Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

RAGAM KEISLAMAN DI JAWA

Mata kuliah : Islam dan Budaya Lokal


Dosen Pengampu : Moch. Junaidi Abdillah, M.H.

Di susun oleh:
M Zain Maulana SAH (2120110029)
Ainu Nabila Ibriza(2120110030)
Zainal rifki (2120110031)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS

TAHUN 2021
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh.
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan
hidayah-Nya kepada kita, sehingga dapat menyelesaikan makalah mata kuliah Islam
Budaya Lokal yang berjudul “Ragam Keislaman di Jawa” dengan baik. Sholawat
serta salam tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang kita nantikan
syafaatnya dihari kiamat kelak.
Penulis tentu menyadari bahwa kemampuan penulis dalam menyusun
makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan
serta kekurangan didalamnya, Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan
saran,supaya makalah ini nantiya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar besarnya.
Wasslamu’alaikum Warohmatullah Wabarokatuh.

Kudus, 11 November 2021


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat jawa atau tepatnya suku jawa, secara antropologi budaya adalah
orang orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa jawa dengan
berbagai dialeknya secara turun temurun.1

Masyarakat Jawa sangat kental dengan masalah tradisi dan budaya. Tradisi
dan budaya Jawa hingga akhir-akhir ini masih mendominasi tradisi dan budaya
nasional di Indonesia. Di antara faktor penyebabnya adalah begitu banyaknya orang
Jawa yang menjadi elite negara yang berperan dalam percaturan kenegaraan di
Indonesia sejak zaman sebelum kemerdekaan maupun sesudahnya. Nama-nama
Jawa juga sangat akrab di telinga bangsa Indonesia, begitu pula jargon atau istilah-
istilah Jawa. Hal ini membuktikan bahwa tradisi dan budaya Jawa cukup memberi
warna dalam berbagai permasalahan bangsa dan negara di Indonesia.
Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum
bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawanya, meskipun terkadang tradisi dan
budaya itu bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Memang ada beberapa tradisi
dan budaya Jawa yang dapat diadaptasi dan terus dipegangi tanpa harus berlawanan
dengan ajaran Islam, tetapi banyak juga budaya yang bertentangan dengan ajaran
Islam. Masyarakat Jawa yang memegangi ajaran Islam dengan kuat (kaffah)
tentunya dapat memilih dan memilah mana budaya Jawa yang masih dapat
dipertahankan tanpa harus berhadapan dengan ajaran Islam. Sementara masyarakat
Jawa yang tidak memiliki pemahaman agama Islam yang cukup, lebih banyak
menjaga warisan leluhur mereka itu dan mempraktekkannya dalam kehidupan
mereka sehari-hari, meskipun bertentangan dengan ajaran agama yang mereka anut.
Fenomena seperti ini terus berjalan hingga sekarang.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan dalam Makalah ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:

1
Ismawati, “Budaya dan Kepercayaan Jawa Masa Pra-Islam” dalam Darori Amin (ed) Islam dan Budaya Jawa.
Yogjakarta: Gama Media, 2000, hlm. 3-4.
A. Rumusan Masalah
A. Apa yang di maksud Budaya Jawa dan Islam Kejawen?
B. Apa yang dimaksud Perspektif Islam tentang Tradisi dan Budaya Jawa?
C. Tradisi Islam di Jawa

B. Tujuan Masalah
A. Untuk Mengetahui Budaya Jawa dan Islam Kejawen
B. Untuk Mengetahui Perspektif Islam tentang Tradisi dan Budaya Jawa
C. Untuk Mengetahui Tradisi tradisi islam yang ada di Jawa
BAB II
PEMBAHASAN

