Anda di halaman 1dari 4

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proses penyebaran agama Islam di pulau Jawa sangat erat kaitannya dengan kegiatan dakwah Islamiyyah yang dilakukan oleh ulama dan pedagang
dari Timur Tengah. Kedatangan mereka membawa sejarah baru yang hampir mengubah wajah Jawa secara keseluruhan.1 Ketika Islam masuk ke pulau Jawa,
masyarakat telah menganut beberapa kepercayaan nenek moyang seperti Animisme dan Dinamisme serta ajaran yang masih sangat kental dengan corak
Hindu dan Budha.2 Oleh karena itu, Islam tidak secara langsung dapat diterima di tengah-tengah masyarakat jawa.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan definisi wali songo?
2. Bagaimana bentuk-bentuk saluran islamisasi yang dilakukan oleh wali songo?
3. Bagaimana model dakwah wali songo dalam proses islamisasi di jawa?
C. Tujuan Masalah
1. Agar mengetahui definisi wali songo.
2. Agar mengetahui bentuk-bentuk saluran islamisasi yang dilakukan oleh wali songo.
3. Agar mengetahui model dakwah wali songo dalam proses islamisasi di jawa.
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi wali songo
Wali Sanga (bahasa Jawa: ꦮꦮꦮꦮꦮ; Wali Sɔngɔ, "Sembilan Wali" (orang yang dipercaya)) adalah tokoh Islam yang dihormati di Indonesia,
khususnya di pulau Jawa, karena peran historis mereka dalam penyebaran agama Islam di Indonesia. Setiap anggota Wali Sanga saling dikaitkan dengan
gelar Sunan dalam bahasa Jawa, konteks ini berarti "terhormat".
Sebagian besar wali juga dijuluki Raden selama hidup mereka, karena mereka keturunan ningrat. (Lihat bagian "Gaya dan Gelar" Kesultanan
Yogyakarta untuk penjelasan tentang istilah bangsawan Jawa.) Makam (pundhen) para wali dihormati oleh masyarakat Jawa sebagai lokasi ziarah di Jawa
sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih atas manfaat dan syafaat yang mereka amalkan pada masa hidupnya. Dalam tradisi Jawa makam memiliki
istilah pundhen.
Ada beberapa pendapat mengenai arti Wali Sanga. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang berjumlah sembilan,
atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata Sanga / sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat
lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat. Pendapat lain yang mengatakan bahwa Wali Sanga adalah sebuah majelis
dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah).
Perkataan wali berasal dari bahasa Arab wala, atauz waliya yang berarti qaraba yaitu dekat. Menurut pemahaman yang berkembang dalam „urf
(tradisi) di Jawa, perkataan wali menjadi sebutan bagi orang yang dianggap keramat. Dalam kaitan ini ditemuilah istilah Walisongo atau Sembilan orang
Waliyullāh, penyiar terpenting agama Islam di Tanah Jawa. 3
Para Wali Sanga adalah pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka dapat ditemui dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru
masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga pemerintahan. Konsep Wali Sanga atau
Wali Sembilan dalam kosmologi Islam, sumber utamanya dapat dilacak pada konsep kewalian yang secara umum oleh kalangan penganut sufisme diyakini
meliputi sembilan tingkat kewalian.
Syaikh al-Akbar Muhyiddin Ibnu Araby atau Ibnu Arabi dalam kitab Futuhat al-Makkiyah memaparkan tentang sembilan tingkat kewalian dengan
tugas masing-masing sesuai kewilayahan. Kesembilan tingkat kewalian itu:
