Anda di halaman 1dari 7

Tokoh-Tokoh Dalam Penyebaran Dan Perkembangan Islam Di Nusantara

Menurut sejarah, 9 Wali Songo berperan dalam penyebaran Islam di pulau Jawa.
Jika sebelum 9 Wali Songo masih menggunakan sistem dakwah dengan pola mengajak komunitas
masyarakat dari berbagai kepercayaan untuk mengikuti ajaran Islam. Kedatangan 9 Wali Songo
justru melakukan hal yang berbeda.
Mereka menyebarkan dan mengenalkan ajaran agama Islam melalui budaya. Dengan lebih
menekankan pada pola mengenalkan budaya baru di tengah institusi kuasa kerajaan, yaitu budaya
agama Islam yang berintegrasi dengan budaya lokal atau nilai-nilai kearifan lokal sehingga dapat
lebih diterima oleh masyarakat pada saat itu.
9 Wali Songo

1. Sunan Gresik
Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim menyebarkan Islam di wilayah Gresik, Jawa Timur.
Salah satu tokoh 9 Wali Songo ini berdakwah dengan cara berbarur dalam pergaulan di masyarakat
sekitar.
Selain itu, Sunan Gresik turut mengajarkan cara bercocok ke masyarakat untuk mengambil hati
masyarakat sehingga rencana dakwah Islamnya dapat diterima dengan baik.
Sunan Gresik yang juga dianggap sebagai orang pertama yang menyebarkan Islam di Jawa
mendirikan pondok pesantren dan masjid sebagai tempat untuk mengajarkan agama Islam.
2. Sunan Ampel
Sunan Ampel putra Syaikh Ibrahim As-Samarkandi adalah tokoh 9 Wali Songo tertua yang
berperan besar dalam pengembangan dakwah Islam di Jawa dan tempat lain di Nusantara.
Melalui Pesantren Ampeldenta, Sunan Ampel mendidik kader-kader penggerak dakwah Islam
seperti Sunan Giri, Raden Patah, Raden Kusen, Sunan Bonang, dan Sunan Drajat.
Dengan cara menikahkan juru dakwah Islam dengan putri-putri penguasa bawahan Majapahit,
Sunan Ampel membentuk keluarga-keluarga muslim dalam suatu jaringan kekerabatan yang
menjadi cikal bakal dakwah Islam di berbagai daerah.
Sunan Ampel sendiri menikahi putri Arya Teja, Bupati Tuban, yang juga cucu Arya Lembu Sura
Raja Surabaya yang muslim.
Jejak dakwah Sunan Ampel tidak hanya di Surabaya dan ibu kota Majapahit, melainkan meluas
sampai ke daerah Sukadana di Kalimantan.

3. Sunan Giri
Sunan Giri putra Syaikh Maulana Ishak adalah tokoh Wali Songo yang berkedudukan sebagai raja
sekaligus guru suci (pandhita ratu).
Ia memiliki peran penting dalam pengembangan dakwah Islam di Nusantara dengan memanfaatkan
kekuasaan dan jalur perniagaan.
Sebagaimana guru sekaligus mertuanya, Sunan Ampel, Sunan Giri mengembangkan pendidikan
dengan menerima murid-murid dari berbagai daerah di Nusantara.
Sunan Giri mengembangkan dakwah Islam melalui pendidikan masyarakat dengan memanfaatkan
seni pertunjukan yang sangat menarik minat masyarakat.
Sunan Giri tidak saja dikenal sebagai pencipta tembang-tembang dolanan anak-anak, tembang
tengahan dengan metrum Asmaradhana dan Pucung yang sangat digemari masyarakat, melainkan
telah pula melakukan perubahan reformatif atas seni pertunjukan wayang.
Sejarah mencatat, jejak dakwah Sunan Giri beserta keturunannya mencapai daerah Banjar,
Martapura, Pasir, dan Kutai di Kalimantan, Buton dan Gowa di Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara,
bahkan Kepulauan Maluku.

