Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya, serta tak lupa Sholawat dan salam kepada junjungan Nabi besar
Muhammad Swt atas petunjuk dan risalahnya, yang telah membawa zaman
kegelaapan ke zaman terang benderang, dan atas doa restu dan dorongan dari
berbagai pihak-pihak yang telah membantu kami memberikan referensi dalam
pembuatan makalah ini.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................... 2
DAFTAR ISI.......................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................ 4
B. Rumusan Masalah....................................................................... 5
C. Tujuan......................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN
A. `URF....................................................................................... 6-12
D. SAD-DZARIAH................................................................... 18-21
A. Kesimpulan …………………………………………..………. 22
B. Saran ………………………………………………….……… 22
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada
sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan
masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu
Islam yang itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam
sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu
Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam
segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam
semakin kompleks.
4
Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum
sesuatu melalui dalil-dalil agama yaitu Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan
istimbat. Adapun mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan atau
terhadap sesuatu hukum agama. Oleh karena itu kita harus berterima kasih
Islam baik yang sudah lama terjadi di zaman Rosullulloh maupun yang baru
terjadi.
B. Rumusan masalah
C. Tujuan
5
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian ‘Urf
Kata ‘urf secara etimologi yaitu, sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh
akal sehat.
(kebiasaan), yaitu: “sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapat
Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidah, istilah ‘urf berarti ialah sesuatu yang telah
dikenali oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan dikalangan mereka baik berupa
perkayaan, perbuatan atau pantangan-pantangan dan juga bisa disebut dengan adat.
Menurut istilah ahli syara’, tidak ada perbedaan antara ‘urf dan adat (adat kebiasaan).
Namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian ‘urf lebih umum
dibanding dengan pengertian adat karena adat disamping telah dikenal oleh
melanggarnya.
1
Abdul wahab kholaf. Ilmu Ushul Fiqih. (Gema risalah press: Bandung).1996. Hal 148
6
Contohnya adat perbuatan, seperti kebiasaan umat manusia berjual beli dengan
tukar menukar secara langsung, tanpa bentuk ucapan akad. Adat ucapan seperti
kebiasaan manusia menyebut al walad secara mutlak berarti anak laki-laki, bukan
anak perempuan dan kebiasaan mereka, juga kebiasaan mereka untuk tidak
mengucapkan kata daging sebagai ikan. Adat terbentuk dari kebiasaan manusia
menurut derajat mereka, secara umum maupun tertentu. Berbeda dengan ijma’, yang
terbentuk dari kesepakatan para mujtahid saja, tidak termasuk manusia secara umum.
Para ulama’ sepakat bahwa ‘urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama tidak
bahwa amal ulama’ Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama’ Hanafiyah
menyatakan bahwa pendapat ulama’ Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam
Syafi’i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi
beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Makkah
(qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan
bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘urf. Tentu saja ‘urf fasid tidak mereka
berikut ini:
7
ِ ُْخ ِذ ْال َع ْف َو َوْأ ُمرْ بِ ْالعُر
َف َوَأ ْع ِرضْ ع َِن ْال َجا ِهلِين
yang ma’ruf. Sedangkan yang disebut sebagai ma’ruf itu sendiri ialah, yang dinilai
bertentangan dengan watak manusia yang benar, yang dibimbing oleh prinsip-prinsip
فَ َما َراَهُ ال ُم ْسلِ ُموْ نَ َح َسنًا فَهُ َو ِع ْن َد هللاِ َح َس ٌن َو َما َراَهُ ال ُم ْسلِ ُموْ نَ َس ْيًئا فَهُ َو ِع ْن َد هللاِ َسيٌْئ
Artinya: “Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah,
dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah”.
Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di atas, baik dari segi redaksi maupun
masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syari’at Islam adalah juga
merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah. Sebaliknya, hal-hal yang bertentangan
kesulitan dan kesempitan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal dalam pada itu, Allah
8
ُج َو ٰلَ ِك ْن ي ُِري ُد لِيُطَه َِّر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَه
ٍ َما ي ُِري ُد هَّللا ُ لِيَجْ َع َل َعلَ ْي ُك ْم ِم ْن َح َر
Adat yang benar, wajib diperhatikan dalam pembentukan hukum Syara’ dan
putusan perkara. Seorang mujtahid harus memperhatikan hal ini dalam pembentukan
hukumnya dan bagi hakim juga harus memperhatikan hal itu dalam setiap
putusannya. Karena apa yang sudah diketahui dan dibiasakan oleh manusia adalah
Adapun adat yang rusak, maka tidak boleh diperhatikan, karena memperhatikan
adat yang rusak berarti menentang dalil Syara’ atau membatalkan hukum Syara’.
Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan
tempat, karena masalah baru bisa berubah sebab perubahan masalah asal. Oleh karena
itu, dalam hal perbedaan pendapat ini para ‘ulama fikih berkata: “Perbedaan itu
adalah pada waktu dan masa, bukan pada dalil dan alasan.2
3. Macam-macam ‘Urf
‘Urf atau adat itu ada dua macam, yaitu adat yang benar dan adat yang rusak.
Adat yang benar adalah kebiasaan yang dilakukan manusia, tidak bertentangan
dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan
2
Abd rohman dahlan. Ushul fiqih. (Amzah: Jakarta). 2010. Hal. 213
9
kewajiban. Sedangkan adat yang rusak adalah kebiasaan yang dilakukan oleh
membatalkan kewajiban.
Penggolongan macam-macam adat atau ‘urf itu juga dapat dilihat dari beberapa segi:
1. Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan. Dari segi ini ‘urf ada dua macam:
a. ‘Urf qauli, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau
harta pusaka) berlaku juga dalam al-Qur’an, seperti dalam surat an-Nisa’ (4):
b. ‘Urf fi’li, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpamanya; (1)
jual beli barang-barang yang enteng (murah dan tidak begitu bernilai)
transaksi antara penjual dan pembeli cukup hanya menunjukkan barang serta
serah terima barang dan uang tanpa ucapan transaksi (akad) apa-apa. Hal ini
tidak menyalahi aturan akad dalam jual beli. (2) kebiasaan saling mengambil
3
Rahmat syafei.ilmu ushul fiqih. (CV. Pustaa Setia: Bandung). 1998. Hal. 128
10
rokok di antara sesama teman tanpa adanya ucapan meminta dan memberi,
a. Adat atau ‘urf umum, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku di mana-
b. Adat atau ‘urf khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok
orang tertentu atau pada waktu tertentu; tidak berlaku di semua tempat dan
hanya untuk adik dari ayah; sedangkan orang Jawa menggunakan kata
a. Adat yang shahih, yaitu adat yang berulang ulang dilakukan, diterima oleh
orang banyak, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun dan budaya
yang luhur. Contohnya, memberi hadiah kepada orang tua dan kenalan dekat
4
Ahmad sanusi, sohari. Ushul fiqih. (PT. Raja Grafindo Persada: Kota Depok). 2015. Hal 82
5
Masduki. Dasar-dasar ushul fiqih. (lembaga peneliti IAIN SMHB: serang). 2012. Hal. 141
6
Ahmad sanusi, sohari. Ushul fiqih. (PT. Raja Grafindo Persada: Kota Depok). 2015. Hal 83
11
saat hari raya; memberi hadiah sebagai suatu penghargaan atas suatu
prestasi.
b. Adat yang fasid, yaitu adat yang berlaku di suatu tempat meskipun merata
yang terdahulu, sebelum diutusnya nabi muhammd SAW. Yang menjadi petunjuk
bagi kaum yang mereka utus kepadanya, seperti syari’at Nabi Ibrahim, nabi daud,
Pada asas syariat yang diperuntukan Allah SWT bagi umat-umat dahulu
mempunyai asas yang sama dengan asas yang diperuntukan bagi umat nabi
فِي ِه َكب َُر َعلَى ْال ُم ْش ِر ِك ْينَ َما تَ ْدعُوهُ ْم ِإلَ ْي ِه هللاُ يَجْ تَبِ ْي ِإلَ ْي ِه َم ْنƒْس َأ ْن أقِي ُموا ال ِّدينَ َواَل تَتَفَ َّرقُوا
َ َو ِعي
7
Abd rohman dahlan. Ushul fiqih. (Amzah: Jakarta). 2010. Hal. 210.
12
“Dia telah mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-
Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang
telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama
musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama
Contoh dari Syar’u Man Qablana sendiri sebagaimana dalam surat Al-Baqoroh
ayat 183:
Baqarah:183).
mempunyai asas yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Hal ini
diwasiatkannya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu
(Muhammad) dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa,
13
yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan jannganlah kamu
mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang
Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi
ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan rinciannya
ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai dengan kondisi dan perkembangan
zaman masing-masing.8
Oleh karena itu terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat yang
sebelum kita (umat Islam) dengan datangnya syari‟at Islamiyah dan sebagian lagi
8
Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009,
revisi. 3) hal. 112
9
http://www.scribd.com/doc/51198324/modul-ushul-fiqih
14
3. Diwajibkannya hukuman qishash
Allah Swt menetapkan bagi syariat Nabi Musa. Bahwa hukuman qishash itu
wajib diterapkan.
