Anda di halaman 1dari 15

WALISONGO : SOSOK DAN STRATEGI DAKWAH

Disusun Oleh :

Rizki Dwi Natasya (A02219038), Romadhon Nur Bahrullah (A02219040), Mohammad


Chumaidi Jazeri (A72219058)

JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2021

A. Biografi dan Strategi Dakwah Walisongo

Masuknya Islam ke Indonesia dimulai dari daerah pesisir, seperti Pasai, Gresik, Goa,
Talo, Cirebon, Banten dan Demak.1 Perlu diketahui bahwa antara kedatangan Islam,
penyebaran Islam dan pelembagaan Islam harus dibedakan. Menurut pendapat Azyumari
Azra, ada 4 hal yang disampaikan di histiografi tradisional. Pertama, Islam di Nusantara
dibawa langsung dari Tanah Arab, Kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru/juru
dakwah profesional, Ketiga, orang yang pertama kali masuk Islam adalah penguasa,
Keempat, sebagian besar para juru dakwah yang sudah profesional datang ke Nusantara
pada abad ke-12 dan ke-13.2 Sedangkan Menurut Graaf, berdasarkan studinya terhadap
cerita Islamisasi di Nusantara dapat dibedakan bahwa ada 3 metode penyebaran Islam :
oleh para Pedagang Muslim, oleh para Da’i, dan oleh orang suci (Wali) yang datang dari
India atau Arab.

Menurut keyakinan orang Jawa, penyiar-penyiar Islam yang pertama yaitu orang-
orang keramat yang mempunyai pengetahuan dalam dan mempunyai keistimewaan yang
berwujud kekuatan ghaib. Orang keramat itu disebut “Wali”, Seorang Wali mendapat
ilham yang berupa cahaya yang menyinari jiwanya dan memiliki kekuatan yang luar

1
Haryanto, Joko Tri. IAIN Walisongo Mengeja Tradisi Merajut Masa Depan. Semarang : Pustakindo Pratama,
2003. Hlm 3
2
Azra, Azyumardi. Islam Nusantara : Jaringan Global dan Lokal. Bandung : Mizan, 2002. Hlm 13
biasa. Wali-wali yang terkenal sebagai penyiar agama Islam yang pertama di Jawa
jumlahnya ada sembilan dan terkenal dengan sebutan “Walisongo”. Walisongo menjadi
tokoh-tokoh yang legendaris dalam masyarakat Jawa, dan masyarakat Jawa percaya
bahwa Islam yang sebenarnya yaitu Islam yang disiarkan oleh sembilan wali
itu.Walisongo terdiri atas Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan
Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati, Sunan Drajat dan Sunan
Muria.

Gerakan dakwah Wali Songo menunjuk pada usaha-usaha penyampaian dakwah


Islam melalui cara-cara damai, terutama melalui prinsip maw’izhatul hasanah wa
mujadalah billati hiya ahsan,yaitu metode penyampaian ajaran Islam melalui cara dan
tutur bahasa yang baik. Selain itu, ajaran Islam dikemas oleh Walisongo sebagai ajaran
yang sederhana dan dikaitkan dengan pemahaman masyarakat setempat atau Islam
dibumikan sesuai adat budaya dan kepercayaan penduduk. Pelaksanaan dakwah dengan
cara ini memang membutuhkan waktu lama, tetapi berlangsung secara damai.

Secara garis besar, Walisongo dalam menyebarkan dakwah islam ditanah jawa tidak
bisa lepas dari metode yang dipakai kala itu, yaitu : melalui jalur perkawinan,
mengembangkan pendidikan pesantren, mengembangkan kebudayaan Jawa, melalu
sarana prasarana yang berkaitan dengan perekonomian rakyat, dan melalui sarana politik.3
Lain dari itu semua, setiap Wali juga mempunyai cara/metode masing-masing dalam
penyebaran agama Islam.

1. Maulana Malik Ibrahim, Syekh Maulana Malik Ibrahim berasal dari Turki, beliau
adalah seorang ahli tata negara yang ulung. Syekh Maulana Malik Ibrahim dating ke
pulau Jawa pada tahun 1404 M. Jauh sebelum beliau datang, islam sudah ada
walaupun sedikit, ini dibuktikan dengan adanya makam Fatimah binti Maimun yang
nisannya bertuliskan tahun 1082.4 Dikalangan rakyat jelata Sunan Gresik sering
dipanggil Kakek Bantal karena sangat terkenal terutama di kalangan kasta rendah
yang selalu ditindas oleh kasta yang lebih tinggi. Sunan Gresik menjelaskan bahwa
dalam Islam kedudukan semua orang adalah sama sederajat hanya orang yang
beriman dan bertaqwa tinggi kedudukannya di sisi Allah. Beliau mendirikan

3
Sofwan, Ridin. Islamisasi di Jawa. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000.
Abu Su‘ud, Islamologi(Sejarah Ajaran dan PeranannyadalamPeradabanUmatManusia), (Jakarta: PT
4

