Anda di halaman 1dari 14

Urf dan Syar'u Man Qablana

Makalah
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah ”Ushul Fiqh”

Dosen pengampu:

Dr.KH.Mohammad Darwis ,M.Pd.i

Di Susun oleh:

Holifatul Riskiya 2022100290819


Mat Azies 2022100290811
Hamdani Hakim 2022100290825
M. Wahyu Prisdianto 2022100290808

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI SYARIAH DAN BISNIS ISLAM
INSTITUS AGAMA ISLAM SYARIFUDDIN
WONOREJO –LUMAJANG
TAHUN AJARAN 2023

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi ALLAH SWT. yang Maha Bijaksana lagi Maha Kuasa.
Semoga shalawat beserta salam tetap tercurah limpahkan kepada junjungan kita
nabi agung Muhammad SAW, yang mana beliau telah menjadi tauladan, panutan
dan imam untuk segala urusan, baik di dunia maupun di akhirat dan telah
menuntun kita dari zaman yang gelap menuju zaman yang terang-benderang yakni
agama Islam.
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan tentang “Urf dan Syar'u man
qablana” Namun penulis sadar bahwa penulisan makalah ini tidak akan pernah
selesai tanpa adanya dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Selain itu, penulis juga menyadari bahwa penulisan makalah ini tentu
masih terdapat kelemahan ataupun kekurangan. Maka, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang konstruktif dari pihak manapun demi perbaikan selanjutnya,
dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Lumajang,18 November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Cover................................................................................................................. i

Kata Pengantar.................................................................................................. ii

Daftar isi........................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang........................................................................................... 1
B. Rumusan masalah...................................................................................... 2
C. Tujuan........................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Urf............................................................................................3
B. Macam-macam Urf....................................................................................3
C. Hukum Urf.................................................................................................4
D. Syar’u Man Qablana..................................................................................6

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ...............................................................................................9
B. Saran..........................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Dalam islam, adat dikenal dengan istilah urf. Ini berbeda dengan
Ijma yang terbentuk dari kesepakatan para mujtahid secara khusus dan
orang awam tidak bisa ikut campur dalam pembentukannya. Secara
bahasa, urf artinya “mengetahui”, “diketahui”, “dianggap baik”, dan
“diterima oleh akal sehat”. Sedangkan secara istilah, menurut Abdul
Karim Zaidan dalam buku AL Wajiz fi Ushul al Fiqh, urf adalah perkataan
atau perbuatan yang diciptakan dan dibiasakan oleh masyarakat serta
dijalankan secara turun-temurun.
Secara bahasa, urf artinya “mengetahui”, “diketahui”, “dianggap
baik”, dan “diterima oleh akal sehat”. Sedangkan secara istilah, menurut
Abdul Karim Zaidan dalam buku AL Wajiz fi Ushul al Fiqh, urf adalah
perkataan atau perbuatan yang diciptakan dan dibiasakan oleh masyarakat
serta dijalankan secara turun-temurun.
Namun, beberapa ulama menganggap bahwa urf adalah hal yang
berbeda dengan adat (kebiasaan), terutama dalam hal menetapkan hukum
syara. Adat didefinisikan sebagai sesuatu yang dikerjakan secara berulang-
ulang tanpa disertai hubungan yang rasional. Adat juga bisa muncul dari
kebiasaan alami yang mencakup persoalan pribadi maupun orang banyak.
Berdasarkan definisi di atas, Mustaha Al Zarqa (guru besar fiqh Islam di
Universitas Amman, Jordan) menyimpulkan bahwa urf merupakan bagian
dari adat, sementara adat bersifat lebih umum daripada urf.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian urf?
2. Apa saja macam macam urf?
3. Bagaimana Hukum Urf?
4. Apa Syar'u Man Qablana?
C. Tujuan penulisan
1. Mengetahui pengertian urf.
2. Mengetahui macam macam urf.
3. Mengetahui Hukum Urf.
4. Mengetahui Syar'u Man Qablana.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian adat (urf)


Urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh orang banyak dan telah
menjadi tradisi mereka,baik berupa perkataan ,atau perbuatan,atau keadaan
meninggalkan.ia jiga disebut: adat,sedangkan menurut istilah para ahli
syara’,tidak ada perbedaan antara urf dan adat kebiasaan. . 'Urf yang
bersifat perbuatan seperti jual beli yang dilakukan berdasarkan saling
pengertian, dengan cara memberikan namun tanpa ada shighat lafzhiyyah
(ungkapan melalui perkataan).sedangkan 'urf yang bersifat perkataan,
misalnya pemutlakan lafal "al-walad" yang berarti anak laki-laki, bukan
anak perempuan, juga pemutlakan lafal "al-lahm" (daging) yang
digunakan untuk daging ikan.
'Urf terbentuk dari saling pengertiannya orang banyak, sekalipun
mereka berlainan stratifikasi sosial, yaitu kalangan masyarakat awam, dan
kelompok elite. 'Urf berbeda dengan ijma', karena ijma' terbentuk dari
kesepakatan para mujtahid secara khusus, dan orang awam tidak campur
tangan dalam membentuknya.
B. Macam Macam Adat (urf)
'Urf ada dua macam, yaitu: 'Urf yang sahih dan 'urf yang fasid.
'Urf yang sahih ialah sesuatu yang sudah dikenal oleh manusia, dan
tidak bertentangan dengan dalil syara', tidak meng- halalkan yang haram,
dan tidak pula membatalkan sesuatu yang wajib. Sebagaimana kebiasaan
mereka mengadakan akad jasa pembuatan (produksi), saling pengertian
tentang jumlah maskawin (mahar); apakah dibayar kontan atau utang,
tradisi mereka tentang seorang istri tidak diperkenankan menyerahkan
dirinya kepada suaminya kecuali ia telah menerima sebagian dari
maskawinnya, dan kebiasaan mereka bahwasanya per- hiasan dan pakaian

3
yang diberikan oleh peminang kepada wa- nita yang dipinang adalah
hadiah, bukan bagian dari maskawin.
'Urf yang fasid adalah sesuatu yang sudah menjadi tradisi manusia,
tetapi bertentangan dengan syara', atau menghalalkan yang haram, atau
membatalkan sesuatu yang wajib. Misalnya, kebiasaan manusia terhadap
berbagai kemungkaran dalam hal upacara kelahiran anak dan pada saat
ditimpa kedukaan, dan tradisi mereka memakan harta riba dan perjanjian
judi.
C. Hukum Urf
Hukum 'urf yang sahih, maka wajib dipelihara, baik dalam
pembentukan hukum atau dalam peradilan. Seorang mujtahid harus
memperhatikan tradisi dalam pembentukan hukumnya. Seorang hakim
juga harus memperhatikan 'urf yang berlaku dalam peradilannya. Karena
sesuatu yang telah menjadi adat manusia dan telah biasa dijalani, maka hal
itu termasuk bagian dari kebutuhan mereka, menjadi kesepakatan serta
dianggap sebagai kemaslahatan. Jadi, selama tidak bertentangan dengan
syara', maka wajib diperhatikan. Syari' telah memelihara tradisi bangsa
Arab dalam pembentukan hukumnya, misal, kewajiban diyat (denda)
terhadap wanita berakal ('aqilah: keluarga ke- rabatnya dari pihak ayah,
atau 'ashabahnya), kriteria kafaah (se- padan) dalam perkawinan, dan
hitungan 'ashabah dalam pem- bagian harta waris.
Oleh karena itulah, maka ulama berkata:
‫اْلَع اَد ُة َش ِرْيَع ٌة ُمَح َّر َم ٌة‬
"Adat merupakan syariat yang dikukuhkan sebagai hukum."
'Urf mendapat pengakuan berdasarkan syara'. Imam Malik banyak
mendasarkan hukumnya pada perbuatan penduduk Madinah. Abu Hanifah
dan para pengikutnya berbeda pendapat mengenai sejumlah hukum
berdasarkan perbedaan 'urf mereka. Imam Syafi'i ketika berada di Mesir, ia
mengubah sebagian hu- kum yang pernah ditetapkan ketika berada di
Baghdad, hal tersebut karena perbedaan 'urf, sehingga ia mempunyai dua
qaul, yaitu: qaul qodim (lama) dan qaul jadid (baru).