4. Diharamkannya membalas perbuatan buruk
Allah Swt. menetapkan bagi syariat Nabi Adam alaihis salam. Bahwa umat
beliau dilarang keras untuk melakukan pembalasan atas perbuatan buruk.
Itulah mengapa Habil tidak melakukana pembalasan sama sekali, ketika Qabil
hendak membunuhnya.
C. MAZHAB SAHABI
madzhab merupakan sighat isim makan dari fi’il madli zahaba yang artinya
pergi. Oleh karena itu,mazhab artinya : tempat pergi atau jalan. Kata-kata
yang semakna ialah :maslak, thariiqah dan sabiil yang kesemuanya berarti
Sesuatu dikatakan madzhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut
menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang
15
Madzhab Sahabat yang lazimnya juga disebut Qaul Sahabat
Ijtihad. Dengan kata lain Qaul Sahabat adalah pendapat para Sahabat tentang
suatu kasus yang dinukil oleh para Ulama, baik berupa fatwa maupun
adalah jalan yang ditempuh oleh para shahabat dalam menetapkan hukum
Sahabat adalah jalan yang ditempuh oleh para shahabat dalam menetapkan
2. Kedudukan Sahabi
sepakati (ijma' sahabi) dapat dijadikan hujjah dan wajib ditaati. Sebab
16
yang sering terjadi. Contoh mazhab sahabat yang telah mereka
sepakati, antara lain mengenai bagian harta waris bagi nenek, yaitu
seperenam (1/6).
Mazhab sahabat yang tidak mereka sepakati tidak dijadikan hujjah dan
dalam menghukumi suatu permasalahan yang tidak ada nash sharih yang
menjelaskan. Berikut ini adalah beberapa contoh yang ada, yang erat
adalah sunnah dan tidak mencapai wajib. Di sini Imam Syafi’i berdalil bahwa
sujud dilakukan untuk shalat. Adapun perintah untuk shalat telah dijelaskan
secara global oleh Al-Qur’an dan telah diterangkan oleh As-Sunnah secara
17
terperinci. Maka hal ini menujukkan bahwa shalat yang diwajibkan adalah
dipisahkan, dan wanita itu menjadi haram bagi laki-laki tersebut selamanya.
mendapatkan maharnya. Dan bila telah habis masa iddah-nya sementara sang
D. SAD-DZARIAH
1. Pengertian
sadda-yasiddu-saddan.
dzar’an.
10
Al-Jurjani Syarief Ali Muhammad, Al-Ta’rifat, Jeddah:Al-Haramain, tt, hal. 10
18
“Saddu Dzari’ah yaitu: melarang sesuatu yang zahirnya mubah, namun
سد األمر الذي ظاهره اإلباحة إالّ أنه يُفضي ويؤول إلى المفسدة وفعل المحرم
“Saddu Dzari’ah adalah: melarang sesuatu yang secara zahir mubah, namun
2. Kedudukan
Hanabilah menerima Saddu Dzari’ah sebagai salah satu dalil yang bisa
isyarat dalam al-Qur’an dan hadits mengenai Saddu Dzari’ah ini. Misalnya:
kafir. Karena perbuatan itu akan membuat orang kafir balas mengejek
jenis yang bukan mahram. Karena perbuatan itu akan menjerumuskan kepada
perzinahan.11
11
Ibrahim Husein, Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1991, hal. 25
19
Sementara Hanafiyah dan Syafi’iyah tidak menerima Saddu Dzari’ah
sebagai dalil.Argumen pendapat ini, adalah sifat dari Dzari’ah sebagai sarana
atau perantara. Sifat Dzari’ah itu tidak pasti. Bisa halal, haram, wajib, sunnah,
maupun makruh.
3. Contoh
Menanam anggur
adalah halal.
20
Bertegur sapa melalui media sosial. Seperti whatsapp,
haram.
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
sesuatu (yang sulit) dan dalam prakteknya digunakan untuk sesuatu yang sulit
dan memayahkan.
B. Saran
makalah ini menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan
Ushul Fiqih. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
22
DAFTAR PUSTAKA
Tim penyusun studi islam IAIN Sunan Ampel,Pengantar Studi Islam, Surabaya, IAIN
Ampel Press, 2004
Hasan, M.Ali, Perdebatan Madzab, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995
Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2009, revisi. 3) hal. 112
http://www.scribd.com/doc/51198324/modul-ushul-fiqih
Abdul wahab kholaf. Ilmu Ushul Fiqih. (Gema risalah press: Bandung).1996. Hal 148
Abd rohman dahlan. Ushul fiqih. (Amzah: Jakarta). 2010. Hal. 213
23