpenden melaikan lembaga milik

yang berkepentingan. KPK akan tetap bertahan dengan dukungan masyarakat

umum. Dan peran KPK saat ini masih perlu di butuhkan sampai kapanpun.

Dalam mengamati semua polemic hukum tentang penetapan tersangka

pada calon kepala daerah dalam kajian subtansi (landasan hukum) serta

perdebatan untuk menunda penetapan tersangka oleh pemerintah yang di

sampaikan oleh menkopolhukam. Seaakan menjadi indikasi bahwasannya

KPK telah di intervensi oleh pemerintah.


Dengan alasan tersebut penelitian yang d buat penulis di harapkan

mampu menghadapi masalah yang timbul akibat dari korupsi. Penulis di

harapkan mampu mengumpulkan data dan mengolah informasi data dengat

cermat, serta memahami tujuan dan wewenang KPK dalam menegakkan

hukum.

Berdasarkan latar belakang yang telah di uraikan penulis mengangkat

judul “status hukum bagi calon kepala daerah yang telah sah di tetapkan

sebagai tersangka oleh KPK”

2. Dengan Rumusan Masalah Sebagai Berikut

2.1.Apakah dalam menetapkan tersangka oleh KPK sudah sesuai dengan

ketentuan Peraturan undang-undang.

2.2.Bagaimana status hukum bagi calon kepala daerah yang telah sah di

tetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

3. Tujuan Penelitian

3.1. Untuk mengkaji secara mendalam dalam menetapkan tersangka

bagi calon kepala daerah oleh KPK

3.2. Untuk mengkaji secara mendalam status hukum bagi calon kepala

daerah yang telah sah di tetapkan sebagai tersangka oleh KPK


4. Manfaat Penelitian

4.1.Hasil penelitian ini di harapkan menjadi masukan dan bahan rujukan bagi

para penelit, akademisi ataupun praktisi hukum lainnya di masa mendatang

yang tertarik untuk menekuni bidang kajian ini.

4.2.Hasil penelitian ini di harapkan menjadi informasi bagi seluruh lapisan

masyarakat terutama bagi kalangan elite poltik bahwasannya status calon

kepala daerah tidak akan menunda proses pemeriksaan bagi terduga yang

melakukan tindak pidana korupsi.

5. Penelitian Terdahulu

Penelitian yang membahas tentang status hukum calon kepala daerah

yang telah sah ditetapkakan tersangka oleh KPK secara umum cukup banyak

dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Berdasarkan hasil penelusuran terdapat

beberapa literature yang telah dilakukan, maka setdaknya ditukan beberapa

litratur, baik berupa buku, jurnal nasional, atauoun yang membahas masalah

ini.

5.1. Telaah literature

Imam Ropii dengan judulnya Penetapan Status Tersangka Dan

Terdakwa Calon Kepala Daerah Dan Implikasi Yuridisnya Dalam

Pemilihan Kepala Daerah (Kajian Yuridis Normatif).

Dalam tulisannya tersebut Imam Ropii mengkaji tentang instrumen

tentang Ketentuan calon dan pencalonan kepala darah dan wakil kepala

daerah berlaku untuk calon dan pencalonan Gubernur, Bupati dan

Walikota beserta wakil-wakilnya, prosedur dan syarat pencalonan yang


harus dipenuhi agar dapat ditetapkan menjadi calon kepala daerah,

Implikasi hukum terhadap calon kepala daerah terpilih yang berstatus

tersangka, terdakwa, dan terpidana belum diatur secara detail oleh

Undang-undang maupun Peraturan Pemerintah (PP), Dasar hukum

pengaturan implikasi hukum calon kepala daerah terpilih yang berstatus

tersangka, terdakwa, dan terpidana belum secara detail diatur dalam UU

Pilkada.

