Anda di halaman 1dari 8

PENDAHULUAN

WALI SONGO

Walisongo secara sederhana artinya sembilan orang yang telah mencapai tingkat ―Wali‖,
suatu derajat tingkat tinggi yang mampu mengawal babahan hawa sanga (mengawal sembilan
lubang dalam diri manusia), sehingga memiliki peringkat wali.11 Para wali tidak hidup
secara bersamaan. Namun satu sama lain memiliki keterkaitan yang sangat erat, bila tidak
dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.12

Menurut Solichin Salam dalam Sekitar Wali dan Songo. Kata wali berasal dari bahasa Arab,
suatu bentuk singkatan dari waliyullah, yang berarti orang yang mencintai dan dicintai Allah.
Sedangkan kata songo berasal dari bahasa Jawa yang berarti sembilan. Jadi, Wali Songo
berarti wali sembilan, yakni Sembilan orang yang mencintai dan dicintai Allah. Mereka
dipandang sebagai ketua kelompok dari sejumlah besar mubaligh Islam yang bertugas
mengadakan dakwah Islam di daerah-daerah yang belum memeluk Islam di Jawa.

Menurut pemahaman yang berkembang dalam masyarakat Jawa, istilah Wali Songo,
dikaitkan dengan sekelompok penyiar agama di Jawa yang hidup

dalam kesucian sehingga memiliki kekuatan batin tinggi, berilmu kesaktian luar biasa,
memiliki ilmu jaya kawijayan, dan keramat.13

Konsep Wali Songo dalam kosmologi Islam, sumber utamanya dapat dilacak pada konsep
kewalian yang secara umum oleh kalangan penganut sufisme diyakini meliputi Sembilan
tingkat kewalian. Syaikh al-Akbar Muhyidin Ibnu Alfaraby dalam kitab futuhiyat al-makiyah
memaparkan tentang Sembilan tingkatan wali dengan tugas masing-masing sesuai
kewilayahan. Kesembilan tingkatan kewalian itu: 1. Wali Aqhtab atau wali quthub, yaitu
pemimpin dan penguasa para wali diseluruh alam semesta; 2. Wali aimmah, pembantu wali
aqhtab dan menggantikan wali aqhtab jika wafat; 3. Wali Autad, yaitu wali penjaga empat
penjuru mata angin; 4. Wali Abdal, yaitu wali penjaga tujuh musim; 5. Wali Nuqaba, yaitu
wali penjaga hukum syariat; 6. Wali Nujaba, yaitu yang setiap masa berjumlah delapan
orang; 7. Wali Hawariyun, yaitu wali pembela kebenaran agama, baik pembelaan dalam
bentuk argumentasi maupun senjata; 8. Wali Rajabiyyun, yaitu wali yang karomahnya
muncul disetiap bulan rajab; 9. Wali Khatam, yaitu wali yang menguasai dan mengurus
wilayah kekuasaan umat Islam.14

Menurut cerita rakyat dan pandangan umum berlaku dalam sastra jawa, Islam datang dan
menyebar di Jawa adalah berkat jasa Sembilan pendakwah yang tergabung dalam suatu
dewan yang disebut Walisongo

Mereka adalah orang-orang yang sangat dihormati masyarakat dan hingga sekarang ini
kuburan mereka masih merupakan tempat penting bagi peziarah muslim seluruh Indonesia.

STRATEGI DAKWAN WALISONGO


KESENIAN

Wali Songo merupakan para tokoh penting dalam proses Islamisasi di tanah Jawa.
Kesuksesan dakwah tersebut tak terlepas dari kepiawaian membaca situasi kondisi demografi
masyarakat setempat agar lancar manjalankan siyasah dan strategi dakwah.

Selama perjuangannya menyebarkan ajaran Islam, Wali Songo, terutama Sunan Bonang,
selalu memasukkan unsur permainan dan kesenian yang tidak membuat masyarakat jenuh.

Unsur-unsur permainan dan kesenian yang dibawakan Wali Songo memang sederhana.
Namun, memiliki nilai dan arti yang serat dengan pesan moral dan etika syar'i yang memiliki
multidimensi, baik spiritual maupun sosial.