RinekaCipta, 2003). 125


pesantren yang merupakan perguruan islam, tempat mendidik dan menggembleng
para santri sebagai calon mubaligh.
Sementara itu, sumber cerita local menuturkan bahwa daerah yang dituju Syaikh
Maulana Malik Ibrahim yang pertama kali saat mendarat di Jawa ialah desa
Sembalo, di dekat Desa Leran Kecamatan Manyar Kabupaten Gresik, yaitu 9
kilometer di arah utara kota Gresik, tidak jauh dari kompleks makam Fatimah binti
Maimun. Beliau memulai menyiarkan agama Islam dengan mendirikan masjid
pertama di desa Pasucinan, Manyar. Aktivitas yang mula-mula dilakukan Maulana
Malik Ibrahim ialah berdagang di tempat terbuka dekat pelabuhan yang disebut Desa
Rumo, yang menurut cerita setempat berkaitan dengan kata Rum (Persia), yaitu
tempat kediaman orang Rum. Setelah merasa dakwahnya berhasil di Sembalo,
Maulana Malik Ibrahim kemudian pindah ke kota Gresik, tinggal di Desa Sawo.
Setelah itu, ia dating ke Kutaraja Majapahit, menghadap raja dan mendakwahkan
Agama Islam kepada raja. Namun, Raja Majapahit belum mau masuk Islam tetapi
menerimanya dan kemudian menganugerahinya sebidang tanah di pinggiran kota
Gresik, yang belakangan dikenal dengan nama Desa Gapura. Di Desa Gapura itulah
Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren untuk mendidik kader-kader pemimpin
umat dan penyebar Islam yang diharapkan dapat melanjutkan misinya,
menyampaikan kebenaran Islam kepada masyarakat di wilayah Majapahit yang
sedang mengalami kemerosotan akibat perang saudara.5 Di Gresik, beliau juga
memberikan pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat gresik semakin meningkat.
Beliau memiliki gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengairi sawah dan
ladang. Syekh Maulana Malik Ibrahim seorang walisongo yang dianggap sebagai
ayah dari walisongo. Beliau wafat di gresik pada tahun 882 H atau 1419 M.
2. Sunan Ampel, Raden Rahmat (Sunan Ampel) lahir pada tahun 1401 di Campa,
beliau adalah putra Syekh Assamarqondi dari istrinya bernama Dewi Candrawulan.
Beliau memulai aktivitasnya dengan mendirikan pesantren di Ampel Denta, dekat
dengan Surabaya. Di antara pemuda yang dididik itu tercatat antara lain Raden Paku
(Sunan Giri), Raden Fatah (Sultan pertama Kesultanan Islam Bintoro, Demak),
Raden Makdum Ibrahim (putra Sunan Ampel sendiri dan dikenal sebagai Sunan
Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), dan Maulana Ishak. Menurut Babad
Diponegoro, Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana Manjapahit,

AgusSunyoto, ―Atlas WaliSongo,‖ (Depok: Pustaka Iman, 2017),77


5
bahkan istrinya pun berasal dari kalangan istana Raden Fatah, Putra Prabu
Brawijaya, Raja Majapahit, dan menjadi murid Ampel. Sunan Ampel tercatat
sebagai perancang Kerajaan Islam di pulau Jawa. Dialah yang mengangkat Raden
Fatah sebagai sultan pertama Demak. Disamping itu, Sunan Ampel juga ikut
mendirikan Masjid Agung Demak pada tahun 1479 bersama wali-wali lain. Pada
usia senjanya Sunan Ampel sudah menjadi tokoh yang sangat dihormati oleh
masyarakat sebagai sesepuh Wali Songo. Sunan Ampel wafat pada tahun 1478
dimakamkan disebelah masjid Ampel.6
Pada awal islamisasi Pulau Jawa, Sunan Ampel menginginkan agar masyarakat
menganut keyakinan yang murni. Ia tidak setuju bahwa kebiasaan masyarakat
seperti kenduri, selamatan, sesaji dan sebagainya tetap hidup dalam sistem sosio-
kultural masyarakat yang telah memeluk agama Islam. Namun wali-wali yang lain
berpendapat bahwa untuk sementara semua kebiasaan tersebut harus dibiarkan
karena masyarakat sulit meninggalkannya secara serentak. Akhirnya, Sunan Ampel
menghargainya. Hal tersebut terlihat dari persetujuannya ketika Sunan Kalijaga
dalam usahanya menarik penganut Hindu dan Budha, mengusulkan agar adat istiadat
Jawa itulah yang diberi warna Islam. memberikan kontribusi tidak kecil bagi
terjadinya perubahan sosio-kultural-religius pada masyarakat yang sebelumnya
mengikuti adat dan tradisi keagamaan Majapahit yang terpengaruh Hindu-Buddha
dan Kapitayan.
Bisa dikatakan bahwa Islam yang dikembangkan dan diajarkan oleh Sunan Ampel
merupkan Islam yang unik, karena ia melakukan akulturasi dan asimilasi dari aspek
budaya pra-Islam dengan Islam, baik melalui jalan sosial, budaya, politik, ekonomi,
mistik, kultus, ritual, tradisi keagamaan, maupun konsep-konsep sufisme yang khas,
yang merefleksikan keragaman tradisi muslim secara keseluruhan.
3. Sunan Giri, Sunan Giri merupakan putra dari Maulana Ishak dan ibunya bernama
Dewi Sekardadu putra Menak Samboja. Kebesaran Sunan Giri terlihat antara lain
sebagai anggota dewan Walisongo. Nama Sunan Giri tidak bisa dilepaskan dari
proses pendirian kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak. Ia adalah wali yang secara
aktif ikut merencanakan berdirinya negara itu serta terlibat dalam penyerangan ke
Majapahit sebagai penasihat militer.7 Sunan Giri atau Raden Paku dikenal sangat

