Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

SEJARAH ISLAM DI JAWA


Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah : Sejarah Islam
Dosen Pengampu : H. Ahmad Nawawi. S. Ag

Oleh :
1. Selly Dwi Ayu (14.07.)
2. Monika Rezeki Melinda (14.07.)
3. Rabiatul Adawiah (14.07.0207)
4. Nafisah Muslihani (14.07.)
5. Imamul Mutaqin (14.07.)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS ISLAM KALIMANTAN
MUHAMMAD ARSYAD AL-BANJARY
TAHUN 2018
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah


SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nyalah sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul “Kerajaan Islam di Pulau Jawa”. Salawat
serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan dan suri tauladan kita
Nabi Besar Muhammad SAW, beserta para keluarganya, para sahabatnya dan para
umatnya hingga akhir zaman.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata pelajaran sejarah, serta
bertujuan agar pembaca dapat mengetahui penyebaran islam di Indonesia melalui
kerajaan-kerajaan islam di pulau Jawa .
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut
serta membantu dalam proses penyelesaian makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan memberi pengetahuan bagi
berbagai kalangan. Penulis tahu makalah ini jauh dari sempurna dan banyak
kekurangannya. Untuk itu penulis mohon saran serta kritik membangun dari
pembaca guna dapat memperbaiki segala kekurangan ini di kemudian hari.

Karawang, Februari 2015

Penulis
DAFTAR ISI

Judul Halaman
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
KATA PENGANTAR ...................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1


A. Latar Belakang ........................................................................................
B. Rumusan Masalah ...................................................................................
BAB II . GAMBARAN UMUM....................................................................
A. Sejarah Awal Agama Islam Masuk Ke Tanah Jawa ...............................
B. Teori-Teori Masuknya Islam di Jawa .....................................................
C. Teori-teori Penyebaran Islam di Jawa .....................................................
D. Peranan Walisongo..................................................................................
E. Strategipenyebaran Islam di Jawa ...........................................................
BAB III . HASIL KEGIATAN .........................................................................
A. Kesimpulan .............................................................................................
B. Penutup....................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Islam di Nusantara, bukan hadir dalam wajah tunggal namun kaya akan
corak dan karakteristik sebagai wujud dari artikulasi doktrin Islam yang
beragam. Keberagaman tersebut dapat dikarenakan oleh sejarah dan konteks
yang berbeda yang melahirkan perilaku yang beragam tersebut. Islam nusantara
bukanlah bersifat a-historis. Faktanya, ada banyak “Islam” sebagai identitas
sosial masyarakat muslim Nusantara yang menunjukan historisitas Islam
Nusantara. Ada Islam NU, Muhammadiyah, Wahabi, Kejawen, Liberal, dan
lain sebagainya. Keberagaman tersebut bukan hanya terkait dengan aspek
ekspresi keberagamannya, namun juga menyentuh wilayah nalar epistemisnya.
Keberagaman Islam yang demikianlah yang membuat tanah Indonesia semakin
kaya akan citra beragama rakyat Nusantara.
Salah satu “Islam” yang meramaikan dunia agama Nusantara adalah
Islam Jawa. Jawa merupakan satu daerah yang memiliki kebudayaan yang
cukup berpengaruh di Indonesia. Kedatangan Hindu dan kebudayaannya di
Jawa berkembanglah Hindu-Jawa. Demikian pula dengan masuknya Islam.
Sampai sekarang, Islamisasi di Jawa masih mengalami perdebatan historiografi.
Sementara tanggapan terhadap wacana sejarah Islamisasi di Jawa telah meluas
di kalangan publik. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dijelaskan sejarah-
sejarang tentang masuknya Islam di Jawa.

B. Rumusan Masalah
1. Sejarah awal masuknya Islam ke tanah jawa ?
2. Apa teori-teori masuknya Islam di Jawa?
3. Apa teori-teori Penyebaran Islam di Jawa?
4. Bagaimana peran walisongo dalam mengislamkan tanah Jawa?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Awal Agama Islam Masuk Ke Tanah Jawa


