Disusun Oleh :
KELOMPOK 11
1. ATAYNAAKA BILHAQ (220101095)
2. DESTI TRIANTI (220101073)
3. ELI SURYANI (220101085)
Assalamu'alaikum wr.wb
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan banyak nikmat hidup
dan nikmat iman serta kesempurnaan dibandingkan dengan makhluk Allah yang
lain. Sebagai manusia kita wajib untuk senantiasa mensyukuri nikmatnya dan
berusaha membalas semua kebaikan yang Allah berikan kepada kita semua
dengan cara menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya.
Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, seorang Rosul yang di dalam dirinya terdapat suri tauladan yang baik bagi
kita semua.
Wassalamu’alikum wr.wb
Kelompok 11
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II PEPEMBAHASAN
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada era globalisasi ini, hampir semua bidang kehidupan rakyat Indonesia yang
mayoritas beragama Islam telah dirambah oleh bangsa lain, terutama bangsa barat yang
note bene bukan Islam bahkan cenderung tidak menghiraukan norma-norma agama.
Saya sengaja menyusun makalah mengenai Wali Songo ini dengan harapan agar para
orang tua, para guru, para penulis, dan para anak-anak mempunyai wawasan lebih luas
mengenai penyebaran agama Islam.
Makalah ini berisi riwayat para penyebar agama Islam, asal-mula kemunculan Islam
di tanah Jawa menempati realitas unik sehingga pada dasawarsa terakhir ini muncul
statemen untuk menghidupkan dinamika keagamaan dan keberagamaan masyarakat di
Jawa umumnya dengan semangat menghidupkan Islam Nusantara. Pengkultusan pola
Islam yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat Jawa sejatinya ingin
meneguhkan eksitensi kenusantaraan Islam di Jawa bahwa Islam mulai berkembang di
Nusantara sekitar abad 13. Hal tersebut tak lepas dari peran tokoh serta ulama yang
hidup pada saat itu, dan diantara tokoh yang sangat berjasa dalam proses Islamisasi di
Nusantara terutama di tanah Jawa adalah “Wali Songo”. Peran Wali Songo dalam proses
Islamisasi di tanah Jawa sangat besar. Tokoh Wali Songo yang begitu dekat dikalangan
masyarakat muslim kultural Jawa sangat mereka hormati. Hal ini karena ajaran-ajaran
dan dakwahnya yang unik serta sosoknya yang menjadi teladan serta ramah terhadap
masyarakat Jawa sehingga dengan mudah Islam menyebar ke seluruh wilayah
Nusantara.
Para Wali sama sekali tidak menggunakan kekerasan untuk berdakwah. Mereka
menempuh jalan damai, dakwah bil hal, dengan tingkah laku dan perbuatan mereka
sendiri yang sesuai denga ajaran Islam. Sehingga tampak mutu dan ketinggian agama
Islam yang sangat demokratis. Mereka juga memanfaatkan media masyarakat pada saat
itu sebagai sarana penunjang dakwah. Mereka berusaha keras menciptakan budaya baru
yang penuh kreatifitas sehingga lahirlah aneka jenis mainan dan dolanan anak-anak
4
yang bernafaskan falsafah Islami, baik berupa tembang atau lagu, gending tarian dan
aneka jenis permainan lainnya. Mereka juga menciptakan sastra Jawa yang sangat tinggi
nilai estetis dan falsafahnya, seperti Suluk, lakon Wayang Caranga Dewa Ruci, dan
beberapa karya sastra lainnya. Kisah perjuangan mereka sangat unik. Pada saat
berhadapan dengan rakyat jelata, rakyat awam, orang-orang sakti, para sarjana
(Brahmana dan pendeta Budha) maupun ketika berhadapan dengan para penguasa.
Keberhasilan para Wali Songo pantas kita renungkan, kita jadikan pijakan untuk
melangkah di zaman modern ini dengan tantangan dakwah yang berbeda namun pada
hakekatnya sama yaitu mengembangkan agama Islam di daerah masing-masing.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Wali Songo?
