Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

SYEKH SITI JENAR

DI SUSUN

OLEH :

Nama : Ahmad Umaternate

Novita Yoisangadji

Jurusan : Syari’ah

Prodi : Hukum/Ekonomi

Semester : III/V

Mata kuliah : Akhlaq Tasawuf

Dosen Mk : Samsudin Buamona, B, S. Fil.I., M.Ag

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)


BABUSSALAM SULA MALUKU UTARA
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
A. Pendahuluan

Hingga sekarang, sejarah Syekh Siti Jenar masih simpang-siur. Ada literatur
yang menyebutkan bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing, ada yang
mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar adalah penyebar ajaran manunggaling kawula
Gusti, ada yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar termasuk anggota wali (yakni
wali kesepuluh), ada yang menyebutkan bahwa Syekh Siti Jenar adalah wali yang
meninggalkan shalat, puasa Ramadhan, Haji, serta ibadah-ibadah wajib dan sunnah
lainnya, dan malah ada pula literatur yang menyebutkan bahwa sejarah Syekh Siti
Jenar bohong alias mitos belaka. Namun, apa pun isi literatur itu, kita sebagai
masyarakat yang hidup di zaman sekarang tetap perlu memaklumi. Sebab,
bagaimanapun juga, tidak terdapat bukti autentik yang menunjukkan sejarah
(perjalanan hidup hingga mati) Syekh Siti Jenar. Kecuali, hanyalah cerita karangan
manusia yang mengacu pada literatur-literatur yang sudah ada.1
Sejarah Syekh Siti Jenar menjadi kontroversial ketika banyak pihak meragukan
apakah Syekh Siti Jenar merupakan seorang tokoh sufi sekaligus penyebar agama
Islam yang pernah hidup di zaman Wali Sanga atau tidak. Sebab, sampai saat ini,
belum pernah dijumpai satu pun lukisan Syekh Siti Jenar. Sedangkan, lukisan Wali
Sanga sudah banyak dijumpai dan mudah ditemukan. Selain itu, yang tak kalah
kontroversial adalah cara meninggal yang dipilih oleh Syekh Siti Jenar ketika
mengetahui kabar bahwa dirinya hendak dibunuh oleh lima wali, yakni Sunan
Geseng, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, dan Pangeran Modang,
utusan Syekh Maulana Maghribi. Dan, yang paling kontroversial adalah makam
Syekh Siti Jenar hingga sekarang masih belum jelas berada di mana; apakah
berada di Desa Balong, Kabupaten Jepara, atau di bawah Masjid Agung Demak. 2
Terkait dengan sejarah Syekh Siti Jenar, banyak dugaan yang menyebutkan
bahwa ini terkait dengan politik penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh
Wali Sanga. Sebagaimana yang disebutkan dalam berbagai sumber, Syekh Siti
Jenar memandang bahwa syariat itu tidak berlaku di dunia, melainkan berlaku
sesudah manusia menjalani kehidupan baru pasca kematian. Sebab, kehidupan di
dunia adalah fana (ngapusi = bahasa Jawa), sedangkan kehidupan baru pasca
kematian adalah yang sebenar-benarnya. Pandangan ini jelas bertolak belakang
dengan pandangan hidup Wali Sanga yang menyatakan bahwa syariat itu harus
dijalankan di dunia sebelum manusia menjalani hidup baru pasca kematian. Sebab,
hidup di dunia adalah representasi dari kehidupan baru pasca kematian. Setiap
manusia akan menjalani kehidupan baru pasca kematian yang tergantung pada
usahanya dalam menjalankan syariat di dunia.
Pandangan sufi sebagaimana yang dianut oleh Syekh Siti Jenar sebenarnya juga
dikenal oleh Wali Sanga. Namun, apabila pandangan sufi ini diajarkan kepada
masyarakat awam yang baru mengenal agama, justru dikhawatirkan dapat
1
Biografi lengkap syekh siti jenar, sartono hadisuwarno (hlm, 15-16)
2
Biografi lengkap syekh siti jenar, sartono hadisuwarno (hlm, 16-17)
menyesatkan. Maka dari itu, pandangan sufi Syekh Siti Jenar sangat dilarang
diajarkan kepada masyarakat waktu itu. Wali Sanga, dengan didukung petinggi
Kerajaan Demak Bintoro, mengancam akan menjatuhkan hukuman mati bagi
Syekh Siti Jenar bilamana ia terus-menerus menyebarkan pandangan sufi ini
kepada masyarakat awam.
Wali Sanga ternyata lebih menekankan aspek syariat dari sisi keagamaan
ketimbang aspek makrifat. Hal ini dilakukan tentu saja bukan tanpa alasan,
melainkan agar masyarakat awam yang baru memeluk atau mengenal agama Islam
tidak terjebak dalam ajaran-ajaran ke makrifatan yang dinilai dapat
menjerumuskan. Namun, sebenarnya, pandangan sufi Syekh Siti Jenar tidaklah
salah bila ditinjau dari sisi makrifat. Hanya saja, hal ini bisa dipahami oleh orang-
orang yang sudah memasuki tahap tarekat maupun hakikat, bukan orang awam
yang masih dalam tahap belajar syariat.3

