Anda di halaman 1dari 18

QAWAID FIQHIYAH

(Kaidah Kulliyyah Kubro yang kelima, al-‘Adatu Muhakkamah)

Diajukan untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Qawaid Fiqhiyah


Dosen Pengampu: Dra. Azizah, M.A.

Disusun oleh kelompok 9:


Muhammad Zhilal Haq (11180440000002)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga makalah
tentang Qawaid Fiqhiyah: Kaidah Kulliyyah Kubro yang kelima, al-‘Adatu
Muhakkamah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan
banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan
memberikan sumbangan baik materi maupun pikiran.

Dan harapan kami semoga makalah ini dapan menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami, kami yakin masih


banyak kekurangan dalam makalah ini, oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran
dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

i
Ciputat, 16 Maret 2020

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................................ii

BAB I : PENDAHULUAN..............................................................................................1

A. Latar Belakang........................................................................................................1

B. Rumusan Masalah..................................................................................................1

C. Tujuan Penulisan....................................................................................................1

BAB II : PEMBAHASAN...............................................................................................2

A. Pengertian Al-‘Adatu Muhakkamah.......................................................................2

B. Perbedaan Al-‘Urf dengan Al-‘Adat dan Macam-macam Al-‘Urf..........................3

C. Dasar-dasar Kaidah Al-‘Adatu Muhakkamah.........................................................6

D. Kaidah-kaidah Cabang dari Al-‘Adatu Muhakkamah.............................................8

BAB III : PENUTUP.....................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................14

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Qawaid fiqhiyah adalah suatu hal yang sangat penting diketahui,
terkhusus kita sebagai mahasiswa fakultas syari’ah. Qawaid fiqhiyah adalah
suatu hukum kulli (menyeluruh) yang mencakup semua bagian-
bagiannya. Qawaid fiqhiyah mempunyai beberapa kaidah, salah satu kaidah fiqh
yaitu al-‘adatu muhakkamah.
Al-‘adatu muhakkamah merupakan kaidah dasar hukum yang diperoleh
dengan cara mengambil kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang
di dalam masyarakat sehingga dapat dijadikan dasar penetapan hukum sesuai
dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam masyarakat. Dalam makalah ini
kami mencoba untuk memaparkan salah satu kaidah fiqh kubro yaitu al’adatu
muhakkamah.
Maka dalam makalah ini, kami akan mencoba untuk menerangkan
tentang al’adatu muhakkamah sedikit banyaknya sebagai salah satu kaidah fiqh.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari al-‘adatu muhakkamah?
2. Apa perbedaan al-‘Urf dengan al-‘Adat dan macam-macam al-‘Urf?
3. Apa dasar-dasar kaidah al-‘adatu muhakkam?
4. Apa saja kaidah-kaidah cabang dari al-‘adatu muhakkam?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk dapat memahami pengertian dari al-‘adatu muhakkamah
2. Untuk dapat mengetahui perbedaan al-‘Urf dengan al-‘Adat dan macam-
macam al-‘Urf
3. Untuk dapat mengetahui dasar-dasar kaidah al-‘adatu muhakkam
4. Untuk dapat memahami kaidah-kaidah cabang dari al-‘adatu muhakkamah

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-‘Adatu Muhakkamah


Kaidah fiqh al-‘adatu muhakkamah berkenaan dengan adat atau
kebiasaan yang dalam bahasa arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan
kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. Secara bahasa, al-‘adat berasal dari– ‫عاد‬
‫ودا‬HH‫ود – ع‬HH‫ يع‬yang berarti ‫رار‬HH‫( التك‬berulang-ulang). Adapun definisi al-‘adat
menurut Al-Jurjani adalah:

‫العادة ما استم ّر الناس عليه على حكم المعقول و عادوا إليه م ّرةً بعد أُخرى‬
“al-‘adat adalah sesuatu (perbuatan/perkataan) yang terus-menerus dilakukan
manusia, karena dapat diterima akal dan dilakukan secara terus-menerus.”1

Menurut Ibnu Nuzhaim, al-‘adat adalah:

‫عبا رة عما يستقر فى النفوس من العمور المتكررالمقبولة عند الطباع السليمة‬


“Sesuatu ungkapan dari apa yang terpendam dalam diri, perkara yang
berulang-ulang yang bisa diterima oleh tabiat (perangai) yang sehat”2

Adapun al-‘urf dapat didefinisikan sebagai berikut.

