Anda di halaman 1dari 7

SYEKH SITI JENAR (1426-1517): “MANUNGGALING KAWULA GUSTI”

Oleh:
Amalia Akhrisa Febriyanti (A72219045), Lailatus Sa’adah (A72219054), Riki Aldi
Sasongko (A72219067)

Jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora


Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Jln. Ahmad Yani No. 117, 6021111, Surabaya, Jawa Timur

A. Riwayat Hidup Syekh Siti Jenar


Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1426 Masehi dalam lingkungan pakuwuan
Caruban yang saat itu disebut dengan pusat kota Caruban Larang, sehigga sekarang
dikenal sebagai Astana Japura sebelah tenggara Cirebon. Aliran yang terkenal yaitu
tentang Manunggaling Kawula Gusti sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban dari
berbagai suku. Ajaran Syekh Siti Jenar ini sangat kontroversi, membuatnya harus
menerima hukuman dari para wali. Sedangkan silsilah dari Syekh Siti Jenar masih sangat
kabur seperti halnya dengan kegelapan tahun-tahun kehidupannya sebagai manusia
sejarah. Sebab minimnya catatan sejarah seputar kehidupan para wali penyebar Islam di
Jawa, dimana sumber historis dari Syekh Siti Jenar yang sejak awal kehadirannya sudah
dicoba untuk dihilangkan bahkan peneliti atau pencatat sejarah banyak yang belum
memandang kehadirannya.
Posisi Syekh Siti Jenar yang lebih dekat dengan keturunan terakhir Majapahit yang
tidak bersedia tunduk pada kekuasaan Raden Fatah dengan mengembangkan ajaran di
luar kebiasaan ajaran Walisongo tersebut. Sikap dan ajaran inilah yang menyebabkan
mengapa kewalian Syekh Siti Jenar tidak diakui oleh Demak dan Walisongo. Jadi
memang banyak versi terkait silsilah dari Syekh Siti Jenar. Babad Demak dan Babad
Tanah Djawi menyebutkan bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing yang berubah
menjadi manusia setelah mendengar wejangan rahasia Sunan Bonang kepada Sunan
Kalijaga. Syekh Siti Jenar berasal dari kalangan bangsawan, namun setelah kembali ke
Jawa menempuh hidup sebagai petani. Hal ini menjadikan saat itu dipandang sebagai
rakyat kecil oleh struktur budaya Jawa disamping sebagai wali penyebar Islam di tanah
Jawa.

1
Syekh Siti Jenar memiliki nama kecil yaitu San Ali, yang kemudian dikenal dengan
sebutan Syekh Abdul Jalil yang merupakan putra seorang ulama asal Malaka, Syekh
Datuk Shaleh Al-‘Alawi bin Syekh Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Sayid Abdul Malik Al-
Qazam, Maulana Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh Abdul Malik atau Azamat
Khan. 1Menurut Agus Sunyoto mengenai Syekh Siti Jenar bahwa citra Jenar selama kurun
lebih empat abad memang tidak terlepas dari stigma kebid’ahan dan kesesatan. Namun,
tidak diketahui apakah Syekh Siti Jenar yang dikenal penyebar bid’ah. Menurutnya,
pencitraan dan stigma tersebut tergantung sepenuhnya pada sumber-sumber historiografi
yang mencatat tentangnya. Pemikiran dan ajaran dari Syekh Siti Jenar lebih menekankan
pemaknaan baru yang berorientasi pada aspek esoterik daripada aspek eksoterik, sebab
ajarannya mengembangkan pandangan atau ajaran tasawuf yang diramu dengan
kehidupan mistis Jawa dan tidak lepas dari kerangka tasawuf falsafi.
Pendekatan ajaran Syekh Siti Jenar adalah istilah yang menggambarkan sebuah
proses yang didalamnya bahasa digunakan dengan satu cara yang sangat menarik
perhatian dan secara langsung dipandang sebagai sesuatu yag tidak umum atau sesuatu
yang mengesampingkan proses. Dalam konteks ini cara penerapannya meliputi ajaran
Syekh Siti Jenar tentang pemaknaan kehidupan sebagai kematian, termasuk juga masalah
hal akhirat yang tidak memasukkan ke dalam rukun iman. Sehingga hal ini berimbas
pada pengabaian kewajiban ritual keagamaan yang menjadi keyakinan kaum Muslimin
pada umumnya. Dengan demikian, tekanan yang digunakan oleh Syekh Siti Jenar adalah
bukan pada materi melainkan pada “Cinta” dalam bentuk manunggaling kawula klawan
Gusti, tauhid al-wujud. Dalam wujud lahir, ia menekankan pada bangkitnya kepribadian
sehingga hidup tidak hanya tampak hidup. Tetapi betul-betul yang memiliki hak,
kemandirian dan kodrat.2