A. Budaya Jawa dan Islam Kejawen


Pola pengislaman di Jawa dimulai dengan adanya saudagar-saudagar asing
yang telah memperoleh pengakuan dan kewibawaan serta kekuasaan untuk
mendirikan sebuah lembaga seperti pesantren atau Masjid.2 Hasil dari upaya tersebut
lambat laun semakin banyak masyarakat yang kemudian masuk Islam. Di mana
Islam pada masa awal pertumbuhannya memiliki akar budaya Jawa. Itu disebabkan
para bangsawan Jawa masih melestarikan tradisi Hindu Jawa, bahkan mubalig
pertama yakni para wali songo melakukan pengislaman hidup dalam tradisi Jawa.
Islam di Jawa pada periode awal telah banyak memberikan kelonggaran
terhadap masyarakat Jawa khususnya dalam segi praktik-praktik atau ritual
keagamaan yang mana ritual keagamaan yang dibangun berdasarkan praktik dari
agama sebelumnya yakni agama Hindu dan Budha. Meski demikian di Jawa pada
waktu itu tidak memberikan dualisme agama yakni Hindu dan Islam. Akan tetapi
Islam justru memberikan kelonggaran terhadap masyarakatnya sehingga Islam
mudah diterima oleh masyarakat Jawa pada umumnya. Misalnya metode yang
digunakan oleh salah satu wali penyebar ajaran Islam yakni Sunan Kalijaga.3 dengan
cara masuk ke desa-desa pedalaman Jawa kemudian mengislamkan masyarakat
setempat dengan menggunakan wayang.
Lain halnya karakteristik yang paling tampak dari pola abangan di Jawa
sekaligus menjadi pembeda dengan santri adalah sikap relativisme dan
keterikatannya terhadap adat setempat. Di mana adat setempat begitu kental dengan
budaya Jawa. Sementara di kalangan santri, perhatian terhadap doktrin hampir
mengalahkan aspek ritual Islam yang telah menipis. Geertz tidak menekankan aspek
mistik yang dibangun oleh Sufi. Sementara Woodward lebih menyinggung Sufi
dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad sebagai Nabi terakhir sekaligus
mewakili kesempurnaan gagasan mistik yang orang lain tidak bisa menirunya, ia
adalah sosok panutan umat, khususnya Islam. Yang menjadi persoalan adalah
kelahiran Nabi Muhammad terus dirayakan oleh Umat Muslim bahkan sudah
mentradisi. Orang Jawa biasanya menyebut “slametan” kelahiran.
Adapun sebagian besar masyarakat Jawa telah memiliki suatu agama secara
formal, namun dalam kehidupannya masih nampak adanya suatu sistem
kepercayaan yang masih kuat dalam kehidupan religinya, seperti kepercayaan
terhadap adanya dewa, makhluk halus, atau leluhur. kebaikan, dan

2
Muchtarom, Santri Dan Abangan Di Jawa. hlm 22.
3
M. Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa. (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm 299- 30
Tuhannya. Salah satu contoh dari pendapat tersebut adalah adanya kebiasaan pada
masyarakat Jawa terutama yang menganut Islam Kejawen untuk ziarah (datang) ke
makam-makam yang dianggap suci pada malam Selasa Kliwon dan Jum’ah Kliwon
untuk mencari berkah.
Masyarakat Jawa yang menganut Islam Kejawen dalam melakukan berbagai
aktivitas sehari-hari juga dipengaruhi oleh keyakinan, konsep-konsep, pandangan-
pandangan, nilai-nilai budaya, dan norma-norma yang kebanyakan berada di alam
pikirannya. Menyadari kenyataan seperti itu, maka orang Jawa terutama dari
kelompok kejawen tidak suka memperdebatkan pendiriannya atau keyakinannya
tentang Tuhan. Mereka tidak pernah menganggap bahwa kepercayaan dan
keyakinan sendiri adalah yang paling benar dan yang lain salah. Sikap batin yang
seperti inilah yang merupakan lahan subur untuk tumbuhnya toleransi yang amat
besar baik di bidang kehidupan beragama maupun di bidang-bidang yang lain.
Tradisi dan budaya itulah yang barangkali bisa dikatakan sebagai sarana
pengikat orang Jawa yang memiliki status sosial yang berbeda dan begitu juga
memiliki agama dan keyakinan yang berbeda. Kebersamaan di antara mereka
tampak ketika pada momen-momen tertentu mereka mengadakan upacara-upacara
(perayaan) baik yang bersifat ritual maupun seremonial yang sarat dengan nuansa
keagamaan. Di Yogyakarta khususnya, momen Suran (peringatan menyambut
tahun baru Jawa yang sebenarnya juga merupakan tahun baru Islam) dan Mulud
(peringatan hari lahir Nabi Muhammad Saw.) dirayakan cukup meriah dengan
berbagai upacara keagamaan yang bernuansa kejawen. Dalam dua momen tersebut
masyarakat Jawa, terutama yang menganut Islam Kejawen (juga yang berasal dari
penganut agama selain Islam), secara rutin dan khidmat melakukan berbagai
aktivitas yang bernuansa agama dan budaya. Tradisi Suran banyak diisi dengan
aktivitas keagamaan untuk mendapatkan berkah dari Tuhan yang oleh masyarakat
Yogyakarta disimbulkan Kanjeng Ratu Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan). Upacara
besarnya diadakan oleh Kraton Ngayogyakarta dan dipusatkan di Parangkusuma
(Parangtritis), yaitu di kawasan pantai selatan. Di tempat-tempat lain juga dilakukan
acara dengan model dan tujuan yang serupa. Mereka pada momen tersebut juga
mengadakan pentas seni dan budaya untuk menghibur masyarakat pada umumnya.
Pada momen Mulud masyarakat Yogyakarta mengadakan perayaan besar yang
disebut Sekaten yang dipusatkan di lingkungan Kraton Ngayogyakarta.
B. Perspektif Islam tentang Tradisi dan Budaya Jawa