2. Siapa saja tokoh-tokoh Wali Songo?
3. Bagaimana strategi dan metode dakwah Wali Songo?
4. Bagaimana peranan Wali Songo dalam penyebaran dan perkembangan Islam di
Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Wali Songo.
2. Untuk mengetahui tokoh-tokoh Wali Songo.
3. Untuk mengetahui strategi dan metode dakwah Wali Songo?
4. Untuk mengetahui peran Wali Songo dalam penyebaran dan perkembangan
Islam di Indonesia
5
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah wali berasal dari bahasa Arab, artinya tercinta, pembantu, penolong dan
pemimpin. Bentuk pluralnya adalah auliya’. Al-Qur’an menyifati para wali Allah
sebagai orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah. Tidak adak
kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Wali Songo disini
diartikan sekumpulan orang (semacam dewan dakwah) yang dianggap memiliki hak
untuk mengajarkan Islam kepada masyarakat Islam di bumi Nusantara pada zamannya.1
Kata “wali” menurut istilah, ialah sebutan bagi orang-orang Islam yang dianggap
keramat, penyebar agama Islam, mereka dianggap “kekasih Allah”, orang-orang yang
dekat dengan Allah, dikaruniai tenaga gaib, mempunyai kekuatan-kekuatan batin yang
sangat berlebih, mempunyai ilmu yang sangat tinggi, dan sakti berjaya-kewijayaan.
Sebagian penulis berpendapat bahwa istilah Wali Songo berasal dari bahasa Arab ,
yaitu wali dan tsana’(mulia), sehingga berarti para wali yang mulia. Sebagian lagi
berpendapat istilah Wali Songo berasal dari bahasa Jawa, yaitu wali dan sana yaitu
tempat. Ada pula yang menyebut dengan Wali Songo berarti sembilan wali atau bahkan
ada yang menyatakan Wali Sangha.
Dari berbagai pendapat tersebut, yang paling kuat adalah berdasarkan istilah dan fakta
sejarah, yaitu bahwa Wali Songo adalah sebuah dewan dakwah, dewan mubaligh ,
organisasi ulama dalam bentuk lembaga dakwah para wali yang berjumlah sembilan.
Setiap ada yang wafat atau meninggalkan Jawa maka diangkat wali lain sebagai
1
Ahmad Zuhdi, dkk. Dinamika Islam di Nusantara. (Jawa Tengah: NEM Anggota IKAPI, 2022, hlm. 63.
6
penggantinya sehingga tetap berjumlah sembilan. Para Wali Songo adalah pembaharu
masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasa dalam beragam bentuk manifestasi
peradaban baru masyarakat jawa mulai dari perniagaan, pelayaran dan perikanan,
bercocok tanam dan persawahan, pengobatan, kebudayaan, kesenian, pendidikan,
kemasyarakatan, hingga kedalam masalah aqidah, politik, militer, hukum, dan
pemerintahan dikerajaan-kerajaan Islam.2
Syekh Maulana Malik Ibrahim berasal dari Turki merupakan putra dari syekh
Jumadil Kubra (Maulana Akbar), dia adalah seorang ahli irigasi dan tata negara yang
ulung. Syekh Maulana Malik Ibrahim datang ke pulau Jawa pada tahun 1404 M
bertepatan dengan masa kepemimpinan khalifah Turki Utsmani. Jauh sebelum beliau
datang, islam sudah ada walaupun sedikit, ini dibuktikan dengan adanya makam
Fatimah binti Maimun yang nisannya bertuliskan tahun 1082. Syekh Maulana Malik
Ibrahim memiliki tiga istri yaitu:
1) Siti Fatimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil, dirinya memiliki 2 anak yaitu
Mualana Moqfaro dan Syafirah Sarah.
2) Siti Maryam binti Syekh Subakir, darinya memiliki 4 putra, yaitu Abdullah,
Ibrahim, Abdul Ghafur, dan Ahmad.
3) Wan Jamilah binti Ibrahim Zinuddin Al-Akbar Asmaraqandi, darinya memiliki 2
anak, yaitu Abbas dan Yusuf.
