Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

AL-ADATU MUHAKKAMAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Qawaidul Fiqhiyyah


Dosen Pengampu : Bapak H. Mohammad Zubaidi Sujiman, L.C, M.Ag

Disusun Oleh kelompok 8:

1. Ramaka Thufailul ‘Abduh (2120110012)


2. Ainu Nabila Ibriza (2120110030)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

FAKULTAS SYARIAH

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM

TAHUN PELAJARAN 2021/2022

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Al-
adatu Muhakamah” ini tepat pada waktunya. Sholawat dan salam tetap tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang kami harapkan syafa’atnya di hari kiamat kelak.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang
diberikan oleh Bapak Zubaidi Sujiman pada mata kuliah Qawaidul Fiqhiyah. Selain itu,
penulisan makalah ini juga bertujuan untuk menambah pengetahuan dan wawasan kita
semua. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik.
Kami menyadari bahwa kemampuan kami dalam menyusun makalah ini masih
jauh dari kata sempurna dan masih banyak kekurangan, seperti dalam pepatah “Tiada
gading yang tak retak”. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami maupun
pembaca.

Kudus, 16 Novemer2022

Penyusun

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fiqih) adalah suatu hukum kully
(menyeluruh) yang mencakup intisari hukum-hukum fiqih. Qawa’id fiqhiyah
mempunyai beberapa kaidah, diantaranya adalah seperti pembahasan dalam makalah
ini yaitu al-adah al-muhakkamah (adat atau kebiasaan itu bisa menjadi dasar dalam
menetapkan suatu hukum) yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh
dan berkembang di dalam masyarakat sehingga dapat dijadikan dasar dalam
menetapkan suatu hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di dalam
masyarakat. Dengan menguasai kaidah-kaidah fiqih kita akan mengetahui segala
permasalahan fiqih, karena kaidah fiqih menjadi titik temu dari masalah-masalah fiqih
sehingga dapat dengan bijak dalam menerapkan hukum fiqih dalam waktu, tepat, situasi
dan kondisi yang seringkali berubah-ubah.

Dan dengan memahami kaidah fiqih, kita akan lebih bijak di dalam menyikapi
masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, dan lebih khususnya budaya (adat atau
kebiasaan ) serta lebih mudah mencari solusi terhadap masalah-masalah yang terus
muncul dan berkembang dalam masyarakat. Didasari itulah pemakalah merasa tertarik
untuk mengkaji salah satu kaidah fiqih khususnya berkaitan dengan kehidupan kita
sehari-hari atau yang sering kita jumpai yaitu tentang adat (kebiasaan) dengan kaidah,
al-adah al-muhakkamah dengan arti adat atau kebiasaan itu bisa menjadi dasar dalam
menetapkan suatu hukum.

B. Rumusan Masalah
Dengan memperhatikan latar belakang di atas, agar dalam penulisan makalah ini
pemakalah memperoleh hasil yang diinginkan, maka pemakalah mengemukakan beberapa
rumusan masalah. Rumusan masalah itu adalah:
1. Bagaimana pengertian kaidah Al-adah Muhakkamah?
2. Bagaimana implementasi dan apa saja cabang kaidah Al-adah Muhakkamah?
3. Apa perbedaan antara Al-adah dan urf?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui pengertian kaidah Al-adah Muhakkamah