1. Wali Aqthab atau Wali Quthub, yaitu pemimpin dan penguasa para wali di seluruh alam semesta.
2. Wali Aimmah, yaitu pembantu Wali Aqthab dan menggantikan kedudukannya jika wafat.
3. Wali Autad, yaitu wali penjaga empat penjuru mata angin.
4. Wali Abdal, yaitu wali penjaga tujuh musim.
5. Wali Nuqaba, yaitu wali penjaga hukum syariat.
6. Wali Nujaba, yang setiap masa berjumlah delapan orang.
7. Wali Hawariyyun, yaitu wali pembela kebenaran agama, baik pembelaan dalam bentuk argumentasi maupun senjata.
8. Wali Rajabiyyun, yaitu wali yang karomahnya muncul setiap bulan Rajab.
9. Wali Khatam, yaitu wali yang menguasai dan mengurus wilayah kekuasaan umat Islam.
Adapun Nama para Wali Sanga tersebut yaitu:
1. Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim
2. Sunan Ampel atau Raden Rahmat
3. Sunan Bonang atau Raden Makhdum Ibrahim
4. Sunan Drajat atau Raden Qasim Syarifuddin
5. Sunan Kudus atau Raden Ja'far Shadiq
6. Sunan Giri atau Raden Paku atau Muhammad 'Ainul Yaqin atau Prabu Satmata
7. Sunan Kalijaga atau Raden Syahid
8. Sunan Muria atau Raden Umar Said
9. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah. 4
B. Bentuk-Bentuk Saluran Islamisasi Yang Dilakukan Oleh Wali Songo
Dakwah yang dilakukan para wali tidak terlepas dari amanat yang diberikan oleh Sultan Turki Muhamammad I tatkala pertama kali membentuk tim
yang dikirim ke Jawa pada tahun 1404M, yaitu menitik-beratkan keahlian para anggota tim dibidang mengatur Negara dan masyarakat, bukan dibidang
agama, dalam arti sempit kebijakan tersebut diambil untuk menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat luas dipulau jawa pada waktu itu.
Disamping itu juga, metode yang digunakan yaitu membangun ekonomi dan keamanan masyarakat, serta mendekati para pemuka kerajaan, para wali
selalu membuat pesantren untuk mendidik para murid yang baru masuk islam.59 Hasil sukses yang diperoleh Walisongo dalam menyebarkan dakwah islam
ditanah jawa tidak bisa lepas dari metode yang dipakai kala itu, yaitu:
1. Pertama berdakwah melalui jalur keluarga/perkawinan. Diceritakan dalam Babad Tanah Jawi bahwa Raden Rahmat dalam usaha memperluaskan
dakwah islam salah satu cara yang ditempuh adalah dengan menjalin hubungan genealogis dengan para tokoh islam muda yang sebagian besar adalah

1
Budiono Hadisutrisno, Islam Kejawen, (Yogyakarta: EULE BOOK, 2009), 130
2
Purwadi, Petungan Jawa: Menentukan Hari Baik dalam Kalender Jawa, (Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2009), 9.
3
Widjisaksono, Mengislamkan Tanah Jawa (Bandung: Mizan, 1995), 17-18.
4
https://id.wikipedia.org/wiki/Wali_Sanga#:~:text=Wali%20Sanga%20(bahasa%20Jawa%3A%20%EA%A6%AE%EA%A6%AD%EA%A6%B6%EA%A6%B1%EA%A6%94,penye
baran%20agama%20Islam%20di%20Indonesia.
santri beliau sendiri. Kebijaksanaan Raden Rahmat dalam mengawinkan keturunananya ini dapat dikatakan sebagai keputusan penting bagi
perkembangan islam dijawa pada kemudian hari. Dan kemudian hari hampir seluruh keturunan Raden Rahmat menempati posisi penting dalam sejarah
kekuasaan Jawa sehingga menjadikan agama islam berkembang dengan pesat.60
2. Kedua adalah dengan mengembangkan pendidikan pesantren yang mula-mula dirintis oleh Syeh Maulana Malik Ibrahim adalah suatu model pendidikan
islam yang mengambil bentuk pendidikan biara dan asrama yang dipakai pendeta dan biksu dalam mengajar dan belajar oleh sebab itu pesantren dimasa
itu memakai mandala-mandala Hindu Budha yang pengaruhnya masih terlihat sampai saat ini. Sekalipun system pendidikan pondok pesentren yang
merupakan pencakokan kebudayaan pra islam untuk pertama kali oleh Syeh Maulana Malik Ibrahim di Gesik, tetapi Raden Rahmatlah yang dianggap
paling berhasil mendidik ulama dan mengembangkan pesantren bahkan akibat keberhasilan beliau dalam mengembangkan pesantren, dalam waktu
singkat nama Ampel Denta sudah sedemikian terkenalnya.
