Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

MATA KULIAH HUKUM DAGANG


DENGAN JUDUL “USHUL FIQH”

Dosen Pembimbing

Disusun oleh :

OMAS TRIO PRAWIRA 16120000063


M. TAUFIK IRWANSYAH 16120000057

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM KADIRI
2018
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur tertuju semata hanya kepada Allah SWT, atas
segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
dengan judul “USHUl FIQH”.

Selama penyusunan makalah ini, penulis telah banyak mendapat bimbingan, bantuan
dan motivasi dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan banyak terimakasih
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi
maupun pikirannya sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan
yang memerlukan penyempurnaan. Untuk itu mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun sehingga dapat menambah kemampuan dan pengetahuan penulis. Akhirnya
penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi banyak orang.
DAFTAR ISI

Kata pengantar ...................................................................................................................

Dafatar isi ..........................................................................................................................

Bab I Pendahuluan...............................................................................................................

1.1 Latar belakang..........................................................................................


1.2 Rumusan masalah.....................................................................................
1.3 Tujuan penulisan......................................................................................

Bab II pembahasan..............................................................................................................

Kesimpulan .........................................................................................................................

Daftar pustaka
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Ilmu Ushul Fiqh merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum, ilmu
ini sangat berguna untuk membimbing para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum
syara’ secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Melalui ushul fiqh dapat
ditemukan jalan keluar dalam menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan
dengan dalil lainnya.
Dalam ushul fiqh juga dibahas masalah talfiq, taklid dan ittiba’. Ketiganya memiliki
arti yang berbeda dan maksudnya pun berbeda. Tetapi ketiga-tiganya sangat jelas diatur
dalam Islam. Ittiba’ ini didasarkan dalam Al-Qur’an surat An-nahl ayat 43 yang artinya :
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri
wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan
jika kamu tidak mengetahui.”

1.2 Dalam makalah ini, penyusun akan membahas perihal yang berkaitan dengan:
1. Apa yang dimaksud dengan ijtihad, taqlid, ittiba’ dan talfiq ?
2. Bagaimanakah hukum-hukum dalam berijtihad bertaqlid, berittiba’ maupun bertalfiq?
3. Bagaimanakah pendapat ulama mengenai ijtihad, taqlid, ittiba, dan talfiq ?

1.2 Tujuan penulisan


Memberi pemahaman tentang Pengertian Taqlid dan Talfiq, Perbedaan antara keduanya
dengan Ittiba’ dan Hukm pembagiannya.
BAB II

