Anda di halaman 1dari 14

ISTIDLAL DENGAN URF DAN QAIDAH FIQIYAH TENTANG KEMAMPUAN

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh

Dosen pengampu :
Drs. H. Sokon Saragih, M.Ag

Disusun Oleh :

Abdullah Nasution {0305223092}

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATRA UTARA
MEDAN
2023
KATA PENGANAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat Rahmat dan
Hidayah-Nya, pennulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ISTIDLAL DENGAN
URF DAN QAIDAH FIQIYAH TENTANG KEMAMPUAN” tepat pada waktunya. Makalah ini
disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh.
penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan didalamnya. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. H. Sokon Saragih, M.Ag selaku dosen pengampu
mata kuliah Fiqh dan Ushul Fiqh atas bimbingan, pengarahan dan kemudahan yang telah
diberikan kepada saya dalam penulisan makalah ini.
Akhir kata, penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya untuk
menambah wawasan. Kritik dan saran yang membangun sangat saya harapkan untuk makalah ini
lebih baik lagi kedepannya. Terima kasih.

Medan, 07 juni 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... i


DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
A. LATAR BELAKANG...........................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH ........................................................................1
C. TUJUAN..................................................................................................1
PEMBAHASAN..............................................................................….................... 2
A. PENGERTIAN ISTIDLAL DENGAN URF.............................................
B. MACAM MACAM URF…......................................................................
C. KEDUDUKAN URF DARI HUKUM.....................................................
D. KEHUJJAN URF SEBAGAI DALIL SYARA’......................................
F. SYARAT SYARAT URF...........................................................................
G. QAIDAH FIQIYAH DARI URF....................................................................
E. QAIDAH FIQIYAH TENTANG KEMAMPUAN......................................
PENUTUP.............................................................................................................
A. KESIMPULAN..........................................................................................
B. SARAN......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.............................................................. ...................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Para ahli ushul fikih berselisih pendapat tentang kedudukan penggunaan istidlal
dengan dalil hukum istihsan, al-maslahah al-mursalah, sad ad- dzari’ah sebagai manhaj
yang berhubungan dengan ijtihad istislahi dalam pengembangan metodologi penggalian,
penemuan, perumusan dan penetapan hukum-hukum syar’i. Sebagian mereka berpegang
padanya dalam pengistimbat-an hukum syar’i dan sebagian lainnya membatalkannya
Tulisan ini ingin melihat bagaimana adat istiadat („urf) menjadi salah satu satu sumber
hukum fiqh Indonesia. Fiqh Indonesia sebagaimana terefleksikan dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) di Indonesia memuat putusan fiqh penting, yang tidak saja mewakili bukan hanya
madzhab Shafi‟i, melainkan juga madhab empat yang lain. Di samping itu, hal penting lain
adalah bahwa KHI ini memuat pertimbangan adat istiadat sebagai pijakan hukum sehingga
muncul produk fiqh harta gono-gini yang sangat jelas berbeda dengan khazanah fiqh di luar
Indonesia. Pendasaran pada „urf didasarkan pada kenyataan bahwa hukum itu berubah sesuai
dengan perubahan tempat, waktu dan keadaan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Istidlal Dengan “URF” dan Qaidah Fiqiyah tentang “Kemampuan”?
2.Pembagian dan Penjelasan Istidlal Dengan “URF” dan Qaidah Fiqiyah tentang
“Kemampuan”?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui Istidlal Dengan “URF” dan Qaidah Fiqiyah tentang “Kemampuan”.
2. Untuk mengetahui pembagian dan penjelasan dari Istidlal Dengan “URF” dan Qaidah
Fiqiyah tentang “Kemampuan”.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Istidlal dengan “URF”


