Anda di halaman 1dari 15

‘URF

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Kelompok


Mata Kuliah Ilmu Fiqih
Dosen Pengampu
Bpk. Khaerul Anwar M. Pd

Disusun Oleh :
Kelompok 4
Yasman Hali
Abdul Karim
Nurul Fajrin
Siti Fatimah
Itaqila Amara
Barkah Shanum
Arya

INSTITUT AGAMA ISLAM NASIONAL


IAIN LAA ROIBA BOGOR
1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Puja puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena berkat limpahan nikmat, rahmat, dan
hidayahnya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam dari materi Ilmu
Alamiah Dasar, hingga dapat kami selesaikan dengan baik.

Makalah ini kami persembahkan sebagai wujud komitmen kami dalam mewujudkan
kualitas dunia pendidikan, dan melahirkan Mahasiswa yang berpribadi takwa, berakhlak
mulia, serta cerdas.

Terima kasih kami ucapkan untuk Dosen Pembimbing kami, yaitu Bpk. Khaerul
Anwar M.Pd kritik dan sarannya sangat kami harapkan dalam mengerjakan sebuah
makalah yang baik dan tersusun dengan tepat, sehingga kedepannya kami dapat
memperbaiki diri demi peningkatan kualitas kami. Makalah ini kami tulis untuk belajar
memahami dan juga memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Fiqih.

Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang
bersifat membangun sangat kami harapkan demi sempurnanya makalah ini. Semoga
makalah ini memberikan informasi bagi pembaca dan bermanfaat untuk pengembangan
wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Wassalamualaikum Wr.Wb

penyusun,
kelompok 4

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….ii
DAFTAR ISI………………………………………………………………………ii
BAB I………………………………………………………………………………1
PENDAHULUAN…………………………………………………………………1
A. LATAR BELAKANG MASALAH…………………………………....1
B. RUMUSAN MASALAH………………………………………………..1
C. TUJUAN PENELITIAN………………………………………………..1
BAB II……………………………………………………………………………...2
PEMBAHASAN…………………………………………………………………...2
A. PENGERTIAN ‘URF…………………………………………………...2
B. LANDASAN ‘URF…………………………………………………...…4
C. SYARAT-SYARAT ‘URF……………………………………………...5
D. MACAM ‘URF………………………………………………………….6
E. KEHUJJAHAN ‘URF…………………………………………………..7
BAB III…………………………………………………………………………….8
PENUTUP…………………………………………………………………………9
A. KESIMPULAN………………………………………………………..10
B. SARAN…………………………………………………………………11
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………12

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Islam adalah agama samawi atau agama wahyu. Dasar-dasar hukum Islam adalah al-
Qur’an sebagai kitab yang berisikan wahyu-wahyu yang telah diterima Nabi Muhammad
SAW. Dasar hukum yang kedua adalah apa-apa yang telah dilakukan, diucapkan, dan
disetujui Rasulullah sebagai contoh untuk melakukan al-Qur’an tersebut, yang
selanjutnya disebut hadis. Dasar hukum ketiga adalah ijma’ dan qiyas. Keduanya baru
dilakukan manakal ada keharusan penetapan hukum sementara tidak ditemukan
aturannya baik dalam al-Qur’an ataupun hadist. Walaupun demikian, hukum Islam
mengenal dan membenarkan hukum adat. Para ahli ushul fiqh menerima adat yang dalam
Bahasa fikih disebut dengan ‘urf dengan batasan sebagai sesuatu yang dilakukan atau
diucapkan berulang-ulang oleh banyak orang sehingga dianggap baik dan diterima jiwa
dan akal yang sehat. Dalam hal akidah dan ibadah ‘urf tidak lazim digunakan, sementara
para ahli ushul fiqh yang menerima cenderung untuk membatasinya dalam masalah
muamalah.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang di maksud dengan ‘Urf?
2. Apa yang di maksud dengan syarat-syarat ‘Urf?
3. Apa yang di maksud dengan kehujahan ‘Urf?
4. Apa yang di maksud dengan macam-macam ‘Urf?

C. Tujuan Masalah
Adapun tujuan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan ‘Urf
2. Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan syarat-syarat ‘Urf
3. Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan kehujahan ‘Urf
4. Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan macam-macam ‘Urf.