Kesenian, semisal wayang, gamelan, suluk, dan jelungan, misalnya, pada akhirnya menjadi
defusi penyebaran kebudayaan yang diterima dengan cepat oleh masyarakat setempat.
Berikut sejumlah kesenian yang menjadi penopang dakwah Wali Songo:

Seni Suluk

Suluk merupakan salah satu jenis karangan tasawuf yang dikenal dalam masyarakat modern
adalah karya sastra. Cara membaca karya ini memang tidak seperti membaca karya seni tulis
lainnya. Pembacaan suluk harus menggunakan nada atau emosi yang nadanya naik turun.

Karya seni suluk ini dipopulerkan oleh Sunan Bonang ketika berdakwah pada abad ke-15.
Salah satunya adalah Suluk Wijil yang dipengaruhi kitab as-Shidiq karya Abu Said al-Khayr.

Wayang dan Gamelan

Selain suluk, seni pewayangan dan gamelan juga media yang digunakan Sunan Bonang
dalam berdakwah. Musik gamelan yang terdiri atas alat musik, seperti demung, gong,
kenong, slentem, bonang, peking, gender, dan beberapa instrumen lainnya saling bersautan
dengan membentuk sebuah nada pentatonis. Sekarang gamelan yang alatnya kebanyakan
terbuat dari bahan logam ini sering dipentaskan masyarakat Jawa ketika ada acara khitanan
atau pernikahan.

Jelungan
Meski tidak ada relevansinya dengan unsur dakwah, jelungan sangat membantu Wali Songo,
dalam hal ini Sunan Giri, dalam mendekati masyarakat setempat sebelum menyampaikan
ajaran Islam atau berdakwah, di samping jamuran dan cublek suweng.

Prinsip permainan jelungan adalah pemenang bersembunyi, sementara pemain kalah atau
berusaha mencari pemain lain tanpa harus meninggalkan terlalu jauh di pangkalan atau bahan
pohon yang sudah ditentukan sebagai tempat bermain. Filosofinya, seorang yang sedang
berpegang teguh pada akidah islam

PENDIDIKAN

pendidikan dan pencetakan kader dakwah. Setiap wali yang berperan dan memiliki sebuah
wilayah dakwah, hal pertama yang diperbuat adalh membangun sarana pendidikan berupa
pesntren. Dari sinilah, mereka menemukan atau kedatangan murid-murid dari kalangan warga
sekitar dan berbagai penjuru daerah. Dalam mencetak kader dakwah yang kuat, setiap
pesantren yang dahulunya diambil dari model pendidikan dukuh ala pendidikan Hindu-Budha
dalam mendidik para wiku, memiliki kurikulum yang ketat dan terstruktur. Mereka diajarkan
tentang ilmu utama dalam Islam yang meliputi Aqidah, Al-Quran, Hadits hingga ilmu Fiqih
dan tafsir. Kemudian mereka juga mendapatkan tambahan materi berupa ilmu
ketatanegaraan, ekonomi dan ilmu aplikatif lainnya seperti pertanian. Tak lupa dalam
pesantren ini seorang santri juga wajib menguasai ilmu beladiri, karena sebagai seorang kader
dakwah selain dituntut memiliki kapasitas keilmuan juga harus memiliki tubuh yang kuat
guna melawan hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan adanya basis pendidikan ini maka para
wali berhasil membentu generasi yang unggul. Beberapa contoh Wali yang berhasil
mengembangkan model pendidikan ini adalah Sunan Ampel yang melahirkan generasi Sultan
Fattah dan Sunan Bonang, Giri Kedathon yang menghasilkan murid dari seluruh Jawa hingga
melahirkan Kesultanan Ternate, Tidore, Lombok dan Bima.

KEBUDAYAAN
Bagi seorang juru dakwah, mengubah sebuah tatanan masyarakat yang sangat kompleks dan
telah mengakar dalam sebuah tatanan laku hidup sehari-hari memang tidaklah semudah
berdebat secara ilmiah dan logika. Oleh karena itu, dalam dakwahnya kepada masyarakat
Jawa, tidak jarang para wali menerapkan beberapa model dakwah dengan memasuki unsur-
unsur kebudayaan yang ada di masyarakat. Para Wali berani memasuki wilayah ini tentu
dengan sebuah prinsip yang tidak dapat ditawar, yaitu senantiasa membelokkan adat dan
norma yang sesuai dengan ajaran Islam dan membuang serta mengganti adat yang berbau
kesyirikan dengan memasukkan unsur Islam ke dalam adat tersebut.

