Anda di halaman 1dari 30

1

1. Latar Belakang Masalah

Bentuk Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini sesuai dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Bab I Pasal I ayat

(3) amandemen ke 3.1 Hal ini Indonesia menjadi Negara yang menjunjung tinggi

penegakan hukum, sesuai dengan bentuknya adalah Negara hukum (rechstaat).

Dalam hal ini Pemerintah berdasarkan atas system konstitusi (hukum dasar), dan

tidak bersifat absolutism. System ini memberikan ketegasan bahwa cara

pengendalian pemerintah di batasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi, yang

dengan sendirinya juga oleh ketentuan-ketentuan dan hukum lain yang merupakan

produk konstitusional, seperti garis-garis besar dari haluan Negara, undang-

undang, dan sebagainya.2 Dengan demikian system ini memperkuat dan

menegaskan bahwasanya dalam kebebasan berserikat masih di atur Negara.

Dalam system hukum dasar kita, di anut prinsip bahwa kelembagaan

Negara baik secara langsung maupun tidak langsung, di tetapkan dengan

undang-undang yang di buat oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat,

sehingga dapatlah di katakan bahwa undang-undang adalah bentuk yuridis, yang

maksimal dapat di capai untuk mencerminkan suatu demokrasi.3

1
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Bab I Pasal I ayat (3)
2
C.S.T Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1986 cetakan ke 2),
hlm. 126
3
Padmo Wahyono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, (Jakarta : Balai Aksara), cetakan
pertama, hlm 12
2

Berbicara dengan hukum sendiri, cara Negara mengatur harus

berdasarkan konstitusional (hukum dasar), dan tidak berdasarkan dengan

kekuasaan yang tidak terbatas. Hal ini sesuai dengan aturan pokok dalam

Undang-undang Dasar 1945

Dan hukum itulah yang menjadi dasar bagaimana Negara mengatur

pemerintahannya dan penduduknya. Indonesia sendiri telah banyak mengeluarkan

prodak-prodak hukum tertulis yang mengatur masyarakat, mulai dari pribadi

sampai organisasi masyarakat.

Berkaitan dengan Ormas, Pemerintah sendiri tidak melarang tebentuknya

Organisasi Masyarakat, seiring tidak menyalahi peraturan perundang-undangan.

Di tahun 2012 sendiri Kementerian Dalam Negeri mencatat jumlah Organisasi

Masyarakat yang ada di Indonesia adalah 65.577. Angka itu adalah daftar Ormas

yang terdaftar. Diperkirakan, jumlah ormas yang belum terdaftar, bisa mencapai

dua kali lipat dari jumlah ini. Jumlah yang luar biasa.

Logikanya semakin banyak ormas; pemerintah maupun warga semakin

terbantu. Sayang kegiatan beberapa ormas kadang tidak merepresentasikan fungsi

dan tujuannya. Alih-alih membantu, masyarakat malah menjadi risih. Arogansi

dan fanatisme yang berlebihan, menjadi rentan terjadi gesekan. Sudah beberapa

kasus berujung kekerasan, baik dengan masyarakat atau kelompok masyarakat,


3

maupun sesama Ormas. Hal ini membuat penilaian umum terhadap ormas kadang

menjadi negatif.

Organisasi Masyarakat yang selanjutnya disebut Ormas adalah organisasi

yang didirikan dan di bentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan

kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk

berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.4

Asas ormas sendiri tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sementara itu

untuk sifat kegiatan, Ormas harus dibedakan dengan Organisasi lainnya yang

tujuannya memang memperoleh keuntungan, seperti CV, PT, dll. Dalam

melaksanakan kegiatannya Ormas bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba, dan

demokratis.5

Ormas sendiri di atur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2

4
Perpu Nomor 2 tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 17 tahun 2013 tentang
Organisasi masyarakt Pasal 1 butir 1

5
https://www.kompasiana.com/knristian/57087ae00d97732405735b38/apa-itu-
ormas?page=1 di akses pada tanggal 6 Januari 2019
4

Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2013

tentang Organisasi masyarakat. Undang-Undang inilah yang menjadi batasan-

batasan ormas dalam melakukan kegiatannya.