Sebelum Islam masuk ke tanah Jawa, mayoritas masyasarakat jawa
menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Selain menganut
kepercayaan tersebut masyarakat Jawa juga dipengaruhi oleh unsur-unsur
budaya Hindu dan Budha dari India. Seiring dengan waktu berjalan tidak lama
kemuadian Islam masuk ke Jawa melewati Gujarat dan Persi dan ada yang
berpendapat langsung dibawa oleh orang Arab.
Kedatangan Islam di Jawa dibuktikan dengan ditemukannya batu nisan
kubur bernama Fatimah binti Maimun serta makam Maulana Malik Ibrahim.
Saluran-saluran Islamisasi yang berkembang ada enam yaitu: perdagangan,
perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik. Rumusan masalah yang
akan dibahas dalam makalah ini adalah Bagaimanakah proses Islam masuk ke
tanah Jawa?, Bagaimana masyarakat Jawa sebelum Islam datang?, Bagaimana
peran Wali Songo dan metode pendekatannya?, Dan bagaimana Islam di Jawa
paska Wali Songo? Dengan tujuan untuk mengetahui keadaan masyarakat Jawa
sebelum Islam datang, peran Wali Songo di tanah Jawa dan metode
pendekatannya, serta keadaan Islam di Jawa paska Wali Songo.
1. Islam Masuk Ke Tanah Jawa
Di Jawa, Islam masuk melalui pesisir utara Pulau Jawa ditandai dengan
ditemukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada
tahun 475 Hijriah atau 1082 Masehi di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik.
Dilihat dari namanya, diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah
satu dinasti di Persia. Di samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Maulana
Malik Ibrahim dari Kasyan (satu tempat di Persia) yang meninggal pada tahun
822 H atau 1419 M. Agak ke pedalaman, di Mojokerto juga ditemukan ratusan
kubur Islam kuno. Makam tertua berangka tahun 1374 M. Diperkirakan
makam-makam ini ialah makam keluarga istana Majapahit.
a. Masyarakat Jawa Sebelum Islam Datang
1) Jawa Pra Hindu-Budha
Situasi kehidupan “religius” masyarakat di Tanah Jawa sebelum
datangnya Islam sangatlah heterogen. Kepercayaan import maupun
kepercayaan yang asli telah dianut oleh orang Jawa. Sebelum Hindu dan
Budha, masyarakat Jawa prasejarah telah memeluk keyakinan yang
bercorak animisme dan dinamisme. Pandangan hidup orang Jawa adalah
mengarah pada pembentukan kesatuan numinous antara alam nyata,
masyarakat, dan alam adikodrati yang dianggap keramat.
Di samping itu, mereka meyakini kekuatan magis keris, tombak,
dan senjata lainnya. Benda-benda yang dianggap keramat dan memiliki
kekuatan magis ini selanjutnya dipuja, dihormati, dan mendapat
perlakuan istimewa.
2) Jawa Masa Hindu-Budha
Pengaruh Hindu-Budha dalam masyarakat Jawa bersifat
ekspansif, sedangkan budaya Jawa yang menerima pengaruh dan
menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme setelah melalui proses
akulturasi tidak saja berpengaruh pada sistem budaya, tetapi juga
berpengaruh terhadap sistem agama.
Sejak awal, budaya Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha
bersifat terbuka untuk menerima agama apapun dengan pemahaman
bahwa semua agama itu baik, maka sangatlah wajar jika kebudayaan
Jawa bersifat sinkretis (bersifat momot atau serba memuat).
Ciri lain dari budaya Jawa pada saat itu adalah sangat bersifat
teokratis. Pengkultusan terhadap raja-raja sebagai titisan dewa adalah
salah satu buktinya. Dalam hal ini Onghokham menyatakan:
Dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk
legitimasi. Pada jaman Hindu-Budha diperkenalkan konsep dewa-raja
atau raja titising dewa. Ini berarti bahwa rakyat harus tunduk pada
kedudukan raja untuk mencapai keselamatan dunia akhirat. Agama
diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan/kekuasaan. Kebudayaan
berkisar pada raja, tahta dan keraton. Raja dan kehidupan keraton adalah
puncak peradaban pada masa itu.
Di pulau Jawa terdapat tiga buah kerajaan masa Hindu Budha,
kerajaan-kerajaan itu adalah Taruma, Ho-Ling, dan Kanjuruhan. Di
dalam perekonomian dan industri salah satu aktivitas masyarakat adalah
bertani dan berdagang dalam proses integrasi bangsa. Dari aspek lain
karya seni dan satra juga telah berkembang pesat antara lain seni musik,
seni tari, wayang, lawak, dan tari topeng. Semua itu sebagian besar
terdokumentasikan pada pahatan-pahatan relief dan candi-candi.
b. Peranan Wali Songo dan Metode Pendekatannya
Era Wali Songo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha
dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Wali
Songo adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa
peranan Wali Songo sangat besar dalam mendirikan kerajaan Islam di
Jawa.
Di Pulau Jawa, penyebaran agama Islam dilakukan oleh
Walisongo (9 wali). Wali ialah orang yang sudah mencapai tingkatan
tertentu dalam mendekatkan diri kepada Allah. Para wali ini dekat dengan
kalangan istana. Merekalah orang yang memberikan pengesahan atas sah
tidaknya seseorang naik tahta. Mereka juga adalah penasihat sultan.
Karena dekat dengan kalangan istana, mereka kemudian diberi
gelar sunan atau susuhunan (yang dijunjung tinggi). Kesembilan wali
tersebut adalah sebagai berikut:
1) Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim). Inilah wali yang pertama datang
ke Jawa pada abad ke-13 dan menyiarkan Islam di sekitar Gresik.
Dimakamkan di Gresik, Jawa Timur.
2) Sunan Ampel (Raden Rahmat). Menyiarkan Islam di Ampel, Surabaya,
Jawa Timur. Beliau merupakan perancang pembangunan Masjid Demak.
3) Sunan Drajad (Syarifudin). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan agama
di sekitar Surabaya. Seorang sunan yang sangat berjiwa sosial.
4) Sunan Bonang (Makdum Ibrahim). Anak dari Sunan Ampel. Menyiarkan
Islam di Tuban, Lasem, dan Rembang. Sunan yang sangat bijaksana.
5) Sunan Kalijaga (Raden Mas Said/Jaka Said). Murid Sunan Bonang.
Menyiarkan Islam di Jawa Tengah. Seorang pemimpin, pujangga, dan
filosof. Menyiarkan agama dengan cara menyesuaikan dengan
lingkungan setempat.
6) Sunan Giri (Raden Paku). Menyiarkan Islam di Jawa dan luar Jawa, yaitu
Madura, Bawean, Nusa Tenggara, dan Maluku. Menyiarkan agama
dengan metode bermain.
7) Sunan Kudus (Jafar Sodiq). Menyiarkan Islam di Kudus, Jawa Tengah.
Seorang ahli seni bangunan. Hasilnya ialah Masjid dan Menara Kudus.
8) Sunan Muria (Raden Umar Said). Menyiarkan Islam di lereng Gunung
Muria, terletak antara Jepara dan Kudus, Jawa Tengah. Sangat dekat
dengan rakyat jelata.
9) Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah). Menyiarkan Islam di Banten,
Sunda Kelapa, dan Cirebon. Seorang pemimpin berjiwa besar.