3
2. Untuk Mengetahui implementasi dan apa saja cabang kaidah Al-adah Muhakkamah
3. Untuk Mengetahui perbedaan antara Al-adah dan urf
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian kaidah Al-adah Muhakkamah
Secara etimologi, kata al-adah berarti (‫ )الدءب واالستمرارعلي شئ‬baik berupa
perkataan atau perbuatan. Al-adah diambil dari kata al‘aud ( ‫ ) العود‬atau al-mu’awadah
( ‫ ) المعاودة‬yang artinya berulang (‫) التكرار‬.
Secara terminologi, Al-adah adalah sebuah kecenderungan (berupa ungkapan
atau pekerjaan) pada satu obyek tertentu, sekaligus pengulangan akumulatif pada obyek
pekerjaan dimaksud, baik dilakukan oleh pribadi atau kelompok. Akibat pengulangan
itu, ia kemudian dinilai sebagai hal yang lumrah dan mudah dikerjakan. Aktifitas itu
telah mendarah daging dan hampir menjadi watak pelakunya1.
Abdul Karim Zaidan mendefinisikan al-adah sebagai pengulangan sesuatu dan
kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang hingga dia melekat dan diterima dalam benak
orang-orang. Dalam pengertian dan substansi yang sama, terdapat istilah lain dari al-
adah, yaitu al-urf, yang secara harfiyah berarti suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau
ketentuan yang dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau
meninggalkannya. Definisi ‘Urf secara terminologi sebagaimana diutarakan Abu
Zahrah adalah:
‫العرف هو ما اعتاده الناس من معامالة واستقامت عليه امورهم‬
“Urf adalah segala sesuatu yang dibiasakan manusia dalam pergaulanya dan
telah mantap dalam urusan-urusanya”.
Sedangkan definisi ‘Urf secara terminologi menurut Abdu al-Wahhab Khalaf
adalah:
‫ او ترك‬,‫ او فعل‬,‫ من قول‬,‫العرف هو ما تعرفه الناس وساروا عليه‬
“Segala sesuatu yang sudah saling dikenal di antara manusia yang telah menjadi
kebiasaan atau tradisi, baik bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitanya dengan
meninggalkan perbuatan tertentu”
Sedangkan ‘Urf secara terminologi menurut Badran sebagimana yang dikutip
Amir Syaifuddin dalam bukunya Ushul Fiqh adalah:
‫العرف هو ما اعتاده جمهور الناس والقوه من قول او فعل تكرر مرة بعد اخرى حتى تمكن اثره في‬

1
Saiful Jazil, “‘A>dah dan ‘Urf sebagai Metode Istinba<t Hukum Islam,” t.t., 320.

4
‫نفوسهم وصارت تتلقاه عقولهم بالقبول‬