B. Biografi dan perjalanan hidup Syekh Siti Jenar


1. Asal Usul Syekh Siti Jenar
Sebagaimana yang kita ketahui sebelumnya bahwa sejarah Syekh Siti Jenar
masih simpang-siur. Ke simpangsiuran sejarah Syekh Siti Jenar ini sama dengan
ketidak jelasan tahun kehidupannya sebagai pelaku ajaran sufi sekaligus penyebar
agama Islam di Pulau Jawa.
Kesimpangsiuran silsilah keluarga dan perjalanan hidup hingga akhir
kematian Syekh Siti Jenar sebenarnya memang sengaja dibuat oleh penguasa
Islam waktu itu, yang tak lain adalah Wali Sanga, dengan didukung oleh petinggi
Kerajaan Demak Bintoro pada awal abad ke-15 hingga akhir abad ke-17. Wali
Sanga yang didukung oleh petinggi Kerajaan Demak Bintoro perlu
menyimpangsiurkan sejarah serta segala hal yang berbau Syekh Siti Jenar agar
tidak ada lagi masyarakat awam yang "terjebak" oleh ajaran sufi Syekh Siti Jenar
yang dikhawatirkan dapat menjerumuskan. Hal inilah yang kemudian menjadi
latar belakang munculnya cerita yang menyatakan bahwa Syekh Siti Jenar berasal
dari cacing, dan bukanlah asli manusia. Perlu dicatat baik-baik bahwa cerita ini
tidaklah benar dan sangat bertentangan dengan sejarah asli Syekh Siti Jenar.
Sebab, bagaimana mungkin seorang tokoh sufi sekaligus penyebar agama Islam
adalah seekor cacing, dan bukan asli manusia. Sepertinya, ini sangat mustahil bila
dipikir menggunakan akal sehat.
Syekh Siti Jenar atau yang dikenal dengan nama Syekh Abdul Jalil, Sitibrit,
Lemah Abrit, dan Lemah Abang, sebenarnya adalah putra dari seorang ulama di
Malaka bernama Syekh Datuk Shaleh bin Syekh Isa Alawi bin Ahmad Syah
Jamaludin Husain bin Syekh Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid Abdul
Malikal-Qazam. Syekh Siti Jenar dilahirkan di Cirebon pada sekitar tahun 829
H/1348 C/1426 M, dengan nama kecil Sayyid Hasan Ali al Husain. Nama kecil
3
Biografi lengkap syekh siti jenar, sartono hadisuwarno (hlm, 18-19)
Syekh Siti Jenar mengandung banyak arti. Kata Sayyid dalam nama tersebut
menunjukkan bahwa Syekh Siti Jenar adalah keturunan Nabi Muhammad Saw.
dari keluarga Husain. Kata Ali menegaskan bahwa Syekh Siti Jenar memiliki
sifat taat. Kemudian, kata al-Husain" menandaskan nama kakek teratas Syekh Siti
Jenar. Perlu diketahui di sini bahwa pada umumnya, ketika orang orang Persia
memiliki anak, mereka memakai nama kakek mereka, baik kakek pertama, kakek
kedua, kakek ketiga, kakek keempat, ataupun kakek teratas, untuk dipakai di
nama akhir anak-anak mereka. Hal ini adalah wajar dan memang sudah menjadi
tradisi di kalangan orang-orang Persia. Maka dari itu, tak heran bila Syekh Siti
Jenar memiliki nama kecil yang berakhiran kata al-Husain, yang merujuk pada
nama kakek teratasnya.
Apabila diurutkan atau ditelusuri silsilahnya, Syekh Siti Jenar masih
memiliki hubungan nasab (keturunan) dengan Rasulullah Saw., yakni dari kakek
Imam Husain asy Syahid, yang merupakan buah keturunan dari pernikahan
Sayyidah Fatimah az-Zahra binti Muhammad Rasulullah Saw. dengan Ali bin
Abi Thalib. Nasab lengkap Syekh Siti Jenar adalah Syekh Siti Jenar (Sayyid Ali
al-Husaini) bin Sayyid Shalih bin Sayyid Isa Alawi bin Sayyid Ahmad Syah
Jalaluddin bin Sayyid Abdullah Khan bin Sayyid Abdul Malik Azmat Khan bin
Sayyid Alwi Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Mirbath bin Sayyid Ali Khali
Qasam bin Sayyid bin Sayyid Alwi Shahib Baiti Zubair bin Sayyid Muhammad
Maula ash-Shauma'ah bin Sayyid Alwi al-Mubtakir bin Sayyid Ubaidillah bin
Sayyid Ahmad al-Muhajir bin Sayyid Isa an-Naqib bin Sayyid Muhammad an-
Naqib bin Sayyid Ali al-Uraidhi bin Imam Ja'far ash-Shadiq bin Imam
Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Husain asy-Syahid
bin Sayyidah Fatimah az-Zahra binti Muhammad Rasulullah Saw.4
2. Syekh Datuk Saleh Dan Istrinya Pindah Ke Cirebon
Salah satu literatur menyebutkan bahwa jauh sebelum Syekh Siti Jenar
dilahirkan, ayah Syekh Siti Jenar yang tak lain adalah Syekh Datuk Shaleh sudah
tinggal atau menetap di Malaka (sekarang Malaysia). Penetapan tempat tinggal
Syekh Datuk Shaleh di Malaka ini sudah cukup lama semenjak ayahnya, Syekh
Isa Alawi, pindah dari Kamboja dan mulai menyebarkan agama Islam di Malaka.
Pada masa itu, Malaka merupakan daerah yang aman dan tidak banyak terjadi
konflik. Sehingga, penyebaran agama Islam dapat berjalan tanpa hambatan di
sana.
Namun karena merasa Keamanan Malaka yang terjamin oleh Kesultanan
Malaka ternyata tidak bertahan cukup lama. Maka, saat itu pula, Syekh Datuk
Shaleh beserta sang istri memutuskan untuk pindah ke Cirebon karena merasa
sudah tidak aman lagi bertempat tinggal di Malaka.

4
Biografi lengkap syekh siti jenar, sartono hadisuwarno (hlm, 21-24)
Rupa-rupanya, kepindahan Syekh Datuk Shaleh beserta sang istri ini juga
diikuti oleh saudara kandungnya, Syekh Datuk Ahmad beserta anak dan sang
istri. Namun, dalam literatur lain, disebutkan bahwa Syekh Datuk Ahmad sudah
lama pindah dan bertempat tinggal di Cirebon. Sehingga, ketika Syekh Datuk
Shaleh datang (pindah) ke Cirebon, ia disambut oleh Syekh Datuk Kahfi yang tak
lain adalah putra dari saudara kandungnya, Syekh Datuk Ahmad. Sesampainya
Syekh Datuk Shaleh beserta sang istri di Cirebon, mereka bertempat tinggal
sementara di pesantren yang didirikan oleh Syekh Datuk Ahmad bernama Giri
Amparan Jati. Dalam literatur lain, disebutkan bahwa pesantren Giri Amparan
Jati adalah pesantren yang didirikan oleh Syekh Datuk Kahfi, bukan Syekh Datuk
Ahmad, karena Syekh Datuk Ahmad sudah lama meninggal sebelum pesantren
Giri Amparan Jati berdiri.5
3. Syekh Siti Jenar Dan Masa Kecil Dan Pendidikannay Di Pesantren Giri
Amparan
Setelah lebih-kurang setahun bertempat tinggal di Cirebon, Syekh Datuk
Shaleh akhirnya wafat pada awal tahun 1426 M. Saat itu, Syekh Siti Jenar telah
lahir dan berusia sekitar dua bulan. Semenjak itu, Syekh Siti Jenar kecil diasuh
sendiri oleh ibunya dengan dibantu oleh Ki Danusela dan Pangeran
Walangsungsang yang belajar di pesantren Giri Amparan Jati.
Syekh Siti Jenar tumbuh dewasa di lingkungan pesantren Giri Amparan
Jati. Di pesantren tersebut, Syekh Siti Jenar belajar ilmu-ilmu al-Qur'an, seperti
ilmu tajwid, ilmu tafsir, ilmu qiraʼat, ilmu nasikh dan mansukh, ilmu makki dan
madani, ilmu i'jaz al-Qur'an, ilmu jadal al-Qur'an, ilmu qashash al-Qur'an, dan
ilmu-ilmu al Qur'an lainnya. Sehingga, dikabarkan, Syekh Siti Jenar berhasil
menghafalkan kitab suci al-Qur'an di usianya yang ke-8 tahun. Tidak hanya itu.
Di pesantren Giri Amparan, Jati Syekh Siti Jenar juga belajar ilmu-ilmu
keagamaan, di antaranya nahwu, sharaf, ushul fiqh, mantik, hadits, mushthalah
hadits, dan sebagainya.
Sekitar tahun 1446 M, setelah merasa cukup menimba ilmu-ilmu agama di
pesantren Giri Amparan Jati, Syekh Siti Jenar bertekad untuk keluar dari
pesantren tersebut, dan mulai berniat mendalami ilmu kemakrifatan (sufi). Kala
itu, Syekh Siti Jenar meminta restu kepada saudara sepupunya, Syekh Datuk
Kahfi, agar memperbolehkannya keluar dari pesantren Giri Amparan Jati.
Dengan banyak pertimbangan, Syekh Datuk Kahfi pun akhirnya memberikan
restu dan mempersilakan Syekh Siti Jenar menunaikan niatnya untuk mendalami
ilmu kemakrifatan.6
4. Syekh siti jenar mendalami ilmu kemakrifatan kepada petapa hindu-
budha