Salah satu cara penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh


para Wali tersebut ialah dengan cara mendakwah. Penyebaran Islam
melalui dakwah ini berjalan dengan cara para ulama mendatangi
masyarakat (sebagai objek dakwah), dengan menggunakan pendekatan
sosial budaya. Pola ini memakai bentuk akulturasi, yaitu menggunakan
jenis budaya setempat yang dialiri dengan ajaran Islam di dalamnya. Di
samping itu, para ulama ini juga mendirikan pesantren-pesantren
sebagai sarana pendidikan Islam.
c. Islam Di Jawa Paska Wali Songo
Setelah para Wali menyebarkan ajaran Islam di pulau Jawa,
kepercayaan animisme dan dinamisme serta budaya Hindu-Budha sedikit
demi sedikit berubah atau termasuki oleh nilai-nilai Islam. Hal ini membuat
masyarakat kagum atas nilai-nilai Islam yang begitu besar manfa’atnya
dalam kehidupan sehari-hari sehingga membuat mereka langsung bisa
menerima ajaran Islam. Dari sini derajat orang-orang miskin mulai
terangkat yang pada awalnya tertindas oleh para penguasa kerajaan. Islam
sangat berkembang luas sampai ke pelosok desa setelah para Wali berhasil
mendidik murid-muridnya. Salah satu generasi yang meneruskan
perjuangan para Wali sampai Islam tersebar ke pelosok desa adalah Jaka
Tingkir. Islam di Jawa yang paling menonjol setelah perjuangan para Wali
songo adalah perpaduan adat Jawa dengan nilai-nilai Islam, salah satu
diantaranya adalah tradisi Wayang Kulit.n
B. Teori-Teori Masuknya Islam di Jawa
Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia menurut
Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Menemukan
Sejarah terdapat 3 teori yaitu teori Gujarat, teori Makkah dan teori Persia.
Ketiga teori tersebut di atas memberikan jawaban tentang permasalahn
waktu masuknya Islam ke Indonesia, asal negara dan tentang pelaku penyebar
atau pembawa agama Islam ke Nusantara.
1. Teori Gujarat
Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada
abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar teori
ini adalah:
a. Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam
penyebaran Islam di Indonesia.
b. Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lam melalui jalur
Indonesia – Cambay - Timur Tengah – Eropa.
c. Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Mallik Al Saleh tahun
1297 yang bercorak khas Gujarat.
Di antara para pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye,
WF Stutterheim dan Bernard H.M. vlekke. Para ahli yang mendukung teori
Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan
politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber
dari keterangan Marccopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di
Perlak (Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah
banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari
India yang menyebarkan ajaran Islam.
Dalam L’arabie et Ies Indes Neerlandaises, Snouck mengatakan
teori tersebut didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nila-
nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yakni pada abad ke-
12 atau 13. Snouck juga mengatakan, teorinya didukung dengan hubungan
yang sudah terjalin lama antara wilayah Nusantara dengan dataran India.
Sebetulnya, teori ini dimunculkan pertama kali oleh Pijnappel,
seorang sarjana dari Universitas Leiden. Namun, nama Snouck Hurgronje
yang paling besar memasarkan teori Gujarat ini. Salah satu alasannya
adalah, karena Snouck dipandanng sebagai sosok yang mendalami Islam.
Teori ini diikuti dan dikembangkan oleh banyak sarjana Barat lainnya.
2. Teori Makkah
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan
terhadap teori lama yaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat bahwa
Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari
Arab (Mesir). Dasar teori ini adalah:
a. Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat
perkampungan Islam (Arab): dengan pertimbangan bahwa pedagang
Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal
ini juga sesuai dengan berita Cina.
b. Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana
pengaruh mazhab Syafi’i terbesar waktu itu adalah Mesir dan Mekkah.
Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.
c. Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al-Malik, yaitu gelar
tersebut berasal dari Mesir.
Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W.
Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13
sudah berdiri kekuasaan polotik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi
jauh sebelumnya yaitu abad ke-7 dan yang berperan besar terhadap proses
penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.
Kedua teori di atas mendatang kritikan yang cukup signifikan dari
teori ketiga, yakni Teori Arabia. Dalam teori ini disebutkan, bahwa Islam
yang masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah.
Waktu kedatangannya pun bukan pada abad ke-12 atau 13, namun pada
awal abad ke-7. Artinya, menurut teori ini Islam masuk ke Indonesia pada
awal abad hijriah, bahkan pada masa Khulafaur Rasyidin memerintah. Islam
sudah mulai ekspedisinya ke Nusantara ketika sahabat Abu Bakar, Umar
bin Khatab, Ustman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memegang kendli
sebagai amirul mukminin.
Bahkan sumber-sumber literatur Cina menyebutkan, menjelang
seperempat abad ke-7, sudah berdiri perkampungan Arab Muslim di pesisir
pantai Sumatera. Di perkampungan-perkampungan ini diberitakan, orang-
orang Arab bermukim dan menikah dengan penduduk lokal dan membentuk
komunitas-komunitas muslim.
Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu T’hang
Shu disebutkan pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-orang Ta
Shih, sebutan untuk orang Arab, pada tahun 651 M atau 31 H. Empat tahun
kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo
ni’. Tan mi mo ni’ adalah sebutan untuk amirul mukminin.
Dalam catatan tersebut , duta Tan mi mo ni’ menyebutkan bahwa
mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali berganti
kepemimpinan. Artinya, duta Muslilm tersebut datang pada ,masa
kepemimpinan Utsman bin Affan.
3. Teori Persia
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 dan
pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan
budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia seperti :
a. Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meningganya Hasan dan
Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang
Syiah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan
upacara Tabuik/Tabuk. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan
pembuatan bubur Syuro.
b. Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari
Iran yaitu Al-Hallaj.
c. Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk
tanda-tanda bunyi harakat.
d. Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
e. Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah
nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A.
Hussein Jayadiningrat.
Teori Persia, tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam
datang di Nusantara. Teori ini berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki
oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia.
Misalnya saja tentang peringatan 10 Muharram yang dijadikan sebagai hari
peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Selain itu, di
beberapa tempt di Sumatra Barat ada pula tradisi Tabut, yang berarti
keranda, juga untuk memperingati Hasan dan Husein. Ada pula
pendudukung lain dari teori ini yakni beberapa serapan bahasa yang
diyakini datang dari Iran. Misalnya Jabar dari Zabar, jer dari ze-er dan
beberapa yang lainnya. Teori ini menyakini Islam masuk ke wilayah
Nusantara pada abad ke-13. Dan wilayah pertama yang dijamah adalah
Samudera Pasai.
Ketiga teori tersebut, pada dasarnya masing-masing memiliki
kebenaran dan kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut dapatlah
disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada
abad ke-7 dan mengalami perkembangannya pada abad 13. Sebagai
pemegang peranan dalam penyebaran Islam adalah bangsa Arab, bangsa
Persia dan Gujarat (India).
Proses masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia pada dasarnya
dilakukan dengan jalan damai melalui beberapa jalur/saluran yaitu melalui
perdagangan seperti yang dilakukan oleh pedagang Arab, Persia dan
Gujarat. Pedagang tersebut berinteraksi/bergaul dengan masyarakat
Indonesia. Pada kesempatan tersebut dipergunakan untuk menyebarkan
ajaran Islam. Selanjutnya diantara pedagang tersebut ada yang terus
menetap, atau mendirikan perkampungan, seperti pedagang Gujarat
mendirikan perkampungan Pekojan.
Dengan adanya perkampungan pedagang, maka interaksi semakin
sering bahkan ada yang sampai menikah dengan wanita Indonesia, sehingga
proses penyebaran Islam semakin cepat berkembang. Perkembangan Islam
yang cepat menyebabkan muncul tokoh ulama atau mubaligh yang
menyebarkan Islam melalui pendidikan dengan mendirikan pondok-pondok
pesantren.
Pondok pesantren adalah tempat para pemuda dari berbagai daerah
dan kalangan masyarakat menimba ilmu agama Islam. Setelah tamat dari
pondok tersebut, maka para pemuda meenjadi juru dakwah untuk
menyebarkan Islam di daerahnya masing-masing.
Di samping penyebaran Islam melalui saluran yang telah dijelaskan
di atas, Islam juga disebarkan melalui kesenian, misalnya melalui
pertunjukan seni gamelan ataupun wayang kulit. Dengan demikian Islam
semakin cepat berkembang mudah diterima oleh rakyat Indonesia.
Secara keseluruhan teori masuknya Islam di Indonesia dimulai dari
daerah pesisir, seperti Pasai, Gresik, Goa, Talo, Cirebon, Banten dan
Demak. Ini terjadi karena terdapat pelabuhan sebagai pusat perdagangan
dan interaksi antar kawasan, realitas ini mencerminkan bahwa masyarakat
Islam periode awal adalah masyarakat kosmopolit. Sebagai masyarakat
kosmopolit dengan budaya kota dinamis tentu saja umat Islam nusantara
telah berhubungan dengan masyarakat Islam Negara lain.
Sebagaimana Islam di daerah lain, Islam di Jawa juga berangkat dari
daerah pesisir. Namun, dalam perkembangannya dari tradisi pesisir ini
kemudian melebar menjadi tradisi pedalaman yang mulai dari Pajang ke
Mataram (Tofud Abdullah, 1991: 81).
C. Teori-teori Penyebaran Islam di Jawa
Ada dua pendekatan dalam proses penyebaran Islam di Jawa.
Pendekatan pertama disebut “islamisasi kultur jawa”. Islamisasi kultur Jawa
adalah proses pemasukan corak-corak Islam dalam budaya Jawa baik secara
formal maupun substansial. Sebagai contoh adanya Islamisasi kultur Jawa
adalah slametan. Menurut Quraish Syihab kata salam berarti luput dari
kekurangan, kerasukan, dan aib. Kata selamat diucapkan, misalnya jika terjadi
hal-hal yang tidak baik diinginkan, tetapi kejadian tersebut tidak mengakibatkan
pada kekurangan atau kecelakaan. Salam atau damai yang demikian adalah
“damai positif” dan juga “damai aktif”, yakni bukan saja terhindar dari
keburukan, tetapi lebih dari itu, dapat meraih kebajikan atau kesuksesan.
Kehadiran Islam di Jawa dalam bingkai kebudayaan yang telah
terbentuk sebelumnya dalam perpaduan kebudayaan Hindu dan kebudayaan asli
(Jawa) melahirkan sikap bahwa kehadiran Islam bukanlah sesuatu yang baru
untuk menggantikan yang lama akan tetapi menambahkan sesuatu kepada yang
lama, sehingga Islam dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat.
Pendekatan yang kedua disebut Jawanisasi Islam. Jawanisasi Islam
adalah pemasukan nilai-nilai budaya Jawa ke dalam ajaran-ajaran Islam.
Sebagai contoh:“Tak uwisi gunem iki Niyatku mung aweh wikan Kabatinan
akeh lire. Lan gawat ka liwat-liwat. Mulo dipun prayitno Ojo keliru pamilihmu
Lamun mardi kabatinan”
“Saya akhiri pembicaraan ini Saya hanya ingin memberi tahu Kebatinan
banyak macamnya Dan artinya sangat gawat Maka itu berhati-hatilah Jangan
kamu salah pilih Kalau belajar Kebatinan”.
Sejak masuk dan berkembangnya, Islam di Jawa memerlukan proses
yang sangat panjang dan melalui saluran-saluran Islamisasi yang beragam,
seperti perdagangan, perkawinan, tarekat (tasawuf), pendidikan, dan kesenia.
1. Perdagangan
Saluran Islamisasi melalui media perdagangan sangatlah
menguntungkan. Hal tersebut dikarenakan dalam Islam tidak ada pemisah
antara aktivitas perdagangan dengan kewajiban mendakwahkan Islam
kepada pihak-pihak lain. Selain itu, dalam kegiatan perdagangan ini,
golongan raja dan kaum bangsawan lokal umunya terlibat di dalamnya.
Tentu saja sangat menguntungkan, karena dalam tradisi lokal apabila
seorang raja memeluk agama Islam, maka dengan sendirinya akan diikuti
oleh mayoritas rakyatnya. Ini terjadi karena masih kuatnya penduduk
pribumi memelihara prinsip-prinsip yang sangat diwarnai oleh hierarki
tradisional.
Proses Islamisasi melalui jalur perdagangan ini dapat digambarkan
sebagai berikut. Pada awalnya, para pedagang berdatangan di pusat-pusat
perdagangan seperti pelabuhan-pelabuhan. Para pedagang ini selanjutnya
ada yang tinggal, baik untuk sementara waktu maupun menetap. Lambat
laun tempat tinggal tersebut menjadi koloni-koloni, seperti koloni China dan
koloni Arab. Selanjutnya, koloni-koloni tersebut menjadi perkampungan,
seperti pecinan (kampung China) dan Pakojan (kampung orang-orang dari
India, yang kemudian diambil alih orang-orang Arab).
2. Perkawinan
Perkawinan juga merupakan cara penyebaran Islam yang menonjol.
para pedagang-pedagang yang mendarat di Jawa dan menetap, banyak yang
akhirnya menikahi wanita-wanita lokal. Islamisasi melalui saluran ini
merupakan proses pengislaman yang paling mudah. Ikatan perkawinan bagi
individu yang terlibat, yaitu suami dan istri. Mereka membentuk keluarga
yang menjadi inti masyarakat, yang juga membentuk inti keluarga muslim.
Dari perkawinan ini, terbentuklah pertalian kekerabatan yang lebih besar
antara pihak keluarga laki-laki (suami) dan keluarga perempuan (istri).
Saluran perkawinan atau keluarga merupakan saluran yang
memegang peranan penting dalam proses internalisasi ajaran Islam di
Indonesia, khususnya Jawa, baik dalam arti pengislaman maupun
pemasukan nilai-nilai dan norma-norma Islam ke dalam lingkungan
masyarakat. Islamisasi melalui perkawinan ini akan semakin