Secara etimologi ‘Urf’ berarti sesuatu yang dipandang baik, yang dapat diterima akal sehat.
Menurut kebanyakan ulama ‘ Urf’ dinamakan juga ‘ Adat ‘, sebab perkara yang telah dikenal itu
berulang kali dilakukan manusia.
Para ulama ushul Fiqih membedakan antara ‘ Adat ‘ dengan ‘ Urf ‘ dalam kedudukannya
sebagai dalil untuk menetapkan hukum syara. Adat didefinisikan dengan”
‫العادة هي االمر المتكرر من غير عالقة عقليلة‬
"Adat adalah sesuatu yang dilakukan secara berulang-ulang tanpa adanya hubungan rasional"
Terdapat beberapa definisi tentang ‘Urf ‘ yang dikemukakan oleh para ulama ushul fiqh, antara
lain :
‫تلعرف هو عادة جمهور قوم في قول او فعل‬
"Urf adalah kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan"
Dengan demikian ‘Urf’ bukanlah kebiasaan alami sebagaimana berlaku dalam kebanyakan adat,
tetapi muncul dari pemikiran dan pengalaman. Yang dibahas ulama ushul fiqih dalam kaitannya
dengan dalil dalam menetapkan hukum syara adalah ‘Urf’ budan ‘Adat’.

B. Macam Macam URF


Urf itu dapat dilihat dari obyeknya, dari Cakupannya, dan dari Keabsahannya.
1. Dari sisi obyeknya, Urf dapat dibagi pada dua macam yaitu ‫رف اللفظي‬i‫ الع‬yaitu urf berupa
perkataan dan urf yaitu ‫ العرف العلمي‬urf berupa perbuatan.
a. Al-Urf al-Lafdhi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafadh atau ungkapan
tertentu. Misalnya kata al-walad menurut bahasa sehari-hari hanya khusus bagi anak laki-laki
saja, sedang anak perempuan tidak masuk dalam lafadh itu. Contoh lain lafadh al-Lahm / daging,
dalam perkataan sehari-hari khusus bagi daging sapi atau kambing. Padahal kata daging
mencakup seluruh daging yang ada. Demikian juga kata Daabah, digunakan untuk binatang
berkaki empat. Apabila dalam memahami ungkapan perkataan diperlukan arti lain, maka itu
bukanlah urf
b. Al-Urf al-Amali, adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan. Misalnya;
Kebiasaan masyarakat tertentu dalam memakan makanan tertentu atau minuman tertentu.
Kebiasaan masyarakat dalam cara berpakaian yang sopan dalam menghadiri pengajian.
Kebiasaan masyarakat dalam jual beli ada barang yang diantar ke rumah dan ada yang tidak
diantar. Kebiasaan jual beli mu’athah / yakni jual beli dimana si pembeli menyerahkan uang
sebagai pembayaran atas barang yang telah diambilnya, tanpa mengadakan ijab-kabul, karena
harga barang tersebut telah dimaklumi bersama, seperti jual beli di swalayan.

2. Dari sisi cakupannya, Urf terbagi kepada dua bagian, urf yang bersifat umum, dan urf yang
bersifat khusus.
a. Al-Urf al-‘Aam yaitu kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan di
seluruh daerah. Misalnya; Jual beli mobil, seluruh alat untuk memperbaiki mobil, seperti
dongkrak, kunci-kunci sudah termasuk pada harga jual, tanpa ada biaya tambahan tersendiri.
Membayar ongkos Bis Kota dengan tidak mengadakan ijab-kabul terlebih dahulu.
b. Urf al-Khash, yaitu kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyarakat tertentu. Misalnya;
Gono Gini di Jawa. Penentuan masa garansi terhadap barang tertentu. Adanya cacat tertentu pada
barang tertentu yang dibeli dapat dikembalikan. Urf khash ini tidak terhitung jumlahnya, sesuai
dengan perkembangan masyarakat.

3 .Dari sisi keabsahannya dalam pandangan syara’. dapat dibagi pada dua bagian yaitu kebiasaan
yang dianggap benar, dan yaitu kebiasaan yang dipandang rusak.
a. Al-Urf al-Shahih adalah kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertentangan
dengan dalil syara’, tiada menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal, juga tidak
membatalkan yang wajib. Misalnya, kebiasaan yang berlaku dalam dunia perdagangan tentang
indent. Kebiasaan dalam pembayaran mahar secara kontan atau hutang. Kebiasaan seorang yang
melamar wanita dengan memberikan sesuatu sebagai hadiah, bukan sebagai mahar.
b. Al-Urf al-Fasid, yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang, berlawanan dengan
ketentuan syari’at, karena membawa kepada menghalalkan yang haram atau membatalkan yang
wajib.Misalnya, kebiasaan dalam mencari dana dengan cara mengadakan berbagai macam kupon
berhadiah. Menarik pajak dengan hasil penjudian
C. Kedudukan URF Sebagai Sumber Hukum

