Anda di halaman 1dari 23

“DALIL HUKUM IJTIHAD”

Disusun Guna memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih

Dosen pengampu: Maswir S.Ag,M.H

Disusun Oleh Kelompok 9 :

1. Resi Oktaviani (12020721474)


2. Edria Dwi Pratiwi (12020721438)
3. Mangindo Tua Togatorop (12020712231)

PRODI ILMU HUKUM S1


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya, serta tak lupa Sholawat dan salam kepada junjungan Nabi besar
Muhammad Swt  atas petunjuk dan risalahnya, yang telah membawa zaman
kegelaapan ke zaman terang benderang, dan atas doa restu dan dorongan dari
berbagai pihak-pihak yang telah membantu kami memberikan referensi dalam
pembuatan makalah ini.

Kami dapat menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan


makalah ini, oleh karena itu kami sangat menghargai akan saran dan kritik untuk
membangun makalah ini agar bisa menjadi lebih baik lagi. Demikian yang dapat kami
sampaikan, semoga melalui makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Pekanbaru, 03 Desember 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................... 2

DAFTAR ISI.......................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang............................................................................ 4

B. Rumusan Masalah....................................................................... 5

C. Tujuan......................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN

A. `URF....................................................................................... 6-12

B. SYAR`U MAN QOBLANA................................................. 12-15

C. MAZHAB SAHABI............................................................. 15-18

D. SAD-DZARIAH................................................................... 18-21

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan …………………………………………..………. 22

B. Saran ………………………………………………….……… 22

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………….……… 23

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah ada

pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad

dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga

sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan

masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu

pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena

tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi

tantangan kehidupan yang semakin kompleks problematikanya.

Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab dalam hukum

Islam yang itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam

kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain

sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu

masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik.

Justru dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam

segala lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam

menjadi “tidak bisu” dalam menghadapi problematika kehidupan yang

semakin kompleks.

4
Sesungguhnya ijtihad adalah suatu cara untuk mengetahui hukum

sesuatu melalui dalil-dalil agama yaitu Al-Qur'an dan Al-hadits dengan jalan

istimbat. Adapun mujtahid itu ialah ahli fiqih yang menghabiskan atau

mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk memperoleh persangkaan kuat

terhadap sesuatu hukum agama. Oleh karena itu kita harus berterima kasih

kepada para mujtahid yng telah mengorbankan waktu,tenaga, dan pikiran

untuk menggali hukum tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh umat

Islam baik yang sudah lama terjadi di zaman Rosullulloh maupun yang baru

terjadi.

B. Rumusan masalah

1. Jelaskan dan berikan contoh tentang `URF

2. Jelaskan dan berikan contoh tentang SYAR`U MAN QOBLANA

3. Jelaskan dan berikan contoh tentang MAZHAB SAHABI

4. Jelaskan dan berikan contoh tentang SAD-DZARIAH

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui tentang `URF

2. Untuk mengetahui tentang SYAR`U MAN QOBLANA

3. Untuk mengetahui tentang MAZHAB SAHABI

4. Untuk mengetahui tentang SAD-DZARIAH

5
BAB II

PEMBAHASAN

A.      AL-URF / ADAT KEBIASAAN

1.    Pengertian ‘Urf

Kata ‘urf secara etimologi yaitu, sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh

akal sehat.

Sedangkan kata ‘urf dalam pengertian terminologi sama dengan istilah al ‘adah

(kebiasaan), yaitu: “sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapat

diterimanya oleh akal yang sehat dan watak yang benar”1

Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidah, istilah ‘urf berarti ialah sesuatu yang telah

dikenali oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan dikalangan mereka baik berupa

perkayaan, perbuatan atau pantangan-pantangan dan juga bisa disebut dengan adat.

Menurut istilah ahli syara’, tidak ada perbedaan antara ‘urf dan adat (adat kebiasaan).

Namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian ‘urf lebih umum

dibanding dengan pengertian adat karena adat disamping telah dikenal oleh

masyarakat, juga telah biasa dikerjakan dikalangan mereka, seakan-akan telah

merupakan hukun tertulis, sehingga ada sangsi-sangsi terhadap orang yang

melanggarnya.

1
Abdul wahab kholaf. Ilmu Ushul Fiqih. (Gema risalah press: Bandung).1996. Hal 148

6
Contohnya adat perbuatan, seperti kebiasaan umat manusia berjual beli dengan

tukar menukar secara langsung, tanpa bentuk ucapan akad. Adat ucapan seperti

kebiasaan manusia menyebut al walad secara mutlak berarti anak laki-laki, bukan

anak perempuan dan kebiasaan mereka, juga kebiasaan mereka untuk tidak

mengucapkan kata daging sebagai ikan. Adat terbentuk dari kebiasaan manusia

menurut derajat mereka, secara umum maupun tertentu. Berbeda dengan ijma’, yang

terbentuk dari kesepakatan para mujtahid saja, tidak termasuk manusia secara umum.

2.    Kedudukan ‘Urf sebagai dalil Syara’

Para ulama’ sepakat bahwa ‘urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama tidak

bertentangan dengan Syara’. Ulama’ Malikiyyah terkenal dengan pernyataan mereka

bahwa amal ulama’ Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama’ Hanafiyah

menyatakan bahwa pendapat ulama’ Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam

Syafi’i terkenal dengan qaul qadim dan qaul jadidnya.  Ada suatu kejadian tetapi

beliau menetapkan hukum yang berbeda pada waktu beliau masih berada di Makkah

(qaul qadim) dengan setelah beliau berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan

bahwa ketiga madzhab itu berhujjah dengan ‘urf. Tentu saja ‘urf fasid tidak mereka

jadikan sebagai dasar hujjah.

Adapun kehujjahan ‘urf sebagai dalil syara’ didasarkan atas argumen-argumen

berikut ini:

Firman Allah pada surah al-A’raf ayat 199

7
ِ ْ‫ُخ ِذ ْال َع ْف َو َوْأ ُمرْ بِ ْالعُر‬
َ‫ف َوَأ ْع ِرضْ ع َِن ْال َجا ِهلِين‬

Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf,

serta berpalinglah dari pada orang-orang bodoh”.

Melalui ayat di atas Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan

yang ma’ruf. Sedangkan yang disebut sebagai ma’ruf itu sendiri ialah, yang dinilai

oleh kaum muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang, dan tidak

bertentangan dengan watak manusia yang benar, yang dibimbing oleh prinsip-prinsip

umum ajaran Islam.

Ucapan sahabat Rasulullah SAW; Abdullah bin Mas’ud:

‫فَ َما َراَهُ ال ُم ْسلِ ُموْ نَ َح َسنًا فَهُ َو ِع ْن َد هللاِ َح َس ٌن َو َما َراَهُ ال ُم ْسلِ ُموْ نَ َس ْيًئا فَهُ َو ِع ْن َد هللاِ َسيٌْئ‬

Artinya: “Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah,

dan sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah”.

Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di atas, baik dari segi redaksi maupun

maksudnya, menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam

masyarakat muslim yang sejalan dengan tuntunan umum syari’at Islam adalah juga

merupakan sesuatu yang baik di sisi Allah. Sebaliknya, hal-hal yang bertentangan

dengan kebiasaan-kebiasaan yang dinilai baik oleh masyarakat, akan melahirkan

kesulitan dan kesempitan dalam kehidupan sehari-hari. Padahal dalam pada itu, Allah

berfirman pada surat al-Maidah ayat 6:

8
ُ‫ج َو ٰلَ ِك ْن ي ُِري ُد لِيُطَه َِّر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَه‬
ٍ ‫َما ي ُِري ُد هَّللا ُ لِيَجْ َع َل َعلَ ْي ُك ْم ِم ْن َح َر‬

َ ‫َعلَ ْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكر‬


‫ُون‬
Artinya:“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan

kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”.