Secara garis besar dalam perpu tersebut telah melakukan perluasan makna

atau definisi. Dalam hal ini mengatur juga secara tegas mengatur deifinisi,

larangan, sanksi administrasi dan ketentuan pidana. Larangan-larangan tersebut di

atur dalam pasal 59 Perpu No. 2 tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No. 12

tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat.6

Pertama perluasan definisi tentang organisasi masyarakat yang di anggap

bertentangan dengan ideologi Pancasila. Dalam hal ini undang-undang ormas

tersebut hanya mencakup tentang ajaran ateisme, komunisme/marxisme-

leninisme, maka dalam perpu tersbut menambahkan paham lain yang bertujuan

untuk mengganti Ideologi Pancasila dan UUD 1945. Dalam hal ini peluasan dari

deifinisi tersebut didasarkan bukan untuk kelompok yang di sebut tetapi juga dari

kelompok lain yang termasuk juga ideology yang berbalut agama.

Kedua, larangan-larangan yang mana telah di atur dalam UU No 17 thn

2013 yang tidak boleh di lakukan, tetapi dalam perpu ini telah menambahkan item

yang di perinci item-itemnya. Seperti halnya nama, lambang dan bendera,

6
Perpu Nomor 2 tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 17 tahun 2013 tentang
Organisasi masyarakt
5

pendanaan, unsur SARA, penistaan agama dan tindakan kekerasan tertentu, serta

mengajarkan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila.

Ketiga, dalam hal pembubaran ormas perpu ini telah menyederhanakan

pembubaran ormas. Jika dalam UU No 17 2013 pembubaran ormas di lakukan

dengan berbelit belit, dalam perpu ini peringatan tertulis hanya satu kali,

penghentian kegiatan, dan pencabutan surat keterangn terdaftar atau pencabutan

status badan hukum ormas tersebut.

Keempat, dalam UU No 17 tahun 2013 minim adanya ancaman sanksi

pidana. Tetapi dalam perpu ini telah menambahkan ancaman pidana yang cukup

berat bukan hanya untuk pengurus ormas tetapi juga para anggota ormas tersenut.

Dalam hal pemidanaan sendiri hukumannya 6 bulan sampai 1 tahun, 5 sampai 20

tahun untuk tindak pidana tertentu serta pidana tambahan selain pidana penjara.

Pemerintah sendiri memberikan argument dalam hal keluarnya perpu

tersebut. Dalam hal ini argument pemerintah yang pertama adalah Negara

berkewajiban melindungi kedaulatan NKRI berdasarkan Pancasila dan Undang-

Undang Dasar 1945. Yang kedua pelanggaran terhadap asas dan tujuan ormas

yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Yang ke tiga, UU No 17 thn

2013 tentang ormas mendesak untuk mengisi kekosongan hukum yang ada. Yang

ke empat adalah terdapat ormas tertentu yang anggaran dasar ormas dan secara

nyata ada tujuannya serta asasnya yang bertentangan dengan Pancasila. Dan yang

terakhir adalah UU No 17 thn 2013 tidak efeltif dalam menerapkan sanksi


6

terhadap ormas yang menyebarkan, menganut dan mengembangkan ajaran yang

bertentangn dengan Pancasila dan UUD 1945.

Kedudukan perpu sendiri dalam system peraturan hirarki perudangan-

undangan adalah setara, Hal ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Dalam konstitusi pengaturan tentang pengaturan keadaan perpu di atur dalam

dalam UUD 1945 pasal 22 menyebutkan bahwa : 7

(1) Dalam hal ihwal kegentingan memaksa, Presiden berhak

menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

(2) Peraturan pemerintah tersebut harus mendapat persetujuan

Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.

(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah

tersebut harus dicabut.

Dengan di kelurakannya perpu ini banyak menimbulkan perdebatan

public meskipun pemerintah telah memberikan argument-argumen yang

mendasar. Dalam hal ini banyak ormas yang menerima perpu ini dan ada

beberapa ormas yang menolak keras dengan di keluarkannya perpu ini dengan di

dukung partai.

7
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen Pasal 22 Bab VII
7

Salah satunya yang menolak perpu tersebut adalah Hizbut Tahrir

Indonesia. HTI sendiri masuk ke Indonesia pada 1983 oleh Abdurrahman al-

Baghdadi, seorang mubalig sekaligus aktivis Hizbut Tahrir yang berbasis di

Australia. Ia memulainya dengan mengajarkan pemahamannya ke beberapa

kampus di Indonesia hingga menjadi salah satu gerakan.8 Perintis HTI sendiri di

Indonesia adalah seorang ulama dan sastrawan yang bernama K.H.Abdullah bin

Nuh.