Setelah dikaji secara singkat mengenai tradisi dan budaya Jawa dengan
berbagai bentuknya maka selanjutnya yang perlu dikaji adalah bagaimana tradisi
dan budaya Jawa tersebut dalam perspektif Islam. Sebelum mengkaji permasalahan
ini lebih jauh, perlu dijelaskan secara singkat karakteristik Islam yang memiliki
ajaran yang sempurna, komprehensif, dan dinamis.
Sebagai agama yang sempurna, Islam memiliki ajaran-ajaran yang memuat
keseluruhan ajaran yang pernah diturunkan kepada para nabi dan umat-umat
terdahulu dan memiliki ajaran yang menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia
di mana pun dan kapan pun. Dengan kata lain, ajaran Islam sesuai dan cocok untuk
segala waktu dan tempat (shalihun likulli zaman wa makan). Secara umum, ajaran-
ajaran dasar Islam yang bersumberkan al-Quran dan hadis Nabi Muhammad Saw.
dapat dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu aqidah, syariah, dan akhlak. Aqidah
menyangkut ajaran- ajaran tentang keyakinan atau keimanan, syariah menyangkut
ajaran-ajaran tentang hukum-hukum yang terkait dengan perbuatan orang mukallaf
(orang Islam yang sudah dewasa), dan akhlak menyangkut ajaran-ajaran tentang
budi pekerti yang luhur (akhlak mulia). Ketiga kerangka dasar Islam ini sebenarnya
merupakan penjabaran dari beberapa ayat al-Quran (seperti QS. al-Nur (24): 55, al-
Tin (95): 6, dan al-‘Ashr (103): 3) dan satu hadis Nabi Muhammad Saw. yang
diriwayatkan oleh Muslim dari Shahabat Umar bin Khaththab yang berisi tentang
konsep iman, islam, dan ihsan. Aqidah merupakan penjabaran dari konsep iman,
syariah merupakan penjabaran dari konsep islam, dan akhlak merupakan penjabaran
dari konsep ihsan.
Dengan paparan singkat mengenai Islam di atas, maka dapat dijelaskan di
sini bahwa masalah tradisi dan budaya Jawa sangat terkait dengan ajaran-ajaran
Islam, terutama dalam bidang aqidah dan syariah. Kalaupun ada yang terkait
dengan bidang akhlak, hal itu tidak dibicarakan dalam tulisan ini. Untuk melihat
apakah tradisi dan budaya yang sudah mengakar di tengah-tengah masyarakat Jawa
itu sesuai dengan ajaran Islam atau tidak, maka hal itu dapat dikaji dengan
mendasarkan diri pada ajaran- ajaran Islam yang terkait dengan bidang aqidah dan
syariah. Sebab tradisi dan budaya Jawa seperti yang dijelaskan di atas menyangkut
masalah keyakinan, seperti keyakinan akan adanya sesuatu yang dianggap ghaib
dan memiliki kekuatan seperti Tuhan, dan juga menyangkut masalah perilaku ritual,
seperti melakukan persembahan dan berdoa kepada Tuhan dengan berbagai cara
tertentu, misalnya dengan sesaji atau dengan berdoa melalui perantara.