6
Sunyoto, Agus. Atlas Wali Songo. Depok : Pustaka Iman, 2017. Hlm 207
7
RidinSofwan, dkk, Islamisasi Islam di JawaWalisongo, Penyebar Islam di Jawa, MenurutPenuturanBabad,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). 65
dermawan, yaitu dengan membagikan barang dagangan kepada rakyat Banjar yang
sedang dilanda musibah. Beliau pernah bertafakkur di goa sunyi selama 40 hari 40
malam untuk bermunajat kepada Allah. Usai bertafakkur ia teringat pada pesan
ayahnya sewaktu belajar di Pasai untuk mencari daerah yang tanahnya mirip dengan
yang dibawahi dari negeri Pasai melalui desa Margonoto sampailah Raden Paku di
daerah perbatasan yang hawanya sejuk, lalu dia mendirikan pondok pesantren yang
dinamakan Pesantren Giri. Tidak berselang lama hanya dalam waktu tiga tahun
pesantren tersebut terkenal di seluruh Nusantara. Sunan Giri sangat berjasa dalam
penyebaran Islam baik di Jawa atau nusantara baik dilakukannya sendiri waktu
muda melalui berdagang tau bersama muridnya. Beliau juga menciptakantembang-
tembang dolanan anak kecil yang bernafas Islami, seperti muran, cublak suweng dan
lain-lain.8
Dari kedhatonnya yang terletak di bukit Giri, Sunan Giri mengembangkan dakwah
Islam melalui pendidikan masyarakat dengan memanfaatkan seni pertunjukan yang
sangat menarik minat masyarakat. Sunan Giri tidak saja dikenal sebagai pencipta
tembang-tembang dolanan anak-anak, tembang tengahan dengan metrum
Asmaradhana dan Pucung yang sangat digemari masyarakat, melainkan telah pula
melakukan perubahan reformatif atas seni pertunjukan wayang. R.M. Sajid dalam
Bau Warna Wajang menyatakan bahwa Sunan Giri memiliki peranan besar dalam
melengkapi hiasan-hiasan wayang seperti kelat bahu (gelang hias di pangkal
lengan), gelang, keroncong (gelang kaki), anting telinga, badong (hiasan pada
punggung), zamang (hiasan kepala) dan lain-lain.9 Selain itu Sunan Giri juga
mengarang lakon-lakon wayang lengkap dengan suluknya. Bahkan, tambahan tokoh-
tokoh wayang dari golongan wanara (kera) juga dilakukan Sunan Giri sehingga
selain tokoh wanara Hanoman, Sugriwa, Subali, Anila, Anggada, dan Anjani,
dibikin wayang-wayang wanara baru seperti Kapi Menda, Kapi Sraba, Kapi Anala,
Kapi Jembawan, Kapi Winata, Urahasura, dan lain-lain.
4. Sunan Bonang, beliau dilahirkan pada tahun 1465 M dengan nama aslinya Raden
Maulana Makdum Ibrahim. Beliau Putra Sunan Ampel. Sunan Bonang terkenal
sebagai ahli ilmu kalam dan tauhid.10Sunan Bonang adalah putra keempat Sunan

8
Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam. 196
9
Sunyoto, Agus. (2018) Atlas Walisongo: Buku pertama yang mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah -
cetakan VIII. Tanggerang Selatan: Pustaka IIMaN dan LESBUMI PBNU. Hlm. 225
10
Syukur Fatah. Sejarah Peradaban Islam. Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2010
Ampel dari perkawinan dengan Nyai Ageng Manila putri Arya Teja, Bupati
Tuban. Menurut Babad Risaking Majapahit dan Babad Cerbon, kakak-kakak Sunan
Bonang adalah Nyai Patimah bergelar Nyai Gedeng Panyuran, Nyai Wilis alias
Nyai Pengulu, dan Nyai Taluki bergelar Nyai Gedeng Maloka. Sementara Adik
Sunan Bonang adalah Raden Qasim yang juga menjadi anggota Wali Songo yang
dikenal dengan sebutan Sunan Drajat.
Dalam hal keilmuan, Sunan Bonang belajar pengetahuan dan ilmu agama dari
ayahandanya sendiri, yaitu Sunan Ampel. Ia belajar bersama santri-santri Sunan
Ampel yang lain seperti Sunan Giri, Raden Patah, dan Raden Kusen. Sunan
Bonang dikenal sebagai seorang yang menguasai ilmu fikih, ushuluddin, tasawuf,
seni, sastra, arsitektur, dan ilmu silat dengan kesaktian dan kedigdayaan
menakjubkan. Bahkan, masyarakat mengenal Sunan Bonang sebagai seseorang
yang sangat pandai mencari sumber air di tempat-tempat yang sulit air. Sunan
Bonang wafat pada tahun 1525 M, dimakamkan di Tuban.
Sunan Bonang dalam dakwah diketahui menjalankan pendekatan yang lebih
mengarah kepada hal-hal bersifat seni dan budaya, sebagaimana hal serupa
dilakukan Sunan Kalijaga, muridnya. Selain dikenal sebagai dalang, Sunan Bonang
juga piawai menggubah tembang-tembang macapat.11 Beliau dianggap sebagai
pencipta gending pertama dalam rangka mengembangkan ajaran Islam di pesisir
utara Jawa Timur. Beliau juga mendirikan pondok pesantren, Santri-santri yang
menjadi muridnya berdatangan dari berbagai daerah. Sunan Bonang dalam
menyebarkan agama Islam selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan
masyarakat Jawa.
Dalam berdakwah, Sunan Bonang dikenal sering menggunakan wahana kesenian
dan kebudayaan untuk menarik simpati masyarakat. Salah satunya dengan perangkat
gamelan Jawa yang disebut bonang. Alat musik ini (bonang) digunakan untuk
gamelan pengiring pertunjukan wayang dan juga digunakan oleh aparat desa untuk
mengumpulkan warga dalam rangka penyampaian wara-wara dari pemerintah
kepada penduduk. Oleh karena itu, beliau dikenal sebagai salah satu wali yang
menyebarkan agama Islam melalui alat musik gamelan Jawa, Bonang.