Dalam kehidupan sosial dalam masyarakat manusia yang tidak mempunyai undang-undang
(hukum-huum), maka ‘urf lah (kebiasaan) yang menjadi Undang-undang yang mengatur mereka.
Jadi sejak zaman dahulu ‘urf mempunyai fungsi sebagai hukum dalam kehidupan manusia.
Sampai sekarang, ‘urf dianggap sebagai salah satu sumbar undang-undang, dimana unsur-
unsurnya banyak diambilkan dari hukum-hukum yang berlaku, kemudian dikeluarkan dalam
bentuk pasal-pasal dalam undang-undang.
Syari’at Islam datang kemudian banyak mengakui tindakan tindkan dan hak-hak yang
sama-sama dikenal oleh Syari’at Islam dan masyarakat Arab sebelumnya, disamping banyak
memperbaiki dan menghapuskan kebiasaan-kebiasaan yang lain. Selain itu, Syari’at Islam juga
membawa hukum-hukum baru yang mengatur segala segi hubungan manusia satu sama lain
dalam kehidupan sosialnya, atas dasar keperluan dan bimbingan kepada penyelesaian yang
sebaik-baiknya, karena Syari’at-syari’at Tuhan dengan aturan-aturan keperdataannya (segi
keduniaannya) dimaksudkan untuk mengatur kepentingan dan hak-hak manusia. Oleh karena itu
kebiasaan yang telah ada bisa diakui asal dapat mewujudkan tujuan-tujuannya serta sesuai
dengan dasar-dasarnya yang umum.
Dalam Syari’at Islam dalil yang dijadikan dasar untuk menganggap ‘urf (kebiasaan)
sebagai sumber hukum ialah firman Allah SWT :

“dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang
bodoh”.

Meskipun kata-kata ‘urf disini sebenarnya diartikan menurut arti bahasa, yaitu perkara
yang biasa dikenal dan dianggap baik, namun bisa juga dipakai untuk menguatkan ‘urf menurut
arti istilah, karena apa yang biasa dikenal oleh orang banyak dalam perbuatan-perbuatan dan
hubungannya satu sama lain termasuk perkara yang dianggap baik oleh mereka dan dikenal oleh
pikiran mereka

D. Kehujaan URF Sebagai Dalil Syra’


‘Urf menurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’ tersendiri. Pada umumnya, urf
ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang pembentukan hukum dan
penafsiran beberapa nash. Namun hal ini bukan berarti urf tidak mempunyai dasar hukum
sebagai salah satu sahnya sumber syari’at islam. Mengenai kehujjahan urf menurut pendapat
kalangan ulama ushul fiqh, diantaranya:

 Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa urf adalah hujjah untuk menetapkan
hukum islam. Alasan mereka ialah berdasarkan firman Allah dalam surat al A’rof ayat 199:

‫ُخ ِذ ْالَعْفَو َو أُم ْر ِبْالُعْر ِف َو َاْع ِر ْض َع ِن ْالَج اِهِلْيَن‬.

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang ma’ruf serta
berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”.

Ayat ini bermaksud bahwa urf ialah kebiasaan manusia dan apa-apa yang sering mereka lakukan
(yang baik). Ayat ini, bersighat ‘am artinya Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk mengerjakan
suatu hal yang baik, karena merupakan perintah, maka urf dianggap oleh syara’ sebagai dalil
hukum.

Maka dari pernyataan di atas, dapar dikatakan bahwasannya sesuatu yang sudah lumrah
dilakukan manusia di dunia untuk kemaslahatan hidupnya, maka hal itu dianggap benar oleh
syari’at islam meskipun tidak ada dalil yang menyatakannya baik dalam al qur’an ataupun
sunnah.

Selain berdasarkan dalil al qur’an tersebut, ulama Hanafiyah dan Malikiyah juga berhujjah
dengan hadits nabi:

‫َم اَر َاُه ْالُم ْسِلُم ْو َن َح َس ًنا َفُهَو ِع ْنَد ِهللا َح َس ٌن‬.