HTI sendiri telah memiliki badan hukum sejak 2 Juli 2014. HTI sendiri

melakukan kegiatan-kegiatan dakwah melalui kampus. HTI melakukan dakwah di

Kampus melalui beberapa Tahap, yang pertama adalah pengkaderan dan

pembinaan, tahap yang kedua adalah menjalin interaksi dengan umat islam dan

yang terakhir adalah dengan penerimaan kekuasaan yang berguna untuk

menerapkan islam secara menyeluruh. Dalam dakwah HTI menggunakan

berbagai sarana dan prasarana, salah satunya dengan teknologi.

HTI sendiri telah melakukan bebarapa aksi yang sempat menghebohkan

di Indonesia dan telah tersebar videonya di media social. Dalam video itu HTI

dengan mahasiswa melakuka aksi sumpah untuk menegakkan syariat islam di

Indonesia. HTI sendiri juga bercita menjadikan sebuah Negara khilafah.

HTI sendiri mencita cita kan system pemerintahan khilafah seperti halnya

pada saat para sahabat nabi masih hidup. Khilafah sendiri adalah sebuah system

8
https://tirto.id/sejarah-kemunculan-hti-hingga-akhirnya-dibubarkan-coiC
8

kepemimpinan umum bagi kaum muslimin di dunia serta menerapkan hukum

syariah islam dan mengembangkan dakwah ke seluruh penjuru dunia.

Konsepsi politik HTI juga merujuk pada konsepsinya tentang sistem

khilafah. Secara distingtif, khilafah dibedakan dengan monarki dan demokrasi. Di

dalam monarki, kekuasaan ada di tangan raja dan pengangkatan raja yang tidak

melalui proses demokratis, melainkan berdasarkan keturunan. Sementara dalam

demokrasi, kekuasaan di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh para wakil rakyat

dan presiden yang dipilih melalui pemilu.9

Pemerintah sendiri telah membubarkan HTI dengan mencabut S.K badan

hukum organisasi tersebut, adapun alasan pemerintah membubarkan HTI di

karenakan ajaran HTI tidak sesuai dengan Pancasila. Ideologi khilafah yang di

suarakan HTI, menurut Wiranto, bersifat transisional. Artinya ideology ini

meniadakan konsep national state.”Untuk mendirikan Negara Islam dalam

konteks luas sehingga Negara dan bangsa jadi absurd,” kata Wiranto dalam

keterangan pers di kantornya, Jumat 12 Mei 2017, Wiranto mengatakan,

pembubaran HTI telah melalui proses panjang lewat pengamatan dan mempelajari

nilai ormas tersebut.10

9
Syaiful Arif, Pandangan dan Perjuangan Ideologis Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Dalam
Sistem Kenegaraan Di Indonesia, (Jakarta Pusat : Dosen Pascasarjana Islam Nusantara
Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdlatul Ulama (STAINU), 2016), hlm 99
10
Tempo.co, “mengapa HTI harus di Bubarkan, Wiranto Paparkan detail Alasannya.”
https://www.google.com/amp/s/nasional.tempo.co/amp/874762/mengapa-hti-harus-dibubarkan-
wiranto-paparkan-detail-alasannya di akses pada tanggal 23 Oktober 2019
9

Hal ini menandakan bahwa Negara memiliki kekuasaan dalam hal

mengatur warga negaranya berdasarkan konstitusi. Dalam hal ini di buktikan

dengan Negara mencabut SK pendirian HTI melalui PERPU Nomor 2 tahun 2017

tentang Perubahan Atas UU Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi

Kemasyarakatan hal ini menandakan bahwa Negara dapat mencabut hak-hak

kebebasan berserikat dengan di keluarkannya Perpu tersebut. Dan saat ini Perpu

tersebut telah di sahkan menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017.

Upaya protes HTI di lakukan dengan berbagai cara mulai jalur hukum

hingga melakukan demo. HTI sendiri sudah melakukan berbagai upaya hukum

mulai dari tingkat awal samapi Peninjauan kembali. Majelis hakim beralasan,

tidak ada cacat yuridis dalam pembuatan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 2 tahun 2017 (Perppu Ormas) yang digunakan untuk

membubarkan HTI.

Dalam Perppu itu, pemerintah menghapus pasal bahwa pembubaran

ormas, seperti yang ditulis dalam Undang-undang Nomor 17 tahun 2013 tentang

Ormas (UU Ormas), harus melalui pengadilan.