11
Sunyoto, Agus. (2018) Atlas Walisongo: Buku pertama yang mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah
- cetakan VIII. Tanggerang Selatan: Pustaka IIMaN dan LESBUMI PBNU. hlm 241
5. Sunan Kalijaga, Nama aslinya adalah Raden Sahid, beliau lahir pada tahun 1450 M
di Tuban, beliau merupakan putra Raden Sahur putra Temanggung Wilatika Adipati
Tuban. Raden Sahid sebenarnya anak muda yang patuh dan kuat kepada agama dan
orang tua, tapi tidak bisa menerima keadaan sekelilingnya yang terjadi banyak
ketimpangan, hingga dia mencari makanan dari gudang kadipaten dan dibagikan
kepada rakyatnya. Tapi ketahuan ayahnya, hingga dihukum yaitu tangannya
dicampuk 100 kali sampai banyak darahnya dan diusir. Setelah diusir selain
mengembara, ia bertemu orang berjubah putih, dia adalah Sunan Bonang. Lalau
Raden Sahid diangkat menjadi murid, lalu disuruh menunggui tongkatnya di depan
kali sampai berbulan-bulan sampai seluruh tubuhnya berlumut, setelah itu Raden
Sahid disebut Sunan Kalijaga. Beliau wafat pada tahun 1513 M di Demak, beliau
dimakamkan di Desa Kadilangu Kota Demak.
Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dalam rangka penyebaran Islam, antara lain
dengan wayang, sastra dan berbagai kesenian lainnya. Pendekatan jalur kesenian
dilakukan oleh Sunan Kalijaga untuk menarik perhatian di kalangan mereka,
sehingga dengan tanpa terasa mereka telah tertarik pada ajaran-ajaran Islam,
sekalipun pada awalnya mereka tertarik dikarenakan media kesenian itu. Contoh
penyebarannya, beliau tidak pernah meminta para penonton untuk mengikutinya
mengucapkan kalimat syahadat, tetapi Sebagian wayang masih dipetik dari cerita
Mahabarata dan Ramayana, namun di dalam cerita itu disisipkan ajaran agama dan
nama-nama pahlawan Islam.12
Sunan Kalijaga sering mengenalkan Islam kepada penduduk lewat pertunjukan
wayang yang sangat digemari oleh masyarakat yang masih menganut kepercayaan
agama lama, hingga Sunan Kalijaga selama berdakwah di Jawa bagian tengah
dikenal penduduk sebagai dalang. Sunan Kalijaga dikenal sebagai wali yang paling
luas cakupan bidang dakwahnya dan paling besar pengaruhnya di kalangan
masyarakat. Sebab, selain berdakwah dengan cara berkeliling dari satu tempat ke
tempat lain sebagai dalang, penggubah tembang, tukang dongeng keliling, penari
topeng, perintis pakaian, perancang alat-alat pertanian, penasihat sultan dan
pelindung ruhani kepala-kepala daerah, Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai guru
ruhani yang mengajarkan tarekat. Oleh sebab itu, keberadaan Sunan Kalijaga
menjadi panutan bagi masyarakat muslim Jawa, hingga makam, warisan nilai-nilai