Mengenai kematian Syekh Siti Jenar, ia wafat sesudah menerima vonis hukuman
mati dari Kesultanan Demak. Kematian Jenar membuat para wali terkejut. Wali-wali
yang ikut ke Krendhasawa kemudian membawa jenazah Jenar untuk mengadap ke Sultan
Bintoro (Raja Demak). Anggota wali yang tidak ikut ke Krendasawa langsung
menyambut rombongan tersebut. Berhubung keadaan sudah larut malam, maka Sunan
Bonang anggota dewan Walisanga yang paling tua memutuskan menaruh jenazah ke
dalam masjid untuk dijaga dan disholatkan. Ketika para wali dan santri mengangkat

1
Hasriyanto, Konsep Manunggaling Kawula Gusti Syekh Siti Jenar, (Makassar: UIN Alaudin Makassar, 2015),
15.
2
Saidun Derani, “Syekh Siti Jenar: Pemikiran dan Ajarannya”, (Al-Turas: Vol. XX No. 2, 2004), 344.

2
takbir, serentak tercium bau harum layaknya seribu bunga yang memenuhi ruangan
masjid. Salah satu wali meminta para santri untuk keluar masjid dan yang ada tinggallah
para Walisanga. Ketika jenazah tersebut dibuka dari keranda, muncul cahaya terang
benderang kemilau dari jenazah tersebut disertai cahaya memancar dari arah atas dan
menembus seluruh ruang. Para wali pun tertegun kemudian menciumi jenazah tersebut.
Supaya tidak terjadi kecurigaan dari para murid Jenar, para wali menyiasati kematian
Jenar. Dewan wali menyiasati agar kematian Jenar tersebut tetap dirahasiakan dengan
cara digantikan dengan bangkai anjing. Hal tersebut ditujukan supaya ajaran Jenar tidak
dapat berkembang semakin luas. Menurut Babad Cirebon dan Babad Tanah Sunda,
Syekh Siti Jenar dimakamkan di Kemlaten, Cirebon. Sekarang makam ini berada di
tengah pemakaman umum di dalam sebuah bangunan yang sederhana. 3

B. Pemikiran Manunggaling Kawula Gusti


Manunggaling Kawula Gusti diartikan sebagai menyatunya manusia (kawula)
dengan Tuhan (Gusti). Tuhan disini mengacu pada Sang Pencipta (Allah Subhaanahu wa
Ta’ala). Konsep Manunggaling Kawula Gusti merupakan pengalaman mistik seseorang
ketika merasa dirinya diliputi oleh Sang Pencipta. Dalam Serat Wirid Hidayat Jati karya
pujangga Ranggawarsita menjelaskan bahwa manunggaling kawula Gusti adalah cita
hidup yang harus dicapai oleh manusia untuk mendapatkan penghayatan kesatuan
dengan Sang PenciptaNya. Serat ini juga menandaskan konsep ini gubahan dari ajaran
ta'jali (yang berarti memperlihatkan keluar) dalam paham martabat tujuh. Ta'jali adalah
pemikiran yang bersumber dari paham wahdatul wujud, satu ajaran yang sering disebut
dengan monisme yaitu memandang alam semesta beserta manusia adalah aspek lahir dari
satu hakikat yang tunggal yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Konsep tersebut sering pula
dianggap dengan kosmologi emanasi karena anggapan bahwa alam semesta ini adalah
limpahan dari Sang Pencipta.4
Menurut Syekh Siti Jenar dalam menemukan keberadaan Sang Pencipta bukanlah
sesuatu hal yang sulit karena semayamnya tidak jauh tempatnya dari dalam diri manusia
sendiri. Pandangan Jenar ini sama dengan pandangan teori martabat tujuh dengan
menyatakan hal yang maujud di alam ini sebenarnya merupakan ta’jali-Nya,
penampakan dari Dzat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wujud ta’jali Allah Subhanahu wa

3
Muhammad Sholikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat dan Suluk Syekh Siti Jenar, (Yogyakarta:
NARASI, 2014), 201
4
Simuh. Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1988),
289.