Adat yang benar, wajib diperhatikan dalam pembentukan hukum Syara’ dan

putusan perkara. Seorang mujtahid harus memperhatikan hal ini dalam pembentukan

hukumnya dan bagi hakim juga harus memperhatikan hal itu dalam setiap

putusannya. Karena apa yang sudah diketahui dan dibiasakan oleh manusia adalah

menjadi kebutuhan mereka, disepakati dan ada kemaslahatannya.

Adapun adat yang rusak, maka tidak boleh diperhatikan, karena memperhatikan

adat yang rusak berarti menentang dalil Syara’ atau membatalkan hukum Syara’.

Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan

tempat, karena masalah baru bisa berubah sebab perubahan masalah asal. Oleh karena

itu, dalam hal perbedaan pendapat ini para ‘ulama fikih berkata: “Perbedaan itu

adalah pada waktu dan masa, bukan pada dalil dan alasan.2

3.     Macam-macam ‘Urf

‘Urf atau adat itu ada dua macam, yaitu adat yang benar dan adat yang rusak.

Adat yang benar adalah kebiasaan yang dilakukan manusia, tidak bertentangan

dengan dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan

2
Abd rohman dahlan. Ushul fiqih. (Amzah: Jakarta). 2010. Hal. 213

9
kewajiban. Sedangkan adat yang rusak adalah kebiasaan yang dilakukan oleh

manusia tetapi bertentangan dengan syara’, menghalalkan yang haram atau

membatalkan kewajiban.

Penggolongan macam-macam adat atau ‘urf itu juga dapat dilihat dari beberapa segi:

1.      Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan. Dari segi ini ‘urf ada dua macam:

a. ‘Urf qauli, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau

ucapan. Contohnya, kata Waladun secara etimologi artinya “anak” yang

digunakan untuk anak laki-laki atau perempuan. Berlakunya kata tersebut

untuk perempuan karena tidak ditemukannya kata ini khusus untuk

perempuan dengan tanda perempuan (Mu’annats). Penggunaan

kata Walad itu untuk anak laki-laki dan perempuan, (mengenahi waris atau

harta pusaka) berlaku juga dalam al-Qur’an, seperti dalam surat an-Nisa’ (4):

11-12. Seluruh kata walad dalam kedua ayat tersebut yang disebutkan secara

berulang kali, berlaku untuk anak laki-laki dan perempuan.3

b. ‘Urf fi’li, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpamanya; (1)

jual beli barang-barang yang enteng (murah dan tidak begitu bernilai)

transaksi antara penjual dan pembeli cukup hanya menunjukkan barang serta

serah terima barang dan uang tanpa ucapan transaksi (akad) apa-apa. Hal ini

tidak menyalahi aturan akad dalam jual beli. (2) kebiasaan saling mengambil

3
Rahmat syafei.ilmu ushul fiqih. (CV. Pustaa Setia: Bandung). 1998. Hal. 128

10
rokok di antara sesama teman tanpa adanya ucapan meminta dan memberi,

tidak dianggap mencuri.4

2.      Dari segi ruang lingkup penggunaannya

a. Adat atau ‘urf umum, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku di mana-

mana, hampir di seluruh penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa

dan agama. Umpamanya: menganggukkan kepala tanda menyetujui dan

menggelengkan kepala tanda menolak atau meniadakan. Kalau ada orang

berbuat kebalikan dari itu, maka dianggap aneh atau ganjil.5

b. Adat atau ‘urf khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok

orang tertentu atau pada waktu tertentu; tidak berlaku di semua tempat dan

sembarang waktu. Contohnya, orang Sunda menggunakan kata “paman”

hanya untuk adik dari ayah; sedangkan orang Jawa menggunakan kata

“paman” itu untuk adik dan kakak dari ayah.6

3.      Dari segi penilaian baik dan buruk:

a. Adat yang shahih, yaitu adat yang berulang ulang dilakukan, diterima oleh

orang banyak, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun dan budaya

yang luhur. Contohnya, memberi hadiah kepada orang tua dan kenalan dekat

dalam waktu-waktu tertentu, mengadakan acara halal bihalal (silaturrahmi)