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian ‘Urf
Secara etimologi ‘urf berarti yang baik dan sesuatu yang dikenal. Kata ‘urf juga dimaknai
dengan mengetahui, diketahui, dianggap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat (Hakim,
2017:54). Khalil Rasyad Hasan yang dikutip oleh (Rismana & Sulistiyanto, 2020:368)
mengartikan ‘urf secara bahasa yaitu suatu yang dilihat sesuai dan selaras dengan akal.
Sedangkan ‘urf secara istilah adalah suatu yang dilakukan oleh masyarakat yang berupa adat
kebiasaan yang dapat menjadikan sebagai sandaran hukum. Menurut Ahmad Fahmi Abu
Sunnah yang dikutip oleh (Maimun, 2017:25) ‘urf adalah peristiwa yang berulang-ulang
yang tidak disebabkan oleh keniscayaan rasional. Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhayli
yang dikutip oleh (Maimun, 2017:25), ‘urf adalah sesuatu yang dibiasakan oleh sekelompok
orang baik berupa tindakan (‘amali) atau ungkapan (qauli) yang memiliki makna khusus.
Yusuf al-Qaradlawi yang dikutip oleh (Rismana & Sulistiyanto, 2020:368) juga menjelaskan
bahwa menurutnya ‘urf itu adalah yang dalam kehidupan masyarakat masih melakukan adat
kebiasaan dalam sehari-harinya. Karena ‘urf adalah sesuatu yang berarti, hingga dalam
perumusan hukum Islam para ahli fiqih memfokuskan ‘urf seperti instrumen yang berarti.
Dari kata berarti itu ‘urf dapat di munculkan dalam kaidah ushul “al-‘adah muhakkamah”.
Kata ‘Urf secara etimologi (bahasa) lainnya juga, berasal dari kata ‘arafa ya‘rufu sering
diartikan dengan al-ma‘ruf ( ‫ )َاْلَم ْعُر وُف‬dengan arti sesuatu yang dikenal. Pengertian dikenal
lebih dekat kepada pengertian diakui oleh orang lain. Sesuatu yang di pandang baik dan
diterima oleh akal sehat. Kata ‘urf sering disamakan dengan kata adat, kata adat berasal dari
bahasa Arab ‫ ; َعاَد ٌة‬akar katanya: ‘ada, ya‘udu (‫َيُعْو ُد‬-‫ )َعاَد‬mengandung arti perulangan. Oleh
karena itu sesuatu yang baru dilakukan satu kali belum dinamakan adat. Kata ‘urf
pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dilakukan, tetapi dari
segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama dikenal dan diakui oleh orang banyak.
Sedangkan Kata ‘Urf secara terminologi, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim
Zaidah berarti “Sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu masyarakat karena telah menjadi
kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.
Dari berbagai definisi tersebut, ‘urf terdiri dari beberapa unsur, menurut Abd al-Wahhab
Khallaf yang dikutip oleh (Maimun, 2017:25) unsur-unsur tersebut diantaranya adalah : (a)
berupa kebiasaan (b) dikenal dan berlaku di kalangan masyarakat (c) berupa tindakan atau
ungkapan (d) bukan berdasar keniscayaan rasional yang mesti terjadi , karena ia sekedar
kebiasaan (‘adah). Walaupun ada yang membedakan ‘urf dengan ‘adat yang sama-sama bisa
diartikan kebiasaan tapi para ulama secara umum tidak membedakannya. Namun tetap
penting dicatat bahwa ‘urf pada dasarnya lebih spesifik dari ‘adat. Karena ‘urf merupakan
kebiasaan yang berlaku umum dan tidak alamiah 3 karena bersumber dari perenungan dan
pengalaman. Sedangkan ‘adat adalah semua jenis kebiasaan, baik berlaku umum atau bagi