Pada prinsipnya masyarakat Jawa adalah masyarakat yang religius, yakni


masyarakat yang memiliki kesadaran untuk memeluk suatu agama. Hampir semua
masyarakat Jawa meyakini adanya Tuhan Yang Maha Kuasa yang menciptakan
manusia dan alam semesta serta yang dapat menentukan celaka atau tidaknya
manusia di dunia ini atau kelak di akhirat. Yang perlu dicermati dalam hal ini
adalah bagaimana mereka meyakini adanya Tuhan tersebut. Bagi kalangan
masyarakat Jawa yang santri, hampir tidak diragukan lagi bahwa yang mereka
yakini sesuai dengan ajaran-ajaran aqidah Islam. Mereka meyakini bahwa tidak ada
Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan mereka menyembah Allah dengan
cara yang benar. Sementara bagi kalangan masyarakat Jawa yang abangan, Tuhan
yang diyakini bisa bermacam-macam. Ada yang meyakini-Nya sebagai dewa dewi
seperti dewa kesuburan (Dewi Sri) dan dewa penguasa pantai selatan (Ratu Pantai
Selatan). Ada juga yang meyakini benda-benda tertentu dianggap memiliki ruh
yang berpengaruh dalam kehidupan mereka seperti benda-benda pusaka
(animisme), bahkan mereka meyakini benda-benda tertentu memiliki kekuatan
ghaib yang dapat menentukan nasib manusia seperti makam orang- orang tertentu
(dinamisme). Mereka juga meyakini ruh-ruh leluhur mereka memiliki kekuatan
ghaib, sehingga tidak jarang ruh-ruh mereka itu dimintai restu atau izin ketika
mereka melakukan sesuatu. Jelas sekali apa yang diyakini oleh masyarakat Jawa
yang abangan ini bertentangan dengan ajaran aqidah Islam yang mengharuskan
meyakini Allah Yang Mahaesa. Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah
Swt. Orang yang meyakini ada tuhan (yang seperti tuhan) selain Allah maka
termasuk golongan orang-orang musyrik yang sangat dibenci oleh Allah dan di
akhirat kelak mereka diharamkan masuk ke surga dan tempatnya yang paling layak
adalah di neraka (QS. al- Maidah (5): 72). Perbuatan seperti itu dinamakan
perbuatan syirik yang dosanya tidak akan diampuni oleh Allah (QS. al-Nisa’ (4):
166).

C. Tradisi Islam di Jawa

Islam yang datang ke Indonesia adalah agama asing, karena hampir di


semua wilayah Nusantara masyarakatnya sudah memiliki kepercayaan dan tradisi
keberagamaan sendiri yang sudah mapan. Walaupun demikian, Islam yang
membawa keberagamaan dan kepercayaan ternyata memberi sensasi baru terhadap
kehidupan beragama masyarakat Indonesia. Agama Islam termasuk agama
misionaris, yang dalam perkembangan dakwahnya mengalami pertumbuhan yang
cukup pesat, sehingga melembaga dan memperoleh hasil yang gemilang, serta
mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam.4

Islam dan Jawa merupakan entitas yang tidak bisa disamakan, tetapi
sekaligus tidak bisa dihilangkan begitu saja. Demikian erat hubungannya, sehingga
membahas Islam di Jawa akan bertemu dengan tradisi Jawa yang sudah
menahun.Tradisi yang sudah menahun tersebut berkembang dan lestari bahkan
setiap tahunnya digelar. merayakan tradisi-tradisi yang nampak berlebihan dianggap
sebagai solidaritas agar selalu terjalin persatuan karena hal itu terjadi satu kali
dalam setahun, namun ada juga masyarakat yang mengadakan tradisi-tradisi Jawa
secara sederhana. Oleh karena itu, prinsip harmoni masyarakat Jawa sering
diungkapkan dengan istilah bahasa “Jawa tata titi tentrem raharjo” yang
bermakna tertata, cermat, tentram, dan sejahtera. Dari apa yang telah dijelaskan di
atas mengenai tradisi Jawa yang telah terkafer oleh nilai-nilai keislaman, tentunya
tradisi itu masih ada sampai sekarang dan setiap tahunnya selalu digelar secara
sederhana dan mewah. Sebagai berikut adalah tradisi-tradisi Jawa-Islam yang masih
eksis sampai sekarang:

1. Adat di Bulan Suro 1 Muharram: Kirab Pusaka Keraton

Bulan Muharram merupakan salah satu nama bulan dari kalender Islam,
yang disebut juga tahun baru Hijriyah yang dimulai tanggal 1 Muharram.
Konon katanya dalam kepercayaan masyarakat Jawa, bahwasannya tanggal 1
Muharram itu dilarang untuk membuat acara pernikahan, khitanan atau yang
lain. Karena pada tanggal ini banyak kejadian-kejadian diluar nalar manusia,
yaitu banyak bencana yang datang secara tiba-tiba. Hal ini senada dengan apa
yang dikutip oleh Wahyana Giri, bahwasannya bulan Suro bagi kebanyakan
orang diartikan sebagai bulan yang sangar, menyeramkan bahkan diidentikkan
sebagai bulan yang penuh bencana dan laknat, bulannya para hantu, lelembut,
setan, dan sejenisnya.5

2. Adat di Bulan Sapar (Shafar): Ritual Ya Qowiyyu


4
Samidi khalim, Islam dan Spiritualitas Jawa, (Semarang: Rasail Media Group, 2008), hlm 1.
5
Wahyana Giri, Sajen dan Ritual Orang Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2009), hlm 53.
Ritual Ya Qowiyyu merupakan tindakan untuk memperingati hari
meninggalnya (haul) Ki Ageng Gribig, tokoh penyebar Islam di wilayah
Jatinom Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah. Adat ini selalu diadakan
setiap tahunnya, yaitu pada hari Jum`at yang paling dekat dengan tanggal 15
bulan Shafar pada penanggalan Hijriyah. Tujuan dari ritual ini adalah
memperingati haul Ki Ageng Gribik dengan harapan agar para generasi muda
meneladani aspek kehidupan beliau yang penuh dengan kesederhanaan.6

3. Adat di Bulan Mulud (Rabi`ul Awal): Sekaten

Tradisi Sekaten di bulan Mulud merupakan kekayaan budaya Iawa yang


telah lama hidup di tengah-tengah masyarakat Jawa. Tradisi yang pada awalnya
dilakukan oleh Walisanga ini merupakan media untuk menyebarkan agama
Islam. Tradisi ini dilaksanakan pada tanggal 5-12 Mulud (Rabiul Awal) karena
untuk memperingati kelahiran nabi Muhammad.48 Dengan alasan karena nama
bulan Mulud tersebut diambil dari perkataan arab yang artinya kelahiran.7