Para juru dakwah kontemporer menamakan model dakwah ini dengan sebutan Metode al-
hikmah, dimana cara-cara berdakwah para wali merupakan jalan kebijaksanaan yang
diselenggarakan secara popular, atraktif, dan sensasional. Cara ini mereka pergunakan dalam
menghadapi masyarakat awam. Dengan tata cara yang amat bijaksana, masyarakat awam itu
mereka hadapi secara massal. Kadang-kadang terlihat sensasional bahkan ganjil dan unik
sehingga menarik perhatian umum. Dalam rangkaian metode ini kita dapati misalnya, Sunan
Kalijaga dengan gamelan Sekatennya. Atas usul Sunan kalijaga, maka dibuatlah keramaian
dengan gamelan Sekaten yang secara istilah diambil dari ata syahadattain (dua kalimah
pesaksian kunci keIslaman), yang diadakan di Masjid Agung dengan memukul gamelan yang
sangat unik dalam hal langgaman lagu maupun komposisi instrumental yang telah lazim pada
waktu itu. Keramaian diadakan menjelang peringatan hari Maulud Nabi Muhammad SAW.
Selain itu, Sunan Kalijaga juga menggelar lakon wayang baru dan telah dimodifikasi dengan
mengganti seluruh konten-konten syirik karya Mpu Walmi dengan konsep tauhid dan ajaran
Islam.

Selain Sunan Kalijaga, ada pula Sunan Giri yang banyak menciptakan tembang-tembang
macapat seperti Asmarandhana, dan Pucung yang kesemuanya merupakan sebuah tutur laku
dalam kehidupan manusia. Asmarandhana adalah nasihat bagi mereka yang sedang masuk
usia pernikahan agar selalu mawas diri dan waspada terhadap pergaulan yang tidak baik,
sedangan pucung adalah pengingat bahwa setiap manusia pasti akan menemui sebuah
kematian. Selain itu Sunan Giri juga menciptakan beberapa jenis permainan dan lagu
dolanan. Hal ini ditujukan untuk memberikan dakwah Islam kepada semua kalangan usia
termasuk anak-anak. Diantara karya tersebut adalah permainan cublak-cublak suweng,
padhang mbulan dan jelungan.

POLITIK/PEMERINTAHAN
Dalam mengembangkan dakwah Islam di tanah Jawa para wali tentu juga menggunakan
sarana politik untuk mencapai tujuannya, yaitu menegakkan hukum Allah secara menyeluruh.
Oleh karena itu, dengan melihat keadaan kekuasaan Majapahit yang terus mengalami
penurunan, maka para Wali saat itu mulai mengarahkan perhatiannya kepada Demak.
Sebagai langkah awal adalah dengan mendirikan pusat dakwah dan koordinasi yaitu Masjid
Demak. Setelah posisi Majapahit benar-benar lemah maka Demak tampil sebagai wajah baru
dalam babak dakwah Islam di tanah Jawa. Yaitu dengan tegaknya pemerintahan Islam dan
diberlakukannya hukum syariat melalui kitab undang-undang Angger-angger Surya Alam.

Dengan adanya perlindungan dari sebuah negara, maka dakwah Islam semakin meluas.
Langkah-langkah amar ma’ruf nahi munkar juga lebih efektif karena umat Islam memiliki
kekuatan hukum dan kekuatan penegakan hukum alhasil akselerasi dakwah menjadi sangat
pesat jika unsur kekuatan politik telah dimiliki.

KESIMPULAN
Sebagian orang meyakini bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7, meski demikian
masih banyak terjadi perdebatan perihal waktu yang tepat Islam masuk ke Indonesia. Dugaan
besar mengemukakan bahwa Islam masuk ke Indonesia sebelum abad ke-11, dengan alasan
bahwa sudah banyak pedagang muslim dari Timur sebelum abad ke-11. Mereka tidak hanya
berdagang, akan tetapi menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa.