menguntungkan apabila perkawinan terjadi antara saudagar Muslim, kiai,
atau bangsawan yang menikahi anak seorang raja, keturunan bangsawan
atau anggota kerajaan lainnya. Hal ini mengingat status sosial, ekonomi, dan
politik mereka -pada konteks waktu itu- akan turut mempercepat proses
Islamisasi.
3. Tasawuf
Tasawuf juga menjadi proses penting dalam Islamisasi Jawa.
Tasawuf juga termasuk kategori media yang berfungsi dan membentuk
kehidupan sosial bangsa Indonesia yang meninggalkan banyak bukti jelas
berupa naskah-naskah antara abad ke-13 dan ke-18 M.[4] Hal ini
berhubungan dengan langsung dengan penyebaran Islam di Indonesia dan
memegang sebagian peranan penting dalam organisasi masyarakat di kota-
kota pelabuhan. Tidak jarang ajaran tasawuf ini disesuaikan dengan ajaran-
ajaran mistik lokal yang sudah dibentuk kebudayaan Hindu-Buddha.
Mereka berusaha meramu ajaran Islam untuk sesuai dengan alam pikiran
masyarakat lokal sehingga antara ajaran Islam dan kepercayaan masyarakat
lokal tidak saling berbenturan. Di antara ahli tasawuf yang merumuskan
ajarannya dan mengandung persamaan dengan alam pikiran (mistik)
masyarakat Indonesia adalah Hamzah Fansuri, Syamsudin al-Sumeterani,
syaikh Siti Jenar, dan Sunan Panggung. Mereka bersedia memakai unsur-
unsur kultur pra-Islam untuk menyebarkan agama Isalam. Menurut A.H.
Johns, ajaran Jawa, dipertahankan sedangkan tokoh-tokohnya diberi nama
Islam, seperti dalam cerita Bimasuci yang disadur menjadi Hikayat Syech
Maghribi. Ajaran mistik semacam itu juga terdapat pada kelompok-
kelompok mistik abad ke-19, seperti Sumarah, Sapta Dharma,
Bratakesawa, dan Pangestu.
4. Pendidikan
Pendidikan juga memiliki andil yang besar terhadap Islamisasi di
Jawa. Sesuai dengan kebutuhan zaman, mereka perlu tempat atau lembaga
untuk menampung anak-anak mereka agar bisa meningkatkan atau
memperdalam ilmu agamanya. Lembaga umum yang bisa menampung
kebutuhan pendidikan, antara lain: masjid, langgar, atau komunitas yang
lebih kecil, seperti keluarga. Dengan demikian, muncullah lembaga-
lembaga pendidikan Islam secara informal di masyarakat. Sebelum masa
kolonisasi, daerah-daerah Islam di Jawa sudah mempunyai sistem
pendidikan yang menitikberatkan pada pendidikan membaca al-Qur’an,
pelaksanaan shalat, dan pelajaran tentang kewajiban-kewajiban pokok
agama.
Sejalan dengan proses penyebaran Islam di Jawa, pendidikan Islam
mulai tumbuh, meskipun masih bersifat individual. Kemudian, dengan
memanfaatkan lembaga-lembaga masjid, surau, dan langgar, mulailah
secara bertahap dilangsungkan pengajian umum mengenai tulis-baca al-
Qur’an dan wawasan keagamaan. Bentuk yang paling mendasar dari bentuk
pendidikan ini umumnya disebut pengajian al-Qur’an. Pendidikan ini, selain
yang telah disebutkan di atas, berlangsung di rumah imam masjid atau
anggota masyarakat Islam yang saleh lainnya. Di tempat-tempat tersebut,
anak-anak Muslim diberi bekal pengetahuan agama, pengetahuan membaca
al-Qur’an dan kecakapan lainnya yang diperlukan bagi kehidupan sehari-
hari sebagai seorang Muslim.
Selain itu, ada lembaga pesantren atau pondok yang diselenggarakan
oleh guru-guru agama, kiai, atau ulama. Oleh karena itu, dalam masyarakat
Muslim di Indonesia, khususnya Jawa-secara tradisional- pendidikan telah
dijalankan pada dua jenjang, yaitu pengajian al-Qur’an, sebagai pendidikan
dasar, dan pondok pesantren, sebagai pendidikan lanjutan, walaupun
keduanya secara formal tidak ada keterikatan. Lembaga ini berperan penting
dalam penyebaran Islam ke wilayah-wilayah yang lebih luas. Di lembaga
inilah calon guru agama, calon kiai atau calon ulama dididik dan dibina.
Mereka yang telah keluar dari pesantren kemudian menuju ke kampung atau
ke desanya masing-masing. Di tempat asalnya inilah mereka menjadi
pemimpin agama, dan tidak jarang mendirikan pesantren baru. Tidak jarang
pula para raja atau kaum bangsawan mengundang para kiai atau ulama yang
diangkat sebagai guru agama bagi keluarganya. Banyak juga para kiai yang
diangkat sebagai penasehat kerajaan, sehingga memungkinkan bagi mereka
untuk memberikan pengaruh di bidang politik kepada raja.
5. Kesenian
Islamisasi juga dilakukan melalui kesenian, yaitu seni bangunan,
seni pahat (ukir), seni musik, seni tari dan seni sastra. Seni bangunan dan
seni pahat banyak dijumpai dalam masjid-masjid kuno. Di Indonesia,
masjid-masjid kuno memiliki kekhasan sendiri. dalam denahnya, masjid itu
berbentuk persegi atau bujur sangkar dengan bagian kaki agak tinggi dan
pejal, sedangkan atapnya bertumpang dua, tiga, lima, atau lebih. Masjid
tersebut dikelilingi oleh parit atau kolam air pada bagian depan atau
sampingnya dan berserambi. Bagian-bagian lain seperti mihrab dengan
lengkung pola kalamakara, mimbar dengan ukiran pola teratai,
dan mastaka atau memolo jelas menunjukan pola-pola seni bangunan
tradisional yang telah dikenal di Indonesia sebelum kedatangan Islam.
Bentuk bangunan pada masjid kuno di Jawa mengadaptasi pola-pola
bangunan atau keyakinan Hindu tersebut menunjukan bahwa Islam
disebarkan dengan jalan damai. Selain itu, secara kejiwaan dan strategi
dakwah, penerusan tradisi seni bangunan dan seni ukir pra-Islam merupakan
alat Islamisasi yang sangat bijaksana sehingga bisa menarik orang-orang
non-Islam untuk memeluk Islam sebagai pedoman hidup barunya. Hal ini
dapat dijumpai dibeberapa masjid kuno yang masih mempertahankan
bangunan berasiktektur Hindu. Ada juga daerah kantong Muslim yang
masyarakatnya memandang tau menyembelih sapi, sebagai binatang yang
disucikan oleh umat Hindu. Kota Kudus merupakan daerah sesuai dengan
kedua contoh ini.
Demikian pula saluran Islamisasi melalui seni tari, seni musik dan
seni sastra. Dalam upacara-upacara keagamaan, seperti Maulud Nabi, sering
dipertunjukan seni tari atau seni musik tradisional misalnyasekaten yang
terdapat di Kerato Yogyakarta dan Surakarta, sedangkan di Cirebon seni
musik itu dibunyikan pada perayaan Grebeg Maulud. Begitu pula dengan
tarian seperti dedewan, debus, birahi, danbebeksan ditampilkan dalam
upacara-upacara tertentu. Contoh lainnya adalah Islamisasi pertunjukan
wayang. Konon, sunan Kalijaga merupakan tokoh yang mahir memainkan
wayang. Dia tidak pernah meminta upah dalam pertunjukannya, tetapi dia
hanya minta agar para penonton mengikutinya mengucapkan kalimat
syahadat. Sebagian cerita wayangnya masih diambil dari cerita
Mahabharata dan Ramayana, tetapi dengan bertahap nama tokoh-tokohnya
diganti dengan pahlawan Islam.
Islamisasi melalui seni juga tampak dalam bidang karya sastra.
Banyak cerita babad dan hikayat yang ditulis dalam huruf Jawi, Pegon, dan
Arab. Beberapa kitab tasawuf diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu dan
beberapa lagi ke dalam bahasa daerah lainnya. Ajaran tasawuf Hamzah
Fansuri disusun dalam bentuk syair Melayu agar sudah dimengerti oleh
orang-orang Indonesia yang tidak mengerti bahasa Arab atau Persia. Bentuk
huruf Jawi dalam sastra Melayu yang merupakan adaptasi dari huruf-huruf
Arab menjadi contoh lain dari hal ini.