4
Ahmad sanusi, sohari. Ushul fiqih. (PT. Raja Grafindo Persada: Kota Depok). 2015. Hal 82
5
Masduki. Dasar-dasar ushul fiqih. (lembaga peneliti IAIN SMHB: serang). 2012. Hal. 141
6
Ahmad sanusi, sohari. Ushul fiqih. (PT. Raja Grafindo Persada: Kota Depok). 2015. Hal 83

11
saat hari raya; memberi hadiah sebagai suatu penghargaan atas suatu

prestasi.

b. Adat yang fasid, yaitu adat yang berlaku di suatu tempat meskipun merata

pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara

daan sopan santun. Contohnya, berjudi untuk merayakan suatu peristiwa;

pesta dengan menghidangkan minuman haram; membunuh anak perempuan

yang baru lahir; kumpul kebo (hidup bersama tanpa nikah). 7

B.     SYAR’U MAN QOBLANA

1.    Pengertian Syar’u Man Qablana

Syar’u Man Qablana adalah syari’at atau ajaran-ajaran yang di bawa nabi-nabi

yang terdahulu, sebelum diutusnya nabi muhammd SAW. Yang menjadi petunjuk

bagi kaum yang mereka utus kepadanya, seperti syari’at Nabi Ibrahim, nabi daud,

Nabi Musa, Nabi Isa as. 

Pada asas syariat yang diperuntukan Allah SWT bagi umat-umat dahulu

mempunyai asas yang sama dengan asas yang diperuntukan bagi umat nabi

Muhammad SAW., sebagai mana dinyatakan dalam Al-quran:

ƒَ ‫ بِ ِه ِإ ْب َرا ِه ْي َما َو ُم‬ƒ‫ص ْينَا‬


‫وس‬ َ ‫َش َر َع لَ ُك ْم ِمنَ ال ِّد ْي ِن َما َوصَّى بِ ِه نُوحًا َوالَّ ِذي َأو َح ْينَا ِإلَ ْي‬
َّ ‫ك َو َما َو‬

‫ فِي ِه َكب َُر َعلَى ْال ُم ْش ِر ِك ْينَ َما تَ ْدعُوهُ ْم ِإلَ ْي ِه هللاُ يَجْ تَبِ ْي ِإلَ ْي ِه َم ْن‬ƒ‫ْس َأ ْن أقِي ُموا ال ِّدينَ َواَل تَتَفَ َّرقُوا‬
َ ‫َو ِعي‬

ُ‫يَ َشا ُء َويَ ْه ِدى ِإلَ ْي ِه َم ْن يُنِيْب‬

7
Abd rohman dahlan. Ushul fiqih. (Amzah: Jakarta). 2010. Hal. 210.

12
 “Dia telah mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-

Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang

telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama

dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang

musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama

itu orang yang dikehendaki-Nya dan member petunjuk kepada (agama)-Nya

orang yang kembali (kepada-Nya).” (QS. As-Syura/42:13)

Contoh dari Syar’u Man Qablana sendiri sebagaimana dalam surat Al-Baqoroh

ayat 183:

َ‫ب َعلَى الَّ ِذ ْينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم لَ َعلَ ُك ْم تَتَّقُون‬


َ ِ‫م َكما َ ُكت‬ƒُ ‫صيَا‬ َ ِ‫ياَاَيُّهَا الَّ ِذينَ َأ َمنُوا ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَ ْي ُك ُم ال‬

“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamuberpuasa sebagaimana

diwajibkan atas orang-orang sebelumkamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-

Baqarah:183).