4. Adat di Bulan Rajab: Upacara Peksi Buraq

Bulan Rajab merupaka bulan yang dimulyakan oleh Allah SWT. karena di
dalam bulan tersebut ada peristiwa yang sangat bersejarah, yaitu Isra` Mi`raj.
Isra` Mi`raj terjadi pada tanggal 27 Rajab, yaitu pada tahun ke-11 dari kenabian
Nabi Muhammad. Beliau berisra` dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha
dengan menggunakan Buraq dan diteruskan ke Sidrotul Muntaha, langit
tertinggi untuk menerima perintah shalat lima waktu. Peristiwa ini juga
termasuk pelipur lara bagi Nabi Muhammad karena ditinggal wafat oleh istinya,
Khadijah dan pamannya, Abu Thalib
5. Adat di Bulan Ruwah (Sya`ban): Sadranan
Tradisi dibulan sya`ban atau lebih familiarnya kita sebut dengan Sya`banan
yang merupakan kegiatan keagamaan yang telah menjadi tradisi masyarakat
Jawa yang dilaksanakan setiap tahunnya pada bulan Sya`ban. Pada tanggal 17
sampai 24 bulan Ruwah (Sya`ban) dilakukan slametan sadranan. Sadaranan
diadakan guna menghormati para leluhur yang telah meninggal dunia. Bagi
masyarakat Jawa, para leluhur sangatlah penting peranannya bagi masyarakat
Jawa. Tanpa jasa mereka, keberadaan manusia yang sekarang ini mungkin tidak
seenak sebagaimana yang kita rasakan saat ini. Oleh karena itu, untuk
6
Ismail Yahya dkk, Adat-adat Jawa, hlm 31.
7
Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta: Pustaka Jaya. 1981), hlm 105.
mengingat jasa-jasa para leluhur dan mendoakannya agar diberi ampunan oleh
Allah SWT., masyarakat Jawa mengadakan slametan Sya`banan yang berupa
sadran yang dilakukan di laut.
6. Adat di Bulan Pasa (Ramadhan): Slametan, Maleman, dan Malem Selikuran
Bulan Ramadhan merupakan bulan yang mulia dalam ajaran Islam. Di
dalam bulan inilah al-Qur`an diturunkan sebagai petunjuk bagi umat manusia.
Bagi masyarakat Jawa, bulan ini dijadikan sebagai ajang slametan yang
sederhana yang dinamakan slametan maleman dan karena dilaksanakan sesudah
tanggal 20, yaitu 21,23, 25, 27, 29 Ramadhan sering juga disebut malem
slikuran.
7. Adat di Bulan Syawal: Grebeg Sawal
Grebeg Sawal merupakan bentuk tradisi masyarakat Jawa yang dijiwai oleh
rasa syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. terutama nikmat bisa
melaksanakan ibadah puasa Ramadhan.
8. Adat di Bulan Besar (Dzulhijjah): Grebeg Besar
Di Jawa, Khususnya di Yogyakarta, untuk merayakan Idul Adha diadakan
upacara Grebeg Besar pada tanggal 10 Dzulhijjah. Disebut Grebeg Besar karena
hari raya Idul Adha dalam bahasa arab juga disebut dengan Id AlKabir yang
bermakna perayaan besar.8

8
Ismail Yahya dkk, Adat-adat Jawa, hlm 103.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Sebagai catatan penutup perlu ditegaskan bahwa Islam tidak sama sekali
menolak tradisi atau budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Dalam penetapan hukum Islam dikenal salah satu cara melakukan ijtihad yang
disebut ‘urf, yakni penetapan hukum dengan mendasarkan pada tradisi yang
berkembang dalam masyarakat. Dengan cara ini berarti tradisi dapat dijadikan
dasar penetapan hukum Islam dengan syarat tidak bertentangan dengan ajaran
Islam yang tertuang dalam al- Quran dan hadis Nabi Saw. Di Indonesia banyak
berkembang tradisi di kalangan umat Islam yang terus berlaku hingga sekarang,
seperti tradisi lamaran, sumbangan mantenan, peringatan hari-hari besar
keagamaan, dan lain sebagainya. Selama ini tidak bertentangan dengan ajaran
Islam maka tradisi-tradisi seperti itu dapat dilakukan dan dikembangkan.
Sebaliknya, jika bertentangan dengan ajaran Islam, maka tradisi-tradisi itu harus
ditinggalkan dan tidak boleh dikembangkan.

B. Penutup
Manusia adalah tempatnya salah dan dosa, maka dari kami menyadari akan
banyak kesalahan dalam makalah ini jadi kami butuh kritik dan saran saudara
pembaca supaya kami kedepannya bisa lebih baik lagi dalam menulis makalah,
dan tidak ketinggalan, kami selaku penulis makalah ini mengucapkan maaf
sebesar-besarnya atas kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini, jadi kami
butuh kritik dan saudara pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Ismawati, “Budaya dan Kepercayaan Jawa Masa Pra-Islam” dalam Darori


Amin (ed)

Islam dan Budaya Jawa. Yogjakarta: Gama Media, 2000,

Muchtarom, Santri Dan Abangan Di Jawa.

Pranowo Bambang M, Memahami Islam Jawa. (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),

Khalim Samidi, Islam dan Spiritualitas Jawa, (Semarang: Rasail Media Group,
2008),

Giri Wahyana, Sajen dan Ritual Orang Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2009),

Yahya Ismail dkk, Adat-adat Jawa,

Geertz Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta:


Pustaka Jaya. 1981),

Anda mungkin juga menyukai