“Urf adalah apa-apa yang dibiasakan dan diikuti orang banyak, baik dalam
bentuk ucapan atau perbuatan yang berulang-ulang dilakukan sehingga membekas
dalam jiwa mereka dan diterima baik oleh akal mereka”.
Ketiga pengertian di atas mempunyai titik tekan sama, yaitu adanya sesuatu
yang sudah dibiasakan dan diakui serta dikenal orang banyak dan dilakukan berulang-
ulang kali sehingga sudah tidak ada keraguan dalam melakukanya.
Namun bukan berarti setiap adat kebiasaan dapat diterima begitu saja, karena
suatu adat bisa diterima jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan syari'at.
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemashlahatan.
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdah .
5. Urf tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya.2
B. Dasar-Dasar Kaidah Al’Aadah Muhakkamah
1. Dasar hukum didalam Al-Qur’an yaitu:
a. Al-Quran Surat Al-Baqarah [2] Ayat 233
َّ‫علَى ٱ ْل َم ْولُو ِد لَ ۥهُ ِر ْزقُ ُهن‬ َ ‫ٱلرضَاعَةَ ۚ َو‬ َّ ‫۞ َوٱ ْل َٰ َو ِل َٰ َدتُ يُ ْر ِض ْعنَ أ َ ْو َٰ َل َدهُنَّ ح َْولَي ِْن َكامِ لَي ِْن ۖ ِل َم ْن أ َ َرا َد أَن يُتِ َّم‬
ِ ‫علَى ٱ ْل َو ِار‬
‫ث‬ َ ‫ضا َّٓر َٰ َو ِل َد ٌۢةٌ ِب َولَ ِد َها َو ََل َم ْولُو ٌد لَّ ۥهُ ِب َولَ ِدِۦه ۚ َو‬ َ ُ ‫س َعهَا ۚ ََل ت‬ْ ‫س ِإ ََّل ُو‬ٌ ‫ف نَ ْف‬ ُ َّ‫وف ۚ ََل ت ُ َكل‬ِ ‫س َوت ُ ُهنَّ ِبٱ ْل َم ْع ُر‬ ْ ‫َو ِك‬
‫ست َ ْر ِضعُ ٓو ۟ا أ َ ْو َٰلَ َد ُك ْم َف ََل‬ ْ َ ‫علَ ْي ِه َما ۗ َوإِ ْن أَ َردت ُّ ْم أ َن ت‬ َ ‫ح‬َ ‫َاو ٍر َف ََل ُجنَا‬ ُ ‫اض ِم ْن ُه َما َوتَش‬ ٍ ‫َاَل عَن ت َ َر‬ ‫مِ ثْ ُل َٰذَ ِلكَ ۗ َف ِإ ْن أ َ َرادَا ِفص ا‬
‫ٱَّلل بِ َما ت َ ْع َملُونَ بَ ِصي ٌر‬ َ َّ َّ‫ٱَّلل َوٱ ْعلَ ُم ٓو ۟ا أَن‬ َ َّ ‫وا‬ ۟ ُ‫وف ۗ َوٱتَّق‬ َ ‫علَ ْي ُك ْم إِذَا‬
ِ ‫سلَّ ْمت ُم َّما ٓ َءات َ ْيت ُم بِٱ ْل َم ْع ُر‬ َ ‫ح‬ َ ‫ُجنَا‬
Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua
tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.
seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. janganlah
seorang ibu menderita kesengsaraan Karena anaknya dan seorang ayah karena
anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin
menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan
permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin
anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah

2
“Kaidah Al-’Aadah Muhakkamah | Imas Nurul F - Academia.Edu,” 4, Diakses 11 November 2022,
Https://Www.Academia.Edu/24930870/Kaidah_Al_Aadah_Muhakkamah.

5
dan Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”.
b. Al-Quran Surat Al-A’raaf [7] ayat 199
َ‫ض ع َِن ٱ ْل َٰ َج ِه ِلين‬ ِ ‫ُخ ِذ ٱ ْلعَ ْف َو َوأْ ُم ْر بِٱ ْلعُ ْر‬
ْ ‫ف َوأَع ِْر‬
Artinya : “Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”
2. Dasar Hukum Dalam Hadits
Dasar hukum didalam Hadits yaitu:
‫ما رءاه المسلمون حسنا فهو عند هلَل حسن وما رءاه المسلمون سيئا فهو عنداهلَل سيء‬
“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di
sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh kaum muslimin, maka
menurut Allah-pun digolongkan sebagai perkara yang buruk” (HR. Ahmad,
Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).
C. Makna Kaidah
Berdasarkan dalil di atas kita menemukan dua kata kunci yakni Al-Aadah dan
Al-Urf. Para ulama ushul fikih (ushuliyyun) menggunakan dua kata ini secara
bergantian untuk menjelaskan kebiasaan. Al-aadah (adat) di definisikan suatu
perbuatan yang dikerjakan secara berulang tanpa hubungan rasional Sedangkan al-urf
didefinisikan sebagai kebiasaan mayoritas umat, baik dalam perkataan maupun
perbuatan. Jadi makna kaidah al-aadah wa al-urf itu sesuatu yang telah biasa berlaku,
diterima dan dianggap baik oleh masyarakat.
Al-aadah dan al-urf yang menjadi salah satu aspek penting dalam penetapan
hukum Islam itu bukan merupakan prilaku individual tetapi sudah berlaku pada
kebanyakan masyarakat di daerah tertentu. Misalnya di daerah tertentu dalam
menetapkan keperluan rumah tangga, diambil dari mahar yang diberikan suami. Jika
kebiasaan ini sudah menjadi bagian dari cara kehidupan masyarakat tertentu maka
kebiasaan seperti ini dapat dijadikan sebagai kaidah untuk menetapkan kebolehan
penggunaan mahar yang seharusnya milik istri.
D. Kaidah-Kaidah Cabang Dari Al-adah Muhakkamah serta Implementasinya
Pada dasarnya al-aadah muhakkamah termasuk salah satu dari kaidah asasi yang
jumlahnya 5 (lima) kaidah, atau menurut jumhur ulama al-Syafi'i disebut al-qowa'idul
khomsah, yaitu: 1). Al-umur bi maqaashidiha; 2). Al-yaqin la yuzalu bis-syaak; 3). Al-
masyaqah tajlibu al-taisyir; 4). Al-dlararu yuzalu; dan 5). Al-aadah muhakkamah.
Kaidah cabang adalah kaidah turunan yang lebih sepesifik dari pada kaidah
asasi yang lebih umum.
6
‫المعروف عرفا كالمشروط شرطا‬
“Semua yang telah dikenal karena urf seperti yang disyaratkan karena suatu
syarat”3
Maksudnya adat kebiasaan dalam bermu’amalah mempunyai daya ikat seperti
suatu syarat yang dibuat, meskipun tidak secara tegas dinyatakan, dan sesuatu yang
telah dikenal (masyhur) secara urf (adat) dalam sebuah komunitas masyarakat adalah
menempati posisi (hukumnya) sama dengan sebuah syarat yang disyaratkan
(disebutkan dengan jelas), walau sesuatu itu tidak disebut dalam sebuah akad
(tsansaksi) atau ucapan, sehingga sesuatu itu harus diposisikan (dihukumi) ada,
sebagaimana sebuah syarat yang telah disebut dalam sebuah akad haruslah ada atau
dilakukan. Namun dengan syarat sesuatu yang makruf atau masyhur itu tidak
bertentangan dengan syariat Islam.
Contoh: jika menurut kebiasaan umum seorang penjual AC bertanggung jawab
atas pemasangannya dan dianggap sebagai syarat dalam kontrak jual beli, maka itu
merupakan tanggung jawabnnya walaupun tak ada dalam kontrak.
Contoh selanjutnya yaitu kasus menjual buah dipohon, menurut qiyas,
hukumnya tidak boleh dan tidak sah, karena jumlahnya tidak jelas (majhul), tetapi
karena sudah menjadi kebiasaan yang umum dilakukan ditengan masyarakat, maka
ulama membolehkannya.
‫كل ما ورد به الشرع مطاقا وال ضابط له فيه وال اللغة يرجع فيه الى العرف‬
“Setiap ketentuan yang dikeluarkan oleh syara’ secara mutlak dan tidak ada
pembatasannya dalam syara’ dan dalam ketentuan bahasa, dikembalikan kepada urf”
Banyak ulama fiqh mengartikan „uruf sebagai kebiasaan yang dilakukan
banyak orang (kelompok) dan timbul dari kreatif-imajenatif manusia dalam
membangun nilai-nilai budaya.
ُ ‫جار كالمشرو‬
‫ط بينهم‬ ِ ُ ‫المعرف بينَ ت‬
ُ
“Sesuatu yang telah dikenal di antara pedagang berlaku sebagai syarat di
antara mereka”
Maksud kaidah ini yaitu sesuatu yang menjadi adat di antara pedagang, seperti
disyaratkan dalam transaksi. Kaidah ini lebih mengkhususkan adat atau urf yang ada
(terbiasa) diantara para pedagang saja, dimasukan disini dikarenakan masih dalam
kaitannya dengan kaidah al-adah muhakkamah. Sehingga maksud kaidah ini adalah