2
Ibid, hlm. 64
7
Dikalangan rakyat jelata Sunan Gresik atau sering dipanggil Kakek Bantal sangat
terkenal terutama di kalangan kasta rendah yang selalu ditindas oleh kasta yang lebih
tinggi. Sunan Gresik menjelaskan bahwa dalam Islam kedudukan semua orang adalah
sama sederajat hanya orang yang beriman dan bertaqwa tinggi kedudukannya di sisi
Allah. Dia mendirikan pesantren yang merupakan perguruan Islam, tempat mendidik
dan menggenbleng para santri sebagai calon mubaligh.
Di Gresik, beliau juga memberikan pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat gresik
semakin meningkat. Beliau memiliki gagasan mengalirkan air dari gunung untuk
mengairi sawah dan ladang. Syekh Maulana Malik Ibrahim seorang songo yang
dianggap sebagai ayah dari wali songo. Beliau wafat di gresik pada tahun 882 H atau
1419 M.
Raden Rahmat adalah putra Syekh Maulana Malik Ibrahim dari istrinya bernama
Dewi Candrawulan. Beliau memulai aktivitasnya dengan mendirikan pesantren di
Ampel Denta, dekat dengan Surabaya. Di antara pemuda yang dididik itu tercatat antara
lain Raden Paku (Sunan Giri), Raden Fatah (Sultan pertama Kesultanan Islam Bintoro,
Demak), Raden Makdum Ibrahim (putra Sunan Ampel sendiri dan dikenal sebagai
Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), dan Maulana Ishak.
Pada awal Islamisasi pulau Jawa, Sunan Ampel menginginkan agar masyarakat
menganut keyakinan yang murni. Ia tidak setuju bahwa kebiasaan masyarakat seperti
kenduri, selamatan, sesaji dan sebagainya tetap hidup dalam sistem sosio-kultural
masyarakat yang telah memeluk agama Islam. Namun wali-wali yang lain berpendapat
bahwa untuk sementara semua kebiasaan tersebut harus dibiarkan karena masyarakat
sulit meninggalkannya secara serentak.
8
Akhirnya, Sunan Ampel menghargainya. Hal tersebut terlihat dari persetujuannya
ketika Sunan Kalijaga dalam usahanya menarik penganut Hindu dan Budha,
mengusulkan agar adat istiadat Jawa itulah yang diberi warna Islam. Sunan Ampel salah
seorang wali yang berjuang menegakkan Islam. Jasanya sangat besar dalam
menggelorakan dakwah dan jihad ditanah Jawa. Dan beliau wafat pada tahun 1478
dimakamkan disebelah masjid Ampel.
Nama aslinya adalah Raden Makdum Ibrahim. Beliau Putra Sunan Ampel. Beliau
diperkirakan lahir tahun 1465 M diampel dari seorang perempuan bernama Nyai Ageng
Manila, putri seorang adipati di Tuban. Sunan Bonang terkenal sebagai ahli ilmu kalam
dan tauhid. Beliau dianggap sebagai pencipta gending pertama dalam rangka
mengembangkan ajaran Islam di pesisir utara Jawa Timur. Setelah belajar di Pasai,
Aceh, Sunan Bonang kembali ke Tuban, Jawa Timur, untuk mendirikan pondok
pesantren. Santri-santri yang menjadi muridnya berdatangan dari berbagai daerah.
Sunan Bonang dan para wali lainnya dalam menyebarkan agama Islam selalu
menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang sangat
menggemari wayang serta musik gamelan. Mereka memanfaatkan pertunjukan
tradisional itu sebagai media dakwah Islam, dengan menyisipkan napas Islam ke
dalamnya. Syair lagu gamelan ciptaan para wali tersebut berisi pesan tauhid, sikap
menyembah Allah SWT dan tidak menyekutukannya. Setiap bait lagu diselingi dengan
syahadatain (ucapan dua kalimat syahadat); gamelan yang mengirinya kini dikenal
dengan istilah sekaten, yang berasal dari syahadatain. Sunan Bonang sendiri
menciptakan lagu yang dikenal dengan tembang Durma, sejenis macapat yang
melukiskan suasana tegang, bengis, dan penuh amarah. Sunan Bonang wafat di pulau
Bawean pada tahun 1525 M.
