Anda di halaman 1dari 9

Mengenal Konsep Diversi dalam Pengadilan Pidana Anak

M-27

Konsep keadilan restoratif merupakan tujuan agar dapat dilaksanakannya konsep diversi pada
pengadilan pidana anak. Inti dari keadilan restoratif adalah penyembuhan, pembelajaran moral,
partisipasi dan perhatian masyarakat, rasa memaafkan, tanggungjawab serta membuat perubahan yang
semua itu merupakan pedoman bagi proses restorasi dalam perpektif keadilan restoratif.

Foto ilustrasi: BAS

Anak merupakan pewaris bangsa dan pengurus di masa yang akan dating dan memiliki harapan hidup
yang masih panjang, serta cita-cita yang tinggi. Anak pun berbeda dengan orang dewasa dalam lingkup
kematangannya secara berpikir. Sehingga, apabila terjadinya sebuah tindak kriminal maka diharapkan
anak-anak mendapatkan perlakuan khusus ketika berhadapan dengan hukum.

Praktisi hukum Muhammad Zainudin mengatakan secara filosofis lahirnya UU No.3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, semata-mata untuk kepentingan terbaik anak, baik secara fisik maupun psikologis.
Namun perlu diperhatikan bahwa lahirnya UU ini merupakan kodifikasi dari hukum internasional, yaitu
The Beijing Rules yang dalam penerapannya ada beberapa prinsip-prinsip yang tidak tertuangkan pada
UU No.3 Tahun 1997.

“Paling khusus yaitu prinsip diversi, sehingga dikhawatirkan dalam penerapan peradilan anak di
pengadilan, hakim akan bertindak sewenang-wenang dalam menerapkan pidana penjara terhadap anak,
terlebih terhadap pengaturan mengenai batasan-batasan sejauh mana anak dapat di rampas
kemerdekaannya dan juga perlu diperhatikan seberat apa tingkat keseriusan tindak pidana yang
dilakukan oleh anak tersebut,” kata Zainudin dalam Bimbingan Teknis Penanganan Sengketa di
Pengadilan (Litigasi) Gelombang II, di Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, Kamis (19/4).
Beralih dari UU No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang kini telah dicabut yang ditandai dengan
berlakunya UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), di mana dalam
peraturan perudangan yang baru ini melengkapi peraturan mengenai pengadilan anak dengan
menerapkan prinsip-prinsip penting yang termaktub di dalam The Beijing Rules yang ditandai dengan
adanya pasal yang menyebutkan bahwa dalam sistem peradilan pidana anak sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf a dan b wajib diupayakan diversi (Pasal 5 Ayat (3) UU SPPA).

Dalam sistem peradilan pidana anak diwajibkan menggunakan pendekatan restoratif (pasal 5 ayat (1)
UU SPPA). Lalu apa itu pendekatan restoratif?

Dalam pemaparannya, Zainudin menyebutkan bahwa dalam UU SPPA Pasal 1 ayat (6) dijelaskan bahwa
keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,
keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil
dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.

Konsep keadilan restoratif merupakan tujuan agar dapat dilaksanakannya konsep diversi pada
pengadilan pidana anak. Inti dari keadilan restoratif adalah penyembuhan, pembelajaran moral,
partisipasi dan perhatian masyarakat, rasa memaafkan, tanggungjawab serta membuat perubahan yang
semua itu merupakan pedoman bagi proses restorasi dalam perpektif keadilan restoratif.
Begitupun dengan konsep diversi yang dibentuk dengan tujuan untuk:

Mencapai perdamaian antara korban dan anak;

Menyelesaikan perkara anak di luar proses pengadilan;

Menghindarkan anak dari proses perampasan kemerdekaan;

Mendorong anak untuk berpartisipasi; dan

Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Sebenarnya, jauh sebelum adanya Peraturan Pemerintah yang merupakan turunan dari UU SPPA di
keluarkan, Ketua Mahkamah Agung Muhammad Hatta Ali terlebih dahulu telah menandatangani
Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam
Sistem Peradilan Pidana Anak.

(Baca Juga: Sanksi Bagi Pendidik yang Melakukan Kekerasan Terhadap Murid)

Poin penting PERMA tersebut adalah hakim wajib menyelesaikan persoalan perlindungan anak-anak
yang berhadapan dengan hukum (ABH) dengan cara diversi. Di samping itu, PERMA ini merupakan
pegangan hakim dalam penyelesaian tindak pidana anak sebelum adanya regulasi khusus mengenai
diversi pada sistem pengadilan pidana terhadap anak.
Zainudin mengatakan konsep diversi ini dapat diterapkan dengan syarat bahwa tindak pidana yang
dilakukan merupakan pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban maupun tindak
pidana yang menyebabkan kerugian yang nilainya tidak melebihi dari nilai upah minimum provinsi
setempat serta tindak pidana yang hukuman pidana penjaranya di bawah 7 (tujuh) tahun dan memiliki
rentang usia tidak lebih dari 21 (dua puluh satu) tahun.