5
orang atau kasus tertentu seperti kebiasaan pribadi serta juga meliputi sesuatu yang alamiah
seperti terbit dan terbenamnya matahari (Maimun, 2017:26)
Dalam studi ushul fiqih, ‘urf dalam madzhab Imam Syafi’i tidak secara kategoris
memakai teori ‘urf, akan tetapi Imam Syafi’i memiliki fatwa-fatwa yang di kenal dengan
“qaul qadiim dan qaul jadid” yaitu ketika Imam Syafi’i di Mesir, beliau merubah hukum
yang sudah ditetapkan di Baghdad yang dikarenakan perbedaan adat. Sehingga dapat
menyimpulkan bahwa dari madzhab fiqih mengkonkretkan ‘urf adat kebiasaan yang sudah
menjadi bagian dari masyarakat sebagai salah satu hukum islam (Rismana & Sulistiyanto,
2020:368). Jadi dapat disimpulkan bahwa ‘Urf adalah suatu hal yang biasa dilakukan oleh
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari yang sudah dijadikan adat istiadat.
“Sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapatnya diterima oleh akal yang
sehat dan watak yang benar.” 3 Kata al-‘Adah disebut demikian karena ia dilakukan secara
berulang-ulang, sehingga menjadi kebiasaan masyarakat. Ulama’ Wahbah al-Zuhayli
berpendapat bahwa ;‘urf mengandung makna apa yang menjadi kebiasaan manusia dan
mereka ikuti dari setiap perbuatan yang umum diantara mereka’ atau lafaz yang mereka
kenal secara umum atas makna khusus bukan dalam pengertian etimologi, dan ketika
mendengar kata itu, mereka tidak memahaminya dengan penngertian lain. Sedangkan Abdul
Karim Zaidah mendefinisikan ‘urf sebagai sesuatu yang tidak asing lagi bagi suatu
masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik
berupa perbuatan atau perkataan.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, ‘urf adalah segala apa yang dikenal oleh manusia dan
berlaku padanya baik berupa perkataan, perbuatan ataupun meninggalkan sesuatu.6 Para
ulama’ ushul fiqh mendefinisikan ‘urf sebagai, suatu yang telah saling kenal oleh manusia
dan mereka menjadikannya sebagai tradisi, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun sikap
meninggalkan sesuatu, dimana ‘urf juga disebut sebagai adat istiadat.7 Dari penjelasan di
atas, dapat dipahami bahwa ‘urf terdiri dari dua bentuk yaitu, ‘urf al-qauli (kebiasaan dalam
bentuk perkataan), misalnya kalimat “engkau saya kembalikan kepada orang tuamu” dalam
masyarakat Islam Indonesia mengandung arti talak. Sedangkan ‘urf al-fi’li (kebiasaan dalam
bentuk perbuatan) seperti transaksi jual-beli barang kebutuhan sehari-hari di pasar, tanpa
mengucapkan lafal ijab dan qabul yang disebut jual-beli muathah.
Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan pengertian ‘urf adalah apa yang dikenal
oleh masyarakat baik berupa perkataan, perbuatan atau aturan-aturan yang telah menjadi
kebiasaan bagi masyarakat tersebut. Sehingga tidak menimbulkan penafsiran lain yang
berbeda kalangan masyarakat mengenai tradisi tersebut. Para ulama ushul fiqh membedakan
adat dan ‘urf sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Menurut mereka ‘urf
adalah kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan maupun perbuatan. Sedangkan adat
didefinisikan dengan sesuatu yang dilakukan berulang kali tanpa adanya hubungan rasional.