3
Ta’ala adalah pusat dari kehidupan manusia, jika manusia menggunakan kesadaran
batinnya maka akan dapat merasakan kehadiran roh tersebut dan dari sinilah pintu
kemanunggalan (bersatu) dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala terbuka. Kata “bersatu”
merujuk pada pemahaman Dzat-Nya meliputi manusia. Artinya Allah Subhanahu wa
Ta’ala bersabda, mendengar, melihat dan berbuat dengan meminjam tubuh dan anggota
badan manusia. Manunggaling kawula Gusti ini adalah pengalaman pribadi yang
bersifat "tak terbatas" sehingga tak mungkin dilukiskan dengan kata-kata untuk
dimengerti orang lain. Jadi kesimpulannya manunggaling kawula Gusti ini bukanlah
sebuah ilmu melainkan satu pengalaman rohani yang dengan sendirinya tidak ada
masalah boleh atau tidak boleh, tidak ada ketentuan atau aturan tertentu, boleh percaya
atau tidak percaya.5 Kemanunggalan ini didasarkan atas penghayatan yang khusus atas
diri Allah Subhanahu wa Ta’ala yang bersemayam dalam diri manusia dan bersifat
personal.
Ajaran inti Syekh Siti Jenar tersebut merupakan ajaran yang sangat rasional
disamping juga merupakan ajaran rohani Islam (tasawuf). Dengan menerapkan ajaran
itulah seseorang akan mencapai laqab (julukan) sufi. Dan Syekh Siti Jenar sudah
membuktikannya lewat pengalaman-pengalaman rohaninya. Ajaran Syekh Siti Jenar
tersebut juga tidak terlepas dari jejak para sufi pendahulunya misalnya seperti Jabir Ibn
Hayyan dan Syuhrawardi al-Maqtul. Ajaran Manunggaling Kawula Gusti ini dasarnya
bersumbu pada sasahidan yang memiliki inti kalimat: “laa ilaaha illa anna” dan “anna al-
Haqq”. Laa ilaaha illa anna sebagai bentuk tauhid yang pada dasarnya menganggap
bahwa "Tiada Tuhan selain Saya". 6 Tentu saja, kalimat tersebut tidak bisa ditelan
mentah-mentah. Hal ini bukan berarti bentuk pengakuan langsung bahwa dirinya adalah
Tuhan seperti yang dituduhkan Walisanga dan umumnya orang yang kurang memahami,
serta tidak bisa disamakan dengan Fir'aun yang mengatakan “ana Rabbukun al-a'la”.
Kalimat tersebut terungkap ketika diri dan jiwa diliputi Nur-Nya, dalam pancaran al-
Haqq mengungkapkan bahwa “tidak ada yang paling berhak mengaku Aku kecuali Aku
yang hakiki”.
Dalam memberikan pelajaran mengenai ajaran-ajarannya Syekh Siti Jenar biasanya
terlebih dahulu menerangkan tentang asal usul kehidupan (sangkaning dumadi).
Berikutnya ia menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan pintu kehidupan, baik
yang tampak dalam fisik, maupun dalam rohani manusia. Kemudian memberikan ajaran