Hasil kajian tersebut berkesimpulan bahwa pengaturan implikasi

hukum calon kepala daerah terpilih yang berstatus tersangka, terdakwa,

dan terpidana belum secara detail diatur dalam UU Pilkada. UU Pilkada

lebih banyak mengatur tentang status tersangka, terdakwa, dan terpidana

yang disandang oleh kepala daerah yang sudah dilantik dan menjabat

sebagi kepala daerah. Oleh karena itu, agar calon kepala daerah terpilih

yang berstatus sebagai tersangka, terdakwa, dan terpidana tidak menjadi

masalah yang rumit dikemudian hari karena tidak ada dasar hukum yang

mengatur hal itu secara detail sehingga diperlukan aturan hukum yang

mengatur secara detail mengenai hal tersebut dalam UU Pemda/Pilkada.

Ananda Prima Yurista dan Helmie Bomia dengan judul Kajian

Hukum Kedudukan Kepala Daerah Terpilih yang Terlibat tindak Pidana

Suap Terhadap Keabsahan Jabatannya.

Dalam tulisannya tersebut Ananda Prima dan Helmie Bomia

mengkaji tentang kedudukan hukum kepala daerah terpilih yang terlibat

tindak pidana suap dan upaya penyelesainnya, yang bersifat deskriptif.


Hasil kajian penelitian tersebut berkesimpulan bahwa status hukum

bagi kepala daerah yang yang terlibat tindak pidana suap adalah sebagai

berikut : (1). Dalam proses kepala daerah terpilih terlibat tindak pidana

suap, jika masih dalam proses penyidikan Kepolisian, Kejaksaan, atau

KPK, maka status hukumnya bisa menjadi saksi atau tersangka, (2). Jika

perkara tersebut ditingkatkan ke persidangan oleh jaksa/KPK

dilimpahkan ke pengadilan dan di dapat barang bukti permulaa yang

cukup, maka status hukum yang bersangkutan menjadi terdakwa, (3).

Jika dalam putusan hakim yang mempunyai hukum tetap dan di vonis

bersalah maka yang bersangkutan dapat menjadi terpidana, hal ini sesuai

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Adapun dalam penyeleaian terhadap kepala daerah terpilih yang

tersangkut tindak pidana suap adalah sebagai berikut :

5.1.1. Kepala daerah tersebut harus tetap di lantik

5.1.2. Pasca pelantikan kepala daerah tersebut dapat di

berhentikan sementara berdasarkan pasal 31 (1) UU. No. 34

Tahun 2004

5.1.3. Wakil kepala daerah menggantikan kepala daerah untuk

menjalankan tugas dan wewenang kepala daerah sampai ada

putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang

menyatakan kepala daerah tersebut bersalah.

5.1.4.Jika ada putusan maka kepala daerah di berhentikan

berdasarkan keputusan DPRD.


5.1.5.Jabatan kepala daerah di gantikan oleh wakil kepala daerah

berdasarkan keputusan rapat paripurna DPRD dan disahkan

oleh Presiden,

5.1.6.Kekosongan jabatan wakil kepala daerah dipilih oleh rapat

paripurna DPRD berdasar usul oleh Partai Politik atau

gabungan antar partai politik yang pasangan calonnya terpilih

dalam pemilukada.

Mohd Hazrul Bin Sirajuddin dengan judul Tinjauan Yuridis

Calon Gubernur Berstatus Terpidana Percobaan Menurut Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati Dan

Walikota (Studi Kasus Terhadap Rusli Habibie Sebagai Terpidana

Percobaan Dalam Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2017).

Dalam tulisannya tersebut Mohd Hazrul Bin Sirajuddin mengkaji

tentang ketentuan hukum persyaratan calon kepala daerah untuk Rusli

Habibie sebagai terpidana percobaan, dan hak politik Rusli Habibie

sebagai calon kepala daerah berstatus terpidana percobaan.