D. Peranan Walisongo
Ulama sangat berjasa besar dalam menyebarkan agama Islam kepada
penduduk pribumi sehingga Islam dipeluk oleh mayoritas bangsa Indonesia.
Para penyebar agama Islam di Jawa dikenal dengan sebutan Walisongo. Istilah
wali berasal dari bahasa Arab yaitu aulia, yang artinya orang yang dekat dengan
Allah SWT karena ketaqwaannya.
Jumlah wali dianggap Sembilan (songo) meskipun sebenarnya lebih dari
itu, karena jumlah Sembilan orang itu untuk menyebarkan nilai-nilai moral ke
segala penjuru. Sehubungan dengan segala pencuru wilayah ini, orang Jawa
mengenal istilah keblat papat limo pancer. Keblat papat, yaitu utara-timur-
selatan-barat, dilengkapi dengan arah di antaranya berjumlah delapan, ditambah
dengan pusatnya (paancer) menjadi sembilan. Istilah keblat papatlimo
pancer ini selalu diucapkan oleh orang yang memimpin suatu kenduri menurut
adat Jawa, berbeda dengan apa yang diucapkan oleh modin atau kaum yang
memimpin kenduri dengan warna Islam. Sembilan wali tersebut ialah sebagai
berikut:
1. Sunan Gresik (Syeikh Maulana Malik Ibrahim)
Syeikh Maulana Malik Ibrahim lahir pada tahun 1350 M. Ada yang
berpendapat bahwa nasabnya bertalian dengan seorang sayyid dari
Hadramaut. Di samping itu, ada yang mengatakan bahwa Sunan Gresik
berasal dari Gujarat dan merupakan pedagang yang dating ke Pulau Jawa
kemudian menyebarkan ajaran Islam.
Sunan Gresik dibesarkan di tengah-tengah keluarga muslim
sehingga tidak heran kalau sejak kecil ia sudah belajar agama Islam. Setelah
dewasa, ia menikah dengan Dewi Candra Wulan, putrid pertama Putri
Campa yang telah menganut Islam. Adapun Putri Campa merupakan istri
dari raja Majapahit, Brawijaya.
2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Raden rahmat adalah putra Syeikh Maulana Malik Ibrahim dan
Dewi Candra Wulan. Ia memulai dakwahnya dengan mendirikan pesantren
di Ampel Denta, dekat Surabaya.
Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana Majapahit,
bahkan istrinya dari kalangan istana. Dengan demikian ia tidak
mendapatkan hambatan yang berarti dalam berdakwah. Ia juga merupakan
penyokong Kesultanan Demak dan ikut mendirikan Masjid Agung Demak
pada tahun 1497 M bersama wali-wali yang lain.
Sunan Ampel menginginkan agar masyarakat menganut keyakinan
yang murni. Sebaliknya, Sunan Kalijaga mrngusulkan agar adat-istiadat
Jawa diberi warna Islam. Sunan Ampel setuju, walaupun ia tetap
menginginkan adat-istiadat tersebut dihilangkan, karena merupakan bagian
dari bid’ah. Sunan Ampel wafat pada tahun 1481 M di Ampel dan
dimakamkan di kompleks pemakaman Masjid Ampel, Surabaya.
3. Sunan Bonang (Raden Maulana Makdum Ibrahim)
Sunan Bonang merupakan sepupu Sunan Kalijaga. Setelah belajar
Islam di Pasai (Aceh), ia ke Tuban (Jawa Timur) untuk mendirikan pondok
pesantren. Dalam berdakwah, Sunan Bonang menyesuaikan diri dengan
corak kebudayaan masyarakat Jawa. Ia pun menyisipkan ajaran-ajaran
Islam ke dalam cerita wayang dan music gamelan.
Kegiatan dakwah Sunan Bonang dipusatkan di Tuban dan
menjadikan pesantren sebagai wadah pendidikan kader dakwah. Sunan
boning memberikan pendidikan Islam secara mendalam kepada murid-
muridnya, termasuk Raden Fatah. Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M
dan dimakamkan di Tuban.
4. Sunan Giri (Raden Paku)
Raden Paku berdakwah di Giri dengan mendirikan pesantren. Para
santrinya banyak yang berasal dari rakyat jelata. Sunan Giri terkenal sebagai
pendidik yang berjiwa demokratis. Ia juga merupakan orang yang
berpengaruh dalam Kesultanan Demak. Hal ini terlihat ketika muncul suatu
masalah, wali-wali yang lain selalu menantikan pertimbangannya. Sunan
Giri wafat pada awal pertengahan abad XVI M dan dimakamkan di Bukit
Gresik, Jawa Timur.
5. Sunan Drajat (Raden Qasim)
Sunan Drajat terkenal mempunyai jiwa social dan tema-tema
dakwahnya selalu berorientasi pada gotong-royong. Ia selalu menolong
orang-orang yang membutuhkan, mengasihi anak yatim, dan menyantuni
fakir miskin. Sunan Drajat wafat pada pertengahan abad XVI M dan
dimakamkan di Panciran, Lamongan, Jawa Timur.
6. Sunan Kalijaga (Raden Mas Syahid)
Wilayah dakwah Sunan Kalijaga tidak terbatas. Ia suka berkeliling
dan memperhatikan keadaan masyarakat. Oleh sebab itu, semua lapisan
masyarakat sangat simpati kepadanya. Begitu pula dengan Raden Fatah. Ia
sangat menghormatinya.
Sunan Kalijaga berdakwah menggunakan berbagai media seni,
seperti pertunjukkan wayang kulit, seni gamelan, seni suara, seni ukir, seni
pahat, busana, dan kesusastraan. Ia wafat pada pertengahan abad XV M dan
dimakamkan di Kadilangu, Demak, Jawa Tengah.
7. Sunan Kudus (Ja’far Shadiq)
Sunan Kudus adalah putra dari Utsman Haji. Adapun Utsman Haji