5
Muhammad Sholikhin, Sufisme Syekh Siti Jenar…, 130.
6
Ibid, 121.

4
mengenai hidup kekal dan abadi. Disusul kemudian dengan materi mengenai kematian
yang dialami manusia di dunia sekarang ini. Selanjutnya diuraikan mengenai jalan
kematian yang bisa dikehendaki sendiri setelah kehendaknya menyatu dengan kehendak
Sang Pencipta melalui penutupan berbagai jalan kehidupan, untuk menyatu dengan al-
Haqq. Sesudah itu barulah Syekh Siti Jenar menjelaskan adanya Yang Maha Luhur,
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menjadikan bumi dan langit serta segala isinya sebagai
muara manusia sempurna (paraning dumadhi). Setelah itu para santri dan pengikutnya
yang mengikuti keseluruhan materi tersebut dibimbing untuk menempuh laku rohani
membersihkan semua segi kebendaan, kemanusiaan, dan keduniaan; cara mengaktifkan
roh al-idhafi, agar dibimbing menuju roh al-Haqq. Dari situlah, tanpa harus dibimbing
oleh pembimbing dalam bentuk manusia lain, ia akan terbimbing menemui dan menyatu
dengan al-Haqq.7
Dalam pandangan Syekh Siti Jenar, Sang Pencipta ini adalah dzat yang mendasari
dan sebagai sebab adanya manusia, flora, fauna dan segala yang ada sekaligus yang
menjiwai segala sesuatu yang berwujud yang keberadaannya tergantung pada adanya zat
itu. Ini dibuktikan dari ucapan Siti Jenar bahwa dirinya memiliki sifat-sifat dan secitra
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ajaran-ajaran tersebut dikemukakan kepada masyarakat
umum secara terbuka. Hal ini memunculkan polemik dan kontroversi di kalangan para
ulama penyebar Islam di Jawa pada saat itu. Tuduhan utamanya adalah Syekh Siti Jenar
telah melakukan perbuatan miyak warana (membuka ilmu rahasia untuk orang awam),
sehingga memunculkan kesalahpahaman dalam aplikasi ilmu kerohanian (sufisme).
Mengenai kisah kemanunggalan Syekh Siti Jenar terlihat ketika Jenar hendak
dipanggil oleh dewan wali dengan maksud berdiskusi tentang ajaran Jenar yang telah
disampaikan kepada para muridnya. Ketika dua utusan dewan wali menghadap Jenar,
dengan tegas Jenar menolaknya dengan mengatakan: “Sesungguhnya Syekh Siti Jenar itu
tidak ada, yang ada hanyalah Tuhan”. Sebenarnya ucapan Jenar tersebut tidak terbilang
mengada-ada. Jenar dalam mengucapkan “anna al Haqq” tak lain karena telah diliputi
rasa kemanunggalan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diucapkan dengan penuh
suka cita. Jenar tidak dapat lagi membedakan mana Jenar sebagai manusia dan mana
Jenar sebagai Tuhan. Kemanunggalan yang meliputi diri Jenar membuat Jenar
merasakan kebahagiaan sejati. Pengalaman inilah yang merupakan puncak ma'rifat dalam

7
Ibid, 158.

5
kebatinan Jenar.8 Sekali lagi, Jenar hanya ingin orang lain merasakan perasaan yang
sama seperti yang telah dialaminya. Berdasar kekhawatiran para dewan wali, maka
hampir semua majelis dan juga perguruan Syekh Siti Jenar pasti terdapat orang-orang
suruhan Demak baik untuk menyelidiki, meneliti, maupun memata-matai gerakan Syekh
Siti Jenar dan ajaran-ajaranya. Tentu saja, walaupun semula disuruh meneliti, akan tetapi
karena sejak menjadi utusan Istana sudah terdapat mindset bahwa Syekh Siti Jenar dan
ajarannya harus diwaspadai, maka kesimpulan yang ada dan diberikan kepada penguasa
Demak serta dewan wali hampir pasti semakin menambah keburukan Syekh Siti Jenar
sebab sudah tidak ada lagi objektivitasnya. Dan itulah yang terjadi pada Syekh Siti Jenar
dalam hubungannya dengan Demak dan dewan wali.
Menurut beberapa sumber, ajaran Jenar inilah yang membuat Jenar mendapatkan
hukuman mati. Satu hal yang menjadi kekeliruan atas opini publik bahwa Jenar dihukum
mati bukan karena ajaran Jenar yang sesat, melainkan karena pengaruh ajaran Jenar yang
telah meresahkan beberapa kalangan yang lain. Hal ini di tekankan dalam buku Falsafah
Siti Djenar bahwa penghukuman Jenar yang sebenarnya mirip dengan kisah Sufi Al-
Hallaj. Baik Jenar maupun Al-Hallaj tidak dihukum mati karena ajaran atau pahamnya
namun karena besarnya pengaruh ajaran yang dibawa. 9 Khusus bagi Jenar, ajaran
tersebut turut diangap merusak tatanan hukum Kerajaan Demak yang pada saat itu
berkuasa di Tanah Jawa.