5
Biografi lengkap syekh siti jenar, sartono hadisuwarno (hlm, 27 dan 29)
6
Biografi lengkap syekh siti jenar, sartono hadisuwarno (hlm, 31-33)
Setelah akhirnya mendapatkan restu dari Syekh Datuk Kahfi, Syekh Siti
Jenar memulai perjalanan pertamanya ke daerah Padjajaran. Tujuan utama Syekh
Siti Jenar pergi ke Padjajaran adalah untuk bertemu dengan salah seorang petapa
Hindu-Budha yang dapat mengupas hakikat kitab Catur Viphala peninggalan
Prabu Kertanegara, Raja Majapahit. Syekh Siti Jenar teringat pesan Ki
Samadullah bahwa satu-satunya petapa yang dapat mengupas hakikat kitab Catur
Viphala adalah Samsitawratah. Sebab, Samsitawratah memiliki tempat
persinggahan bagi para brahmana muda pencari kesejatian diri. Oleh karena itu,
setelah Syekh Siti Jenar tiba di Padjajaran, satu-satunya petapa yang dicarinya
adalah Samsitawratah, bukan petapa-petapa Hindu-Budha yang lain.
Berbulan-bulan lamanya, Syekh Siti Jenar melakukan tirakat. Hingga pada
suatu malam, ia sudah dapat mengosongkan diri dan menyatukan diri dengan
alam sekitar. Samsitawratah bangga melihat pencapaian Syekh Siti Jenar. Tak
berapa lama, kemudian Samsitawratah mengajarkan Syekh Siti Jenar cara
memadamkan jiwa saat tidur agar tidak terjerumus ke dalam neraka.
Samsitawratah menjelaskan bahwa untuk dapat memadamkan jiwa saat tidur,
seorang brahmana harus mengatur pola pernapasan dan memejamkan mata,
selain tetap mengosongkan diri dan menyatukan diri dengan alam.
Berbulan-bulan lamanya, Syekh Siti Jenar melakukan sesuatu yang
dijelaskan oleh Samsitawratah dari kitab Catur Viphala, hingga akhirnya ia pun
berhasil memadamkan jiwa. Syekh Siti Jenar mengalami kemajuan pesat dalam
melakukan tirakat. Meskipun begitu, ia merasa bahwa sesuatu yang menjadi
tujuannya belum tercapai. Lebih dari itu, ia juga merasakan bahwa perguruannya
kepada Samsitawratah justru tidak mengantarkannya pada tingkat makrifat
kepada Allah, melainkan masih berada dalam tahap syariat. Syekh Siti Jenar
merasa bersalah kepada diri sendiri karena telah menyia-nyiakan usianya.
Sepertinya, Samsitawratah sudah menangkap niat Syekh Siti Jenar. Itu
sebabnya, ketika Syekh Siti Jenar meminta restu Samsitawratah untuk keluar dari
tempat persinggahan, Samsitawratah mewariskan satu-satunya kitab Catur
Viphala miliknya, dan memberikan berbagai wejangan. Akhirnya, Syekh Siti
Jenar meninggalkan tempat persinggahan para brahmana milik Samsitawratah,
kemudian mengembara menuju daerah Palembang.7
5. Syekh siti jenar berguru ilmu kebatinana kepada arya damar
Ketika tiba di Palembang, Syekh Siti Jenar langsung menuju daerah
Pedamaran untuk menemui Arya Damar. 12 Sesampainya di sana, didapatinya
Arya Damar yang saat itu sedang mengais-ngais tanah dan menanam pohon di
halaman rumah. Arya Damar mengajak Syekh Siti Jenar masuk ke rumah untuk
menyaksikan keagungan dan ketidakterbatasan kuasa Allah.

7
Biografi lengkap syekh siti jenar, sartono hadisuwarno (hlm, 35-42 )
Syekh Siti Jenar tidak mengetahui doa yang dibaca oleh Arya Damar untuk
mengajaknya menembus lapisan-lapisan yang menyelubungi bumi dan langit. la
hanya merasakan saat Arya Damar memintanya membaca shalawat sebanyak 15
kali sambil memejamkan mata dan berkonsentrasi. Tiba-tiba, roh Syekh Siti Jenar
berdiri, lalu keluar dari raga yang membungkusnya. Sesaat sesudah itu, ketika
membuka mata, ia mendapati bahwa dirinya telah ada di sebuah hamparan yang
kosong, luas, dan gelap gulita. Arya Damar seketika itu dilihatnya duduk bersila
sambil bersedekap, menyilangkan kedua tangan ke dada. Sebelum Syekh Siti
Jenar mendekat, Arya Damar sudah berdiri, lalu menjelaskan bahwa saat itu
mereka berada di langit lapisan pertama. Sejenak, sesudah itu, dengan suara berat
dan penuh keseriusan, ia mulai menguraikan tentang malaikat-malaikat penghuni
langit.
Menurut Arya Damar, malaikat-malaikat yang berada di langit diciptakan
oleh Allah jauh sebelum penciptaan bumi dan langit. Setiap lapisan langit
mempunyai pintu masing masing yang dijaga ketat oleh Malaikat Hafadzah.
Setiap manusia yang meninggal, amalnya dibawa ke langit oleh Malaikat
Hafadzah. Jika amalnya baik, maka amalnya itu bisa masuk ke setiap pintu langit,
mulai dari pintu pertama hingga ketujuh.
Lantas, Arya Damar menyatakan bahwa dengan memahami hakikat
keesaan Allah, seorang hamba tidak akan lagi terjerumus ke dalam batasan-
batasan yang membuat dirinya membedakan Tuhannya dengan Tuhan orang lain.
Maka dari itu, jika Syekh Siti Jenar ingin menemukan Allah, Sang Pencipta, ia
wajib menegaskan dalam dirinya bahwa hanya ada satu Tuhan, yakni Allah.
selain itu, ia memahami bahwa seluruh makhluk ciptaan Nya, mulai dari
malaikat, iblis, jin, manusia, setan, hewan, dan tumbuhan adalah menyembah
Dia, meskipun dengan tata cara yang berbeda. Sesungguhnya, Dia itu Esa,
sebagaimana yang disebutkan-Nya di dalam kitab suci-Nya, Laa ilaaha illallaah,
tiada Tuhan selain Dia.8
6. Syekh siti jenar melakukan perjalanan haji ke Baitul haram
Mengikuti saran dari Ahmad at-Tawallut, menjelang musim haji, Syekh
Siti Jenar sudah menyiapkan kebersihan jiwanya untuk melakukan ibadah haji ke
Baitul Haram dengan melewati samudra. Hasrat dan keinginan hatinya untuk
berziarah ke makam Rasulullah Saw. dan para sahabat, seperti Abu Bakar ash-
Shiddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin 'Affan, Ali bin Abi Thalib, serta
leluhurnya, seperti Imam Husein di Karbala, Imam Ali di Najaf, Imam
Muhammad al-Baqir, Imam Ja'far Shadiq, dan Imam Ali Zainal Abidin di Baqi'
akhirnya terealisasi. Nasihat Ahmad at-Tawallud tentang hakikat makrifat telah
meruntuhkan semua dorongan hati Syekh Siti Jenar untuk menapaki kemuliaan
dan keluhuran duniawi dengan tujuan mengangkat derajat dirinya di hadapan
Allah, Sang Pencipta.
8
Biografi lengkap syekh siti jenar, sartono hadisuwarno (hlm, 51,52,53 dan 59)
Selama melakukan perjalanan haji, Syekh Siti Jenar berusaha
menghilangkan perasaan dan segala sesuatu yang membuatnya merasa cinta
dunia. Ia berusaha melepas segala sesuatu selain Allah. Namun, sekalipun ia
berlaku demikian, pada kenyataannya ia tidak mampu menghindar sama sekali
dari kehidupan duniawi. Terlebih, ketika ia bertemu dengan salah seorang Arab
bernama Husein bin Amir Muhammad bin Abdul Qadir al-Abbasi. Maka, saat itu
pula, intensitasnya melakukan amalan-amalan ibadah menjadi lebih sedikit. 9
7. Syekh siti jenar mulai menyebarkan ajarannya di tanah jawa
Ketika Syekh Siti Jenar kembali ke Cirebon, ia sangat terkejut
menyaksikan tempat yang ditinggalkannya itu sudah berubah menjadi desa
yang ramai. Pesantren Giri Amparan Jati dengan tujuh rumah di kanan kirinya,
yang merupakan hunian pertama di Cirebon, tiba-tiba sudah dikepung oleh
ratusan rumah dengan beberapa warung dan desa. Ia terheran ketika wajah-
wajah baru penghuni Cirebon dengan penuh hormat menyambut
kedatangannya dan menyatakan diri sebagai santri-santrinya. Dengan takzim,
mereka memanggil Syekh Siti Jenar dengan sebutan Syekh Lemah Abrit, yang
artinya Tuan Guru dari Lemah Abang.
Usai bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi, saudara sepupunya yang juga
sebagai gurunya di pesantren Giri Amparan Jati, Syekh Siti Jenar menanyakan
tentang perilaku orang-orang yang menyatakan diri sebagai santri santrinya.
Syekh Datuk Kahfi menjawab bahwa sebenarnya orang-orang tersebut adalah
tak lain santri-santrinya sendiri yang memang sengaja diperintahkan untuk
belajar ilmu kepada Syekh Siti Jenar. Meski awalnya heran, Syekh Siti Jenar
akhirnya memahami alasan Syekh Datuk Kahfi memerintahkan santri-
santrinya untuk belajar kepada Syekh Siti Jenar, yaitu tak lain dikarenakan
usia Syekh Datuk Kahfi yang sudah sangat tua.
Setelah mengetahui seluk-beluk yang dipelajari para santri, malam itu
juga Syekh Siti Jenar mulai mengajar mereka yang meluber hingga teras dan
halaman pesantren Giri Amparan Jati. Dengan penampilan yang mempesona,
Syekh Siti Jenar berkata kepada para santri agar mengikuti ajaran-ajaran yang
ia sampaikan dengan baik dan penuh perhatian. Selain itu, ia juga
mengingatkan kepada para santri agar mereka mengamalkan ajaran-ajaran
yang diberikan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagaikan gemuruh suara ribuan lebah, para santri menyatakan
kesediaannya untuk menerima, mematuhi, dan mengamalkan ajaran-ajaran
yang diberikan oleh Syekh Siti Jenar. Beberapa saat kemudian, setelah
keadaan tenang, Syekh Siti Jenar mulai mengajarkan ajaran ajarannya kepada
para santri.10