‫ وهو حجةٌ أيضا ال ِكنّه‬.‫ّت النفوس عليه بشهادة العقول وتلقّ ْته الطبائع بالعقول‬
ْ ‫العرف ما استقر‬
‫أسْرع إلى الفهم بعد أخرى‬
“al-‘urf adalah sesuatu (perbuatan/perkataan) yang jiwa merasa tenang dalam
mengerjakannya, karena sejalan dengan akal (sehat) dan diterima oleh tabiat
(yang sejahtera).”3

Ada juga yang mengatakan, al-‘urf adalah:

‫ اوغالبا‬H‫العرف هو ما تعا رف عليه الناس واعتده فى اقوالهم وافعالهم حتى صار ذالك مطردا‬

1
Muchlis Usman, Kaidah-kaidah Istinbath Hukum Islam (kaidah-kaidah Ushuliyyah dan Fiqhiyah),
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 141
2
Prof. H.A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm. 80
3
Muchlis Usman, Op.Cit.

2
“al-‘urf adalah apa yang dikenal oleh manusia dan mengulang-ngulangnya
dalam ucapannya dan perbuatannya sampai hal tersebut menjadi biasa dan
berlaku umum"4
Dari definisi-definisi di atas, dapat dipahami bahwa secara terminologi
bahasa arab al-‘adat dan al-‘urf adalah dua hal yang sama. Artinya, kedua hal
tersebut merupakan suatu bentuk perbuatan ataupun perkataan yang dianggap
baik di dalam kelompok masyarakat dan dilakukan berulang kali, sehingga
melekat pada jiwa, diterima dan dibenarkan oleh akal dan pertimbangan yang
sehat. Hal yang demikian itu sudah tentu merupakan hal yang bermanfaat dan
dipandang baik serta tidak bertentangan dengan syara’.

Suatu ‘urf dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut:5

1. Perbuatan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat. Syarat ini
menunjukkan bahwa‘urf tidak mungkin berkenaan dengan perbuatan
maksiat.
2. Perbuatan, perkataan yang dilakukan selalu terulang-ulang, boleh dikata
sudah mendarah daging pada perilaku masyarakat.
3. Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik Al-Qur’an maupun As-
Sunnah.
4. Tidak mendatangkan kemudharatan serta sejalan dengan jiwa dan akal
yang sejahtera.

Sementara itu, arti “muhakkamah” adalah putusan hakim dalam


pengadilan dalam menyelesaikan sengketa, artinya adat juga bisa menjadi
rujukan hakim dalam memutus persoalan sengketa yang diajukan ke meja hijau.6

Dengan demikian, al-‘adatu muhakkamah adalah adat atau apa yang


dianggap sebagai kebiasaan yang tidak bertentangan dengan hukum Allah dan
sudah berlaku secara umum di masyarakat serta bisa dijadikan salah satu
pedoman dalam hukum.