Hasil kajian dari tulisan tersebut bersesimpulan bahwa ketentuan

syarat calon kepala daerah dan hak politik calon kepala daerah yang

berstatus terpidana sebagai berikut:

5.1.1. Ketentuan hukum syarat calon kepala daerah berstatus terpidana

percobaan dalam peraturan perundang-undangan bertentangan

satu dengan lainnya. Undang-Undang menyatakan tidak

memenuhi syarat calon yang berstatus terpidana sedangkan


Peraturan KPU menyatakan memenuhi syarat pencalonan bagi

terpidana yang tidak menjalani pidana dalam penjara.

5.1.2. Hak politik calon kepala daerah berstatus terpidana percobaan

dibatasi menurut Undang-Undang Dasar, Undang-Undang dan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015.

Sementara Undang-Undang HAM dan Undang-Undang ICCPR

hanya mengatur hak politik secara umum. Namun didalam

Peraturan KPU mengatur hak untuk dipilih (right to be candidate)

Rusli Habibie sebagai terpidana percobaan dalam Pemilihan

Kepala Daerah tahun 2017.

Dyah Kemala Sintha dengan judul Implikasi Penetapan Status

Tersangka Bagi Bupati Terpilih Terhadap Pemilihan Umum Kepala

Daerah Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.

Dalam tulisannya tersebut Dyah Kemala Sintha mengkaji tentang

bagaimana Implikasi penetapan status tersangka bagi Bupati Terpilih

dalam pemilihan umum kepala daerah dalam sistem ketatanegaraan

Republik Indonesia dan Penetapan Status Tersangka Bagi Bupati

Terpilih dan Faktor Penghambat Seseorang Untuk Dilantik Sebagai

Bupati

Hasil analisa dari penelitian tersebut berkesimpulan bahwa

implikasi penetapan tersangka bagi bupati terpilih dalam sistem

ketatanegaraan republic Indonesia adalah sebagai berikut :


5.1.1. Implikasi penetapan status tersangka bagi Bupati Terpilih dalam

pemilihan umum kepala daerah dalam sistem ketata-negaraan

Republik Indonesia terbagi menjadi tiga implikasi yaitu sebagai

berikut:

1) Implikasi Etika dan Sosial yaitu penetapan status tersangka bagi

Bupati Terpilih menimbulkan ketidak percayaan publik terhadap

pemerintah.

2) Implikasi politik yaitu melahirkan kesempatan pihak lain untuk

menjadi kepala daerah.

3) Implikasi hukum penetapan status tersangka bagi Bupati

Terpilih yaitu tidak menghambat seseorang untuk melantik

bupati terpilih menjadi bupati, karena dalam UU Pemerintahan

Daerah hanya mengatur pemberhen-tian Bupati, bukan Bupati

Terpilh.

5.1.2. Penetapan status tersangka bagi bupati terpilih bukanlah faktor

penghambat se-seorang untuk dilantik sebagai bupati. Terdapat dua

faktor yang menghambat seseorang dilantik menjadi Kepala

Daerah, yaitu menjadi terdakwa tindak pidana korupsi, tindak

pidana terorisme, makar, dan/atau tindak pidana terhadap

keamanan Negara atau terbukti melakukan makar dan/atau

perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang dinyatakan dengan putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Selain itu faktor


yang menghambat seseorang dilantik menjadi Kepala Daerah, yaitu

berhalangan tetap, sesuai Pasal 29 Ayat (2) Huruf b dan Pasal 139

Ayat (2) Huruf b UU No 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah me-ngenai tidak dapat melaksanakan tugas secara

berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6

(enam).

3.2. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemaparan dari beberapa penelitian diatas, maka dapat

dinyatakan bahwa banyak penelitian-penelitian atau tulisan-tulisan tentang

status hukum bagi calon kepala daerah yang telah sah ditetapkan tersangka

oleh KPK, yang khususnya berdasarakan penelitian normatif.