PEMBASAN

1. TAQLID
1. Pengertian taqlid
Kata taklid berasal dari bahasa Arab yakni kata kerja “Qallada”, yaqallidu’,
“taglidan”, artinya meniru menurut seseorang dan sejenisnya.
Adapun taqlid yang dimaksud dalam istilah ilmu ushul fiqih adalah :
. ‫َقُبْو ُل َقْو ِل ْالَقاِئِل َو َأْنَت َال َتْع َلُم ِم ْن َأْيَن َقاَلُه‬
“Menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu tidak mengetahui
alasan perkataannya itu”.
Ada juga ulama lain memberi definisi, seperti Al-Ghazali, yakni :
. ‫َقُبْو ُل َقْو ِل ْالَقاِئِل الَغْيِر ُد ْو َن ُحَّج ِتِه‬
“Menerima perkataan orang lain yang tidak ada alasannya.”
Dari semua itu dapat di simpulkan bahwa, taqlid adalah menerima atau
mengambil perkataan orang lain yang tidak beralasan dari Al-Qur’an Hadis, Ijma’ dan
Qiyas.
2. Hukum taqlid
para ulama membagi hukum taqlid menjadi tiga, yaitu:
a. Haram, yaitu taqlid kepada adat istiadat yang bertentangan dengan Al-Qur’an
dan As-Sunah, taqlid kepada seseorang yang tidak diketahui kemampuannya,
dan taqlid kepada pendapat seseorang sedang ia mengetahui bahwa pendapat
orang itu salah.
b. Boleh, yaitu taqlid kepada mujtahid, dengan syarat bahwa yang bersangkutan
selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti. Dengan kata lain,
bahwa taqlid seperti ini sifatnya hanya sementara.
c. Wajib, yaitu taqlid kepada orang yang perkataan, perbuatan dan ketetapannya
dijadikan hujjah, yaitu Rasulullah saw.
3. Pendapat Para Ulama Mengenai Taqlid
Muhammad Rasyid Ridha merumuskan definisi taqlid dengan kenyataan-
kenyataan yang ada dalam masyarakat Islam. Taqlid menurut beliau adalah mengikuti
pendapat orang yang diianggap terhormat dalam masyarakat dan dipercaya dalam
hukum Islam tanpa memperhatikan benar atau salahnya, baik buruknya, serta manfaat
mudharatnya pendapat tersebut.
Para ulama ushul fiqh sepakat melarang taqlid dalam tiga bentuk berikut ini:
1. Semata-mata mengikuti tradisi nenek moyang yang bertentangan dengan Al-
Qur’an dan Hadist. Contohnya, tradisi nenek moyang tirakatan selama tujuh
malam di makam, dengan keyakinan bahwa hal itu akan mengabulkan semua
keinginannya, padahal perbuatan tersebut tidak sesuai dengan firman Allah,
antara lain dalam surah Al-Ahzab [33] :64
2. Mengikuti seseorang atau sesuatu yang tidak diketahuui kemampuan dan
keahliannya dan menggandrungi daerahnnya itu melebihi kecintaannya kepada
dirinya sendiri. Hal ini disinggung oleh Allah dalam surah Al-Baqarah [2]:
165-166
3. Mengikuti pendapat seseorang, padahal diketahui bahwa pendapat tersebut
salah. Firman Allah dalam surah Al-Taubah [9]: 31
Namun demikian, menurut Al-Dahlawy, taqlid yang dibolehkan adalah taqlid
dalam artian mengikuti pendapat orang alim, karena belum ditemukan hukum Allah
dan Rasul berkenaan dengan suatu perbuatan. Namun, seseorang yang bertaqlid
tersebut harus terus belajar mendalami pengetahuan hukum islam.
4. Pesan Para Ulama mengenai Taqlid
a. Imam Malik berkata :
,,Saya hanya manusia biasa yang kadang-kadang salah dan kadang-kadang
benar. Selidiki pendapat saya. Kalau sesuai dengan Qur’an dan hadis, maka
ambillah. Yang menyalahi hendaknya tinggalkan”.
b. Imam Syafi’i berkata :
,,perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa hujjah (alasan) seperti orang
yang yang mencari kayu diwaktu malam. Ia membawa kayu-kayu sedang di
dalamnya ada ular yang mengantup, dan ia tidak tahu”.
c. Imam ahmad bin Hanbal berkata :
,,jangan mengikuti (taqlid) saya atau malik atau Tsauri atau Auzai’i, tetapi
ambillah dari mana mereka mengambil”.
2. ITTIBA’
1. Pengertian Ittiba’
Kata ‘’Itibbaa’a’’ berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata kerja atau fi’il
“Ittaba’a”, “Yattbiu” ”Ittiba’an”, yang artinya adalah mengikut atau menurut.
Ittiba’ yang dimaksud di sini adalah:
. ‫َقُبْو ُل َقْو ِل ْالَقاِئِل َو َأْنَت َتْع َلُم ِم ْن َأْيَن َقاَلُه‬ .3
“Menerima perkataan orang lain yang berkata yang berkata, dan kamu
mengetahui alasan perkataannya.”
Di samping ada juga yang memberi definisi :
. ‫َقُبْو ُل َقْو ِل ْالَقاِئِل ِبَد ِلْيٍل َر اِج ٍح‬
“menerima perkataan seseorang dengan dalil yang lebih kuat.”
Jika kita gabungkan definisi-definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa, ittiba’
adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan
mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil
suatu hukum berdasarkan alasan yang diaagap lebih kuat dengan jalan membanding.
2. Hukum Ittiba’
Dari pengertian tersebut di atas, jelaslah bahwa yang dinamakan ittiba’ bukanlah
mengikuti pendapat ulama tanpa alasan agama. Adapun orang yang mengambil atau
mengikuti alasan-alasan, dinamakan “Muttabi”.
Hukum ittiba’ adalah Wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah perintah oleh
Allah, sebagaimana firmannya:
)۳ : ‫ (األعرف‬. ‫ِ َّتِبُعْو ا َم ا ُأْنِز َل ِإَلْيُك ْم ِم ْن َر ِّبُك ْم َو َال َتَّتِبُعْو ا ِم ْن ُد ْو ِنِه َأْو ِلَياَء َقِلْيًال َم ا َتَذَّك ُرْو َن‬
Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain
Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran. (QS. Al-A’raf:3)
Dalam ayat tersebut kita diperintah mengikuti perintah-perintah Allah. Kita telah
mengikuti bahwa tiap-tiap perintah adalah wajib, dan tidak terdapat dalil yang
merubahnya.