9
Biografi lengkap syekh siti jenar, sartono hadisuwarno (hlm, 71-72)

10
Biografi lengkap syekh siti jenar, sartono hadisuwarno (hlm, 101-102)
C. Ajaran-Ajaran Syekh Siti Jenar
Ajaran yang di sampaikan syekh siti jenar kepada para santri antara lain:
1) Ajaran tentang jiwa
2) Ajaran tentang jagat raya
3) Ajaran tentang akal
4) Ajaran tentang kuasa ego
5) Ajaran tentang kesejetian hidup
6) Ajaran tentang ketuhanan dan kemanusiaan
7) Ajaran tentang kesaksian (sasahidan)
8) Ajaran tentang sholat
9) Ajaran tarekat spiritual
10) Manunggaling Kawula Gusti (Wahdatul Wujud)
ajaran Syekh Siti Jenar yang paling utama dan paling kontroversial
hingga dirinya dikenai hukuman mati adalah pandangannya tentang wahdatul
wujud atau panteisme. Melalui pandangannya Inilah, Syekh Siti Jenar
dipandang telah menyamakan Tuhan dengan makhluk-Nya yang sesungguhnya
sangat berbeda. Tentu saja, ajaran wahdatul wujud Syekh Siti Jenar ini bukan
yang pertama kali. Jauh sebelum Syekh Siti Jenar, di Baghdad sudah berlaku
ajaran seperti itu, utamanya yang ditunjukkan oleh al-Hallaj. Bahkan, tidak
menutup kemungkinan, wahdatul wujud yang dilakukan dan diajarkan Syekh
Siti Jenar itu juga hasil pengaruh dari al-Hallaj, mengingat saat studi di
Baghdad, Syekh Siti Jenar juga mendalami ajaran ajaran al-Hallaj.
Penyamaan antara status Khalik dengan makhluk dalam kerangka
wahdatul wujud Syekh Siti Jenar oleh para ulama dan wali saat itu dipandang
telah menyebabkan banyak masyarakat menyimpang dari ajaran agama;
menyimpang dari aturan syariat. Karena merasa dirinya telah menyatu dengan
Tuhan, mereka merasa bahwa Tuhan adalah dirinya dan diri sejatinya adalah
Tuhan, maka syariat banyak yang ditinggalkan. Hal inilah yang membuat Wali
Sanga dan Kerajaan Demak geram, sehingga memutuskan untuk mengeksekusi
mati Syekh Siti Jenar.
Salah satu pernyataan wahdatul wujud Syekh Siti Jenar terekam dalam
Babad Tanah Sunda yang menyatakan: "Allah itu adalah keadaanku, kenapa
kawan-kawan pada memakai penghalang? Sesungguhnya aku inilah hak; Allah
pun tiada wujud dua, nanti Allah, sekarang Allah, tetap lahir batin Allah,
kenapa kawan-kawan masih memakai pelindung (Sulendraningrat, 1982)."
Lalu seperti yang dikutip oleh R. Tanoyo dalam Walisana, Syekh Siti
Jenar dalam rangka mengungkapkan pemahamannya mengenai wahdatul
wujud, berkata: "... Tidak usah kebanyakan teori semu, sesungguhnya ingsun
inilah Allah. Nyata Ingsun Yang Sejati, bergelar Prabu Satmata, yang tidak lain
kesejatiannya, yang disebut sebangsa Allah..." Lalu, ia juga mengungkapkan,
seperti dikutip S. Soebardi dalam The Book of Cebolek: "Jika ada seorang
manusia yang percaya kepada kesatuan lain selain dari Tuhan yang Mahakuasa,
ia akan kecewa karena ia tidak akan memperoleh apa yang ia inginkan.
Ungkapan Syekh Siti Jenar ini muncul beberapa saat setelah dirinya meninggal
yang didengar oleh para wali. Ini merupakan ungkapan terakhir yang
menunjukkan keyakinannya akan kehidupan sejati dalam kerangka kesatuan,
manunggaling kawula-Gusti (wahdatul wujud).
Namun para pendukung Syekh Siti Jenar menegaskan bahwa wali yang
bernama Abdul Jalil itu tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Ajaran
ini, bagi para penganut Syekh Siti Jenar, bukan dianggap sebagai
bercampurnya Zat Tuhan dengan makhluk Nya, melainkan sifat-sifat Tuhan
yang memancar pada manusia ketika manusia sudah melakukan proses fana
(hancurnya sifat-sifat buruk pada manusia). Karenanya, roh manusia akan
menyatu dengan sifat sifat Tuhan tatkala manusia sudah melakukan proses fana
(manunggaling kawula-Gusti).
Bagi Syekh Siti Jenar, yang memahami sekaligus mempraktekkan ajaran
wahdatul wujud ini, bahwa realitas sejatinya adalah satu. Apa yang tampak
beragam dan banyak di dunia ini, termasuk manusia, sesungguhnya pancaran
atau manifestasi dari Wujud Yang Satu itu. Semua yang beragam di dunia ini
tiada lain adalah penampakan dari Wajah-Nya semata. Karenanya, semua yang
banyak ini bakal sirna, sementara yang tetap kekal hanyalah Dia satu-satunya;
hanya wajah-Nya yang kekal dan abadi (Chodjim, 2002: 89).
Bagi Syekh Siti Jenar, Tuhan atau Allah sesungguhnya hanya sebuah
"nama" dari Sesuatu Yang Sangat Sulit Dipahami. Namun, nama itu menjadi
nyata melalui kehadiran manusia di dunia. Dengan demikian, hadirnya manusia
bahkan seluruh makhluk hidup itu sekedar sebagai penanda dari manifestasi
Wujud Tuhan. Bagi Munir Mulkhan, pandangan Syekh Siti Jenar seperti ini
sesungguhnya tidak asing bagi masyarakat Jawa yang salah satu ajarannya
adalah bahwa kedua orang tua (ayah-ibu) sesungguhnya "pangeran katon" atau
Tuhan yang terlihat.
Dari mana sesungguhnya ajaran orang Jawa tersebut? Jika memang
ajaran itu bersumber dari Syekh Siti Jenar, maka, kata Mulkhan, Syekh Siti
Jenar sesungguhnya sedang berbicara atau menjelaskan konsep ketuhanan yang
sesuai dengan kesadaran orang Jawa. Karena itu pula wajar, kalau dirinya
menegaskan diri sebagai "anak rakyat' (Mulkhan, 2015: 101). Dengan
demikian, pembicaraan tentang Tuhan dalam konteks wahdatul wujud yang
disebarkan Syekh Siti Jenar ini tidak bisa lepas dari lambang atau simbol.
Dalam lambang pertama, Syekh Siti Jenar menganggap Hyang Widi
atau Tuhan Yang Maha Esa atau Wujud Yang Satu sebagai: "wujud kang ora
katon satmoto, lintang abyor sasmitane, sipat-sipat maujud, anglangut lamun
kaeksi, warnanya lengkung endah. ujwala umancur, Syekh Siti Jenar waskita,
tetela trang sasmita janma linuwih, marma ngaku Pangeran." [Tuhan itu adalah
adalah wujud yang tidak dapat dilihat oleh mata, tetapi dilambangkan seperti
bintang yang bersinar cemerlang. Sifat-sifat berwujudnya samar samar bila
dilihat, warnanya indah sekali seperti sinar memancar. Syekh Siti Jenar tahu
segala-galanya sebelum terucapkan (Jawa: ngerti sadurunging winarah),
menandakan bahwa dirinya adalah orang yang melebihi makhluk-makhluk lain,
karena itu ia mengaku sebagai Tuhan." (Mulkhan, 2015: 97).
Jika ada lambang pertama, bagaimana dengan lambang kedua? Dalam
sebuah tembang yang dikutip oleh Mulkhan (2015: 97-98) dijelaskan mengenai
lambang kedua: "(hal yang tampak) hanya merupakan perlambang, jika anda
menanyakan di mana rumah Tuhan, jawabnya tidaklah sulit. Allah berada pada
zat yang tempatnya tidak jauh yaitu bersemayam di dalam tubuh. Tetapi hanya
orang yang terpilih yang bisa melihatnya, yaitu orang yang suci. Makna
terdalam dari segala ajaran Syekh Siti Jenar terdapat dalam ilmu rasa.
Sedangkan perlambang yang keempat mengatakan bahwa yang Maha Mulia itu
tidak berwarna, tidak terlihat, tidak bertempat tinggal, hanya merupakan tanda,
tanda itulah wujud dari Hyang Widi."
Berdasarkan penjelasan mengenai lambang lambang tentang Wujud
Tuhan itu bisa dikatakan bahwa seluruh makhluk sesungguhnya hanyalah
penanda tentang Wujud Tuhan. Karena statusnya sekedar penanda bagi wujud
sejati, maka semua makhluk sejatinya tidak mempunyai eksistensi atau wujud
tersendiri; wujud seluruh makhluk sejatinya merupakan cerminan atau
bayangan saja dari Wujud Tuhan. Karenanya jika ada seseorang yang meyakini
bahwa makhluk sejatinya juga mempunyai wujud, maka berarti orang tersebut
meyakini adanya dua wujud. Jika seperti ini, maka dalam kerangka
wahdatulwujud, orang tersebut bisa disebut murtad sebab sesungguhnya wujud
itu hanya satu yaitu Allah Swt. Yang selain Allah hanya bayang-bayang semu
semata; tidak mempunyai wujud pasti. Intinya yang selain Allah adalah nisbi,
sementara yang mutlak hakiki dan pasti hanyalah Allah Swt.11