6
B. Landasan ‘Urf
Ulama Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan
masyarakat. Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan
sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Kata al-
ma‘ruf artinya sesuatu yang diakui baik oleh hati. Ayat di atas tidak diragukan lagi bahwa seruan
ini didasarkan pada pertimbangan kebiasaan yang baik pada umat, dan hal yang menurut
kesepakatan mereka berguna bagi kemaslahatan mereka. Kata al-ma‘ruf ialah kata umum yang
mencakup setiap hal yang diakui. Oleh karena itu kata al-ma‘ruf hanya disebutkan untuk hal
yang sudah merupakan perjanjian umum sesama manusia, baik dalam soal mu‘amalah maupun
adat istiadat.
Menurut hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar Ushul Fiqih di
Universitas Al-Azhar Mesir dalam karyanya fi al-ijtihad ma la nassa fih, bahwa mazhab yang
dikenal banyak menggunakan ‘Urf sebagai landasan hukum adalah kalangan Hanafiyah dan
kalangan malikiyyah, dan selanjutnya oleh kalangan Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah.
Menurutnya, pada prinspnya mazhab-mazhab besar fiqih tersebut sepakat menerima adat istiadat
sebagai landasan pembentukan hukum, meskipun dalam jumlah dan rinciannya terdapat
perbedaan pendapat di antara mazhab-mazhab tersebut, sehingga ‘Urf dimasukkan kedalam
kelompok dalil-dalil yang diperselisihkan dikalangan ulama.[1]
Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau
tradisi itu selam tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam
bukan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyrakat. Tetapi secara
selektif ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Misal adat kebiasaan
yang diakui, kerja sama dagang dengan cara berbagi untung (al-mudarabah). Praktik seperti ini
telah berkembang di bangsa Arab sebelum Islam. Berdasarkan kenyataan ini, para Ulama
menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan hukum,
bilamana memenuhi beberapa persyaratan bagian dari seri bertopik Islam.
Urf atau ‘Urf (bahasa Arab: ‫ )العرف‬merupakan istilah Islam yang dimaknai sebagai adat
kebiasaan yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. ‘Urf terbagi menjadi
Ucapan atau Perbuatan dilihat dari segi objeknya, menjadi Umum atau Khusus dari segi
cakupannya, menjadi Sah atau Rusak dari segi keabsahan menurut syariat. Para ulama ushul
fiqih bersepakat bahwa Adat (‘urf) yang sah ialah yang tidak bertentangan dengan syari'at.
andasan hukum Urf, Urf tergolong salah satu sumber hukum dari ushul fiqih yang diambil dari
intisari Al-Qur’an, dalam ( QS. Al-A’raf: 199)
"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (Al-‘Urfi), serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh."
Kata al-‘Urf dalam ayat tersebut, yang manusia disuruh mengerjakannya, oleh Ulama
Ushul fiqih dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat.
Berdasarkan itu maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang
telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Kata al-ma‘ruf
artinya sesuatu yang diakui baik oleh hati. Ayat di atas tidak diragukan lagi bahwa seruan ini
didasarkan pada pertimbangan kebiasaan yang baik pada umat, dan hal yang menurut
kesepakatan mereka berguna bagi kemaslahatan mereka. Kata al-ma‘ruf ialah kata umum yang
mencakup setiap hal yang diakui. Oleh karena itu kata al-ma‘ruf hanya disebutkan untuk hal

7
yang sudah merupakan perjanjian umum sesama manusia, baik dalam soal mu‘amalah maupun
adat istiadat.
Syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan mengakui adat atau tradisi itu selam
tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam bukan
menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyrakat. Tetapi secara selektif
ada yang diakui dan dilestarikan serta ada pula yang dihapuskan. Misal adat kebiasaan yang
diakui, kerja sama dagang dengan cara berbagi untung (al-mudarabah). Praktik seperti ini telah
berkembang di bangsa Arab sebelum Islam. Berdasarkan kenyataan ini, para Ulama
menyimpulkan bahwa adat istiadat yang baik secara sah dapat dijadikan landasan hukum,
bilamana memenuhi beberapa persyaratan.

C. Syarat-Syarat ‘Urf
Para ulama fiqih juga berbeda dalam menentukan syarat-syarat yang dapat dijadikan
kehujjahannya dalam Islam.
 Diantaranya menurut Sabhi Mahmassani yang dikutip oleh (Wandi, 2018:192) adalah
sebagai berikut:
1. Adat kebiasaan harus diterima oleh waktu yang baik, yaitu bisa diterima oleh akal dan
sesuai dengan perasaan yang waras atau dengan pendapat umum

8
2. Hal-hal yang dianggap sebagai adat, harus terjadi berulang kali dan tersebar luas
3. Yang dianggap berlaku bagi perbuatan muamalat, ialah adat kebiasaan yang lama atau
yang campuran, bukan yang terakhir
4. Suatu kebiasaan tidak boleh diterima apabila dua belah pihak terdapat syarat yang
berlebihan
5. Adat kebiasaan hanyalah boleh dijadikan alasan hukum apabila tidak bertentangan
dengan ketentuan nash dari fiqih 4