d. Sunan Giri
Sunan Giri merupakan putra dari Maulana Ishak dan ibunya bernama Dewi
Sekardadu putra Menak Samboja. Kebesaran Sunan Giri terlihat antara lain sebagai
anggota dewan Walisongo. Nama Sunan Giri tidak bisa dilepaskan dari proses pendirian
kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak. Ia adalah wali yang secara aktif ikut
9
merencanakan berdirinya negara itu serta terlibat dalam penyerangan ke Majapahit
sebagai penasihat militer.
Sunan Giri atau Raden Paku dikenal sangat dermawan, yaitu dengan membagikan
barang dagangan kepada rakyat Banjar yang sedang dilanda musibah. Beliau pernah
bertafakkur di goa sunyi selama 40 hari 40 malam untuk bermunajat kepada Allah. Usai
bertafakkur ia teringat pada pesan ayahnya sewaktu belajar di Pasai untuk mencari
daerah yang tanahnya mirip dengan yang dibawahi dari negeri Pasai melalui desa
Margonoto sampailah Raden Paku di daerah perbatasan yang hawanya sejuk, lalu dia
mendirikan pondok pesantren yang dinamakan pesantren Giri. Tidak berselang lama
hanya dalam waktu tiga tahun pesantren tersebut terkenaldi seluruh Nusantara. Sunan
Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam baik di Jawa atau nusantara baik
dilakukannya sendiri waktu muda melalui berdagang tau bersama muridnya. Beliau juga
menciptakan tembang-tembang dolanan anak kecil yang bernafas Islami, seperti
jemuran, cublak suweng dan lain-lain.
e. Sunan Drajat
Nama aslinya adalah Raden Syarifudin. Ada sumber lain yang mengatakan namanya
adalah Raden Qasim, putra Sunan Ampel dengan seorang ibu bernama Dewi
Candrawati. Jadi Raden Qasim itu adalah saudaranya Raden Makdum Ibrahim (Sunan
Bonang). Oleh ayahnya yaitu Sunan Ampel, Raden Qasim diberi tugas untuk berdakwah
di daerah sebalah barat Gresik, yaitu daerah antara Gresik dengan Tuban. Di desa Jalang
itulah Raden Qasim mendirikan pesantren.
Dalam waktu yang singkat telah banyak orang-orang yang berguru kepada beliau.
Setahun kemudian di desa Jalag, Raden Qasim mendapat ilham agar pindah ke daerah
sebelah selatan kira-kira sejauh satu kilometer dari desa Jelag itu. Di sana beliau
mendirikan Mushalla atau Surau yang sekaligus dimanfaatkan untuk tempat berdakwah.
Tiga tahun tinggal di daerah itu, beliau mendapat ilham lagi agar pindah tempat ke satu
bukit. Dan di tempat baru itu beliau berdakwah dengan menggunakan kesenian rakyat,
yaitu dengan menabuh seperangkat gamelan untuk mengumpulkan orang, setelah itu
lalu diberi ceramah agama. Demikianlah kecerdikan Raden Qasim dalam mengadakan
pendekatan kepada rakyat dengan menggunakan kesenian rakyat sebagai media
10
dakwahnya. Sampai sekarang seperangkat gamelan itu masih tersimpan dengan baik di
museum di dekat makamnya.
f. Sunan Kalijaga
Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama
panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.
Beliau merupakan putra Raden Sahur putra Temanggung Wilatika Adipati Tuban.
Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kkkalijaga yang disandangnya.
Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di
Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan
Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk
berendam ‘kungkum’ di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut
istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai
“penghulu suci” kesultanan. Raden Sahid sebenarnya anak muda yang patuh dan kuat
kepada agama dan orang tua, tapi tidak bisa menerima keadaan sekelilingnya yang
terjadi banyak ketimpangan, hingga dia mencari makanan dari gudang kadipaten dan
dibagikan kepada rakyatnya. Tapi ketahuan ayahnya, hingga dihukum yaitu tangannya
dicampuk 100 kali sampai banyak darahnya dan diusir.