10

Pemerintah sendiri menegaskan bahwa terkait dengan ideology bangsa

Negara tidak bisa di tawar. Dalam konsep bernegara sendiri, para pendiri bangsa

telah sepakat dengan Ideologi bangsa, yaitu Pancasila. Hal ini di karenakan

bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras, dan budaya. Oleh

karena itu konsep khilafah tidak sesuai dengan ragam budaya di Indonesia yang

ber Bhineneka Tunggal ika.

Sehingga pemerintah melalui organ-organ pemerintahan dapat melakukan

control terhadap ormas-ormas yang ada di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk

menjaga keamanan dan ketertiban umum dan meminimalisir terjadinya gesekan

antar ormas atau simpatisan yang lainnya.

Pembentukan ormas sendiri harus selaras dengan budaya-budaya yang

ada di Indonesia. Ideologi yang di gunakan ormas tersebut tidak boleh

menyimpang dari ideologi bangsa. Sesuai dengan tujuan Ormas yaitu

berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan

Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negera

Republik Indonesia 1945.


11

2. Rumusan Masalah

2.1 Apakah pembubaran HTI itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun

2017 ?

2.2 Bagaimana akibat hukum dari pembubaran HTI tersebut ?

3. Tujuan Penilitian

Berdasarkan rumusan yang telah di tetapkan di atas, maka penulis memiliki

tujuan penelitian ini sebagai berikut :

3.1 Untuk mengkaji secara mendalam pembubaran HTI berdasarkan Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2017

3.2 Untuk mengetahui akibat hukum dari pembubaran HTI

4. Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian di atas, penulis berharap

penelitian ini dapat bermanfaat, antara lain sebagai berikut :

4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan bahan rujukan

bagi para peneliti, akademisi ataupun praktisi hukum lainnya di masa

mendatang yang tertarik untuk menekuni bidang kajian ini.


12

4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan informasi kepada

masyarkat luas mengenai Ideologi yang di perbolehkan di Indonesia

bersadarkan peraturan perundang-undangan.

5. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu yang membahas tentang pembubaran ormas menurut

peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017

telah cukup banyak di lakukan oleh para peneliti pendahulu.

5.1 Telaah Literatur

No Nama dan Tahun Judul Penelitian Terdahulu Penelitian

. Afilation sekarang

1. Imam 2019 Tinjaun Yuridis Dalam tulisannya Apakah

Sarifuddin Pembubaran Imam Sarifuddin pembubaran

Universitas Ormas Dalam mengkaji 3 (tiga) HTI itu sesuai

Islam Undang-Undang permasalahan, yaitu, dengan

Negeri Nomor 16 Tahun Inkonsistensi Undang-

Syarif 2017 Tentang pembubaran ormas Undang Nomor

Hidayatull Organisasi dalam Undang- 16 Tahun

ah Jakarta Kemasyarakatan Undang Nomor 16 2017 ?

Dalam Konsep Tahun 2017 tentang Bagaimana


13

Negara Hukum. ormas dalam konsep akibat hukum

Negara hukum di dari

Indonesia, pembubaran

Perbandingan antara HTI tersebut ?

Undang-Undang

Nomor 16 Tahun

2017 dengan

Undang-Undang

Nomor 17 Tahun

2013 tentang ormas,

dan Implikasi adanya

Undang-Undang

ormas yang baru

terhadap demokrasi

di Indonesia.

2. Maliyah 2018 Mekanisme Dalam tulisannya Apakah

Zulaika Pembubaran Maliyah Zulaika pembubaran

Universitas Hizbut Tahrir mengkaji 2 (dua) HTI itu sesuai

Islam Indonesia (HTI) permasalahan yaitu : dengan

Negeri ditinjau Dari Bagaimana Undang-

Sultan Undang-Undang mekanisme Undang Nomor


14

Syarif No. 16 tahun pembubaran Hizbut 16 Tahun

Kasim 2017 tentang Tahrir (HTI) ditinjau 2017 ?

Riau- Penetapan dari Undang-Undang Bagaimana

Pekanbaru Peraturan No. 16 Tahun 2017 akibat hukum

Pemerintah Tentang Penetapan dari

Pengganti Peraturan Pemerintah pembubaran

Undang-Undang Pengganti Undang- HTI tersebut ?

Nomor 2 Tahun Undang No. 2 Tahun

2017 Tentang 2017 Tentang

Organisasi Organisasi

Kemasyarakatan Kemasyarakatan?