4. Sunan Bonang
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel dari pernikahan dengan Nyai Ageng Manila putri Arya
Teja Bupati Tuban.
Sunan Bonang dikenal sebagai tokoh 9 Wali Songo yang ulung dalam berdakwah dan menguasai
ilmu fikih, ushuludin, tasawuf, seni, sastra, arsitektur, dan berbagai ilmu kesaktian, dan
kedigdayaan.
Dakwah awal dilakukan Sunan Bonang di daerah Kediri yang menjadi pusat ajaran Bhairawa-
Tantra. Dengan membangun masjid di Singkal yang terletak di sebelah barat Kediri, Sunan Bonang
mengembangkan dakwah Islam di pedalaman yang masyarakatnya masih menganut ajaran
Tantrayana. Setelah meninggalkan Kediri, Sunan Bonang berdakwah di Lasem.
Sunan Bonang dikenal mengajarkan Islam melalui wayang, tasawuf, tembang, dan sastra sufstik.
Karya sastra sufstik yang digubah Sunan Bonang dikenal dengan nama Suluk Wujil.

5. Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah putra Tumenggung Wilatikta Bupati Tuban. Sunan Kalijaga dikenal sebagai
tokoh 9 Wali Songo yang mengembangkan dakwah Islam melalui seni dan budaya.
Sunan Kalijaga termasyhur sebagai juru dakwah yang tidak saja piawai mendalang melainkan
dikenal pula sebagai pencipta bentuk-bentuk wayang dan lakon-lakon carangan yang dimasuki
ajaran Islam.
Melalui pertunjukan wayang, Sunan Kalijaga mengajarkan tasawuf kepada masyarakat.

6. Sunan Gunung Jati


Sunan Gunung Jati adalah putra Sultan Hud yang berkuasa di wilayah Bani Israil, yang masuk
wilayah Mesir.
Sunan Gunung Jati dikenal sebagai tokoh 9 Wali Songo yang menurunkan sultan-sultan Banten dan
Cirebon.
Strategi dakwah yang dijalankan Sunan Gunung Jati adalah memperkuat kedudukan politis
sekaligus memperluas hubungan dengan tokoh-tokoh berpengaruh di Cirebon, Banten, dan Demak
melalui pernikahan.
Selain itu, Sunan Gunung Jati menggalang kekuatan dengan menghimpun orang-orang yang
dikenal sebagai tokoh yang memiliki kesaktian dan kedigdayaan.

7. Sunan Drajat
Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel dan adik dari Sunan Bonang. Sunan Drajat dikenal sebagai
tokoh 9 Wali Songo yang mengembangkan dakwah Islam melalui pendidikan akhlak bagi
masyarakat.
Sunan Drajat dikenal memiliki kepedulian tinggi terhadap nasib fakir miskin. Sunan Drajat
mendidik masyarakat sekitar untuk memperhatikan nasib kaum fakir miskin, mengutamakan
kesejahteraan umat, memiliki empati, etos kerja keras, kedermawanan, pengentasan kemiskinan,
usaha menciptakan kemakmuran, solidaritas sosial, dan gotong royong.
Sunan Drajat juga mengajarkan kepada masyarakat teknik-teknik membuat rumah dan membuat
tandu.

8. Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung. Sunan Kudus dikenal sebagai tokoh Wali Songo yang
tegas dalam menegakkan syariat.
Sama seperti wali yang lain, Sunan Kudus dalam berdakwah berusaha mendekati masyarakat untuk
menyelami serta memahami kebutuhan apa yang diharapkan masyarakat.
Itu sebabnya, Sunan Kudus dalam dakwahnya mengajarkan penyempurnaan alat-alat pertukangan,
kerajinan emas, pande besi, membuat keris pusaka, dan mengajarkan hukum-hukum agama yang
tegas.

9. Sunan Muria
Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga. Sunan Muria merupakan tokoh 9 Wali Songo yang
paling muda usianya. Sebagaimana Sunan Kalijaga, Sunan Muria berdakwah melalui jalur budaya.
Sunan Muria dikenal sangat piawai menciptakan berbagai jenis tembang cilik (sekar alit) jenis
sinom dan kinanthi yang berisi nasehat-nasehat dan ajaran Tauhid.
Seperti ayahnya, Sunan Muria juga dikenal pintar mendalang dengan membawakan lakon-lakon
carangan karya Sunan Kalijaga.
Ulama Penyebar Islam Pasca Wali Songo

Syaikh Muhammad Yusuf al-Makassari

Beliau lahir di Moncong Loe, Gowa, Sulawesi Selatan pada tanggal 3 Juli 1626 M/1037 H. Ia
memperoleh pengetahuan Islam dari banyak guru, di antaranya: Sayid Ba Alwi bin Abdullah
al-‘Allaham (orang Arab yang menetap di Bontoala), Syaikh Nuruddin ar-Raniri (Aceh),
Muhammad bin Wajih as-Sa’di al-Yamani (Yaman), Ayub bin Ahmad bin Ayub ad-Dimasyqi al-
Khalwati (Damaskus), dan lain sebagainya.