2. Kedudukan Syar’u Man Qablana

Pada prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu

mempunyai asas yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Hal ini

terlihat dalam firman Allah surat Al-Syura : 13

“Dia (Allah) telah mensyari’atkan kepadamu agama yang telah

diwasiatkannya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu

(Muhammad) dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa,

13
yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan jannganlah kamu

berpecah-pecah belah didalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk

mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang

dikehendaki kepada agama Tauhid dan memberikan petunjuk kepada (agama)-Nya

bagi orang yang kembali (kepada-Nya).”

Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi

ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan rinciannya

ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai dengan kondisi dan perkembangan

zaman masing-masing.8

Oleh karena itu terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat yang

sebelum kita (umat Islam) dengan datangnya syari‟at Islamiyah dan sebagian lagi

hukum-hukum umat yang terdahulu tetap berlaku, seperti qishash.9

3. Contoh Syar’u Man Qablana

Berikut beberapa contoh dari Syar’u Man Qablana:

1. Diharamkannya semua binatang berkuku


Allah menetapkan bahwa Bani Israil dilarang untuk memakan daging semua
binatang yang berkuku.
2. Disunnahkannya hidup membujang
Allah Swt. menetapkan syariat bagi Nabi Zakariya dan Yahya. Bahwa
membujang itu lebih utama daripada menikah.

8
Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009,
revisi. 3) hal. 112
9
http://www.scribd.com/doc/51198324/modul-ushul-fiqih

14
3. Diwajibkannya hukuman qishash
Allah Swt menetapkan bagi syariat Nabi Musa. Bahwa hukuman qishash itu
wajib diterapkan.
4. Diharamkannya membalas perbuatan buruk
Allah Swt. menetapkan bagi syariat Nabi Adam alaihis salam. Bahwa umat
beliau dilarang keras untuk melakukan pembalasan atas perbuatan buruk.
Itulah mengapa Habil tidak melakukana pembalasan sama sekali, ketika Qabil
hendak membunuhnya.

C. MAZHAB SAHABI

1. Pengertian Madzhab Shahabi

Pengertian Madzhab Sahabat sendiri secara etimologi yaitu kata

madzhab merupakan sighat isim makan dari fi’il madli zahaba yang artinya

pergi. Oleh karena itu,mazhab artinya : tempat pergi atau jalan. Kata-kata

yang semakna ialah :maslak, thariiqah dan sabiil yang kesemuanya berarti

jalan atau cara.

Sesuatu dikatakan madzhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut

menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang

dinamakan madzhab adalah metode yang dibentuk setelah melalui pemikiran

dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai

pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas

prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah. Dengan demikian, madzhab sahabat adalah

jalan yang ditempuh para sahabat.

15
Madzhab Sahabat yang lazimnya juga disebut Qaul Sahabat

maksudnya adalah pendapat-pendapat Shahabat dalam masalah-masalah

Ijtihad. Dengan kata lain Qaul Sahabat adalah pendapat para Sahabat tentang

suatu kasus yang dinukil oleh para Ulama, baik berupa fatwa maupun

ketetapan hukum, yang tidak dijelaskan dalam ayat atau hadits.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa pengertian dari madzhab sahabat

adalah jalan yang ditempuh oleh para shahabat dalam menetapkan hukum

Islam, yaitu berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijtihad. Jadi Madzhab

Sahabat adalah jalan yang ditempuh oleh para shahabat dalam menetapkan

hukum Islam berdasarkan Al-Qur’an, sunnah dan hadits. Sedangkan Qaul

Sahabat ialah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat Rasulullah saw.,

menyangkut hukum masalah-masalah yang tidak diatur dalam nash.

2. Kedudukan Sahabi

Kedudukan madzhab shahabi itu juga dapat diklarifikasikan menjadi berikut.

 Mazhab sahabat yang berdasarkan sabda dan perbuatan serta ketetapan

Rasul wajib ditaati, sebab hakikatnya ia merupakan Sunah Rasul.