Apa saja faktor-

faktor yang

mempengaruhi

mekanisme

pembubaran Hizbut

Tahrir (HTI) ditinjau

dari Undang-Undang

No. 16 Tahun 2017

Tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah
15

Pengganti Undang-

Undang No. 2 Tahun

2017 Tentang

Organisasi

Kemasyarakatan?

3. Reni 2019 Gerakan Politik Dalam tulisannya Apakah

Rentika dan Organisasi Reni Rentika Waty pembubaran

Waty Kemasyarakatan mengkaji 2 (dua) HTI itu sesuai

Universitas : Studi atas permasalahan yaitu : dengan

Islam Konsolidasi Bagaimana Undang-

Negeri Politik Hizbut konsolidasi politik Undang Nomor

SYARIF Tahrir Indonesia yang dilakukan HTI 16 Tahun


HIDAYAT (HTI) Pasca pasca Perppu No. 2 2017 ?
ULLAH
Perppu No. 2 tahun 2017 Tentang Bagaimana
JAKARTA
Tahun 2017 Perubahan atas UU akibat hukum

Tentang No. 17 Tahun 2013 dari

Perubahan atas Tentang Organisasi pembubaran

UU No. 17 Kemasyarakatan?, HTI tersebut ?

Tahun 2013 Apa kendala yang

Tentang dihadapi HTI dalam

Organisasi konsolidasi politik


16

Kemasyarakatan HTI yang

dilakukan pasca

Perppu No. 2 tahun

2017 Tentang

Perubahan atas UU

No. 17 Tahun 2013

Tentang Organisasi

Kemasyarakatan?

6. Kajian Pustaka

6.1 Konsep Negara dan Pemerintahan di Indonesia

6.1.1 Konsep Pemerintahan dan Kedaulatan


17

Pemerintah adalah alat kelengkapan Negara yang bertugas memimpin

organisasi Negara untuk mencapai tujuan Negara. Oleh sebab itu pemerintah

seringkali menjadi personifikasi Negara. 11

Secara definitive pemerintah memiliki arti luas dan arti sempit. Dalam arti

luas pemerintah itu meliputi seluruh organ kekuasaan di dalam Negara yaitu

Legislatif, eksekutif dan yudikatif. Dalam arti yang luas pemerintah itu disebut

regering.12

Tetapi dalam artinya yang sempit pemerintah (yang disebut bestuur) hanya

mencakup organisasi fungsi-fungsi yang menjalankan tugas pemerintahan

(eksekutif) yang bisa dilakukan oleh cabinet dan aparat-aparatnya dari tingkat

pusat sampai ke daerah.

Oleh karena itu Pemerintah bertugas memimpin Negara untuk mencapai

tujuan Negara, maka pemerintah memiliki kekuasaaan penuh atas semua

penduduknya di wilayahnya. Pada umumnya kekuasaan tersebut disebut juga

dengan kedaulatan negara.

Tentang darimana sumber kedaulatan yang dimiliki oleh pemerintah itu dapat

dijawab dari kenyataan tentang adanya empat teori kedaulatan :13

11
Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U., DASAR DAN STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA,
(Jakart : PT RINEKA CIPTA, 2001 ), hlm. 66
12
Ibid 66
13
Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U., DASAR DAN STRUKTUR KETATANEGARAAN INDONESIA,
(Jakart : PT RINEKA CIPTA, 2001 ), hlm. 66
18

1. Kedaultan tuhan, yaitu, teori kedaultan yang memandang bahwa

kekuasaan pemerintah itu berasal dari tuhan. Dalam paham ini bisa di

mengerti jika kemudian ternyata pemerintah sering bertindak atas nama

tuhan tak bisa diganggu gugat. Implikasi dari teori ini adalah adanya

Negara-negara teokrasi.

2. Kedaulatan rakyat demokrasi yaitu teori kedaulatan yang memandang

bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat., sehingga dalam melaksanakan

tugasnya pemerintah harus berpijak pada keinginan rakyat (demos=rakyat,

krator=pemerintah). J.J Rousseau mengemukakan bahwa pemberian

kekuasaan kepada pemerintah di dalam paham demokrasi ini adalah

melalui “perjanjian masyarakat” (social contract) yang berkonsekuensi

bahwa jika menjalankan tugasnya secara bertentangan dengan kepentingan

rakyat, maka pemerintah itu dapat dina’zulkan (dijatuhkan) oleh

rakyatnya.