adalah orang yang menyebarkan agama Islam di Jipang Panolan, Blora.
Sunan kudus menyebarkan agama Islam di Kudus. Ia ahli dibidang ilmu
fiqh, ushul fiqh, tauhid, hadits, dan logika. Untuk kepentingan dakwah, ia
menciptakan cerita keagamaan yang berjudul Gending
Maskumambang dan Mijil. Sunan Kudus wafat pada tahun 1550 M dan
dimakamkan di pemakaman Masjid Menara Kudus.
8. Sunan Muria (Raden Umar Said)
Sunan Muria adalah putra dari Sunan Kalijaga. Ia berdakwah di
Gunung Muria dan di desa-desa terpencil lainnya. Objek dakwahnya adalah
pedagang, nelayan, dan rakyat biasa. Ia juga menciptakan tembang yang
berjudul Sinom dan Kinanti. Sunan Muria wafat pada abad XVI M dan
dimakamkan di Gunung Muria, Kudus.
9. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Menurut Purwaka Caruban Nagari, Sunan Gunung Jati dihormati
oleh para sultan Demak dan Pajang. Di samping itu, ia diberi gelar Raja
Pandita. Dakwahnya dilakukan melalui pendekatan structural. Ia
mendirikan dan memimpin Kesultanan Cirebon dan Banten. Di samping itu,
ia juga mendirikan pesantren Gunung Jati di Cirebon. Sunan Gunung Jati
wafat pada tahun 1570 M dan dimakamkan di Gunung Jati, desa Astana,
Cirebon.
Wali-wali tersebut adalah penyebar agama Islam yang terus menerus
berjuang dan mengabdikan hidupnya untuk kepentingan agama Islam
dengan berbagai caranya masing-masing. Gerakan Islamisasi oleh para wali
tersebut dipusatkan di daerah pantai utara Jawa dengan mendirikan pusat-
pusat pengembangan Islam. Secara garis besar, peranan wali adalah sebagai
berikut:
1. Dibidang agama, sebagai penyebar agama Islam baik dengan
mendirikan pondok pesantren, berdakwah, ataupun dengan media seni
2. Dibidang seni dan budaya, wali-wali tersebut berperan sebgai
pengembang kebudayaan dan kesenian setempat yang disesuaikan
dengan agama/budaya Islam
3. Dibidang politik, para wali tersebut berperan sebagai pendukung
kerajaan-kerajaan Islam maupun sebagai penasehat raja-raja.
E. Strategipenyebaran Islam di Jawa
Metode Islamisasi yang dipakai oleh Walisongo terjadi secara damai,
akomodatif dan lentur, yakni dengan menggunakan unsur-unsur budaya
lama (hinduisme- buddhisme) yang secara tidak langsung dimasukkan nilai-
nilai islam ke dalamnya. Metode ini sering disebut dengan sinkretisme
sebagai contoh metode ini adalah:
 Di bidang ritual: pembakaran kemenyan yang semula menjadi
sarana dalam penyembahan dewa, tetap dipakai oleh Sunan Kalijaga
dengan pemahaman sebatas pengharum ruangan ketika muslim
berdoa sehingga doanya bisa nyaman dan khusyuk.
 Seni: pembangunan atap masjid yang terdiri atas tiga lapisan yang
kemudian ditafsirkan sebagai simbolisme Iman, Islam dan
Ikhsan.
Selain cara- cara tersebut, adalah metode-metode melalui:
1. Perkawinan
Menjalin hubungan genealogis (keturunan) dengan berbagai
tokoh pemerintahan. Hal ini semisal seperti yang dilakukan oleh Sunan
Ampel dalam mengawinkan putra-putranya.
2. Pendidikan
Sistem pendidikan pesantren yang dirintis oleh Syekh Maulana
Ibrahim di daerah Gresik ini adalah model pendidikan Islam yang
meniru bentuk pendidikan biara dan pendidikan asrama yang dipakai
oleh pendeta biksu. Konon kata santri adalah berasal dari kata Shastri,
yang artinya dalam bahasa India adalah orang yang pandai mengetahui
buku-buku suci hindu.
3. Pengembangan Budaya Jawa
Penyiaran Islam melalui jalur seni budaya ini dilakukan oleh
Sunan Kalijaga dengan wayangnya dan Sunan Bonang dengan
gamelannya. Contoh lainnya adalah Perayaan Sekaten di Suarakarta
dan Yogyakarta sebagai acara memperingati hari lahir Nabi
Muhammad Saw.
4. Dan lain-lain yang meliputi Media politik yang ada pada Kerajaan
Islam serta melalui Karya tulis sastra.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada abad ke-7 dan
mengalami perkembangannya pada abad 13. Sebagai pemegang peranan dalam
penyebaran Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India).
Penyebaran Islam di Jawa melalui dua pendekatan yaitu pendekatan islamisasi
kultur jawa dan pemasukan nilai-nilai budaya Jawa ke dalam ajaran-ajaran
Islam. Sedangkan proses Islamisasi yaitu melalui perdagangan, perkawinan,
tarekat (tasawuf), pendidikan dan kesenian. Secara garis besar, peranan wali
adalah sebagai berikut:
1. Dibidang agama, sebagai penyebar agama Islam baik dengan mendirikan
pondok pesantren, berdakwah, ataupun dengan media seni
2. Dibidang seni dan budaya, wali-wali tersebut berperan sebgai pengembang
kebudayaan dan kesenian setempat yang disesuaikan dengan agama/budaya
Islam
3. Dibidang politik, para wali tersebut berperan sebagai pendukung kerajaan-
kerajaan Islam maupun sebagai penasehat raja-raja.
B. Penutup
Demikianlah makalah ini kami susun dan tentunya jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