 Mazhab shahabi yang berdasarkan hasil ijtihad tetapi telah mereka

sepakati (ijma' sahabi) dapat dijadikan hujjah dan wajib ditaati. Sebab

mereka disamping dekat dengan Rasul, juga mengetahui rahasia-

rahasia tasyrik dan mngetahui perbedaan pendapat mengenai peristiwa

16
yang sering terjadi. Contoh mazhab sahabat yang telah mereka

sepakati, antara lain mengenai bagian harta waris bagi nenek, yaitu

seperenam (1/6).

 Mazhab sahabat yang tidak mereka sepakati tidak dijadikan hujjah dan

tidak wajib diikuti.

a. Abu Hanifah mengakui adanya ra'yu sahabat.

b. Imam Syafi'i mengatakan: "tidak melihat seorang pun ada yang

menjadikan perkataan sahabat untuk dilakukan hujjah," sebab

perkataan sahabat tersebut didasarkan kepada ra'yu dan

diantara sahabat sediri juga berbeda pendapat.

3. Contoh Mazhab Sahabi

Karena adanya perbedaan pendapat ulama’ mengenai hujjiyah qaul as-

shahabi sebagai salah satu sumber hukum, menyebabkan perbedaan pula

dalam menghukumi suatu permasalahan yang tidak ada nash sharih yang

menjelaskan. Berikut ini adalah beberapa contoh yang ada, yang erat

kaitannya denag kehidupan sehari-hari.

a) Hukum sujud Tilawah apakah wajib atau sunnah?

Menurut Imam malik, As-Syafi’i dan Ahmad hukum sujud tilawah

adalah sunnah dan tidak mencapai wajib. Di sini Imam Syafi’i berdalil bahwa

sujud dilakukan untuk shalat. Adapun perintah untuk shalat telah dijelaskan

secara global oleh Al-Qur’an dan telah diterangkan oleh As-Sunnah secara

17
terperinci. Maka hal ini menujukkan bahwa shalat yang diwajibkan adalah

shalat lima waktu, sedangkan selainnya tidaklah wajib.

b) Hukum potong tangan bagi seorang pembantu

Jumhur ulama’ berpendapat bahwa hukum bagi seorang pembantu yang

mencuri harta tuannya tidak dipotong.

c) Status pernikahan dalam masa ‘Iddah

Imam malik, Al-Auza’i dan Al-Laits berpendapat bahwa mereka harus

dipisahkan, dan wanita itu menjadi haram bagi laki-laki tersebut selamanya.

Adapun pendapat bahwa dipisahkan keduannya dan sang wanita boleh

mendapatkan maharnya. Dan bila telah habis masa iddah-nya sementara sang

wanita berkehendak untuk menikahinya lagi, maka tidak apa apa,

sebagaimana dijelaskan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib.10

D. SAD-DZARIAH

1. Pengertian

Secara bahasa, Saddu artinya: menutup, mencegah, menghalangi. Dari kata:

sadda-yasiddu-saddan.

Dzari’ah artinya: jalan, perantara, wasilah. Dari kata: dzara’a-yadzra’u-

dzar’an.

Secara istilah, Saddu Dzari’ah artinya:

‫سد ما ظاهره مباح ويتوصل به إلى محرم‬

10
Al-Jurjani Syarief Ali Muhammad, Al-Ta’rifat, Jeddah:Al-Haramain, tt, hal. 10

18
“Saddu Dzari’ah yaitu: melarang sesuatu yang zahirnya mubah, namun

menjadi jalan menuju sesuatu yang haram.”

Atau dengan redaksi yang lain:

‫سد األمر الذي ظاهره اإلباحة إالّ أنه يُفضي ويؤول إلى المفسدة وفعل المحرم‬

“Saddu Dzari’ah adalah: melarang sesuatu yang secara zahir mubah, namun

mengantarkan dan mengakibatkan pada mafsadah dan perbuatan haram.”

Itulah definisi Saddu Dzari’ah.

2. Kedudukan

Para ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan Saddu Dzari’ah.