4
Rachmat Syafe'I, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung:  Pustaka Setia, 2007), hlm. 128
5
Muchlis Usman, Op.Cit. hlm. 142
6
Abbas, Irfan, Kaidah-kaidah dalam Fiqh Muamalah dan Aplikasinya dalam Ekonomi Islam dan
Perbankan Syariah, (Jakarta: Direktorat Pendidikan Tinggi Islam dab Direktorat Jendral
Pendidikan Islam Kementrian Agama RI, 2012), hlm. 204

3
B. Perbedaan Al-‘Urf dengan Al-‘Adat dan Macam-macam Al-‘Urf
Kata al-‘urf dalam bahasa Indonesia sering disinonimkan dengan “adat
kebiasaan”  namun para ulama membahas kedua kata ini dengan panjang lebar.
Singkatnya aI-’urf adalah sesuatu yang diterima oleh tabiat dan akal sehat
manusia. Begitu juga dengan makna al-‘adat. Meskipun arti kedua kata ini
serupa, namun ada juga yang mengatakan bahwa ada sedikit perbedaan di
antara dua kata tersebut.
Menurut Shalih bin Ghanim, sebenarnya antara al-‘adat dan al-‘urf dari
segi bahasa terdapat kesamaan dalam segi mashadaqnya (sesuatu yang ditunjuk),
namun keduanya mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dari segi
mafhumnya. Menurutnya, al-‘adat lebih umum dari al-‘urf. Al-‘adat mencakup
segala jenis kebiasaan yang berulang-ulang, baik berupa perkataan maupun
perbuatan, baik berasal dari individu maupun kelompok dan tanpa
memperdulikan apakah kebiasaan itu baik ataukah jelek. Sementara cakupan
al-‘urf hanya mencakup apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara
umum (al-‘adah al-ammah) yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi
kebiasaan.7

Ada yang mendefinisikan al-‘urf dan al-‘adat dengan:

  ‫ في قول أوفعل‬H‫عادة جمهورقوم‬


“Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan ataupun perbuatan”

Berdasarkan definisi ini, al-‘urf merupakan bagian dari adat, tetapi al-‘adat lebih
bersifat umum daripada al-‘urf. Suatu al-‘urf menurutnya harus berlaku pada
kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu
dan al-‘urf bukanlah kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku dalam
kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman. Jadi dapat
dikatakan, al-‘adat dan al-‘urf seperti halnya suatu rangkaian dimana al-‘urf
merupakan penguat dari al-‘adat.
7
Abdul Haq, dkk, Formulasi Nalar Fiqh, Telaah Kaidah Fiqh Konseptual, (Surabaya: Khalista, 2009), hlm.
270

4
Para ulama Ushul membagi al-‘urf dilihat dari tiga aspek:
1. Dari segi objeknya
a. Al-‘Urf al-Lafzhî (kebiasaan yang menyangkut ungkapan) adalah
kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan
tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna
ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran
masyarakat. Misalnya ungkapan “daging” yang berarti daging
sapi, padahal kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang
ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan
penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu
pembeli mengatakan “ saya beli daging 1 kg” pedagang itu
langsung mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat
setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada
daging sapi.
b. Al-‘urf al-‘amali (kebiasaan yang berbentuk perbuatan) adalah
kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa
atau mu’amalah keperdataan. Yang dimaksud “perbuatan biasa”
adalah kebiasaan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka
yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain, seperti
kebiasaan libur kerja pada hari-hari tertentu dalam satu minggu,
kebiasaan masyarakat memakan makanan khusus atau meminum
minuman tertentu dan kebiasaan masyarakat dalam memakai
pakain tertentu dalam acara-acara khusus.
2. Dari segi cakupannya
a. Al-‘urf al-‘âm (kebiasaan yang bersifat umum) adalah kebiasaan
tertentu yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan 
diseluruh daerah. Misalnya dalam jual beli mobil, seluruh alat
yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang,
dongkrak, dan ban serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad
sendiri dan biaya tambahan. Contoh lain adalah kebiasaan yang
berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap penumpang
pesawat terbang adalah dua puluh kilogram.
b. Al-‘urf al-khâsh (kebiasaan yang bersifat khusus) adalah
kebiasaan yang berlaku di daerah dan masyrakat tertentu.
Misalnya dikalangan para pedagang apabila terdapat cacat
tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk
cacat lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat

5
mengembalikan barang tersebut. Atau juga kebiasaan mengenai
penentuan masa garansi terhadap barang tertentu.8
3. Dari segi keabsahannya
a. Al-‘urf al-Shâhih (kebiasaan yang dianggap sah), yaitu kebiasaan
yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak
bertentangan dengan nash (ayat atau hadis) tidak menghilangkan
kemaslahtan mereka, dan tidak pula membawa mudarat kepada
mereka. Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki
memberikan hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak
dianggap sebagai mas kawin.
b.
Al-‘urf al-fâsid (kebiasaan yang dianggap rusak), yaitu kebiasaan
yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah
dasar yang ada dalam syara’. Misalnya, kebiasaan yang berlaku
dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti
peminjaman uang antara sesama pedagang. Uang yang dipinjam
sebesar sepuluh juta rupiah dalam tempo satu bulan, harus
dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo, dengan
perhitungan bunganya 10%. Dilihat dari segi keuntungan yang di
raih peminjam, penambahan utang sebesar 10% tidaklah
membertakan, karena keuntungan yang diraih dari sepuluh juta
rupaiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%. Akan
tetapi praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong
menolong dalam pandangan syara’, karena pertukaran barang
sejenis, menurut syara’ tidak boleh saling melebihkan.9
C. Dasar-dasar Kaidah Al-‘Adatu Muhakkamah
1. Dasar hukum Al-Qur’an
a. Surat al-A’raf ayat 199
Hِ ْ‫ُخ ِذ ْٱل َع ْف َو َو ْأ ُمرْ بِ ْٱلعُر‬
َ‫ف َوأَ ْع ِرضْ َع ِن ْٱل ٰ َج ِهلِين‬
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf,
serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”
b. Surat al-Baqarah ayat 233
ِ ‫ۚ َو َعلَى ْٱل َموْ لُو ِد لَ ۥهُ ِر ْزقُه َُّن َو ِك ْس َوتُه َُّن بِ ْٱل َم ْعر‬
‫ُوف‬
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara ma'ruf.”

8
Satria Efendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 154
9
Nasroen Harun, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 139-141

6
Syariat tidak menetapkan berapa ukuran “ma’ruf” yang dituntut dari
ayat ini, sehingga hal tersebut dikembalikan kepada adat yang berlaku di
masyarakat.
c. Surat Al-Maidah ayat 89

‫ط َعا ُم‬ َ َّ‫ بِ َما َعقَّدتُّ ُم اأْل َ ْي َمانَ ۖ فَ َكف‬H‫َاخ ُذ ُك ُم هَّللا ُ بِاللَّ ْغ ِو فِي أَ ْي َمانِ ُك ْم َو ٰلَ ِكن يُؤَا ِخ ُذ ُكم‬
ْ ِ‫ارتُهُ إ‬ ِ ‫اَل يُؤ‬
‫ر َرقَبَ ٍة ۖ فَ َمن لَّ ْم يَ ِج ْد‬Hُ ‫م أَوْ تَحْ ِري‬Hُْ‫ط ِع ُمونَ أَ ْهلِي ُك ْم أَوْ ِكس َْوتُه‬ ْ ُ‫ط َما ت‬Hِ ‫َع َش َر ِة َم َسا ِكينَ ِم ْن أَوْ َس‬
‫م ثَاَل ثَ ِة أَي ٍَّام‬Hُ ‫صيَا‬
ِ َ‫ۚ ف‬
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak
dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu,
ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa
kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka
atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan
yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari.”\

Makanan yang dimaksud dalam ayat ini tidak ditetapkan oleh syariat
secara jelas. Oleh karena itu, jenis makanannya dikembalikan kepada jenis
makanan yang biasa dimakan di masyarakat.