3. Ketiga, adalah dengan mengembangkan kebudayaan Jawa dalam, kebudayaan Jawa Walisongo memberikan andil yang sangat besar. Bukan hanya dalam
pendidikan dan pelajaran, tetapi meluas pada bidang hiburan, tata sibuk, kesenian dan aspek-aspek lain dibidang kebudayaan pada umumnya. Pada
bidang ini misalnya, sunan Bonang bertugas adamel sesuluking ngelmu. Dalam kedudukanya sebagai raja ilmu dan agama gelar prabu Hanyakra
Kusuma. Beliau dibantu sunan kalijaga dalam bidang seni dan budayanya.
4. Keempat, adalah metode dakwah melalui sarana dan prasarana yang berkait dengan masalah perekonomian rakyat. Berkenan dengan perekonomian dan
kemakmuran, tampil pula Sunan Majagung sebagai nayaka (menteri) urusan ini. Beliau antara lain memikirkan masalah halal haram, masak memasak,
makanan, ikan-ikanan serta daging-dagingan untuk efiesiensi dalam perekonomian, beliau berijtihad tentang kesempurnaan alat-alat pertanian, perabot
dapur, barang pecah belah. Sunan Kalijaga menyumbangkan karya-karya yang berkenaan dengan pertanian seperti filsafat bajak dan cangkul. Dengan
membuat jasa dalam bidang kemakmuran rakyat melalui penyempurnaan sarana dan prasarana menjadi lebih sempurna itu,beliau berharap dapat menarik
perhatian dan ketaatan masyarakat agar menuruti ajakan Sunan Kalijaga serta wali-wali lainya.
5. Kelima, dalam mengembangkan dakwah Islamiyah ditanah jawa para wali menggunakan sarana politik untuk mencapai tujuanya. Dalam bidang politik
kenegaraan Sunan Giri tampil sebagai ahli Negara para Walisongo. Beliau pula yang menyusun peraturan-peraturan ketataprajaan dan pedoman-
pedoman tatacara keraton. Dalam hal ini Sunan Giri dibantu oleh Sunan Kudus yang juga ahli dalam perundang-undangan, pengadilan, dan mahkamah.
Sunan Giri banyak memegang peranan dalam mendirikan kerajaan Islam Demak, Pajang, dan bahkan Mataram, pengaruhnya bahkan diluar Jawa yaitu
Makasar, Ambon, dan Ternate.5
C. Model Dakwah Wali Songo dalam Proses Islamisasi di Jawa
1. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) berperan penting dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, khususnya Cirebon. Sunan Gunung Jati
adalah pendiri dinasti kesultanan Banten yang dimulai dengan putranya, Sultan Maulana Hasanudin. Pada tahun 1527, Sunan Gunung Jati menyerang
Sunda Kelapa di bawah pimpinan panglima perang Kesultanan Demak, Fatahillah. Sunan Gunung Jati merupakan sosok yang cerdas dan tekun dalam
menuntut ilmu. Karena kesungguhannya, ia diizinkan ibunya untuk menuntut ilmu ke Makkah. Di sana, dia berguru pada Syekh Tajudin Al-Qurthubi.