3. Kedaulatan Negara yaitu teori kedaulatan yang memandang bahwa Negara

berdaulat karena ada Negara. Jadi sumber kedaulatan adalah Negara itu

sendiri. Karena ada Negara maka ada kekuasaan yang diperoleh oleh

pemerintah di Negara itu. Otto meyer, seorang Jerman, mengatakan bahwa

Negara mempunyai kekuasaan adalah menurut kehendak alam karena

adanya Negara. Kedaulatan ini tidak diperoleh dari siapapun juga

melainkan diperoleh secara alamiah karena ada Negara. Pemerintah

berkuasa sebagai alat Negara.


19

4. Kedaulatan hukum yaitu teori kedaulatan yang memandang bahwa

kekuasaan itu bersumber dari aturan hukum (supermasi hukum).

6.1.2 Sistem Pemerintahan Indonesia

Negara Kesatuan Republik Indonesia sendiri menganut system

pemerintahan presidensial yang berdasarkan asas trias politica yakni dengan

pembagian kekuasaan menjadi tiga kekuasaan yaitu, Legislatif, yudikatif dan

eksekutif.

System pemerinthan presidensial adalah system pemerintahan dimana

eksukutif dan legislative memiliki kedudukan yang Indenpenden. Kedua

lembaga Negara itu tidak memiliki hubungan secara langsung dalam hal

system pemerintahan.

Dalam system pemerintahan presidensial, Presiden mempunyai jabatan

sebagai Kepala Negara dan sebagai Kepala Eksekutif. Sebagai kepala

eksekutif presiden memiliki kekuasaan riil.14

Sistem pemerinthan inilah yang menegaskan bahwa pemerintah atau

Eksekutif dengan kekuasaan dapat mengatur penduduknya diwilayahnya.

Seperti membentuk PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang). Perpu sendiri muncul di karenakan adanya ihwal yang memaksa,

14
Prof. Dr. HRT. Sri Soemantri M., SH, HUKUM TATA NEGARA INDONESIA Pemikiran dan Pandangan,
(Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2014 cetakan pertama), hlm. 176
20

seperti adanya gerakan-gerakan yang akan mengubah sebuah system

pemerintahan.

6.2 Organisasi masyarakat

6.2.1 Proses Pembubaran Ormas

Organisasi Masyarakat yang selanjutnya disebut Ormas adalah

organisasi yang didirikan dan di bentuk oleh masyarakat secara sukarela

berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan,

dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.15

Asas ormas sendiri tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sementara

itu untuk sifat kegiatan, Ormas harus dibedakan dengan Organisasi lainnya

yang tujuannya memang memperoleh keuntungan, seperti CV, PT, dll. Dalam

melaksanakan kegiatannya Ormas bersifat sukarela, sosial, mandiri, nirlaba,

dan demokratis.16

15
Perpu Nomor 2 tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 17 tahun 2013 tentang
Organisasi masyarakt Pasal 1 butir 1

16
https://www.kompasiana.com/knristian/57087ae00d97732405735b38/apa-itu-
ormas?page=1 di akses pada tanggal 6 Januari 2019
21

Pembubaran atau Pencabutan Ormas sendiri di atur dalam PERPU NO.2

Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU No. 17 Tahun 2013 tentang

Organisasi masyarakat. Dan selanjutnya disahkan menjadi UU No. 16 Tahun

2017.

Pembubaran atau Pencabutan izin Ormas sendiri di atur dalam UU No.

16 Tahun 2017. Ormas sendiri di cabut jika di temukan adanya pelanggaran-

pelanggaran yang tidak sesuai dengan ketentuan apabila melanggar Ormas

tersebut akan di berikan sanksi sesuai dengan UU. Adapaun sanksi nya di atur

dalam UU No. 16 Thn 2017 adapun bunyinya :

Pasal 60

(1) Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


21, Pasal 51, dan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2) diiatuhi sanksi
administratif.
(2) Ormas yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
dan Pasal 59 ayat (3) dan ayat (4) dijatuhi sanksi administratif dan/atau
sanksi pidana.
Pasal 61

(1) Sanksi administratif sebegaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1)


terdiri atas:
a. peringatantertulis;
b. penghentian kegiatan; dan/atau
c. pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan
hukum.
22

Dalam hal pencabutan izin ormas berbadan hukum sendiri tidak

memerlukan putusan pengadilan. Pencabutan status badan hukum sendiri

dilakukan oleh Pemerintah melalui Kementrian Hukum dan Hak Asasi

Manusia (Kemenkumham). Pencabutan status badan hukum ini di atur dalam

Pasal 61 ayat (3) dan (4) UU No. 16 Tahun 2017 di nyatakan bahwa :

(3) Sanksi administratif sebrg'imana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2)


berupa:
a. pencabutan surat keterangan terdaftar oleh Menteri; atau
b. pencabutan status badan hukum oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan
c. di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(4) Dalam melakukan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Menteri dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang hukum dan hak asasi manusia dapat meminta pertimbangan
dari instansi terkait.