Setelah diusir selain mengembara, ia bertemu orang berjubah putih, dia adalah Sunan
Bonang. Lalu Raden Sahid diangkat menjadi murid, lalu disuruh menunggui tongkatnya
di depan kali sampai berbulan-bulan sampai seluruh tubuhnya berlumut. Maka Raden
Sahid disebut Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dalam rangka penyebaran Islam, antara lain
dengan wayang, sastra dan berbagai kesenian lainnya. Pendekatan jalur kesenian
dilakukan oleh para penyebar Islam seperti Walisongo untuk menarik perhatian di
kalangan mereka, sehingga dengan tanpa terasa mereka telah tertarik pada ajaran-ajaran
Islam sekalipun, karena pada awalnya mereka tertarik dikarenakan media kesenian itu.
Misalnya, Sunan Kalijaga adalah tokoh seniman wayang. Ia tidak pernah meminta para
penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian wayang masih
dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disisipkan ajaran
agama dan nama-nama pahlawan Islam.
11
g. Sunan Kudus (Ja’far Sadiq)
Sunan Kudus menyiarkan agama Islam di daerah Kudus dan sekitarnya. Beliau
memiliki keahlian khusus dalam bidang agama, terutama dalam ilmu fikih, tauhid,
hadits, tafsir serta logika. Karena itulah di antara walisongo hanya ia yang mendapat
julukan wali al-‘ilm (wali yang luas ilmunya), dank arena keluasan ilmunya ia didatangi
oleh banyak penuntut ilmu dari berbagai daerah di Nusantara.
Ada cerita yang mengatakan bahwa Sunan Kudus pernah belajar di Baitul Maqdis,
Palestina, dan pernah berjasa memberantas penyakit yang menelan banyak korban di
Palestina. Atas jasanya itu, oleh pemerintah Palestina ia diberi ijazah wilayah (daerah
kekuasaan) di Palestina, namun Sunan Kudus mengharapkan hadiah tersebut
dipindahkan ke Pulau Jawa, dan oleh Amir (penguasa setempat) permintaan itu
dikabulkan. Sekembalinya ke Jawa ia mendirikan masjid di daerah Loran tahun 1549,
masjid itu diberi nama Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar (Masjid Menara Kudus) dan
daerah sekitarnya diganti dengan nama Kudus, diambil dari nama sebuah kota di
Palestina, al-Quds. Dalam melaksanakan dakwah dengan pendekatan kultural, Sunan
Kudus menciptakan berbagai cerita keagamaan. Yang paling terkenal adalah Gending
Makumambang dan Mijil. Cara-cara berdakwah Sunan Kudus adalah sebagai berikut:
12
Sunan Kudus wafat pada tahun 1550 M dan dimakamkan di Kudus. Di pintu makan
Kanjeng Sunan Kudus terukir kalimat asmaul husna yang berangka tahun 1296 H atau
1878 M.
Salah seorang Walisongo yang banyak berjasa dalam menyiarkan agama Islam di
pedesaaan Pulau Jawa adalah Sunan Muria. Beliau lebih terkenal dengan nama Sunan
Muria karena pusat kegiatan dakwahnya dan makamnya terletak di Gunung Muria (18
km di sebelah utara Kota Kudus sekarang).Beliau adalah putra dari Sunan Kalijaga
dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said, dalam berdakwah ia seperti
ayahnya yaitu menggunakan cara halus, ibarat menganbil ikan tidak sampai keruh
airnya. Muria dalam menyebarkan agama Islam. Sasaran dakwah beliau adalah para
pedagang, nelayan dan rakyat jelata. Beliau adalah satu-satunya wali yang
mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah dan beliau pulalah
yang menciptakan tembang Sinom dan kinanthi. Beliau banyak mengisi tradisi Jawa
dengan nuansa Islami seperti nelung dino, mitung dino, ngatus dino dan sebagainya.