Tak lama kemudian, ia lanjut ke Mesir dan berguru pada Syekh Muhammad Athaillah Al-Syadzili, ulama bermadzhab Syafi‟i. Di sana, Sunan Gunung
Jati belajar tasawuf tarekat syadziliyah. Setelah diarahkan oleh Syekh Ataillah, Syarif Hidayatullah memutuskan pulang ke Nusantara untuk berguru
pada Syekh Maulana Ishak di Pasai, Aceh. Kemudian, ia melanjutkan perjalanan ke Karawang, Kudus, sampai di Pesantren Ampeldenta, Surabaya. Di
sana, ia berguru pada Sunan Ampel. Sunan Gunung Jati lantas diminta untuk berdakwah dan menyebarkan agama Islam di daerah Cirebon dan menjadi
guru agama. Ia menggantikan Syekh Datuk Kahfi di Gunung Sembung. Setelah masyarakat Cirebon banyak yang memeluk agama Islam, Syarif
Hidayatullah lantas lanjut berdakwah ke daerah Banten. Selama berdakwah di Cirebon, Syarif Hidayatullah menikahi Nyi Ratu Pakungwati, putri dari
Pangeran Cakrabuana atau Haji Abdullah Iman, penguasa Cirebon saat itu. Di sana, ia mendirikan sebuah pondok pesantren, lalu mengajarkan agama
Islam kepada penduduk sekitar. Para santri di sana memanggilnya dengan julukan Maulana Jati atau Syekh Jati. Selain itu, ia juga mendapatkan gelar
Sunan Gunung Jati karena berdakwah di daerah pegunungan. Pelajari mengenai Sunan Gunung Jati atau Raden Syarif Hidayatullah melalui buku Wali
Sanga: Sunan Gunung Jati yang ditulis oleh Nabila Anwar
2. Sunan Ampel
Sunan Ampel memiliki nama asli Raden Rahmat. Ia memulai dakwahnya dari sebuah pondok pesantren yang didirikan di Ampel Denta,
Surabaya. Ia dikenal sebagai pembina pondok pesantren pertama di Jawa Timur. Sunan Ampel memiliki murid yang mengikuti jejak dakwahnya, yaitu
Sunan Giri, Sunan Bonang, dan Sunan Drajat. Suatu ketika, Sunan Ampel diberi tanah oleh Prabu Brawijaya di daerah Ampel Denta. Ia lantas
mendirikan sebuah masjid. Di sana, masjid tersebut dijaga oleh Mbah Sholeh. Ia sangat terkenal sebagai orang yang selalu menjaga kebersihan. Hal itu
juga diakui oleh Sunan Ampel. Hingga suatu hari, Mbah Sholeh meninggal dunia. Ia lantas dimakamkan di samping masjid. Sepeninggal Mbah Sholeh,
Sunan Ampel tak kunjung menemukan pengganti penjaga masjid yang serajin Mbah Sholeh. Akibatnya, masjid tak terurus dan kotor. Sunan Ampel
kemudian bergumam, “Seandainya Mbah Sholeh masih hidup, pasti masjidnya jadi bersih.” Seketika itu pula sosok serupa Mbah Sholeh muncul. Ia
lantas menjalankan rutinitas yang biasa dilakukan Mbah Sholeh, namun tak lama kemudian meninggal lagi dan dimakamkan persis di samping makam
Mbah Sholeh. Peristiwa itu terulang hingga sembilan kali. Konon, Mbah Sholeh baru benar-benar meninggal setelah Sunan Ampel meninggal dunia.
Metode dakwah dari Kanjeng Sunan Ampel terkenal dengan keunikannya dimana ia melakukan upaya akulturasi dan asimilasi dari aspek budaya pra-
Islam dengan Islam, baik melalui jalan sosial, budaya, politik, ekonomi, mistik, kultus, ritual, tradi keagamaan, maupun konsep sufisme yang khas untuk
merefleksikan keragaman tradisi muslim secara keseluruhan yang dibahas pada buku Mazhab Dakwah Wasathiyah Sunan Ampel.
3. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) dikenal dengan nama Maulana Maghribi (Syekh Maghribi). Ia diduga berasal dari wilayah Magribi,
Afrika Utara. Namun demikian, hingga saat ini belum diketahui secara pasti sejarah tempat dan tahun kelahirannya. Sunan Gresik diperkirakan lahir
pada pertengahan abad ke 14. Ia merupakan guru para wali lainnya.
Sunan Gresik berasal dari keluarga muslim yang taat. Kendati ia belajar agama Islam sejak kecil, namun tidak diketahui siapa saja gurunya
hingga ia menjadi ulama. Pada abad ke-14, Sunan Gresik ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam ke Asia Tenggara. Ia berlabuh di Desa Leran,
Gresik. Saat itu, Gresik merupakan bandar kerajaan Majapahit. Tentu saja masyarakat saat itu banyak yang memeluk agama Hindu dan Buddha. Di
Gresik, ia menjadi pedagang dan tabib.
Di sela-sela itu, ia berdakwah. Sunan Gresik berdakwah melalui perdagangan dan pendidikan pesantren. Pada awalnya, ia berdagang di tempat
terbuka dekat pelabuhan agar masyarakat tidak kaget dengan ajaran baru yang dibawanya. Sunan Gresik berhasil mengundang simpati masyarakat,
termasuk Raja Brawijaya. Akhirnya, ia diangkat sebagai Syahbandar atau kepala pelabuhan. Tidak hanya jadi pedagang andal, Sunan Gresik juga
berjiwa sosial tinggi. Ia bahkan mengajarkan cara bercocok tanam kepada masyarakat kelas bawah yang selama ini dipandang sebelah mata oleh ajaran
Hindu. Karena strategi dakwah inilah, ajaran agama Islam secara berangsur-angsur diterima oleh masyarakat setempat.
4. Sunan Bonang

5
Ridin Sofwan, Islamisasi di Jawa, (Pustaka Pelajar, 2000)
Sunan Bonang adalah salah satu Wali Songo yang menyebarkan ajaran agama Islam di Tanah Jawa. Ia memiliki nama asli Syekh Maulana
Makdum Ibrahim, putra dari Sunan Ampel dan Dewi Condrowati (Nyai Ageng Manila). Namun, ada versi lain yang mengatakan Dewi Condrowati
adalah putri Prabu Kertabumi. Dengan demikian, Sunan Bonang adalah Pangeran Majapahit. Sebab, ibunya adalah putri Raja Majapahit dan ayahnya
menantu Raja Majapahit. Sunan Bonang menyebarkan ajaran agama Islam dengan cara menyesuaikan diri terhadap corak kebudayaan masyarakat Jawa.
Seperti diketahui, orang Jawa sangat menggemari wayang dan musik gamelan.
Karena itulah, Sunan Bonang menciptakan gending-gending yang memiliki nilai-nilai keislaman. Setiap bait lagu ciptaannya diselingi ucapan
dua kalimat syahadat sehingga musik gamelan yang mengiringinya kini dikenal dengan istilah sekaten. Grameds dapat membaca kisah hidup Sunan
Bonang serta ajaran spiritualnya melalui buku Sunan Bonang Kisah Hidup Sejarah Karomah & Ajaran Spiritual oleh Asti Musman dibawah ini.
5. Sunan Giri
Sunan Giri memiliki nama asli Raden Paku. Ia merupakan putra Maulana Ishak. Suatu ketika, ia ditugaskan oleh Sunan Ampel untuk
menyebarkan ajaran agama Islam di Blambangan. Semasa hidupnya. Sunan Giri pernah belajar di pesantren Ampel Denta, melakukan perjalanan haji
bersama Sunan Bonang. Sepulangnya dari haji, ia singgah di Pasai untuk memperdalam ilmu agama. Saat itu, Sunan Giri mendirikan sebuah pesantren di
daerah Giri. Kemudian, ia mengirimkan banyak juru dakwah ke berbagai daerah di nusantara. Sunan Giri juga dikenal sebagai sang ahli tata negara.