 Selanjutnya menurut Masyfuk Zuhdi sebagaimana yang dikutip oleh Muchlis Usman
dalam (Wandi, 2018:192) yaitu:
1. Perbuatan dilakukan secara logis dan relevan dengan akal sehat
2. Perbuatan, perkataan yang dilkukan selalu terulang-ulang
3. Tidak mendatangkan kemadharatan serta sejalan dengan jiwa akal yang sejahtera
4. Tidak bertentangan dengan ketentuan nash Mustafa Ahmad al-Zarqa’

 Menurut (Wandi, 2018:193) syarat-syarat ‘Urf adalah sebagai berikut:


1. ‘Urf itu berlaku secara umum. Artinya ia berlaku dalam mayoritas kasus yang terjadi
ditengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat
tersebut
2. ‘Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya muncul
3. ‘Urf tidak bertentangan dengan diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi
4. ‘Urf tidak bertentangan dengan nash

 Sedangkan menurut A. Djazuli dan Nurol Aen menerangkan bahwa syarat-syarat ‘urf
adalah sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan nash
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemashlahatan termasuk di
dalamnya tidak memberi kesempitan dan kesulitan
3. Telah berlaku pada umumnya kaum muslimin, dalam arti bukan hanya yang biasa
dilakukan oleh beberapa orang Islam saja
4. Tidak berlaku di dalam ibadah mahdhah

 Dan Mustafa Ibrahim al-Zilmi menetapkan enam syarat ‘urf yaitu:


1. Terus menerus dan dikenal sehingga pengertiannya tidk sulit dipahami
2. Dilaksanakan pada semua tempat atau dalam setiap kejadian
3. Dikenal dikalangan penduduk yang bersangkutan dan tidak mesti diketahui oleh
penduduk yang lain
4. Sudah lama berlaku untuk bersamaan dengan suatu perbuatan
5. Tidak bertentangan dengan dalil syara’
6. Tidak menjelaskan di antara dua orang yang bertransaksi bahwa perbuatan mereka tidaak
mematuhi ‘urf

9
D. Macam-macam ‘Urf
Para Ulama Ushul fiqh membagi ‘Urf kepada tiga macam dari segi objeknya, dari
kebahasaannya, dan dari segi cakupannya. Penggolongan macam-macam ‘urf dapat dilihat
dari beberapa segi, menurut Amir Syarifuddin yang dikutip oleh (Miharja, 2011:110) ‘urf
ditinjau dari :
- Segi Objeknya ;

10
a. Al-‘Urf al-Lafzhi. Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan
tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami
dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya ungkapan “daging” yang berarti daging
sapi; padahal kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang
mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam
daging, lalu pembeli mengatakan “ saya beli daging 1 kg” pedagang itu langsung
mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan
penggunaan kata daging pada daging sapi.
b. Al-‘urf al-‘amali. Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa
atau mu’amalah keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah kebiasaan
masyrakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang
lain, seperti kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu, kebiasaan
masyarakat memakan makanan khusus atau meminum minuman tertentu dan kebiasaan
masyarakat dalam memakai pakain tertentu dalam acara-acara khusus.
Adapun yang berkaitan dengan mu’amalah perdata adalah kebiasaan masyarakat dalam
melakukan akad/transaksi dengan cara tertentu. Misalnya kebiasaan masyrakat dalam berjual
beli bahwa barang-barang yang dibeli itu diantarkan kerumah pembeli oleh penjualnya,
apabila barang yang dibeli itu berat dan besar, seperti lemari es dan peralatan rumah tangga
lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan.

- Segi Cakupannya
1. Al-‘urf al-‘am adalah kebiasaan tertentu yang bersifat umum dan berlaku secara luas di
seluruh masyarakat dan diseluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat
yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban serep
termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan. Contoh lain adalah
kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap penumpang pesawat
terbang adalah duapuluh kilogram.
2. Al-‘urf al-khash adalah kebiasaan yang berlaku di wilayah dan masyarakat tertentu.
Misalnya dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang
dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat lainnya dalam barang itu, konsumen tidak
dapat mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa
garansi terhadap barang tertentu.