Syaikh Abdus Shamad al-Palimbani

Ia merupakan salah seorang ulama terkenal yang berasal dari Sumatra Selatan. Ayahnya adalah
seorang Sayid dari San’a, Yaman. Ia dikirim ayahnya ke Timur Tengah untuk belajar. Di antara
ulama sezaman yang sempat bertemu dengan beliau adalah: Syaikh Muhammad Arsyad al-Banjari,
Abdul Wahab Bugis, Abdurrahman Bugis al- Batawi dan Daud al-Tatani.

Semasa hidup, Syekh Abdus Shomad tidak hanya aktif dalam berdakwah ke berbagai daerah di
Timur Tengah, tetapi juga menjadi seorang penulis yang produktif. Kitabnya sampai sekarang
masih dibaca dan dipelajari di Palembang, terutama Hidayatus Salikin dan Sairus Salikin. Adapun
beberapa karangannya adalah:

 Zuhratul Murid (Mantiq, 1764)


 Tuhfat alRaghibin (1774)
 Urwat al Wusqa (Tarekat Sammaniyah)
 Ratib Abdus Somad
 Zad alMuttaqin (Tauhid)
 Siwatha al Anwar
 Fadhail alIhya li alGhazali (Tasawuf )
 Risalah Aurad wa Zikir
 Irsyadan afdhal alJihad
 Nasihat al-Muslimin wa Tazkirat al-Mukminin fi Fadhail al-Jihad fi Sabilillah (Perang
Sabil)
 Hidayat al Salikin (Tasawuf, 1778)
 Sair as Salikin (Tasawuf, 17791788)

Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani

Dalam khazanah keilmuan Islam klasik (salafiyyah) di Indonesia (termasuk di dunia), nama Syekh
Nawawi al-Bantani jelas sudah tidak asing lagi. Beliau adalah salah seorang putera terbaik
Indonesia yang dalam sejarahnya memiliki pengaruh sangat besar di pusat studi keislaman yang
saat itu berada di Mekkah. Sebagai guru besar dalam berbagai fan ilmu pengetahuan baik tafsir,
fiqih (syariah), tauhid (kalam), lughah (bahasa), maupun adab (sastera), Syekh Nawawi jelas
memiliki kapasitas keilmuan yang tidak bisa dipandang sebelah mata oleh ulama pada masanya di
seluruh dunia, paling tidak melalui murid-muridnya. Oleh karenanya, diantara sekian banyak nama
putera terbaik Indonesia yang pernah menjadi “kampiun” di pusat-pusat keislaman dunia, nama
Syekh Nawawi al-Bantani jelas merupakan tokoh paling sentral. Di masa kecil, Nawawi al-Bantani
mengenyam pendidikan dari orang tuanya. Kemudian ia belajar kepada Kyai Sahal (Banten) dan
KH. Yusuf (Purwakarta). Pada sekitar usia 15 tahun, ia menunaikan ibadah haji ke Mekkkah dan
bermukim di sana selama 3 tahun. Selama itu, ia banyak menimba ilmu pengetahuan dari beberapa
syekh di perguruan tinggi di Masjidil Haram, seperti Syekh Ahmad Nahrawi, Syekh Ahmad
Dimyati, dan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Selain itu, ia juga belajar di Madinah di bawah
bimbingan Syekh Muhammad Khathib al-Hanbali.