Bagaimana kisah hidup seorang Sunan Giri? Pelajari hal tersebut melalui buku Sunan Giri: Sang Ahli Tata Negara yang bisa kamu dapatkan hanya di
Gramedia.
6. Sunan Drajat (Raden Qasim)
Sunan Drajat (Raden Qasim) merupakan putra Sunan Ampel. Sunan Drajat merupakan seorang wali yang dikenal berjiwa sosial tinggi. Ia banyak
menolong yatim piatu, fakir miskin, dan orang sakit. Ia memiliki perhatian yang sangat besar terhadap masalah sosial. Sunan Drajat menyebarkan agama
Islam di Lamongan, Jawa Timur. Sunan Drajat merupakan Wali Songo yang memiliki banyak nama, yaitu Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan
Muryapada, Raden Imam, dan Maulana Hasyim. Pada 1484, ia diberi gelar oleh Raden Patah dari Demak, yaitu Sunan Mayang Madu.
Pelajari kisah hidup seorang Sunan Drajat melalui buku Sunan Drajat: Merantau Untuk Berdakwah. Ketika Sunan Drajat datang ke Desa
Banjaranyar, Paciran, Lamongan, ia mendatangi pesisir Lamongan yang gersang bernama Desa Jelak. Masyarakat sekitar masih menganut agama Hindu
dan Buddha. Di desa tersebut, Sunan Drajat membangun mushola untuk beribadah dan mengajarkan agama Islam. Selain itu, Sunan Drajat juga
membangun daerah baru di dalam hutan belantara. Ia mengubahnya menjadi daerah yang berkembang, subur, serta makmur. Daerah tersebut bernama
Drajat, oleh sebab itu ia diberi gelar Sunan Drajat.
7. Sunan Muria
Sunan Muria merupakan seorang Wali Songo yang sangat berjasa bagi penyebaran agama Islam di nusantara, terutama di daerah pedesaan. Ia
gemar bergaul dengan masyarakat kalangan bawah. Hal itu membuat masyarakat mudah menerima ajaran yang disampaikannya. Membaurnya Sunan
Muria dengan masyarakat dikenal dengan istilah “topo ngeli”. Artinya, menghanyutkan diri dalam masyarakat. Sunan Muria berdakwah dengan metode
tersebut hingga ke Gunung Muria.
Sunan Muria sendiri berasal dari nama Gunung Muria dimana tempat beliau berdakwah, mendirikan masjid dan pesantren, serta tempat beliau
dimakamkan kelak. Pelajari kisah hidup beliau secara lengkap melalui buku Sunan Muria: Pendakwah Dari Gunung Muria. Selain itu, ia juga berdakwah
lewat kesenian seperti gamelan, wayang, dan tembang jawa. Ajaran Sunan Muria meliputi penghayatan kebenaran dan ketaatan pada Allah SWT, wirid,
kesederhanaan, kedermawanan, dan ajaran dakwah secara bijak dalam menghadapi budaya masyarakat yang dianut. Karena dakwahnya, ada beberapa
hasil kesenian peninggalan Sunan Muria yang masih bisa dipelajari hingga saat ini. Di antaranya tembang Kinanthi dan Sinom. Tembang Kinanthi
terkenal karena menceritakan tentang bimbingan dan kasih sayang orang tua kepada anaknya.
8. Sunan Kudus (Jafar Sadiq)
Sunan Kudus (Jafar Sadiq) diberi gelar oleh para wali dengan nama Wali Al-ilmi yang memiliki arti orang yang berilmu luas. Sunan Kudus
memiliki keahlian khusus dalam bidang agama. Ia juga dipercaya untuk memegang pemerintahan di daerah Kudus. Sunan Kudus merupakan salah satu
Wali Songo penyebar agama Islam di Jawa, khususnya wilayah Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan beliau merupakan panglima serta pemimpin
peperangan menggantikan ayahnya yang dapat Grameds temukan pada kisah hidupnya dalam buku Sunan Kudus: Sang Panglima Perang. Sunan Kudus
merupakan putra dari Raden Usman Haji yang bergelar Sunan Ngudung di Jipang Panolan, dekat Blora.