2. Dasar hukum hadits

‫َما َر َءاهُ ْال ُم ْسلِ ُموْ نَ َح َسنًا فَهُ َو ِع ْن َد هللاِ َح َس ٌن َو َما َر َءاهُ ال ُم ْسلِ ُموْ نَ َس ْيئًا فَه َُو ِع ْندَاهللاِ َس ْي ٌء‬
“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam, maka baik pula di sisi
Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, maka
menurut Allah-pun digolongkan sebagai perkara yang buruk" (HR. Ahmad,
Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud)10

ِ ‫أهل م ّكةَ وال ِم ْكيا ُل مكيال‬


َ‫أهل مدينة‬ ْ ‫الوزن‬
ِ ُ‫وزن‬ ْ

“Ukuran berat (timbangan) yang biasa dipakai adalah ukuran berat ahli
Makkah, sedangkan ukuran isi yang dipakai adalah ukuran isi ahli Madinah
(HR. Abu Dawud)

Apabila terjadi persengketaan diantara mereka, maka ukuran


tersebutlah yang dipakai. Artinya kembali ke adat kebiasaan daerah masing-
masing.

10
Prof. H.A. Djazuli, Op.Cit., hlm. 82

7
ِ ‫ك َويَ ْكفِى بَنِي‬
‫ك‬ Hِ ‫ُخ ِذى ِم ْن َمالِ ِه بِ ْال َم ْعر‬
ِ ‫ُوف َما يَ ْكفِي‬
“Ambillah dari hartanya apa yang mencukupi anak-anakmu dengan cara
yang patut.” (HR Bukhari dan Muslim)

Apabila seorang suami memberikan nafkah kepada keluarganya


tetapi jumlahnya tidak mencukupi kebutuhan sehari-harinya, maka istri
diperbolehkan mengambil uang suami tanpa sepengetahuan suaminya sesuai
kadar yang dibutuhkan untuk mencukupi kebutuhannya. Dan jumlah tersebut
sesuai dengan ‘urf di masyarakat setempat.

Substansi dari dasar-dasar hukum di atas adalah bahwa ahama islam


sangat memperhatikan akan adanya adat dan kebudayaan yang berkembang
di masyarakat. Islam tidak pernah menghapus suatu kebudayaan selama
kebudayaan tersebut tidak memudharatkan dan tidak melanggar ajaran
agama. Bahkan islam mengajak kerjasama sehingga adat atau kebiasaan
tersebut bisa dijadikan sebagai dasar hukum dalam kehidupan
bermasyarakat.

D. Kaidah-kaidah Cabang dari Al-‘Adatu Muhakkamah


1. Kaidah pertama

‫اس ُح َّجةٌ يَ ِجبُ ال َع َم ِل بِهَا‬


ِ َّ‫اِستِع َما ُل الن‬
“Tradisi masyarakat (dalam berbahasa) adalah hujjah yang harus dijadikan
pijakan dalam beramal”11
Maksud dari kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat
kebiasaan di masyarakat, menjadi pegangan, dalam arti setiap anggota
masyarakat menaatinya. Kaidah ini semakna dengan kaidah umum, yaitu
bahwa apa yang digunakan manusia sehingga menjadi sebuah adat kebiasaan
mereka, maka itu bisa digunakan sebagai sebuah landasan hukum dalam
beramal. Bagi kelompok yang membedakan, perbedaannya yaitu kaidah
kubra lebih bersifat umum daripada kaidah cabangnya, karna kaidah cabang
ini lebih berfokus pada tradisi berbahasa saja.
Contoh penerapan kaidah:
a. Jika seseorang yang meminta tolong kepada orang lain untuk menjualkan
tanah miliknya. Lalu setelah tanah itu terjual, yang dimintai tolong itu
meminta bagian upah atau presentase dari apa yang dia usahakan, maka
hal ini dikembalikan kepada ‘urf yang berlaku. Apabila ‘urf masyarakat
setempat memang demikian, maka dia wajib memberikan upah tersebut.
11
Ibid., hlm. 84