Adapun penelitian ini dapat dikatakan sebagai penelitian lanjutan dari

beberapa penelitian terdahulu tentang status hukum calon kepala daerah

yang telah sah di tetapkan tersangka oleh KPK,

Jika dibandingkan dengan penelitian terdahulu khususnya karya Imam

Ropii, Ananda Prima Yurista dan Helmie Bomia, Mohd Hazrul Bin

Sarijuddin, Dyah Kemala Sintha. Maka dapat dilihat bahwa meraka tidak

menjadikan pembahasan status hukum calon kepala daerah yang telah sah

ditetapkan tersangka oleh KPK sebagai kajian utama, akan tetapi bersifat

menyeluruh dan mencakup aspek syarat-syarat menjadi calon kepala

daerah dan status hukum setelah terpilihnya menjadi kepala daerah.


Hal itu tentu saja berbeda dengan penelitian penulis, dalam hal

penulisan penulis tidak menjadikan syarat-syarat menjadi calon kepala

daerah dan status hukum apabila kepala daerah di duga melakukan tindak

pidana setelah terpilihnya menjadi kepala daerah sebagai objek penelitian

yang nantinya akan di gali lebih dalam segala permasalahan dan isu

hukum terbaru dari aspek teori ataupun dari objek penelitiannya.

Adapun perbedaan dari penelitian yang di kaji oleh Imam Ropii,

Ananda Prima Yurista dan Helmie Bomia, Mohd Hazrul Bin Sarijuddin,

Dyah Kemala Sintha bahwa ketiganya melakukan penelitian dengan studi

kasus yang berbeda-beda dan berbeda pula tinjuang yurudis dalam

melakukan penelitian.

Dalam penelitian ini, penulis menjadikan status calon kepala daerah

yang akan melaksanakan Pemilukada tahun 2018, hal itu di dasarkan pada

tayangan televise dan media-media nasional yang memuat berita atau

pembahasan tentang pengumuman tersangka oleh KPK terhadap beberapa

calon kepala daerah yang akan melaksanakan Pemilukada serentak pada

tahun 2018 yang menimbulkan polemic antara penegak hukum dan elite

politik.

erdasarkan pemaparan sebelumnya diatas, mulai dari karya Imam

Ropii, Ananda Prima Yurista dan Helmie Bomia, Mohd Hazrul Bin

Sarijuddin di ketahui bahwa para peneliti terdahulu memiliki permasalahan

yang variatif, di awali oleh Imam Ropii mengangkat masalah ketentuan

yang mengatur bagaimana penetapan status tersangka/terdakwa terhadap


pasangan calon kepala daerah dalam proses Pilkada tersebut. Ketentuan

calon dan pencalonan kepala darah dan wakil kepala daerah berlaku untuk

calon dan pencalonan Gubernur, Bupati dan Walikota beserta wakil-

wakilnya, prosedur dan syarat pencalonan yang harus dipenuhi agar dapat

ditetapkan menjadi calon kepala daerah, Implikasi hukum terhadap calon

kepala daerah terpilih yang berstatus tersangka, terdakwa, dan terpidana

belum diatur secara detail oleh Undang-undang maupun Peraturan

Pemerintah (PP). Hingga yang terakhir adalah dari Dyah kemala Shinta

yang membahas masalah tentang tentang bagaimana Implikasi penetapan

status tersangka bagi Bupati Terpilih dalam pemilihan umum kepala

daerah dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia dan Penetapan

Status Tersangka Bagi Bupati Terpilih dan Faktor Penghambat Seseorang

Untuk Dilantik Sebagai Bupati.

Berdasarkan hasil semua latar belakang masalah yang telah di sajikan

oleh para peneliti terdahulu, maka perlu di ketahui pokok peramsalahan

dari penelitian ini berbeda dengan para peneliti terdahulu. Seperti yang di

jelasnkan dalam latar belakang masalah tindakan KPK dalam menetapkan

tersangka sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan status hukum

bagi calon kepala tersebut beserta isu dan kasus hukum yang menjadi

perdebatan antara KPK dan DPR.