Syarifah Mudain minta agar diizinkan tinggal dipasumbangan Gunung Jati dan
disana mereka membangun pesantren untuk meneruskan usahanya Syeh Datuk Latif
gurunya pangeran Cakra Buana. Oleh karena itu Syarif Hidayatullah dipanggil sunan
13
gunung Jati. Lalu ia dinikahkan dengan putri Cakra Buana Nyi Pakung Wati kemudian
ia diangkat menjadi pangeran Cakra Buana yaitu pada tahun 1479 dengan diangkatnya
ia sebagai pangeran dakwah islam dilakukannya melalui diplomasi dengan kerajaan
lain.
Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah Kerajaan Islam yang bebas dari
kekuasaan Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha mempengaruhi kerajaan yang belum
menganut agama Islam. Dari Cirebon, ia mengembangkan agama Islam ke daerah-
daerah lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda
Kelapa, dan Banten.
14
budaya yang sudah berakar di tengah-tengah masyarakat menurut mereka perlu
dimodifikasi, dan akhirnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah.
Ketiga, melakukan perang ideologi untuk memberantas etos dan nilai-nilai dogmatis
yang bertentangan dengan aqidah Islam, di mana para ulama harus menciptakan mitos
dan nilai-nilai tandingan baru yang sesuai dengan Islam. Salah satu tugas utama dari
para ulama yang telah dikader oleh Raden Rahmat adalah menyebarkan ajaran Islam.
15
mereka dalam tokoh-tokoh khusus seperti pemimpin, orang terpandang dan terkemuka
dalam dalam masyarakat, seperti para bupati, adipati, raja-raja ataupun menghadapi para
bangsaan lainnya.
Metode al-hikmah sebagai sistem dan cara-cara berdakwah para wali merupakan
jalan kebijaksanaan yang diselenggarakan secara popular, atraktif, dan sensational. Cara
ini mereka pergunakan dalam menghadapi masyarakat awam. Dengan tata cara yang
amat bijaksana, masyarakat awam itu mereka hadapi secara massal. Kadang-kadang
terlihat sensasional bahkan ganjil dan unik sehingga menarik perhatian umum. Dalam
rangkaian metode ini kita dapati misalnya, Sunan Kalijaga dengan gamelan Sekatennya.
Beberapa metode penting lainnya yang diterapkan oleh para walisongo sebagaimana
dikemukakan oleh Ridin Sofwan dkk (2000: 271-284) yaitu:
Pertama, metode pembentukan dan penanaman kader, serta penyebaran juru dakwah
ke berbagai daerah. Tempat yang dituju ialah daerah- daerah yang sama sekali kosong
dari penghuni atau kosong dari pengaruh Islam.
Kelima, metode dakwah melalui sarana dan prasarana yang berkait dengan masalah
perekonomian rakyat. Misalnya untuk efisiensi dalam perekonomian para wali
16
berijtihad tentang kesempurnaan alat-alat pertania, perabotan dapur, dan barang pecah
belah. Dalaam pada itu, Sunan Kaslijaga menyumbangkan karya- karya yang berkenaan
dengan pertanian seperti filsafat bajak dan cangkul. Dengan membuat jasa dalam bidang
kemamuran rakyat melalui penyempurnaan sarana dan prasara menjadi lebih sempurna,
beliau berharap dapat menarik perhatian dan ketaatan masyarakat agar menuruti ajakan
Sunan Kalijaga serta wali-walinya.
3
Agus Suyoto. Atlas Walisongo. (Depok: Pustaka Liman,2016), hlm. 385.