D. Kematian Syekh Siti Jenar


a) Konflik dengan wali songo dan demak
karena ajaran-ajarannya yang kontroversial dan dipandang meresahkan
masyarakat. bahkan cenderung merongrong kekuasaan Kesultanan Demak,
maka Syekh Siti Jenar terlibat konflik dengan Wali Sanga. Para anggota Wali
Sanga memandang bahwa Syekh Siti Jenar telah mengajarkan wahdatul wujud
kepada masyarakat umum sehingga justru melahirkan banyak kekacauan dan
11
Biografi lengkap syekh siti jenar, sartono hadisuwarno (hlm, 167-173)
penyimpangan dalam beragama. Di mana, masyarakat yang sudah terpengaruh
oleh ajarannya seperti Ki Ageng Pengging cenderung mengabaikan syariat
dalam beragama. Tentu saja, sepanjang ajaran itu tidak melecehkan syariat,
maka apa yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar itu tidak bermasalah. Namun
dalam kenyataannya justru sebaliknya, sehingga masyarakat yang baru saja
mengenal Islam menjadi salah paham dengan ajaran wahdatul wujud yang
membuat mereka justru semakin sesuka hati dalam beragama. Banyak
masyarakat yang tidak salat atas dasar bahwa kehendak mereka adalah juga
kehendak-Nya.
Bagaimanapun, dalam konteks masyarakat Jawa saat itu, ajaran Syekh
Siti Jenar yang sudah menukik pada persoalan hakikat itu tergolong sebagai
hal baru. Dalam penjelasan Mulkhan, ajaran mengenai kodrat dan iradat serta
kehendak Tuhan telah dianggap sebagai ilmu sejati. Lalu sifat kalam, samak,
basar, kadiran, samian, muridan dan sifat-sifat wajib bagi Allah lainnya yang
seluruhnya berjumlah dua puluh diringkas menjadi budi lestari yang kekal
selama-lamanya. Inilah yang oleh Syekh Siti Jenar disebut dengan Zat, tiada
bermula, tiada berakhir, tiada berasal, tiada pula bertujuan. Hal ini juga yang
menurut Syekh Siti Jenar dipandang sebagai sifat Allah.
Hal yang lebih kontroversial dari Syekh Siti Jenar ini, kata Mulkhan,
apa yang disebut dengan Hyang Widi ini merupakan wujud yang tak tampak
oleh mata, namun mirip dengan dirinya (Allah) sendiri. Syekh Siti Jenar,
sebagai konsekuensi dari ajarannya tentang wahdatul wujud mengindetikkan
dirinya dengan Allah. Seperti sudah disinggung sebelumnya bahwa Allah
sesungguhnya Yang Mahakosong, Mahasunyi, tidak bertempat dan tidak
berarah. Syekh Siti Jenar sendiri juga menyatakan bahwa dirinya tidak mau
salat atas kehendaknya sendiri, dan ia juga tidak mau memerintahkan salat
kepada siapa pun. Orang yang salat atas dasar diperintah oleh sebuah budi
tetapi budi yang memerintah itu budi yang laknat dan tercela, maka itu tidak
bisa dipercaya karena perintahnya pasti berubah-ubah.
Karenanya, Syekh Siti Jenar mengaku bahwa ia tidak pernah menuruti
perintah budi, bersujud di masjid dengan mengenak jubah seperti yang
dilakukan oleh para wali, namun pahalanya harus menunggu besok saat
jidatnya menjadi hitam dan kakinya menebal atau kapalen. Apa yang ia turuti
dan taati hanya satu: Allah Yang Mahakluasa, bukan kepada yang lain
termasuk kepada para penguasa politik seperti raja atau sultan. Barangkali
karena pandangannya ini, ia dipandang melakukan perlawanan terhadap
Kesultanan Demak. Selain itu, seperti dikatakan Mulkhan, Syekh Siti Jenar
juga mengakui bahwa dirinya merupakan seorang rasul sejati, di dalam dirinya
mengandung sifat Muhammad yang suci (Mulkhan, 2015: 143).12