Secara spesifik unsure pembeda ini di khususkan bukan hanya

pertanyaan mendasar apa status hukum calon kepala daerah dalam

pemilukada dalam permasalahan persyaratan pencalonan kepala daerah


dan kedudukan hukum dalam kepala daerah terpilih yang telah di tetapkan

menjadi tersangka kasus suap, akan tetapi sisi lain dalam penelitian ini

juga membahas tentang dalam menetapkan terasangka kepada calon kepala

daerah sudah sesuai peraturan perundang-undangan dan bagaimana status

calon kepala daerah tersebut yang telah sah di tetapkan tersangka oleh

KPK.

6. Kajian Pustaka

Dalam hal menetapkkan tersangka kepada calon kepala daerah yang

akan mengkuti pilkada serentak pada tahun 2018 ini mengacu pada Undang-

undang KPK dan KUHAP. Dalam pengertian tersangka sendiri sudah di

jelaskan dengan jelas pada KUHAP dan Undang-undang Nomer 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi. Sehingga dalam

hal ini penegak hukum dapat melakukan penuntutan dan pembuktian kepada

calon kepada kepala daerah yang telah sah di tetapkan sebagai tersangka.

Dalam hal menetapkan pengertian tersangka itu sendiri di atur dalam

Pasal 1 butir 14 UU No. 8 Tahun 1981 Hukum Acara Pidana yang di jelaskan

bahwa :

“tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,

berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.”

Dan di dalam Dan dalam pasal 44 ayat (1) dan (2) UU No.30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga

menyebutkan:
“(1) jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti

permulaan yang cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam

waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal

ditemukan bukti permulaa yang cukup tersebut, penyidik melaporkan

kepada Komisi Pemberantasan Korupsi”.

(2) menjelaskan “bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada

apbila telah ditemukan sekurang-kurangnya 2(dua) alat bukti, termasuk

dan tidak terbatas pada informasi atau data yang di ucapkan, dikirm,

diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun elektronik atau

optic.”

Pengertian tersangka sendiri sudah dapat di pahami, bahwasanya

sesorang yang patut di duga melakukan perbuatan tindak pidana berdasarkan

bukti permulaan yang telah di temukan sekurang-kurangnya dua alat bukti.

Hal ini sudah di tegaskan dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP dan Pasal 44

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002.

7. Metode Penelitian

Metode penelitian dapat berfungsi sebagai alat atau cara untuk

pedoman melakukan penelitian, sedangkan penelitian adalah suatu cara yang

didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan

untuk memecahkan suatu masalah yang bersifat ilmiah.

7.1. Metode pendekatan


Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan yang di angkat dalam

penelitian ini, maka metode pendekatan yang di pakai dalam penelitian ini

metode penelitian legal research (normative). Yaitu penelitian yang

dimaksudkan untuk mencari, meneliti dan mengkaji secara mendalam

rumusan norma dan aturan mengenai status hukum bagi calon kepala

daerah yang telah sah di tetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Kemudian

dengan mengkaji secara mendalam malalui aturan-aturan dalam hal

menetapkan tersangka dan status hukum calon kepala daerah tersbut

sehingga memperoleh jawaban dan hasil yang sesuai dengan tujuan

penelitian tersebut.

7.2. Jenis peneltian

Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah bersifat deskriptif. Yaitu

penelitian dengan menggunakan aturan-aturan yang terdapat pada Undang-

undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Undang-undang

Nomor 30 Tahun 2002 yang berkaitan dengan penetepan tersangka, status

hukum dan proses pemeriksaan bagi pelaku yang di duga melakukan

perbuatan tindak pidana.

7.3. Jenis bahan hukum

Dalam penelitian ini penulis menggunakan data sekunder yang di

peroleh dari media-media nasional tentang status hukum calon kepala

daerah yang telah sah ditetapkan tersangkaoleh KPK dan dari peraturan

perundang-undangan dan dari literature lain yang berkaitan dengan

masalah yang di teliti.