4
Demikian pula di dalam fiqih mazhab Hanafiyyah terdapat
sejumlah hukum yang didasarkan atas 'urf. Di antaranya, apa- bila ada dua
orang saling mendakwa dan salah satu dari ke- duanya tidak bisa
mendatangkan saksi, maka perkataan yang diterima adalah orang yang
disaksikan oleh 'urf.
Apabila suami istri tidak menemukan kesepakatan atas mahar, apa harus
didahulukan atau diakhirkan penyerahannya, maka hukum yang dipakai
adalah berdasarkan kebiasaan ('urf) yang berlaku.
Barang siapa bersumpah tidak akan makan daging, namun ia
memakan ikan, maka ia tidak melanggar sumpahnya atas dasar kebiasaan
('urf). Benda yang dapat dipindahkan sah untuk diwakafkan, apabila 'urf
tentang hal itu berlaku. Persyaratan dalam suatu perjanjian itu dianggap
sah, apabila ada pengakuan oleh syara', atau karena tuntutan perjanjian itu
sendiri, dan karena adanya 'urf di masyarakat.
Adapun 'urf yang fasid (adat kebiasaan yang rusak), maka tidak
wajib diperhatikan atau dipelihara, karena menjadikannya sebagai suatu
hukum berarti bertentangan dengan dalil syar'i atau membatalkan hukum
syar'i. Apabila manusia terbiasa mengadakan salah satu perjanjian (akad)
yang fasid, seperti per- janjian yang bersifat riba, penipuan, atau
mengandung unsur bahaya, maka akad-akad tersebut tidak bisa dipakai
sebagai 'urf. Oleh karena itu, dalam penetapan undang-undang, 'urf yang
bertentangan dengan peraturan atau ketentuan umum tidak diakui. Namun
dalam penetapan akad menggunakan 'urf fasid hanya dipandang karena
kondisi darurat atau adanya kebutuhan manusia. Dengan kata lain, jika
akad itu bertentangan dengan peraturan umum, berarti mereka telah
mengadakan penipuan terhadap peraturan mereka sendiri. Yang menjadi
masalah, apakah mereka akan mendapatkan kesulitan atau sebaliknya. Jika
akad tersebut termasuk kondisi darurat atau kebutuhan mereka, maka
diperbolehkan. Karena dalam keadaan darurat diperbolehkan melakukan
hal-hal yang sebenarnya dilarang. Sedangkan kebutuhan manusia
menduduki tempat darurat dalam masalah ini. Tetapi jika akad tersebut