Selain belajar agama kepada ayahnya, Sunan Kudus juga belajar kepada beberapa ulama terkenal, seperti Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang
dan Sunan Ampel. Setelah menimba ilmu agama dari Kyai Telingsing, Sunan Kudus mewarisi ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau meraih
cita-cita. Selanjutnya, Sunan Kudus juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun lamanya. Perjuangan Sunan Kudus dalam
menyebarkan agama Islam sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan para wali lainnya. Ia senantiasa menempuh jalan kebijaksanaan. Dengan siasat dan
taktik itu, masyarakat dapat diajak memeluk agama Islam.
Saat itu, masyarakat di Kudus masih banyak yang belum beriman. Tentu saja bukan pekerjaan yang mudah untuk mengajak mereka memeluk
agama. Apalagi mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat-istiadat jumlahnya tidak sedikit. Di dalam masyarakat dengan
kondisi seperti itulah Sunan Kudus harus berjuang menegakkan agama.
9. Sunan Kalijaga (Raden Sahid)
Sunan Kalijaga (Raden Sahid) merupakan anak dari adipati Tuban, Tumenggung Wilatikta. Ia dikenal sebagai budayawan dan seniman seni
suara, seni ukir hingga seni busana. Ia juga menciptakan aneka cerita wayang yang bercorak keislaman. Pelajari kisah hidup Sunan Kalijaga pada buku
Sunan Kalijaga Guru Suci Orang Jawa yan telah membuktikan dirinya mampu merubah masa suram dan melewati rintangan yang ada. Dalam
berdakwah, Sunan Kalijaga memperkenalkan bentuk wayang yang terbuat dari kulit kambing atau biasa dikenal sebagai wayang kulit. Sebab, pada masa
itu wayang populer dilukis pada semacan kertas atau wayang beber. Dalam seni suara, ia menciptakan lagu Dandanggula.
Sebelum menjadi ulama, Sunan Kalijaga konon pengalaman hidup sebagai perampok atau begal. Bahkan, ia juga pernah merampok Sunan
Bonang. Peristiwa tersebut diyakini terjadi saat Sunan Kalijaga masih berusia muda. Sunan Kalijaga juga dikenal kerap melakukan tindak kekerasan.
Aksi perampokan yang dilakukan Sunan Kalijaga diketahui oleh ayahnya. Tumenggung Wilantika pun marah, malu dan merasa namanya tercoreng
karena kelakuan buruk sang anak. Ia lantas mengusir Sunan Kalijaga dari rumah mereka. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah Sunan Kalijaga
membongkar Gudang Kadipaten untuk membagikan bahan makanan kepada orang-orang yang membutuhkan. Sebab, saat itu masyarakat Tuban hidup
sangat memprihatinkan lantaran adanya upeti ditambah musim kemarau panjang. Kendati sudah diusir dari Tuban, Sunan Kalijaga tidak berhenti
melakukan aksi pembegalan. Ia bahkan merampok orang-orang kaya di Kadipaten Tuban.
Mengetahui hal itu, ayahnya tentu semakin marah. Sunan Kalijaga kembali diusir. Kali ini ia disuruh angkat kaki dari wilayah Kadipaten Tuban.
Keluar dari daerah Tuban, Sunan Kalijaga masih juga tidak menghentikan aksi perampokan itu. Bahkan, ia sampai tega meminta harta seorang yang
sepuh. Saat itu, Sunan Kalijaga bertemu dengan seseorang di hutan Jati Wangi. Ternyata, orang tua tersebut diketahui sebagai Sunan Bonang. Raden
Syahid alias Sunan Kalijaga tidak mengenal orang tua tersebut. Karena masih memiliki jiwa begal, ia berniat untuk membegal Sunan Bonang. Bahkan,
Sunan Kalijaga berhasil melumpuhkan Sunan Bonang.