Apakah Saddu Dzari’ah merupakan sebuah dalil atau bukan.Malikiyah dan

Hanabilah menerima Saddu Dzari’ah sebagai salah satu dalil yang bisa

dipertanggungjawabkan.Di antara argumen pendapat ini, adalah banyaknya

isyarat dalam al-Qur’an dan hadits mengenai Saddu Dzari’ah ini. Misalnya:

Al-Qur’an melarang kaum muslimin mengejek sesembahan orang

kafir. Karena perbuatan itu akan membuat orang kafir balas mengejek

sesembahan kaum muslimin. Yaitu Allah Swt.

Rasulullah Saw. melarang kaum muslimin berduaan dengan lawan

jenis yang bukan mahram. Karena perbuatan itu akan menjerumuskan kepada

perzinahan.11

11
Ibrahim Husein, Ijtihad Dalam Sorotan, Bandung: Mizan, 1991, hal. 25

19
Sementara Hanafiyah dan Syafi’iyah tidak menerima Saddu Dzari’ah

sebagai dalil.Argumen pendapat ini, adalah sifat dari Dzari’ah sebagai sarana

atau perantara. Sifat Dzari’ah itu tidak pasti. Bisa halal, haram, wajib, sunnah,

maupun makruh.

3. Contoh

Berikut ini beberapa contoh kasus Saddu Dzari’ah:

 Menanam anggur

Pada dasarnya, menanam anggur itu hukumnya adalah boleh.

Namun apabila kita menanam anggur untuk memasok pabrik minuman

keras, maka hukum menanam anggur itu menjadi haram.

 Bekerja di diskotik dan pelacuran

Bekerja di tempat yang haram. Asalkan kita bisa menjaga diri.

Dan pekerjaan kita berkaitan dengan hal-hal yang mubah. Seperti

menjadi juru parkir atau tukang kebersihan. Maka hukum asalnya

adalah halal.

Namun bila ditelaah lebih lanjut. Bahwa pekerjaan kita itu

berarti telah berpartisipasi kepada kemaksiatan. Ditambah kita sendiri

lama-lama akan terjatuh pada jurang maksiat. Maka hukum bekerja di

tempat-tempat seperti menjadi haram.

 Chatting dengan lawan jenis

20
Bertegur sapa melalui media sosial. Seperti whatsapp,

facebook, instagram. Pada dasarnya hukumnya adalah halal. Namun

apabila percakapan tersebut dikhawatirkan akan mengantarkan kepada

pertemuan. Lalu berduaan. Maka chatting seperti itu pun menjadi

haram.

21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ijtihad berarti mencurahkan segala kemampuan untuk mendapatkan

sesuatu (yang sulit) dan dalam prakteknya digunakan untuk sesuatu yang sulit

dan memayahkan.

Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh

dengan berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang telah

ditentukan untuk menggali dan mengetahui hukum Islam.

B. Saran

Dari beberapa penjelasan di atas pemakalah pasti tidak lepas dari

kesalahan penulisan dan rangkaian kalimat. Dan kami sebagai penyusun

makalah ini menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan

seperti yang diharapkan para pembaca, khususnya pembimbing mata kuliah

Ushul Fiqih. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang

sifatnya konstruktif (membangun), agar dapat dibuat acuan dalam

terselesainya makalah kami yang berikutnya.

22
DAFTAR PUSTAKA

Tim penyusun studi islam IAIN Sunan Ampel,Pengantar Studi Islam, Surabaya, IAIN
Ampel Press, 2004

Hasan, M.Ali, Perdebatan Madzab, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 1995

Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2009, revisi. 3) hal. 112

http://www.scribd.com/doc/51198324/modul-ushul-fiqih

Abdul wahab kholaf. Ilmu Ushul Fiqih. (Gema risalah press: Bandung).1996. Hal 148

Abd rohman dahlan. Ushul fiqih. (Amzah: Jakarta). 2010. Hal. 213

Al-Jurjani Syarief Ali Muhammad, Al-Ta’rifat, Jeddah:Al-Haramain, tt, hal. 10

Kitab al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh al-Islami, Dr. Muhammad Musthafa az-Zuhaili.

23

Anda mungkin juga menyukai