Namun, kata Zainudin, apabila tindak proses penyelesaian melalui konsep diversi tidak tercapai maka
proses pengadilan tetap berlanjut sesuai dengan ketentuan beracara yang tertuang di dalam KUHAP.
Bedanya, seluruh pihak yang terkait harus mematuhi prosedur yang ditetapkan oleh UU SPPA mulai dari
cara berpakaian, pemilihan bahasa, hingga penataan ruang sidang yang akan digunakan.

Seiring berjalannya waktu, tingkat kriminal yang dilakukan anak-anak semakin meningkat. Adanya
perubahan pola hidup serta berkembangnya pola pikir anak menyebabkan tindak pidana yang dilakukan
tergolong berat, sehingga konsep diversi tidak dapat lakukan secara maksimal. Hal ini menuntut
pemerintah untuk memperketat proses pengadilan pidana terhadap anak agar penerus bangsa dapat
tumbuh berkualitas.

Sebelumnya, Pengacara publik LBH Jakarta, Ayu Eza Tiara, mengatakan pendekatan keadilan restoratif
sebagaimana UU SPPA dapat dilaksanakan melalui cara diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian
perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Melalui diversi diharapkan
dapat memperkecil dampak buruk yang bisa dialami anak karena berhadapan dengan proses hukum.
(Baca juga: Melihat Capaian Implementasi UU Sistem Peradilan Pidana Anak)

Melansir data Polda Metro Jaya periode 2013-2017 Ayu menghitung ada 229 kasus anak yang
berhadapan dengan hukum. Data itu meliputi perkara yang ada di wilayah Polda Metro Jaya. Dari 229
kasus itu hanya 32 kasus yang diupayakan diversi pada tahap penyidikan dan 158 kasus tidak dilakukan
diversi dan 39 kasus tidak diketahui apakah dilaksanakan diversi atau tidak.

Pada tahap pra penuntutan (berkas P-21) sebanyak 13 kasus selesai karena laporan dicabut, 41 kasus
selesai karena diversi, 20 kasus berhenti melalui SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan), 113
selesai di persidangan dan 30 kasus tidak diberi keterangan perihal kelanjutan prosesnya.

Menurut Ayu, ada banyak tantangan yang dihadapi dalam mengupayakan diversi untuk kasus pidana
anak. Misalnya, jenis tindak pidana yang melibatkan anak tidak dapat dilakukan diversi karena
ancamannya lebih dari 7 tahun penjara. "Itu merupakan alasan paling banyak kenapa upaya diversi tidak
dapat dilakukan," katanya dalam diskusi di Jakarta, Kamis (22/2).

(Baca juga: Lindungi Masa Depan Anak Lewat Sistem Peradilan Terintegrasi)
LBH Jakarta merekomendasikan pemerintah untuk melakukan legislatif review terkait syarat
pelaksanaan diversi, terutama tindak pidana dengan ancaman lebih dari 7 tahun tapi tidak terdapat
korban dalam pidana yang disangkakan kepada anak tersebut. Sebaiknya pemerintah merinci jenis
tindak pidana apa saja yang dapat dilakukan diversi atau tidak. Kemudian perlu ada pengawasan lebih
ketat terhadap pelaksanaan diversi dalam tiap tahapan dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan guna
mencegah penyalahgunaan wewenang menyangkut diversi.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Putu Elvina, mengatakan periode 2017 KPAI
menerima 3.849 kasus, dari jumlah itu kasus yang berkaitan dengan anak berhadapan dengan hukum
paling banyak dibanding bidang lain yakni 1.209 kasus. Dia yakin jumlah yang ada di lapangan dan tidak
tercatat lebih besar. Menurutnya jumlah kasus yang ditangani KPAI bisa berkurang jika pemerintah
daerah (pemda) menyediakan akses pengaduan masyarakat seperti membentuk Pusat Pelayanan
Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2 TP2A).

Elvina menjelaskan tahun 2015 KPAI melihat kesiapan penerapan UU SPPA, hasilnya belum memuaskan
karena masih banyak sarana dan prasarana serta SDM yang belum memadai. Misalnya, unit pelayanan
perempuan dan anak (UPPA) pada kepolisian di daerah tergolong minim.Tapi ada juga daerah yang
sudah melakukan upaya yang baik seperti Kalimantan Selatan UPPA cukup bagus ruangannya karena
mendapat bantuan dari pemda.