Di samping itu juga ada sabda Nabi yang berbunyi:


)‫َع َلْيُك ْم ِبُس َّنِتى َو ُس َّنُة اْلُخَلَفاِء الَّر ِشِد ْيَن ِم ْن َبْع ِد ى ـ (رواه ابو داود‬
Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan perjalanan/sunnah Khulafaur Rasyidin
sesudahku. (HR.Abu Daud).
3. Pendapat Ulama Mengenai Ittiba’
Kalangan ushuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah mengikuti atau
menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah.
Dalam versi lain, ittiba’ diartikan mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui
argumentasi pendapat yang diikuti.
Ittiba’ dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu :
a. Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya, dan
b. Ittiba’ kepada selain Allah dan Rasul-Nya.
Ittiba’ kepada Allah dan Rasul-Nya hukumnya wajib, sesuai dengan firman
Allah dalam surat Al-A’raf [7]: 3
)۳ : ‫ (األعرف‬. ‫ِاَّتِبُعْو ا َم ا ُأْنِز َل ِإَلْيُك ْم ِم ْن َر ِّبُك ْم َو َال َتَّتِبُعْو ا ِم ْن ُد ْو ِنِه َأْو ِلَياَء َقِلْيًال َم ا َتَذَّك ُرْو َن‬
“Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti selain
Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran”.
Mengenai ittiba’ kepada para ulama dan mujtahid (selain Allah dan Rasul-Nya)
terdapat perbedaan pendapat. Imam Ahmad bin Hanbal hanya membolehkan ittiba’
kepada Rasul. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa boleh ittiba’ kepada
ulamayang dikategorikan sebagai waratsatul anbiya’, dengan alasan firman Allah
Surah Al-Nahl [16]: 43 yang artinya: Maka bertanyalah kepada orang-orang yang
punya ilmu pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Yang dimaksud dengan “orang-orang yang punya ilmu pengetahuan” (ahl al-
dzikri) dalam ayat itu adalah orang-orang yang ahli dalam ilmu Alquran dan Hadis
serta bukan pengetahuan berdasrkan pengalaman semata.