7.4. Sumber Bahan Hukum

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sumber

data sekunder, yaitu data yang bersumber dari bahan hukum antara lain:

a. Bahan hukum primer yang terdiri dari: bahan pustaka atau

sumber data yang mengikat dan didapat langsung dari sumbernya

yang terdiri dari: Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP,

Undang-

Undang Republik Indonesia No. 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dan peraturan perundang-undangan yang terkait

sebagai hukum positif Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu data yang menjelaskan analisa dan

petunjuk pada bahan hukum primer yang terdiri dari: Sumber-sumber

tulisan mengenai status hukum calon kepala daerah yang telah sah di

tetapkan sebagai tersangka yang terdapat dalam media massa nasional,

hasil-hasil penelitian, dan lain-lain yang berguna bagi penelitian.

7.5. Teknik pengumpulan data

Untuk mendapatkan data penulis melakukan dengan jalan studi

pustaka. Hal ini dilakukan dengan identifikasi literatur buku, peraturan

perundang-undangan, dan literatur lain yang berkaitan dengan masalah

yang diteliti. Menurut Soerjono Soekanto, studi kepustakaan adalah studi

dokumen yang merupakan suatu alat pengumpulan data yang dilakukan

atas data tertulis. Dalam hal ini, peneliti membaca, mempelajari, dan
mengkaji dari buku-buku, dokumen, dan bahan tulisan yang berhubungan

dengan penelitian yang akan diadakan.

7.6. Teknik analia bahan hukum

Teknik analisis data adalah tahap yang penting dalam menentukan suatu

penelitian. Analisis data dalam suatu penelitian adalah menguraikan atau

memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan data yang diperoleh kemudian

diolah ke dalam pokok permasalahan yang diajukan terhadap penelitian yang

bersifat deskriptif.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan metode analisis isi (content analysis) yaitu mendeskripsikan

dan menganalisis materi isi dan keabsahan data yang ditemukan dalam

perundang-undangan dengan cara mempelajari naturan-aturan hukum ada

dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 KUHP dan Undang-undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, khususnya yang berkaitan dengan rumusan KPK dalam menentukan

tersangka sesuai dengan koridor hukun dan status hukum calon kepala daerah

yang telah sah di tetapkan sebagai tersangka oleh KPK sesuai dengan tujuan

penelitian dan rumusan masalah.


8. Sistematika Penulisan

Dalam sistematika penyusunan skripsi ini tertuang dalam 4 (empat)

bagian yang terdiri dari bab-bab, dan bagian bab terdiri dari sub bab. Agar

menjadi gambaran mengenai skripsi ini, maka penulis disini memberikan

gambaran skripsi secara garis besar.

BAB I : berupa pendahuluan yang terdiri dari latar

belakang masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, metode

penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.

BAB II : berupa tinjauan pustaka, akan diuraikan

tinjaun umum tentang tinjauan umum tentang

pengertian dari tersangka, yang terdapat

dalam KUHAP dan Undang-undang Nomor

30 Tahun 2002 Tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tinjauan umum tentang proses penetapan

tersangka dan penahanan oleh penegak

hukum yaitu KPK. Tinjauan umum tentang

status hukum calon kepala daerah yang telah

sah di tetapkan sebagai tersangka oleh KPK.


BAB III : berupa hasil penelitian yang akan menjawab

perumusan masalah yang diuraikan secara

terperinci yang meliputi: prosedur dalam

menetapkan tersangka oleh KPK yang

terdapat dalam KUHAP dan UU No. 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, dan status hukum

bagi calon kepala daerah yang telah sah di

tetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

BAB IV : Berupa penutup yang berisikan kesimpulan

dan saran yang sekaligus menjadi akhir dari

penulisan skripsi ini.


Daftar pustaka

Anda mungkin juga menyukai