Data lain yang dijelaskan Elvira terjadi di Polres Jayapura. Pada tahun 2015, aparat setempat
bersemangat untuk melakukan diversi terhadap perkara pidana anak. Sayangnya prosedur yang mereka
lakukan untuk menjalankan diversi kurang tepat karena tidak melalui penetapan pengadilan. Pada tahun
2016 di Makassar, KPAI memantau banyak penyidik kepolisian yang belum mendapat pelatihan SPPA.
Sekalipun ada aparat yang mengikuti pelatihan tapi dimutasi ke unit lain. Padahal SDM yang tidak
terlatih bisa menghambat upaya diversi. "Ketentuan yang diatur dalam UU SPPA sudah ideal tapi
pelaksanaannya sulit," kata Elvina.

Sekalipun diversi sudah dilakukan dan berproses bukan berarti pelaksanaannya tanpa kendala, Elvina
melihat ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi. Misalnya, dalam suatu perkara pidana anak di
Papua, keluarga korban setuju dilakukan diversi tapi memberikan syarat berupa dua unit speedboat dan
beberapa ekor kerbau. Melihat syarat yang begitu berat keluarga pelaku tidak menyanggupinya. Oleh
karenanya Elvina mengingatkan diversi tidak melulu harus melalui persetujuan pihak korban karena itu
juga diatur dalam UU SPPA.

Pasal 9 ayat (2) UU SPPA menjelaskan empat jenis tindak pidana yang dikecualikan untuk mendapat
persetujuan pihak korban yaitu tindak pidana yang berupa pelanggaran; tindak pidana ringan; tindak
pidana tanpa korban; atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat.

Yang ke 2

Polisi: Kasus ABG Posting Hate Speech Diselesaikan dengan Diversi

Mei Amelia R - detikNews

Polisi: Kasus ABG Posting Hate Speech Diselesaikan dengan Diversi

Ilustrasi (Foto: dok. Thinkstock)

FOKUS BERITA:Stop Persekusi

Bekasi - Pihak Polres Metro Bekasi Kota sudah berkoordinasi dengan tokoh masyarakat dan agama
terkait ABG berinisial BS (15) yang mem-posting komentar hate speech di akun Facebook. BS kemudian
didatangi massa karena posting-annya.
Kapolres Metro Bekasi Kota Kombes Hero Henrianto Bachtiar menjelaskan pihaknya memproses hukum
BS karena warga melaporkan BS ke polisi.

"Proses hukum tetap berlanjut, namun dalam pelaksanaannya kami gunakan diversi karena dia di bawah
umur," ujar Hero kepada detikcom, Selasa (6/6/2017).

Sesuai dengan UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pengertian diversi adalah
pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Sistem peradilan pidana anak wajib diupayakan diversi ini ditegaskan dalam Pasal 5 ayat 3 UU No 11
Tahun 2012.

"Kami sudah mengumpulkan para tokoh agama dan tokoh masyarakat. Kami berikan pengertian bahwa
proses peradilan pidana anak dilakukan dengan diversi dan mereka memahaminya. Karena,
bagaimanapun, anak ini masih di bawah umur, dia tidak tahu dampak yang ditimbulkan atas
perbuatannya tersebut," terang Hero.

Pertemuan terkait kasus BS ini digelar di Mapolres Metro Bekasi Kota pada pukul 14.20 WIB tadi, yang
dihadiri oleh Kasat Reskrim Polres Metro Bekasi AKBP Dedy Supriyadi, Wakasat Reskim Kompol Warija,
Kanit Krimsus AKP Untung Kartika, dan penyidik. Hadir pula pihak Balai Pemasyarakatan, BS dan orang
tuanya, tokoh agama dan tokoh masyarakat setempat, serta ketua RW setempat Musyaffa Hasan.

"Pihak orang tua BS juga bersedia meminta maaf kepada masyarakat dan akan mengawasi BS. Kami
berikan pengertian juga kepada BS terkait perbuatannya itu, dengan bahasa yang mudah dimengerti
karena dia kan masih di bawah umur," sambungnya.

Selain itu, pihaknya akan menggelar kembali pertemuan dengan tokoh agama dan masyarakat
Kelurahan Kampung Tengah, Bekasi Utara, untuk penyelesaian kasus tersebut.

"Kami masih melengkapi administrasi penyidikan untuk diversi yang selanjutnya dilimpahkan ke
pengadilan untuk mendapatkan penetapan dari pengadilan hasil diversi terhadap kasus pelanggaran
Pasal 45 A ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 UU ITE atas nama BS ini," papar Hero.
Polres Metro Bekasi Kota tidak menahan BS dan mengembalikannya kepada orang tuanya

Anda mungkin juga menyukai