Masifnya penyebaran ajaran Islam tidak lepas dari peran para penyebar Islam (baca: wali)
yang dipercaya hingga kini sebagai orang yang memiliki andil besar terhadap perkembangan
Islam di tanah Jawa. Para penyebar agama Islam di Jawa lebih dikenal dengan sebutan Wali
Songo yang terdiri dari Sunan Ampel, Sunan Giri, Maulana Malik Ibrahim, Sunan Bonang,
Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat dan Sunan Muria.

Diantara faktor yang menjadikan Wali Songo memiliki pengaruh besar terhadap masyarakat
sehingga mereka mau memeluk agama Islam adalah karena keistimewaan yang mereka
miliki. Misalnya, mereka memiliki kemampuan yang di luar kebiasaan manusia pada
umumnya dan tidak bisa dijangkau dengan akal sehat, karomah. Hal ini menjadi salah satu
pemicu yang membuat masyarakat percaya terhadap ajaran yang mereka bawa. Selain itu,
dakwah yang mereka lakukan tidak dengan cara pamemaksaan

Islam yang dibawa oleh para Walisongo tidak pernah menghilangkan budaya yang
berkembang di suatu daerah, mereka justru mengkombinasikan sebuah kesenian, budaya
dengan nilai-nilai keislaman.

Setidak-tidaknya, ada beberapa strategi yang dilakukan oleh Walisongo dalam melakukan
dakwah penyebaran ajaran Islam (Hatmasyah: 2015). Pertama, pembagian wilayah dakwah.
Pembagian dakwah ini dilakukan tidak lain agar Islam bisa tersebar di kalangan masyarakat
secara luas. Pembagian lokasi dakwah dipilih secara betul mengingat bahwa kondisi geologis
disuatu daerah begitu beragam. Misalnya saja: Maulana Malik Ibrahin, sebagai wali perintis,
mengambil wilayah dakwahnya di Gresik. Setelah beliau wafat, wilayah tersebut dikuasai
oleh Sunan Giri.

Kedua, Sistem dakwah dilakukan secara persuasif dengan pengenalan akidah, hal tersebut
bisa kita dapati ketika Sunan Ampel dan kawan-kawan melakukan pendekatan dalam upaya
dakwah kepada Adipati Arya Damar Dari Palembang, berkat keramahan dan kebijaksanaan
Raden Rahmat, akhirnya Raden Arya bersedia masuk Islam beserta keluarganya, kemudian
diikuti oleh hampir seluruh rakyatnya.

Ketiga, memberantas ideologi yang bertentangan dengan ajaran Islam, tentu strategi ini
menjadi strategi penting dalam dakwah Wali Songo. Mengingat agama yang berkembang
pada saat itu, bukanlah agam Islam, maka mengenalkan agama Islam kepada masyarakat
harus dengan berbagai strategi agar ajaran Islam menjadi pdeoman hidup masyarakat.

Keempat, pendekatan dengan para tokoh disuatu tempat. Dengan mendekati para tokoh yang
berpengaruh di suatu daerah/tempat, para Wali Songo mudah diterima oleh masyarakat, hal
tersebut juga dilakukan dalam rangka menghindari konflik yang akan terjadi dengan berbagai
resiko penolakan.

Kelima, berusaha menguasai kebutuhan pokok masyarakat, dengan menguasasi kebutuhan


pokok masyarakat, para Wali Songo bisa melakukan dakwah dengan cara tersebut, adapun
berbagai kebutuhan pokok masyarakat, seperti: air, bidang pertanian, hingga kebutuhan yang
lain.

Akhirnya, dari sekian strategi dakwah yang dilakukan oleh Wali Songo dalam menyebarkan
Islam di Jawa, saya meyakini bahwa alih-alih dengan cara pemaksaan untuk memeluk Islam,
mengenalkan Islam secara persuasif dan dengan cara lemah lembut menjadi cara dakwah
yang paling efektif dan dapat diterima oleh banyak orang.

Anda mungkin juga menyukai