“Sesuatu yang dianggap baik oleh umat islam, termasuk suatu hal yang baik pula menurut
Allah”.
Hadits ini mengandung arti bahwa hal yang dipandang baik bagi orang islam berarti hal itu
baik pula di sisi Allah yang di dalamnya termasuk juga urf yang baik. Yang mana berdasarkan
dalil-dalil tersebut, urf yang baik adalah suatu hal yang baik di hadapan Allah.

 Golongan Syafi’iyah dan Hanbaliyah, keduanya tidak menganggap urf sebagai hujjah
atau dalil hukum syar’i. Golongan Imam Syafi’i tidak mengakui adanya istihsan, mereka
betul-betul menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbath hukum dan tidak
menggunakannya sebagai dalil.[6]Maka dengan hal itu, secara otomatis golongan Imam
Syafi’ juga menolak menggunakan urf sebagai sumber hokum islam. Penolakannya itu
tercermin dari perkataannya sebagaimana berikut:

“Barang siapa yang menggunakan istihsan maka sesungguhnya ia telah membuat hukum”.

Bahkan dalam kitab ‘Risalah’-nya, beliau menyatakan dengan tegas sebagai berikut, yang
artinya:

“ Tidak seorang pun berhak selain Rasulullah menetapkan sesuatu hukutn tanpa alasan (dalil)
dan tidak seorang pun pantas menetapkan berdasarkan apa yang dianggap baik (istihsan).
Sesungguhnya menetapkan hukum dengan istihsan adalah membuat ketentuan baru yang tidak
mempedomani ketentuan yang telah digariskan sebelumnya”.

Berkaitan dengan penolaknnya terhadap istihsan ini, beliau mengemukakan beberapa dalil
(argumen) sebagai dasar dari penolakannya, sebagaimana tercermin dalam kitabnya al-Risalah
dan al-Umm. Ia mengemukakan dalil-dalil dari al-Quran dan hadits, di antaranya:

 Surat al-Maidah (5): 3 yang berbunyi:

‫َاْلَيْو َم َأْك َم ْلُت َلُك ْم ِدْيَنُك ْم َو َأْتَمْم ُت َع َلْيُك ْم ِنْع َم ِتْي َو َر ِض ْيُت َلُك ُم ْاِال ْس َالَم‬

‫ِدْيًنا‬.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu”.

 Surat al-Nahl (16): 89 yang berbunyi:

‫…َو َنَّز ْلَنا َع َلْيَك ْالِكَتاَب ِتْبَياًنا ِلُك ِّل َش ْي ٍء َو ُهًدى َو َر ْح َم ًة‬.

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat”.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, maka Imam Syafi’i menolak adanya sumber hukum dari
urf, karena beliau menganggap bahwa urf merupakan penetapan suatu hukum yang tidak
berdasarkan dalil yang sudah ditetapkan yakni; Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas.

E. Syarat Syarat URF

Urf yang menjadi tempat kembalinya para mujtahid dalam berijtihad dan berfatwa, dan
hakim dalam memutuskan perkara, disyaratkan sebagai berikut :
1. Urf tidak bertentangan dengan nash yang qath’i. Oleh karena itu tidak dibenarkan sesuatu
yang telah menjadi biasa yang bertentangan dengan nash yang qath’i, misalnya biasa makan riba,
biasa meminum minuman keras.
2. Urf harus umum berlaku pada semua peristiwa atau sudah umum berlaku.
3. Urf harus berlaku selamanya. Maka tidak dibenarkan urf yang datang kemudian. Oleh karena
itu, orang yang berwakaf harus dibawakan kepada urf pada waktu mewakafkan, meskipun
bertentangan dengan urf yang datang kemudian.
4. Tidak ada dalil yang khusus untuk kasus tersebut dalam Alqur’an atau hadits.
5. Pemakaiannya tidak mengakibatkan dikesampingkannyanash syari’ah dan tidak
mengakibatkan kemadaratan juga kesempitan

F. Qaidah Fiqiyah dari URF


Para ulama ushul fiqih merumuskan kaidah-kaidah fiqih yang berkaitan dengan urf, di
antaranya”
“Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum”

“Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat”

“Yang baik itu menjadi urf sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat”

“Yang ditetapkan dengan urf sama dengan yang ditetapkan dengan nash.”