12
Biografi lengkap syekh siti jenar, sartono hadisuwarno (hlm, 238-241)
b) Pengadilan pertama oleh dewan wali sanga
Setelah dilakukan komunikasi, maka segera digelar pertemuan para
ulama dan Sultan Demak. Bahkan bukan hanya Sultan Demak, tetapi para
pejabat kerajaan lainnya seperti patih, penghulu, jaksa juga turut diundang.
Rapat besar ini diadakan di masjid. Satu per satu para undangan pun
berdatangan. Sultan Demak, Raden Patah, yang ditunggu-tunggu pun akhirnya
datang juga. Rapat agung ini dipimpin langsung oleh Sunan Bonang.
Setelah para ulama dan para pembesar kerajaan sudah berkumpul di
forum yang telah ditentukan, maka pertemuan pun di buka. Dalam
pembukaannya, Sunan Bonang mengatakan: "Kanjeng Sultan yang kami
hormati! Maksud kami mempersilakan kanjeng Sultan beserta pembesar
kerajaan datang ke serambi Masjid Agung pada pagi hari ini, ialah untuk
mengadakan musyawarah mengenai kejahatan yang sekarang sedang melanda
kerajaan. Perkiraan Kanjeng Sultan ternyata benar, bahwa Pangeran Siti Jenar
telah membangkang dan menghalang-halangi penyiaran agama. Saya sudah
mengirim utusan untuk menyaksikan dan menyelidiki ilmu yang diajarkan Siti
Jenar serta prilakunya. Terbukti bahwa ia telah merusak ketenteraman
masyarakat dan melanggar undang-undang dasar negara atau kerajaan."
"Ia menuntun dan membimbing orang ke arah yang salah, sehingga
banyak siswa Siti Jenar yang membuat huru-hara. Bagi Syekh Siti Jenar,
murid, dan pengikutnya, sekarang ini disebut alam kematian, sedangkan besok
setelah orang menemui ajal sebaliknya disebut sebagai kehidupan sejati.
Ajaran tentang kematian itu jelas menyesatkan masyarakat dan
membingungkan para sahabat yang menerima ajaran tersebut. Mereka pun
menjadi majenun dan merusak kelestarian dan keselamatan sesama hidup.
Bagaimana sebaiknya tindakan yang harus diambil untuk mengatasi masalah
ini?" Lanjut Sunan Bonang.
Mendengar penjelasan pembuka dari Sunan Bonang tersebut, Sultan
Demak, Raden Patah langsung menimpali: "Saya setuju dan akan membantu
dengan angkatan bersenjata kerajaan untuk menumpas Siti Jenar beserta para
pengikutnya." Namun usulan Sultan Demak untuk menumpas Syekh Siti Jenar
melalui pendekatan militer ini ternyata tidak disetujui oleh sebagian anggota
rapat, yang salah satunya adalah Pangeran Modang. Untuk menanggapi Sultan,
Pangeran Modang berkata dengan lantang: "Saya kira kurang tepat untuk
membinasakan Syekh Siti Jenar dengan kekuatan militer, sebab ia tidak
melakukan pemberontakan. Sebaiknya kita selesaikan secara halus saja
walaupun dijatuhi hukuman mati. Caranya adalah dengan mendatangi rumah
Syekh Siti Jenar secara diam-diam untuk memenggal lehernya,"
Usulan Pangeran Modang ini pun disanggah oleh patih kerajaan,
Wanasalam. Menurut Patih Wanasalam, apa yang dilontarkan oleh Pangeran
Modang itu jelas langkah tidak benar dan merupakan sebuah kesalahan baru,
sebab hal itu bertentangan dengan sistem hukum kerajaan; tindakan seperti itu
justru merupakan tindakan kriminal. Sebaiknya, bagi Wanasalam, tindakan
dilakukan berdasarkan pada hukum yang berlaku. Jika tidak, maka Kerajaan
Demak akan dicela di seluruh dunia. Bagaimanapun, membunuh manusia itu,
lanjut Wanasalam itu dilarang keras, termasuk di dalam Islam. Untuk masalah
hukuman mati bagi Syekh Siti Jenar ini, Wanasalam menyarankan agar
diserahkan kepada kerajaan. Dalam hal ini eksekusi mati dilakukan atas nama
kerajaan melalui kesepakatan para musyawirin. Lebih baik dipanggil dulu saja
Syekh Siti Jenar untuk datang ke Demak sekali lagi melalui sepucuk surat. Jika
masih tetap tidak mau memenuhi undangan, maka surat panggilan, kata
Wanasalam, bisa menjadi surat keputusan hukuman mati.
Wanasalam masih berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar memang salah
dan layak mendapatkan hukuman. Namun perlu diingat bahwa Syekh Siti
Jenar ini juga seorang wali besar, karenanya hukuman mati untuknya tidak
boleh dilakukan secara semena-mena meskipun orang yang berperan sebagai
eksekutor itu levelnya setingkat dengannya. Jika tidak seperti ini, maka sultan
dan pemerintah Kerajaan Demak akan cemar. Pola penghukuman yang
diusulkan oleh pangeran Modang tersebut, bagi Wanasalam jelas tindakan keji
yang bisa meruntuhkan kewibawaan dan martabat Kerajaan Demak. Dengan
cara seperti itu, Demak akan dikenang sebagai kerajaan bar-bar dan biadab.
Maka setelah melalui perdebatan yang cukup panjang dihasilkanlah
sebuah keputusan. Dalam hal ini usulan Patih Wanasalam yang diterima
bahwa Syekh Siti Jenar akan diberi surat panggilan menghadap ke Demak, dan
jika ia masih saja menolak untuk menghadap, maka surat panggilan itu bisa
menjadi surat pidana dengan konsekuensi ia menerima hukuman mati. Surat
keputusan atau surat panggilan yang ditujukan kepada Syekh Siti Jenar itu,
seperti ditulis Mulkhan (2015: 174) berbunyi seperti ini:
"Dengan surat ini, kami Sultan Adi Negara, yang bertakhta di Demak,
memerintahkan kepada Pangeran Siti Jenar yang bertempat tinggal di
Krendhasawa, untuk menghadap kami guna mengadu rasa. Perintah ini
berdasarkan laporan dan pertimbangan musyawarah para pejabat negara
kerajaan dan Wali Sanga yang berpendapat bahwa engkau dengan sengaja
memberontak, merusak tata karma dan ketenteraman sesama manusia dan
menghina Mustapa Nayakaningrat. Kedatanganmu ke Demak hendaknya
bersama para duta kerajaan yang kami utus ke Krendhasawa membawa surat
perintah ini. Jika tidak bersedia datang dan tidak bersedia menaruh perintah,
surat ini bersifat surat kuasa kepada para duta kerajaan untuk memenggal leher
Pangeran Siti Jenar."
Setelah surat ditandatangani oleh Sultan Demak, maka segera
diputuskan siapa yang harus mengantarkan surat ini ke kediaman Syekh Siti
Jenar. Sunan Kalijaga mengusulkan bahwa hendaknya seluruh anggota Wali
Sanga turut pergi menemui Syekh Siti Jenar untuk mengantarkan surat
tersebut. Namun Sunan Maghribi mengajukan bahwa cukup lima wali dari
anggota Wali Sanga yang berangkat. Masing-masing wali yang berangkat itu
membawa seorang santrinya. Kelima orang wali yang diusulkan oleh Sunan
Maghribi itu adalah Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Pangeran Modang, Sunan
Kudus dan Sunan Geseng. Sunan Maghribi juga mengusulkan bahwa selama
penanganan kasus ini, Sultan Demak hendaknya mempersiapkan seluruh
aparat militernya untuk menjaga keamanan dan stabilitas negara.
Sultan Demak pun menyetujui usulan Sunan Maghribi. Ia saat itu juga
memberi instruksi kepada para patih untuk melaksanakan apa yang diusulkan
oleh Sunan Maghribi. Setelah pertemuan itu selesai, maka Sultan segera pamit
untuk kembali ke istana. Sementara itu, para bupati langsung ditugaskan untuk
menjaga keamanan dan ketertiban. Hal ini guna menghadapi para murid dan
pengikut Syekh Siti Jenar yang banyak melakukan aksi kekerasan. Tak
menutup kemungkinan, jika nantinya Syekh Siti Jenar jadi di hukum mati, para
murid dan pengikut fanatiknya yang telah berbuat onar itu akan semakin gila
dalam menjalankan keonarannya. Maka, Sultan langsung mempersiapkan
seluruh aparat keamanan beserta jajaran pemerintahan Kerajaan Demak untuk
membangun kewaspadaan menghadapi para murid dan pengikut Syekh Siti
Jenar.13
c) Eksekusi mati syekh siti jenar
Ketika Syekh Siti Jenar mendengar peringatan dari para wali utusan
Demak, seperti yang dijelaskan dalam subbab sebelumnya, ia tetap tenang; ia
tidak merasa khawatir atau takut. Dengan enteng dia menjawab apa yang telah
dilontarkan oleh Sunan Kudus, bahwa dirinya tidak ingin mendua: hidup atau
mati, sebab apa yang sesungguhnya terjadi di dunia ini bagi dirinya merupakan
sebuah kematian. Karenanya, Syekh Siti Jenar menegaskan bahwa dirinya
memilih hidup, namun hidup yang ia pilih adalah kehidupan yang abadi dan
kekal selama-lamanya; sebuah kehidupan yang tidak lagi membutuhkan
pernak-pernik duniawi.
Namun ia menyatakan, kalau toh akhirnya dirinya memilih hidup yang
langgeng itu, sesungguhnya bukan karena menuruti perintah Wali Sanga.
Untuk meraih kehidupan yang kekal dan abadi itu, dirinya mengaku tidak
membutuhkan Wali Sanga. Artinya dia tidak butuh eksekusi mati dari Wali
Sanga untuk meraih kehidupan yang kekal tersebut. Dirinya ingin hidup (yang
berarti mati) tetapi tidak meminta pertolongan kepada Wali Sanga. Karenanya,
ia meminta kepada Wali Sanga untuk menyaksikan dirinya untuk pulang
kehadirat-Nya dengan cara sendiri.