8
b. Menjahitkan pakaian kepada tukang jahit, sudah menjadi adat kebiasaan
bahwa yang menyediakan benang, jarum, dan menjahitnya adalah tukang
jahit.
2. Kaidah kedua
‫ب ال َّشائِ ِع الَ لِلنَّا ِد ِر‬
ِ ِ‫العب َرةُ لِلغَال‬
ِ
“Yang dijadikan sandaran adalah kebiasaan dominan dan populer bukan
kebiasaan yang langka”
Ibnu Rusydi menggunakan ungkapan lain, yaitu:12
H‫الح ْكم بال ُمعْتاد ال بالنا ِدر‬
“Hukum itu dengan yang biasa terjadi bukan dengan yang jarang terjadi”
juga ada juga yang menyebut dengan lafadz:
‫إِنَّ َما تُعتَبَ ُر ال َعا َدةُ إِ َذا اطَّ َردَت أَو َغلَبَت‬
“Sebuah tradisi hanya akan bisa diterima sebagai pijakan hukum ketika
tradisi tersebut sudah berjalan berulang-ulang dan mendominasi”
Makna kaidah ini adalah dalam ungkapan di atas, terdapat tiga
13
lafadz:
a. ‫راد‬HH‫اط‬ ْ maksudnya adalah sebuah adat itu berlaku menyeluruh untuk
semua kalangan dan dalam semua kejadian.
b. ‫ ال َغلَبَة‬maksudnya sebuah adat kebiasaan itu berlaku pada kebanyakan
kejadian dan dilakukan oleh sebagian masyarakat.
c. ‫شائِع‬ َّ ‫ ال‬maksudnya adat kebiasaan itu masyhur di masyarakat.
Makna ketiga lafadz itu mirip, yaitu sebuah adat kebiasaan itu baru
bisa dijadikan sebagai sandaran hukum (muhakkamah) jika adat kebiasaan
itu berlaku untuk semua kalangan atau dilakukan oleh banyak orang. Maka
adat kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian orang atau jarang dilakukan
orang tidaklah bisa dijadikan sebagai sandaran hukum.
Contoh penerapan kaidah:
a. Para ulama berbeda pendapat tentang waktu hamil terpanjang, tetapi bila
menggunakan kaidah di atas, maka tidak akan melebihi satu tahun.
b. Apabila seseorang berlangganan surat kabar, maka surat kabar itu diantar
ke rumah pelanggan. Apabila pelanggan tidak mendapatkan surat kabar

12
Ibid., hlm. 85
13
Ahmad Sabiq, Kaidah-kaidah Praktis Memahami Fiqh Islami, (Jakarta: Pustaka Al-Furqon, 2009), hlm.
116

9
tersebut, maka ia bisa komplain dan menuntutnya kepada agen surat
kabar tersebut.
3. Kaidah ketiga

ِ ْ‫التّ ْعيِيْنُ بِ ْالعُر‬


ِ َّ‫ف َكالتَّ ْعيِي ِْن بِالن‬
‫اص‬
“Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”14
Maksud dari kaidah ini adalah sesuatu ketentuan berdasarkan ‘urf
yang memenuhi syarat adalah mengikat dan sama kedudukannya dengan
penetapan hukum berdasarkan nash.
Contoh penerapan kaidah:
a. Apabila seseorang menyewa rumah atau toko tanpa menjelaskan siapa
yang bertempat tinggal di rumah atau toko tersebut, maka si penyewa
bisa memanfaatkan rumah tersebut tanpa mengubah bentuk rumah
kecuali dengan izin orang yang menyewakan.
4. Kaidah keempat
ُ ‫ال َحقِيقَةُ تُت َر‬
‫ك بِ َدالَلَ ِة ال َعا َد ِة‬
“Makna hakiki sebuah kata harus ditinggalkan jika tradisi masyarakat
menggunakan makna majazi”15
Maksud dari kaidah ini adalah arti yang sesungguhnya (makna
hakiki) ditinggalkan apabila ada arti lain yang ditunjukkan oleh adat
kebiasaan.
Contoh penerapan kaidah:
a. Jual beli adalah penyerahan uang dan penerimaan barang oleh si pembeli
serta sekaligus penyerahan barang dan penerimaan uang oleh si penjual.
Akantetapi, ketika si pembeli sudah menyerahkan uang muka (tanda
jadi), maka berdasarkan adat kebiasaan, akad jual beli itu telah terjadi.
Oleh karena itu si penjual tidak bisa membatalkan jual belinya meskipun
harga naik.