12
Munir, Samsul. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Amzah, 2010. Hlm 308
seni budaya (wayang) dan ajaran ruhani (tarekat) yang ditinggalkannya selalu
dimuliakan.
6. Sunan Drajat, Nama aslinyaa dalah Raden Syarifudin. Ada sumber yang lain yang
mengatakan namanya adalah Raden Qasim, putra Sunan Ampel dengan seorang ibu
bernama Dewi Candrawati. Jadi Raden Qasim itu adalah saudaranya Raden
Makdum Ibrahim (Sunan Bonang). Sunan Drajat yang lahir dengan nama Raden
Qasim, diperkirakan lahir pada tahun 1470 Masehi. Sunan Drajat adalah putra
bungsu Sunan Ampel dengan Nyi Ageng Manila. Menurut Babad Risaking
Majapahit dan Babad Cerbon, Raden Qasim adalah adik Nyai Patimah bergelar
Gede Panyuran, Nyai Wilis alias Nyai Pengulu, Nyai Taluki bergelar Nyai Gede
Maloka, dan Raden Mahdum Ibrahim bergelar Sunan Bonang. Ini berarti, garis
nasab Sunan Drajat sama dengan Sunan Bonang yakni berdarah Champa-
Samarkand-Jawa karena Sunan Ampel, ayahandanya adalah putra Ibrahim
Asmarakandi. Oleh ayahnyaya itu Sunan Ampel, Raden Qasim diberi tugas untuk
berdakwah di daerahsebalah barat Gresik, yaitu daerah antara Gresik denganTuban.
Di desaJalangitulah Raden Qasim mendirikan pesantren. Dalamwaktu yang
singkattelahbanyak orang-orang yang berguru kepadabeliau. Setahunkemudian di
desaJalag, Raden Qasim mendapat ilham agar pindahkedaerahsebalahselatankira-
kira sejauh satu kilometer dari desa Jelagitu. Di sana beliau mendirikan Mushalla
atau Surau yang sekaligus dimanfaatkan untuk tempat berdakwah. Tiga tahun
tinggal di daerah itu, beliau mendaat ilham lagi agar pindahtempat kesuatu bukit.
Dan di tempat baru itu belaiu berdakwah dengan menggunakan kesenian rakyat,
yaitu dengan menabuh seperangkat gamelan untuk mengumpulkan orang, setelah itu
lalu diberi ceramah agama. Demikianlah kecerdikan Raden Qasim dalam
mengadakan pendekatan kepada rakyat dengan menggunakan kesenian rakyat
sebagai media dakwahnya. Sampai sekarang seperangkat gamelan itu masih
tersimpan dengan baik di museum di dekat makamnya.
Sunan Drajat dikenal sebagai penyebar Islam yang berjiwa sosial tinggi dan sangat
memerhatikan nasib kaum fakir miskin serta lebih mengutamakan pencapaian
kesejahteraan sosial masyarakat. Setelah memberi perhatian penuh, baru Sunan
Drajat memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Ajarannya lebih menekankan
pada empati dan etos kerja keras berupa kedermawanan, pengentasan kemiskinan,
usaha menciptakan kemakmuran, solidaritassosial, dan gotong-royong. Menurut
Primbon milik Prof. KH. R. Mohammad Adnan, dalam melakukan dakwah
mengajak penduduk sekitar memeluk Islam, Sunan Drajat yang menjadi anggota.
WaliSongo dikisahkan mengajarkan tata cara membangun rumah, membuat alat-alat
yang digunakan orang untuk memikul orang seperti tandu dan joli (Kanjeng
Susuhunan Drajat, amewahi wanguninggriya, utawi tiyang ingkang karem bating
tiyang, tandujolisapanunggalanipun).13
Dengan ajarannya yang sederhana dan bias dijalani masyarakat, maka semakin
lama pengikut Sunan Drajat semakin banyak. Salah satu faktor yang menyebabkan
Sunan Drajat dekat dengan masyarakat, bukan saja karena ajaran-ajarannya yang
sederhana dan berorientasi kepada kesejahteraan semua orang, melainkan
kemampuan Sunan Drajat dalam berkomunikasi lewat kesenian juga telah menjadi
daya dorong bagi dekatnya usaha dakwah dengan masyarakat. Sunan Drajat
diketahui menggubah sejumlah tembang tengahan macapat pangkur, yang digunakan
menyampaikan ajaran falsafah kehidupan kepada masyarakat. Sunan Drajat juga
dikisahkan menyukai pertunjukan wayang dan sesekali memainkan wayang sebagai
dalang, sebagaimana Sunan Bonang, kakaknya. Sebagian ceritatutur yang
berkembang di tengah masyarakat, dikisahkan bahwa setelah tinggal lama di Drajat,
Sunan Drajat memindahkan tempat tinggalnya kearah selatan yang tanahnya lebih
tinggi, yang dikenal sebagai Dalem Duwur. Di Dalem Duwur inilah Sunan Drajat
tinggal di usia tua sampai wafatnya. Sejumlah peninggalan SunanDrajat yang masih
terpelihara sampai sekarang ini salah satunya adalah seperangkat gamelan yang
disebut "SingoMengkok" dan beberapa benda seni lainnya.14
7. Sunan Gunung Jati
Syarif Hidayatullah adalah putra dari Syarif Abdullah Umdatuddin bin Ali Nurul
Alam yang menikah dengan Nyi Mas Rara Santang putri dari Jayadewata yang
bergelar Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi. yang setelah menikah dengan Syarif
Abdullah bergelar Syarifah Mudaim. Ayah Syarif Hidayatullah adalah seorang
penguasa Mesir, putra dari Ali Nurul Alim bin Jamaluddin Akbar al-Husaini,
seorang keturunan dari Sayyid Abdul Malik Azmatkhan (India) dan Alwi Ammul
Faqih (Hadhramaut).
Salah satu strategi dakwah Sunan Gunung Jati dalam memperkuat kedudukan
sekaligus memperluas dengan tokoh-tokoh yang berpengaruh pada masa itu adalah
melalui perkawinan sebagaiamana itu dicontohkan oleh Nabi SAW dan para