3
Maulana Hamzah, “Al-’Aadah Muhakkamah,” 1 November 2014, 25.

7
segala sesuatu yang sudah umum (biasa) dikenal dikalangan para pedagang, maka
posisi (status hukum) sesuatu ini adalah sama dengan seperti sebuah ketetapan syarat
yang berlaku diantara mereka, walau sesuatu itu tidak disebutkan dengan jelas dalam
sebuah akad atau ucapan.
Namun aplikasi kaidah ini tidak hanya berlaku untuk transaksi antara sesama
pedagang saja, akan tetapi juga berlaku antara pedagang dan pembeli, selama terkait
dalam bidang perdagangan, sekalipun bukan jual beli. Contoh lainnya yaitu antara
pedagang dan pembeli seperti biaya pengiriman barang menurut kebiasaan
perdagangan di Indonesia adalah menjadi tanggung jawab pembeli, sehingga walaupun
dalam akad pembelian meubel misalnya, tidak disebutkan biaya (ongkos) pengiriman,
maka hukumnya tetap ada dan menjadi tanggung jawab penjual.
Redaksi kaidah ini dalam sebagian referensi sedikit berbeda, namun arti dan
maksudnya tetap sama, yaitu kata ta’yin (ketentuan) diganti dengan kata thabit
(ketetapan), sehingga berbunyi al-thabit bi al-urf ka al-thabit bi al-nas. Maksud kaidah
ini tidak jauh berbeda dengan kaidah sebelumnya, hanya saja kaidah ini lebih
memperkuat aspek legalitasnya. Artinya posisi sebuah hukum yang didasarkan pada
adat (tradisi) dengan beberapa ketentuannya itu bisa sejajar kekuatan legalitas
hukumnya dengan nash syariat. Alhasil, sebuah ketetapan hukum atas dasar adat itu
sama seperti ketentuan hukum atas dasar nash syariat Islam. Sehinggga tidak ada alasan
bagi siapapun untuk menolaknya, terlebih jika telah diputuskan hakim dalam sebuah
sengketa misalnya perdata. Kaidah ini mirip atau searti dengan kaidah Tasbitu al-
Ma’ruf berikut:
‫التا بت باالمعرف كا لتا بت بالنص‬
“Yang ditetapkan oleh (adat) urf sama dengan yang ditetapkan oleh nash”
Contoh lainnya dalam kaidah ini yaitu, apabila orang memelihara sapi orang
lain, maka upah memeliharanya adalah anak dari sapi itu dengan perhitungan, anak
pertama untuk yang memelihara dan anak yang kedua utuk yang punya, begitulah
selanjutnya secara beganti-ganti.
E. Perbedaan antara antara al-Aadah dengan al-Urf
Perbedaan antara kedua istilah ini sering kali menimbulkan perbedaan pendapat,
dimana terdapat sebagian kelompok ulama yang melihat adanya perbedaan antara

8
istilah adat dan urf.4
Amir Syarifuddin juga melihat perbedaan urf dan adat, dari segi kandungan
artinya. Adat hanya memandang dari segi berulang kalinya suatu perbuatan dan tidak
meliputi penilaian mengenai segi baik dan burunya perbuatan tersebut. Tegasnya, kata
adat, berkonotasi netral, sehingga ada adat yang baik dan ada pula yang buruk.5
Para ulama yang membedakan antara ‘Urf dengan Adah memberikan alasannya
sebagaimana berikut ini:
1. Bahwa ‘Adah itu bisa berlaku secara umum, baik dilakukan oleh orang
banyak maupun individu. Sedangkan ‘Urf harus dilakukan oleh kebanyakan
orang, dan tidak dikatakan ‘Urf apa bila suatu kebiasaan yang hanya terjadi
pada individu tertentu.
2. ‘Adah bisa muncul secara alami sebagaimana yang berlaku di tengah ma
syarakat, sedangkan ‘Urf tidak bisa muncul secara alami tetapi harus melalui
pemikiran dan pengalaman.
3. ‘Adah tidak meliputi penilaian mngenai segi baik dan buruknya perbuatan
yang menjadi ‘Adah tersebut, sedangkan ‘Urf selalu memberiakan penilaian
pada segala sesuatu yang menjadi ‘Urf.
Sedangkan ulama yang cenderung menyamakan antara ‘Urf dengan ‘Adah
berpendapat bahwa tidak ada perbedaan yang prinsip antara ‘Urf dengan ‘Adah, karena
dua kata itu pengertiannya sama, yaitu: suatu perbuatan yang telah berulang-ulang
dilakukan menjadi dikenal Sedangkan ulama yang cenderung menyamakan antara ‘Urf
dengan ‘Adah berpendapat bahwa tidak ada perbedaan yang prinsip antara ‘Urf dengan
‘Adah, karena dua kata itu pengertiannya sama, yaitu: suatu perbuatan yang sudah
diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-ulang dan sesuai
dengan karakter pelakunya. Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah
seiring perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa hukum-hukum fiqh yang
tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat yang baik itu akan berubah bilamana
adat istiadat itu berubah.6
Perbedaan antar ulama diatas adalah dilatar belakangi oleh perbedaan cara