C. Analisa dan Kritik


Menurut pendapat Amalia Akhrisa Febriyanti adalah Syekh Siti Jenar ini sosok
wali Islam-Jawa yang sudah akrab di telinga masyarakat Jawa terutamanya. Namun
keberadaannya masih diragukan peneliti sejarah dan menganggap bahwa Syekh Siti
Jenar ini adalah hasil rekayasa Dewan Walisanga untuk membuat personalisasi ajaran
menyimpang sebagai penjelas bagi masyarakat terutama juga tentang simbolisasi cacing
sebagai asal Syekh Siti Jenar dan simbolisasi anjing sebagai akhir hayatnya. Walapun
sudah terterama dalam beberapa serat, suluk, dan babad yang mencantumkan nama
Syekh Siti Jenar. Terkait dengan ajaran inti Syekh Siti Jenar yaitu Manunggaling Kawula
Gusti yang digambarkan sebagai ajaran kebatinan dalam artian luas dan lebih

8
Sri Muryanto, Ajaran Manunggaling Kawula Gusti, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2010), 20.
9
Ahmad Sidqi, “Mendaras Manunggaling Kawula Gusti: Syekh Siti Jenar”, (Jurnal Dinamika Penelitian: Vol.
17 No. 1, 2017), 25.

6
menekankan aspek kejiwaan banyak dikritik oleh Dewan Wali diantaranya ajaran
teologinya yang dinilai dapat menyesatkan orang awam karena telah “miak warana’’
(membuka ilmu rahasia kepada umum secara bebas). Kemudian tuduhan lainnya yaitu
Syekh Siti Jenar telah menganggap dirinya sebagai Sang Pencipta itu sendiri. Namun
dibalik tuduhan tersebut terdapat kekhawatiran Dewan Wali karena pengaruh Syekh Siti
Jenar semakin mendalam dan meluas terhadap rakyat sehingga rakyat menunjukkan
respon kurang menyegani dakwah dewan wali. Lalu kekhawatiran kesultanan Demak
yang mengganggap adanya Syekh Siti Jenar dapat mengancam kewibawaan Sultan.
Ajaran kemanunggalan (wujudiyah) ini sebenarnya bukan hanya diajarkan Syekh Siti
Jenar namun juga dikaitkan dengan Tarekat Syathariyah.
Menurut pendapat Lailatus Sa’adah adalah melihat dari ajaran Syekh Siti Jenar
sangat menekankan pada masalah kebatinan, sehingga adanya pernyataan kesepadanan
antara mistisisme dengan kebatinan dan ilmu Jawa yang terkadang lebih disebut
kejawen. Hal ini menjadikan menunjukkan adanya hubungan kesemaknaan antara
kejawen, mistisisme, kebatinan dan sufisme atau tasawuf yang paling kurang membahas
tentang berbagai masalah terkait dengan aspek batin atau dimensi esoterik dari ajaran
keagamaan. Sehingga ajaran tentang tujuan hidup tersebut dituangkan dalam ajaran
Syekh Siti Jenar yang dinamakan Manunggaling Kawula Gusti. Namun dalam ajarannya
ini dianggap berbahaya oleh para Walisongo, sebab Syekh Siti Jenar mengajarkan
kepada muridnya untuk bisa mati dalam hidup yang menjadi satu tindakan yang
dikhawatirkan akan merusak tatanan syariat agama.
Menurut Riki Aldi Sasongko apa yang dilakukan oleh syekh Siti Jenar merupakan
tindakan yang tidak tepat karena Manunggaling Kawula Gusti yang diajarkan syekh Siti
Jenar dapat merusak Tauhid Kepada Allah karena hal ini disebabkan oleh ligitamasi
seorang makhluk sebagai hamba meyakini sekaligus bahwa sebagia Khaliq ada dalam
satu wujud yang sama. Hal ini bertentangan dengan Dengan prinsip dasar Akidah
bahwasanya Allah adalah yang maha tunggal tidak beranak dan tidak di
peranakan.Tasawuf yang dianut oleh syekh Siti Jenar ini merupakan Tasawuf Falsafi
yang dianut oleh Tokoh sufi seperti Al Halaj dan Ibnu Arabi yang satu faham mengenai
pandangan wahdah Al Wujud, yang kemudian dibantah oleh Ibnu Taimiyah bahwa apa
yang dikatakan oleh Ibnu Arabi , Abu yasid Al Bustami dan Al Hallaj dianggap sebagai
sesuatu yang menyesatkan Umat.

Anda mungkin juga menyukai