13
Ibid,309
14
Ibid,310
sahabatnya. Dalam Babad Tjirebon, dan karya sastra lainnya mencatat bahwa Shekh
Syarif Hidayatullah menikahi tidakkurang dari 6 orang Wanita yang dijadikan istri.
Pada masa awal kedatangannya ke Cirebon, Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati) bersama dengan Pangeran Walangsungsang sempat melakukan syiar
Islam di wilayah Banten yang pada masa itu disebut sebagai Wahanten, Syarif
Hidayatullah dalam syiarnya menjelaskan bahwa arti jihad (perang) tidak hanya
dimaksudkan perang melawan musuh-musuh saja namun juga perang melawan hawa
nafsu, penjelasan inilah yang kemudian menarik hati
masyarakat Wahanten dan pucuk umum (penguasa) WahantenPasisir. Pada masa itu
di wilayah Wahanten terdapat dua penguasa yaitu Sang Surosowan (anak dari prabu
Jaya Dewata atau Silih Wangi) yang menjadi pucuk umum (penguasa) untuk
wilayah WahantenPasisir dan Arya Suranggana yang menjadi pucuk umum untuk
wilayah Wahanten Girang15.
Di wilayah WahantenPasisir Syarif Hidayatullah bertemu dengan Nyai Kawung
anten (putri dari Sang Surosowan), keduanya kemudian menikah dan dikaruniai dua
orang anak yaitu Ratu Winaon (lahir pada 1477 M) dan Pangeran Maulana
Hasanuddin (Pangeran Sabakingkin: nama pemberian dari kakeknya Sang
Surosowan) yang lahir pada 1478 M. Sang Surosowan walaupun tidak memeluk
agama Islam namun sangat toleran kepada para pemeluk Islam yang datang ke
wilayahnya.
Syarif Hidayatullah kemudian kembali ke kesultanan Cirebon untuk menerima
tanggung jawab sebagai penguasa kesultanan Cirebon pada 1479 setelah sebelumnya
menghadiri rapat para wali di Tuban yang menghasilkan keputusan menjadikan
Sunan Gunung Jati sebagai pemimpin dari para wali.
Syarif Hidayatullah mengajak putranya Maulana Hasanuddin untuk berangkat
ke Mekah, sekembalinya dari Mekah Syarif Hidayatullah dan putranya yaitu
Maulana Hasanuddin kemudian melakukan dakwah Islam dengan sopan, ramah serta
suka membantu masyarakat sehingga secara sukarela sebagian dari mereka memeluk
dan taat menjalankan agama Islam, dari aktivitas dakwah ini di wilayah Banten,
Syarif Hidayatullah dikenal dengan nama Syekh Nurullah (Syekh yang membawa