Pada sekitar tahun 1248 H (1831 M), ia kembali ke tanah kelahirannya di Tanara dan mengelola
pesantren peninggalan orang tuanya. Namun karena kondisi politik kolonial yang tidak
menguntungkan, maka selama tinggal selama 3 tahun di Tanara, ia kembali ke Mekkah dan
memperdalam lagi ilmu pengetahuannya kepada Syekh Abdul Ghani Bima, Syekh Yusuf
Sumulawaini, dan Syekh Abdul Hamid ad-Daghistani. Di Mekkah, beliau tinggal di perkampungan
Syi’b Ali. Selain belajar di Mekkah dan Madinah, beliau juga pernah menimba ilmu pengetahuan di
Mesir dan Syam (Siria). Dengan bekal ilmu pengetahuan yang ditekuninya selama sekitar 3 dekade,
Nawawi al-Bantani kemudian mengajar di Masjidil Haram, Mekkah. Murid-murid beliau berasal
dari berbagai pelosok dunia, termasuk Indonesia.

Hamzah Fansuri

Hamzah Fansuri adalah seorang ulama dan sufi besar pertama di Aceh. Beliau adalah penulis
produktif yang menghasilkan karya risalah keagamaan dan juga prosa yang sarat dengan ide-ide
mistis. Selain itu aktif menulis karya-karya tentang tasawuf pada paruh ke dua abad ke- 16. dan
menguasai bahasa Arab, bahasa Parsi, disamping juga menguasai bahasa Urdu. Paham tasawuf
yang dibawanya adalah Wujudiyah. Kepopuleran nama Hamzah Fansuri tidak diragukan lagi,
banyak pakar telah mengkaji keberadaan Hamzah yang sangat popular lewat karya-karyanya yang
monumental. Namun mengenai dimana dan kapan persisnya Hamzah lahir, sampai saat ini masih
menjadi pertanyaan dan perbedaan pendapat para ahli sejarah. Hal itu disebabkan karena belum
terdapat catatan yang pasti tentang hal tersebut. Satu-satunya data yang dapat dihubungkan dengan
tempat kelahiran Hamzah adalah Fansur, yang merupakan suatu tempat yang terletak antara Sibolga
dan Singkel. Dari sebutan namanya Hamzah Fansuri, yang berarti Hamzah dari Fansur, yang
menunjukkan bahwa Hamzah memang berasal dari Fansur yang merupakan pusat pengetahuan
Islam lama di Aceh bagian Barat Daya. Hal yang sama dikatakan oleh Francois Valentijn bahwa
Hamzah Fansuri seorang penyair Melayu termasyhur yang dilahirkan di Fansur (Barus) sehingga
negeri tersebut terkenal dikarenakan syair-syair Melayu gubahannya.

Syamsudin al-Sumatrani

Sufi besar yang muncul di Aceh sesudah Hamzah Fansuri ialah Syamsudin Al-Sumatrani, atau yang
juga dikenal sebagai Syamsudin Pasai karena berasal dari Pasai. Sebagai penulis risalah tasawuf dia
lebih produktif daripada pendahulunya itu. Banyak mengarang kitabnya dalam bahasa Melayu dan
Arab. Syamsudin Pasai ini seorang ulama dan sangat disayangi sultan Iskandar Muda, sehingga ia
diangkat sebagai pembantu dekatnya, Seorang pelawat Eropa yang berkunjung ke Aceh
mengatakan bahwa Syamsudin sebagai bishop yang berarti seseorang mempunyai kedudukan tinggi
di istana Aceh. Di samping itu ia seorang ahli politik dan ketatanegaraan seperti Bukhari al-Jauhari
pengarang kitab Tajul al-Salatin (T. Iskandar, 1987)

Dalam penulisan sastra, peranan Syamsudin terutama dalam upayanya mengembangkan kritik
sastra secara hermenuitika sufi (ta’wil) yang telah berkembang sejak abad 11 M. Karyanya yang
menggunakan metode ta’wil ini tampak dalam risalahnya yaitu Syarah Ruba’I Hamzah
Fansuri.Ta’wil merupakan metode penafsiran sastra yang melihat teks puisi sebagai ungkapan kata-
kata simbolik dan metaforik yang maknanya berlapis-lapis (makna lahir, makna bathin, dan makna
isyarah atau sugestif). Bahasa Melayu yang digunakan Syamsudin dalam karyanya tidak jauh
berbeda dari bahasa Melayu yang digunakan penulis kitab sastra dalam abad 17-19 M.
Karya-karyanya antara lain adalah:
-. Mir’at al-Mukminin (Cermin orang beriman),
- Jauhar al-Haqaiq (Permata Kebenaran),
– Kitab al-Haraka,

Anda mungkin juga menyukai