KESIMPULAN
Proses Masuknya Islam ke Jawa :
1. Para pedagang Muslim pada sekitar abad 7 M datang ke Indonesia termasuk Jawa
2. pedagang muslim itu melakukan perkawinan dengan wanita-wanita pribumi.
3. tercipta peluang keturunan mereka dapat mencapai kekuasaan politik yang dapat
digunakan untuk penyebaran Islam.
4. pada sekitar abad ke -15 M, para penguasa lokal telah memeluk Islam maka para
penguasa tersebut yang berperan besar dalam proses penyebaran Islam di Jawa.
Islamisasi menggunakan strategi struktural yakni melalui jaring-jaring kekuasaan.
 Para Mubalig yang terpadu dalam satu lembaga yang bernama Walisongo.
Mereka terbagi menjadi beberapa periode (angkatan)
 Strategi penyebaran Islam di Jawa, melalui beberapa jalan, antara lain:
Perkawinan, Pendidikan, Pengembangan Budaya Jawa, dan lain-lain yang
meliputi Media politik serta Karya tulis sastra.

PENUTUP
Segala Puji Bagi Allah Tuhan penguasa alam. Demikian makalah yang
dapat disuguhkan oleh penulis. Penulis menyadari akan kedangkalan analisisnya
sehingga menghasilkan kesimpulan yang jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
dengan kerendahan hati penulis mengharap adanya kritik serta saran dari pembaca
agar kesalahan-kesalahan dalam makalah ini dapat tergantikan oleh kebenaran yang
benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Selanjutnya, penulis berharap agar
makalah ini nantinya dapat berguna bagi siapa saja yang membacanya.
DAFTAR PUSTAKA
http://pandri-16.blogspot.co.id/2012/09/sejarah-awal-agama-islam-masuk-ke-
tanah.html
http://litawulan.blogspot.co.id/2015/06/makalah-masuknya-islam-di-jawa.html

Amin, Samsul Munir. Sejarah Dakwah. Jakarta: Amzah. 2014


Huda, Nor. Islam Nusantara: Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia. Jogjakarta: Ar-
Ruzz Media. 2014
Shodiq, Potret Islam Jawa, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2002
Simon, Hasanu. Misteri Syeikh Siti Jenar: Peran Walisongo Dalam Mengislamkan Tanah
Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004

Anda mungkin juga menyukai