15
Sunyoto, Agus. (2018) Atlas Walisongo: Buku pertama yang mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah
- cetakan VIII. Tanggerang Selatan: Pustaka IIMaN dan LESBUMI PBNU.
cahaya Allah swt), aktivitas dakwah kemudian dilanjutkan oleh Maulana
Hasanuddin hingga ke pedalaman Wahanten seperti gunung Pulosari di kabupaten
Pandeglang di mana ia pernah tinggal selama sekitar 10 tahun untuk berdakwah
kepada para ajar (pendeta), gunung Karang, gunung Lor, hingga ke Ujung Kulon
dan pulau Panaitan dengan pola syiar yang kurang lebih sama seperti yang dilakukan
ayahnya.
Dengan segala jasa Syarif Hidayatullah inilah yang kemudian umat Islam di Jawa
Barat memanggilnya dengan nama lengkap Syekh Maulana Syarif Hidayatullah
Sunan Gunung Jati Rahimahullah. Tepat pada tanggal 26 Rayagung tahun 891
Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1568 Masehi. Tanggal Jawanya adalah 11
Krisnapaksa bulan Badramasa tahun 1491 Saka, Syekh Syarif Hidayatullah Sunan
Gunung Jati berpulang ke rahmatullah, beliau kemudian dikenal dengan Sunan
Gunung Jati karena dimakamkan di Bukit Gunung Jati
8. Sunan Kudus
Sunan Kudus dikenal sebagai salah satu dari anggota Wali Sanga sebagai penyebar
Islam di Tanah Jawa dan salah satu anggota Dewan Wali yang paling bijaksana
hingga dipilih menjadi penghulu dewan Wali Songo saat masih bertugas
di Kesultanan Demak. Sunan Kudus (Ja'far Shodiq) merupakan keturunan ke-24 dari
Nabi Muhammad SAW dan ayah belaiu bernama Utsman Haji yang dikenal sebagai
Sunan Ngudung. Nasab beliau adalah Ja'far Shodiq Sunan Kudus bin Utsman
Haji Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadho bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar As-
Samarqandi bin Husain Jamaluddin Al-Akbar Jumadil Kubro bin Ahmad Jalaluddin
Syah bin Abdullah Amirkhan bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammul Faqih
bin Muhammad Shohib Marbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi Ba 'Alawi bin
Muhammad Maula Ash-Shouma'ah bin Alwi Al-Mubtakir bin Ubaidillah bin Ahmad
Al-Muhajir bin Isa Ar-Rumi bin Muhammad An-Naqib bin Ali Al-Uraidhi bin Ja'far
Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam
Husain bin Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad SAW16.
Sunan Kudus dalam berdakwah banyak menggunakan gaya berdakwah gurunya
yaitu Sunan Kalijaga. Sunan Kudus sangat toleran pada budaya setempat serta cara
16
Sunyoto, Agus. (2018) Atlas Walisongo: Buku pertama yang mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah
- cetakan VIII. Tanggerang Selatan: Pustaka IIMaN dan LESBUMI PBNU.
penyampaiannya yang halus. Didekatinya masyarakat pada sat itu menggunakan
simbol-simbol Hindu-Budha dan mengakulturasikan budaya Hindu-Buddha dengan
budaya Islam seperti yang tampak pada gaya arsitektur Masjid Kudus. Untuk
menarik menarik simpati masyarakat untuk pergi ke Masjid dan mendengarkan
tabligh yang disampaikannya, Sunan Kudus menambatkan sapinya yang bernama
Kebo Gumarang di halaman masjid. Masyarakat yang saat itu memeluk agama
Hindu pun bersimpati, dan semakin bersimpati selepas mendengarkan ceramahnya
mengenai “sapi betina” atau Al-Baqarah dalam bahasa Al-qurannya. Teknik lainnya
lagi adalah dengan mengubah cerita ketauhidan menjadi berseri, betujuan menarik
rasa penasaran masyarakat.
Dalam perjalanan hidupnya, Sunan Kudus banyak berguru kepada Sunan Kalijaga.
Cara berdakwahnya pun sejalan dengan pendekatan dakwah Sunan Kalijaga yang
lebih menekankan kearifan lokal dengan mengapresiasi terhadap budaya setempat.
Beberapa nilai toleransi yang diperlihatkan oleh Sunan Kudus terhadap pengikutnya
yakni dengan melarang menyembelih sapi kepada para pengikutnya. Bukan saja
melarang untuk menyembelih, sapi yang notabene halal bagi kaum muslim juga
ditempatkan di halaman masjid kala itu. Sunan Kudus melarang penyembelihan sapi
dikarenakan masyarakat Kudus dan sekitarnya pada masa itu beragama Hindu yang
dimana dalam ajarannya sangat mengagungkan sapi. Menurut mereka sapi adalah
kendaraan para dewa dalam mitologi Hindu menganggap sapi sebagai hewan suci.
Langkah Sunan Kudus tersebut tentu mengundang rasa simpatik masyarakat pada
waktu itu. Mereka berduyun-duyun mendatangi Sunan Kudus untuk bertanya banyak
hal lain dari ajaran yang dibawanya. Lama-kelamaan, bermula dari situ, masyarakat
semakin banyak yang mendatangi masjid sekaligus mendengarkan petuah-petuah
Sunan Kudus. Dengan cara demikan perkembangan Islam berkembang dengan
cepat.
Selain berdakwah lewat sapi, bentuk toleransi sekaligus akulturasi Sunan Kudus
juga bisa dilihat pada pancuran atau padasan yang berjumlah delapan yang sekarang
difungsikan sebagai tempat berwudlu. Tiap-tiap pancurannya dihiasi dengan relief
arca sebagai ornamen penambah estetika. Jumlah delapan pada pancuran
mengadopsi dari ajaran Budha yakni Asta Sanghika Marga atau Delapan Jalan
Utama yang menjadi pegangan masyarakat saat itu dalam kehidupannya. Pola
akulturasi budaya lokal Hindu-Budha dengan Islam juga bisa dilihat dari
peninggalan Sunan Kudus berupa menara. Menara Kudus bukanlah menara yang
berarsitektur bangunan Timur Tengah, melainkan lebih mirip dengan bangunan
Candi Jago atau serupa juga dengan bangunan Pura di Bali17.
Menara tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus sebagai tempat adzan dan tempat
untuk memukul bedug setiap kali datangnya bulan Ramadhan. Kini, menara yang
konon merupakan menara masjid tertua di wilayah Jawa tersebut dijadikan sebagai
landmark Kabupaten Kudus.
Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan, Kota
Kudus, yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan
hingga sekarang. Peninggalan lain dari Sunan Kudus adalah permintaannya kepada
masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi dalam perayaan Idul Adha
untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu dengan mengganti kurban
sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini
masih banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini.
Pada tahun 1550, Sunan Kudus meninggal dunia saat menjadi Imam sholat Subuh di
Masjid Menara Kudus, dalam posisi sujud. kemudian dimakamkan di lingkungan
Masjid Menara Kudus.
9. Sunan Muria
Sunan Muria merupakan tokoh walisongo yang paling muda usianya. Beliau adalah
putra dari Sunan Kalijaga. Sunan Muria berdakwah melalui jalur budaya. Sunan
Muria lahir dengan nama Raden Umar Sa’id dan memiliki 2 saudara perempuan
yaitu Dewi Sofiyah dan Dewi Rukayyah.
Pendidikan dan pengembangan ilmu sunan Muria dari cerita-cerita legenda ini
dianggap lebih mirip dengan ayahnya, Sunan Kalijaga.
Diantaranya beliau sangat ahli menciptakan berbagai jenis tembang cilik, jenis
sinom dan kinanthi yang berisi nasehat-nasehat dan ajaran Tauhid. Sunan Muria juga
dikenal mahir menjadi dalang dalam pewayangan dimana beliau membawakan
lakon-lakon carangan dari Sunan Kalijaga. Disamping menciptakan karya seni -
karya seni, Sunan Muria juga berdakwah melalui akulturasi budaya dengan
masyarakat setempat. Tradisi-tradisi keagamaan lama yang dianut oleh masyarakat
setempat tidak serta merta dihilangkan begitu saja, akan tetapi tradisi-tradisi