3. TALFIQ
1. Pengertian Talfiq
Talfiq menurut bahasa adalah menutup, menambal, tak dapat mencapai dan lain
sebagainya. Adapun “Talfiq” yang dimaksudkan dalam pembahasan ilmu ushul fiqh
adalah:
‫َاْلَع َم ُل ِبُح ْك ِم ُم َؤ َّلٍف َبْيَن َم ْذ َهَبْيِن َأْو َأْكَثر‬ .4
“Mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua mazhab atau lebih.”
Maksudnya adalah, seperti seseorang mengikuti pendapat Syafi’iy dalam masalah
iddah wanita yang ditalak, karena balasannya lebih kuat dari mazhab lain
umpamanya. Sedang dalam hal tidak adanya wali mujbir dalam perkawinan, ia
mengikut pendapat hanafi, karena merasa alasannya lebih kuat. Yang demikian
dinamakan Talfiq dalam masalah yang berlainan.
Di samping itu, juga termasuk dalam ketegori talfiq, seseorang ber-talfiq dalam
satu masalah, seperti dalam masalah wudhu. Seseorang tidak melafazkan niat, karena
mengikut mazhab Hanafy. Tapi dalam hal mengusap kepala ketika wudhu cukup
sebagian kepala saja, karena mengikuti mazhab Maliki misalnya.
2. Hukum Talfiq
Para ulama mutaqaddimin tidak membuat larangan terhadap talfiq, atau
seseorang bertalfiq, bahkan pada banyak tempat mereka menganjurkan untuk meneliti
fatwa-fatwa mereka.dan juga mengatakan bahwa tidaklah halal memfatwakanfatwa
merekabila tidak diketahui alasan-alasannya. Mereka juga memfatwakan supaya
melemparkan jauh-jauh fatwa mereka bila ternyata bertentangan dengan Nash.
Setelah dilakukan penelaahan atau penelitian memang diperbolehkan talfiq
adalah dalam perselisihan para ulama, atau lebih jelasnya adalah para fuqaha
muta’akhirin, adapun mereka yang fanatik pada mazhab, berfatwa bahwa para qadhi
berhak menghukum (yakni hukum ta’zir) terhadap orang yang berpindah mazhab
Bila kita lakukan perbandingan tentang hal tersebut, maka pendapat muta’akhirin
yang terkuat adalah pendapat yang membolehkan talfiq atau ber-talfiq. Sedang
perbedaan pendapat antara mereka adalah sebagai berikut:
1. Madzhab Syafi’iy tidak membenarkan seseorang berpindah mazhab, baik
secara keseluruhan masalah, yakni dalam masalah berlainan, maupun dalam satu
bidang masalah saja.
2. Madzhab hanafy membolehkan talfiq dengan syarat bahwa, masalah yang di
talfiqkan itu bukan dalam satu bidang masalah atau qadiah. Sebagai contoh
misalnya, berwudhu menurut mazhab syafi’i, sedang pembatalannya menurut
mazhab Hanafy. Atau menyapu muka daloam berwudhu menurut mazhab
Syafi’iy, sedang mengusap rambut dalam hal berwudhu juga menurut mazhab
Maliki.
3. IJTIHAD
1. Pengertian Ijtihad
Etimologis: kata ijthad itu berasal dari bahasa Arab yang artinya penumpahan
segala upaya dan kemampuan. Terminologis: ulama ushul mendefinisikan ijtihad
sebagai mencurahkan kesanggupan dalam hukum syara‟ yang bersifat „amaliyah.
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid.
Kemudian, kata tersebut di pakai salah satu istilah ushul fiqh yang bermakna
“usaha maksimal ulama dalam melakukan kajian untuk memperoleh ketentuan-
ketentuan hukum yang bersifat zanni”. Dengan demikian, setiap terungkap istilah
ijtihad dalam pembahasan ilmu fiqh, usaha maksimal yang dilakukan para ulama
untuk merumuskan pemikiran-pemikiran fiqh, baik berupa hasil pemahaman
terhadap teks lafal Al-Qur’an dan Sunnah, maupun hasil analisa terhadap persoalan-
persoalan actual yang mereka hadapi. Namun kekuatan hukum ijtihad bersifat sanni,
yakni memilki peluang benar atau salah dengan dugaan terkuat pada benarnya bukan
berada pada salahnya.
2. Hukum Ijtihad
Menurut effendi, banyak alasaan untuk melakukan ijtihad antara lain:
1. Q.S An-Nisa ayat 59
Artinya : hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rosul-Nya,
dan ulil amri diantara kamu kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rosul
(sunnahnya), jika kamu benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu), dan lebih baik akibatnya. Perintah
mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Al-Qur’an dan Sunnah,
menurut Ali Hasaballah adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa
nafsunya, dan kewajiabn kembali kepada Allah dan Rosul-Nya dengan jalan
Ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadist yang barangkali tidak
mudah dijakngkau dengan mudah begitu saja, atau berijtihad dengan