13
Biografi lengkap syekh siti jenar, sartono hadisuwarno (hlm, 263-268)
Mendengar ucapan Syekh Siti Jenar itu, Sunan Bonang pun bertanya,
bagaimana dan lewat jalan apa dirinya hendak pulang ke alam keabadian itu?
Syekh Siti Jenar pun menjawab dengan senyuman bahwa apa yang ditanyakan
oleh Sunan Bonang itu pertanyaan bodoh. Ia bahkan menuduh para wali di
hadapannya itu sebagai manusia-manusia yang masih cinta dunia, sementara
dirinya sendiri sudah bosan, muak, dan tidak menginginkannya sama sekali
terhadap segala apa yang berbau duniawi. Karena itu, ia pun menegaskan
bahwa ia sudah mengetahui dengan sebenar-benarnya jalan yang ia gunakan
untuk menuju ke alam keabadian itu.
Karena terus didesak untuk menjelaskan jalan yang hendak ditempuh
untuk menuju ke keabadian itu, maka Syekh Siti Jenar pun memberikan
penjelasan seperti ini: "Ada tiga kekuatan yang disebut dengan tirta nirmaya.
Ketiga kekuatan ini meliputi: penglihatan, pendengaran, dan penciuman yang
ketiganya menguasai pancaindra. Jika ketiganya disatukan dan ditutup,
terjadilah apa yang disebut dengan uning, unon, unang. Jika pintu ketiganya
digulung menjadi satu, maka terjadilah sukmantaya yang berwarna hijau, biru
dan kuning, indah bagaikan embun ditembus sinar matahari. Itulah asal mula
manusia. Penjahat, bajingan, dan perampok, orang miskin papa dan pengemis
yang berjongkok di tepi jalan, sama saja dengan raja, waliullah, nabi, dan
orang-orang tersohor. Tidak ada beda antara keduanya,
bagaikan cincin, yang semuanya berbentuk lingkaran. Kodrat,
permulaan, pertengahan, dan akhir hidup itulah yang meliputi dan menguasai
manusia. Bukan hati dan bukan tulang, bukan darah atau kulit, bukan juga ruh,
napas, nyawa, ingatan, ataupun angan-angan, jika hilang menurut keinginan
dan kehendaknya sendiri. Tetapi jika ia singgah di dunia akan menemukan
badan maka inilah yang disebut kematian. Di dunia ini ia bersenang-senang
dan bersuka-ria walaupun wujudnya bangkai. Hanya saja seolah-olah ia sudah
hidup bagai uninong aning unang. Adapun tiga kekuatan yang berkembang
menjadi sembilan, terjelma menjadi Wali Sanga yang masing-masing diberi
nama seperti engkau semua. Namun, saya pastikan engkau yang sembilan itu
belum mengetahui, kecuali Syekh Maulana Maghribi. Engkau Sunan Bonang
juga tidak tahu, entah engkau mendengar ataukah tidak. Sunan Kalijaga hanya
merasa sudah mengetahui, tetapi bagaimana cara menerapkan, ia belum tahu.
Itulah yang disebut dengan buah Khuldi yang dimakan nabi Adam, yang
lancang sehingga dimarahi Tuhan." (Mulkhan, 2015:182-183).
Suasana pun semakin mencekam. Masing-masing pihak tidak ada yang
mau mengalah. Maka para wali yang diutus oleh Sultan Demak mau tidak mau
harus melaksanakan tugasnya. Surat panggilan yang telah diterima oleh para
wali itu seketika langsung berfungsi sebagai surat kuasa untuk mengeksekusi
Syekh Siti Jenar. Sebab, Syekh Siti Jenar dalam kenyataannya memang tidak
mau menghadap ke Demak; ia tetap kukuh dengan pendiriannya. Karena keras
kepalanya ini, maka mau tidak mau Wali Sanga harus menjalankan
mandatnya: mengeksekusi Syekh Siti Jenar sebagaimana yang dititahkan oleh
Sultan Demak melalui rapat besar di Demak. Hal ini pun sudah diberitahukan
kepada Syekh Siti Jenar.
Dalam suasana tegang itu, di mana Wali Sanga sudah siap menjalankan
aksinya, Syekh Siti Jenar, seperti dikatakan Mulkhan, tiba-tiba langsung
memusatkan pikirannya; ia langsung bersemedi untuk mengarungi alam
keabadian yang diimpikannya. Ketika semedi dan memusatkan seluruh
pikirannya itu, Syekh Siti Jenar kemudian menutup rapat pintu nafasnya dan
menggulung habis seluruh rahasia hidupnya. Tak lama kemudian, ia
melepaskan seluruh nafas yang telah ia kumpulkan. Saat menghembuskan
seluruh nafasnya itulah, nyawanya langsung melesat dan meninggalkan
jasadnya. Di hadapan para wali utusan dari Demak dan para muridnya, Syekh
Siti Jenar telah memeluk ajalnya.
Itu merupakan proses kematian Syekh Siti jenar versi teks yang dikutip
oleh Mulkhan. Namun sesungguhnya ada banyak versi kematian Syekh Siti
Jenar, yang di antaranya adalah Syekh Siti Jenar mati karena dipenggal
kepalanya oleh Wall Sanga. Soal beragam versi kematian Syekh Siti Jenar ini,
di antaranya dikisahkan oleh Sholikhin (2014) bahwa berdasarkan Suluk
Walisanga dan Serat Syekh Siti Jenar, dikisahkan bahwa menjelang detik-detik
kematiannya karena hendak dieksekusi oleh Wali Sanga, Syekh Siti Jenar
kemudian mengonsentrasikan seluruh kekuatannya. Hal ini ia gunakan untuk
membuka pintu kasyaf dan ruh idhofi sebagai pembuka jalan untuk menuju ke
hadirat Nya. Ketika sedang konsentrasi menghadap Zat Yang Mahahakiki
itulah, dirinya kemudian menghembuskan nafas terakhirnya; tewas di hadapan
para wali.14

E. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Syekh Siti Jenar merupakan salah satu tokoh Islam yang sangat kontroversial,
sehingga sangat sulit untuk dilakukan klaim tentang seperti apa gambaran
perjalanan hidupnya. Namun, berdasarkan analisis yang ada dapat dikatakan
bahwa sosok Syekh Siti Jenar merupakan sosok yang nyata dan bukan tokoh
14
Biografi lengkap syekh siti jenar, sartono hadisuwarno (hlm, 280-284)
fiktif seperti anggapan sebagian orang. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan
adanya silsilah nasab yang jelas darinya, terutama dalam naskah-naskah yang
berasal dari Cirebon dan juga beberapa pengakuan dari para penganut tarekat
Akmaliyah.
2) Adapun konsep ketuhanan Syekh Siti Jenar adalah apa yang masyhur di pulau
Jawa dengan sebutan Manunggaling Kawula-Gusti, yang dalam pemahaman
penulis hampir sama dengan ajaran dari paham wahdatul wujud, di mana
Tuhan dan alam adalah satu kesatuan atau Tuhan itu imanen dengan alam
(manusia). Selain itu, ajarannya tentang ketuhanan ini merupakan salah satu
dari bentuk paham wujudiyah yang mengajarkan doktrin bahwa manusia
(alam) berasal dari pengetahuan ilahi dan akan mendapat pengalaman dari
dunia untuk kemudian menuju Ain-Nya. Segala sesuatu yang ada di dunia ini
adalah di dalam kandungan Tuhan, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam
pandangan Syekh Siti Jenar segala sesuatu yang ada adalah hanya Dzat Allah
semata, di mana saat Allah menciptakan alam semesta, tidaklah dengan Dzat
lain akan tetapi dengan Dzat-Nya sendiri atau terjadi proses emanasi di
dalamnya. Melalui ciptaan-Nya ini, Allah kemudian menyaksikan diri-Nya
sendiri. Dengan demikian, Syekh Siti Jenar sepertinya meyakini bahwa di
dalam semua ciptaan Tuhan (khalq), tersembunyi anasir sang pencipta (Haq),
di mana dalam hal ini khalq disebut sebagai yang dzahir dan Haq disebut yang
bathin. Sehingga, khalq adalah wujud yang tergantung pada wujud Tuhan yang
mutlak. Tanpa wujud yang mutlak dari Tuhan, tidak akan ada khalq yang
maujud. Artinya, yang memiliki wujud hakiki dalam pandangan Syekh Siti
Jenar hanyalah Tuhan, sedangkan khalq (ciptaan) hanyalah merupakan
bayangan maya dari tuhan. Selain itu, makna lain dari Manunggaling Kawula-
Gusti dalam pandangan Syekh Siti Jenar bukanlah bercampurnya Tuhan
dengan makhluk-Nya, namun bahwa Sang Pencipta merupakan tempat
kembali semua makhluk dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia dan
seluruh makhluk telah bersatu dengan Tuhan yang menciptakannya.

DAFTAR PUSTAKA

--------------2010. Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
Noer, Kautsar Azhari. 1995. Ibn al-A'rabi, Wihdat al-Wujud dalam Perdebatan.
Jakarta: Paramadina.
Sasrawidjaja, Raden. 1958. Serat Syekh Siti Jenar. Jogdjakarta: Kulawarga
Bratakesawa.
Shodiq, Dalhar. 1983. Ajaran Syekh Siti Jenar; Suatu Tinjauan secara Epistemologik.
Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM.
Subagya, Rahmad. 1981. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.
Sunyoto, Agus. 2012. Suluk Abdul Jalil; Perjalanan Ruhani Syekh Siti Jenar (Buku
Satu). Yogyakarta: Pustaka Sastra LKIS.
-------------2012. Suluk Abdul Jalil; Perjalanan Ruhani Syekh Siti Jenar (Buku Dua).

Yogyakarta: Pustaka Sastra LKIS.

-------------2012. Suluk Malang Sungsang; Konflik dan Penyimpangan Ajaran Syaikh

Siti Jenar (Buku Enam). Yogyakarta: Pustaka Sastra LKIS. –

-------------2012. Suluk Malang Sungsang; Konflik dan Penyimpangan Ajaran Syaikh

Siti Jenar (Buku Tujuh).Yogyakarta: Pustaka Sastra LKIS,

------------2012. Suluk Sang Pembaharu; Perjuangan dan Ajaran Syekh Siti Jenar

(Buku Tiga). Yogyakarta: Pustaka Sastra LKIS

Abimanyu, Soedjipto, Babad Tanah Jawi Terlengkap dan Terasli, Yogyakarta:

Laksana, 2013.

Bratakesawa, Falsafah Siti Djenar, Yogyakarta: Keluarga Bratakesawa, 1956.

Chodjim, Muhammad, Syekh Siti Jenar: Makna "Kematian", Jakarta: Serambi, 2002.

Dahlan, Mohammad, Haul Sunan Ampel Ke-555, Surabaya: Penerbit Yayasan Makam

Sunan Ampel, 1979.

Endraswara, Suwardi, Etika Hidup Orang Jawa: Pedoman Beretika dalam Menjalani

Kehidupan Sehari-hari, Yogyakarta: Narasi, 2010.

Muhibbuddin, Muhamamd, Sejarah Kelam Jawa-Sunda: Cinta, Perang dan


Rekonsiliasi, Yogyakarta: Araska, 2018.

Anda mungkin juga menyukai