4
Fatmah Taufik Hidayat dan Mohd Izhar Ariff bin Mohd Qasim, “Kaedah Adat Muhakkamah dalam Pandangan
Islam (Sebuah Tinjauan Sosiologi Hukum),” Jurnal Sosiologi USK (Media Pemikiran & Aplikasi) 9, no. 1 (17
Juni 2016): 70.
5
Azzarqa Azzarqa dan Addiarrahman Addiarrahman, “Kritik Nalar Perbankan Syari’ah: Perspektif Legal
Maxim,” Az-Zarqa’: Jurnal Hukum Bisnis Islam 5, no. 2 (1 Desember 2013): 9,
https://doi.org/10.14421/azzarqa.v5i2.1312.
6
“Kaidah Al-’Aadah Muhakkamah | Imas Nurul F - Academia.edu,” 13.

9
mereka memandang ‘Urf dan ‘Adah. Ulama yang membedakan antara ‘Urf de ngan
‘Adah memandang dua permasala han tersebut dengan sangat luas, mereka menarik
permasalahn ‘Urf dan ‘Adah da lam berbagai disiplin ilmu, mulai dari budaya, tradisi,
social, dan yang lainnya, dan tidak terfokus pada permasalahan fiqih saja, berbeda
dengan Ulama yang cenderung menyamakan antara ‘Urf dengan ‘Adah, mereka
memandang dua permasalahan tersebut dari sisi istilah Fiqh yang kebanyakan para
Fuqaha’ tidak membedakan keduanya. Salah satu buktinya adalah munculnya Qa’idah
Fiqhiyah; Al-Adah Muhakkamah yang dalam kaidah tersebut menggunakan kata ‘Adah
tetapi sebenarnya yang dimaksud bukan hanya ‘Adah tapi juga ‘Urf.7
Terlepas pro dan kontra pendapat antara ulama yang menganggap sama atau
tidak antara al- ‘Adah dan al-Urf karena tidak ada perbedaan yang signifikan terlebih
lagi tidak menimbulkan konsekuensi hukum yang berbeda, maka dari beberapa definisi
terminologi diatas secara umum bisa disimpulkan bahwa antara al- ‘Adah dan al-Urf
dapat dicirikan menjadi empat unsur, yaitu:
1. Hal-hal (perkataan atau perbuatan) yang dilakukan berulangkali dan telah
tertanam dalan diri.
2. Menjadi hal yang lumrah dan mudah dilakukan, spontanitas atau tidak
3. Acceptable (diterima sebagai sebuah Apresiasi yang baik).
4. Berlangsung terus (Applicable) dan konstan serta merata atau mayoritas dalam
suatu daerah
Sedangkan Muhakkamah adalah bentuk Maf’ul dari Masdar Tahkim yang
berarti penyelesaian masalah, jadi al-Adah baik umum atau khusus, dapat dijadikan
sandaran penetapan atau penerapan suatu ketentuan hukum ketika terjadi permasalahan
yang tidak ditemukan ketentuannya secara jelas dan tidak ada pertentangan dengan
suatu aturan hukum yang besifat khusus atau meskipun terdapat pertentangan dengan
suatu aturan hukum yang besifat umum
F. Kedudukan adah dan urf dalam pandangan fuqaha’
Untuk mengetahui masalah kedudukan adah atau urf sebagai salah satu patokan
hukum, fuqohah beragam pendapat dalam memeganginya sebagai dalil hukum, yaitu
sebagai berikut:
1. Abu Hanifah : Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, dan urf masyarakat.
2. Imam Malik: Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, istishhab, maslahah