- Segi Kebahasaannya
1. Al-‘urf al-Shahih (Yang sah) adalah kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat
yang tidak bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) tidak menghilangkan
kemaslahatan mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka. Dengan kata
lain, 'urf yang tidak mengubah ketentuan yang haram menjadi halal atau sebaliknya.
Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan hadiah kepada pihak
wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai maskawin.

2. Al-‘urf al-fasid (Yang rusak). Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil
syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Kebalikan dari Al-'urf ash-shahih,
maka adat dan kebiasaan yang salah adalah yang menghalalkan yang haram, dan
mengharamkan yang halal. Misalnya, kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang

11
dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang antara sesama pedagang. Uang yang
dipinjam sebesar sepuluh juta rupiah dalam tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak
sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari
segi keuntungan yang di raih peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah
memberatakan, karena keuntungan yang diraih dari sepuluh juta rupaiah tersebut
mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan tetapi praktik seperti ini bukanlah
kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam pandangan syara’, karena pertukaran
barang sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling melebihkan.[dan praktik seperti ini
adalah praktik peminjaman yang berlaku pada zaman jahiliyah, yang dikenal dengan
sebutan Riba al-nasi’ah (riba yang muncul dari hutang piutang). Oleh sebab itu,
kebiasaan seperti ini, menurut Ulama Ushul fiqh termasuk dalam kategori al-‘urf al-fasid.

E. Kehujjahan ‘Urf
Menurut Al-Zilmi yang dikutip oleh (Wandi, 2018:188) terdapat tiga argumentasi
mengenai kehujjahan ‘urf, diantaranya:
1. Bahwa hukum Islam banyak menetapkan ‘urf-urf Arab pra Islam seperti kewajiban
keluarga membayar diyat kepada ahli waris yang terbunuh dengan tersalah dan begitu
juga aqad jual beli salam.
2. Mengamalkan ‘urf pada prinsipnya sejalan dengan firman Allah “wa maa ja’alaa
‘alaikum fiddiin man haraja”, karena meninggalkan kebiasaan adalah merupakan
kebiasaan hal yang sulit bagi manusia.
3. Antusias para fuqaha menerima ‘urf jauh lebih besar bila dibandingkan dengan al-
masadir al-tab’iyah al-aqliyah lainnya Menurut Ash-Shiddieqy yanag dikutip oleh
(Wandi, 2018:189) Mayoritas ulama menjadikan ‘urf sebagai hujjah dalam menetapkan
hukum. Imam Hanafi menggunakan ‘urf dalam berhujjah apabila tidak terdapat hukum
dalam nash Qur’an dan Hadits, Ijma’ dan Istihsan baik Istihsan Qiyas (terdapat pada
masalah dua sifat yang menghendaki dua qiyas yang berbeda) maupun istihsan atsar
(lantaran ada pengaruh yang mendorong untuk meninggalkan qiyas yang nyata.
Sedangkan Malikiyah meninggalkan qiyas apabila qiyas itu berlawanan dengan ‘urf,
mentakhsiskan yang umum dan mentaqyidkan yang mutlak. Syafi’I menerima ‘urf apabila
‘urf tidak berlawanan dengan nash atau tidak diberikan petunjuk kepadanya oleh sesuatu
nash. Dari segi kehujjahan Malikiyah membgi ‘urf kepada tiga, yaitu ;
1. ‘urf yang diambil oleh semua ulama yaitu yang ditunjuki oleh nash,
2. ‘urf yang jika diambil berarti mengambil sesuatu yang dilarang oleh syara’ atau
meninggalkan sesuatu tugas 6 syara’ (‘urf ini tidak ada nilainya), dan
3. ‘urf yang tidak dilarang dan yng tidak ditunjuki untuk mengamalkannya. Dan menurut
Rusli yang dikutip oleh (Wandi, 2018:189) ulama Hanabilah menerima ‘urf Selama tidak
bertentangan dengan nash.
Sedangkan ulama Syi’ah menerima ‘urf dan memandangnya sebagai dalil hukum yang
tidak mandiri, tetapi harus terkait dengan dalil lain yakni sunnah. Dari beberapa pendapat di
atas, dapat dipahami bahwa pada umumnya ‘urf dapat dijadikan landasan berhujjah,