Istilah Peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang ini sepenuhnya

adalah ciptaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu sebagaimana yang di

tentukan dalam pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “dalam hal ihwal

kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menentukan peraturan

pemerintah sebagai undang-undang”. Dalam pasal 22 ayat (2)-nya dinyatakan,

“peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan

Rakyat dalam persidangan yang berikut \”, dan ayat (3)-nya menentukan,
23

“Jika tidak ada persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus di

cabut”.17

Dalam kutipan-kutipan diatas dapat di ketahui bahwa: Pertama, peraturan

tersebut disebut peraturan pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang,

yang berarti bahwa bentuknya adalah Peraturan Pemerintah (PP) sebagaimana

yang di maksud dalam pasal 5 ayat (2) UUD 1945. Pasal 5 ayat (2) ini

menyatakan, ”Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan

undang-undang sebagaimana mestinya”. Jika bentuk biasanya Peraturan

Pemerintah itu adalah peraturan yang ditetapkan untuk menjalankan undang-

undang sebagaimana mestinya, maka dalam keadaan kegentingan yang

memaksa bentuk Peraturan Pemerintah itu dapat dipakai untuk menuangkan

kententuan-kententuan yang semestinya dituangkan dalam bentuk Undang-

Undang dan untuk menggantikan undang-undang.18

Kedua, pada pokoknya, peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-

undang itu sendiri bukanlah nama resmi yang diberikan oleh UUD 1945.

Namun dalam praktek selama ini, peraturan pemerintah yang demikian itu

lazim dinamakan sebagai Peraturan Pemerintah (tanpa kata ‘sebagai’)

17
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, PERIHAL UNDANG-UNDANG, (Jakart : PT RAJA GRAFINDO PERSADA,
2014 cetakan ketiga), hlm. 55

18
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, PERIHAL UNDANG-UNDANG, (Jakart : PT RAJA GRAFINDO PERSADA,
2014 cetakan ketiga), hlm. 55
24

Pengganti Undang-Undang atau disingkat PERPU atau biasa juga ditulis

Perpu.19

Ketiga, Perpu tersebut pada pokoknya hanya dapat ditetapkan oleh

Presiden apabila persyaratan “kegentingan yang memaksa” itu terpenuhi

sebgaimana mestinya. Keadaan “kegentingan yang memaksa” yang dimaksud

disini berbeda dan tidak boleh dicampuradukkan dengan pengertian “keadaan

bahaya” sebagaimana ditentukan oleh pasal 12 UUD 1945. Pasal 12

menyatakan, “Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan

akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-Undang”.20

Dalam pengertian “kegentingan yang memaksa” itu terkandung sifat

darurat atau “emergency” yang memberikan alas kewenangan kepada

Presiden untuk menetapkan Perpu atau disebut dengan Undang-Undang

Darurat menurut konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, atau “emergency

legislation” menurut ketentuan konstitusi di berbagai Negara lain.21

Keempat, karena pada dasarnya, Perpu itu sederajat atau memiliki

kekuatan yang sama dengan undang-undang, maka DPR harus secara aktif

mengawasi baik penetapan maupun pelaksanaan Perpu itu dilapangan jangan

sampai bersifat eksesif dan bertentangan dengan tujuan awal yang

19
Ibid hlm 56
20
Ibid hlm 56
21
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, PERIHAL UNDANG-UNDANG, (Jakart : PT RAJA GRAFINDO PERSADA,
2014 cetakan ketiga), hlm. 57
25

melatarbelakaginya.22 Dengan demikian perpu tersebut harus menjadi objek

pengawasan yang ketat oleh DPR sesuai degan tugasnya menjadi pengawas.

Jika penerapan perpu itu menimbulkan korban ketidak adilan maka Perpu

dapat di jadikan objek pengujian materi oleh Mahkamah Konstitusi.