7
Jazil, “‘A>dah dan ‘Urf sebagai Metode Istinba<t Hukum Islam,” 322.

10
mursalah, syadduzdharai dan urf.
3. Malikiyyah, membagi adah kebiasaan atau urf menjadi tiga, yaitu:
a. Yang dapat ditetapkan sebagai hukum lantaran nash menunjukkan,
b. Jika mengamalkannya berarti mengamalkan yang dilarang atau mengabaikan
syara’
c. Yang tidak dilarang dan tidak diterima dan tidak diterima lantaran tidak ada
larangan.
d. Imam Syafi’i tidak mempergunakan urf atau adah sebagai dalil, karena beliau
berpegang pada al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan ijtihad yang hanya dibatasi
dengan qiyas saja. Karena itulah keputusan yang telah diambil oleh imam
syafi’i dalam wujud “qaul jadid” itu merupakan suatu imbangan terhadap
penetapan hukumnya di bagdad dalam wujud qaul qadim.

11
BAB III

PENUTUP

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bahwasannya Kaidah fikih asasi kelima adalah tentang adat atau


kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan
kebiasaan yaitu al-„adat dan al-urf. al-adah atau al-urf adalah Apa yang
dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum yang dilakukan secara
berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan. Istilah adat dan al-Urf memang
berbeda jika ditinjau dari dua aspek yang berbeda pula. Perbedaannya, istilah adat
hanya menekankan pada aspek pengulangan pekerjaan. Sementara al-Urf hanya
melihat pelakunya.
Di samping itu adat bisa dilakukan secara umum, baik dilakukan oleh orang
banyak maupun individu. Sedangkan ‘Urf harus dilakukan oleh kebanyakan orang,
dan tidak dikatakan ‘Urf apa bila suatu kebiasaan yang hanya terjadi pada individu
tertentu. Sederhananya, adat hanya melihat aspek pekerjaan, sedangkan al-Urf lebih
menekankan aspek pelakunya. persamaannya, adat dan al-Urf adalah sebuah
pekerjaan yang sudah diterima akal sehat, tertanam dalam hati, dilakukan berulang-
ulang dan sesuai dengan karakter pelakunya. Hukum yang didasarkan pada adat
akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat dalam arti bahwa hukum-hukum
fiqh yang tadinya di bentuk berdasarkan adat istiadat yang baik itu akan berubah
bilamana adat istiadat itu berubah.
B. Saran

Dari makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi
kita semua khususnya kami pribadi. Yang baik datangnya dari Allah, dan yang
buruk datangnya dari kami. Dan kami sadar bahwa makalah kami ini jauh dari kata
sempurna, masih banyak kesalahan dari berbagai sisi, jadi kami harapkan saran dan
kritiknya yang bersifat membangun, untuk perbaikan makalah-makalah
selanjutnya.

12
DAFTAR PUSTAKA

Azzarqa, Azzarqa, Dan Addiarrahman Addiarrahman. “Kritik Nalar Perbankan Syari’ah:


Perspektif Legal Maxim.” Az-Zarqa’: Jurnal Hukum Bisnis Islam 5, No. 2 (1 Desember
2013). Https://Doi.Org/10.14421/Azzarqa.V5i2.1312.
Hamzah, Maulana. “Al-’Aadah Muhakkamah,” 1 November 2014.
Hidayat, Fatmah Taufik, Dan Mohd Izhar Ariff Bin Mohd Qasim. “Kaedah Adat Muhakkamah
Dalam Pandangan Islam (Sebuah Tinjauan Sosiologi Hukum).” Jurnal Sosiologi USK
(Media Pemikiran & Aplikasi) 9, No. 1 (17 Juni 2016): 67–83.
Jazil, Saiful. “‘A>Dah Dan ‘Urf Sebagai Metode Istinba<T Hukum Islam,” T.T., 12.
“Kaidah Al-’Aadah Muhakkamah | Imas Nurul F - Academia.Edu.” Diakses 11 November
2022. Https://Www.Academia.Edu/24930870/Kaidah_Al_Aadah_Muhakkamah.

13

Anda mungkin juga menyukai