menggunakan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dalam Al-Qur’an dan
Sunnah Rosul, seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan
hukumnya dengan sesuatu yang disebutkan dalam al-Qur’an karena
persamaan ‘illat-nya’ seperti dalam praktik qiyas (analogi), atau dengan
meneliti kebijaksanaan-kebijaksanaan syariat. Melakukan ijtihad seperti inilah
yang dimaksud mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya seperti
yang dimaksud oleh ayat itu.
2. Hadis yang diriwatkan oleh Mu’az bin Jabal
Ketika ia akan diutus ke Yaman menjawab pertanyaa rosululloh dengan apa
ia memtuskan hukum. ia menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan Al-Qur’an,
kemudian dengan sunnah Rasulullah, dan kemudian dengan melakukan ijtihad.
Rasulullah mengakui hal itu dengan mengatakan : “Segala pujian bagi Allah yang
telah memberi taufik atas diri utusa dari Rasulullah dengan apa yang diridhai oleh
Allah dan Rasul-Nya. Arti hadis tersebut secara lengkap sebagai berikut :
“Dari al-Haris bin Amr, dari sekelompok orang teman-teman Mu’az,
sesungguhnya Rasulullah SAW. Mengutus Mu’az ke Yaman, maka beliau
bertanya kepada Mu’az, atas dasar apa Anda memutuskan suatu persoalan, dia
jawab, dasarnya adalah Kitab Allah, Nabi bertanya ; “kalau tidak anda temukan
dalam kitab Allah?”, dia menjawab dengan dasar Sunnah Rasulullah SAW.
Beliau bertanya lagi : “kalau tidak Anda temukan adalam Sunnah Rasulullah?’,
Mu’az menjawab aku akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi berkata:
“Segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufiq atas diri utusan Rasulullah
SAW.” (HR.Tirmizi).
Menurut Syafe’i (2010,107-108), bagi seseorang yang sudah memenuhi
persayratan ijtihad, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut
berkenaan dengan ijutihad, yaitu :
1. Orang tersebut dihukum fardhu’ain untuk berijtihad apabila ada
permasalahan yang menimpa dirinya, dan harus mengamalkan hasil dari
ijtihadnya dan tidak boleh taqlid kepada orang lain, karena hukum ijtihad itu
sama dengan hukum Allah terhadap permasalahan yang ia yakini bahwa hal
itu termasuk hukum Allah.
2. Juga dihukumi fardhu’ain jika ditanyakan tentang suatu permasalahan yang
belum ada hukumnya. Karena jika tidak segera dijawab, dikhawatirkan akan
terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut atau habis waktunya
dalam mengetahui kejadian tersebut.
3. Dihukumi fardu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak
dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada orang lain selain dirinya yang
sama-sama memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid.
4. Dihukumi sunah apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik
ditanya ataupun tidak.
5. Dihukumi haram apabila berijtihad terhadap permasalahan yang sudah
ditetapkan secara qathi’, sehingga hasil ijtihadnya itu bertentangan dengan
dalil syara’.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pengertian taqlid dan ittiba’ serta talfiq di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan taqlid adalah menerima perkataan orang lain yang berkata, sedangkan si
penerima tersebut tidak mengetahui alasan perkataannya itu.
Ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan
mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu
hukum berdasarkan alasan yang diaagap lebih kuat dengan jalan membanding.
Talfiq adalah mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua mazhab atau lebih atau
dapat dikatakan bahwa talfiq adalah mencampuradukkan hukum yang ditetapkan oleh suatu
mazhab dengan mazhab lainnya. Contohnya seperti seperti dalam masalah wudhu.
Seseorang tidak melafazkan niat, karena mengikut mazhab Hanafy. Tapi dalam hal
mengusap kepala ketika wudhu cukup sebagian kepala saja, karena mengikuti mazhab
Maliki misalnya.
Ijtihad usaha maksimal yang dilakukan para ulama untuk merumuskan pemikiran-
pemikiran fiqh, baik berupa hasil pemahaman terhadap teks lafal Al-Qur’an dan Sunnah,
maupun hasil analisa terhadap persoalan-persoalan actual yang mereka hadapi.
DAFTAR PUSTAKA

arjunae.blogspot.com/2014/02/makalah-ushul-fiqh-taqlid-ittiba-dan.html

https://himaprodiesystais.wordpress.com/2017/.../makalah-taqlid-ittiba-tarjih-dan-talfi...

Anda mungkin juga menyukai