Kelima, karena materi Perpu itu harusnya dituangkan dalam bentuk

undang-undang, maka berlakunya Perpu tersebut dibatasi hanya untuk

sementara. Menurut ketentuan Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD1945, “Peraturan

Pemerintah harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat,dalam

persidangan yang berikut”. “Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan

pemerintah itu harus dicabut”. Karena itu, masa berlaku Perpu tersebut adalah

1 tahun.23 Maka jika dalam 1 tahun itu tidak kunjung mendapat persetujuan

DPR dalam persidangan maka Perpu tersebut harus dicabut.

Pembentukan Perpu sendiri telah diatur dalam peraturan perundang-

undangan Indonesia. Peraturan dalam pembentukan perpu sendiri dia atur

dalam Undang-Undang No.4 Tahun 2004.

Dalam Pasal 9 UU No. 4 tahun 2004 ditentukan “Materi muatan

Peraturan Pemerintah Pengannti Undang-Undang sama dengan materi

muatan Undang-Undang”. Selanjutnya, Pasal 24 undang-undang tersebut

menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan

22
Ibid hlm 59
23
Ibid hlm 60
26

rancangan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, rencangan

peraturan pemerintah, dan rancangn peraturan presiden diatur dengan

Peraturan Presiden.24

Pasal 36 UU No. 10 tahun 2004 menentukan pula bahwa pembahasan

rancangan undang-undang tentang Perpu menjadi undang-undang

dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan rancangan

undang-undang. Dewan Perwakilan Rakyat hanya menolak atau menerima

Perpu. Dalam hal rancangan undang-undang mengenai penetapan Perpu

menjadi undang-undang ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat, maka Perpu

tersebut dinyatakan tidak berlaku. Dalam hal Perpu itu ditolak Dewan

Perwakilan Rakyat Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang

pencabutan perpu yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan

tersebut.25

7. Metode Penelitian

7.1 Jenis Penelitian


24
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, PERIHAL UNDANG-UNDANG, (Jakart : PT RAJA GRAFINDO PERSADA,
2014 cetakan ketiga), hlm. 189
25
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, PERIHAL UNDANG-UNDANG, (Jakart : PT RAJA GRAFINDO PERSADA,
2014 cetakan ketiga), hlm. 190
27

Jenis Penelitian secara umum di bagi menjadi 2 (dua) , yaitu Legal

Research/Normatif dan Sosio Legal Research/Empiris. Dalam penelitian ini

penulis menggunakan jenis metode penelitian Normatif/Legal Research.

7.2 Pendekatan Penelitian

Pendekatan-pendekatan yang di gunakan di dalam penelitian hukum

adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case

approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif

(comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual

approach).26

Disini penulis menggunakan pendekatan undang-undang (statute

approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan

menelaah semua undang-undang atau regulasi yang bersangkut paut dengan

isu hukum yang sedang di tangani.27

Objek penlitian pustaka ini adalah pembubaran HTI oleh Pemerintah

yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 Tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun

2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan serta akibat hukum pembubaran

ormas HTI oleh pemerintah.

7.3 Data Penelitian atau Bahan Hukum

26
Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Surabaya, 2016 hlm
133
27
Ibid hlm 133
28

Peneluis menggunakan Data penelitian atau bahan hukum yang

digunakan untuk mencari informasi atau keterangan yang benar mengenai

objek penelitian tersebut. Bahan hukum yang di gunakan penulis dalam

melakukan penelitian normative/legal research berupa bahan buku primer,

sekunder.

7.4 Teknik pengumpulan dan Pengolahan bahan hukum

Untuk mendapatkan data penulis melakukan dengan jalan studi

pustaka. Hal ini dilakukan dengan identifikasi literatur buku, peraturan

perundang-undangan, dan literatur lain yang berkaitan dengan masalah yang

diteliti.

Penulis menggunakan pengumpulan bahan hukum primer dan

sekunder. Menurut Peter Mahfud Marzuki, Sumber-sumber penelitian hukum

dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder. Antara lain sebagai berikut :28

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum

primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau

risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-

putusan hakim.

b. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum

yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi


28
Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Surabya, 2016 hlm 181
29

tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum,

jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan

pengadilan.

7.5

8. Sistematika Pembahasan
30

Sitematika penyusunan skripsi ini tertuang dalam empat (4) bagian yang tersusun

dalam bab-bab, yang mana satu sama lain saling berkaitan, dan di setiap bab terdiri

dari sub-sub bab. Agar dapat memberikan gambaran mengenai skripsi ini nantinya,

maka penulis akan memberikan gambaran secara garis besar sebagai berikut :

BAB I : Berupa pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode

penelitian, sistematika penulisan.

Anda mungkin juga menyukai