5. Kaidah kelima
‫ط شَرْ طًا‬Hِ ْ‫ف عُرْ فًا َك ْال َم ْشرُو‬
Hُ ْ‫ْال َم ْعرُو‬

14
Prof. H.A. Djazuli, Op.Cit., hlm. 87
15
Ibid.

10
“Sesuatu yang telah dikenal ‘urf seperti yang disyaratkan dengan suatu
syarat”16
Maksudnya adalah adat kebiasaan dalam bermuamalah mempunyai
daya ikat seperti suatu syarat yang dibuat, walaupun tidak dinyatakan secara
tegas.
Contoh penerapan kaidah:
a. Apabila orang bergotong-royong membangun rumah yatim piatu, maka
berdasarkan adat kebiasaan, orang-orang yang bergotong-royong itu
tidak dibayar dan tidak bisa menuntut bayaran.
b. Salah satu adat kebiasaan ketika pernikahan di Pariaman adalah uang
japuik. Adat tersebut yaitu calon mempelai wanita datang kepada
mempelai pria dengan membawa uang sebagai bentuk penghormatan.
Jadi adat ini menjadi syarat dalam pernikahan di daerah sana.
6. Kaidah keenam
ً‫ْال ُم ْمتَنَ ُع عَا َدةً َك ْال ُم ْمتَن َِع َحقِ ْيقَة‬

“Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak
berlaku dalam kenyataan”17

Maksud kaidah ini adalah suatu hal yang tidak mungkin terjadi
(dilarang) berdasarkan adat kebiasaan secara rasional, maka juga tidak
mungkin terjadi (dilarang) secara kenyataan

Contoh penerapan kaidah:

a. Seseorang yang mengaku bahwa harta yang ada pada orang lain adalah
harta miliknya, tetapi dia tidak bisa menjelaskan dari mana asal harta
tersebut.

7. Kaidah ketujuh

َ َ‫ْال ِكتَابُ َك ْال َخط‬


‫اب‬
“Hukum tulisan sama dengan hukum ucapan”

Maksudnya hukum yang berupa tulisan sama kedudukannya dengan


hukum ucapan. Seperti kebanyakan akad transaksi di zaman sekarang telah
menggunakan tulisan. Maka akad tertulis itu diberlakukan seperti akad lisan.
16
Ibid., hlm. 86
17
Ibid., hlm. 87

11
Contoh penerapan kaidah:

a. Adanya buku nikah sebagai bukti bahwa telah terjadi akad nikah antara
laki-laki dengan perempuan.
b. Sertifikat tanah sebagai bukti hukum bahwa tanah ini telah memiliki hak
milik atas seseorang.
8. Kaidah kedelapan

‫اال ْذ ِن اللَ ْف ِظى‬ ِ ْ‫ا ِال ْذنُ العُر‬


ِ ‫ف َك‬
“Pemberian izin menurut adat kebiasaan sama dengan pemberian izin
menurut ucapan”18
Contoh penerapan kaidah:
a. Apabila seseorang bertamu ke rumah orang lain, sudah menjadi adab
sebagai tuan rumah untuk menghidangkan makanan. Tamu tersebut
boleh saja memakan hidangan itu tanpa dipersilahkan tuan rumah, sebab
menurut kebiasaan bahwa dengan menghidangkan berarti
mempersilahkannya.