Ia pun meminta Sunan Bonang menyerahkan barang bawaannya.Tanpa disangka, Sunan Bonang menolak permintaan itu. Kemudian, Sunan
Kalijaga pun menjelaskan alasannya membegal adalah untuk membantu orang miskin. Dalam cerita versi lainnya, Sunan Kalijaga meminta maaf dan
bertobat lantaran Sunan Bonang menasihatinya dan menunjukkan kesaktiannya, yaitu mengubah buah pohon aren menjadi emas. Pertemuan tersebut
membuat Sunan Kalijaga bertobat dan langsung memohon agar diperbolehkan menjadi muridnya.
Sunan Bonang tentu saja menerima permintaan tersebut. Namun, Sunan Bonang mengajukan suatu syarat, yaitu Sunan Kalijaga harus bersemedi
di pinggir kali sampai Sunan Bonang kembali. Sunan Kalijaga pun menyanggupi syarat tersebut. Dikisahkan, Sunan Bonang pun akhirnya kembali ke
tempat yang sama setelah tiga tahun lamanya. Ia lantas menemukan tubuh Sunan Kalijaga sudah dirambati oleh rerumputan. Melihat keteguhan hati
Sunan Kalijaga, Sunan Bonang pun takjub. Atas peristiwa itu lah kemudian Raden Syahid diberi nama “Sunan Kalijaga”. Artinya, penjaga kali. Selain
itu, Sunan Kalijaga juga dapat diartikan sebagai orang yang senantiasa menjaga semua aliran atau kepercayaan yang dianut masyarakat.
Sunan Kalijaga menjadi satu-satunya wali yang paham dan mendalami segala pergerakan, aliran atau agama yang hidup di tengah masyarakat.
Selain itu, Sunan Kalijaga juga memiliki cara yang unik saat menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Ia berhasil mengenalkan ajaran agama Islam
dengan memadukan budaya Jawa seperti wayang. Bahkan, Sunan Kalijaga juga mengarang sebuah tembang Jawa yang sangat terkenal sampai saat ini,
yaitu Ilir-Iliri
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
Kata Wali berasal dari bahasa Arab wala, atauz waliya yang berarti qaraba yaitu dekat. Menurut pemahaman yang berkembang dalam „urf (tradisi) di
Jawa, perkataan wali menjadi sebutan bagi orang yang dianggap keramat. Dalam kaitan ini ditemuilah istilah Walisongo atau Sembilan orang Waliyullāh,
penyiar terpenting agama Islam di Tanah Jawa.
Bentuk-Bentuk Saluran Islamisasi Yang Dilakukan Oleh Wali Songo yaitu melalui Pertama berdakwah melalui jalur keluarga/perkawinan, Kedua
adalah dengan mengembangkan pendidikan pesantren, Ketiga adalah dengan mengembangkan kebudayaan Jawa, Keempat adalah metode dakwah melalui
sarana prasarana dan Kelima menggunakan sarana politik untuk mencapai tujuanya. Para Wali melakukan dakwahnya dengan sangat tekun, mereka mampu
memahami kondisi masyarakat Jawa pada saat itu
DAFTAR PUSTAKA

Budiono Hadisutrisno, Islam Kejawen, (Yogyakarta: EULE BOOK, 2009).

https://id.wikipedia.org/wiki/Wali_Sanga#:~:text=Wali%20Sanga%20(bahasa%20Jawa%3A%20%EA%A6%AE%EA%A6%AD%EA%A6%B6%EA%A6%B1%
EA%A6%94,penyebaran%20agama%20Islam%20di%20Indonesia.

Purwadi, Petungan Jawa: Menentukan Hari Baik dalam Kalender Jawa, (Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2009).

Ridin Sofwan, Islamisasi di Jawa, (Pustaka Pelajar, 2000)

Widjisaksono, Mengislamkan Tanah Jawa (Ban

Anda mungkin juga menyukai