17
Sunyoto, Agus. (2018) Atlas Walisongo: Buku pertama yang mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah
- cetakan VIII. Tanggerang Selatan: Pustaka IIMaN dan LESBUMI PBNU.
keagamaan seperti tradisi tumpeng untuk dipersembahkan kepada makhluk-makhluk
gaib, memberikan sesajen kepada orang yang mati, kini diubah menjdi acara
kenduri. Tradisi-tradisi tersebut disisipi dengan upacara mengirim doa kepada
kepada leluhur dengan mengirimkan doa-doa kepada mereka18.

B. Analisa Kritik
1. Menurut Rizki Dwi Natasya, Walisongo merupakan jantung penyiaran Ajaran
Islam di Nusantara, khususnya masyarakat Jawa. Hal ini tidak perlu diragukan
lagi, karena bukti dakwah wali-wali tersebut masih ada dan diingat oleh
masyarakat hingga sekarang. Dalam berdakwah, mereka mempunyai
strategi/metode masing-masing, namun bila ditarik benang merah strategi dakwah
Walisongo dibagi menjadi tiga, yaitu pengaruh sufisme, melalui pendidikan, dan
melalui seni dan budaya. Menurut saya, Walisongo melakukan strategi dakwah
secara inspiratif, karena mereka menyampaikan ajaran Islam melalui cara-cara
yang damai, seperti menggunakan cara tutur bahasa yang baik, tidak memaksa
masyarakat untuk cepat bergabung dengan agama Islam tetapi mengimbangi dan
menghargai kebiasaan/adat masyarakat, mengemas ajaran Islam dengan sederhana
dan dikaitkan dengan kebudayaan penduduk setempat, selain itu mereka juga
mencontoh gerakan dakwah Rasulullah. Oleh sebab itu, Walisongo dijadikan
inspirasi dan dijadikan panutan, terbukti hingga sekarang makam 9 wali tersebut
masih ramai dikunjungi oleh masyarakat dari berbagai daerah.
2. Menurut Mohammad Chumaidi Jazeri, Ketika melihatpolakeberagamaan yang
berkembang di Indonesia dengan corak keislaman yang sangat plural tentunya
menjadi bahan pemikiran yang tidak akan pernah selesai. Corak keberagamaan
Islam awal mula yang berkembang di Indonesia tentunya mengikuti pola yang
diwariskan oleh para ulama pendahulu. Salah satu yang paling berperan penting
dalam perkembangan keberagamaan Islam di Indonesia adalah para Walisongo
yang dalam dakwahnya senantiasa mengedepankan kesantunan dan kearifanlokal.
Pada zaman sebelum kedatangan Walisongo, masih menggunakan system dakwah
dengan pola mengajak komunitas masyarakat dari berbagai kepercayaan untuk
mengikuti ajaran Islam. Pola dakwah seperti sebelum kedatangan Walisongo ini

18
Sunyoto, Agus. (2018) Atlas Walisongo: Buku pertama yang mengungkap Wali Songo Sebagai Fakta Sejarah
- cetakan VIII. Tanggerang Selatan: Pustaka IIMaN dan LESBUMI PBNU.
berlangsung kurang mendapatkan respon masyarakat. Kondisi masyarakat
sebelum Walisongo masih kuat mengikuti tradisi ajaran agama nenek moyang,
sehingga tidak mudah dipengaruhi oleh ajaran atau kepercayaan yang lain.
Berbeda dengan pola dakwah sebelum Walisongo, pada zaman Walisongo lebih
menekankan pada pola mengenalkan budaya baru di tengah institusi kuasa
kerajaan, yaitu budaya agama Islam yang berintegrasi dengan budaya lokal atau
nilai-nilai kearifan lokal. Pola komunikasi dakwah Walisongo ini bukan dalam
bentuk komunikasi mengajak, namun dalam bentuk mengkomunikasikan
kebudayaan baru yang memerankan tradisi lama yang telah berlangsung di
Nusantara. Pola membangun dialog budaya baru dengan budaya lama inilah yang
mempengaruhi pengertian dakwah dalam konteks keindonesiaan.
3. Menurut Romadhon Nur Bahrullah,
Etika berdakwah yang dilakukan oleh para Walisongo adalah cara yang paling
efektif bagi masyarakat Nusantara pada saat itu. Para Walisongo melakukan
dakwah mereka dengan menggunakan cara yang sangat halus, bahkan mereka
semua tidak sadar bila mereka digiring agar berpindah dari agamanya yang lama
dan menganut agamanya yang baru, yaitu agama Islam.

Anda mungkin juga menyukai