BAB III
KESIMPULAN

18
Ibid., hlm. 88

12
A. Kesimpulan

Al-‘adatu muhakkamah adalah adat atau kebiasaan yang tidak


bertentangan dengan hukum Allah dan sudah berlaku secara umum di
masyarakat serta bisa dijadikan salah satu pedoman dalam hukum. Untuk
menjadi dalil hukum, adat kebiasaan itu harus memenuhi beberapa hal berikut:

1. Perbuatan/perkataan yang dilakukan logis dan relevan dengan akal sehat.


2. Perbuatan/perkataan yang dilakukan selalu terulang-ulang, boleh dikata
sudah mendarah daging pada perilaku masyarakat.
3. Tidak bertentangan dengan ketentuan nash, baik Al-Qur’an maupun As-
Sunnah.
4. Tidak mendatangkan kemudharatan.

Adapun kaidah turunan dari al-‘adatu muhakkamah adalah sebagai


berikut.

1. ‫اس ُح َّجةٌ يَ ِجبُ ال َع َم ِل بِهَا‬


ِ َّ‫( اِستِع َما ُل الن‬Tradisi masyarakat (dalam berbahasa)
adalah hujjah yang harus dijadikan pijakan dalam beramal)

2. ‫ر‬ ِ ‫ب ال َّشائِ ِع الَ لِلنَّا ِد‬ ِ ِ‫العب َرةُ لِلغَال‬ ِ (Yang dijadikan sandaran adalah kebiasaan
dominan dan populer bukan kebiasaan yang langka)
3. ‫اص‬ِ َّ‫ف َكالتَّ ْعيِ ْي ِن بِالن‬ ِ ْ‫( التّ ْعيِيْنُ بِ ْالعُر‬Ketentuan berdasarkan ‘urf seperti
ketentuan berdasarkan nash)
4. ‫ك بِ َدالَلَ ِة ال َعا َد ِة‬ ُ ‫الحقِيقَةُ تُت َر‬
َ (Makna hakiki sebuah kata harus ditinggalkan
jika tradisi masyarakat menggunakan makna majazi)
5. H‫ط شَرْ طًا‬ ِ ْ‫( ْال َم ْعرُوْ فُ عُرْ فًا َك ْال َم ْشرُو‬Sesuatu yang telah dikenal ‘urf seperti
yang disyaratkan dengan suatu syarat)
6. ً‫حقِ ْيقَة‬ َ ‫( ْال ُم ْمتَنَ ُع عَا َدةً َك ْال ُم ْمتَن َِع‬Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat
kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan)
7. ‫اب‬ َ َ‫( ْال ِكتَابُ َك ْالخَ ط‬Hukum tulisan sama dengan hukum ucapan)
8. ‫ظى‬ ِ ‫اال ْذ ِن اللَ ْف‬
ِ ‫ف َك‬ ِ ْ‫( ا ِال ْذنُ العُر‬Pemberian izin menurut adat kebiasaan sama
dengan pemberian izin menurut ucapan)

DAFTAR PUSTAKA

Abbas. Irfan. 2012. Kaidah-kaidah dalam Fiqh Muamalah dan Aplikasinya


dalam Ekonomi Islam dan Perbankan Syariah. Jakarta: Direktorat

13
Pendidikan Tinggi Islam dab Direktorat Jendral Pendidikan Islam
Kementrian Agama RI.
Djazuli, Prof. H.A. D. 2007. Kaidah-kaidah Fikih. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Efendi, Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media.
Haq, Abdul dkk. 2009. Formulasi Nalar Fiqh, Telaah Kaidah Fiqh Konseptual.
Surabaya: Khalista.
Harun, Nasroen. 1997. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Sabiq, Ahmad. 2009. Kaidah-kaidah Praktis Memahami Fiqh Islami. Jakarta:
Pustaka Al-Furqon.
Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.
Usman, Muchlis. 1996. Kaidah-kaidah Istinbath Hukum Islam (kaidah-kaidah
Ushuliyyah dan Fiqhiyah). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

14

Anda mungkin juga menyukai