12
Ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh”. Hal ini juga didukung
oleh al-Qur’an dalam surat (al-Baqarah ayat 233) Artinya: “(kewajiban) atas bapak
memberikan belanja kepada ibu anaknya itu dan pakaian yang ma’ruf”
Ayat diatas menjelaskan tentang memberikan standar rezeki dan pakaian yang diberikan
kepada istri yang telah diceraikan kecuali hanya sekedar memberikan batasan global yaitu al-
ma’ruf, melalui keglobalan inilah maka peranan ‘urf dalam merinci dan menafsirkan ayat al-
Qur’an dan sunnah dianggap perlu. Berdasarkan dua ayat diatas, sekilas tampaknya ‘urf
hanya sebatas kepada salah satu aspek yang dijadikan untuk menafsirkan al-Qur’an, jadi ‘urf
di sini berfungsi sebagai salah satu alat untuk menafsirkan ayat al-Qur’an yang masih ‘am
dan ditakhsiskan oleh ‘urf (Wandi, 2018:191

BAB III
PENUTUP

a. Kesimpulan

13
‘Urf adalah yang dalam kehidupan masyarakat masih melakukan adat kebiasaan dalam
sehari-harinya, dan dapat dikatakan juga bahwa ‘Urf adalah suatu hal yang biasa dilakukan oleh
masyarakat dalam kehidupan sehari-hari yang sudah dijadikan adat istiadat. Para ulama fiqih
juga berbeda dalam menentukan syarat-syarat yang dapat dijadikan kehujjahannya dalam Islam
Satu diantaranya menurut A. Djazuli dan Nurol Aen yang menerangkan bahwa syarat-syarat ‘urf
seperti:
- Tidak bertentangan dengan nash,
- Tidak menyebabkan kemafsadatan dan
- Tidak menghilangkan kemashlahatan termasuk di dalamnya tidak memberi kesempitan
dan kesulitan,
Telah berlaku pada umumnya kaum muslimin, dalam arti bukan hanya yang biasa dilakukan
oleh beberapa orang Islam saja, dan Tidak berlaku di dalam ibadah mahdhah. Mayoritas ulama
menjadikan ‘urf sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. Macam-macam ‘urf dapat ditinjau
dari segi materi objeknya, ruang lingkupnya, dan keabsahannya menurut syara’ atau penilaian
baik dan buruk.

b. Saran
Cukup sekian pemaparan makalah tentang ‘Urf dari kami, harapan besar kami semoga bisa
bermanfaat untuk kita semua (pembaca) terutama untuk kami (penyusun) jika ada kesalahan
harap memberikan tanggapan dan motivasi yang baik serta kritikan yang membuat semangat
kami semakin membara dalam menuntut ilmu.

DAFTAR PUSTAKA

Miharja, Jaya. 2011. “Kaidah-Kaidah Al-Urf Dalam Bidang Muamalah”. ElHikam: Jurnal
Pendidikan Dan Kajian Keislaman. Vol. IV. No 1. STAI Nurul Hakim. Kediri, Lombok Barat..
Daud Rismana & Muhamad Farchan Sulistiyanto. 2020. “Kajian Hukum Islam Terhadap
Tradisi Sedekah Bumi (Konvensi Tradisi Jawa) Dalam Perspektif Fiqih Imam Syafi’I”.

14
BILANCIA Jurnal Studi Ilmu Syariah Dan Hukum. Fakultas Syariah IAIN Palu. Palu Sulawesi
Tengah. Bilancia Vo. 14 No. 2 Mainum, Ach. 2017. “Memperkuat ‘Urf Dalam Pengembangan
Hukum Islam”. Al-Ihkam. Vol 12. No 1. Institute Ilmu Keislaman Annuqayah Kab. Sumenep
Hakim, Nurul. 2017. “Konflik Antara Al-Urf (Hukum Adat) Dan Hukum Islam Di Indonesia”.
Jurnal Edutech. Vol. 3 No. 2.

15

Anda mungkin juga menyukai