17
1. Nilai-Nilai dan Tradisi Keulamaan Nusantara
2. Keragaman Paham Kesufian Nusantara
3. Pesantren hasil asimilasi Pendidikan Hindhu-Budha
4. Islamisasi Nilai-Nilai Seni Budaya Nusantara
5. Tradisi Keagamaan Islam Cham
Para wali ini mendirikan masjid, baik sebagai tempat ibadah maupun sebagai tempat
mengajarkan agama. Konon, mengajarkan agama di serambi masjid ini, merupakan
lembaga pendidikan tertua di Jawa yang sifatnya lebih demokratis. Pada masa awal
perkembangan Islam, sistem seperti ini disebut ”gurukula”, yaitu seorang guru
menyampaikan ajarannya kepada beberapa murid yang duduk di depannya, sifatnya
tidak masal bahkan rahasia seperti yang dilakukan oleh Syekh Siti Jenar. Selain prinsip-
prinsip keimanan dalam Islam, ibadah, masalah moral juga diajarkan ilmu-ilmu
kanuragan, kekebalan, dan bela diri.
Sebenarnya Walisongo adalah nama suatu dewan da’wah atau dewan mubaligh. Apabila
ada salah seorang wali tersebut pergi atau wafat maka akan segera diganti oleh
walilainnya. Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam
budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol
penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga
berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam
di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah
secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang
lain. Kesembilan wali ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam penyebaran
agama Islam di pulau Jawa pada abad ke-15. Adapun peranan walisongo dalam
penyebaran agama Islam antara lain:
18
2. Sebagai para pejuang yang gigih dalam membela dan mengembangkan agama
Islam di masa hidupnya.
3. Sebagai orang-orang yang ahli di bidang agama Islam.
4. Sebagai orang yang dekat dengan Allah SWT karena terus-menerus beribadah
kepadaNya, sehingga memiliki kemampuan yang lebih.
5. Sebagai pemimpin agama Islam di daerah penyebarannya masing-masing, yang
mempunyai jumlah pengikut cukup banyak di kalangan masyarakat Islam.
6. Sebagai guru agama Islam yang gigih mengajarkan agama Islam kepada para
muridnya.
7. Sebagai kiai yang menguasai ajaran agama Islam dengan cukup luas.
8. .ebagai tokoh masyarakat Islam yang disegani pada masa hidupnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Wali Songo adalah sebuah dewan dakwah, dewan mubaligh , organisasi ulama
dalam bentuk lembaga dakwah para wali yang berjumlah sembilan. Setiap ada
yang wafat atau meninggalkan Jawa maka diangkat wali lain sebagai
penggantinya sehingga tetap berjumlah sembilan. Para Wali Songo adalah
pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasa dalam beragam
bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat jawa mulai dari perniagaan,
pelayaran dan perikanan, bercocok tanam dan persawahan, pengobatan,
kebudayaan, kesenian, pendidikan, kemasyarakatan, hingga kedalam masalah
aqidah, politik, militer, hukum, dan pemerintahan dikerajaan-kerajaan Islam.
19
2. Ada pun nama-nama sembilan orang Wali Songo yang umumnya dikenal adalah
Sunan Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik (wafat Tahun 1419), Sunan
Ampel (lahir tahun 1401), Sunan Giri atau dikenal pula sebagai Raden Paku,
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah atau juga dikenal dengan Fatahillah
(wafat tahun 1570), Suan Muria atau Raden Said, Sunan Kudus atau dikenal
pula sebagai Syekh Ja’far Shadiq, Sunan Drajat atau Raden Qasim, Sunan Kali
Jaga yang juga digelari sebagai Raden Mas Syahid, Sunan Bonang atau Raden
Ibrahim (1449-1525)
B. Saran
Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan, baik dari segi isi
maupun cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati kami sangat
berharap ada kritikan dan saran yang sifatnya untuk membangun. Terakhir kami
berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan baik bagi
kami begitu juga pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, R. 2015. Wali Songo Glora Dakwah Dan Jihad Ditanah Jawa (1404-1482
M).Solo: Al-Wafi.
Zuhdi, Ahmad, dkk. Dinamika Islam di Nusantara. (Jawa Tengah: NEM Anggota
IKAPI, 2022, hlm. 63.
20
Hatmansyah, 2017. “Strategi dan Metode Dakwah Walisongo”.
https://www.researchgate.net/publication/317432160_Strategi_dan_Metode_Dakwah_
Walisongo di akses pada tanggal 30 November 2023 pukul 04:23.
21