5
tidak termasuk kondisi darurat dan kebutuhan mereka, maka menghukumi
sesuatu dengan 'urf fasid dilarang.
Hukum yang didasarkan atas 'urf dapat berubah berdasar- kan
perubahan masa dan tempat. Karena hukum cabang akan berubah sebab
perubahan hukum pokoknya. Oleh karena inilah, dalam perbedaan
pendapat semacam ini, fuqaha' mengatakan: "Sesungguhnya perbedaan
tersebut adalah perbedaan masa dan zaman, bukan perbedaan hujjah dan
dalil".
Pada hakikatnya 'urf bukan merupakan suatu dalil syar'i yang
berdiri sendiri. Pada umumnya 'urf hanya didasarkan pada pemeliharaan
mashlahah mursalah. 'Urf sebagaimana bisa ditetapkan sebagai hukum
syara', ia juga harus dijaga dalam menginterpretasikan nash-nash Al-
Qur'an. Dari itu 'urf dapat digunakan untuk mentakhshiskan lafal yang
'amm (umum), dan membatasi hukum yang mutlak. Qiyas juga terkadang
diting- galkan karena berlakunya 'urf. Oleh karena itulah, perjanjian
produksi itu sah, karena berlakunya 'urf. Jika diqiyaskan, tentu tidak sah,
karena merupakan perjanjian atas sesuatu yang tidak ada.
D. Syar’u Man Qablana
Apabila Al-Qur'an dan As-Sunnah yang sahih menceritakan salah
satu hukum syara' yang disyariatkan oleh Allah kepada umat sebelum kita,
melalui lisan para rasul dan di dalam nash juga ditetapkan sebagai syariat
untuk kita sebagaimana diwajib- kan kepada mereka, maka tidak ada
perbedaan pendapat bahwa hukum tersebut merupakan syariat dan suatu
undang-undang yang wajib kita taati, dengan menetapkannya sebagai
syariat, sebagaimana firman Allah swt.:
‫َيَأُّيَها اَّلِذ يَن آَم ُنْو ا ُك ِتَب َع َلْيُك ُم الِّص َياُم َك َم ا ُك ِتَب َع َلى اَّلِذ يَن ِم ْن َقْبِلُك ْم َلَع َّلُك ْم َتَّتُقوَن‬
"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu ber- takwa."
(QS. Al-Baqarah/2: 183)
Apabila Al-Qur'an dan As-Sunnah yang sahih mengisah- kan suatu
hukum dan ada dalil syar'i yang menghapus ber- lakunya hukum tersebut

6
untuk kita, maka juga tidak ada per- bedaan pendapat bahwa hukum itu
bukanlah syariat bagi kita berdasarkan dalil yang menghapuskannya.
Seperti yang terdapat pada syariat Nabi Musa as., bahwa orang yang
durhaka tidak bisa menebus dosanya kecuali ia membunuh dirinya sendiri,
dan pakaian yang terkena najis, tidak bisa disucikan kecuali dengan
memotong bagian yang terkena najis itu, dan beberapa hukum lain yang
merupakan syariat bagi umat sebelum kita, tetapi telah dihapus berlakunya
untuk kita.
Pangkal perbedaan pendapat ialah berbagai hukum sya- riat umat
terdahulu yang dikisahkan Allah atau Rasul-Nya ke- pada kita, dan dalam
syariat kita tidak terdapat dalil yang me nunjukkan bahwa hal itu
diwajibkan kepada kita sebagaimana firman Allah swt:
‫ِم ْن َأْج ِل َذ ِلَك َك َتْبَنا َع َلى َبِني ِإْس َر اِء ْيَل َأَّنُه َم ْن َقَتَل َنْفًس ا ِبَغْي ِر َنْفٍس َأْو َفَس اٍد ِفي اَأْلْر ِض َفَك َأَّنَم ا َقَت َل‬
‫الَّناَس َجِم ْيًعا‬
"Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bah- wa
barang siapa membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh
orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di bu- mi, maka seakan-
akan dia telah membunuh semua manusia...." (QS. Al-Ma'idah/5: 32)
Jumhur ulama Hanafiyyah, sebagian ulama Malikiyyah dan ulama
Syafi'iyyah berkata: "Bahwa hukum-hukum yang berlaku bagi umat
sebelumnya kita adalah syariat bagi kita. Kita wajib mengikuti dan
melaksanakannya, selama hukum tersebut dikisahkan kepada kita dan di
dalam syariat tidak ada sesuatu yang menghapuskannya. Karena hukum itu
adalah bagian dari hukum-hukum Ilahi yang telah disyariatkan oleh Allah
kepada kita melalui lisan para rasul-Nya, dan Allah juga telah men-
ceritakannya kepada kita, serta tidak ada dalil yang menghapus- kannya,
maka wajib bagi mukallaf untuk mengikutinya." Oleh karena inilah, ulama
Hanafiyyah menjadikannya sebagai dalil hukum bunuh terhadap orang
Islam yang membunuh kafir dzimmi, dan hukuman bunuh laki-laki karena
membunuh se- orang perempuan, berdasarkan kemutlakan firman Allah
swt.:

7
‫الَّنْفَس ِبالَّنْفِس‬
"Jiwa dibalas dengan jiwa".
Sebagian ulama berkata: "Bahwa hukum yang berlaku bagi umat
sebelum kita bukan syariat bagi kita, karena syariat kita telah menghapus
berbagai syariat terdahulu, kecuali apabila ada penetapannya dalam syariat
kita." Namun dalam hal ini yang dipandang benar adalah mazhab yang
pertama, karena syariat kita hanya menghapus syariat terdahulu yang ber-
tentangan dengan syariat kita saja, dan karena Al-Qur'an te- lah
menceritakan hukum syara' terdahulu kepada kita, tanpa disertai nash yang
menghapuskannya, maka ditetapkanlah hu- kum tersebut untuk kita. Sebab
hukum tersebut merupakan hu- kum Ilahi yang disampaikan Rasul kepada
kita dan tidak ada dalil yang menghapus berlakunya bagi kita. Di samping
itu, Al- Qur'an juga membenarkan kitab-kitab yang turun sebelum Al-
Qur'an seperti Taurat dan Injil. Jadi, nash yang tidak dihapus hukumnya,
dari salah satu kitab tersebut merupakan ketetapan hukum bagi kita.

8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
a. Apa Pengertian urf
Sesuatu perbuatan atau perkataan dimana jiwa merasakan
suatu ketenangan dalam mengerjakannya karena sudah sejalan
dengan logika dan dapat diterima oleh watak kemnusiannya.
Misalnya ungkapan “daging” yang berarti daging sapipadahal kata-
kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada.
b. Apa saja macam macam urf
Urf di bagi menjadi dua macam,yaitu:
 Urf qauli,yitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-
kata atau ucapan,contoh: ungkapan “daging” yang berarti
daging sapipadahal kata-kata “daging” mencakup seluruh
daging yang ada.
 Urf fi’li,yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan,contoh:
kebiasaan saling mengambil rokok diantara sesame teman
tanpa adanya ucapan meminta dan memberi,tidak dianggap
mencuri.
c. Bagaimana Hukum Urf
Urf adalah adat kebiasaan yang berlaku disebuah daerah
dan dijadikan salah satu pertimbangan hukum islam.sebagamana
maklum,urf digunakan sebagai salah satu acuan dalam madzhab
fiqih sehingga diktum-diktum fiqih didasarkan pada realitas adat
istiadat yang ada.
d. Apa pengertian Syar'u Man Qablana
Syar’u man qablana adalah hukum-hukum allah yang
dibawa oleh para nabi/rasul sebelum nabi Muhammad Saw dan
berlaku untuk umat mereka pada zaman itu, juga bisa disebut

9
hukum-hukum allah yag disyari’atkan kepada umat terdahulu
melalui nabi-nabi mereka,seperti nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi
Dawud dan Nabi Isa.
B. Saran
Masih banyak lagi hal-hal yang belum bisa di ungkap dan sangat
perlu menggali lebih dalam lagi untuk kelanjutan pemikiran-pemikiran
dari materi ini. Untuk itulah kedepan perlunya dilakukan pemahaman
lebih lanjut mengenai materi ini agar lebih jelas lagi.

10
DAFTAR PUSTAKA

Khallaf Wahhab abdul,1994,Ilmu Ushul Fiqih,(semarang:dina utama).

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid II (Jakarta: Logos Wacana


Ilmu, 1999), 366-368.

Wahbah az-Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh.

Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, revisi 3 (Jakarta : PT


Raja Grafindo Persada, 2009)

11

Anda mungkin juga menyukai