G. Qaidah Fiqiyah Tentang “KEMAMPUAN”

‫ البحاري و مسلم‬.‫قال النبي و ص ما أمر تكم به فأتوا منه ما استطعتم‬


‫ما ال يدرك كله ال يترك كله‬
“Apa yang aku perintahkan kepada kamu lakukanlah semampumu, Apa yang tidak dapat
dikerjakan seluruhnya jangan tinggalkan seluruhnya”

Contoh-contoh:
1. yang tidak dapat berbuat baik dengan 1 dinar dan mampu 1 dirham lakukanlah.
2. yang tidak dapat belajar atau mengajar semua cabang ilmu, jangan tinggalkan seluruhnya.
3. yang ridak mampu solat malam 10 rokaat, dan mampu 4 rakaat, maka lakukanlah.

Dan yang semakna dengan kaidah ini


‫ما ال يدرك كله ال يدرك بعضه الميسور ال يسقط بالمعسور‬
“Apa yang tidak dapat dilakukan seluruhnya, jangan tinggalkan sebagiannya. Yang
mudah tidak gugur karena ada yang susah”

Contoh-contoh:
1. Yang sanggup menutup sebagian auratnya, tidak gugur shalatnya.
2. Yang sulit melakukan ruku / sujud dengan sempurna, lakukanlah semampunya.
3. Yang sanggup untuk seseorang zakat fitrah, maka lakukanlah.
4. Jika putus sebagian jari, wajib cuci jari yang ada
5. Yang sanggup membaca sebagian Al-fatihah dalam shalat, lakukanlah.
6. Yang luka pantang kena air, wajib mencuci yang tidak luka dan mengusap yang luka.
7. Yang bisu wajib menggerakkan lidahnya sebagai pengganti dalam bacaan dalam shalat.
8. Yang telah nisab zakat, sebagian ada padanya dan sebagian lain ada pada lai / ghaib,
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam hal akibat hukum atas terjadinya pelanggaran hak paten, maka orang lain selain
pemegang hak Paten, tidak diperbolehkan membuat, menggunakan, menjual produk yang diberi
Paten. Namun apabila terjadi pelanggaran Paten, seperti dalam Putusan yang telah diuraikan
pada bab sebelumnya, maka Pemegang Paten dapat mengajukan gugatan ganti rugi kepada
Pengadilan Niaga. Selain dapat diselesaikan melalui Pengadilan Niaga, pihak yang bersengketa
dapat juga memilih menyelesaikan sengketa melalui Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian
Sengketa. Dengan adanya pelanggaran Paten yang dilakukan oleh orang lain yang melanggar
atau menggunakan Paten, maka atas permintaan pihak yang merasa dirugikan karena
pelaksanaan Paten, Pengadilan Niaga dapat menerbitkan surat penetapan yang segera dan efektif
dengan tujuan untuk mencegah berlanjutnya pelanggaran paten dan hak yang berkaitan dengan
Paten, khususnya mencegah masuknya barang yang diduga melanggar Paten dan hak yang
berkaitan dengan Paten ke dalam jalur perdagangan.
B. SARAN
Penulis sadar dalam pembuatan makalah ini masih banyak keasalahan dan kekurngan
lainnya. Penulis sangat berharap masukan ,saran ,serta kritikan terhadap makalah ini agar bisa
dijadikan bahan pelajaran yang berguna bagi para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khalaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, DDII, Jakarta, 1972 Muhammad Abu
Zahrah, Ushul al-Fiqh, Dar Fikr al-Arabi, 1958 H.A.Djazuli, Ilmu Fiqh, Orba Sakti, Bandung
1993 Al-Khudari, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr, Baerut, 1981 Abdul Hamid Hakim, As-Sulam dan
Al-Bayan, Sa'adiyah Putra, Jakarta Syafi'i Karim, Fiqih Ushul Fiqh, Departemen Agama RI.
1995 Mukhtar Yahya, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Al-Ma,arif, 1986 Al-Jurjani,
Al-Ta’rifat, Dar Al Kitab Al Arabi, Baerut 1992

Anda mungkin juga menyukai